• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan lokasi pasar induk kabupaten Bogor berdasarkan perkembangan wilayah dan aksesibilitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan lokasi pasar induk kabupaten Bogor berdasarkan perkembangan wilayah dan aksesibilitas"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN

AKSESIBILITAS

E L I Y A N I

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penentuan Lokasi Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan Perkembangan Wilayah dan Aksesibilitas adalah karya saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh pihak lain telah penulis sebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2010

(3)

ELIYANI, The Determination of Central Market’s Location in Bogor District

Based on Area Development and Accessibility. Supervised by KUKUH

MURTILAKSONO and DIDIT OKTA PRIBADI.

Vegetables and fruits are daily necessities that are traded in every markets. Bogor Regency has 24 markets that spread all over the district, therefore Bogor needs a central market as the central collection and distribution of vegetables and fruits for the community. Bogor District that is wide and has a high population will affect the demand of vegetables and fruits that are the primary needs of the community of Bogor District. Bogor district needs a place of the central market of vegetables and fruits. The purpose of this study was to determine the optimal location of the central market of vegetables and fruits products of Bogor District based on the area development and accessibility. The applied analysis was the analysis of infrastructure (scalogram), description analysis and analysis of P-Median by using Gams program. The results of the analysis show that development in Bogor districts is still dominated by medium and low levels of development, only 7 districts are included in the high development, 14 districts included in the medium development, and 19 districts included in the low development. Existing markets currently do not become outlet vegetables and fruits from Bogor District. The optimal location for a central market is in Dramaga Sub District that has low development, if the central market would be built by developing the existing markets, then the optimal market is in Ciawi Sub district that has high levels of development.

(4)

RINGKASAN

ELIYANI. Penentuan Lokasi Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan Perkembangan Wilayah dan Aksesibilitas. Dibimbing Oleh KUKUH MURTILAKSONO dan DIDIT OKTA PRIBADI.

Suatu wilayah dikatakan mengalami proses perkembangan dicirikan oleh pembangunan atau penyediaan fasilitas pelayanan sosial. Menurut Suganda et al.,

(2009) fasilitas umum/sosial adalah penggerak utama bagi kegiatan dan pertumbuhan ekonomi sebuah wilayah. Keberadaan fasilitas umum akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Wilayah yang berkembang cenderung memiliki tingkat penduduk yang tinggi, sehingga berpengaruh terhadap permintaan sayuran dan buah-buahan. Kabupaten Bogor dengan luas 298.838,304 ha memiliki jumlah penduduk yang tinggi yaitu sebanyak 4.251.838 jiwa yang akan terus bertambah, hal tersebut berpengaruh terhadap permintaan sayuran dan buah-buahan. Saat ini Kabupaten Bogor belum memiliki pasar induk yang dapat melayani kebutuhan sayuran dan buah-buahan penduduk Kabupaten Bogor dalam partai besar yang akan dijual kembali oleh para pedagang tingkat eceran kepada konsumen. Pasar induk berfungsi sebagai pusat pengumpulan dan distribusi sayuran dan buah-buahan asal Kabupaten Bogor. Menurut Anonymous (2008) diperlukan pasar induk untuk melayani jumlah penduduk diatas tiga juta jiwa. Namun untuk konteks Kabupaten Bogor perlu dievaluasi kembali mengenai kebutuhan akan pasar induk ini karena adanya keterkaitan dengan wilayah tetangga.

Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi perkembangan wilayah, mengidentifikasi aliran sayuran dan buah-buahan di pasar yang ada saat ini yang berada di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor, mengkaji penentuan lokasi optimal pasar induk di Kabupaten Bogor, serta melihat keterkaitan perkembangan wilayah dengan alternatif lokasi optimal. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis skalogram untuk melihat tingkat perkembangan wilayah, analisis deskriptif untuk mengetahui aliran sayuran dan buah-buahan di pasar yang ada saat ini, dan analisis P-Median dengan bantuan program GAMS untuk penentuan lokasi optimal pasar induk.

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa perkembangan kecamatan di Kabupaten Bogor masih didominasi dengan tingkat perkembangan sedang dan rendah, hanya 7 kecamatan yang termasuk dalam perkembangan tinggi yaitu Kecamatan Cibinong, Kecamatan Cisarua, Kecamatan Caringin, Kecamatan Ciawi, Kecamatan Megamendung, Kecamatan Leuwiliang, dan Kecamatan Gunung Sindur. Tingkat perkembangan yang tinggi dicirikan dengan jumlah dan jenis sarana prasarana dan infrastruktur yang tersedia cukup memadai atau dikategorikan dengan wilayah dengan tingkat perkembangan maju, sedangkan tingkat perkembangan yang sedang dan rendah dicirikan dengan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana sangat terbatas. Pasar-pasar eksisting

(5)
(6)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut

Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN

AKSESIBILITAS

E L I Y A N I

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Perkembangan Wilayah dan Aksesibilitas Nama : E l i y a n i

NIM : A156080194

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Didit Okta Pribadi, SP, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

 

 

Kupersembahkan Karya ini

Kepada:

Ayahanda (Alm.) Ir. H. Rusgani M Alip dan Ibunda Hj. Seha Soliah

Mertua yang Ananda Hormati:

Ayahanda Ismail dan Ibunda Mimin Aminah

Suamiku tercinta Asep Ayat, S. Hut dan Putraku tersayang Agung Abduzjabbar

yang telah mendukung selama ini

 

(11)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku ketua pembimbing dan Didit Okta Pribadi, SP, MSi selaku anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini, serta Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Disamping itu, penghargaaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini, Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis, rekan-rekan PWL kelas Bappenas angkatan 2008 atas segala do’a, dukungan dan kebersamaannya selama proses belajar hingga selesai, dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada ayahanda (Alm.), ibunda, suami dan anakku serta seluruh keluarga, atas do’a, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 16 Mei 1979 sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Ir. H. Rusgani M. Alip (Alm.) dan Ibu Hj. Seha Soliah.

Penulis memulai pendidikan dasar di SDN I Passo Ambon dan lulus pada tahun 1991 dari SDN Empang IV Bogor, kemudian diterima di SMP Negeri 3 Bogor dan selesai pada tahun 1994. SMA Negeri 3 Bogor dipilih penulis untuk melanjutkan pendidikan selepas SMP dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 1997, penulis berhasil lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan diterima di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan berhasil menyelesaikan studi S1 tersebut pada Tahun 2002.

Saat ini penulis merupakan pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dengan penempatan terakhir sebagai staf bidang Sarana Prasarana Wilayah Bappeda Kabupaten Bogor. Pada bulan Agustus tahun 2008, penulis dinyatakan diterima di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah untuk melanjutkan studi magister dengan beasiswa pendidikan melalui program beasiswa dari Pusbindiklatren – Bappenas.

(13)

vi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah ... 7

2.2. Hirarki Pusat Aktivitas ... 9

2.3. Teori Lokasi ... 10

2.4. Pengertian Pasar induk ... 19

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

3.2. Jenis Sumber Data dan Alat Penelitian ... 21

3.3. Metode Pelaksanaan Penelitian ... 21

3.4. Batasan Penelitian ... 23

3.5. Analisa Data ... 24

5.2.5. Pasar Citeureup Kabupaten Bogor ... 67

5.2.6. Pasar Cibinong Kabupaten Bogor ... 70

5.2.7. Pasar Ciawi Kabupaten Bogor ... 72

5.2.8. Pasar Induk Kemang Kota Bogor ... 75

(14)

vii

5.2.10. Pasar Baru Bogor Kota Bogor ... 81

5.2.11. Komoditas Sayuran dan Buah-buahan Kabupaten Bogor ... 83

5.3. Analisa Penentuan Lokasi Optimal Pasar induk ... 92

5.3.1. Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor ... 92

5.3.2. Berdasarkan Model Optimasi ... 93

5.3.2.1. Lokasi Optimal Pasar induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 40 Kecamatan yang Ada di Kabupaten Bogor dengan Mempertimbangkan 6 Kecamatan yang Ada di Kota Bogor . ... 103

5.3.2.2. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 40 Kecamatan yang Ada di Kabupaten Bogor ... 108

5.3.2.3. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 7 Pasar Kabupaten Bogor yang Ada Saat Ini (Eksisting) dengan Mempertimbangkan Keberadaan 3 Pasar Kota Bogor ... 114

5.3.2.4. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 7 Pasar Kabupaten Bogor yang Ada Saat Ini (Eksisting) ... 120

5.4. Keterkaitan Kondisi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor dengan Perkembangan Wilayah ... 124

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 130

6.2. Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 131

(15)

viii Halaman

1. Matriks Pendekatan Penelitian ... 22

2. Contoh Tabulasi Data Fasilitas Umum ... 24

3. Luas Wilayah Per Kecamatan di Kabupaten Bogor ... 35

4. Sumber Sampah Timbulan dan Pengangkutannya ... 42

5. PDRB Kabupaten Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2003-2007 (Juta Rupiah) ... 43

6. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003 – 2007 ... 44

7. Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2007 ... 49

8. Fasilitas yang Tersedia di Kabupaten Bogor... 53

9. Hirarki Kecamatan dalam Kabupaten Bogor berdasarkan Indeks Perkembangan Kecamatan ... 54

10. Asal Sayuran yang Dijual di Pasar Cisarua ... 59

11. Asal Buah-buahan yang Dijual Pasar di Cisarua ... 60

12. Asal Sayuran yang Dijual di Pasar Leuwiliang ... 61

13. Asal Buah-buahan yang Dijual di Pasar Leuwiliang ... 62

14. Asal Sayuran yang Dijual di Pasar Parung... 63

15. Asal Buah-buahan yang Dijual di Pasar Parung ... 65

16. Asal Sayuran yang Dijual di Pasar Cileungsi... 66

17. Asal Buah-buahan yang Dijual di Pasar Cileungsi ... 66

18. Asal Sayuran yang Dijual di Pasar Citeureup ... 68

19. Asal Buah-buahan yang Dijual di Pasar Citeureup ... 69

20. Asal Sayuran yang Dijual di Pasar Cibinong ... 70

21. Asal Buah-buahan yang Dijual di Pasar Cibinong ... 72

22. Asal Sayuran yang Dijual di Pasar Ciawi ... 73

23. Asal Buah-buahan yang Dijual di Pasar Ciawi ... 74

24. Asal Sayuran yang Dijual di Pasar Induk Kemang ... 75

25. Asal Buah-buahan yang Dijual di Pasar Induk Kemang ... 77

26. Asal Sayuran yang Dijual di Pasar Induk Jambu Dua ... 79

27. Asal Buah-buahan yang Dijual di Pasar Induk Jambu Dua ... 80

(16)

ix 29. Asal Buah-buahan yang Dijual di Pasar Baru Bogor ... 83 30. Komoditas Sayuran Unggulan Kabupaten Bogor ... 84 31. Komodiitas Buah-buahan Unggulan Kabupaten Bogor ... 87 32. Permintaan (demand) Sayuran dan Buah-buahan Kabupaten

Bogor dan Kota Bogor, 2008. ... 99 33. Produksi Sayuran dan Buah-buahan Kabupaten Bogor, 2008 ... 101 34. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 40

Kecamatan Kabupaten Bogor dan 6 Kecamatan Kota Bogor ... 104 35. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 40

Kecamatan Kabupaten Bogor... 109 36. Lokasi 24 Pasar di Kabupaten Bogor ... 115 37. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 7

Pasar Kabupaten Bogor yang Ada Saat Ini (Eksisting) dengan

Mempertimbangkan Keberadaan 3 Pasar Kota Bogor ... 117 38. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 7

Pasar Kabupaten Bogor yang Ada Saat Ini (Eksisting) ... 121 39. Keterkaitan Kondisi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor

dengan Perkembangan Wilayah, Berdasarkan Model Optimasi 40 Kecamatan Kabupaten Bogor dan 6 Kecamatan Kota Bogor, dan Berdasarkan Model Optimasi 40 Kecamatan

Kabupaten Bogor ... 125 40. Keterkaitan Kondisi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor

dengan Perkembangan Wilayah, Berdasarkan Model Optimasi

(17)

x Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6

2. Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor ... 34

3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian/Profesi ... 37

4. Jumlah Penduduk Yang Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenjang Pendidikan ... 38

5. Peta Kepadatan Penduduk Kabupaten Bogor (Jiwa/Ha) ... 50

6. Peta Hirarki Kecamatan Berdasarkan Indeks Perkembangan Kecamatan ... 57

7. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Cisarua ... 60

8. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Leuwiliang ... 62

9. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Parung ... 64

10. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Cileungsi ... 67

11. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Citeureup ... 69

12. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Cibinong ... 71

13. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Ciawi ... 74

14. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Induk Kemang ... 77

15. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Induk Jambu Dua ... 80

16. Lokasi Asal Sayuran dan Buah-buahan Pasar Baru Bogor ... 82

17. Lokasi Pemusatan Sayuran dan Buah-buahan di Kabupaten Bogor ... 84

18. Peta Komoditas Sayuran Kabupaten Bogor ... 85

19. Peta Komoditas Buah-buahan Kabupaten Bogor ... 86

20. Peta Kesesuaian Lahan Kabupaten Bogor ... 87

21. Keadaan Eksisting di Pasar-pasar yang ada di Kabupaten Bogor dan kota Bogor, 2009 ... 89

22. Situasi apabila dibangun Pasar Induk Kabupaten Bogor ... 91

23. Orde Pertumbuhan Utama Menurut Perda RTRW Kabupaten Bogor ... 93

24. Kerangka Pikir Optimasi Penentuan Pasar Induk ... 96

25. Grafik Permintaan (Demand) Sayuran dan Buah-buahan Kabupaten Bogor dan Kota Bogor, 2008. ... 98

(18)

xi 27. Grafik Produksi Sayuran dan Buah-buahan Kabupaten Bogor,

2008. ... 102 28. Produksi Sayuran dan Buah-buahan Kabupaten Bogor, 2008 ... 103 29. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 40

Kecamatan Kabupaten Bogor dan 6 Kecamatan Kota Bogor ... 106 30. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 40

Kecamatan di Kabupaten Bogor ... 111 31. Lokasi Sebaran Pasar Kabupaten Bogor ... 114 32. 7 Pasar Kabupaten Bogor dan 3 Pasar Kota Bogor yang Ada Saat

Ini (Eksisiting) ... 116 33. Lokasi Optimal pasar Induk kabupaten Bogor Berdasarkan 7

Pasar Kabupaten Bogor dengan Mempertimbangkan Keberadaan

7 Pasar Kota Bogor ... 119 34. Lokasi Optimal Pasar Induk Kabupaten Bogor Berdasarkan 7

(19)

xii Halaman 1. Jarak Tempuh Antar Kecamatan Kabupaten Bogor dan

Kota Bogor ... 135 2. Waktu Tempuh Antar Kecamatan di Kabupaten Bogor dan

(20)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perencanaan wilayah merupakan sarana dalam proses pembangunan wilayah yang memerlukan pendekatan multidisiplin yang mempertimbangkan berbagai aspek sehingga menghasilkan perencanaan pembangunan wilayah yang komprehensif. Perencanaan pembangunan wilayah dengan pola perencanaan pembangunan yang komprehensif adalah perencanaan yang mempertimbangkan semua aspek yang menyeluruh diantaranya adalah aspek fisik dasar, aspek lingkungan hidup, aspek kependudukan dan kebudayaan, aspek penggunaan tanah, aspek perekonomian, aspek fasilitas dan utilitas, aspek transportasi, aspek keruangan dan pembiayaan pembangunan serta aspek kelembagaan pemerintahan dan pengelolaan kota (Anonymous, 2009). Dengan perencanaan pembangunan wilayah tersebut diharapkan suatu daerah akan mengalami proses pertumbuhan.

Suatu daerah dikatakan mengalami proses pertumbuhan atau pengembangan wilayah, dicirikan oleh pembangunan atau penyediaan fasilitas pelayanan sosial seperti pusat pemerintahan, pasar, perkantoran, sekolah, sarana transportasi dan balai kesehatan. Menurut Suganda et al., (2009) fasilitas sosial adalah penggerak utama bagi kegiatan dan pertumbuhan ekonomi sebuah kota. Keberadaan fasilitas umum akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya rendahnya kualitas fasilitas sosial dapat menurunkan produktivitasnya. Umumnya, dalam proses pengembangan wilayah dikenal tiga kaidah utama, yaitu; 1) pengembangan wilayah merupakan fungsi dari seberapa efektif kegiatan usaha export base wilayah yang bersangkutan, 2) pengembangan wilayah menuntut mobilisasi kegiatan usaha pemerintah dan masyarakat untuk mengambil bagian dalam kesempatan pembangunan (development opportunities) yang muncul, dan 3) pengembangan wilayah berlangsung dalam kerangka kesatuan sistem tata ruang. Dalam hubungan ketiga kaidah tersebut, disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi dalam kerangka kesatuan sistem spasial yang dikenal dengan sebutan ekonomi spasial dan merupakan aspek yang sangat penting, namun sering terabaikan dalam perencanaan pembangunan nasional dan regional. Pengalaman menunjukkan

(21)

bahwa pembangunan yang sangat bersifat sektoral dengan tidak atau kurang memperhatikam faktor lokasi dan bagaimana penjalaran pertumbuhan pada suatu lokasi terhadap wilayah sekitarnya, tindakan yang mengabaikan dimensi spasial dalam pembangunan ekonomi serta menitikberatkan pada sasaran jangka pendek daripada tujuan jangka panjang semakin mempertajam dikotomi kesenjangan pembangunan antar wilayah.

Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa sistem aktivitas. Salah satu sistem aktivitas yang berpengaruh tersebut adalah sistem aktivitas perdagangan. Hal tersebut karena tingkat kemajuan di bidang ekonomi dapat dilihat dari frekuensi kegiatan di sektor perdagangan sebagai salah satu indikatornya. Aktivitas perdagangan sebagaimana aktivitas-aktivitas di sektor lainnya selalu membutuhkan fasilitas berupa ruang dengan prasarana dan sarana yang memadai untuk mewadahi aktivitas tersebut.

Berdasarkan data Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dirilis oleh BPS tahun 2008, menunjukkan bahwa sektor perdagangan pada tahun 2007 memainkan peranan yang sangat penting dalam menunjang PAD. Terbukti dengan sektor perdagangan berada pada sektor kedua di bawah sektor industri pengolahan. Dari nilai PDRB Kabupaten Bogor tahun 2007 yang sebesar Rp 27,85 triliun (atas dasar harga konstan), sektor jasa perdagangan memberi kontribusi sebesar 15,67 % atau sekitar Rp 4,36 triliun. Suatu angka yang siginifikan, mengingat sarana dan prasarana perdagangan di Kabupaten Bogor belum tertata secara optimal. Salah satu fasilitas sarana prasarana perdagangan adalah pasar.

(22)

3 maka secara langsung akan terjadi pemusatan fasilitas pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu pasar juga selalu menjadi focus point

dari suatu kota yang berfungsi sebagai suatu pusat pertukaran barang-barang, diantaranya adalah sayuran dan buah-buahan.

Dipandang dari segi ekonomi, sayuran dan buah-buahan memegang peran penting sebagai sumber pendapatan petani, pedagang, industri, maupun penyerapan tenaga kerja. Produk Domestik Bruto (PDB) sub sektor tanaman pangan memiliki peranan yang strategis dalam memberikan sumbangan terhadap PDB pertanian maupun PDB nasional. Pada tahun 2008, PDB tanaman pangan mencapai 349,795 triliun triliun setara dengan 48,85% dari PDB sektor pertanian.

Sebagai kebutuhan sehari-hari, sayuran serta buah-buahan pasti diperdagangkan di tiap pasar. Pasar yang ada di Kabupaten Bogor tersebar di dua puluh empat (24) lokasi. Karena tersebarnya pasar-pasar tersebut maka dibutuhkan pasar induk sebagai pusat koleksi dan distribusi sayuran serta buah-buahan untuk masyarakat. Kabupaten Bogor merupakan Kabupaten yang cukup luas dan memiliki jumlah penduduk yang tinggi dibandingkan dengan Kabupaten dan Kota yang ada di Jabodetabek yaitu sebanyak 4.251.838 jiwa pada tahun 2007. Tingginya jumlah penduduk tersebut berpengaruh terhadap permintaan

(demand) sayuran serta buah-buahan yang merupakan kebutuhan primer dari

masyarakat Kabupaten Bogor, karena itu dibutuhkan suatu tempat untuk mengumpulkan dan kemudian disalurkan melalui beberapa pasar yang tersebar di Kabupaten Bogor, yang berupa pasar induk sayuran dan buah-buahan.

(23)

1.2. Perumusan Masalah

Suatu wilayah dikatakan mengalami proses perkembangan dicirikan oleh penyediaan fasilitas pelayanan sosial. Terdapat kecenderungan bahwa penduduk memilih menempati suatu wilayah yang memiliki fasilitas pelayanan sosial yang memadai dimana wilayah tersebut memiliki tingkat perkembangan wilayah yang tinggi, sehingga wilayah-wilayah tersebut cenderungan memiliki jumlah penduduk yang juga tinggi. Umumnya wilayah-wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang baik juga dipengaruhi oleh aksesibilitas yang baik.

Kabupaten Bogor dengan luas 298.838,304 ha memiliki jumlah penduduk yang tinggi yaitu sebanyak 4.251.838 jiwa yang akan terus bertambah, hal tersebut berpengaruh terhadap permintaan sayuran dan buah-buahan. Selama ini sayuran dan buah-buahan sebagian besar diperdagangkan di pasar, dan hingga saat ini pasar yang ada di Kabupaten Bogor adalah sebanyak 24 pasar. Saat ini Kabupaten Bogor belum memiliki pasar induk, yang dapat melayani kebutuhan sayuran dan buah-buahan penduduk Kabupaten Bogor dalam partai besar yang akan dijual kembali oleh para pedagang tingkat eceran kepada konsumen. Pasar induk berfungsi sebagai pusat pengumpulan dan distribusi sayuran dan buah-buahan asal Kabupaten Bogor.

Menurut Anonymous (2008) diperlukan pasar induk untuk melayani jumlah penduduk diatas tiga juta jiwa. Namun untuk konteks Kabupaten Bogor perlu dievaluasi kembali mengenai kebutuhan akan pasar induk karena adanya keterkaitan dengan wilayah tetangga.

Dengan memperhatikan uraian latar belakang maupun deskripsi permasalahan di atas, terdapat beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Perlukah dibangun pasar induk Kabupaten Bogor?

(24)

5 1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi perkembangan wilayah di Kabupaten Bogor.

2. Mengidentifikasi aliran sayuran dan buah-buahan di pasar yang ada saat ini (eksisting) yang berada di Kabupaten dan Kota Bogor.

3. Mengkaji penentuan lokasi optimal pasar induk.

4. Melihat keterkaitan perkembangan wilayah dengan alternatif lokasi optimal pasar induk Kabupaten Bogor.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam penentuan lokasi pasar induk.

2. Sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan pengembangan dan pembangunan wilayah, terutama yang berhubungan dengan penentuan lokasi suatu aktivitas.

1.5. Kerangka Pemikiran

(25)

keterkaitan antara alternatif lokasi optimal pasar induk Kabupaten Bogor dengan perkembangan wilayah. Secara garis besar kerangka alur pikir penentuan lokasi pasar induk Kabupaten Bogor berdasarkan aksesibilitas dan perkembangan wilayah dapat terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Data Primer dan Sekunder

Perkembangan Wilayah

Asal Sayuran dan Buah-buahan di Pasar Eksisting

Diperlukan Pasar Induk?

Stop

Penentuan Lokasi Pasar Induk

P-Median

Lokasi Pasar Induk yang Optimal

Tidak

(26)

7

   

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

Wilayah menurut UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan menurut Rustiadi et al., (2008), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan dengan batas-batas yang spesifik (tertentu), dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat memiliki arti, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Sehingga istilah wilayah lebih menekankan pada interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah (1) wilayah homogen

(uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/

pengelolaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artificial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim, dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia.

(27)

   

pusat-pusat pelayanan/permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang (periphery/hinterland) yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional Rustiadi et al., (2008). Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman), (2) pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri, (3) pusat pelayanan terhadap daerah

hinterland, (4) lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai : (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku, (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi, (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma, (4) penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis. Secara filosofis suatu batas wilayah nodal memotong suatu daerah pada suatu garis yang memisahkan dua daerah karena memiliki orientasi terhadap pusat pelayanan yang berbeda. Dengan demikian batas fisik dari setiap daerah pelayanan bersifat sangat baur dan dinamis. Disamping itu, batas wilayah nodal sangat dipengaruhi oleh perkembangan sistem transportasi sebab kemampuan suatu pusat wilayah melayani hinterland-nya sangat ditentukan oleh sistem transportasi yang ada.

Konsep wilayah berikutnya adalah wilayah perencanaan/pengelolaan, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun artificial dimana keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral. Sebagai contoh, secara alamiah suatu daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matrik dasar kesatuan hidrologis yang perlu direncanakan secara integral. Sedangkan secara artificial wilayah Jabotabek yang mempunyai keterkaitan faktor-faktor sosial ekonomi yang cukup signifikan juga perlu direncanakan secara integral. Namun cara klasifikasi konsep wilayah seperti tersebut di atas ternyata kurang mampu menjelaskan kompleksitas atau keragaman konsep-konsep wilayah yang ada.

(28)

9

   

tipe/jenis wilayahnya. Menurut Tukiyat (2002) dalam Mirza (2006), secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam suatu Negara, yaitu: (1) wilayah yang telah maju, (2) wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, (3) wilayah sedang, yang dicirikan adanya pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik, (4) wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju, yang dicirikan adanya tingkat pertumbuhan yang jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pengembangan, dan (5) wilayah tidak berkembang. Salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah, sehingga konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhaan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah.

2.2. Hirarki Pusat Aktivitas

Distribusi spasial dari berbagai aktivitas dengan treshold yang berbeda akan mengarah pada tumbuhnya berbagai tingkatan lokasi pusat pelayanan, dan selanjutnya distribusi pusat-pusat ini akan membentuk pola spasial sistem lokasi pusat-pusat pelayanan. Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan aspek lokasi dalam suatu ruang sudah mulai dipelajari sejak era Von Thunen yang menjelaskan tentang pola spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von Thunen yang menjelaskan tentang pola spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von Thunen berangkat dari suatu pemikiran sederhana, bahwa pola penggunaan lahan dalam suatu ruang merupakan fungsi dari perbedaan harga produk pertanian yang dihasilkan dan perbedaan biaya produksinya, dimana jarak dari pusat pasar merupakan faktor penentu besarnya biaya produksi. Pemikiran ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa: (1) biaya hanya ditentukan oleh jarak dari pasar, (2) karakteristik wilayah dianggap homogen, (3) harga di pusat pasar ditentukan oleh mekanisme supply dan demand yang normal, (4) tidak ada halangan untuk melakukan perdagangan (no barrier to trade) seperti biaya tarif, kebijakan harga,

labor immobility, dan tidak dapat menggambarkan dengan cukup baik aktivitas ekonomi riil yang terjadi.

(29)

   

economic of scale (biaya per satuan input menjadi lebih murah apabila skala aktivitasnya menjadi lebih besar) dan economic of scope (nilai tambah akan meningkat apabila berbagai aktivitas ekonomi yang berbeda digabungkan).

Rustiadi et al., (2008) menyatakan bahwa timbulnya hirarki pusat-pusat pelayanan disebabkan oleh sarana dan prasarana penunjang tidak menyebar secara merata di dalam suatu sistem ruang, tetapi penyebarannya tergantung pada permintaan, sedangkan permintaan sangat tergantung pada konsentrasi penduduk.

Dalam perencanaan tata ruang hirarki ditentukan dengan teknik skalogram. Oleh karena itu dalam penyusunan suatu hirarki dapat ditentukan jumlah jenis sarana. Hirarki dari pusat pelayanan yang lebih tinggi memiliki sarana pelayanan yang lebih banyak dan lebih beragam dari pusat pelayanan yang berhirarki lebih rendah. Hirarki ini tidak selalu sama dengan hirarki administratif. Adanya hirarki secara teoritis mencerminkan adanya perbedaan massa, dimana hirarki yang lebih tinggi mempunyai massa yang lebih besar daripada yang berhirarki lebih rendah. Oleh karena itu dalam hal alokasi sarana-sarana wilayah menimbulkan perbedaan pendapat apakah harus mendahulukan supply atau

demand.

2.3. Teori Lokasi

Menurut Gunawan (1977) tempat berlangsungnya suatu kegiatan disebut lokasi. Lokasi merupakan tempat yang dapat dikenali dan dibatasi dimana suatu kegiatan berlangsung atau dapat juga merupakan suatu tempat dimana suatu objek terletak. Pemikiran tentang penentuan lokasi objek-objek maupun tempat-tempat kegiatan berlangsung dimaksudkan untuk mencapai efisiensi dan optimasi (Harahap, 1999).

(30)

11

   

Menurut Tarigan (2005) dalam mempelajari lokasi berbagai kegiatan, terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang dianalisis datar dan kondisinya sama di semua arah. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana manusia mengatur kegiatannya dalam ruang, baru kemudian asumsi ini dilonggarkan secara bertahap sehingga ditemukan kondisi dalam dunia nyata. Dalam dunia nyata, kondisi dan potensi setiap wilayah adalah berbeda. Dampaknya menjadi lebih mudah dianalisis karena telah diketahui tingkah laku manusia dalam kondisi potensi ruang adalah sama. Salah satu unsur ruang adalah jarak. Jarak menciptakan “gangguan” ketika manusia berhubungan/bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Jarak menciptakan gangguan karena dibutuhkan waktu, tenaga dan biaya untuk mencapai lokasi yang satu dari lokasi lainnya. Selain itu jarak juga menciptakan gangguan informasi,sehingga makin jauh dari suatu lokasi makin kurang diketahui potensi/karakter yang terdapat pada lokasi tersebut. Makin jauh jarak yang ditempuh, makin menurun minat orang untuk bepergian dengan asumsi faktor lain semuanya sama.

Terkait dengan lokasi, salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya. Tingkat aksesibilitas antara lain dipengaruhi jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tesebut. Di sisi lain, berbagai hal yang disebutkan di atas sangat terkait dengan aktivitas ekonomi yang terjalin antara dua lokasi. Artinya, frekuensi perhubungan sangat terkait dengan potensi ekonomi dari dua lokasi yang dihubungkannya. Dengan demikian, potensi mempengaruhi aksesibilitas, tetapi di sisi lain, aksesibilitas juga menaikkan potensi suatu wilayah.

(31)

   

2.3.1. Masalah Lokasi

Menurut Rushton (1973) dalam banyak kasus, kasus lokasi merupakan salah satu variabel yang hampir selalu diabaikan. Padahal di dalam penetapan lokasi yang tepat dari suatu jenis kegiatan/aktivitas, pada dasarnya hendaknya tidak hanya sekedar menerapkan aktivitas/kegiatan tersebut sebagaimana adanya melainkan harus dibuat suatu putusan yang rasional bagaimana dan mengapa aktivitas/kegiatan tersebut berada di suatu tempat.

Rushton (1973) menyebutkan bahwa dalam rangka penetapan lokasi suatu aktivitas agar optimum harus dilihat dari dua segi kepentingan yang berlainan, yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Untuk kepentingan pribadi, pemilihan lokasi ditentukan atas dasar perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya. Dimana keuntungan tersebut diperoleh dengan mempertimbangkan biaya transportasi yang dikeluarkan, baik untuk pengangkutan bahan baku maupun pendistribusian hasil produksi pada para produsen, dan menekan biaya operasi semurah mungkin. Untuk kepentingan umum, penentuan lokasi memperhatikan lokasi sebagai fasilitas pelayanan umum sehingga tidak mempertimbangkan keuntungan semata. Dimana penetapan lokasi suatu fasilitas umum lebih sulit dioptimumkan karena memerlukan berbagai pertimbangan sebelum diputuskan. Hasil penetapan lokasi suatu fasilitas umum biasanya merupakan kompromi dari berbagai kepentingan, rasa dan pertimbangan politis. Bahkan banyak pada lokasi fasilitas umum harus dibuat melalui proses yang berbelit-belit dengan memperhatikan prioritas sektor-sektor lainnya.

Dalam penetapan lokasi fasilitas umum juga perlu membedakan jenis pelayanan yang dapat diberikan oleh fasilitas umum tersebut ke dalam dua hal, yaitu pelayanan biasa dan pelayanan darurat. Pelayanan biasa tidak mensyaratkan ketentuan khusus dalam penetapannya. Sedangkan pelayanan darurat mensyaratkan bahwa dalam penempatannya harus memenuhi standar minimum agar dapat dijangkau secepat-cepatnya dan memerlukan fasilitas/peralatan yang memadai.

(32)

13

   

a) Belum berkembang/terbangunnya sistem transportasi sehingga pemecahan lokasi fasilitas umum sangat tergantung pada pembangunan sarana transportasi;

b) Pola integrasi lokasi sebagai fasilitas umum, yaitu berbagai fasilitas umum harus diintegrasikan sedemikian rupa sehingga pengembangan pola yang optimal suatu fasilitas umum tertentu menjadi sulit dilakukan;

c) Fungsi melayani ataukah menciptakan kebutuhan, yaitu apakah fasilitas umum yang akan ditempatkan tersebut dapat berperan melayani kebutuhan selain hanya menciptakan kebutuhan;

d) Memperbaiki kesalahan lokasi sistem kolonial. Pada masa kolonialisasi pola fasilitas umum sangat dikaitkan dengan kepentingan penjajah yang memperlihatkan tujuan dan kebutuhan penguasa semata. Keadaan ini sangat berbeda setelah negara berkembang tersebut merdeka karena tujuan pembangunan pada umumnya adalah pemerataan fasilitas umum sehingga setelah negara tersebut merdeka pola fasilitas umum akan tersebar tidak seperti pada zaman kolonial yaitu mengelompok;

e) Pemerataan tingkat kesejahteraan, penempatan suatu fasilitas umum sering dilihat sebagai salah satu alternatif pemerataan pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kondisi penduduk daerah perkotaan umumnya tersebar tidak merata dan penduduk tetap harus mendapatkan pelayanan dari fasilitas-fasilitas yang dialokasikan di tempat yang berbeda-beda. Namun yang pasti semua penduduk berhasrat sama agar lokasi fasilitas-fasilitas itu benar-benar memiliki kemudahan untuk dicapai (most accessible) untuk melakukan berbagai kegiatan penduduk (Rushton, 1973). Oleh karena itu suatu fasilitas harus berlokasi pada tempat-tempat yang memiliki kemudahan untuk dicapai.

Lokasi untuk pelayanan umum biasanya ditentukan oleh biaya yang dapat dijangkau masyarakat. Lokasi ini pun mempunyai banyak pilihan. Dari pilihan yang ada tersebut masyarakat akan memilih yang berada dalam posisi most

accessible bagi mereka. Tidak hanya pada masalah lokasi umum namun pada

(33)

   

Pengertian most accessible sendiri menurut pendapat Rushton (1973) adalah:

1. Jumlah jarak (total) semua penduduk dari fasilitas yang terdekat adalah minimum. Kriteria ini disebut juga ‘meminimalkan jarak rata-rata atau disebut dengan kriteria jarak rata-rata

2. Jarak terjauh dari penduduk ke fasilitas yang terdekat adalah minimum. Kriteria ini disebut meminimalkan jarak maksimum

3. Jumlah penduduk di sekitar masing-masing fasilitas yang terdekat kira-kira sama. Kriteria ini disebut kesamaan penetapan

4. Jumlah penduduk di sekitar fasilitas yang terdekat selalu lebih besar dari jumlah tertentu. Kriteria ini disebut kendala batas ambang

5. Jumlah penduduk di daerah sekitar fasilitas yang terdekat tidak pernah lebih besar dari jumlah tertentu. Kriteria ini disebut kendala kapasitas.

Secara umum kita dapat mendefinisikan most accessible sebagai mudah tidaknya seseorang mencapai lokasi pusat pelayanan yang terdekat dalam hal ini adalah lokasi pasar.

2.3.2. Pemilihan Metode yang Sesuai

Untuk mencari dasar pijakan yang kuat bagi pemilihan metode yang tepat perlu meninjau beberapa teori dan metode yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang seperti lokasi dan wilayah pelayanan. Dalam tinjauan ini yang dilihat adalah prinsip-prinsip dasar teori, anggapan dasar, kegunaan dan metode penerapannya.

(34)

15

   

Alfred Weber (1904-1907) mengeluarkan teori lokasi industri. Teori ini bertujuan untuk memaksimumkan biaya masukan. Kegunaannya untuk menentukan lokasi yang optimal bagi usaha industri. Anggapan dasar yang digunakan dalam teori ini adalah : a) unit analisis terisolasi, iklim homogen, konsumen terpusat pada pusat-pusat tertentu, semua unit perusahaan dapat memasuki pasar sehingga terdapat persaingan yang sempurna, b) beberapa sumberdaya alam seperti air, pasir dan tanah terdapat dimana-mana, c) bahan-bahan lainnya seperti bahan-bahan bakar, mineral adalah sporadik, tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat, d) tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang lokasinya sudah tetap dan ada yang mobilitasnya sudah tetap. (Rustiadi et al.,

2008).

Hoover (1948) menyebutkan bahwa keuntungan aglomerasi Weber tersebut terutama berkenaan dengan keuntungan lokasinya, yaitu keuntungan dari skala yang merupakan bagian eksternal pada perusahaan, namun internal pada industri. Dalam hal ini Weber hanya mempertimbangkan keuntungan dan biaya dari perusahaan yang berlokasi dekat perusahaan-perusahaan lain dalam industri yang sama akan tetapi tidak ada keuntungan dan biaya dari perusahaan yang berlokasi dekat dengan jenis aktivitas ekonomi yang berbeda. Selain itu Weber juga tidak mempertimbangkan perbedaan permintaan yang disebabkan oleh adanya distribusi penduduk, tingkat pendapatan, preferensi dan selera yang tidak merata dalam ruang. Dengan demikian pendekatan Weber hanya berdasarkan dari segi penawaran/penyediaan semata.

(35)

   

harus lokasi dimana biaya minimal atau pendapatan maksimal akan tetapi merupakan lokasi dimana perbedaan diantara keduanya adalah maksimal.

Setelah mengetahui bahwa teori lokasi dari Weber dan Losch dinilai tidak memadai dalam menjelaskan pertumbuhan perkotaan dan wilayah maka Isard pada tahun 1956 mengemukakan bahwa tiap keputusan lokasi merupakan satu penyeimbang biaya-biaya yang dihadapi dan pendapatan pada keadaan ketidakpastian yang berbeda-beda. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi besarnya biaya tersebut maka faktor jarak dan aksesibilitas merupakan faktor yang terpenting dalam konteks tata ruang. Walaupun seluruh biaya bervariasi dengan waktu dan tempat, namun biaya transportasi merupakan fungsi dari jarak. Dalam hal ini Isard menekankan bahwa keputusan lokasi dari perusahaan ditentukan oleh faktor-faktor jarak, aksesibilitas dan keuntungan aglomerasi. (Ashar, 2002).

Teori Isard mempertimbangkan faktor jarak, aksesibilitas dan aglomerasi namun penentuan titik optimal dapat berada diantara titik-titik yang dicalonkan. Sehingga muncul dalil Hakimi pada tahun 1964 yang menyebutkan ‘titik optimum dari suatu jaringan yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak-jarak terpendek dengan bobot dari semua simpul adalah titik yang berasal dari simpul pada jaringan’ (Rushton, 1979).

2.3.3. Penempatan Fasilitas Publik dan Location-allocation Models

Analisis lokasi dalam perencanaan wilayah sudah dikenal baik, salah satu alat analisis kuantitatif location-allocation modelling. Kerangka pikir yang digunakan berdasarkan pada masalah aksesibilitas dalam pengertian efesiensi dalam meningkatkan kualitas pelayanan, baik yang akan dibangun maupun yang sudah ada sebelumnya.

(36)

17

   

Location-allocation model adalah metoda untuk menentukan lokasi

optimal untuk penempatan fasilitas. Metoda ini secara simultan memilih suatu lokasi yang demands-nya terdistribusi secara spasial untuk optimasi beberapa kriteria yang secara spesifik dapat diukur. Issu utama yang muncul dari masalah lokasi adalah menentukan kriteria yang cocok dan objektif. Penentuan lokasi untuk private sector facilities biasanya didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan terukur seperti untuk meminimalkan cost atau memaksimalkan profit.

Hakimi (1964) dan Swain (1970) dalam Ashar (2002) menyebutkan bahwa salah satu dari model yang paling populer untuk masalah lokasi fasilitas publik adalah metode P-Median. Masalah lokasi dapat disederhanakan dengan menghubungkan antara lokasi fasilitas dengan lokasi demands yang dapat meminimalkan bobot total jarak tempuh atau waktu tempuh sehingga dapat membantupenggunauntuk mendapatkan fasilitas terdekat.

Anggapan dasar dari metode P-Median adalah : a) pelayanan diberikan oleh simpul-simpul pelayanan, b) heterogenitas wilayah ditunjukkan oleh adanya simpul-simpul dan panjang jarak antar simpul, dan c) biaya transportasi adalah fungsi dari bobot simpul dan jarak. Metode P-Median pertama kali dipelajari pada tahun 1964 oleh Hakimi dan kemudian pada tahun 1974 Shajamadas dan H. Benyamin Fisher menggunakan metode ini sebagai salah satu cara dalam menentukan hirarki lokasi untuk satuan wilayah perencanaan daerah pedesaan di India.

Selain itu pada tahun 1974, E. Harvey, Ming Sing Hung dan I. Randal Brown menggunakan metode ini untuk mengidentifikasi dan mengaktifkan

growth center bagi Sierra Leona (Ashar, 2002). Marianov dan Serra (2006) menggunakan metode P-Median ini untuk membangun model pembangunan suatu fasilitas darurat dan juga non darurat di Spanyol. Sedangkan Rahman dan Smith (2000) menggunakan metode P-Median untuk merencanakan pembangunan fasilitas kesehatan di negara berkembang.

(37)

   

dalam suatu area menjadi optimal. Dalam model ini, pusat pelayanan (supply center) merupakan titik yang akan ditentukan lokasinya, sedang titik permintaan (demand point) merupakan lokasi yang telah ditentukan terlebih dahulu.

Dasar dari metoda P-Median adalah teori yang dikembangkan oleh Hakimi yang menyatakan bahwa titik optimum dari suatu jaringan yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak terpendek dengan bobot dari semua simpul adalah titik yang berasal dari simpul pada jaringan (Rushton, 1979).

Rumus yang digunakan untuk menyatakan dalil tersebut adalah sebagai berikut:

Dimana:

Z = total jarak tempuh (total travel) n = jumlah simpul yang dianalisis

p = jumlah simpul yang dicalonkan sebagai pusat

aij = 1 jika simpul yang dilayani i lebih dekat ke simpul j daripada ke simpul pelayanan lainnya; jika tidak aij = 0

wij = bobot dari simpul yang dilayani (i)

dij = jarak terpendek antara simpul yang dilayani (i) ke simpul yang pelayanan (j)

Rumus tersebut dapat ditafsirkan menjadi meminimumkan total jarak tempuh dari simpul yang dilayani (i) ke simpul pelayanan (j) untuk m simpul pelayanan yang dipilih dari sejumlah n simpul untuk melayani sejumlah (n-m) simpul.

Berdasarkan perbandingan antara beberapa teori dan model tata ruang yang telah dibahas sebelumnya maka dipilih metode P-Median sebagai metode yang dianggap sesuai untuk menyelesaikan permasalahan penentuan lokasi pasar induk Kabupaten Bogor. Karena terdapat kesesuaian-kesesuaian dan pemenuhan terhadap anggapan dasar metoda P-Median, yaitu:

(38)

19

   

1. Penentuan lokasi pasar induk didasarkan atas simpul-simpul yang berada di dalam suatu jaringan yaitu jaringan jalan

2. Pelayanan diberikan oleh pasar induk.

Dalam pengoperasiannya metoda P-Median tidak berdiri sendiri, akan tetapi ditunjang oleh program komputer/software Java AppletsP-Median Solver.

Model analisis ini sejak tahun 1998 mulai diperkenalkan sebagai salah satu mata ajaran pada mata kuliah Facilities Design and Logistics oleh Professor Phill Kaminsky dari University of Berkeley, informasi lebih rinci dapat diperoleh dari

kaminsky@ieor.berkeley.edu. Software P-Median Solver ini disediakan secara gratis melalui situs internet http://www.hyuan.com/java/index.html, yang untuk mengolah datanya harus dalam keadaan on line dengan situs tersebut. Program ini dapat digunakan untuk menganalisis suatu wilayah dengan jumlah simpul yang besar sampai dengan 99 simpul.

Program tersebut digunakan untuk ketepatan penentuan jalur terpendek dan penentuan pusat-pusat yang dipilih dari sejumlah simpul tidak dapat dihitung secara manual. Karena jika jumlah node dan link mecapai puluhan bahkan ratusan akan sulit dan tidak efektif dengan perhitungan secara manual. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan mengingat banyaknya simpul yang akan dianalisis maka dipergunakan program GAMS. Kelebihan dari program GAMS adalah dapat digunakan untuk mengembangkan skenario yang dibangun dan sekaligus menguji simulasi-simulasi yang digunakan.

2.4.Pengertian Pasar Induk

Pengertian pasar secara luas adalah suatu kondisi dimana pembeli dan penjual dapat berhubungan. Dengan demikian, pasar dapat berarti secara fisik dan non fisik. Pengertian pasar secara fisik adalah suatu tempat dimana penjual dan pembeli dapat saling bertemu dan berinteraksi. (Winardi, 1992).

(39)

   

Dewasa ini, hasil produksi sayuran dan buah-buahan dipasarkan di dalam negeri maupun untuk ekspor. Sayuran dan buah-buahan yang dipasarkan di dalam negeri dapat disalurkan ke berbagai pasar seperti pasar umum, pasar swalayan, pasar khusus dan pasar induk.

Pasar induk merupakan pusat distribusi yang menampung hasil produksi petani dalam jumlah partai besar yang dibeli oleh para pedagang tingkat grosir. Komoditi pertanian tersebut kemudian dilelang atau dijual kepada para pedagang tingkat eceran untuk selanjutnya diperdagangkan di pasar-pasar eceran yang tersebar di berbagai tempat mendekati lokasi para konsumen. (Anonymous, 2008). Sedangkan menurut Anonymous (1998) pasar induk merupakan pusat penampungan dan pemasaran golongan komoditi tertentu dalam berbagai jenis. Biasanya dijual dalam skala tertentu pula. Di pasar ini pembeli umumnya adalah pedagang pengecer atau pedagang khusus. Contoh pasar induk antara lain adalah pasar induk sayuran dan buah-buahan, pasar induk beras, dan pasar induk bunga.

(40)

21

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan September–Desember 2009 dengan

wilayah studi yang dikaji untuk lokasi optimal pasar induk adalah Kabupaten

Bogor yang terdiri atas 40 kecamatan dengan mempertimbangkan keberadaan

Kota Bogor yang terdiri atas 6 kecamatan.

3.2. Jenis Sumber Data dan Alat Penelitian

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer

berupa data asal sayuran dan buah-buahan di pasar yang ada saat ini (eksisting)

diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, dan data sekunder berupa data

produksi sayuran dan buah-buahan, data monografi Kabupaten Bogor dan Kota

Bogor, data rata-rata konsumsi sayuran dan buah-buahan, peta administrasi, peta

jaringan jalan, data jarak tempuh dan waktu tempuh antar kecamatan, serta data

pendukung lainnya. Data-data tersebut didapatkan dari Dinas Pertanian dan

Kehutanan Kabupaten Bogor, BPS Kabupaten Bogor dan BPS Kota bogor,

Bappeda kabupaten Bogor, PD. Pasar Tohaga, dan website (www.maps.

google.com).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer, alat

tulis, dan printer. Software yang digunakan terdiri dari Microsoft Excel, Microsoft

Word, Arc GIS 9.2, dan GAMS.

3.3. Metode Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data penelitian terbagi atas data sekunder, dan data primer

yang masing-masing diperoleh dari instansi pemerintah dan pengamatan langsung

di lapangan. Adapun mengenai matriks pendekatan penelitian dapat dilihat pada

Tabel 1.

(41)

Tabel 1. Matriks Pendekatan Penelitian

No Tujuan Metode

Analisis

Jenis

Data Sumber Data Keluaran 1. Mengidentifikasi

perkembangan wilayah di Kabupaten Bogor

Skalogram Sekunder BPS Kab.

(42)

23

Tabel 1. Lanjutan

No Tujuan Metode

Analisis

Jenis

Data Sumber Data Keluaran 5. Mengkaji

1. Komoditas yang dikaji dalam pengembangan pasar induk adalah sayuran dan

buah-buahan.

2. Pengertian jarak dalam studi kasus ini mengikuti pengertian lokasi relatif,

(43)

panjang jalan yang menghubungkan antar satu kecamatan dengan kecamatan

lainnya yang didapatkan dari website (www.maps.google.com).

3. Pengertian waktu dalam studi kasus ini mengikuti pengertian waktu relatif

yaitu waktu tempuh yang berkenaan satu posisi menuju posisi lainnya dengan

menggunakan kendaraan bermotor roda empat, yang didapatkan dari website

(www.maps.google.com).

4. Aspek masyarakat dan kelembagaan tidak menjadi pembahasan dalam

penelitian ini karena diasumsikan masyarakat mendukung adanya

pembangunan pasar induk di Kabupaten Bogor.

3.5. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

skalogram, analisis deskriptif dan analisis P-Median. Analsisi skalogram

digunakan untuk melihat tingkat perkembangan wilayah, analisis deskriptif

digunakan untuk mengetahui aliran sayuran dan buah-buahan di pasar yang ada

saat ini, dan analisis P-Median digunakan untuk penentuan lokasi optimal pasar

induk.

3.5.1. Skalogram

Analisis skalogram digunakan untuk untuk menentukan hirarki wilayah

dalam mendukung penentuan lokasi pasar induk yang optimal. Dalam metode

skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap kecamatan didata dan

disusun dalam satu tabel seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Contoh Tabulasi Data Fasilititas Umum

Metode skalogram bisa digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang

dimiliki oleh setiap kecamatan, atau menuliskan ada tidaknya fasilitas tersebut di

suatu kecamatan tanpa memperhatikan jumlah atau kuantitasnya. Dengan metode

Kec Populasi Mushola SD SMP SMA Puskesmas Bank Jumlah

Jenis

(44)

25

ini akan diidentifikasi jenis, jumlah, dan karakteristik infrastruktur yang

diperlukan sebagai fasilitas yang akan mendukung perkembangan perekonomian

di suatu kecamatan.

Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah :

1. Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas dalam

unit-unit kecamatan. Data fasilitas yang merata dijumpai di seluruh

kecamatan diletakkan pada tabel dengan urutan paling kiri dan seterusnya,

fasilitas yang paling jarang penyebarannya diletakkan di kolom paling

kanan. Angka yang dituliskan adalah jumlah fasilitas yang dimiliki setiap

unit kecamatan.

2. Menyusun wilayah kecamatan sedemikian rupa, kecamatan yang

mempunyai ketersediaan fasilitas paling lengkap diletakkan di susunan

paling atas, sedangkan kecamatan dengan ketersediaan fasilitas paling tidak

lengkap diletakkan di susunan paling bawah

3. Menjumlahkan seluruh fasilitas sosial secara horizontal, baik jumlah jenis

fasilitas maupun jumlah unit fasilitas di setiap kecamatan

4. Menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal, sehingga

diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh kecamatan.

5. Dari hasil penjumlahan diperoleh urutan, posisi teratas merupakan

kecamatan yang mempunyai fasilitas terlengkap, sedangkan posisi terbawah

merupakan kecamatan dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap.

6. Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua kecamatan

dengan jumlah jenis dan jumlah unit fasilitas yang persis sama, maka

pertimbangan ketiga adalah jumlah penduduk. Kecamatan dengan jumlah

penduduk lebih tinggi diletakkan pada posisi di atas.

Metode lain yang merupakan modifikasi dari metode skalogram adalah

penentuan indeks sentralitas dengan berdasarkan jumlah penduduk dan jenis

fasilitas pelayanan. Secara teoritik, hirarki kecamatan ditentukan oleh tingkat

kapasitas pelayanan kecamatan secara totalitas yang tidak terbatas yang

ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur fisiknya saja, tetapi juga kapasitas

kelembagaan, sumberdaya manusia, serta kapasitas perekonomiannya. Model

(45)

dimana

IPj : Indeks perkembangan kecamatan ke j

Iij : Nilai indikator perkembangan ke i indikator ke j

Iij : Nilai indikator perkembangan indikator ke i kecamatan ke j terkoreksi /

terstandarisasi

Iimin : Nilai indikator perkembangan ke i terkecil

SDi : Standar deviasi indeks perkembangan indikator ke i

i : Indikator yang dianalisis

j : Kecamatan yang dianalisis

Nilai ini akan digunakan untuk mengelompokkan kecamatan dalam

kelas-kelas yang dibutuhkan atau hirarki kecamatan. Diasumsikan bahwa

kelompok yang diperoleh berjumlah 3, yaitu kelompok I dengan tingkat

perkembangan tinggi, kelompok II dengan tingkat perkembangan sedang, dan

kelompok III dengan tingkat perkembangan rendah. Selanjutnya ditetapkan suatu

konsensus, misalnya jika nilainya adalah lebih besar atau sama dengan 2x standar

deviasi + nilai rata-rata, maka dikategorikan tingkat perkembangan tinggi,

kemudian jika antara nilai rata-rata sampai 2x standar deviasi+nilai rata-rata maka

termasuk tingkat pertumbuhan sedang, dan jika nilai ini kurang dari nilai rata-rata,

maka termasuk dalam nilai pertumbuhan rendah. Secara matematis kelompok

tersebut adalah:

Hirarki I ≥X + 2 Stdev (Tingkat Perkembangan Tinggi)

X + 2 STdev > Hirarki II ≥ X (Tingkat Perkembangan Sedang)

Hirarki III < X (Tingkat Perkembangan Rendah)

Ada beberapa kelemahan yang mungkin dijumpai dalam penggunaan

analisis skalogram pada penggunaan data riil. Pertama, pada umumnya

batas-batas wilayah nodal tidak tepat berimpitan dengan wilayah administrasi, sehingga

data-data yang digunakan dalam analisis perencanaan sering bersifat

kompromistis. Kedua, kenyataan yang ditemukan adalah batas-batas wilayah ……… …. (3-1)

(46)

27

nodal tersebut mudah sekali berubah, terutama berkaitan dengan perubahan sistem

transportasi (Rustiadi et al., 2008).

3.5.2. Spatial Interaction Analysis The Location-allocation Model

Spatial Interaction Analysis dengan menggunakan metoda The

Location-allocation Model merupakan salah satu pendekatan dari model-model optimasi

dalam penentuan lokasi suatu aktifitas yang dapat meminimumkan biaya, jarak,

waktu, dan faktor kendala lainnya. Location-allocation model adalah metoda

untuk menentukan lokasi optimal untuk penempatan fasilitas. Metoda ini secara

simultan memilih suatu lokasi yang demands-nya terdistribusi secara spasial

untuk optimasi beberapa kriteria yang secara spesifik dapat diukur. Isu utama

yang muncul dari masalah lokasi adalah menentukan kriteria yang cocok dan

objektif. Penentuan lokasi untuk private sector facilities biasanya didasarkan pada

pertimbangan yang objektif dan terukur seperti untuk meminimalkan cost atau

memaksimalkan profit.

Hakimi (1964) dan Swain (1970) dalam Ashar (2002) menyebutkan

bahwa salah satu dari model yang paling populer untuk masalah lokasi fasilitas

publik adalah metode P-Median. Masalah lokasi dapat disederhanakan dengan

menghubungkan antara lokasi fasilitas dengan lokasi demands yang dapat

meminimalkan bobot total jarak tempuh atau waktu tempuh sehingga dapat

membantupenggunauntuk mendapatkan fasilitas terdekat.

Variabel-variabel yang diperlukan dalam aplikasi metode terpilih ini

meliputi:

1. Variabel jumlah simpul

2. Variabel jumlah hubungan antar simpul

3. Variabel jarak antar simpul, dan

4. Variabel bobot masing-masing simpul

Variabel jarak antar simpul dapat berupa jarak fisik jaringan jalan, biaya

atau waktu yang diperlukan dalam perjalanan dari simpul awal ke simpul tujuan.

Jarak yang dibutuhkan dalam pehitungan ini ialah jarak terpendek dan waktu

tempuh tercepat dari setiap calon pusat ke simpul-simpul lainnya. Jarak antar

simpul yang diukur berarti jarak yang saling berdekatan langsung antar simpul

(47)

tempuh, waktu tempuh yang diukur adalah waktu tempuh tercepat antar simpul.

Efisiensi ini dikembangkan oleh Djikistra (1959) dalam Ashar (2002).

Pengertian bobot merupakan suatu karakteristik yang dimiliki oleh suatu

simpul yang membedakan dengan simpul lainnya, misalnya jumlah penduduk,

luas bangunan, tingkat pendapatan perkapita, sehingga makin signifikan bobot

tersebut, maka simpul tersebut semakin besar memberikan kontribusi terhadap

penentuan lokasi di dalam sistem secara keseluruhan. Penetapan suatu bobot

identik dengan kriteria yang terutama terhadap penentuan lokasi suatu fasilitas.

Sehingga untuk menetapkan suatu bobot seharusnya mengetahui indikator yang

mempengaruhi kebutuhan penempatan suatu fasilitas.

Banardi dan Fisher (1973) dalam Ashar (2002) menyebutkan bahwa

penentuan bobot dan jarak tergantung pada tiga hal, yaitu a) masalah yang

diselidiki, b) ketersediaan data, dan c) pertimbangan lainnya yang berhubungan

dengan masalah yang diselidiki. Bobot simpul hendaknya mencerminkan jumlah

penerima pelayanan (number of service recipients).

Dalam pengoperasiannya metoda P-Median tidak berdiri sendiri,

melainkan ditunjang oleh program komputer/software Java Applets P-Median

Solver. Software P-Median Solver ini disediakan secara gratis melalui situs

internet http://www.hyuan.com/java/index.html, yang untuk mengolah datanya

harus dalam keadaan on line dengan situs tersebut. Program tersebut digunakan

untuk ketepatan penentuan jalur terpendek dan penentuan pusat-pusat yang dipilih

dari sejumlah simpul tidak dapat dihitung secara manual. Karena jika jumlah node

dan link mecapai puluhan bahkan ratusan akan sulit dan tidak efektif dengan

perhitungan secara manual.

Berdasarkan pertimbangan tersebut dan mengingat banyaknya simpul

yang akan dianalisis maka dipergunakan program GAMS. Kelebihan dari program

GAMS adalah dapat dikembangkan skenario yang dibangun dan sekaligus

menguji simulasi-simulasi yang digunakan.

3.5.2.1. Model Optimasi (Penerapan GAMS)

Model GAMS (General Algebraic Modeling System) digunakan dalam

penelitian ini untuk mendapatkan lokasi optimal pasar induk dengan menerapkan

(48)

29

cara pengolahan data agar dapat dilakukan secara off line, sekaligus menguji

simulasi-simulasi yang digunakan.

Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam aplikasi metode P-Median

yang ditunjang program GAMS adalah sebagai berikut:

1. Simpul yang dicalonkan sebagai pusat pelayanan berasal dari simpul yang

berada dalam jaringan

2. Jaringan jalan mempunyai kesamaan kualitas

3. Simpul penolong yang dipakai sebagai upaya untuk memudahkan

perhitungan jarak antar simpul tidak dapat dicalonkan sebagai pusat

pelayanan

4. Untuk setiap kecamatan hanya diwakili oleh 1 simpul

5. Letak simpul ditentukan berdasarkan pertimbangan lokasi pusat (centroid)

kecamatan.

6. Kecamatan dianggap tidak mengalami pemekaran

7. Bobot simpul hendaknya mencerminkan jumlah penerima pelayanan.

Terdapat beberapa istilah dalam teknik optimasi, yaitu optimasi,

programming dan economization. Inti dari ketiganya sama, yaitu memaksimalkan

atau meminimumkan (mengoptimalkan) suatu fungsi, baik yang terkendala

maupun yang tanpa kendala. Istilah umum dalam pemograman ini yaitu : (1)

perumusan peubah keputusan (decision variables), (2) perumusan fungsi tujuan

(objective function), (3) perumusan fungsi-fungsi kendala (constraint function),

dan (4) perumusan metode estimasi parameter-parameter fungsi tujuan dan

fungsi-fungsi kendala. Fungsi tujuan adalah fungsi yang akan dioptimalkan.

Fungsi kendala adalah fungsi-fungsi yang merupakan kendala fungsi yang akan

dioptimasikan, dan peubah keputusan adalah peubah-peubah yang akan dicari

nilai optimumnya (maksimum atau minimum).

Secara matematis, mengoptimalkan suatu fungsi harus memenuhi

syarat-syarat tertentu. Berikut ini adalah beberapa bentuk optimasi yang didasarkan oleh

jenis fungsi tujuan dan fungsi kendalanya.

1. Fungsi Tanpa Kendala

Misalkan fungsi yang akan dioptimalkan, disebut fungsi tujuan, adalah F(x).

(49)

yaitu bahwa turunan pertama fungsi tersebut sama dengan nol (∂f(x) / ∂x = 0) dan

turunan kedua fungsi tersebut lebih kecil dari nol ((∂2f(x) / ∂2x<0). Dengan

menyelesaikan persamaan sesuai dengan persyaratannya akan didapat nilai

peubah keputusan (x) yang optimum.

2. Fungsi dengan Kendala

Misalkan fungsi yang akan dioptimalkan (fungsi tujuan) adalah F(x) dan

merupakan fungsi non linier. Jika kendala berbentuk suatu fungsi kendala g(x)

merupakan suatu pertidaksamaan dan nilai-nilai x adalah bukan nilai negatif,

maka optimasi fungsi tersebut disebut non linier programming. Jika F(x)

merupakan suatu fungsi linier, maka optimasi fungsi tersebut disebut Linier

Programming. Jika fungsi kendala g(x) bernilai sama dengan konstanta tertentu

(suatu persamaan) maka optimasi fungsi disebut Classical Programming. Secara

notasi matematis, masing-masing bentuk optimasi fungsi adalah sebagai berikut:

a. Non Linier Programming:

Fungsi tujuan F(x); suatu fungsi non linier

Fungsi kendala : g(x)≤c; c= konstanta x≥0

b. Linier Programming :

Fungsi tujuan F(x); suatu fungsi linier Fungsi kendala : g(x) ≤c; c= konstanta x≥0

c. Classical Programming :

Fungsi tujuan F(x) ; fungsi non linier atau linier

Fungsi kendala : g(x) =c; c= konstanta x≥0

Untuk menyelesaikan permasalahan optimasi ini digunakan persamaan

Langrangian (α), yaitu:

α = F(x) + λ(c – g(x))

Untuk Clasical Programming, penyelesaian optimasi memiliki syarat

bahwa turunan fungsi langrangian terhadap peubah keputusan (x) maupun λ

adalah sama dengan nol. Secara matematis adalah sebagai berikut:

• α / ∂x = 0 dan ∂α / αλ = 0

• sehingga F’(x) – λg’(x) = 0 dan c – g(x) = 0

(50)

31

• Dengan F’(x) = ∂F(x) / ∂x dan g’(x) = ∂g(x) / ∂x, maka hasil substitusi menghasilkan bahwa λ= ∂F(x) / ∂ g(x) atau λ = ∂F(x)/∂c

• Dengan menyelesaikan sistem persamaan yang ada, maka akan diperoleh nilai x yang optimum (peubah keputusan).

Dari hasil penyelesaian ini, selain diperoleh nilai peubah-peubah

keputusan juga diperoleh nilai λ. Nilai λ ini disebut Shadow Price, dan sesuai

dengan definisi matematisnya maka Shadow Price berarti perubahan nilai fungsi

tujuan (F(x)) saat fungsi/nilai kendala berubah satu-satuan.

Untuk non linier maupun linier programming, dimana fungsi kendala

adalah suatu pertidaksamaan, maka:

• (∂α/∂x) x = 0 dan (∂α/αλ) λ = 0

• Karena X ≥ 0 maka (∂α/∂x) x = 0 memiliki dua kemungkinan, yaitu:

o Saat x = 0 (tidak ada peubah keputusan = tidak ada aktivitas) maka ∂α / ∂x ≠ 0, dimulai kondisi seperti ini tidak atau kurang feasible.

o Saat x > 0 (ada aktivitas) maka ∂α/∂x = 0, sehingga penyelesaiannya akan sama dengan classical programming.

o Jika nilai ∂α/∂λ = 0 dan λ > 0 berarti bahwa perubahan fungsi kendala berpengaruh positif terhadap nilai fungsi tujuan. Jika ∂α/∂λ≠ 0 maka λ =

0, artinya bahwa perubahan kendala tidak mempengaruhi nilai fungsi

tujuan. Kondisi yang kedua ini biasanya terjadi pada sumberdaya yang

berlimpah.

Dalam pengembangan model optimasi ada beberapa tahapan pokok yang

dilalui, antara lain : 1). Perumusan peubah keputusan, 2). Perumusan fungsi

tujuan, 3). Perumusan fungsi kendala, dan 4) Perumusan metode estimasi

parameter-parameter fungsi tujuan dan fungsi-fungsi kendala.

3.5.2.1.1. Peubah Keputusan

Peubah keputusan pada model optimasi dalam penelitian ini secara

matematis dirumuskan sebagai berikut:

Fij = Jumlah fasilitas dalam hal ini adalah pasar induk yang akan

Gambar

Tabel 1. Lanjutan
Gambar 2.  Wilayah Administrasi Kabupaten Bogor
Gambar 4. Jumlah Penduduk yang Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenjang Pendidikan
Tabel 5. PDRB Kabupaten Bogor Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2003-2007 (Juta Rupiah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi hirarki pusat-pusat aktivitas &amp; keberadaan kota kecil dan menengah yang dapat menunjang pembangunan wilayah di

Berdasarkan bobot jumlah penduduk dan bobot sama pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi

Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Migrasi di Kabupaten Bogor Tatan

Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Migrasi di Kabupaten Bogor Tatan

mengadopsi konsep yang telah diterapkan dalam penataan di Kabupaten Gowa terkhusus pasar yang berada di Kecamatan Somba Opu belum optimal, lokasi pendirian

Faktor-faktor yang mempengaruhi pasar kubis dalam jangka pendek antara Kabupaten Karo dengan Pasar Induk Medan tidak terpadu adalah adalah struktur pasar yang tidak sempurna,

Analisis Regresi Integrasi Pasar antara Kabupaten Karo Dengan Pasar Induk Medan..

Pengaruh Keberagaman Produk Terhadap Minat Beli di Pasar Induk Wonosobo Berdasarkan hasil penelitian yang menguji pengaruh keberagaman produk terhadap minat beli menunjukkan hasil