HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN,
BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP
(
Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence
)
ULFA HIDAYATI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
mengubur kami dengan kekuatan palsu mereka, yaitu uang”
(Itwari Devi, perempuan dari Desa Nahi-Kala, dalam Shiva dan Mies 1993)
“Perempuan mah tidak pernah berhenti bekerja, walaupun badan lagi enggak enak,
tetap saja bekerja. Kalau sudah mati, baru perempuan berhenti bekerja....”
(On dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Bogor, 2002)
“Untuk mengetahui sesuatu, seseorang harus mengubahnya”
(Mies 1991)
1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Gerakan Konservasi Perempuan Nyungcung: Hasil Interaksi antara Kemiskinan, Budaya Patriarkhi, dan Pengaruh ORNOP (Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal dari para subjek penelitian, saya sendiri, dan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Januari 2007
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence. Under the supervision of
SOERYO ADIWIBOWO, and DARMIYANTI MUCHTAR
Over the decades, people’s ability to fulfill the basic needs has been eroding with
the decline in land and other natural resources, due both to degradation and to shifts in
tenurial rights away from community hands to state and business parties hands. The
formation of community-based natural resources management (CBNRM) groups in
recent years represents various resistances to processes of privatization. While there are
many ‘success’ stories related to such groups, numerous CBNRM groups’ initiatives have
failed for a variety of reasons. In particular, a number of ground experiences shows that
those initiatives often lead to the exacerbation of inequalities within the group involved.
This condition applies with special force to the issue of gender equity. To contribute to
the understanding of the causes of success or failure for the CBNRM groups’ initiatives
and movement from feminist perspective, this research focused on the local women
peasants’ initiative in re-nurturing bare lands in Nyungcung Hamlet, Malasari Village,
Bogor District. This raises some critical questions, such as: who are the women peasant
and how they carried out their initiative? What are the factors determine their initiative?
What are the results of their initiative?
This research demonstrates that the growing initiative on the part of women -who
are mainly from social groups of landless and tenant - as they respond to ecological
distress and livelihood security, caused by PERUM PERHUTANI Unit III, and to Decree
of Forestry Minister No. 175/Kpts-II/2003 that expands the area of Gunung Halimun
National Park (from 40,000 ha to 113,357 ha, covering the Halimun and Salak mountain
ranges). Together with men peasants, they worked collectively to re-nurture the PERUM
PERHUTANI’s bare lands through a series of planting and mapping activities, currently
known in local term as Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo or, in public advocacy terms,
as
the
Kampung dengan Tujuan Konservasi
(KDTK)
movement. However, in order to
gain public support, assert elements of basic rights, and secure Nyungcung People’s
genuine benefits from the presence of the Gunung Halimun – Salak National Park and
PT. Aneka Tambang, those women peasants have not actively participated as much as
before. In these further activities, men peasants take a lead. This current performance of
local conservation movement is becoming a masculine pattern.
HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN,
BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP
(
Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence
)
ULFA HIDAYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Sosiologi Pedesaan,
Departemen Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : A152040061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Dra. Darmiyanti Muchtar M.Phil Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
dua kepentingan: ekonomi dan konservasi yang dalam pengejawantahannya sangat sering tidak selaras. Mengapa demikian? Dalam proses pembangunan, kehilangan kekayaan alam dan kerusakan lingkungan hidup yang terus melaju dinilai sebagai suatu konsekuensi. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2000 menggambarkan bahwa ekspansi puluhan ribu industri ke desa-desa telah menyebabkan belasan ribu desa mengalami ganggungan lingkungan dan menyingkirkan rakyatnya dari sumberdaya dan hasil produksi lokal mereka. Tanpa ada pilihan lain, mereka terpaksa harus menjemput resiko sosial, menjadi kaum pengungsi, di kota-kota besar. Kehidupan di kota-kota besar tersebut ternyata hanya mempertajam proses dehumanisasi yang mereka alami. Apakah ada upaya pemecahan? Bagaimana dengan konservasi? Suatu fakta yang belum terbantahkan bahwa konservasi masih merupakan upaya eksklusif dan setengah hati untuk ‘melindungi dan melestarikan’ sebagian komponen dari ekosistem: flora, fauna beserta habitatnya. Komponen manusia masih dinilai sebagai ancaman bahkan di beberapa kawasan konservasi dianggap sebagai perusak ekosistem. Dihadapkan dengan kepentingan ekonomi, konservasi tidak berdaya untuk bernegosiasi. Diantara ekonomi dan konservasi itu, rakyat yang bermukim di sekitar dan atau di dalam kawasan yang sarat dengan kekayaan alamnya, terutama perempuan dan kelompok marjinal lainnya, merasakan wilayah hidup mereka semakin sempit.
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya karena saya mendapatkan kesempatan untuk mencoba mempelajari dan memahami situasi di atas melalui penelitian karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini, yang pelaksanaannya mulai sejak Mei sampai Agustus kemudian dilanjutkan kembali pada Nopember 2006, adalah gerakan konservasi lokal berbasis perempuan.
Karya ilmiah ini dapat dihadirkan karena interaksi saya dengan berbagai pihak penting di bawah ini. Untuk itu, saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada mereka:
• Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, dan Ibu Dra. Darmiyanti Muchtar, M.Phil selaku komisi pembimbing. Dengan kesabaran dan arahan dari Beliau berdua saya berusaha untuk menyampaikan dan menganalisa temuan dari penelitian ini mendekati suatu hasil yang lengkap;
• Ibu Ir. Melani A. Sunito, MSc selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritikan dan asupan yang konstruktif terhadap penajaman bahasan tesis ini;
• Para subjek utama penelitian, petani dan atau buruh tani perempuan yang tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka dan Andam yang telah bersedia berbagi pendapat, harapan, dan kesulitan dalam memahami dan mengungkapkan kembali inisiatif mereka untuk memperjuangkan konservasi berbasis rakyat;
• Para subjek penelitian lainnya dari Kelompok Rimba Lestari dan pengurus KSM Nyungcung;
dokumen lainnya;
• Pengurus Harian dan semua staf RMI – the Indonesian Institute for Forest and Environment yang telah menyediakan fasilitas, bersedia berdiskusi, dan membantu selama proses pengkajian dokumen pertemuan dan fasilitasi di Malasari;
• Dewan Eksekutif dan semua staf KAPAL (Lingkar Pendidikan Alternatif) Perempuan yang telah menyediakan fasilitas, memberikan kontribusi pemikiran, dan dengan keunikan masing-masing memberikan semangat ketika saya merasa lelah berpikir selama masa perbaikan tesis.
• Ibunda Aslamiyah Arsyad tercinta. Diantara sakit dan kesendiriannya, Beliau selalu memberikan aliran doa, kasih sayang, semangat, kontribusi pemikiran, dan mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan, yang kesemuanya itu merupakan sumber semangat dan kekuatan saya melakukan penelitian dan penulisan tesis ini;
• Almarhum Ayahanda Andjera tercinta yang juga merupakan sumber kekuatan saya untuk selalu memberikan perhatian penting pada setiap pengetahuan dan pengalaman, terutama dari pihak-pihak yang terzolimi;
• Adinda Ahmad Taufik dan Dian Angraini, yang walaupun jauh, tetap memberikan doa dan semangat kepada saya;
• Bibi (Tante Aina dan Bik Cik), Paman (Jujuk Ilman dan Om Kir), dan Saudara-saudara saya yang lain, yang juga memberikan doa dan mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan selama penelitian, penulisan dan perbaikan tesis ini;
• Para dosen dan staf TU di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) yang selama perkuliahan dan pengurusan administrasi penelitian, seminar, ujian, dan perbaikan tesis membantu saya melalui semua proses dengan baik.
• Lembaga WWF USA yang telah mempercayakan sebagian dananya untuk saya akses dalam rangka melanjutkan pendidikan formal di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB.
• Kawan-kawan kos di KPP IPB C-22, terutama Diana dan Eka, yang selalu memberikan semangat kepada saya selama penulisan dan perbaikan tesis.
• Kawan-kawan di SPD, terutama Kak Roosganda, Sindu, Anton, dan Rais. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kawan-kawan petani dan atau buruh tani yang tergabung dalam KSM Nyungcung, terutama anggota perempuannya dari Kelompok Cepak Nangka, Andam, dan Anggek, Pemerintah Desa Malasari yang baru terpilih, RMI selaku ORNOP yang masih memfasilitasi proses penyelesaian konflik di Malasari, saya sendiri, dan pihak-pihak lain yang berminat untuk bersama-sama kita semua mampu melakukan penguatan terhadap apa yang kita perjuangkan.
Bogor, Januari 2007
pertama dari dua bersaudara dari Ayahanda Andjera (almarhum) dan Ibunda Aslamiyah Arsyad. Kedua orang tua saya berasal dari keluarga petani kebun – sawah di Sumatera Selatan. Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1990, dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2004, dengan dukungan beasiswa dari WWF USA saya melanjutkan pendidikan strata S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB.
Halaman
DAFTAR TABEL ………..…...…. x
DAFTAR LAMPIRAN ………..…….... xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... ………..…...… 1
Perumusan Masalah ... 11
Tujuan Penelitian ... 11
Manfaat Penelitian ... 12
Batasan Terma yang Digunakan ... 12
Sistematika Penulisan Tesis ... 18
Catatan Kaki ... 22
KERANGKA PEMIKIRAN Pembangunanisme dan Feminisasi Kemiskinan ... 24
Budaya Patriarkhi dan Partisipasi Politis Perempuan ... 32
Intervensi Gerakan Lingkungan dan Tumbuhnya Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan ... 41
Catatan Kaki ... 50
METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Feminis ... 51
Pendekatan dan Metode Penelitian ... 55
Keterbatasan Penelitian ... 60
Catatan Kaki ... 61
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN Letak dan Posisi Desa Malasari ... 62
Sejarah Desa Malasari ... 65
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Malasari ... 68
Kondisi dan Situasi Perempuan Malasari – Nyungcung ... 73
Profil Subjek Penelitian ... 86
Catatan Kaki ... 97
TUMBUHNYA GERAKAN KONSERVASI LOKAL BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG Politik Perlawanan Rakyat Malasari: Sebuah Konteks ... 99
Feminisasi Kemiskinan dalam Konteks Perlawanan Rakyat ... 104
Budaya Patriarki: Faktor Penentu Tingkat Militansi Perempuan ... 110
Intervensi ORNOP dengan Komunitas Malasari-Nyungcung dalam Konflik Tenurial ... 113
Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain ... 126
HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN,
BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP
(
Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence
)
ULFA HIDAYATI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
mengubur kami dengan kekuatan palsu mereka, yaitu uang”
(Itwari Devi, perempuan dari Desa Nahi-Kala, dalam Shiva dan Mies 1993)
“Perempuan mah tidak pernah berhenti bekerja, walaupun badan lagi enggak enak,
tetap saja bekerja. Kalau sudah mati, baru perempuan berhenti bekerja....”
(On dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Bogor, 2002)
“Untuk mengetahui sesuatu, seseorang harus mengubahnya”
(Mies 1991)
1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Gerakan Konservasi Perempuan Nyungcung: Hasil Interaksi antara Kemiskinan, Budaya Patriarkhi, dan Pengaruh ORNOP (Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal dari para subjek penelitian, saya sendiri, dan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Januari 2007
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence. Under the supervision of
SOERYO ADIWIBOWO, and DARMIYANTI MUCHTAR
Over the decades, people’s ability to fulfill the basic needs has been eroding with
the decline in land and other natural resources, due both to degradation and to shifts in
tenurial rights away from community hands to state and business parties hands. The
formation of community-based natural resources management (CBNRM) groups in
recent years represents various resistances to processes of privatization. While there are
many ‘success’ stories related to such groups, numerous CBNRM groups’ initiatives have
failed for a variety of reasons. In particular, a number of ground experiences shows that
those initiatives often lead to the exacerbation of inequalities within the group involved.
This condition applies with special force to the issue of gender equity. To contribute to
the understanding of the causes of success or failure for the CBNRM groups’ initiatives
and movement from feminist perspective, this research focused on the local women
peasants’ initiative in re-nurturing bare lands in Nyungcung Hamlet, Malasari Village,
Bogor District. This raises some critical questions, such as: who are the women peasant
and how they carried out their initiative? What are the factors determine their initiative?
What are the results of their initiative?
This research demonstrates that the growing initiative on the part of women -who
are mainly from social groups of landless and tenant - as they respond to ecological
distress and livelihood security, caused by PERUM PERHUTANI Unit III, and to Decree
of Forestry Minister No. 175/Kpts-II/2003 that expands the area of Gunung Halimun
National Park (from 40,000 ha to 113,357 ha, covering the Halimun and Salak mountain
ranges). Together with men peasants, they worked collectively to re-nurture the PERUM
PERHUTANI’s bare lands through a series of planting and mapping activities, currently
known in local term as Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo or, in public advocacy terms,
as
the
Kampung dengan Tujuan Konservasi
(KDTK)
movement. However, in order to
gain public support, assert elements of basic rights, and secure Nyungcung People’s
genuine benefits from the presence of the Gunung Halimun – Salak National Park and
PT. Aneka Tambang, those women peasants have not actively participated as much as
before. In these further activities, men peasants take a lead. This current performance of
local conservation movement is becoming a masculine pattern.
HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN,
BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP
(
Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An
Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence
)
ULFA HIDAYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Sosiologi Pedesaan,
Departemen Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : A152040061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Dra. Darmiyanti Muchtar M.Phil Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
dua kepentingan: ekonomi dan konservasi yang dalam pengejawantahannya sangat sering tidak selaras. Mengapa demikian? Dalam proses pembangunan, kehilangan kekayaan alam dan kerusakan lingkungan hidup yang terus melaju dinilai sebagai suatu konsekuensi. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2000 menggambarkan bahwa ekspansi puluhan ribu industri ke desa-desa telah menyebabkan belasan ribu desa mengalami ganggungan lingkungan dan menyingkirkan rakyatnya dari sumberdaya dan hasil produksi lokal mereka. Tanpa ada pilihan lain, mereka terpaksa harus menjemput resiko sosial, menjadi kaum pengungsi, di kota-kota besar. Kehidupan di kota-kota besar tersebut ternyata hanya mempertajam proses dehumanisasi yang mereka alami. Apakah ada upaya pemecahan? Bagaimana dengan konservasi? Suatu fakta yang belum terbantahkan bahwa konservasi masih merupakan upaya eksklusif dan setengah hati untuk ‘melindungi dan melestarikan’ sebagian komponen dari ekosistem: flora, fauna beserta habitatnya. Komponen manusia masih dinilai sebagai ancaman bahkan di beberapa kawasan konservasi dianggap sebagai perusak ekosistem. Dihadapkan dengan kepentingan ekonomi, konservasi tidak berdaya untuk bernegosiasi. Diantara ekonomi dan konservasi itu, rakyat yang bermukim di sekitar dan atau di dalam kawasan yang sarat dengan kekayaan alamnya, terutama perempuan dan kelompok marjinal lainnya, merasakan wilayah hidup mereka semakin sempit.
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya karena saya mendapatkan kesempatan untuk mencoba mempelajari dan memahami situasi di atas melalui penelitian karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini, yang pelaksanaannya mulai sejak Mei sampai Agustus kemudian dilanjutkan kembali pada Nopember 2006, adalah gerakan konservasi lokal berbasis perempuan.
Karya ilmiah ini dapat dihadirkan karena interaksi saya dengan berbagai pihak penting di bawah ini. Untuk itu, saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada mereka:
• Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, dan Ibu Dra. Darmiyanti Muchtar, M.Phil selaku komisi pembimbing. Dengan kesabaran dan arahan dari Beliau berdua saya berusaha untuk menyampaikan dan menganalisa temuan dari penelitian ini mendekati suatu hasil yang lengkap;
• Ibu Ir. Melani A. Sunito, MSc selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritikan dan asupan yang konstruktif terhadap penajaman bahasan tesis ini;
• Para subjek utama penelitian, petani dan atau buruh tani perempuan yang tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka dan Andam yang telah bersedia berbagi pendapat, harapan, dan kesulitan dalam memahami dan mengungkapkan kembali inisiatif mereka untuk memperjuangkan konservasi berbasis rakyat;
• Para subjek penelitian lainnya dari Kelompok Rimba Lestari dan pengurus KSM Nyungcung;
dokumen lainnya;
• Pengurus Harian dan semua staf RMI – the Indonesian Institute for Forest and Environment yang telah menyediakan fasilitas, bersedia berdiskusi, dan membantu selama proses pengkajian dokumen pertemuan dan fasilitasi di Malasari;
• Dewan Eksekutif dan semua staf KAPAL (Lingkar Pendidikan Alternatif) Perempuan yang telah menyediakan fasilitas, memberikan kontribusi pemikiran, dan dengan keunikan masing-masing memberikan semangat ketika saya merasa lelah berpikir selama masa perbaikan tesis.
• Ibunda Aslamiyah Arsyad tercinta. Diantara sakit dan kesendiriannya, Beliau selalu memberikan aliran doa, kasih sayang, semangat, kontribusi pemikiran, dan mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan, yang kesemuanya itu merupakan sumber semangat dan kekuatan saya melakukan penelitian dan penulisan tesis ini;
• Almarhum Ayahanda Andjera tercinta yang juga merupakan sumber kekuatan saya untuk selalu memberikan perhatian penting pada setiap pengetahuan dan pengalaman, terutama dari pihak-pihak yang terzolimi;
• Adinda Ahmad Taufik dan Dian Angraini, yang walaupun jauh, tetap memberikan doa dan semangat kepada saya;
• Bibi (Tante Aina dan Bik Cik), Paman (Jujuk Ilman dan Om Kir), dan Saudara-saudara saya yang lain, yang juga memberikan doa dan mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan selama penelitian, penulisan dan perbaikan tesis ini;
• Para dosen dan staf TU di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) yang selama perkuliahan dan pengurusan administrasi penelitian, seminar, ujian, dan perbaikan tesis membantu saya melalui semua proses dengan baik.
• Lembaga WWF USA yang telah mempercayakan sebagian dananya untuk saya akses dalam rangka melanjutkan pendidikan formal di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB.
• Kawan-kawan kos di KPP IPB C-22, terutama Diana dan Eka, yang selalu memberikan semangat kepada saya selama penulisan dan perbaikan tesis.
• Kawan-kawan di SPD, terutama Kak Roosganda, Sindu, Anton, dan Rais. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kawan-kawan petani dan atau buruh tani yang tergabung dalam KSM Nyungcung, terutama anggota perempuannya dari Kelompok Cepak Nangka, Andam, dan Anggek, Pemerintah Desa Malasari yang baru terpilih, RMI selaku ORNOP yang masih memfasilitasi proses penyelesaian konflik di Malasari, saya sendiri, dan pihak-pihak lain yang berminat untuk bersama-sama kita semua mampu melakukan penguatan terhadap apa yang kita perjuangkan.
Bogor, Januari 2007
pertama dari dua bersaudara dari Ayahanda Andjera (almarhum) dan Ibunda Aslamiyah Arsyad. Kedua orang tua saya berasal dari keluarga petani kebun – sawah di Sumatera Selatan. Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1990, dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2004, dengan dukungan beasiswa dari WWF USA saya melanjutkan pendidikan strata S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB.
Halaman
DAFTAR TABEL ………..…...…. x
DAFTAR LAMPIRAN ………..…….... xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... ………..…...… 1
Perumusan Masalah ... 11
Tujuan Penelitian ... 11
Manfaat Penelitian ... 12
Batasan Terma yang Digunakan ... 12
Sistematika Penulisan Tesis ... 18
Catatan Kaki ... 22
KERANGKA PEMIKIRAN Pembangunanisme dan Feminisasi Kemiskinan ... 24
Budaya Patriarkhi dan Partisipasi Politis Perempuan ... 32
Intervensi Gerakan Lingkungan dan Tumbuhnya Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan ... 41
Catatan Kaki ... 50
METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Feminis ... 51
Pendekatan dan Metode Penelitian ... 55
Keterbatasan Penelitian ... 60
Catatan Kaki ... 61
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN Letak dan Posisi Desa Malasari ... 62
Sejarah Desa Malasari ... 65
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Malasari ... 68
Kondisi dan Situasi Perempuan Malasari – Nyungcung ... 73
Profil Subjek Penelitian ... 86
Catatan Kaki ... 97
TUMBUHNYA GERAKAN KONSERVASI LOKAL BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG Politik Perlawanan Rakyat Malasari: Sebuah Konteks ... 99
Feminisasi Kemiskinan dalam Konteks Perlawanan Rakyat ... 104
Budaya Patriarki: Faktor Penentu Tingkat Militansi Perempuan ... 110
Intervensi ORNOP dengan Komunitas Malasari-Nyungcung dalam Konflik Tenurial ... 113
Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain ... 126
AGENDA, STRATEGI, DAN KEPEMIMPINAN
GERAKAN KONSERVASI LOKAL BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG
Agenda Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan ... 139 Strategi Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan ... 142 Kepemimpinan Perempuan dalam Gerakan Konservasi Lokal
berbasis Perempuan ... 147 Intervensi ORNOP: Belum Tuntas, Belum Memandirikan Kelompok Petani Perempuan ... 159 Pembelajaran ke Depan bagi ORNOP ... 163 Catatan Kaki ... 167
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 168 Saran ... 170
Halaman
1. Populasi Penduduk Desa Malasari Tahun 2005 ... 68
2. Tata Guna Lahan di Desa Malasari
Sebelum SK MenHut No. 175/Kpts-II/2003 ... 69
3. Tingkat Pendidikan Penduduk Malasari Tahun 2005 ... 69
4. Jenis Matapencaharian Penduduk Malasari Tahun 2005 ... 70
5. Tata Guna Lahan di Kampung Nyungcung ... 71
6. Struktur Warga Kampung Nyungcung
Berdasarkan Penguasaan Lahan ... 72
7. Jenis-jenis Pekerjaan Domestik
yang Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki ... 77
8. Tahapan Pekerjaan Tani antara Perempuan dan Laki-laki ... 77
9. Pekerjaan dengan Imbalan (Padi, Ternak, atau Uang)
yang Biasa Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki ... 78
10. Sebaran Posisi Subjek Penelitian
dalam Kelompok Petani Perempuan ... 86
11. Hubungan antara Tingkat Pendidikan
dengan Posisi dalam Kelompok ... 87
12. Hubungan antara Status Perkawinan dengan Tingkat Pendidikan
Subjek Penelitian dalam Kelompok ... 89
13. Hubungan antara Jumlah Anak dengan Tingkat Pendidikan
Subjek Penelitian dalam Kelompok ... 89
14. Jenis – Jenis Pekerjaan Sembilan Subjek Penelitian ... 90
15. Hubungan antara Arena Partisipasi Politik Domestik dan Publik
dengan Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian ... 92
16. Kategori Kepemilikan Tanah Subjek Penelitian ... 93
17. Profil Singkat Enam Kelompok Petani (Perempuan dan Laki-laki),
Halaman
1. Panduan Pertanyaan Wawancara ... 183
2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 175/Kpts-II/2003 ... 184
3. Profil Organisasi RMI – the Indonesian Institute for Forest
and Environment ... 186
4. Profil Subjek Penelitian: Pengurus dan Anggota Kelompok
Cepak Nangka dan Andam ... 189
5. Letak Kampung Nyungcung ... 192
6. Peta Tata Ruang Wilayah Nyungcung, Desa Malasari
1. Latar Belakang
1.1. Latar Belakang Umum
Meskipun telah 60 tahun merdeka, sebagian besar rakyat Indonesia,
terutama yang berada di pedesaan masih berada dalam kemiskinan yang
sepertinya tidak memungkinkan mereka untuk bangkit kembali1.
Kondisi kemiskinan ini dapat mengakibatkan tiga jenis krisis, yaitu krisis
keadilan, krisis alam, dan krisis produktifitas (lihat Sangkoyo 2000, dan Zakaria
2001, yang dikutip Fauzi 2003). Krisis keadilan mempersoalkan tentang
ketidakadilan penguasaan berbagai kelompok sosial di masyarakat – berdasarkan
klas, gender dan etnis – terhadap teknologi, informasi, tanah, kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dan sumberdaya pendukung lainnya. Krisis keadilan
pulalah yang membawa pada kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin
signifikan dan kompleks yang dialami oleh mayoritas rakyat. Krisis alam
menyoroti tentang hancurnya lingkungan ekosistem yang ditandai dengan
berbagai bencana alam dan kelangkaan kekayaan alam sebagai akibat dari
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan selama ini. Pada krisis produktivitas,
sebagian besar rakyat mengalami proses marjinalisasi lanjutan sehingga tidak
memampukan mereka untuk secara kreatif memenuhi berbagai kebutuhan hidup
mereka.
Ketiga krisis di atas pada tingkat tertentu telah menimbulkan perlawanan
rakyat miskin yang terindikasi dari berbagai perlawanan yang dikaji secara ilmiah
(lihat Scott 1976, 1985, Popkin 1978, Peluso dan Watts 2001, Santoso 2004).
Kajian-kajian ini menganalisis perlawanan rakyat miskin dalam komunitas tanpa
mempertimbangkan jenis kelamin para pelaku yang berada di dalamnya, dilihat
sebagai suatu yang dapat diwakilkan dalam entitas tunggal yang dapat
digeneralisir. Padahal, menurut Simatauw (2001), sebagaimana yang dia temukan
dalam perjuangan komunitas Amungme Komoro (salah satu masyarakat adat di
perempuan dalam gerakan perlawanan. Simatauw menyampaikan bahwa
LEMASA atau Lembaga Musyarawah Adat Suku Amungme gagal memahami
persoalan alkoholisme yang menurut perempuan Amungme Komoro juga harus
diperangi karena merupakan sumber kekerasan. LEMASA hanya memfokuskan
pada tujuan perlawanan rakyat untuk mendapatkan dana kompensasi dari PT.
Freeport sebesar satu persen. Karena tidak diperhatikan, pada akhirnya
perempuan Amungme Komoro terpaksa berjuang sendiri pada tiga arena
sekaligus, yaitu mengatasi kekerasan dalam rumahtangga akibat alkoholisme,
memerangi alkoholisme dalam komunitas, dan melawan eksploitasi dan
pencemaran oleh PT. Freeport terhadap wilayah hidup mereka, Ninggok2.
Demikian juga yang terjadi dengan perempuan Arso. Mereka mengingatkan
suami-suami mereka untuk tidak tergoda dengan barang-barang modern dan
melepaskan tanah mereka demi sejumlah uang yang ditawarkan oleh perusahaan
perkebunan kelapa sawit.
Penegasian suara perempuan seperti yang ditunjukkan oleh kasus Amungme
Komoro di atas memperlihatkan secara nyata masih kurangnya telaah relasi
gender dan perbedaan seks dalam menganalis perlawanan rakyat miskin.
Sesungguhnya pola relasi kekuasaan, peran, posisi, dan pengetahuan serta tingkat
kesadaran antara perempuan dan laki-laki akan mempengaruhi perspektif, isu, dan
strategi gerakan (lihat Matsui 1996, Jackson dan Pearson 1998, dan Muchtar
1999). Menjadi jelas bagi kita bahwa pola tumbuhnya inisiatif serta dinamika
gerakan rakyat sangat dipengaruhi oleh relasi kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan.
Selain relasi gender, gerakan rakyat juga dipengaruhi oleh budaya lokal
sebagaimana yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan rakyat di Filipina, Amerika
Latin, India, dan lain-lain (lihat Rocheleau et al 1996, Agarwal 2001, dan Fauzi
2005). Budaya lokal ini pada tingkat tertentu mempengaruhi keterbukaan,
militansi, dan jangkauan gerakan rakyat tersebut. Disamping itu -- faktor-faktor
internal seperti heterogenitas kelompok (dalam hal ini gender), dan budaya lokal
-- bentuk dan dinamika gerakan dipengaruhi juga oleh faktor eksternal. Salah satu
faktor eksternal yang cukup signifikan dalam konteks gerakan rakyat miskin
Dietz 1996, Katoppo dalam Manning dan van Diermen 2000, dan Aditjondro
2003).
1.2. Latar Belakang Khusus: Gerakan Perlawanan Rakyat dalam Konteks Pengelolaan Kekayaan Hutan Di Kawasan Halimun
a. Kebijakan Negara dalam Pengelolaan Kekayaan Hutan di Halimun
Diketahui bahwa landasan kebijakan untuk pengelolaan kekayaan alam di
Indonesia adalah UUD 1945, pasal 33, yang menyatakan, “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Penjabaran dari isi
pasal ini lebih ditekankan pada eksploitasi sumberdaya alam untuk kesejahteraan
rakyat, namun sampai saat ini ternyata belum mampu mensejahterakan rakyat.
Justru, yang paling menonjol adalah penerjemahan ‘hak menguasai oleh negara’
(HMN) atas sumberdaya alam tersebut.
Pada tataran peraturan perundang-undangan, jiwa HMN dapat dilihat jelas
dalam kebijakan sektoral seperti UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 jo UU
No. 41 Tahun 1999, terutama Pasal 4, Ayat 2, menyatakan bahwa negara
berwenang untuk:
• Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;
• Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan
hutan sebagai bukan kawasan hutan;
• Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Peraturan perundang-undangan semacam itu dijadikan sebagai instrumen
utama bagi pemerintah dalam pengambil-alihan sumber-sumber penghidupan
rakyat untuk ‘kepentingan pembangunan’. Kawasan hutan dibagi-bagi untuk
proyek perkebunan skala besar, HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan
Tanaman Industri), konsesi hutan PERUM PERHUTANI3 yang ditujukan khusus
untuk Pulau Jawa, ‘konservasi’4, konsesi pertambangan dan eksploitasi hasil kayu
Pasca Orde Baru, untuk mengatasi krisis ekonomi melalui pinjaman luar
negeri, pemerintah melakukan perubahan kebijakan yang disyaratkan oleh
International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Consultative Group on
Indonesia (CGI). Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) menyampaikan bahwa
dalam Letter of Intent (LoI), IMF menuntut agar pemerintah, selain untuk
merealisasikan sepuluh paket kebijakan5, penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih (good governance), yang didalamnya mengharuskan pencabutan kebijakan
Dana Reboisasi untuk kepentingan non kehutanan. Sejalan dengan IMF, Bank
Dunia juga mengajukan persyaratan pembaruan kebijakan dan institusi kehutanan
seperti pengembangan pendekatan kerjasama, deregulasi harga hasil hutan,
pengembangan konsesi hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di
sekitar hutan, penerapan perlindungan hutan oleh masyarakat, reformasi institusi
dan desentralisasi, serta pengelolaan proses reformasi institusi.
Seymour dan Kartodihardjo (2000), dikutip oleh Kartodihardjo dan
Jhamtani (ibid), menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh IMF dan
Bank Dunia ini hanya berhasil menghentikan monopoli pemasaran hasil hutan,
tetapi tidak dapat mendorong penyelesaian masalah mendasar. Selain, rasa
kepemilikan yang lemah di kalangan pemerintah Indonesia atas proyek kebijakan
reformasi itu, kebijakan-kebijakan yang disyaratkan oleh IMF dan Bank Dunia
tersebut juga tidak konsisten, tidak lengkap, tidak layak untuk dioperasionalkan,
dan tidak efektif. Penilaian tidak konsisten dapat kita ketahui dari pengharusan
liberalisasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit, yang tentunya berlawanan
dengan pengharusan yang lain, yaitu moratorium konversi hutan alam.
Ketidak-lengkapan dinilai dari paradigma kehutanan lama yang masih dipakai, yaitu
berdasarkan usaha kehutanan skala besar serta tidak menyentuh masalah
penguasaan (tenure) dan hak-hak milik (property rights) atas kekayaan hutan.
Ketidak-layakan dinilai dari ketiadaan prasyarat efisiensi seperti ketersediaan
informasi akurat dan kelemahan kelembagaan pembangunan kehutanan.
Ketidak-efektifan dinilai dari pengabaian keadaan defisit kayu bulat sehingga efisiensi
yang diberlakukan hanya menambah insentif untuk pihak-pihak yang melakukan
Menjawab persyaratan dari CGI tentang pentingnya reformasi kebijakan
kehutanan, pemerintah melalui Keppres No. 80/2000 menetapkan Komite
Inter-Departemen tentang Kehutanan (Inter Departement Committee on Forest/IDCF)
yang merumuskan 12 program aksi kehutanan6. Dalam perjalanannya, tiga tahun
dari perumusan program tersebut, pemerintah hanya menjalankan 5 program aksi
saja, yaitu pengendalian penebangan liar, percepatan pelaksanaan rehabilitasi
hutan dan lahan, desentralisasi, pengendalian kebakaran hutan, dan restrukturisasi
sektor kehutanan. Lima program aksi ini dituangkan dalam Keputusan Menteri
Kehutanan No. 7501/Kpts-II/2002 tentang Lima Kebijakan Prioritas Bidang
Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional. Menurut Kartodihardjo dan
Jhamtani (ibid), kebijakan seperti ini tidak berorientasi jangka panjang, bersifat
teknis, dan tidak mendasar untuk memecahkan masalah institusional seperti
progam aksi penyelesaian masalah kepemilikan/penguasaan lahan (tenure) dan
penguatan institusi pengelolaan hutan yang sesungguhnya merupakan prasyarat
untuk menjalankan kebijakan lain.
Penerapan kebijakan tersebut di lapang dapat ditemukan tidak jauh dari
pusat kekuasaan negara, Jakarta, yaitu kawasan ekosistem Halimun, membentang
antara Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Kawasan ini -- yang pada masa
Kerajaan Padjajaran merupakan daerah pedalaman kerajaan, dan pada masa
Kolonial Belanda dianggap bagian dari kawasan jungle wood bagian Barat --
adalah satu-satunya kawasan di Pulau Jawa bagian Barat yang masih memiliki
kekayaan ekosistem hutan hujan tropis yang berperan sebagai salah satu
penyanggah/pendukung penting sistem kehidupan di daerah-daerah padat di
sekitar Halimun, termasuk Jakarta dan Tangerang mengingat fungsinya sebagai
kawasan resapan air (water-catchment area) (Simbolon dan Edi 1997).
Kekayaan ekosistem ini dilengkapi dengan kekayaan nilai
sosial-budaya-ekonomi yang masih tergambarkan dalam keseharian kehidupan masyarakat
tradisi di Halimun, Masyarakat Kanekes dan Kasepuhan. Bagi mereka, kawasan
ekosistem Halimun dipahami sebagai kawasan Tutugan/Leuweung Sanggabuana
yang artinya gunung penyangga bumi. Gunung Halimun merupakan salah satu
gunung tertinggi dalam kawasan Tutugan Sanggabuana. Menurut keyakinan
dari segala kegiatan yang merusak seperti menggarap dan menebang pohon,
sesuai dengan kewajiban “jeulma salapan anu boga Gunung Halimun dititipkeun
ka jeulma tilu dititah ngareksa Sanggabuana” [“ada sembilan manusia
(komunitas) yang memiliki Gunung Halimun, dititipkan pada tiga orang
(komunitas) yang diperintahkan menjaga Sanggabuana”]. Kegiatan yang
diperbolehkan di kawasan ini hanya pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti
rotan, madu, jamur dan tumbuhan obat (Hanavi et al 2004).
Dalam proses pembangunan, selain konservasi yang diberlakukan pada
sebagian kawasan ekosistem Halimun, kegiatan ekonomi eksploitatif yang dimulai
sejak zaman VOC terus dikembangkan. Bukan suatu hal yang aneh jika dalam
satu hamparan ekosistem, masyarakat (adat dan lokal) di Halimun hidup secara
‘berdampingan’ dengan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta perkebunan, PERUM
PERHUTANI Unit III, dan PT. Aneka Tambang. Sementara itu, pertambahan
populasi mereka tidak dapat diserap oleh berbagai sektor ekonomi dan konservasi
tersebut.
b. Perlawanan rakyat di Halimun terhadap Kebijakan Negara tentang Pengelolaan Kekayaan Hutan yang Meminggirkan dan Memiskinkan Rakyat
Bersamaan dengan pemberlakuan agenda pembangunan berdasarkan
serangkaian kebijakan seperti di atas, pada aras bawah, sebagian dari rakyat
mempertanyakan dan atau menolak agenda pembangunan tersebut, bahkan tidak
jarang sebagian massa rakyat menantang secara terbuka dengan aksi kolektif yang
relatif terus menerus. Reaksi penolakan ini dapat kita lihat dari munculnya
beragam konflik dan sengketa. Sejak rezim Orde Baru sampai tahun 2001,
Konsorsium Pembaruan Agraria, yang dikutip oleh Kartodihardjo dan Jhamtani
(ibid), mencatat setidaknya terdapat 1,753 kasus sengketa tanah dan hutan yang
bersifat struktural.
Sengketa-sengketa tersebut tersebar di 2,834 desa/kelurahan dari 1,355
kecamatan di 286 Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang
dipersengketakan mencakup ± 10,892,203 ha yang melibatkan 1,189,482 Kepala
kasus. Khusus untuk bidang kehutanan, penelitian Wulan et al (2004) atas 359
kasus konflik kehutanan pada tahun 1997 – 2003 menunjukkan 36% dari konflik
berhubungan dengan perbedaan persepsi mengenai batas-batas dan akses pada
hutan serta hasil hutan, termasuk yang berhubungan dengan kawasan konservasi
seperti taman nasional. Kemudian, 26% dari konflik berkaitan dengan pembukaan
hutan, dan 23% dengan pencurian kayu. Penelitian ini juga menyampaikan bahwa
komunitas-komunitas yang terlibat dalam konflik-konflik tersebut umumnya
kecewa terhadap upaya penyelesaian konflik yang mengabaikan keberlanjutan
sumber penghidupan mereka dalam jangka panjang.
Dijelaskan oleh Sztompka (1993) bahwa reaksi kolektif untuk
mempertanyakan, menolak, menyatakan ketidakpuasan/kekecewaan atas suatu
intervensi dari pihak yang dominan dan berupaya untuk melakukan perubahan
dapat dimaknai sebagai suatu gerakan sosial. Gerakan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok dari arus bawah/akar rumput, menurut Rucht (1988) dalam
Sztompka (ibid), berkaitan erat dengan perubahan struktural mendasar dari hasil
modernisasi dalam semua segi kehidupan. Perubahan yang ingin diwujudkan ini
menurut Sunardi (2002) memuat narasi tandingan yang di dalamnya terdapat
pelaku-pelaku, ruang dan waktu, alur, imajinasi, suara, harapan, dan lain-lain.
Semua unsur ini ditujukan untuk memeriksa asal usul yang membuat kita berada
dalam posisi saat ini, dan digunakan untuk merancang masa depan yang lebih
baik, suatu perubahan sosial, melalui gerakan perlawanan.
Dalam konteks kehidupan rakyat di kawasan ekosistem Halimun, pada
awalnya, persoalan kemiskinan dalam bentuk ketersisihan, pengambil-alihan
objek dan jenis hak ke beberapa subjek hak lainnya (selain rakyat), dan ketiadaan
pelayanan sosial dari pemerintah dalam hal kesehatan dan pendidikan, secara
umum direspon oleh masyarakat dengan cara yang tidak konfrontatif. Bagi
generasi tuanya, perjuangan memastikan ketersediaan pangan dilakukan melalui
serangkaian kerja di sawah, huma, kebun dan bahkan hutan, yaitu mengakses
(baca: menggarap) lahan secara ‘illegal’ di sebagian kawasan produksi PERUM
PERHUTANI dengan segala resikonya, ngepak, maro dan menjadi buruh tani.
Bagi sebagian besar generasi mudanya, bekerja mengambil resiko sebagai
Aneka Tambang adalah “penambang emas tanpa izin/PETI”), buruh penebang dan
pembawa kayu illegal dari hutan-hutan di sekitar kampung mereka, atau bekerja
ke luar, ke JABOTABEK, sebagai buruh pabrik, pekerja rumah tangga (PRT),
pelaku ekonomi sektor ril (sektor ekonomi informal), atau bahkan menjadi buruh
migran, merupakan hal yang menjanjikan untuk membantu ekonomi keluarga
mereka. Dalam respon adaptasi ini, jika kita perhatikan dengan seksama, akan
nampak upaya-upaya/aksi-aksi mengajukan klaim sendiri/kelompok atau menolak
klaim pihak lain dengan cara tidak terorganisir dan tidak konfrontatif.
Pasca rezim Orde Baru, respon adaptif tersebut mulai berubah menjadi suatu
perlawanan konstruktif. Salah satunya ditunjukkan dari upaya konsolidasi yang
diinisiasi oleh tiga orang penggiat laki-laki dari perwakilan masyarakat yang
berasal dari Halimun Utara (Desa Kiarasari, Kecamatan Sukajaya – Kabupaten
Bogor), Halimun Barat (Desa Ciparay, Kecamatan Cibeber – Kabupaten Lebak),
dan Halimun Selatan (Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber – Kabupaten Lebak).
untuk menyatukan langkah di Halimun dalam rangka merespon Surat Keputusan
Penunjukan dari Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tentang perluasan7
TNGH dari ± 40,000 ha menjadi 113,357 ha yang dinilai mereka berpotensi
mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Bersama perwakilan dari lima
desa lainnya di Halimun, mereka mengadakan pertemuan-pertemuan konsolidasi
untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam memperjuangkan lahan garapan
dan kampung yang saat ini terletak di dalam kawasan TNGH yang baru. Puncak
dari rangkaian pertemuan konsolidasi ini adalah Rembuk Rakyat Halimun pada
tanggal 16 – 18 Oktober 2003 yang dihadiri oleh perwakilan (Kepala Desa, BPD,
tokoh masyarakat, dan tokoh Kasepuhan) dari 31 desa8. Rembuk rakyat ini
menghasilkan beberapa hal sebagai berikut: Sebuah pernyataan sikap atas SK
Menteri Kehutanan tersebut; Kesepakatan untuk membentuk sebuah forum
komunikasi bersama yaitu Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat -
Banten (FKMHJBB); dan Agenda kerja forum jangka pendek.
Mandat forum untuk memperjuangkan ruang hidup dan ruang kelola
masyarakat di Halimun mulai dijalankan oleh pengurus dengan melakukan dialog
dengan Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Pelestarian
berdialog dengan FKMHJBB), Pemerintah Kabupaten Lebak, dan Pemerintah
Kabupaten Sukabumi. Penggalangan dukungan juga dilakukan kepada desa-desa
lain, termasuk ke beberapa Kasepuhan, hingga keanggotaan forum bertambah
menjadi 62 desa. Lebih lanjut, perlawanan tersebut mulai juga dilakukan oleh
kaum perempuannya yaitu melalui upaya penghijauan (lihat Hidayati 2005).
Salah satunya akan disampaikan pengantarnya pada sub bab di bawah ini.
c. Gerakan Perempuan di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
Sebagaimana disampaikan di atas bahwa miniatur Halimun dapat ditemukan
di Desa Malasari. Pengaturan pengelolaan wilayah dan semua kekayaan alam di
dalamnya dengan kebijakan pembangunanisme (developmentalism) dan
konservasi yang masih mengikuti aliran konservasionis/ecofasis menyebabkan
pembatasan dan bahkan pengambil-alihan hak-hak dasar hidup sebagian besar
komunitas Malasari atas kekayaan alam di sekitar mereka. Pada keadaan seperti
ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut telah memberikan
kekerasan kepada rakyat, terutama perempuan, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Pertama, pembiaran oleh negara terhadap perilaku-perilaku destruktif dalam
‘pengelolaan’ kekayaan alam berdasarkan kebijakan pembangunanisme yang
dilakukan oleh PERUM PERHUTANI (pilihan komoditi pinus yang dapat
merusak ekosistem melalui allelopathy yang dikeluarkan dari akar pinus, tanpa
terasering di lokasi yang berlereng, dan cara panen tebang habis), PT. Nirmala
Agung (tanpa terasering pada lokasi yang berlereng), dan PT. Aneka Tambang.
Kedua, ketiadaan kebijakan yang mengharuskan adanya distribusi manfaat dari
eksploitasi kekayaan alam oleh perusahaan-perusahaan tersebut yang dapat
diakses oleh keluarga-keluarga miskin, terutama oleh perempuannya. ‘Distribusi
manfaat’ selama ini dari perusahan-perusahaan itu justru menimbulkan
kecemburuan sosial dan konflik horizontal di antara warga yang menerima dengan
yang tidak menerima. Ketiga, kebijakan konservasi yang konservasionis atau
kekayaan hutan yang selama ini mereka nikmati untuk pemenuhan kebutuhan
subsisten mereka.
Hidup dalam keadaan di atas direspon secara berbeda oleh sebagian anggota
komunitas, selain bertahan hidup sehari-hari, ketika ada tekanan eksternal dan
atau internal. Suatu bentuk tekanan eksternal yang meresahkan sebagian besar
komunitas di Malasari, termasuk perempuan dan anak-anak, adalah pengeluaran
Surat Keputusan dari Menteri Kehutanan tentang perluasan kawasan TNGH.
Mereka semua sangat khawatir tentang kemungkinan pemindahan pemukiman
dan pengambil-alihan sawah dan kebun oleh pihak TNGH (baca: re-alokasi dan
rehabilitasi). Beberapa pertanyaan mendasar yang menggambarkan keresahan
tersebut, yaitu: “Mengapa taman nasional diperluas?”; “Apakah kami akan diusir
dari kampung kami?”; “Bagaimana dengan sawah dan kebun kami?”;
“Anak-anak kami menanyakan di mana lagi kami semua bisa tidur?”.
Di dalam keresahan itu, beberapa petani dan buruh tani perempuan di
Kampung Nyungcung mulai mengatasinya dengan cara membangun inisiatif
untuk menghijaukan tanah-tanah tandus ex-kawasan PERUM PERHUTANI yang
kini merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS).
Kemunculan inisiatif ini, selain disebabkan oleh SK Menteri Kehutanan tersebut,
juga disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
• Pemanenan pohon pinus secara tebang habis oleh PERUM PERHUTANI di
sebagian besar kawasan produksinya yang dinilai berpotensi membahayakan
individu, rumahtangga, dan masyarakat melalui kekeringan dan tanah longsor;
• Partisipasi mereka dalam kegiatan penguatan talun dengan RMI dan ICRAF yang telah menyatukan mereka dalam kelompok, serta meningkatkan
pengetahuan dan keahlian mereka tentang pembibitan dan pengelolaan kebun
yang baik;
• Mengingat peran mereka selaku penyedia makanan keluarga, kedua kondisi di atas dan pengeluaran SK Menteri Kehutanan tersebut telah membuka peluang
bagi mereka untuk meningkatkan ketersediaan akses ke tanah – tanah tandus,
bekas kebun pinus PERUM PERHUTANI, sekaligus melakukan konservasi
juga merupakan upaya untuk mencegah ancaman kekeringan dan tanah
longsor.
Dalam perjalanannya, inisiatif ini dikenal sebagai perjuangan untuk
menjadikan Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo, atau Kampung dengan Tujuan
Konservasi (KDTK). Perkembangan seperti ini dapat dinilai sebagai suatu
gerakan konservasi, karena diikuti oleh para petani dan buruh tani perempuan dan
laki-laki yang lain, baik yang berasal dari kampung Nyungcung maupun dari
kampung – desa lainnya, yang menghasilkan suatu kolektifitas untuk
mempertahankan hak dan objek hak tenurial melalui penghijauan masif secara
swadaya dan kerjasama dengan pihak lain. Tetapi, memasuki proses politik untuk
mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas perjuangan konservasi lokal, para
petani perempuan tidak terlibat aktif seperti proses-proses sebelumnya.
1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan semua pemaparan di atas, maka menarik untuk dipelajari lebih
lanjut tentang dinamika partisipasi petani perempuan dalam gerakan konservasi
tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut: faktor-faktor apakah
saja yang mendorong dilakukannya aksi konservasi oleh kaum perempuan
Nyungcung? Siapa pemimpin dan anggota kelompok petani perempuan yang
terlibat dalam aksi konservasi? Lebih jauh lagi ingin diketahui, bagaimana
dinamika perkembangan organisasi kelompok-kelompok petani perempuan
tersebut? Dan apa saja yang dihasilkan dari aksi konservasi tersebut?
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk :
• Menggali faktor-faktor yang mendasari petani perempuan Kampung
Nyungcung melakukan inisiasi gerakan konservasi;
• Menelaah sejauh mana, bagaimana, dan manfaat aksi konservasi yang
dilakukan oleh kaum petani Kampung Nyungcung; dan
• Menelaah dinamika gerakan konservasi, reaksi dan peran pihak lain
1.5. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini, ini harapkan memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut:
• Sebagai salah satu bahan informasi dan kontemplasi dari perspektif feminisme bagi pihak-pihak berkepentingan (rakyat, perempuan dan laki-laki, dan pihak
lain -- terutama ORNOP -- yang berperan sebagai mediator atau fasilitator)
dalam gerakan lingkungan terorganisir (organized environmentalists), gerakan
lingkungan rakyat (public environmentalists), dan gerakan perempuan untuk
bersama-sama melakukan integrasi gerakan.
• Sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan – pusat
dan daerah bahwa faktor-faktor sosial yang mempengaruhi cara rakyat
berinteraksi dengan alam lingkungan, sistem tenurial lokal atas kekayaan
alam, dan relasi gender dalam suatu komunitas merupakan hal-hal yang
penting seharusnya diperhatikan dalam perumusan, pelaksanaan, dan evalusi
suatu proyek konservasi, serta dalam upaya penanganan konflik tenurial.
1.6. Batasan Terma yang Digunakan
Seperti yang telah disampaikan pada sub bab Latar Belakang, krisis
ekonomi, sosial, dan lingkungan pada kondisi tertentu dapat memunculkan
beragam respon/perlawanan dari rakyat, perempuan dan laki-laki. Dalam
penelitian ini, respon rakyat dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari,
merupakan hasil interaksi beberapa faktor, menggambarkan salah satu contoh aksi
kolektif yang bergulir menjadi suatu bentuk gerakan konservasi lokal. Dalam
perjalanannya, gerakan ini mengalami dinamika di mana pada suatu keadaan,
partisipasi petani perempuan tidak ada lagi.
Sebagai acuan dalam penelitian ini, berikut beberapa terma yang digunakan
untuk menerangkan realita di lapang dan yang diinginkan (yang bersifat
• Konflik Tenurial
Menurut Walker dan Daniels (1997) yang dikutip oleh Wulan et al (2004),
konflik merupakan suatu wacana yang dikonstruksikan secara sosial dan bisa
dipandang dari berbagai sudut. Dalam persoalan tenurial di kawasan Halimun,
konflik yang terjadi adalah bersifat struktural di mana posisi pemerintah sangat
sering sebagai lawan sengketa dan konflik dari rakyat, yaitu langsung
bersengketa/berkonflik dengan rakyat setempat (penetapan kawasan taman
nasional), atau sebagai pihak yang memberi izin atau hak kepada pihak ketiga
(pelaku bisnis, BUMN dan Swasta) sehingga secara tidak langsung juga
menjadi pihak yang bersengketa/berkonflik dengan rakyat. Fauzi (1999)
mengelompokkan jenis konflik seperti ini kedalam konflik
pengambil-alihan/penggusuran tanah.
• Gerakan Konservasi Lokal
Berdasarkan pendapat beberapa ahli sosiologi lingkungan Amerika Serikat
yang dikutip oleh Aditjondro (2003), bahwa hampir setiap negara memiliki
gerakan lingkungan yang saling berinteraksi antara tiga komponen berikut:
− Public environmentalists: para warga masyarakat yang berusaha memperbaiki langsung kondisi lingkungan sekitar melalui tindakan dan
sikap mereka masing-masing.
− Organized environmentalists atau voluntary environmentalists: pihak-pihak yang bergerak melalui oraganisasi-organisasi yang khusus didirikan
untuk berusaha memperbaiki lingkungan hidup mereka, yang kadang
sampai melintasi batas negara. Umumnya organisasi yang didirikan
tersebut berupa ORNOP dan jaringan kerjanya.
− Institutional environmental movement organization: pihak-pihak yang bergerak melalui birokrasi-birokrasi resmi yang mengklaim diri memiliki
kewenangan terhadap masalah-masalah lingkungan.
Mengacu pada makna ini, gerakan konservasi lokal yang akan dibahas adalah
termasuk ke dalam gerakan lingkungan publik/rakyat. Dikaitkan dengan
inisiatif perempuan dalam gerakan lingkungan publik/rakyat, ditemukan
adanya fenomena feminisasi konservasi pada tahap awal dimana kerja-kerja
pada tahap penggalangan dukungan dan negosiasi atas tanah-tanah yang telah
dihijaukan tersebut terjadi perubahan fenomena, yaitu maskulinisasi
konservasi karena didominasi oleh petani dan buruh tani laki-laki. Untuk
menghilangkan fenomena ini, saya menggunakan pemikiran hook (2000)
untuk memaknai gerakan lingkungan sebagai salah satu bentuk gerakan
feminis yang bertujuan menghapuskan seksisme terhadap alam dan sesama
manusia, tanpa harus dibatasi oleh sekat/aliran masing-masing (lihat juga
temuan dari Petras 1997, Petras dan Veltmeyer 2000, serta Moyo dan Yeros
2005 yang dikutip oleh Fauzi 2005, tentang ideologi gerakan sosial
kontemporer dari beberapa negara Dunia Ketiga). Menjadi penting untuk
memaknai secara kritis-kontemplatif tentang solidaritas di antara perempuan,
kekuasaan, bekerja dan sifatnya, bekerja bersama laki-laki, membangun
gerakan yang berbasis massa, dan melakukan serangkaian pendidikan kritis
bagi perempuan.
• Intervensi Pihak Luar
Berdasarkan pada beberapa gerakan rakyat (gerakan petani) dari beberapa
negara Dunia Ketiga, ditemukan bahwa unsur kerjasama dengan pihak luar
yang sama ideologinya merupakan hal yang menentukan keberhasilan gerakan
rakyat tersebut (lihat Petras 1997, Petras dan Veltmeyer 2000, serta Moyo dan
Yeros 2005, yang dikutip oleh Fauzi 2005). Dalam konteks keberhasilan ini,
intervensi dimaknai sebagai suatu hubungan kerjasama dalam beragam
kegiatan yang disepakati antara ORNOP dan jaringan kerjanya dengan
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok rakyat yang bersifat
menguatkan.
• Relasi Gender (Relasi Kekuasaan antara Perempuan dan Laki-laki)
Menurut Davis (1991) yang dikutip oleh Hidayat (2004), terdapat dua jalur
utama untuk memahami relasi antara gender dan kekuasaan. Pertama, dengan
menempatkan gender sebagai konsep sentral dan menggunakannya sebagai
analisis atas relasi kuasa. Cara pertama mengasumsikan bahwa kehidupan
sosial, termasuk relasi kekuasaan, senantiasa melibatkan relasi antar jenis
kelamin sehingga gender adalah kategori yang paling memadai untuk
dijadikan sebagai titik tolak kritik atas konsep-konsep dalam teori sosial
tradisional dengan memahami relasi antar jenis kelamin. Cara kedua
mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai kerangka analisis yang memadai
untuk menjelaskan relasi sosial termasuk relasi antar jenis kelamin.
Penelitian ini akan menggunakan jalur pertama mengingat isu kekuasaan
secara langsung berkaitan dengan isu kesetaraan. Pada sebagian besar realita
sosial, relasi kekuasaan antar jenis kelamin dalam perspektif feminisme
berlangsung dalam ketidaksetaraan.
Komter (1991) yang dikutip oleh Hidayat (2004) menjelaskan tujuh bentuk
ketidaksetaraan dalam relasi antar jenis kelamin, yaitu:
− Ketidaksetaraan dalam sumberdaya-sumberdaya sosial, posisi sosial, politik, dan penerimaan budaya;
− Ketidaksetaraan dalam kesempatan memanfaatkan
sumberdaya-sumberdaya yang tersedia;
− Ketidaksetaraan dalam pembagian hak dan kewajiban;
− Ketidaksetaraan, baik eksplisit maupun implisit, dalam pengambilan keputusan yang menentukan perbedaan pelaksanaan (dalam hukum, pasar
kerja, praktek pendidikan, dan lain-lain);
− Ketidaksetaraan dalam representasi budaya seperti pendevaluasian sebagai kelompok bawah, stereotipe, pelekatan dengan kodrat, anggapan lemah,
dan keterikatan biologis;
− Ketidaksetaraan dalam implikasi psikologis seperti inferioritas dan superioritas;
− Tendensi sosio-kultural untuk meminimalisasikan atau menolak
ketidaksetaraan kekuasaan dalam hal bahwa konflik dianggap sebagai
konsensus dan ketimpangan kekuasaan dianggap normal.
Relasi kekuasaan yang terjadi dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki
dalam kehidupan sosial adalah faktor yang sangat menentukan dalam
menciptakan subordinasi perempuan pada semua tingkat kehidupan. Menurut
Komter, bentuk-bentuk ketidaksetaraan tersebut tidak hanya berlaku bagi
relasi antar jenis kelamin, tetapi juga dalam relasi kelas, ras, dan etnis.
Meskipun terdapat konsensus tentang peranan budaya untuk menentukan
bagaimana ‘seharusnya’ perempuan dan laki-laki (lihat Deaux dan Kite 1987
yang dikutip oleh Susilastuti dalam Ridjal et al 1993) yang sebagian besar
menunjukkan bahwa perempuan selalu berada dalam posisi yang
tersubordinasi (lihat Moore 1988 yang dikutip oleh Susilastuti dalam Ridjal et
al 1993, dan Bemmelen dalam Ihromi 1995), tetapi subordinasi itu memiliki
keunikan dan kondisi yang berbeda yang dialami oleh perempuan dari
masing-masing komunitas dengan budaya lokalnya. Selain budaya partriarkhi (yang
bersifat universal), sistem kasta, matrilinial, budaya egaliter, dan karakter fisik
ekosistem sebagai ruang hidup yang berkontribusi membentuk pengetahuan
dan perilaku para anggota suatu komunitas juga mempengaruhi bagaimana
komunitas merespon bentuk-bentuk ketidak-adilan secara kolektif (dalam
bentuk gerakan perlawanan). Budaya lokal ini pada akhirnya turun
mempengaruhi kualitas keterbukaan, militansi, dan jangkauan gerakan rakyat.
• Perspektif Feminisme
Menurut Tong (1998), dalam tulisannya, Feminist Thought: A More
Comprehensive Introduction, feminisme merupakan suatu ideologi yang tidak
bersifat monolitik. Feminisme terdiri dari beragam aliran pemikiran, yaitu:
liberal, radikal (libertarian atau kultural), marxis-sosialis, psikoanalisis,
eksistensialis, posmodern, multikutural dan global, serta ekologis.
Masing-masing aliran tersebut memberikan kontribusi yang kaya dan bertahan lama
terhadap feminisme secara keseluruhan. Kekayaan pemikiran ini menyiratkan
suatu sejarah lengkap tentang serangkaian pemikiran feminisme yang dapat
membantu kita belajar dari pengalaman perempuan masa lalu untuk berada
dalam kekinian dan dapat merancang masa depan yang berkeadilan bagi
semua. Perspektif feminisme memberikan kita alat pengajaran yang berguna
untuk melihat dan memahami bagaimana proses dan bentuk opresi terjadi,
terutama terhadap perempuan, menentukan pemecahan untuk menghapus
opresi-opresi tersebut. Tong meyakini bahwa selalu terdapat ruang untuk
pertumbuhan, perbaikan, pertimbangan ulang, dan peluasan pemikiran
Terkait dengan pendapat Tong (1998) tersebut, mempelajari persoalan
kekinian yang dihadapi oleh perempuan (dan juga laki-laki), melalui
tulisannya, Feminist Theory: From Margin to Center, hooks (2000)
menekankan pentingnya perspektif feminis yang memiliki tujuan sama, yaitu
menghapuskan seksisme, tanpa harus dibatasi oleh sekat/aliran
masing-masing. Menurut hooks (ibid), seksisme, selain merupakan dasar dari semua
penindasan yang lain, terwujud dalam praktek keseharian kita -- sebagai
perempuan dan laki-laki, kulit putih dan kulit berwarna, tua – muda, kaya -
miskin -- yang sarat dengan karakter dominasi. Praktek ini, secara sadar atau
tidak (karena melalui proses sosialisasi yang panjang dalam keluarga,
masyarakat, dan negara), dijalankan oleh kita dalam peran apapun yang
melekat dan atau dilekatkan pada diri kita, yaitu apakah sebagai pihak yang
melakukan diskriminasi atau yang melawan diskriminasi, sebagai pihak yang
melakukan eksploitasi atau yang diekploitasi, sebagai penindas atau yang
ditindas. Dimulai dari tingkat keluarga, masyarakat, dan negara, seksisme
menampilkan dualisme atas hirarki dan kontrol yang otoriter dan memuat
kekerasan, yang kesemuanya berlangsung dalam proses siklus. Dalam
keluarga, terutama di negara-negara maju misalnya, seksisme dinilai telah
menyesatkan dan menyimpangkan fungsi positif keluarga. Keluarga
dipandang sebagai suatu media sosialisasi yang baik karena dapat
mengkondisikan kita untuk menerima dan mendukung bentuk penindasan dari
seksisme (Hodge 1975, dikutip oleh hooks 2000). Pada tingkat keluarga dan
masyarakat di negara-negara berkembang, terutama Asia Tenggara (termasuk
Indonesia), Atkinson dan Errington (1990) mempelajari bahwa dibalik sistem
sosial masyarakat -- yang dalam pandangan para scholar dari Barat
merupakan sistem yang ‘sulit’ ditemukan bentuk-bentuk penindasan seksisme
-- seperti kekerabatan keluarga yang bersifat bilateral (bilateral or cognatic
kinship), saling melengkapi antara perempuan dan laki-laki (complementarity
of the sexes), dan kesetaraan ekonomi ternyata terdapat juga hirarki dan
kontrol yang otoriter serta memuat kekerasan yang terselubung. Pada tingkat
sikap dan perilaku yang tidak memberikan perhatian terhadap minat
perempuan-perempuan lain yang belum bergabung dalam gerakan feminis.
Pandangan dan analisis kritis tentang perspektif feminisme dari Tong dan
hooks di atas akan dipakai untuk menjelaskan gerakan konservasi lokal yang
diinisiasi oleh sebagian petani dan buruh tani perempuan di Kampung
Nyungcung dan gerakan lingkungan secara umum.
1.7. Sistematika Penulisan Tesis
Tesis ini ditulis dalam tujuh bab. Bab pertama adalah Pendahuluan yang
terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.
Secara garis besar, bab pertama ini memberikan kita pengantar tentang persoalan
pengelolaan kekayaan alam, termasuk konservasi, di Indonesia, yang telah
menimbulkan banyak sengketa dan konflik di berbagai komunitas, adat dan lokal.
Dalam upaya penyelesaian sengketa dan konflik tersebut, tidak jarang komunitas
melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain, terutama ORNOP. Ketika berada
pada situasi seperti ini, pertemuan antara komunitas dengan pihak-pihak lain yang
peduli atas persoalan lingkungan menunjukkan kepada kita tentang munculnya
suatu gerakan sosial, yaitu tepatnya gerakan lingkungan. Pengelolaan kekayaan
alam di kawasan ekosistem Halimun, yang kemudian difokuskan pada satu
kampung dan bagaimana sebagian rakyat meresponnya melalui gerakan
konservasi lokal akan disampaikan sebagai pengantar lebih lanjut tentang kondisi
pengelolaan kekayaan alam di tingkat mikro.
Pada bab dua (Kerangka Pemikiran), diskusi tentang respon komunitas
terhadap pengelolaan kekayaan alam oleh negara akan dibuka dengan mengajukan
tiga pokok bahasan yang saya pandang sebagai faktor penyebab dan sekaligus
mempengaruhi keberlangsungan respon komunitas untuk membangun dan
memelihara suatu gerakan perlawanan, terutama kaum perempuannya. Tiga
pokok bahasan itu adalah pertama, keterkaitan pembangunanisme dengan
feminisasi kemiskinan; kedua, tentang keberadaan budaya partriarkhi yang sangat
mempengaruhi tingkat partisipasi politis perempuan dalam berbagai arena;
ketiga, tentang keterwujudan respon komunitas dalam konteks gerakan dari
Pemaparan tentang bagaimana tiga pokok bahasan tersebut diajukan akan
dielaborasi pada bab tiga, Metodologi Penelitian. Penelitian ini dilakukan sebagai
suatu upaya refleksi saya selama belajar dan bekerja secara tidak intensif dalam
kegiatan fasilitasi menyelesaikan konflik tenurial di Desa Malasari. Dalam
refleksi ini, saya memfokuskan diri pada analisa pengalaman beberapa petani
perempuan yang menginisiasi gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di
Kampung Nyungcung dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang
dilengkapi beberapa metode. Meskipun demikian, dalam pilihan ini, terdapat
keterbatasan saya untuk merefleksikan semuanya, yaitu pertama, saya tidak live in
di antara para subjek penelitian. Kedua, didasarkan pada kekhawatiran saya,
dalam menyampaikan kembali suara dan pengalaman subjek penelitian, saya
menerapkan suatu etika penelitian yang dikenal sebagai suatu bentuk
perlindungan anonimitas.
Melalui bab empat (Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Subjek
Penelitian), saya akan mempertajam penjelasan yang telah diantarkan pada bab
pertama, Pendahuluan. Mengenai lokasi penelitian, akan disampaikan aspek
geografis, sejarah perkembangan desa, keadaan sosial ekonomi masyarakat secara
umum, kemudian dipertajam dalam deskripsi kehidupan kaum perempuannya,
termasuk subjek penelitian saya yang berjumlah sembilan orang. Dalam konteks
perubahan sosial, saya akan menjelaskan dari aspek sejarah desa-kampung dari
kehadiran pihak-pihak lain dalam wilayah hidup rakyat melalui pembangunan
yang memunculkan respon rakyat terhadap setiap perubahan yang diciptakan dari
pihak-pihak tersebut. Mengenai profil subjek penelitian, akan dibahas secara
umum (tidak satu per satu) berdasarkan beberapa aspek seperti: posisi dalam
kelompok petani, pendidikan formal, status perkawinan, jumlah anak, pekerjaan,
buta huruf, tingkat partisipasi politis perempuan di arena domestik dan publik,
keadaan penguasaan tanah, serta kekerasan dalam rumahtangga.
Mengelaborasi penjelasan bab dua dan empat, bab lima (Tumbuhnya
Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan di Kampung Nyungcung) akan
membahas bagaimana kemiskinan di Malasari, termasuk Kampung Nyungcung,
dan interaksi dengan pihak luar, menyebabkan sebagian anggota komunitas,
dan memotivasi warga lain untuk bersama-sama menghijaukan tanah-tanah tandus
dan memperjuangkan inisiatif mereka itu sebagai suatu model konservasi lokal.
Dalam proses tumbuhnya inisiatif ini, terdapat dua faktor penting lainnya, yaitu
budaya patriarkhi dan intervensi ORNOP (termasuk sejarahnya), yang
mempengaruhi proses pertumbuhan gerakan konservasi lokal berbasis perempuan
tersebut.
Melanjutkan penjelasan bab lima dalam suatu potret dinamika gerakan, bab
enam, yang merupakan inti pembahasan tesis ini, akan mempertegas bahwa
pertemuan tiga faktor dalam bab dua, yaitu feminisasi kemiskinan, budaya
patriarkhi, dan intervensi ORNOP, yang menumbuhkan perjuangan perempuan
dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan merupakan faktor-faktor
yang ternyata juga menyebabkan terminasi perjuangan perempuan dalam gerakan
tersebut. Berdasarkan keadaan terminasi ini, disampaikan beberapa aspek
pembelajaran untuk dipertimbangkan oleh ORNOP ke depan selaku salah satu
pelaku dalam gerakan lingkungan, yaitu tentang paradigma pengorganisasian
perempuan, narasi lokal dari perspektif perempuan, dan pelibatan organisasi lokal
serta pihak-pihak pendukung.
Pada bab akhir, bab tujuh, berdasarkan tesis tentang tumbuh dan
berlangsungnya gerakan konservasi perempuan Nyungcung ditentukan dari hasil
interaksi antara faktor feminisasi kemiskinan, dominasi budaya patriarkhi, dan
intervensi ORNOP, ditarik tiga kesimpulan utama, yaitu: pertama adalah
tumbuhnya gerakan tersebut tidak terlepas dari pemiskinan melalui pembatasan
akses dan peniadaan kontrol rakyat Malasari (termasuk Nyungcung), terhadap
tanah dan kekayaan alam di desa mereka serta diikuti dengan degradasi wilayah
hidup yang dalam budaya patriarkhi mengkondisikan sebagian besar perempuan
menanggungnya secara sistematis. Pada titik tertentu dalam kemiskinan seperti
ini, perempuan dapat memiliki militansi untuk berjuang keluar dari kemiskinan
itu. Kedua, rumusan agenda dan strategi, serta keadaan kepemimpinan
perempuan dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan tersebut sangat
ditentukan da