• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intervensi ORNOP dalam Konflik Tenurial antara Rakyat Nyungcung dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG

4. Interaksi ORNOP dengan Komunitas Malasari-Nyungcung dalam Konflik Tenurial

4.2. Intervensi ORNOP dalam Konflik Tenurial antara Rakyat Nyungcung dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Telah disampaikan pada bab pertama bahwa konflik tenurial yang berhubungan dengan perbedaan persepsi mengenai batas-batas dan akses pada hutan serta hasil hutan, termasuk yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional, merupakan konflik terbanyak di sektor kehutanan. Hal ini, salah satunya, menggambarkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia banyak mengalami masalah. Salah satu faktor penting penyebab konflik di kawasan konservasi adalah landasan pemikiran tentang konsep konservasi itu sendiri.

Menurut Kartodiharjo dan Jhamtani (2006), kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia masih mengikuti pemikiran para ilmuwan dari masa penjajahan yang secara umum berkiblat pada perkembangan konservasi di Amerika dan Eropa, yaitu pemikiran dari aliran konservasionis. Pemikiran ini berpendapat bahwa perlindungan kawasan konservasi harus dilakukan secara hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia guna mewujudkan keseimbangan ekosistem. Keberadaan penduduk setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi kekayaan alam dan ekosistem di kawasan tersebut. Pemikiran konservasionis ini pada prinsipnya sama dengan pemikiran eco- fascism. Pemerintah ‘berjuang’ melindungi kawasan-kawasan hutan, perairan tawar, pesisir dan laut untuk kepentingan ekosistem, flora dan faunanya semata. Demi kelestarian lingkungan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pembatasan sangat ketat dan bahkan penggusuran rakyat tempatan dari suatu kawasan konservasi merupakan tindakan yang dianggap sah -- meskipun

berdasarkan sejarah, rakyat tempatan tersebut telah berpuluh tahun bahkan berabad hidup dalam kawasan tersebut, jauh lebih dahulu dibandingkan dengan kebijakan konservasi dan penetapan kawasan konservasi tersebut (lihat Dietz 1996 dalam Catatan Kaki bab pertama; dan sub-bab Pembangunanisme dan Feminisasi Kemiskinan, bab dua).

Berdasarkan pengelolaan konservasi seperti itu, diketahui juga bahwa pemerintah sering tidak mampu mencari pemecahannya yang tepat terhadap konflik-konflik yang muncul. Sebagai contoh, berdasarkan ‘temuan’ dari suatu jaringan kerja yang ‘peduli’ tentang ‘konservasi’ di kawasan pegunungan Halimun dan sekitarnya, terutama tentang keberadaan jenis satwa langka yang semakin memprihatinkan, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan (No. 175/Kpts-II/2003) tentang penunjukkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, dari 40,000 ha menjadi 113,357 ha. Secara administratif, perluasan kawasan taman nasional ini mengenai 376 kampung yang tersebar di

ratusan desa di Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak (lihat Galudra et al 2006). Menjadi wajar, jika SK ini kemudian memunculkan

protes dan penolakan dari kelompok-kelompok rakyat di Halimun. Salah satunya adalah penolakan dari kelompok-kelompok petani Nyungcung. Dalam konteks inilah, RMI meneruskan pengorganisasiannya di Desa Malasari, terutama di Kampung Nyungcung untuk memfasilitasi gerakan konservasi lokal berbasis perempuan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab di atas, gerakan konservasi lokal berbasis perempuan ini dimulai ketika sekelompok petani perempuan dan laki-laki di Kampung Nyungcung berpartisipasi dalam kegiatan penguatan talun dari aspek silvikultur dan pengenalan pemasaran hasil talun melalui serangkaian training dan pengorganisasian kelompok petani yang difasilitasi oleh RMI dan ICRAF – SE Asia pada tahun 2003 - 2004. Pada tahap akhir dari kegiatan ini, yaitu pengembangan kebun sebagai strategi meningkatkan pendapatan petani, dikarenakan para anggotanya tidak memiliki lahan yang cukup, Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari yang telah terbentuk dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan tersebut bersepakat membuat kebun kelompok mereka di lahan PERUM

PERHUTANI yang mulai tandus karena mulai dipanen pohon pinusnya dengan cara tebang habis blok per blok.

Untuk menjamin ‘kepastian’ keberlangsungan kebun kelompok tersebut, dan dikaitkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang perluasan kawasan TNGH yang ternyata mencakup juga sebagian besar kawasan produksi PERUM PERHUTANI Unit III, termasuk di Malasari, RMI dan ICRAF – SE Asia mengusulkan agar kebun kelompok tersebut dikembangkan secara terencana dengan baik sebagai salah satu ‘modal’ untuk mulai menegosiasikan keberadaan model konservasi lokal dengan pihak TNGH. Dalam rangka menggalang dukungan dari pihak luar tentang perjuangan konservasi lokal tersebut, diusulkan tentang narasi Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK). Usulan narasi ini diilhami dari keberhasilan pengalaman ICRAF – SE Asia memfasilitasi upaya penyelesaian konflik pengelolaan sumberdaya alam di daerah Sumber Jaya, Lampung, dengan menggunakan pendekatan Sistem Pendukung Negosiasi. Sistem ini merupakan suatu proses negosiasi yang mendorong pengelolaan konflik pengelolaan kekayaan alam suatu lansekap di dalam batas ekosistem tertentu, khususnya yang berkaitan dengan daerah aliran sungai (DAS); melalui rangkaian kegiatan dialog multi pihak yang didukung oleh ilmu pengetahuan (subsisten dan/atau modern) yang didapat dari hasil penelitian dan pengembangan secara partisipatif pada aspek-aspek bio-fisik, sosial-ekonomi dan kebijakan; guna memitigasi konflik destruktif antar-pihak dan secara bersamaan mempromosikan pengelolaan kekayaan alam yang berkelanjutan Walaupun tidak dilihat situasi dan keterlibatan perempuan, Pasya et al (2004) mencatat beberapa beberapa keberhasilan penerapan sistem ini secara multi tataran di Lampung , yaitu: (1) kegiatan negosiasi yang dipromosikan mampu menciptakan ruang politik untuk berdialog menyelesaikan konflik kepentingan dalam pengelolaan kekayaan alam yang melibatkan para pihak di berbagai tataran, (2) kegiatan peningkatan kapasitas (capacity building) kelembagaan dan teknis kepada pihak masyarakat yang lemah (powerless) mampu meningkatkan posisi tawar (bargaining power) mereka dalam bernegosiasi, dan (3) negosiasi kondusif yang dilandaskan kepada

kepentingan bersama (common interest) dan bukan berdasarkan kepada

perubahan dan perbaikan kebijakan pengelolaan kekayaan alam setempat bagi kepentingan semua pihak yang bersengketa. Sementara itu, RMI memandang bahwa narasi ini merupakan upaya untuk melindungi keberlangsungan sumber- sumber penghidupan dan wilayah hidup masyarakat di dalam kawasan TNGH melalui pengaturan ulang wilayah hidup mereka di kampung-desa berdasarkan kesepakatan bersama di tingkat komunitas.

Usulan narasi KDTK itu diterima baik oleh Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari. Untuk sosialisasi dan membangun konsolidasi di antara warga kampung Nyungcung khususnya, dan Desa Malasari umumnya, para penggiat perempuan dan laki-laki dari Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari menggunakan narasi lokal, yaitu Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo. Narasi lokal ini digali dari narasi pengelolaan kekayaan hutan berdasarkan zonasi kawasan hutan yang masih diberlakukan oleh beberapa kelompok masyarakat Kasepuhan.10

Memperkuat strategi reklaim kelompok-kelompok petani Nyungcung melalui gerakan konservasi lokal mereka, RMI melakukan pengorganisasian melalui training Pendidikan Hukum Kritis, Pemetaan Partisipatif kampung, Training Rural Rapid Appraisal (RRA) untuk menajamkan konsep dan kampanye media tentang KDTK, penguatan keorganisasian kelompok petani dan KSM Nyungcung, penguatan ekonomi lokal, serta fasilitasi perumusan rancangan Peraturan Desa dengan Tujuan Konservasi. Selain itu, RMI juga memediasi KSM Nyungcung untuk mengembangkan kerjasama dengan pihak lain seperti dengan ORNOP HuMa (terkait dengan perbaikan lebih lanjut rancangan Peraturan Desa dengan Tujuan Konservasi), dan Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB (terkait dengan perbaikan lebih lanjut tentang penataan ulang ruang di kampung dan desa berdasarkan kaidah konservasi). Dari semua kegiatan pengorganisasian di atas, kelompok petani perempuan difasilitasi secara berkala (berdasarkan kesepakatan waktu pertemuan kegiatan) hanya pada awal beberapa kegiatan yaitu pemetaan partisipatif kampung, training RRA dan penyusunan data yang dihasilkan, penguatan organisasi kelompok, dan penguatan ekonomi lokal. Pada tahap selanjutnya, dikarenakan keterbatasan sumberdaya yang ada dan juga melihat tingkat keaktifan KSM Nyungcung yang dinilai RMI mulai menurun,

terutama pada semua kelompok petani perempuannya, kegiatan pengorganisasian dilakukan secara responsif saja.

Berkaitan dengan pengorganisasian di atas, selama 2003 – 2004 di tingkat internal RMI terjadi perubahan komposisi dan posisi staf. Menjaga keberlangsungan pengorganisasian seperti sebelum terjadi perubahan tersebut, ternyata tidak mudah, apalagi pada saat RMI mengalami krisis sumberdaya manusia, terutama staf perempuan. Selama tahun 2003 – 2004, mendekati masa pergantian Pengurus Harian, tercatat lima orang perempuan dan dua orang laki- laki mengundurkan diri dengan alasan menikah, sekolah, keluarga, dan selesai masa kontrak kerja.

Sejak tahun 2005, dalam kepengurusan Badan Pelaksana (Pengurus Harian) RMI untuk Program Halimun yang baru dengan keterbatasan sumberdaya manusia, cara pengorganisasian untuk program pemberdayaan masyarakat di kawasan Halimun diubah, dari yang bersifat semi intensif dan atau intensif (tidak tergantung dari keaktifan kelompok petani) yang dilakukan oleh satu atau dua orang CO (Community Organizer) dalam satu lokasi pengorganisasian, menjadi bersifat responsif, didasarkan pada keaktifan kelompok petani yang akan direspon bersama oleh para fasilitator lapang dengan kekhususan substansi fasilitasi yang berbeda-beda.

Perubahan strategi pengorganisasian seperti di atas untuk lokasi belajar dan bekerja di desa-desa di Kabupaten Bogor, termasuk Malasari, secara langsung mempengaruhi frekuensi dan kualitas interaksi serta semangat kelompok petani. Sebagian besar anggota kelompok petani perempuan di Kampung Nyungcung merasa malu untuk berinteraksi dengan RMI, karena belum begitu mengenal secara baik semua fasilitator lapang dari RMI saat ini (dua orang perempuan: Ls dan Lt; dan dua orang laki-laki: Rj dan Bg).

Budaya malu berinteraksi tersebut dilanggengkan dengan budaya kerja yang dipilih oleh semua fasilitator lapang tersebut. Diakui oleh Rj dan Bg (fasilitator lapang laki-laki) bahwa ‘sosialisasi’ prinsip/nilai keadilan gender berdasarkan pemahaman mereka diupayakan melalui interaksi mereka dengan para petani laki- laki dalam berbagai kegiatan, karena dirasakan lebih leluasa, tidak kaku, dan dapat disampaikan dalam bahasa bergurau. Sementara itu, Ls dan Lt (fasilitator

lapang perempuan) mengakui keterbatasan mereka untuk mengelaborasikan lebih jauh tentang isu-isu yang mereka fasilitasi masing-masing (ekonomi lokal untuk Ls, dan hukum untuk Lt) menjadi isu-isu kritis dari perspektif feminisme yang seharusnya dibahas ketika memfasilitasi kegiatan kelompok petani perempuan.

Berdasarkan respon keaktifan petani dan buruh tani perempuan, saat ini pengorganisasian perempuan hanya diprioritaskan di Desa Mekarsari, Kabupaten Lebak, melalui kegiatan penguatan ekonomi lokal dari pengolahan hasil kebun. ‘Pengorganisasian’ untuk kelompok petani perempuan di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, dan kelompok petani perempuan di Kampung Teluk Waru, Desa Curug Bitung, diserahkan sepenuhnya kepada fasilitator lapang laki-laki, Rj dalam konteks penguatan organisasi kelompok petani. Keadaan ‘pemberlakuan’ prinsip kesetaraan gender seperti ini menurut Ketua dan Wakil Ketua Pengurus Harian RMI untuk Program Halimun merupakan suatu ‘konsekuensi pengoptimalan’11 dari keterbatasan jumlah dan kapasitas sumberdaya manusia di tingkat Pengurus Harian RMI saat ini.