• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN KONSERVASI LOKAL BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG

5. Pembelajaran ke Depan bagi ORNOP

Berdasarkan pemaparan tiga faktor sebelumnya yang menyebabkan terminasi gerakan konservasi lokal berbasis perempuan, berikut akan disampaikan

beberapa pembelajaran (lesson learned) bagi ORNOP, khususnya RMI, ke depan untuk membangun ulang agenda, peran, dan strategi pengorganisasian sesuai dengan keadaan internal dan ekternal kekinian yang mempengaruhi kelompok- kelompok marjinal, termasuk perempuan.

Pertama, isu perempuan dalam pengelolaan kekayaan alam harus mendapatkan diskriminasi positif dari ORNOP. Hal ini dapat ditunjukkan dari keberadaan program pengorganisasian perempuan dan sumberdaya yang mendukungnya, terlepas dari ada-tidaknya dukungan dari pihak lain, semisal lembaga dana. Penciptaan rasa memiliki dan kemandirian terhadap keberlangsungan program, baik di pihak ORNOP maupun di kalangan petani – buruh tani perempuan yang diorganisir, harus selalu dilakukan dengan beragam cara yang kreatif.

Oleh karena itu, menjadi penting untuk memikirkan program

pengorganisasian yang tidak lagi berada dalam kerangka WID (Women in

Development) semisal yang telah dilakukan melalui fasilitasi pengembangan usaha keripik pisang. Kerangka pemikiran tentang Gender and Development

(GAD) merupakan pendekatan yang tepat untuk mulai memberdayakan (genuinely empowerment) perempuan sampai pada tingkat kontrol. Pendekatan ini memahami tujuan fasilitasi program pemberdayaan bagi perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan internal yang dapat diwujudkan melalui peningkatan kesadaran dan pendidikan perempuan dalam beragam kegiatan (lihat Mosse 1993). Terkait dengan pemberdayaan perempuan ini, penting untuk diaktifkan kembali kegiatan pendidikan kritis (seperti sekolah perempuan yang pernah difasilitasi oleh RMI) di Malasari yang dapat mengarahkan mereka memenuhi kebutuhan strategis perempuan dan komunitas Malasari. Oleh karena itu, dalam tingkat praksisnya, Kerangka Pemberdayaan Perempuan dari Longwe yang dikutip oleh Handayani dan Sugiarti (2002) berikut ini dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh pengorganisasian melalui sekolah perempuan atau penguatan kelompok-kelompok petani perempuan dalam bentuk lain yang kesemuanya merupakan pemberdayaan perempuan yang sesungguhnya:

• Kesejahteraan: di mana terdapat kesetaraan tingkat kesejahteraan perempuan, secara relatif sama terhadap laki-laki, dalam aspek suplai makanan (food

security), perawatan kesehatan, pendapatan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi, waktu istirahat dan rasa aman.

• Akses: di mana terdapat kesetaraan akses antara perempuan dan laki-laki terhadap faktor-faktor produksi (lahan, bibit, peralatan, modal), informasi, pelatihan, pemasaran, dan aktivitas ekonomi lainnya.

• Keyakinan/Kesadaran Kritis: di mana terdapat pemahaman bahwa posisi sosial ekonomi seperti pembagian peran dan kerja antara perempuan dan laki-laki dalam aktivitas di rana publik dan domestik adalah setara dan kesepakatan- kesepakatan seharusnya didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.

• Partisipasi: di mana terdapat kesetaraan partisipasi perempuan dan laki-laki dalam proses pembuatan keputusan, termasuk proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi berbagai kegiatan di rana privat dan publik yang mereka geluti sehari-hari.

• Kontrol: di mana terdapat kesetaraan kontrol antara perempuan dan laki-laki terhadap faktor-faktor produksi dan dalam proses pembagian keuntungan serta pelaksanaan berbagai kebijakan di lingkungan mereka. Perempuan memiliki control, sama seperti laki-laki, untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitas mereka.

Kedua, penggalian dan penguatan narasi lokal tentang konservasi, terutama dari perempuan dan kelompok-kelompok marjinal lain sehingga memudahkan untuk sosialisasi dan mendapatkan dukungan dari warga kampung-desa yang tidak terlibat langsung dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Mengakses atau tidak mengakses emas di sekitar Gunung Pongkor, menjadi gurandil atau tidak, sebaiknya dibahas dalam narasi konservasi lokal mereka. Hasil wawancara dengan Ibu El dan Bapak Rh (anggota kelompok petani dari Kampung Cisangku, Desa Malasari) menekankan bahwa mengakses emas adalah hak yang bersifat terbatas, dimana terdapat aturan yang jelas untuk menentukan waktu dan kebutuhan yang dapat dipenuhi melalui penggunaan hak tersebut, siapa yang menggunakannya, kewajiban apa yang harus diberikan oleh pengguna hak tersebut, siapa atau organisasi apa yang dimandatkan untuk memberlakukan kesepakatan penggunaan hak dan kewajiban sebagai gurandil. Jika pendapat seperti ini dielaborasikan lebih jauh dalam narasi konservasi lokal, maka sangat

mungkin persoalan gurandil bukan merupakan sesuatu yang bersifat kontradiksi atau dapat dijadikan sebagai salah satu kelemahan untuk tidak mengakui konservasi lokal yang sedang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok petani.

Ketiga, pelibatan -- yang sekaligus merupakan salah satu bentuk proses revitalisasi -- organisasi lokal seperti pengajian perempuan dan laki-laki, gotong royong/liliuran, sistem bagi hasil seperti ngepak, sebagai media untuk berbagi informasi, mensosialisasikan inisiatif, menggalang dukungan, dan mengajak warga lain di kampung-desa untuk konsisten memberlakukan konservasi lokal dalam keseharian hidup mereka. Strategi ini dapat mengurangi kesenjangan interaksi antara ORNOP dengan warga lain, yang tidak terlibat langsung dalam keseharian menjalankan agenda belajar dan bekerja bersama.

Keempat, pelibatan pihak-pihak pendukung yang dapat difasilitasi oleh ORNOP atau pihak lain sebagai mitra belajar langsung bagi kelompok-kelompok petani, terutama perempuannya. Melalui upaya ini, diharapkan mulai terbangun proses menjalin solidaritas di antara perempuan, bekerjasama dengan pihak lain (termasuk yang dilakukan oleh penggiat laki-laki) dalam rangka menuju gerakan yang berbasis massa (tidak lagi bersifat elitis) untuk bersama-sama melawan seksisme dan naturisme dalam segala bentuk opresinya. Dalam kasus Malasari, bentuk dukungan nyata yang pernah dilakukan oleh salah seorang anggota laki- laki dari KSM Nyungcung (Bapak Ah) -- yaitu bertemu, memberikan penjelasan tentang Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo (atau KDTK), dan meminta izin kepada suami Ibu Ln agar Ibu Ln diperkenankan menghadiri pertemuan di luar -- dan pengakuan dari Ketua KSM Nyungcung (Bapak Ml), bahwa perjuangan

Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo tidak dapat dilakukan hanya oleh laki-laki, serta keberadaan jaringan kerja yang telah dirintis oleh KSM Nyungcung, menjadi justifikasi penting untuk membangun kelompok pendukung bagi petani dan buru tani perempuan dan laki-laki di Nyungcung yang tetap ingin berpartisipasi politis dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan tersebut.

Catatan Kaki

1

Menurut Holloway (1999) yang dikutip oleh Muchtar (2006), strategi adalah serangkaian pertimbangan yang digunakan untuk mengatur pemakaian sumberdaya kelompok/organisasi/gerakan dalam mengejar misi kelompok/organisasi/gerakan tersebut.

2

Lihat Mahardika 2000, tentang strategi sebagai upaya memahami medan pergulatan. Menurut Mahardika, secara umum strategi gerakan dapat bersifat non kooperatif, kooperatif, atau semi kooperatif (merupakan kombinasi antara strategi non dan kooperatif). Hasil terbaik dari salah satu strategi tersebut yang dipilih, sangat ditentukan oleh: pertama, seberapa besar kekuatan yang dimiliki untuk menghimpun sampai dimana kemampuan kekuatan gerakan dapat mendorong perubahan yang diinginkan; kedua, seberapa kualitas kekuatan yang dimiliki untuk mempertahankan posisi dan kondisi gerakan sampai tujuan terealisasi.

3

Membelenggu petani dalam bentuk sikap fatalisme, passivisme, rasa saling ketergantungan yang tinggi, terutama kepada para patron, kehidupan serba mistik, dan lain-lain.

4

Dimaksudkan untuk mengukuhkan TNGHS sebagai pusat keanekaragaman hayati yang berfungsi optimal sebagai sistem penyangga kehidupan dan penopang sistem sosial-ekonomi-budaya pada tingkat komunitas dan wilayah secara lestari. Untuk mencapai maksud tersebut, dirumuskan delapan tujuan, yaitu: 1) Mewujudkan kemantapan kawasan TNGHS; 2) Membangun sistem data base dan informasi yang handal; 3) Meningkatkan daya jual TNGHS; 4) Membangun kelembagaan penelitian untuk pendidikan publik dan pengembangan IPTEK konservasi; 5) Membangun mekanisme swadana; 6) Menjaga keanekaragaman hayati; 7) Mewujudkan mitigasi bencana di TNGHS; dan 8) Mewujudkan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.

5

Jika dilihat dari kegiatan fasilitasi kelompok perempuan di Desa Mekarsari, Lebak, terlepas dari persoalan keterbatasan jumlah fasilitator lapang perempuan, RMI saat ini lebih memilih pendekatan penguatan ekonomi rumahtangga yang sarat dengan pengetahuan teknis, tidak melanjutkan sekolah perempuan yang telah dirintis pada tahun 2001, atau tidak mengkombinasikan pengetahuan teknis dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang diperlukan oleh perempuan agar memiliki kesadaran kritis.