• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. Profil Subjek Penelitian

5.7. Penguasaan Tanah

Berdasarkan pendataan tentang penguasaan tanah yang dilakukan oleh sepuluh orang perempuan dari Kelompok Cepak Nangka dan Andam, delapan subjek penelitian (kecuali Ibu El) memiliki tanah kurang dari 5,000 m2. Kepemilikan tanah seperti pada Tabel 16 menggambarkan keterbatasan sumber penghidupan yang utama (tanah) untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sepanjang tahun. Strategi yang mereka lakukan adalah menggarap tanah di kawasan produksi PERUM PERHUTANI, yang saat ini merupakan termasuk ke dalam kawasan konservasi TNGHS, dan beberapa cara lainnya seperti yang telah dijelaskan pada Sub-bab Pekerjaan Perempuan.

Tabel 16. Kategori Kepemilikan Tanah

Subjek Penelitian

Kategori Kepemilikan Tanah

Frekuensi Persentase

Tidak Bertanah 1 orang 11%

Bertanah, < 1 gedeng 1 orang 11%

Bertanah, 1 – 2 gedeng 5 orang 56%

Bertanah, > 2 gedeng 2 orang 22%

Jumlah 9 orang 100%

Pentingnya tanah bagi perempuan dapat diketahui dari ungkapan Ibu Tt dan petani-petani perempuan lainnya, yang bergabung dalam kelompok Cepak Nangka dan Andam bahwa:

“Saya sebenarnya ingin jika punya sertifikat tanah atas nama saya sendiri, jadi kalau ada apa-apa dengan perkawinan saya nanti, saya masih punya

simpenan buat kehidupan saya nanti..” (Pernyataan Ibu Tt, dari Kampung Nyungcung, Didokumentasikan pada tanggal…., bulan…, 2002)

“Jika tidak ada lahan, maka tidak ada makanan. Jika lahan tersebut milik kami, maka kami dapat menanam apa yang kami mau... karena biasanya PERUM PERHUTANI memberitahukan kami apa yang boleh kami tanam di atas lahannya” (Anomin, sebagian besar petani perempuan yang tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka dan Andam, Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002).

5.8. Tingkat Kekerasan terhadap Perempuan

Sejauh yang terungkap, disampaikan langsung oleh yang mengalaminya, diketahui bahwa Ibu El (anggota kelompok Cepak Nangka) adalah satu-satunya diantara petani dan buruh tani perempuan yang terlibat dalam kelompok- kelompok petani di KSM Nyungcung yang mengalami kekerasan fisik (pemukulan) oleh suaminya.

Berbeda dengan anggota perempuan lain di tiga kelompok petani perempuan, Ibu El adalah perempuan pertama yang selalu bersedia belajar dan bekerja bersama RMI sejak tahun 2001 melalui kegiatan sekolah perempuan dan kegiatan-kegiatan pengorganisasian yang lain. Sangat sering, rumah Ibu El dijadikan sebagai tempat bermukim bagi fasilitator lapang RMI dan tempat untuk pertemuan-pertemuan atau diskusi informal terkait dengan kegiatan-kegiatan pengorganisasian RMI di Kampung Nyungcung. Tidak jarang, ketika ada di rumah (tidak ke gunung mencari emas atau ke sawah) suami Ibu El dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan atau diskusi-diskusi informal tentang kegiatan pengorganisasian RMI tersebut.

Melalui proses interaksi seperti itu, perilaku ketertarikan untuk beraktivitas bersama RMI lebih ditunjukkan oleh Ibu El dibandingkan suaminya. Ketika menjadi salah satu peserta seri riung mungpulung (istilah Sunda untuk lokakarya)

petani untuk kegiatan penguatan talun dari aspek pengetahuan teknis silvikultur dan informasi pasar, Ibu El dengan jiwa kepemimpinannya berhasil mengajak petani dan buruh tani perempuan lain untuk bergabung dalam kelompok. Dalam kegiatan berkelompok, yang kemudian berjalan sebagai inisiatif untuk merespon kebijakan Menteri Kehutanan memperluas kawasan TNGH, Ibu El semakin terlibat, tidak hanya kegiatan kelompok di lapang, tetapi juga dalam serangkaian pertemuan rapat internal KSM dan kegiatan sosialisasi ke luar.

Dihubungkan dengan kekerasan yang dialami Ibu El, berdasarkan penuturan beberapa orang yang bersedia memberikan pendapatnya tentang mengapa hal itu terjadi, saya mencoba merangkaikan potongan-potongan informasi tersebut dalam suatu keadaan yang saling menguatkan, yaitu:

• Waktu kegiatan tertentu dalam agenda KSM Nyungcung (berupa serangkaian pertemuan rapat internal) tidak tepat bagi perempuan, yaitu sering dilakukan malam hari;

• Kondisi salah satu anggota keluarga, yaitu anak, sedang tidak sehat;

• Keadaan ekonomi keluarga yang sedang menurun, suami belum berhasil

mendapatkan uang dari usahanya, secara psikologi sangat sering mempengaruhi (baca: menyulut) emosi suami ketika berada di rumah;

• Perubahan komunikasi antara suami – istri, dari awalnya satu arah (didominasi oleh suami) menjadi dua arah (istri memiliki keberanian berpendapat atas persoalan yang dilontarkan kepadanya), yang pada keadaan tertentu membuat suami merasa tidak didengar dan dihargai lagi tanpa mendengar apa esensi apa yang disampaikan oleh istri.

Sebagai akibat dari pertemuan keadaan-keadaan di atas pada saat suami – istri berkomunikasi, walaupun membicarakan tentang sesuatu yang biasa, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa suami sering tersulut kemarahannya.

Poerwandari dalam Poerwandari dan Hidayat (2000) menjelaskan bahwa kemarahan tersebut berasal dari kesulitan pelaku, yang tidak jarang adalah laki- laki, untuk memahami perasaannya sendiri, terutama perasaan yang dikategorikan ‘feminin’ seperti takut, sedih, malu, dan tidak berharga. Perasaan seperti ini kemudian dipahami sebagai suatu ketidakadilan yang diberikan oleh pihak lain, seperti istri, kepadanya sehingga menimbulkan kemarahan. Kesemua ini tentu

tidak terlepas dari konsep peran gender dan pesan yang diterima tentang peran laki-laki dan perempuan. Dalam patriarkhi, laki-laki diberi peran sebagai kepala keluarga, pemimpin, pihak yang menentukan, pihak yang dijadikan panutan, dan lain-lain. Oleh karena itu, sangat sering laki-laki menjadi enggan mengungkapkan sisi (yang dipandang) ‘lemah’ dari dirinya, dan menyebabkan dia menjadi sangat

self-centered, penuntut, dan pada akhirnya merasa berhak melakukan apapun yang ingin dilakukannya. Dan jika pelaku adalah orang yang tidak dapat mengekspresikan diri dengan baik secara verbal, menjadi lebih mungkin lagi jika kemarahan tersebut ditampilkan melalui kekerasan fisik. Sekali terjadi kekerasan, bagi beberapa perempuan yang menjadi korban, menjadi sulit untuk kembali seperti semula, sebelum terjadi kekerasan. Keadaan ini yang terjadi pada Ibu El, memilih untuk bercerai dibandingkan kembali kepada suaminya.

“Saya sekarang sudah dewasa, tidak seperti dulu lagi yang ketika dimarahin cuma bisa diam dan menangis. Manfaat dari berkelompok selama ini membuat saya tidak takut untuk bertemu dan berbicara dengan orang lain. Saya banyak kawan. Saya bisa bangkit kembali...” (Pernyataan Ibu El. Didokumentasikan Bulan Agustus 2006).

Catatan Kaki

1

Berdasarkan diskusi tentang sejarah kampung yang dilakukan pada pertengahan tahun 2005 oleh beberapa anggota KSM Nyungcung, diketahui bahwa Kampung Nyungcung terbentuk pada tahun 1932 oleh seorang keturunan Cirebon/Kuningan, mbah Salimun (lihat RMI 2005).

2

Rumah tangga yang tidak memiliki tanah di masa kolonial dan hidup sebagai pekerja pada rumah tangga pemilik tanah (bumi).

3

Berdasarkan hasil studi arsip oleh Galudra et al (2005), kebun teh di Nirmala yang dikenal sebagai the Nirmala Java Plantations and Lands Company, seluas 4,200 ha, telah ada setidaknya sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Raffles.