• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara historis, Desa Malasari merupakan bagian dari wilayah perluasan perkebunan (kopi, kayu indigo, dan kapas) yang mencakup Kabupaten Sukabumi dan Bogor, untuk kepentingan tanam paksa (Preangerstelsel), tepatnya sesudah tahun 1864. Pada masa Preangerstelsel ini, rakyat berkewajiban memenuhi quota produksi komoditi perkebunan tersebut, yang pengaturannya oleh pemerintah kolonial Belanda diserahkan kepada Bupati atau kepala penduduk pribumi (Hanavi et al 2004). White (1983), dikutip oleh Li (1999), mengatakan bahwa jumlah tenaga kerja yang dikerahkan untuk perkebunan kopi pada masa puncak tanam paksa mencapai dua sampai tiga kali lipat dari yang dikerahkan untuk penanaman tebu di dataran rendah. Antlöv (2002) mempertegas bahwa pelaksanaan unit produksi dalam sistem tanam paksa memang memerlukan semua tenaga kerja, termasuk perempuan dan anak-anak, dari tingkat rumah tangga- rumah tangga petani, terutama yang berkelas manumpang2.

Keberlangsungan sistem tanam paksa itu kemudian diperkuat oleh para pelaku bisnis Belanda dan beberapa negara asing lainnya dengan cara mengembangkan perkebunan besar teh, kina, dan karet. Kemunculan perkebunan-perkebunan besar swasta asing ini diduga dari pemberlakuan politik pintu terbuka oleh pemerintah kolonial Belanda yang tercermin dalam Undang- Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet). Melalui politik pintu terbuka ini, sampai awal abad ke 20, di Kabupaten Sukabumi tercatat ada 474 perkebunan swasta. (Hanavi et al 2004).

Untuk Kabupaten Bogor, terutama yang berdekatan dengan Sukabumi, termasuk Desa Malasari dan desa-desa sekitarnya, sejak tahun 1920-an telah dimulai pengembangan perkebunan teh oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Sejarah seperti ini dibenarkan juga oleh beberapa sesepuh kampung di Malasari, salah satunya adalah Nenek Tt. Beliau bersama suami datang ke dan bermukim di kampung Nyungcung untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan teh milik perusahaan Belanda. Saat itu, menurut Nenek Tt, perkebunan teh dibangun dalam luasan-luasan kecil (tidak dalam satu bentangan yang luas) dan tersebar di antara wilayah hutan di Malasari. Ketika masa pendudukan Jepang, perkebunan-

perkebunan teh itu ‘diserahkan’ oleh pengusaha Belanda kepada penduduk di Malasari, termasuk Kampung Nyungcung.

Selain informasi tentang ‘penyerahan’ perkebunan-perkebunan teh itu, disampaikan juga bahwa sebagian besar penduduk (perempuan dan laki-laki) mulai membuka lahan-lahan sekitar kampung-desa mereka dalam untuk dijadikan huma, sawah, dan kebun. Fenomena membuka lahan seperti ini semakin meluas dikaitkan kewajiban serah padi yang diberlakukan oleh penguasa Jepang. Hasil penelitian Kurasawa (1993) memperkuat penjelasan ini. Walaupun sebentar, pendudukan Jepang di Indonesia menyebabkan beberapa perubahan yang cukup signifikan.

Dalam penelitiannya, Kurasawa (ibid) membahas secara rinci tentang bagaimana seluruh kebijakan Pemerintahan Jepang mengontrol ketat kehidupan rakyat pedesaan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Dalam sektor pertanian, orientasi budidaya diubah, dari tanaman keras perkebunan menjadi tanaman pangan, terutama padi. Selain kontrol atas jenis tanaman pertanian ini, pemerintah Jepang juga menerapkan kebijakan pengumpulan hasil produksi tersebut. Melalui pemberlakuan sistem penyerahan secara paksa dan sistem penjatahan, petani diperintahkan untuk menyerahkan sebagian panen mereka kepada pemerintah. Sistem seperti ini memperburuk kehidupan petani dan meningkatkan kemiskinan di wilayah-wilayah pedesaan.

“Jaman Jepang mah jaman emak kesusahan, anak-anak gak bisa makan. Semuanya kelaparan... Kalaupun emak dapet makanan, eh.... di jalan diambil sama tentara Jepang....” (Pernyataan Ibu Un, dari Kampung Nyungcung, dikutip oleh Galudra et al. 2005)

Selain itu, tenaga manusia juga kerahkan untuk bekerja bagi kepentingan militer ‘negara’ yang disebut sebagai rômusha, dan pemasok tenaga ini terbesar diambil dari masyarakat pedesaan. Rômusha ini membawa akibat sangat serius dimana kegiatan pertanian di pedesaan menjadi sekarat karena kekurangan tenaga kerja.

Penjelasan Kurasawa ini dapat kita pakai untuk menjelaskan mengapa perkebunan-perkebunan teh di Malasari dan sekitarnya tidak dipertahankan, diubah menjadi huma, sawah, dan kebun, kecuali yang terdapat di Nirmala3, salah satu kampung di Malasari.

Sesudah Indonesia merdeka, terjadi perpindahan penguasaan lahan dan asset-asset di atasnya. Untuk perkebunan teh di Nirmala, setelah mengalami beberapa kali pengalihan hak pengusahaan, sejak tahun 1992 perkebunan tersebut dengan luas ± 971 ha diusahakan oleh PT. Nirmala Agung, (anak perusahaan PT. Sari Wangi). Selanjutnya, pada tahun 1978, sebagian kawasan hutan di Malasari -- yang selama periode 1924 – 1934 di masa Kolonial Belanda merupakan bagian dari kawasan hutan lindung (protection forest) -- diberikan kepada PERUM

PERHUTANI Unit III4 melalui unit pengelolaan RPH Cisangku, BKPH

Leuwiliang, KPH Bogor. Sebagian sawah, huma, dan talun masyarakat yang digarap sejak tahun 1930-1940an berada dalam kawasan produksi PERUM PERHUTANI.

Mempertimbangkan potensi mineral emas di Halimun, pada tahun 1992, sebagian wilayah Malasari di bagian Utara, tepatnya Ciguha, berdasarkan Kontrak Karya KP Eksploitasi DU 893/Jabar untuk waktu 30 tahun dengan luas total wilayah konsesi ± 4,058 ha, diberikan kepada PT. Aneka Tambang sebagai salah satu vein utama mereka. Keberadaan PT. Aneka Tambang ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Malasari, selain bertani, menjadi gurandil5 pada waktu-waktu tertentu (pada saat menjelang lebaran, untuk membayar uang sekolah anak, untuk berobat ke dokter di Nanggung, atau ikut menambang pada saat ‘musim’ emas yaitu ketika diketahui ada gurandil yang beruntung mendapatkan emas banyak di suatu lokasi tertentu sehingga mengundang gurandil lain untuk mencari emas di lokasi itu juga).

Dari aspek konservasi, kawasan hutan yang tersisa dijadikan sebagai bagian dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun pada tahun 1979 dengan SK Menteri Pertanian No. 40/Kpts/Um-I/1979. Pada tahun 1992, dengan SK Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992, cagar alam tersebut diubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Pada pertengahan tahun 2003, melalui SK MenHut No. 175/Kpts-II/2003, walaupun masih bersifat penunjukan, seluruh wilayah administratif Desa Malasari -- salah satu desa dari 118 desa -- saat ini berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun – Salak (TNGHS).