• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sedekah Bumi adalah kegiatan ritual untuk menyampaikan ucapan rasa syukur para petani-buruh

BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG

3 Sedekah Bumi adalah kegiatan ritual untuk menyampaikan ucapan rasa syukur para petani-buruh

tani kepada Tuhan YME atas rizki yang telah diberikan, dengan cara mengubur ayam bakakak (ayam panggang), diutamakan ayam hitam pekat, dan membuat sesajen. Kegiatan ini dipimpin oleh sesepuh kampung.

4

Mekanisme bagaimana proses matinya institusi lokal dapat kita pelajari dari pemberlakuan Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979. Undang-undang ini membuat desa semakin kehilangan dinamika proses politik yang demokratis dan partisipatif. Format-format institusi partisipatif yang diatur ulang oleh undang-undang ini merupakan upaya kontrol birokrasi terhadap kekuatan rakyat.

Menurut Antlöv (2002), tujuan resmi undang-undang tersebut adalah untuk menstandarisasi keragaman lokal pada pemerintahan desa. Tujuan lainnya adalah untuk mengontrol langsung urusan-urusan di dalam desa. Untuk menwujudkan hal itu, Undang-Undang ini memiliki tiga komponen utama, yaitu pertama, forum sesepuh digantikan dengan Lembaga Musyarawah Desa (LMD) yang digambarkan sebagai institusi representasi dari kekuatan legislatif rakyat. Dalam klausulnya, keanggotaan LMD harus dimusyarawahkan dengan Kepala Desa dan tokoh masyarakat yang kemudian harus disetujui oleh Pemerintah. Keputusan-keputusan yang diambil oleh LMD harus disetujui oleh Camat. Dalam pertemuan-pertemuan LMD, pejabat kecamatan sering hadir untuk memastikan keputusan-keputusan yang dibuat sejalan dengan kepentingan- kepentingan Pemerintah. Kedua, terdapat perubahan Lembaga Sosial Desa (LSD) menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Awalnya LSD merupakan wadah partisipasi langsung pemuka desa dalam pembangunan desa, kemudian diubah secara seragam menjadi LKMD yang penentuan keanggotaannya sama seperti dalam proses LMD, ditunjuk oleh Kepala Desa dengan persetujuan Camat. Ketiga, Kepala Desa dan stafnya dijadikan sebagai wakil langsung Pemerintah di tingkat desa. Demikian pula halnya dengan peran perempuan, dikoordinasikan melalui wadah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Tjondronegoro (1999) berpendapat bahwa pengejawantahan formalisasi, birokrasi, dan kontrol menyeluruh dari UU tersebut telah menimbulkan gap antara pemerintah (dari tingkat kecamatan yang berfungsi mengkoordinir desa-desa dan kelurahan) dengan rakyat, yang kemudian berdampak pada penghilangan otonomi desa secara bertahap. Masyarakat desa semakin berlapis, lembaga-lembaga tradisional semakin mengecil, dan kekuatan norma berkurang.

5

Tahun 1999, Kepala Desa pada pemerintahan periode 1998 – 2006 menandatangani surat dari PT. Nirmala Agung yang pada intinya pemerintah desa tidak mendukung perjuangan rakyat (diwakili oleh kelompok petani Mandalasari) mereklaim tanah afdeling No. 2 di Blok Ciwalen.

6

Salah satunya dapat dilihat dari Peraturan Daerah Kabupaten Bogor yang terkait dengan aspek pengelolaan sumberdaya alam, sejauh ini baru terdapat empat Peraturan Daerah, yaitu:

▪ Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2001 tentang Retribusi Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah.

▪ Tarif retribusi tersebut hanya diperuntukkan industri-industri yang memanfaatkan baik pengeboran dan atau pengambilan air bawah tanah. Penetapan tarif yang dilakukan dan dibedakan berdasarkan jenis sumur ini diharapkan mampu mendorong efisiensi pemakaian air bawah tanah.

▪ Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2001 tentang Ijin Pengolahan Limbah Cair, yang intinya mewajibkan setiap industri yang berkembang di kawasan yang terdapat sumber-sumber air bawah tanah mengolah limbahnya secara aman, tidak mencemari kawasan.

▪ Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum, yang diarahkan pada usaha-usaha eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pengangkutan dan atau penjualan untuk bahan galian tambang selain minyak bumi, gas alam dan radioaktif.

Peraturan Daerah ini juga membahas mengenai perijinan Hak Guna Usaha dan luasan wilayah usaha. Ijin usaha pertambangan bahan galian untuk eksplorasi ditentukan bentuk dan jangka waktunya yaitu 3 tahun dan dapat diperpanjang lagi 2 tahun. Sedangkan untuk eksplorasi diberikan ijin selama 20 tahun dan diperpanjang paling lama 10 tahun yang disesuaikan dengan luas lokasi.

▪ Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Usaha Kehutanan dan Usaha Perkebunan

7

‘Perjanjian’ tersebut didasarkan pada Surat Kepala Unit III PERUM PERHUTANI Jawa Barat No. 0552/1980 tanggal 25 Maret 1980 tentang Pelaksanaan Garapan Sepihak (lihat Galudra et al 2005).

8

Dengan cara menggali banyak lubang dan saluran yang bervariasi kedalamannya sehingga menyebabkan air tanah dan permukaan mengalir ke dan ‘tersimpan’ di dalam lubang-lubang dan saluran-saluran tersebut.

9

Berdasarkan diskusi dengan beberapa sesepuh kampung di Kampung Malasari, LBH AMPERA intensif berinteraksi dengan sebagian petani-buruh tani sekitar tahun 1996/1997. Dalam proses memfasilitasi persiapan reklaim tanah garapan di sebagian HGU PT. Nirmala Agung ketiga kalinya, Ibu Em mengenang kiprah LBH AMPERA sebagai guru sukarela selama satu tahun lebih di SD Kampung Malasari, yang dilakukan secara bergantian oleh beberapa staf LBH AMPERA. Sedangkan kenangan Ibu Yn adalah pada cara pendidikan politik rakyat LBH AMPERA melalui pemutaran film dokumenter (layar tancep) tentang perjuangan-perjuangan petani menyelesaikan konflik tenurial di halaman rumahnya. Kemudian pada tahun 1998, bersamaan dengan RMI memulai proses belajar dan bekerja di Malasari melalui kegiatan awal memfasilitasi proses penguatan wanatani tradisional (talun), LBH AMPERA terlibat dalam fasiltasi beberapa pertemuan dialog antara kelompok Mandalasari dengan pemerintah.

Setelah itu, menjelang akhir tahun 1999, mengingat proses dialog dan negosiasi tersebut cukup lama dan belum membuahkan hasil seperti yang diinginkan, LBH AMPERA mengusulkan agar kelompok Mandalasari mendaftarkan perjuangan reklaim mereka ke PTUN. Ketika usulan ini didiskusikan bersama di RMI, berdasarkan pengetahuan tentang PTUN, saya dan kawan-kawan di RMI memberikan pendapat bahwa usulan tersebut tidak tepat, karena kasus-kasus tentang sengketa tanah yang di-PTUN-kan adalah kasus yang bersifat individu, dan biasanya tidak menghasilkan keputusan yang jelas. Mempertimbangkan hasil diskusi tersebut, kelompok Mandalasari memutuskan untuk menolak usulan LBH AMPERA dan menarik kembali mandat mereka kepada LBH AMPERA selaku ’gantar kakait’ mereka (dapat diartikan sebagai representatif/wakil dari kelompok Mandalasari) dalam hal bernegosiasi dengan pihak-pihak luar. Keputusan ini kemudian menyebabkan hubungan kerjasama antara LBH AMPERA dan RMI menjadi renggang, karena ada prasangka tentang keterlibatan RMI dalam keputusan tersebut. Upaya pertemuan untuk menjelaskan semua persoalan antara ketiga pihak (kelompok Mandalasari, LBH AMPERA, dan RMI) telah diusahakan, namun hal itu tidak terjadi. Pada tahun 2000, tidak ada lagi interaksi LBH AMPERA dengan kelompok Mandalasari dan RMI.

10

Dalam Hanavi, et al. (2004) dijelaskan bahwa pemaknaan hutan di kalangan Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul dapat kita ketahui dari pengetahuaan dan pengelolaan kawasan hutan secara zonasi adat, yaitu:

Leuweung Kolot/Geledegan/Awisan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat diganggu untuk kepentingan apapun, karena awisan berarti warisan dari karuhun yang harus selalu dijaga. Oleh Karen itu, masih dipercayai bahwa leuweung ini dijaga oleh hal yang tidak tampak oleh mata, siapa yang melanggarnya pasti akan tertimpa kemalangan (kabendon). Sejalan dengan konservasi yang dilakukan pemerintah dengan konsep zonasi, maka istilah Leuweung Tutupan di kalangan Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul sangat mungkin ‘lahir’ sebagai respon adaptif terhadap konsep zonasi yang disosialisasikan oleh pihak TNGH kepada

mereka. Secara geografis, hampir semua kawasan Leuweung Kolot/Geledegan/Awisan berada di dalam kawasan TNGH.

Leuweung Titipan adalah suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur Kasepuhan Banten Kidul kepada para incu putu (warga Kasepuhan) untuk menjaga/tidak mengganggu kawasan hutan ini. Masyarakat percaya apabila ada yang memasuki kawasan ini tanpa seizin sesepuh maka akan mengalami gangguan secara gaib atau kualat (kabendon) dari leluhur. Dan ditegaskan pula bahwa pemerintah harus ikut menjaga kelestarian kawasan hutan ini sampai tiba ‘waktu’nya untuk dibuka atas izin leluhur yang ikut melindungi.

Leuweung Bukaan/Sampalan adalah suatu kawasan hutan yang sekarang telah terbuka dan dapat digarap oleh masyarakat dan masih dikelola untuk sawah, huma dan kebun. Berdasarkan sejarah, kawasan ini telah dibuka sejak tahun 1902 sampai tahun 1941 – 1942.

11Pengoptimal tersebut tidak diikuti dengan realisasi salah satu program internal organisasi untuk

mengasah pilihan berkarya dan meningkatkan kapasitas staf dan relawan RMI, yaitu melalui seri diskusi internal (yang disebut juga sebagai ‘sekolah’ RMI) secara teratur. Selama kurun waktu dua tahun terakhir ini, baru tiga kali direalisasikan “kelas” yang membahas isu keadilan gender. Kevakuman seri diskusi tersebut dikarenakan tidak ada staf yang khusus memastikan keberlangsungan kegiatan ‘sekolah’ RMI.

1. Kesimpulan

Dalam tesis ini, saya berargumentasi bahwa tumbuh dan dinamika gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di kawasan ekosistem Halimun (yang juga saat ini merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak), merupakan hasil interaksi antara feminisasi kemiskinan akibat pembatasan akses dan peniadaan kontrol rakyat atas tanah dan kekayaan hutan lainnya, kuatnya budaya patriarkhi, dan intervensi pihak luar, dalam hal ini ORNOP. Hasil penelitian saya sebagaimana dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya menunjukkan memang ketiga faktor ini sangat mempengaruhi bagaimana gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Nyungcung tumbuh dan mengembangkan agenda, strategi, serta kepemimpinannya.

Secara khusus, ada tiga kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian saya. Kesimpulan pertama adalah tumbuhnya gerakan konservasi lokal berbasis perempuan tidak dapat dilepaskan dari menguatnya proses pemiskinan di kalangan perempuan atau yang biasa disebut sebagai feminisasi kemiskinan. Proses pemiskinan ini pada tingkat tertentu telah menimbulkan militansi di kalangan perempuan marjinal di Kampung Nyungcung. Militansi para perempuan ini pada gilirannya telah menciptakan solidaritas dan kekuatan untuk mengorganisir diri mereka dalam bentuk kelompok-kelompok yang menjadi unsur utama dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Temuan ini dengan sendirinya mempertanyakan kembali anggapan atau stereotipe bahwa gerakan di basis, khususnya perempuan marjinal, merupakan hasil rekayasa atau ‘titipan kepentingan’ dari pihak luar, bukan berbasis pada kepentingan atau kebutuhan mereka sendiri. Hasil penelitian saya secara jelas menunjukkan kebutuhan perempuan untuk keluar dari kemiskinan telah mendorong mereka mengorganisir diri mereka sendiri untuk memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah dan kekayaan hutan lainnya.

Kesimpulan kedua berkaitan dengan agenda, strategi, dan kepemimpinan perempuan dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Dari penelitian

saya ditemukan bahwa agenda, strategi, dan kepemimpinan perempuan sangat ditentukan oleh faktor internal yang berkaitan dengan tingkat kemiskinan perempuan dan dominasi budaya patriarkhi, serta faktor eksternal berupa intervensi atau pengaruh dari pihak luar yang mendorong terbentuknya kelompok- kelompok petani perempuan. Agenda dan strategi kelompok-kelompok petani perempuan ini yang pada awalnya hanya berfokus pada okupasi melalui penghijauan sebagai alat reklaim mereka kemudian bergeser pada agenda-agenda yang berhubungan langsung dengan kepentingan dan atau kebutuhan perempuan, baik sebagai pencari nafkah keluarga maupun sebagai individu. Agenda-agenda baru yang berkaitan dengan peningkatan ekonomi keluarga dan kapasitas perempuan seperti pengembangan usaha industri makanan tingkat rumah tangga atau kelompok, dan kemampuan baca tulis serta mengetahui beragam informasi dari luar, mulai mewarnai kelompok perempuan ini setelah satu tahun berjalan. Selain itu, proses penguatan kepemimpinan perempuan mulai meningkat, baik yang dilakukan sendiri oleh kelompok maupun yang difasilitasi oleh ORNOP, tetapi sekaligus mendapatkan benturan dengan nilai-nilai budaya lokal yang lebih mengutamakan kepemimpinan laki-laki. Interaksi dan benturan di antara keinginan perempuan keluar dari kemiskinan, nilai-nilai budaya yang membelenggunya, dan keberadaan pihak luar dengan tujuan memperkuat gerakan tersebut pada akhirnya mengkondisikan posisi pemimpin-pemimpin dalam kelompok perempuan tersebut pada situasi yang dilematis, yaitu mereka dihadapkan pada pilihan tetap menjadi perempuan sesuai dengan norma di Nyungcung atau menjadi perempuan dengan inisiatif dan kreasi yang seringkali tidak sesuai dengan norma tersebut. Hal inilah yang sebenarnya menyebabkan gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Kampung Nyungcung menjadi tidak berkembang, bahkan mengalami terminasi setelah berjalan dua tahun.

Kesimpulan ketiga berkaitan dengan perspektif gerakan lingkungan yang turut mempengaruhi keberlangsungan gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Gerakan lingkungan yang bekerja di wilayah kawasan ekosistem Halimun yang umumnya dimotori oleh ORNOP (dapat disebutkan sebagai organized environmentalists atau voluntary environmentalists) berpengaruh pada cara pandang dan analisis yang dimiliki oleh gerakan konservasi lokal (dapat

disebutkan sebagai public environmentalists). Sebagian besar unsur-unsur gerakan lingkungan yang bekerja di wilayah konservasi tidak memiliki perspektif yang cukup kuat untuk memahami dan menganalisis relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki (relasi gender) di tingkat basis, mulai dari rumah tangga petani, kelompok petani, kampung, dan desa. Sebagai konsekuensinya, keberadaan perempuan dengan segala pengetahuan, persoalan, kebutuhan, dan harapannya menjadi terpinggirkan dan tidak menjadi agenda gerakan. Implikasi dari situasi ini adalah para pemimpin perempuan dalam gerakan konservsi lokal berbasis perempuan akan selalu diposisikan sebagai perawat dan pemelihara keluarga dan komunitas, serta sebagai istri dan ibu. Berada dalam situasi ini, para pemimpin perempuan menjadi gamang dan takut untuk memperjuangkan agenda khusus mereka dan agenda bersama dalam gerakan konservasi lokal tersebut karena takut dianggap keluar dari ‘kodrat’nya. Dengan demikian, perspektif gerakan lingkungan menjadi sesuatu yang signifikan dalam mengembangkan dan memperkuat kepemimpinan perempuan marginal yang merupakan poros dari gerakan konservasi lokal di Kampung Nyungcung.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas dan untuk menghubungkan dengan harapan-harapan perempuan (lihat bab tiga, halaman 60), saya mengajukan beberapa saran sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk membangun kembali gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Pertama, merespon persoalan terminasi militansi dan partisipasi politis kelompok-kelompok petani perempuan dalam gerakan tersebut, diperlukan penguatan posisi mereka dengan cara memperbesar akses dan kontrol mereka atas sumberdaya ekonomi, politik (pengambilan keputusan), budaya (perumusan nilai, simbol, ideologi, dan lain- lain) melalui pengorganisasian yang berbentuk serangkaian kegiatan pendidikan dari berbagai isu (tidak hanya peningkatan ekonomi rumahtangga dan pengoptimalan kebun); mobilisasi sumberdaya lokal; serta penguatan dan pengembangan kelompok pendukung.

Pada kegiatan mobilisasi sumberdaya lokal, tidak hanya aspek yang bersifat materi dan finansial, tetapi juga aspek pengetahuan dan pengalaman perempuan

selaku individu dan anggota komunitas, sejarah perempuan dan komunitasnya, intelektualitas, rasa saling percaya dan saling menghargai serta solidaritas juga harus dimobilisasi. Pada kegiatan penguatan dan pengembangan kelompok pendukung, sebagaimana yang disampaikan pada akhir bab enam, ORNOP sebagai salah satu unsur dari organized environmentalists atau voluntary environmentalists, harus lebih tanggap terhadap masalah-masalah dan kebutuhan- kebutuhan kontemporer yang khas perempuan, memfasilitasi, mengadvokasi, dan bekerja bersama dengan para petani – buruh tani perempuan di basis dan pihak- pihak lain yang bersedia berjuang bersama dalam suatu gerakan sosial. Dengan demikian, perspektif gerakan lingkungan (baik organized environmentalists atau voluntary environmentalists maupun public environmentalists) penting untuk dikritisi kembali. Terkait dengan hal ini, maka perspektif feminis (lihat sub-bab 5, bab pertama, halaman 16 – 18) menjadi sangat penting untuk dimiliki dan selalu diasah oleh para pelaku gerakan tersebut sehingga memampukan mereka untuk juga memperjuangkan agenda khusus perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam platform gerakan.

Kedua, terkait dengan perlindungan hak kelola atas tanah-tanah yang diakses selama ini (dalam bentuk sawah dan kebun) serta sebagian kawasan ex- produksi PERUM PERHUTANI yang telah dihijaukan, menjadi penting pula untuk diberlakukan sistem tenurial yang bersifat komunal. Kepada para pihak yang memfasilitasi proses ini, semisal ORNOP, beberapa aspek harus diperhatikan, yaitu:

• Konsep, tentang bagaimana merumuskan sistem tenurial komunal kita dituntut untuk menghilangkan cara berpikir hirarkhis. Salah satunya dapat dilihat dari bahasa dan pengetahuan dalam perumusan konsep tentang pengelolaan kekayaan alam secara komunal. Dari aspek bahasa, sesungguhnya mencerminkan siapa yang berkuasa. Dalam feminisme, bahasa adalah sebuah artikulasi budaya yang paling rawan menghasilkan bias-bias yang merugikan dan diskriminatif terhadap perempuan. Dalam konsep sistem tenurial komunal (seperti nilai-nilai, kebijakan organisasi/role of conduct, agenda kegiatan, dan rumusan insentif), sejauh mana pemikiran, pengalaman, pengetahuan, bahasa,

dan hak-hak perempuan serta kelompok marginal lainnya diakomodir dalam agenda dan strategi gerakan?

• Organisasi, tentang bagaimana kita memberlakukan sistem tersebut. Untuk mengoperasional Konsep dalam perilaku Organisasi, kita ditantang sejauh mana mampu melakukan kegiatan-kegiatan berdasarkan kepentingan dan kebutuhan perempuan serta kelompok marjinal lainnya, tidak berdasarkan kepada hal-hal yang hanya diinginkan oleh laki-laki atau kelompok elit dalam bahasa dan pengetahuan atas nama semua pihak.

• Norma, tentang bagaimana kita mengevaluasinya. Dalam aspek Norma, kita dituntut untuk menghilangkan maskulinitas yang selama ini membutakan kita terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan gender (yang secara realita lebih banyak dialami oleh perempuan) dan penyebab-penyebabnya. Norma yang disepakati harus memampukan para anggota organisasi, terutama dari kelompok marginal, dan non anggota untuk bersama-sama mengawasi gerak organisasi/kelompok, terutama dalam organisasi/kelompok yang sebagian anggotanya dibentuk berdasarkan unsur primodial (kekerabatan/hubungan darah).

Organisasi dan Norma seperti di atas menjadi penting bagi berkembangnya kepemimpinan perempuan terutama dari kalangan marginal.

Terakhir, dalam konteks situasi yang dialami oleh rakyat Nyungcung merupakan friksi dari politik dan budaya yang menghubungkan kehidupan lokal, nasional, dan internasional dalam suatu kontinum (lihat Tsing 2005), serta dalam konteks hukum sebagai suatu kerangka negosiasi, terdapat beberapa peluang bagi kita untuk semakin mendesakkan realisasi komitmen Pemerintah atas beberapa ratifikasi konvenan dan kesepakatan internasional, seperti the International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan/Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Konvenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), the Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (Konvenan Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), the Peasant Charter (Piagam Petani) 1981, Agenda 21 (UNCED, 1992), dan Millenium Development Goals (MDGs).

Paradigma keberpihakan pada kelompok marjinal, terutama perempuan, dan lingkungan hidup yang dimandatkan oleh konvenan dan kesepakatan internasional tersebut merupakan salah satu justifikasi utama bagi kita untuk mendesakkan penggantian paradigma lama, HMN (Hak Menguasai Negara) yang sarat dengan ideologi patriarkhi, dalam sebagian besar tatanan hukum perundang-undangan Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penguasaan dan pengelolaan tanah dan kekayaan alam.

Lebih jauh, dalam perspektif pluralisme hukum, pandangan hukum sebagai suatu kerangka negosiasi itu adalah sangat mungkin, karena selain hukum internasional dan hukum negara, terdapat pula hukum rakyat yang dapat berupa kesepakatan-kesepakatan dari inisiatif bersama yang memuat pandangan perempuan dan kelompok marjinal lainnya, yang dipandang sebagai salah satu justifikasi.

Selain itu, realita-realita di lapang -- yaitu adanya tekanan pertumbuhan penduduk, berkurangnya sumberdaya tenurial, baik secara kualitas dan kuantitas dalam skala yang semakin meluas, kondisi ekosistem yang berubah-ubah, dan kencangnya arus privatisasi atas tanah dan kekayaan alam ke basis yang kesemuanya menyebabkan persaingan untuk memperoleh objek dan jenis hak semakin menguat -- harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan penting lainnya dalam proses negosiasi tersebut.

Aditjondro GJ. 2003. Pola-Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menyelamatkan Lingkungan dari Ekspansi Modal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Agarwal B. 2001. Gender Inequality, Cooperation and Environmental

Sustainability. Makalah yang disampaikan pada Conference on “Inequality, Collective Action and Environmental Sustainability”, Santa Fe, New Mexico, 21-23 September 2001.

Antlöv H. 2002. Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Semedi P, penerjemah. Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama. Terjemahan dari: Exemplary Centre, Administrative Periphery Rural Leadership and the New Order in Java.

________ et al. 2006. NGO Governance and Accountability in Indonesia:

Challenges in a Newly Democratizing Country. Dalam “NGO Accountability: Politics, Principles and Innovations”. Jordan L dan Tuijl P van, editor. London, UK – Streling VA, Canada: Earthscan.

Arivia G. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Armstrong D. 2003. The Feminist Principle of Leadership. Website

http://www.pacsw.com/pdf/leadership.pdf.

A. Saraswati LA. 2000. Kekerasan Negara, Perempuan, dan Refleksi Negara Patriarkhi. Dalam “Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan”. Subono NI, editor. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan the Asia Foundation Indonesia.

Astuti TMP. 2000. Gerakan Tandingan Perempuan: Kasus Migrasi Perempuan Kelas Bawah di Grobogan, Jawa Tengah. Dalam “Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang tengah Berubah”. Poerwandari EK dan Hidayat RS, editor. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Atkinson JM dan Errington S, editor. 1990. Power and Difference: Gender in Island Southeast Asia. Stanford, California, USA: Stanford University Press.

Baswir R et al. 1999. Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Cetakan Kedua (Edisi Revisi). Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat).

175 Braidotti R et al. 1994. Women, the Environment and Sustainable Development:

Towards a Theoretical Synthesis. London – New Jersey dan Santo Domingo: ZED Books Ltd in association with INSTRAW.

Chuchryk PM. 1989. Politik Anti Kediktatoran Feminis: Peranan Organisasi Perempuan dalam Masa Transisi Demokrasi di Cile. Dalam “Gerakan Perempuan di Amerika Latin: Feminisme dan Transisi Menuju Demokrasi”. Jaquette JS, editor. Wilson, penerjemah. Jakarta: Kalyanamitra. Terjemahan dari: The Women’s Movement in Latin America: Feminism and the Transition to Democracy.

Dietz T. 1996. Pengakuan Hak atas Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik. Topatimasang R, penerjemah. Yogyakarta: INSIST Press. Terjemahan dari: Entitlements to Natural Resources: Countours of Political Environmental Geography.

Dove MR, editor. 1985. Peranan Budaya Tradisional Indonesia dalam