• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Intervensi ORNOP dalam Konflik Tenurial di Malasari Nyungcung

BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG

4. Interaksi ORNOP dengan Komunitas Malasari-Nyungcung dalam Konflik Tenurial

4.1. Sejarah Intervensi ORNOP dalam Konflik Tenurial di Malasari Nyungcung

Sebelum menjelaskan tentang proses tumbuh dan dinamika gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Kampung Nyungcung, menjadi penting untuk memahami bagaimana RMI, salah satu ORNOP lokal, berkontribusi di dalam gerakan tersebut melalui pemaparan sejarah pengorganisasian berikut ini (penjelasan lengkap tentang RMI dapat dilihat pada Lampiran 3). Bagian ini akan membahasnya berdasarkan pembabakan waktu dimana program-program kerja RMI yang awalnya menawarkan penawaran ide penguatan sistem wanatani tradisional Jawa Barat, talun kepada sebagian komunitas petani di Malasari. Bertolak dari ide talun ini, dalam proses pengorganisasian selanjutnya, RMI kemudian memfokuskan diri pada proses fasilitasi penyelesaian konflik tenurial yang didasarkan pada inisiatif-inisiatif petani untuk mengatasi konflik tersebut melalui fasilitasi pembuatan alat-alat negosiasi seperti peta dan aturan lokal.

a. Tahun 1998 - 1999: Dari Penguatan Talun Secara Teknis Menuju Reklaim Tanah Garapan ke PT. Nirmala Agung

RMI mengenal Malasari melalui studi lapang awal (tahun 1997) untuk melihat kemungkinan untuk menguatkan sistem wanatani tradisional Jawa Barat yang dikenal sebagai talun. RMI mengambil wilayah Malasari ini untuk disurvei awal karena lokasi ini berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Halimun mengingat pengalaman komunitas di kawasan taman nasional lain umumnya mengalami konflik. Inilah yang menarik perhatian RMI untuk melakukan studi lapang awal itu. Hasilnya adalah sistem wanatani tradisional masih dilakukan oleh sebagian masyarakat di Malasari.

Hasil ini kemudian ditindaklanjuti dengan mulai mendekati masyarakat Malasari dan menawarkan kegiatan untuk memperkuat talun di Malasari pada tahun 1998. Pada prinsipnya masyarakat yang diwakili oleh Kelompok Mandalasari menerima tawaran RMI asalkan RMI bersedia bersama LBH

reklaim tanah garapan orang tua mereka di afdeling No. 2 PT. Nirmala Agung. Bagi RMI, tawaran ini merupakan hal yang memang seharusnya mendapatkan prioritas dalam proses penguatan talun -- yang awalnya konsep kegiatan RMI lebih ditekankan pada substansi teknis dengan asumsi tidak ada konflik tenurial atas keberlangsungan talun tersebut.

Dalam suatu pertemuan berikutnya, pada tahap membangun kesepakatan tentang berkegiatan bersama itu, beberapa perwakilan petani dari kampung Nyungcung yang berniat bergabung, menyampaikan keinginan mereka kepada Kelompok Mandalasari dan RMI untuk juga memperjuangkan reklaim tanah garapan mereka ke PERUM PERHUTANI. Beberapa orang pengurus Kelompok Mandalasari (termasuk mantan kepala desa yang pada tahun 1973 telah memperjuangkan reklaim atas tanah afdeling No. 2 tersebut) tidak menyetujui permintaan tersebut dengan alasan fokus perjuangan kelompok Mandasalari saat itu hanya pada reklaim tanah afdeling No. 2. Menanggapi respon yang demikian, maka perwakilan petani Kampung Nyungcung memutuskan untuk tidak bergabung dalam kelompok Mandalasari karena perbedaan fokus perjuangan reklaim.

Mendiskusikan tawaran kegiatan dengan kelompok petani yang memiliki sejarah perlawanan beberapa kali merupakan pengalaman pertama RMI. Proses seperti ini tidak mudah, mengingat tim program RMI pada saat itu (terdiri dari dua orang perempuan, termasuk saya, dan satu orang laki-laki) belum memiliki pengalaman mengorganisir petani di daerah konflik. Dalam proses ini, RMI belajar bagaimana menerapkan prinsip kesetaraan dan partisipatif untuk mensinergiskan (menambahkan, mengurangi atau merubah) kegiatan yang dibawa RMI (penguatan talun secara teknis) dengan kebutuhan ril dari kelompok petani tersebut. Selain itu, untuk menanggapi sikap pragmatis yang memandang kegiatan RMI sebagai suatu kegiatan yang bersifat bantuan/charity, sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan ke desa mereka, tidak jarang kami bertiga (tim program) sering berdebat secara terbuka dengan beberapa tokoh masyarakat atau pemimpin kelompok yang belum secara baik memahami kegiatan bersama ini sebagai hal yang berbeda dengan kegiatan/proyek lain dari perusahaan atau instansi pemerintah.

Secara semi intensif, dua orang staf RMI (satu orang perempuan dan satu

orang laki-laki) mengemban peran sebagai community organizer (CO)

memfasilitasi agenda kegiatan Kelompok Mandalasari -- beranggotakan ratusan kepala keluarga (laki-laki) dari beberapa kampung di Malasari -- yang telah disepakati bersama, yaitu: pemetaan partisipatif; serangkaian pertemuan mediasi untuk negosiasi dengan BPN, PemKab Bogor, PT. Nirmala Agung, dan DPRD Kabupaten Bogor; training tentang pengoptimalan talun dan konservasinya; studi banding ke kelompok petani lain yang menerapkan pertanian organik; dan pembuatan kebun contoh bersama di tanah desa.

Mengingat proses pengorganisasian dilakukan secara semi intensif, maka salah satu upaya untuk memperlancar komunikasi antara RMI dengan anggota- anggota kelompok petani dan warga lain di kampung-desa Malasari, serta mempercepat proses tumbuh atau berkembangnya suatu organisasi lokal yang kuat, adalah melibatkan beberapa anggota kelompok petani yang bersedia sebagai CO lokal. Berdasarkan interaksi sehari-hari dalam proses pengorganisasian tersebut, tim kegiatan RMI menjalin proses belajar dan bekerja yang lebih intensif dengan 10 orang yang dapat disebut sebagai CO lokal, berasal dari lima kampung dan kesemuanya adalah laki-laki.

Hasil yang didapat selama hampir dua tahun RMI memfasilitasi Kelompok Mandalasari mereklaim tanah afdeling No.2 adalah sama seperti perjuangan dua reklaim sebelumnya, yaitu Kelompok Mandalasari belum memenangkan reklaim afdeling No.2, walaupun RMI telah memperkuat kapasitas kelompok melalui pemetaan partisipatif desa (menghasilkan peta wilayah administratif desa dan tematik), serta konsep pengelolaan tanah afdeling No. 2 secara zonasi (relatif sama seperti konsep zonasi TNGH). Proses panjang yang telah dilalui sejak tahun 1970-an sampai sekarang dengan hasil yang sama menyebabkan ketua Kelompok Mandalasari mencari kemungkinan jalan lain yang dinilainya memudahkan proses reklaim, yaitu memberikan ‘insentif uang’ kepada beberapa orang di BPN. Menyikapi kemungkinan realisasi jalan lain ini, RMI, melalui saya dan satu CO perempuan RMI (Nn), menyatakan tidak akan melanjutkan peran RMI memfasilitasi proses reklaim lahan. Kepada kelompok Mandalasari dipersilahkan untuk memproses sendiri atau mencari organisasi fasilitator lain.

Pengalaman awal mengorganisir seperti ini memberikan satu pelajaran penting bagi RMI bahwa dalam satu perlawanan lokal, dominasi/hiearkhi dapat saja timbul, terlepas dari upaya semua pelakunya untuk berbicara dalam satu suara perjuangan. Hal lain yang juga penting adalah, sebagaimana yang saya ungkapkan pada bab tiga, suara perempuan belum didengarkan dan diakomodir dalam negosiasi tersebut. Selama proses berkegiatan bersama, terutama dalam proses reklaim, sebagian besar ibu, para istri dari anggota-anggota kelompok Mandalasari, berkontribusi cukup signifikan dalam penyediaan konsumsi pada berbagai pertemuan rapat kelompok; membuka, membersihkan dan menanami sebagian lahan ex-afdeling No. 2 yang diokupasi dengan tanaman palawija, hortikultura, dan pohon-pohon; tetapi pendapat, keinginan dan cita-cita mereka dalam proses reklaim belum didengar dan diakomodir.

b. Tahun 2000: Mempertajam Program Pengorganisasian di Basis

Berdasarkan pengalaman pertama mengorganisir kelompok petani di atas dan juga memperhatikan sebagian dari anggota tetap memperjuangkan reclaim dengan caranya masing-masing, terlepas dari kelompok, maka pada tahun 2000 RMI mempertajam visi dan misi organisasi, yang salah satu pengejawantahannya dituangkan dalam program pengorganisasian melalui 4 kegiatan utama, yaitu:

• Penguatan sistem pengelolaan kekayaan hutan, disesuaikan dengan prioritas kampung masing-masing.

• Penguatan organisasi lokal, dilakukan pada berbagai kelompok di komunitas

• Pendidikan kritis, dilatarbelakangi oleh beberapa hal penting yaitu: keadaan kekayaan hutan di beberapa tempat yang mulai terdegradasi; keterbatasan akses lahan; dan konflik tenurial atas kekayaan hutan dengan beberapa pihak yang berlangsung cukup lama. Untuk itu, beberapa kegiatan yang penting harus dilakukan yaitu: pengembangan pendidikan lingkungan untuk anak-anak secara mandiri, seri pelatihan hukum kritis, dan sekolah perempuan. Pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara akan dibangun melalui Pendidikan Hukum Kritis dan Sekolah Perempuan, dengan harapan agar masyarakat, terutama dari kelompok marjinal, perempuan dan laki-laki,

dapat memainkan perannya dalam kehidupan politik di desanya terutama dalam pemecahan konflik tenurial atas kekayaan hutan.

• Penguatan ekonomi rakyat, dilakukan melalui pemanfaatan kekayaan alam lokal, terutama potensi produk hutan non kayu. Sebagai langkah awal, akan dilakukan pengidentifikasian partisipatif mengenai sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki di beberapa kampung di beberapa lokasi kerja RMI. Hal ini harus juga didukung dengan penguatan kemampuan manajemen usaha.

Sementara itu, proses pengorganisasian selanjutnya dilakukan pada sebagian anggota Kelompok Mandalasari yang bermukim di Kampung Malasari tidak dalam naungan Kelompok Mandalasari lagi dan para CO lokal dari beberapa kampung lainnya untuk menguatkan kesadaran politis mereka tentang upaya demokratisasi pengelolaan kekayaan alam, salah satunya melalui penyelesaian konflik tenurial secara kolektif.

c. Tahun 2001 - 2002: Reklaim Hak Garap ke PERUM PERHUTANI Unit III, Penyelesaian Persoalan Kesulitan Air, dan Rintisan Pengorganisasian Kelompok Perempuan

Pada tahun 2001, PERUM PERHUTANI Unit III mulai melakukan pemanenan pohon pinusnya secara tebang habis (clear cutting) di blok Keramat Banteng seluas ± 16 ha di Kampung Malasari untuk digantikan dengan komoditi Meranti. Melihat lokasi yang gundul tersebut, sebagian besar petani di Kampung Malasari yang dulunya sebagai anggota Kelompok Mandalasari segera melakukan okupasi.

Dalam konteks penguatan sistem pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat, pada reklaim kali ini, RMI memfasilitasi 54 KK petani Kampung Malasari untuk memperjuangkan hak garap mereka ke PERUM PEHUTANI Unit III di tanah jaluran dengan luas yang mereka ajukan adalah luas di antara setiap jarak tanam meranti 2 x 2 meter. Fasilitasi reklaim hak akses ini dilakukan melalui perumusan konsep pengembangan kebun di tanah jaluran, penguatan kelompok petani penggarap Keramat Banteng berdasarkan beberapa prinsip keorganisasian (aturan main, pembagian peran, dan lain-lain), dan pelatihan hukum kritis. Meskipun PERUM PERHUTANI tidak mengabulkan permintaan hak garap, petani-petani tersebut tetap meneruskan okupasi mereka dengan

menanam palawija, sayuran, pohon-pohon buah dan kayu di antara bibit meranti yang ditanam oleh PERUM PERHUTANI. Sampai akhir tahun 2006, blok Keramat Banteng tersebut terlihat hijau, mulai menyerupai hutan sekunder.

Reklaim hak garap ini dapat dikatakan sebagai salah satu upaya pengajuan alternatif model pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat atas program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang terus ditawarkan dan dikembangkan oleh PERUM PERHUTANI.

Sementara itu, untuk persoalan kesulitan air di Kampung Nyungcung (sebagai salah satu dampak yang semakin sering dialami oleh sebagian besar warga Nyungcung akibat keberadaan kebun-kebun pinus PERUM PERHUTANI) RMI memfasilitasi serangkaian kegiatan yang terdiri dari: identifikasi kondisi mata air (sirah cai), dilanjutkan dengan pembentukan kelompok pengatur dan pemelihara mata air. Selain itu, untuk memastikan keberlangsungan akses atas air bersih, sebagian warga melakukan gotong royong untuk membuat saluran air untuk mengalirkan sebagian air dari Sungai Cisarua ke kampung mereka ketika musim kemarau.

Pada tahun yang sama, RMI juga mulai merintis pengorganisasian petani perempuan melalui kegiatan belajar membaca, yang awalnya dilakukan secara pribadi oleh salah satu staf perempuan RMI (Dh) di Kampung Nyungcung. Kegiatan ini kemudian dijadikan sebagai salah satu kegiatan pengorganisasian petani perempuan dalam bentuk sekolah perempuan.

Melalui interaksi personal, dari rumah ke rumah, dapur ke dapur, sawah ke sawah, kebun ke kebun dan dari pertemuan ke pertemuan kampung berikutnya, beberapa staf perempuan RMI dan saya mencoba memahami mengenai pergulatan perempuan dalam keseharian di arena domestik dan publik, bagaimana perempuan dapat bertahan di antara konflik-konflik tenurial yang terus berlangsung di kehidupan mereka. Ditemukan bahwa selain keinginan untuk dapat membaca dan menulis, juga keinginan mendapatkan informasi lain seperti poligami, kesehatan reproduksi, hukum dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, konservasi dan konflik yang ditimbulkannya, pengetahuan teknis tentang budidaya tanaman, persoalan hama, serta pengolahan pascapanen untuk usaha industri makanan.

Melalui sekolah perempuan ini, RMI berkenalan dengan Ibu El, yang kemudian karena minat, kesediaan, dan keaktifannya, Ibu El dapat juga dikatakan sebagai CO lokal perempuan di Malasari. Bersama Ibu El, Dh (dan terkadang relawan perempuan RMI terlibat), memotivasi petani dan buruh tani perempuan yang lain untuk aktif di sekolah perempuan. Dalam perjalanannya, keberlangsungan sekolah perempuan tersendat-sendat karena kesibukan pekerjaan rumahtangga dan bertani dari para partisipan sekolah perempuan. Sangat sering, Dh bertemu hanya dengan satu atau dua orang petani perempuan saja pada ‘waktu sekolah’ yang telah disepakati bersama. Keadaan seperti ini kemudian diperparah dengan pengunduran diri Dh karena akan menikah dan pindah kota, mengikuti suaminya.

d. Tahun 2003 - 2004: Dari Peningkatan Kapasitas Teknis Menuju Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan

Secara umum, berdasarkan keadaan di lapang, semua kegiatan yang dilakukan selama tiga tahun terakhir (2000 – 2002) dapat dikatakan sarat dengan muatan politis, untuk memperjuangkan hak mengakses tanah dan kekayaan hutan secara aman melalui serangkaian kegiatan pendidikan dan pembangunan jaringan kerja antara masyarakat Malasari dengan pihak-pihak yang bersedia mendukung. Sementara itu, substansis teknis, seperti yang telah dilakukan pada kegiatan penguatan talun pada tahun 1998 – 1999 dan yang mengarah pada peningkatan ekonomi keluarga melalui usaha industri rumahtangga, tidak difasilitasi secara khusus dalam kegiatan tertentu.

Oleh karena itu, pada tahun 2003 - 2004, RMI bekerjasama dengan ICRAF (yang saat ini dikenal sebagai World Agroforestry Center) – Southeast Asia,RMI, secara khusus memfasilitasi kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan teknis tentang budidaya tanaman keras, pohon buah dan kayu melalui serangkaian training tentang silvikultur kepada kelompok-kelompok petani di 10 desa di Kecamatan Nanggung. Kegiatan ini dikenal sebagai “Inovasi dalam

Agroforestry dan Peningkatan Mata Pencaharian”, terdiri dari: serangkaian lokakarya dan pelatihan untuk petani; penyediaan bantuan teknis intensif bagi kelompok petani sesuai dengan permintaan kelompok-kelompok petani; dan studi

pasar, baik yang ada maupun potensial untuk produk kebun skala kecil serta mengarahkan upaya kepada peningkatan akses pasar bagi petani kecil.

Dalam pelaksanaannya, RMI bertanggung jawab memfasilitasi tumbuh kembang kelompok-kelompok petani. Proses pengorganisasian diawali dengan menginisiasi terbentuknya kelompok petani dan kemudian melakukan penguatan kelompok (perumusan aturan dan agenda kerja) sesuai dengan tingkat respon keaktifan masing-masing kelompok petani tersebut. Berdasarkan respon ini, proses pengorganisasian lanjutan dilakukan secara intensif, semi intensif, atau ekstensif kepada kelompok-kelompok petani tersebut. Pengorganisasian secara intensif dilakukan pada kelompok kelompok petani yang aktif melaksanakan kegiatan kebun. Pengorganisasian secara ekstensif dilakukan pada kelompok yang terbentuk tetapi tidak begitu aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan berkebun. Pada pengorganisasian secara responsif, tim program melakukannya berdasarkan permintaan petani-petani yang tidak dapat membentuk kelompok di kampung atau desanya tetapi masih aktif dalam seri kegiatan Riung Mungpulung Petani tentang persoalan yang berkaitan dengan kebun mereka.

Di antara kelompok-kelompok petani di sepuluh desa di Kecamatan Nanggung, dua kelompok petani, yaitu kelompok petani perempuan, Cepak Nangka, dan kelompok petani laki-laki, Rimba Lestari, dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari merupakan yang cukup aktif untuk difasilitasi secara intensif. Keberadaan beberapa dua orang CO lokal laki-laki (Bapak Rk [Alm.] dan Ah), dan satu orang CO lokal perempuan (Ibu El) di Kampung Nyungcung cukup signifikan membantu RMI dalam proses memfasilitasi tumbuh kembang Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari tersebut. Tercatat terdapat 23 petani dan buruh tani perempuan (dengan rata-rata kepemilikan tanah seluas 911 m2) bergabung dalam Kelompok Cepak Nangka, dan 16 petani laki-laki (dengan rata- rata kepemilikan tanah seluas 969 m2) bergabung dalam Kelompok Rimba Lestari. Keaktifan kelompok petani diketahui berhubungan dengan ada tidaknya konflik tenurial di kampung atau desa masing-masing peserta (kelompok petani) kegiatan. Motivasi petani yang tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari, untuk berpartisipasi dalam kegiatan “Inovasi dalam Agroforestry dan Peningkatan Mata Pencaharian” adalah, selain memperoleh ilmu silvikultur,

pasar, dan bibit, juga untuk mengakses lahan yang secara de facto tidak dikelola dengan kaidah-kaidah konservasi, seperti yang ditunjukkan oleh perilaku produksi PERUM PERHUTANI. Motivasi terakhir inilah yang mendorong Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari bersama dengan kelompok-kelompok petani lain yang muncul berikutnya di Kampung Nyungcung untuk bergerak bersama dalam gerakan konservasi lokal. Penjelasan tentang tumbuh dan perjalanan selanjutnya dari gerakan konservasi lokal yang dilihat dari agenda, strategi, dan kepemimpinan perempuan akan dibahas pada bab enam.

4.2. Intervensi ORNOP dalam Konflik Tenurial antara Rakyat Nyungcung