• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara sangat umum, sebagian besar orang/pihak mengetahui istilah pembangunan sebagai suatu perubahan yang direncanakan yang dilaksanakan oleh suatu negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, atau sebagai proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Pengertian semacam ini sulit untuk dianalisa karena tidak menjawab beberapa hal mendasar seperti: “Perubahan dalam bentuk apa?”, “Dengan modal apa kita membangun?”, “Berdasarkan kemauan siapa, dilaksanakan oleh siapa, dan untuk kepentingan siapa?”. Masyarakat dilihat sebagai suatu kesatuan homogen yang mempunyai kepentingan yang sama, dan perencana serta pelaksana pembangunan (dalam hal ini pemerintah) juga dilihat sebagai kesatuan yang mewakili dan membawa kepentingan masyarakat secara homogen pula. Mengkritisi makna ‛kenetralan’ dari pembangunan ini, di antara mayoritas pihak tersebut, terdapat juga kelompok minoritas yang memiliki pandangan lain terhadap kata pembangunan itu. Kelompok minoritas menilai

pembangunan sebagai sebuah discourse, sebuah pendirian atau suatu paham, bahkan tidak jarang dimaknai sebagai suatu ideologi dan teori tertentu yang melatarbelakangi upaya-upaya perubahan sosial yang direncanakan untuk suatu masyarakat/negara (lihat Braidotti et al 1994, Saptari dan Holzner 1997, dan Fakih 2001).

Dalam konteks Indonesia, pembangunanisme diperkenalkan pertama kali oleh rezim Soeharto yang ingin mengintegrasikan ekonomi Indonesia ke dalam ekonomi kapitalis global. Upaya ini dilegitimasi oleh warisan krisis dari Orde Lama yang pertumbuhan sektor ekonominya sangat rendah akibat krisis pangan dan tingginya hutang luar negeri mencapai lebih dari 2 milyar dollar AS (lihat Baswir et al. 1999). Rezim Orde Baru memiliki ‘legitimasi’ untuk membangun Indonesia dengan cara yang efesien melalui sistem pertumbuhan ekonomi tinggi yang disertai dengan stabilitas nasional. Berkiblat pada ideologi

pembangunanisme (developmentalism) dan memanfaatkan konsepsi Hak

Menguasai Negara (HMN), berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menciptakan iklim pembangunan yang kondusif. Contohnya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Melalui kedua undang-undang ini, Fauzi (2003) berpendapat bahwa secara jelas konsep alam sebagai harga diri dan kekayaan yang harus dipelihara untuk keberlangsungan dan kemakmuran hidup rakyat, seperti yang selama ini diyakini dan dijalankan oleh berbagai kelompok masyarakat agraris tradisional, digantikan oleh konsep kapitalis yang

menempatkan alam sebagai sumberdaya (natural resources) yang harus

dieksploitasi dan diubah menjadi modal yang bisa beranak-pinak (reproduced capital).

Melalui kedua undang-undang itu juga, lembaga-lembaga kerjasama internasional, seperti IMF, Bank Dunia dan IGGI (Internasional Group for Government of Indonesia) melihat secara jelas bahwa Indonesia mengaitkan dirinya dengan sistem kapitalis internasional untuk membangun agar dapat keluar dari kemiskinan. Peluang besar terbuka bagi lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut untuk mengarahkan pembangunan di Indonesia melalui

berbagai penawaran paket kebijakan kerjasama ‘bantuan’ dan pinjaman luar negeri.

Menurut beberapa pengamat pembangunan, secara internasional, pilihan paradigma pembangunan di Indonesia tidak terlepas dengan konteks konflik perang dingin tingkat dunia, antara blok Kapitalis yang dimotori oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat versus blok Sosialis-Komunis yang dimotori oleh Uni Soviet dan Cina. Sesudah Perang Dunia II, sebagai tandingan (counter) terhadap paradigma sosialisme dari blok Sosialis-Komunis, blok Kapitalis sangat gencar mempromosikan paradigma pembangunanisme. Gencarnya promosi ini dapat dilihat dari banyaknya teori-teori yang dihasilkan, seperti Teori Tahapan Pertumbuhan Ekonomi – Rostow, Teori Motivasi Berprestasi – McClelland, dan Teori Manusia Modern – Inkeles. Dengan memberikan contoh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat yang kapitalis, negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika didorong untuk melakukan industrilisasi sebagai jalan untuk membangun bangsa keluar dari kemiskinan, mencapai titik dimana pertumbuhan ekonomi yang ditopangnya akan tinggal landas (take off). Pada waktu yang bersamaan, pembangunan juga ditekankan pada penyediaan fasilitas dan pranata infrastruktur untuk membantu transisi menuju masyarakat yang modern. Diasumsikan bahwa dengan proses modernisasi, keuntungan yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang secara bertahap akan menetes ke bawah (trickle down effect). Jika analisa sejarah seperti ini dapat kita pahami, maka untuk konteks Indonesia, modernisasi sesungguhnya merupakan westernisasi. Dengan demikian, pilihan pada pembangunanisme bukanlah semata-mata perumusan dari kelompok teknokrat rezim Orde Baru, melainkan adopsi dari strategi blok Kapitalis (Fakih 2001).

Dalam prakteknya, pembangunanisme justru menciptakan ketidakadilan dan melanggengkan ketergantungan, serta menciptakan struktur ekonomi yang tidak adil, dan dis-organisasi sosial di tingkat basis. Salah satu akibat tersignifikannya adalah pelanggengan dominasi laki-laki yang terwujud dalam berbagai institusi dan kebijakan terhadap perempuan yang mengakibatkan perempuan semakin miskin dari masa ke masa. Penelitian Boserup (1970) di negara-negara Dunia Ketiga yang dikutip oleh Mosse (1993) dan Bemmelen dalam Ihromi (1995)

membuktikan hal ini, dimana perempuan tidak tersentuh oleh keuntungan program pembangunan, tetapi malahan dirugikan oleh program-program tersebut.

Terinspirasi oleh hasil penelitian Boserup ini, pendekatan Women in Development (WID) lahir sebagai kritik atas pendekatan pembangunan yang berparadigma anti kemiskinan. Pendekatan WID bertujuan untuk meringankan beban kerja reproduktif perempuan dengan cara meningkatkan produktif kerja perempuan sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Akan tetapi, pandangan kritis mulai muncul terhadap WID ketika kondisi perempuan tidak berubah dalam proses pembangunan sebagaimana dibuktikan oleh berbagai studi kasus yang memungkinkan para peneliti feminis, khususnya mereka yang berperspektif feminisme sosialis dan radikal, untuk melakukan perbandingan. Menurut Bandarage (1984) yang dikutip oleh Saptari dan Holzner (1997), pendekatan WID melihat marjinalitas perempuan disebabkan karena perempuan tidak terintegrasi ke dalam sistem pendidikan dan sistem ekonomi politik yang ada. Pendekatan WID ini tidak melihat bahwa marjinalitas perempuan memiliki akar yang berasal dari sistem itu sendiri. Inilah yang merupakan kelemahan WID yang mengakibatkan program-program yang menggunakan pendekatan WID tidak mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi, politik, dan sosial perempuan.

Selama satu dasawarsa pendekatan WID dilakukan, mulai dirasakan bahwa pengakomodiran perempuan atas hak-hak dan kesempatan yang sama dengan laki- laki ternyata tetap tidak dapat mengimbangi kemajuan dan kemapanan yang dinikmati oleh laki-laki dalam pembangunan. Grown dan Sen (1987), dikutip oleh Saptari dan Holzner (ibid), melaporkan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi dan yang bertumpu pada akumulasi modal dan promosi ekspor, apabila diberlakukan dalam kesenjangan sosial tidak akan berhasil membangun produksi domestik dan bahkan dapat menyebabkan kesenjangan yang semakin lebar. Sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh berbagai studi di sebagian besar negara Dunia Ketiga, bahwa akses ke sumberdaya ekonomi, penghasilan, dan mata pencarian bagi perempuan semakin terbatas. Beban kerja semakin berat karena upah yang diperoleh sering kali sangat minim, dan jam kerja yang panjang, sementara pekerjaan domestik tetap menjadi beban mereka. Kenyataan seperti ini dipertajam oleh Eviota (1992) dengan konsepnya tentang SDL (Sexual Division of

Labor) yang menunjukkan bahwa pembagian kerja di antara perempuan dan laki- laki mengakibatkan ketidakadilan kepada perempuan dengan gambaran sebagai berikut:

ƒ Dengan ditentukannya batasan pekerjaan yang dibayar dan tidak dibayar, pekerjaan perempuan digolongkan kedalam pekerjaan reproduktif yang tidak perlu dibayar;

• Kalaupun harus dibayar, perempuan menerima upah yang lebih rendah

dibanding laki-laki karena pekerjaan produktif perempuan dinilai sebagai pekerjaan klas dua, bukan pekerjaan utama;

• Bentuk partisipasi perempuan juga dinilai sebagai sesuatu yang tidak tetap dalam sistem-sistem produksi di masyarakat;

• Konsentrasi pada jabatan/sektor dan tingkat pekerjaan pada jabatan/sektor tersebut yang disediakan bagi perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki;

• Berdasarkan empat posisi perempuan diatas, secara sadar dalam sistem

kapitalis modern, perempuan diposisikan untuk menjadi tergantung dan melayani dalam struktur klas kapitalis.

Sementara itu, dari aspek lainnya seperti kesehatan, nutrisi, dan pendidikan, situasi dan kondisi perempuanpun tidak menggembirakan, bahkan cenderung tingkat kesejahteraan mereka dalam aspek-aspek ini semakin menurun.

Proses pemiskinan perempuan di atas tidak hanya disebabkan oleh nilai- nilai budaya patriakhi, tetapi juga diakibatkan oleh proses pembangunan itu sendiri. Kecenderungan ini tercermin dalam luasnya dampak pembangunan yang dirasakan oleh perempuan akibat eksploitasi kekayaan alam di beberapa daerah di

Indonesia (seperti Kalimantan dan Papua Barat).1 Pengambil-alihan dan

pengrusakan kekayaan alam ini berdampak pada kehidupan perempuan di arena domestik dalam beberapa aspek seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan beban kerja sebagaimana digambarkan dalam Diagram 1.

Proses pemiskinan perempuan di atas disebut feminisasi kemiskinan. Istilah feminisasi kemiskinan ini sendiri digunakan pertama kalinya pada tahun 1978 untuk menggambarkan kecenderungan makin bertambahnya beban kemiskinan yang ditanggung oleh kaum perempuan (Pearce 1993 yang dikutip oleh Krisnawaty et al 1998). Istilah ini juga menggambarkan subordinasi posisi ekonomi perempuan pada umumnya yang mengganjal di sepanjang siklus kehidupan, seperti pengangguran remaja, pekerjaan rumah tangga non upahan, pengasuhan anak yang tidak dibayar, kurangnya keuntungan bagi pekerjaan paruh waktu, hilangnya dukungan ekonomi jika bercerai atau menjanda, serta kemiskinan di kalangan perempuan tua yang mempunyai sejarah penghasilan sekali-sekali atau berupah rendah (Ollenburger dan Moore 1996).

Feminisasi kemiskinan bukan gejala peningkatan jumlah perempuan miskin secara tiba-tiba, tetapi merupakan sebuah proses sistematis. Krisis ekonomi di berbagai negara dimana kehancuran ekonomi nasional, yang kemudian diikuti oleh kehancuran ekonomi lokal melalui privatisasi global, memberikan tumpukan tambahan beban kerja reproduktif dan produktif kepada jutaan kaum perempuan di pedesaan. Cermin kemiskinan memperlihatkan wajah perempuan. Ini merupakan kesimpulan dalam banyak kajian dampak pembangunan yang memaparkan bagaimana perempuan tidak terwakili secara proporsional di antara

Kehilangan Jenis Hak atas Tanah dan Kekayaan AlamѬ

Kerentanan SosialѬ Kesehatanѭ KekerasanѬ Ekonomiѭ Pendidikanѭ Beban KerjaѬ Arena Publik Arena Domestik Kerusakan LingkunganѬ

Diagram 1. Akibat Pembangunan di Pedesaan terhadap Kehidupan Perempuan

kelompok yang terpinggirkan, sebagai akibat langsung dari model pembangunan yang dijalankan selama ini. Ruang lingkup internasional dari feminisasi kemiskinan ini jelas terlihat dari angka statistik, bahwa perempuan merupakan 50% dari populasi dunia, merupakan 70% dari tenaga kerja (yang dibayar dan tidak dibayar), menghasilkan 10% upah, dan memiliki kurang dari 1% kekayaan (Ollenburger dan More, ibid). Shvedova (1998) dalam International IDEA (2002) menyampaikan bahwa 70% dari 1.3 milyar penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan adalah perempuan.

Dalam konteks konservasi, feminisasi kemiskinan terjadi karena penetapan kawasan konservasi, seperti taman nasional2, melalui dua hal mendasar, yaitu:

• Ketiadaan pengakuan terhadap hak-hak komunitas setempat atas tanah dan kekayaan alam yang selama ini telah dikelola oleh mereka secara turun temurun. Jika merujuk pada makna hak atas kekayaan alam yang disampaikan oleh the Netherlands Development Assistance/NEDA (1997) di bawah ini, maka dapat diketahui hak-hak komunitas, perempuan dan laki-laki, di bawah ini yang tidak semuanya dimiliki:

− Hak untuk mendapatkan dan menjaga kekayaan alam: merupakan dasar

pemberian ijin untuk menggunakan dan mengambil kekayaan alam, yang diperoleh karena keturunan, pernikahan, penanaman, pembelian, dan atau pembangunan.

− Hak untuk memanfaatkan kekayaan alam: mengacu pada jenis pemanfaatan dan sejauh mana pemanfaatan tersebut, contoh: mengelola pendapatan, menentukan tanaman yang akan ditanam, serta memiliki akses ke tanah dan jenis-jenis kekayaan alam lainnya sepanjang waktu atau hanya selama periode tertentu.

− Hak untuk mengelola kekayaan alam: berhubungan dengan perawatan dan peningkatan sumberdaya, contoh: terlibat dalam kegiatan pembangunan dan perawatan aset serta produk dari kegiatan tersebut.

− Hak untuk membuat keputusan-keputusan berkaitan dengan transaksi- transaksi pengelolaan kekayaan alam, contoh: memutuskan untuk memberikan atau menjual sebagian sumberdaya ke pihak lain, mendaftarkan sumberdaya/aset atas nama diri sendiri

− Hak untuk mengatur kekayaan alam: mencakup hak untuk mengkonsep dan mengubah aturan-aturan tentang pengelolaan kekayaan alam dan sumberdaya lainnya, contoh: berperan dalam pembahasan penjualan suatu jenis kekayaan alam/sumberdaya, berwenang untuk mengubah sistem distribusi hasil pengelolaan kekayaan alam/sumberdaya.

− Hak untuk memberikan sangsi, berkaitan dengan terlibat dalam penegakan hukum terhadap suatu pelanggaran pengelolaan kekayaan alam.

− Hak untuk berperan dalam kegiatan ritual dan sosial-politik yang dapat berhubungan dengan satu jenis kekayaan alam.

• Pengelolaan taman nasional lebih menekankan pada kepentingan ekologi, dan mengabaikan kepentingan komunitas setempat. Pengelolaan seperti ini dapat dilihat dalam sistem zonasi (zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan)3 yang di dalamnya tidak memperbolehkan kegiatan- kegiatan manusia untuk memanfaatkan kekayaan alam dalam kawasan ini guna mewujudkan keseimbangan ekologi. Kegiatan yang diperbolehkan bagi penduduk setempat untuk memanfaatkan kawasan konservasi hanya terbatas pada wisata alam dan pariwisata. Dengan demikian, sistem ini menutup akses penduduk terhadap tanah dan kekayaan hutan lainnya untuk memenuhi kepentingan ekonomi, subsistensi, dan budaya mereka (lihat Galudra et al

2006).

Situasi ini, sebagai konsekuensinya, mengkondisikan sebagian besar laki-laki beralih pada sektor non-pertanian yang menyebabkan perempuan memiliki beban semakin berat untuk tetap meneruskan kerja-kerja tani di wilayah hidup4 mereka yang dinegasikan oleh konservasi negara (lihat Galudra et al 2005, dan Hidayati 2005).

Untuk kasus di negara lain, penelitian yang dilakukan oleh Tiani et al

dalam Colfer (2005) di dua desa (Bifa dan Ebianemeyong) di dekat Taman Nasional Campo-Ma'an, Kamerun, merupakan salah satu sumber informasi yang baik untuk menggambarkan pemiskinan oleh keberadaan taman nasional. Di Desa Bifa, para penjaga lingkungan dari Taman Nasional Campo-Ma'an mengusik dan menyita daging satwa liar yang dijual oleh kaum perempuan di sana. Bahkan mereka mengejarnya sampai ke dapur untuk melihat apakah yang sedang dimasak

oleh para perempuan. Tidak seorangpun dari para penjaga itu yang menjelaskan peraturan baru kepada kaum wanita tentang batas-batas taman nasional itu. Para penjaga lingkungan tidak melakukan pelarangan untuk berburu, namun sekarang orang luar secara diam-diam masuk ke dalam hutan dan membeli daging satwa liar langsung dari para pemburu. Akibatnya, kaum wanita pedagang kehilangan pekerjaannya. Di Ebianemeyong, pemerintah setempat melarang masyarakat untuk menggunakan jalan raya yang menuju ke kota karena jalan tersebut melewati taman nasional. Dengan cara itu pemerintah bermaksud untuk melarang para pemburu liar. Sebenarnya para pemburu liar jarang menggunakan jalan raya tersebut karena dengan begitu mereka akan mudah tertangkap. Yang sesungguhnya mengalami kerugian adalah para petani wanita yang tidak lagi dapat mengirimkan hasil pertaniannya ke pasar atau membawa anaknya yang sakit ke dokter.

Berdasarkan ketegangan hubungan antara pihak-pihak di atas, pada wilayah- wilayah tertentu feminisasi kemiskinan karena konservasi dan atau kegiatan eksploitasi massif oleh pelaku bisnis merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap militansi perempuan miskin untuk membangun gerakan di komunitas mereka (lihat Shiva 1988; Rocheleau et al 1996; Matsui 1996; Jackson dan Pearson 1998; Simatauw et al 2001; dan Indriatmoko et al 2007).