• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intervensi Gerakan Lingkungan dan Tumbuhnya Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan

Secara umum, sumberdaya dan fasilitas yang digunakan untuk gerakan tidak pernah merupakan ciptaan murni internal dari pelaku-pelaku gerakan di tingkat basis. Salah satu faktor pendorong tumbuh dan berkembangnya sebuah gerakan sosial adalah struktur interaktif (organisasi) antara pelaku-pelaku gerakan (McAdams et al 1988, dikutip Sztompka 1993). Struktur interaktif ini dapat menciptakan hambatan atau kemudahan bagi gerakan. Jaringan komunikasi yang berdasarkan pada kesamaan ideologi untuk perubahan sosial yang diinginkan yang

sudah terbentuk di kalangan pelaku-pelaku gerakan, sebelum gerakan dimulai, memainkan peran penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya gerakan.

Meluasnya kemiskinan dan kerusakan lingkungan -- sebagai akibat industrialisasi kapitalis yang membatasi dan bahkan menghilangkan akses dan kontrol rakyat atas tanah dan kekayaan alam -- mengantarkan sebagian pihak dalam masyarakat meresponnya dengan beragam cara dan fokus, salah satunya adalah ORNOP. Menurut Antlöv et al dalam Jordan dan Tuijl (2006), ORNOP mulai dikenal di Indonesia sejak awal 1970-an sejalan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Soeharto. Walaupun pada saat itu pemerintah dapat memelihara pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, 8% per tahun, kemiskinan yang meluas dan ketiadaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan menciptakan ruang bagi ORNOP untuk berperan di masyarakat, terutama dalam kegiatan sosial dan ekonomi sebagai penyedia komplementer atau agen pelaksana program pemerintah yang tidak dapat menjangkau strata masyarakat yang paling bawah.

Selanjutnya, pada tahun 1980-an, jumlah ORNOP di Indonesia semakin meningkat. Peningkatan ini dipengaruhi oleh politik nasional dan internasional. Pada tataran nasional, pemerintah Soeharto mengakui bahwa pemerintah tidak dapat melaksanakan semua pembangunan tanpa ‘partisipasi’ dari masyarakat. Hal ini menjadi suatu legitimasi bagi ORNOP untuk menjadi salah satu pelaku dalam pembangunan. Tetapi pemberlakuan partisipasi kepada ORNOP oleh pemerintah tidak dalam bahasa ‘pembangunan demokrasi’ seperti yang digunakan oleh lembaga dana untuk mendukung kerja-kerja ORNOP, melainkan dalam upaya menekan tumbuhnya kekritisan bersikap dari beberapa ORNOP.

Pada tataran internasional, dengan berakhirnya perang dingin, agenda demokratisasi menjadi semakin penting. Negara-negara dari Eropa, Amerika Serikat, dan Uni Soviet bergabung untuk mendukung demokratisasi. Hal ini dapat ditunjukkan dari penghentian dukungan kepada negara-negara yang pemerintahannya masih dijalankan oleh rezim yang otoriter, penggunaan indikator hak-hak azazi manusia pada skema pendanaan mereka kepada negara-negara Dunia Ketiga, dan memberikan sangsi keras kepada negara-negara Dunia Ketiga penerima bantuan mereka yang melakukan pelanggaran hak azasi manusia (lihat

Uhlin 1995 yang dikutip oleh Muchtar 1999). Respon kritis lainnya terhadap perubahan di tingkat internasional ini dapat dilihat dari pertumbuhan masyarakat sipil, dan oleh karena itu dukungan terhadap ORNOP menjadi penting, karena tidak hanya pada hal-hal yang bersifat programatis, tetapi juga pada pertimbangan bahwa ORNOP dipandang sebagai salah satu pelaku yang dapat memperkuat masyarakat sipil. Pada waktu ini, semakin banyak lembaga dana yang menyadari bahwa untuk merealisasikan tujuan sosial mereka, mereka perlu bekerja sama lebih lekat lagi dengan berbagai ORNOP. Tekanan internasional ini pada gilirannya juga mempengaruhi sikap dan perilaku pemerintah Indonesia memperlakukan pihak-pihak oposisi, salah satunya adalah ORNOP, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Namun dalam perjalanannya, kerja-kerja ORNOP tidak sepenuhnya berkontribusi terhadap pertumbuhan masyarakat sipil yang kritis dalam skala massif. Keadaan ini pada konteks Indonesia, mengacu pada pertemuan refleksi pengalaman beberapa ORNOP lingkungan dan jaringan kerjanya pada tahun yang didokumentasikan oleh RMI pada Oktober 2002 (lihat RMI 2002), salah satunya disebabkan oleh beragamnya peran yang dipilih, yaitu:

• Pendengar dan mitra diskusi dalam proses perencanaan kegiatan secara

partisipatif dan penyelesaian konflik (terutama yang berhubungan dengan pengelolaan kekayaan alam);

• Pendamping, fasilitator, atau mediator dalam proses negosiasi dengan pihak luar (pelaku bisnis dan pemerintah) dan kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan praktis;

• Pengamat dalam upaya memperluas dan memfasilitasi inisiatif-inisiatif melalui penelitian dan kampanye media;

• Pelayan (Pendukung Logistik) dalam proses memfasilitasi kebutuhan anggota;

• Penyuara (amplifier) agenda para anggota melalui advokasi dan kampanye media.

Beragam peran di atas merupakan implikasi langsung dari ideologi dan posisi yang dipilih oleh ORNOP. Dalam konteks gerakan lingkungan yang dimotori oleh ORNOP, Aditjondro (2003) menjelaskan fenomena pergeseran dan keragaman posisi serta ideologi. Sebagaimana yang telah disinggung oleh Antlöv

et al dalam Jordan dan Tuijl (2006) di atas, pada era rezim Soeharto, ketika gerakan lingkungan ikut difasilitasi oleh pemerintah -- dalam hal ini oleh Menteri Lingkungan Hidup yang pertama, Emil Salim -- maka sesungguhnya gerakan tersebut dimaksudkan sebagai alat legitimasi rezim Soeharto. Aditjondro membacanya, bahwa, peran fasilitasi pemerintah itu, paling tidak, dimaksudkan untuk menggemboskan keradikalan gerakan mahasiswa yang telah menyatakan mosi tidak percaya kepada Soeharto melalui Pernyataan Dewan-Dewan Mahasiswa yang berkumpul di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1978.

Sepuluh tahun kemudian, gerakan lingkungan berkembang menjadi selubung dari gerakan anti Soeharto, dimana isu lingkungan, terutama Kedungombo, berfungsi sebagai alat delegitimasi politik rezim Soeharto. Kemudian, pada pasca rezim Soeharto, dipengaruhi oleh gerakan lingkungan dari Barat, para aktivis lingkungan di Indonesia mulai mempersoalkan dampak proyek-proyek raksasa, seperti bendungan, pembangkit listrik – pembangkit listrik, Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pertambangan, dan industri-industri raksasa, dalam semangat untuk lebih ‘memanusiawikan’ proyek-proyek tersebut. Sebagai salah satu akibatnya adalah menjauhkan sebagian aktivis lingkungan dari persoalan yang dihadapi para korban proyek-proyek itu melalui penciptaan media kerja sebagai konsultan AMDAL dengan tingkat kompensasi (baca: gaji) yang menggiurkan. Sementara itu, pelaku gerakan lain, yaitu pro-demokrasi, yang juga aktif di berbagai ORNOP lingkungan di Indonesia sibuk berbicara pada tingkat retorika makro, misalnya, menyatakan oposisinya terhadap neo-liberalisme yang dipropagandakan oleh lembaga-lembaga kerjasama internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO. Sikap dan perilaku oposisi aktivis ‛Kiri’ ini ternyata tidak ditularkan pada rakyat korban di tingkat basis. Diantara kedua golongan aktivis/pelaku gerakan di atas,

‛Kanan’ dan ‛Kiri’ tersebut, terdapat golongan ke-3, yang dinamakan Aditjondro sebagai aktivis ‛Kiri Hijau’. Berkiblat pada ideologi ecopopulism, para aktivis dari golongan terakhir ini aktif mendokumentasikan dan membangun jaringan di antara berbagai ORNOP lokal yang mendampingi komunitas adat yang masih

bertahan menerapkan sistem pengelolaan kekayaan alam sesuai dengan ekosistem masing-masing.

Mempelajari lebih jauh gerakan lingkungan di atas dengan pertanyaan tentang salah satu pelaku lain, yaitu “Di mana dan bagaimana perempuan dalam gerakan lingkungan?”, maka kita akan menemukan bahwa aspek gender dalam penguasaan kekayaan alam tersebut sangat sering diabaikan dalam kerja-kerja fasilitasi ORNOP lingkungan. Hal ini menyebabkan keberadaan perempuan dengan segala pengetahuan, persoalan, kebutuhan, dan harapan mereka belum banyak diperjuangkan dalam gerakan. Padahal, diketahui bahwa dalam penguasaan dan pengelolaan kekayaan alam dan lingkungan, para pelaku, perempuan dan laki-laki, memiliki pola relasi kekuasaan, pembedaan peran dan posisi yang setara dan jelas, saling melengkapi. Peran dan kontribusi dari masing- masing pelaku tersebut sangat diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan keluarga mereka. Melalui keragaman peran dan posisi serta pergeseran ideologi, Aditjondro berpendapat bahwa gerakan lingkungan di Indonesia ternyata masih belum banyak berkontribusi terhadap proses demokratisasi dan penegakan HAM, serta bersifat elitis (lihat Antlöv et al dalam Jordan dan Tuijl 2006).

Sebagian besar dari beragam pengetahuan dan isu yang diadvokasikan serta kegiatan yang difasilitasi oleh ORNOP dalam konteks gerakan lingkungan justru berkontribusi memapankan kekuasaan negara, kekuasaan perguruan tinggi, dan kekuasaan para pakar yang berasal dari pemerintah dan perguruan tinggi serta keberadaan ORNOP itu sendiri.

Sementara itu, pada gerakan konservasi/lingkungan di basis yang diinisiasi

oleh perempuan, Rocheleau et al (1996) menemukan lima penyebab yang

menerangkan mengapa perempuan terlibat dalam gerakan konservasi/lingkungan yang belum banyak dipahami keterkaitannya satu sama lain secara holistik oleh sebagian ORNOP lingkungan:

• Keterpurukan ekonomi dan kerusakan lingkungan alam.

Peningkatan keterlibatan perempuan dalam perjuangan lingkungan dan dalam gerakan sosial dan politik berasal dari berbagai kesulitan para perempuan untuk mempertahankan hidup keluarga mereka dalam krisis lingkungan dan ekonomi.

• Dampak kebijakan penyesuaian struktural dari IMF.

Kebijakan pemberian pinjaman ini hanya ditujukan kepada negara Dunia Ketiga yang bersedia mengurangi pengeluaran negara untuk segala subsidi (pertanian, pangan, kesehatan, pendidikan, dan BBM). Menurut Saptari dan Holzner (1997), pemotongan subsidi-subsidi ini mempengaruhi produksi (tanaman komoditas cenderung dipilih atau diwajibkan kepada petani karena membawa untung lebih tinggi), yang kemudian mengakibatkan harga tanaman pangan naik atau kurangnya persediaan tanaman pangan. Kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat, terutama keluarga-keluarga miskin melalui ketidakcukupan makanan, peningkatan biaya hidup, berkurangnya akses atas pelayanan- pelayanan publik dari pemerintah, penurunan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan dampak-dampak ini, sebagian besar perempuan di belahan Dunia Ketiga mulai melakukan perlawanan secara kolektif.

• Peningkatan kesadaran dan kesadaran politis.

Peningkatan orang-orang yang bergabung dalam perlawanan menghadapi dampak dari krisis ekonomi dan lingkungan menunjukkan suatu pengakuan tentang kebutuhan untuk perubahan struktural politis struktural. Organisasi yang awalnya dibangun untuk tujuan khusus telah memperluas fokus mereka ke sistem politik dan sosial yang lebih besar.

• Peminggiran perempuan dari arena politik

Untuk sebagian besar perempuan, kondisi ekonomi dan lingkungan berpotensi menimbulkan bencana karena seing mereka dihadapkan pada keterbatasan pilihan sumber penghidupan. Kondisi ini menyebabkan mereka berpartisipasi kecil atau tidak sama sekali dalam politik yang diorganisir di tingkatan nasional. Aktivitas politik mereka biasanya dimulai di tingkat lokal yang berhubungan dengan berbagai hal yang kritis dalam kehidupan mereka sehari- hari. Dalam dekade terakhir, permasalahan yang dihadapi oleh para perempuan semakin meningkat. Sistem yang ada tidak dapat menjawab kebutuhan mereka, oleh karena itu mereka melakukan aksi kolektif untuk

mengamankan syarat-syarat yang diperlukan untuk menjamin subsistensi, melindungi kesehatan keluarga dan ekosistem sekitar mereka.

Selanjutnya, dari lima penyebab di atas, berdasarkan tema, gerakan dan organisasi perempuan yang memperjuangkan isu lingkungan umumnya termasuk ke dalam salah satu dari tiga tema dibawah ini:

• Kebijakan dan isu pengelolaan lingkungan.

Pada tema ini, gerakan dan atau organisasi hanya memusatkan kerja mereka pada suatu kebijakan, permasalahan, atau resiko spesifik yang dinilai dapat membahayakan individu, rumahtangga, dan masyarakat. Dimulai dari pendokumentasian tentang persoalan lingkungan yang spesifik tersebut kemudian dijadikan agenda penting untuk mempengaruhi kebijakan dan penggalangan dukungan publik.

• Akses ke dan distribusi sumberdaya pada kondisi-kondisi di mana terjadi kelangkaan sumberdaya dan penurunan kualitas lingkungan.

Dapat dikatakan bahwa hampir di seluruh pelosok dunia, kelompok-kelompok komunitas mengorganisir diri mereka untuk bersama-sama terlibat dalam pengelolaan sumberdaya dan meningkatkan ketersediaannya bagi mereka. Kolektifitas perjuangan-perjuangan di tingkat lokal memungkinkan orang- orang merespon secara lebih efektif terhadap perubahan luar di lingkungan mereka. Mereka dapat membantu mengurangi resiko dan menciptakan peluang baru.

• Perubahan politik dan keberlanjutan lingkungan.

Diketahui bahwa proses pemiskinan ekonomi dan lingkungan sangat berkaitan erat dengan struktur politik yang ada. Merespon keadaan yang demikian, organisasi memulai perjuangannya dengan tujuan keberlangsungan ekonomi, dan kemudian mengerucut pada tekanan politik untuk menjadi lebih baik, tidak hanya bertahan.

Dalam rangka memperjuangkan tiga tema diatas, terutama yang dimiliki oleh perempuan dan kelompok marjinal lainnya yang selama ini menjadi korban eksploitasi kekayaan alam dan pengrusakan lingkungan, dari perspektif feminis melihat gerakan konservasi/lingkungan ke depan, sebagaimana yang telah disampaikan dalam bab pertama, hooks (2000) menyerukan pentingnya beragam

inisiatif dalam berbagai gerakan sosial -- seperti gerakan lingkungan terorganisir, gerakan perempuan, gerakan petani, dan gerakan masyarakat adat -- memiliki tujuan yang sama, yaitu menghapuskan seksisme terhadap alam (disebut juga oleh Warren 1987, dikutip oleh Tong 1998, sebagai naturisme) dan sesama manusia, tanpa harus dibatasi oleh sekat/aliran masing-masing. Hal ini dapat kita wujudkan melalui pemaknaan ulang secara kritis-kontemplatif tentang beberapa hal penting, yaitu:

• Solidaritas di antara perempuan (sisterhood).

Untuk merasakan suatu solidaritas, kita harus mempunyai persamaan perhatian/minat/kepentingan, keyakinan, tujuan dan komitmen untuk membangun persaudaraan di antara kita semua, para perempuan (sisterhood). Solidaritas juga memerlukan komitmen kita semua secara terus menerus. Untuk tumbuh bersama gerakan feminis, dibutuhkan keragaman. Kita menjadi bersaudara dan tumbuh dalam gerakan feminis karena kita dipersatukan dengan keyakinan dan perhatian/minat/kepentingan yang sama; dipersatukan

dalam sikap kita menghargai keragaman (diversity), perselisihan

pendapat/pertentangan (disagreement), dan perbedaan (difference); dipersatukan dalam perjuangan untuk mengakhiri opresi seksisme; dan dipersatukan dalam solidaritas politis.

Power.

Nancy Hartsock dalam tulisannya, Political Change: Two Perspectives on Power, yang dikutip oleh hooks (2000), menekankan bahwa power dipahami sebagai suatu kreativitas dan penguatan kehidupan (life-affirming), didefinisikan sebagai kemampuan untuk bertindak, kekuatan, atau tindakan yang memuat semangat berjuang sampai tuntas.

• Bekerja dan sifatnya (work and its’ nature).

Mempelajari makna bekerja, terutama melakukan pekerjaan rumahtangga, anak-anak dan orang dewasa sesungguhnya menerima tanggungjawab untuk menata sendiri material mereka, menghargai dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Melalui bekerja, mereka juga dapat mengekspresikan diri, menggali kreativitas dan belajar berdisiplin.

• Bekerja bersama laki-laki (men as comrades in struggle to end the sexist oppression).

Laki-laki yang dapat dijadikan sebagai kawan berjuang untuk mengakhiri opresi seksisme adalah laki-laki yang berani mengakui dan bersedia melawan seksisme dan bentuk-bentuk opresinya dalam kegiatan/pekerjaan apapun.

• Membangun gerakan yang berbasis massa (tidak lagi bersifat elitis).

• Melakukan serangkaian pendidikan kritis bagi perempuan mengingat

perempuan merupakan pihak yang paling banyak mengalami penindasan dari seksisme.

Sejalan dengan pemikiran hooks, Grown dan Sen (1987) yang dikutip oleh Saptari dan Holzner (1997) berpendapat bahwa gerakan lingkungan yang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok perempuan di basis yang masih bersifat pelayanan dapat menjadi gerakan feminis jika kelompok-kelompok tersebut tidak lagi bersifat hierarkis, partisipatif, anggota-anggotanya mempunyai kemampuan dan kemauan membagi daya (power) di antara mereka (melalui penggiliran fungsi-fungsi kepemimpinan) dan memiliki tujuan menghapuskan subordinasi perempuan menuju otonomi diri dan komunitas.

Catatan Kaki

1

Lihat Simatauw et al 2001.

2Dalam PP No. 68 Tahun 1998, Pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa penunjukan suatu kawasan

sebagai taman nasional apabila terdapat kriteria-kriteria:

▪ Memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami;

▪ Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik, baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh;

▪ Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

▪ Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;

▪ Dapat dibagi dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

3

Disampaikan oleh Sangaji et al (2004) bahwa sistem zonasi kawasan taman nasionalcenderung menyisihkan kepentingan komunitas setempat berdasarkan PP No. 68 Tahun 1998, Pasal 31 ayat 2, 3 dan 4 berikut ini.

Pasal 31 ayat 2 menyebutkan bahwa penetapan bagian kawasan taman nasional sebagai zona inti jika memenuhi kriteria-kriteria:

▪ Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

▪ Mewakili formasi bioma tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;

▪ Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu oleh manusia;

▪ Memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami;

▪ Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;

▪ Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;

▪ Mempunyai ciri komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau keberadaannya terancam punah.

Pasal 31 ayat 3 menyebutkan bahwa penetapan sebagai zona pemanfaatan, jika memenuhi kriteria- kriteria:

▪ Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;

▪ Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;

▪ Mempunyai kondisi lingkungan di sekitarnya yang mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

Pasal 31 ayat 4 menyebutkan bahwa penetapan sebagian kawasan dalam taman nasional sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria-kriteria:

▪ Mendukung upaya perkembangbiakan jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi;

▪ Memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;

▪ Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

4

Wilayah hidup dimaknai sebagai sistem integrasi antara kekayaan alam dengan nilai-nilai dan sistem sosial di suatu komunitas yang bermukim pada teritori tertentu (lihat Kartodiharjo dan Jhamtani 2006)

5

Dalam wawancara yang dilakukan oleh bell hooks, Freire mengakui bahwa konsep consciousness-nya masih terdapat tendensi pemaknaan pembebasan rakyat (people’s liberation) dari sudut pandangnya sebagai laki-laki (lihat hooks 2000, 41 - 42).

Bab tiga ini akan membahas secara lebih mendalam tentang metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis. Bab tiga ini terdiri dari tiga pembahasan. Pembahasan pertama akan menggambarkan metodologi feminis yang menjadi dasar bagi proses, prinsip, dan prosedur untuk mendekati problem dan mencari jawaban mengenai sejarah dan dinamika gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di kawasan ekosistem Halimun, Jawa Barat. Pembahasan kedua secara khusus akan mendiskusikan metode-metode yang dipilih yang sesuai dengan konteks budaya di kawasan ekosistem Halimun dan situasi nyata dari perempuan di Kampung Nyungcung yang mengalami kesulitan mengekspresikan dirinya kepada orang luar. Pembahasan terakhir yaitu pembahasan ketiga adalah uraian tentang keterbatasan penelitian ini.