• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG

1. Politik Perlawanan Rakyat Malasari: Sebuah Konteks

Gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Kampung Nyuncung dipelopori oleh perempuan biasa dari sosial ekonomi politik yang rendah

sebagaimana telah diuraikan pada bagian profil subyek penelitian dalam bab empat. Hal ini sangat menarik karena berbeda dengan kecenderungan yang terjadi di masyarakat desa umumnya dimana gerakan diinisiasi oleh kelompok-kelompok berpengaruh maupun elit (lihat Fauzi 2005 yang menuliskan kembali tentang perjuangan masyarakat adat melalui AMAN; Peterson dan Runyan 1999 yang mengulas tentang Greenbelt Movement di Kenya, Calcutta Social Project di India). Berperannya kelompok perempuan dari klas bawah ini tak dapat dipungkiri sangat berkaitan erat dengan dinamika politik perlawanan rakyat Malasari itu sendiri, yang tumbuh dan berkembang karena proses pemiskinan akut yang mendorong petani-petani miskin untuk berjuang merebut kembali hak-hak mereka atas tanah dan kekayaan alam lainnya.

Masyarakat Desa Malasari adalah salah satu masyarakat lokal di Kawasan Ekosistem Halimun yang menjalankan kehidupan mereka tidak lagi secara keseluruhan menyandarkan pada adat tradisi seperti komunitas Kanekes/Baduy dan Kasepuhan. Berdasarkan penelitian RMI pada tahun 1998, hanya sebagian kecil warga yang tersebar di beberapa kampung (Malasari, Nyungcung, Kopo, Pabangbon, dan Pabuaran) di mana terdapat wakil dari beberapa Kasepuhan, masih mempercayai hari gelap (larangan untuk bekerja di sawah)1 dan melakukan ritual semacam Doa Amit2, dan Sedekah Bumi3. Selebihnya, dapat dikatakan bahwa tidak ada lagi institusi lokal, selain dari pemerintah, yang digunakan untuk mengatur kehidupan desa4, terutama bagaimana menyikapi konflik, baik itu yang bersifat horizontal atau vertikal.

Menurut pengamatan saya, sejak tahun 1998 pemerintah desa Malasari tidak banyak terlibat dalam proses rekonsiliasi konflik yang inisiatifnya digulirkan oleh petani sendiri dari beberapa kampung, seperti Kampung Malasari, Nyungcung, dan Cisangku. Hal ini dapat dilihat pertama dari sikap Kepala Desa yang tidak mendukung perjuangan kelompok petani Mandalasari untuk menghentikan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Nirmala Agung.5 Kedua, dari Peraturan Desa – Peraturan Desa yang dipakai kesemuanya masih menitik- beratkan pada pemerintahan (governance) dan keuangan desa yang tidak berbasis pada kebutuhan masyarakat. Peraturan-peraturan itu adalah:

• Peraturan Desa No. 1/2001 tentang Pedoman Pembuatan Peraturan Desa, Keputusan Desa, Rekomendasi dan Instruksi;

• Peraturan Desa No. 2/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa;

• Peraturan Desa No. 3/2001 tentang Pedoman Pengangkatan dan

Pemberhentian Perangkat Desa;

• Peraturan Desa No. 4/2001 tentang Pedoman Pembentukan Organisasi dan Lembaga Kemasyarakat di Desa;

• Peraturan Desa No. 5/2001 tentang Pemilihan Kepala Desa;

• Peraturan Desa No. 6/2001 tentang Sumber dan Pedoman Pemungutan

Pendapatan Desa;

• Peraturan Desa No. 7/2001 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa;

• Peraturan Desa No. 8/2001 tentang Keuangan Pemerintahan Desa;

• Peraturan Desa No. 9/2001 tentang Anggaran Keuangan BPD;

• Peraturan Desa No. 10/2001 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan Pihak Ketiga dan Pinjaman Desa;

Ketiga, belum adanya acuan kebijakan ditingkat peraturan daerah6 dan masih rendahnya kapasitas aparat untuk secara politis merealisasikan lahirnya peraturan desa yang dapat mengakomodir tuntutan konservasi yang berbasiskan lintas desa. Mensikapi respon dari pemerintah desa yang terkesan lamban dan hati-hati, kelompok-kelompok petani berinisiatif berhadapan langsung dengan pihak luar yang mereka nilai sebagai sumber konflik, menyusun sendiri rancangan peraturan yang mendukung mereka, dan menggalang dukungan dan kerjasama dengan kelompok-kelompok petani dari desa lain serta pemerintah di tingkat kecamatan dan kabupaten.

Keterpurukan hidup sebagai hasil dari rangkaian kapitalisme kolonial dan pembangunanisme menyebabkan petani mulai berani melakukan perlawanan- perlawanan semacam ini. Menurut pengakuan beberapa petani laki-laki yang aktif dalam diskusi pertama tentang sejarah desa pada tahun 1999, perlawanan semacam ini telah dilakukan oleh sebagian besar penduduk Malasari, baik kaum perempuan dan laki-lakinya, yang secara individual dan spontan melakukan

demonstrasi atau bahkan mengorganisir perlawanan terhadap pihak luar yang datang untuk mengeksploitasi sumberdaya mereka.

Terdapat tujuh perlawanan rakyat Malasari yang cukup menonjol yang ditemukan dalam penelitian ini. Perlawanan pertama adalah perlawanan rakyat Malasari terhadap PT. Ciangsana (pemegang HGU perkebunan teh sebelum PT. Nirmala Agung) pada tahun 1973. Dibantu oleh militer, PT.. Ciangsana mengambil alih tanah-tanah garapan warga Malasari di sekitar perkebunan teh di Nirmala yang luasnya sekitar 163.7 ha (Galudra et al 2005). Para petani yang tergusur tersebut bersama aparat pemerintah desa pada saat itu dan Kapten Rojak (dari kepolisian) menuntut pembatalan HGU yang diberikan kepada PT.. Ciangsana tersebut ke Gubernur Jawa Barat. Hasilnya, Gubernur Jawa Barat pada waktu itu mengeluarkan surat dengan No. 650/175/2/73 yang meminta Menteri Pertanian meninjau ulang tentang surat keputusan pemberian HGU No. 16/HGU/a/73itu.

Kedua, adalah perlawanan rakyat terhadap PERUM PERHUTANI karena telah mengambil-alih tanah mereka yang digarap sejak tahun 1930 – 1940an. Kemarahan petani atas perlakuan sewenang-wenang itu telah mendorong mereka untuk berjuang sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu El di bawah ini:

“Sebelum PERUM PERHUTANI masuk, dulu daerah ini (blok Cepak

Nangka) merupakan sawah-sawah garapan dari sebagian besar para orang tua kami. Pengambil-alihan daerah ini menjadi bagian dari kawasan produksi PERUM PERHUTANI dilakukan secara paksa. Tanaman padi dirusak, dibabat habis!” (Pernyataan Ibu El, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2004)

Perlawanan ini telah membuahkan hasilnya, walaupun belum terlalu memuaskan petani, yaitu beberapa lokasi yang berlereng di beberapa kampung, sawah-sawah yang telah dibangun dan digarap sejak tahun 1930an - 1940an oleh para orang tua mereka tidak dikonversi menjadi kebun pinus. Sementara itu di beberapa lokasi, PERUM PERHUTANI mengizinkan warga untuk menggarap dan bermukim di atas kawasan produksinya dengan syarat mereka harus membayar sebesar 10% – 25% dari hasil panen7, serta bersedia menanam pohon pinus dan rasamala di lahan garapan dan kampung mereka (Galudra et al 2006).

Baheula te... kami geus kudu nanem pinus di halaman imah, trus hasilna diala ku Kahutanan – Dulu... kami harus menanam pinus di halaman rumah, dan hasilnya akan diambil oleh pihak PERUM PERHUTANI” (Pernyataan Ibu Ln, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2004; dikutip dari Galudra et al 2005)

Ketiga, berdasarkan wawancara dengan salah satu anggota Kelompok Tani Megamendung (Ad) yang dulu pernah bergabung dalam Serikat Tani Indonesia (STI), menceritakan bahwa pada awal tahun 1990-an sekelompok petani, generasi dari petani-petani Malasari yang melakukan perlawanan pada tahun 1973 terhadap PT. Ciangsana, memperjuangkan kembali hak garap pada tanah seluas 163.7 ha di Nirmala karena pada saat itu PT. Ciangsana akan menjual HGUnya kepada PT. Nirmala Agung (sebagai salah satu anak perusahaan dari Grup Sinar Mas). Menurut Ad, perjuangan reklaim tanah garapan oleh kelompok petani Malasari tersebut bersamaan dengan perjuangan kelompok petani Cimacan yang sangat mungkin mempengaruhi militansi kelompok petani Malasari tersebut. Dalam suatu pertemuan tahun 1991/1992 yang menghasilkan Deklarasi Cimacan, kelompok petani Malasari ini menyatakan keinginan mereka untuk bekerjasama dengan STI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang pada saat pertemuan itu STI dan LBH dibentuk secara resmi. Walaupun belum berhasil karena pada tahun 1992 tersebut PT. Nirmala Agung membeli HGU PT. Ciangsana seluas 971 ha yang terdiri dari empat afdeling, kelompok petani Malasari ini terus melakukan kerjasama dengan STI dan LBH AMPERA untuk mempersiapkan reklaim berikutnya pada saat HGU akan berakhir di tahun 1997.

Keempat adalah perlawanan yang dilakukan pada tahun 1997 yang merupakan kelanjutan dari perlawanan pertama dan ketiga di atas yang belum berhasil mengambil kembali tanah garapan mereka. Tahun 1997 adalah tahun berakhirnya HGU PT. Nirmala Agung, yaitu tepatnya pada tanggal 31 Desember 1997. Hal ini merupakan kesempatan bagi rakyat Malasari untuk mereklaim ketiga kalinya tanah garapan mereka. Melalui Kelompok Petani Mandalasari, ratusan petani dan penggarap (laki-laki) bergabung untuk meneruskan perjuangan orang tua mereka menuntut kembali hak garap atas tanah-tanah mereka. Pada

tahun 1998, ketika proses negosiasi masih berlangsung, aksi okupasi di tanah garapan mereka yang dikuasai oleh PT. Nirmala Agung dilakukan sebagian besar oleh para istri mereka. Mereka mulai menamami lahan-lahan tersebut dengan tanaman palawija dan beberapa jenis tanaman hortikultura. Perjuangan ini tetap terus dilakukan oleh petani Mandalasari sampai sekarang, yaitu dengan cara tetap mengusahakan tanah-tanah tersebut sebagai kebun-kebun mereka, walaupun Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengeluarkan izin perpanjangan HGU kepada PT. Nirmala Agung dengan SK No. 54/HGU/BPN/99 untuk afdeling No. 1, 3, dan 4. Menurut petani Malasari SK tersebut tidak adil dan menindas kepentingan petani sehingga perlu terus diperjuangkan upaya menuntut kembali hak-hak mereka.

Perlawanan kelima, yang juga terjadi pada tahun 1997, adalah perlawanan rakyat Malasari terhadap gurandil yang datang dari luar dan PERUM PERHUTANI yang menyebabkan krisis air di beberapa kampung di Desa Malasari. Kelompok masyarakat yang diwakili oleh beberapa warga kampung dan tokohnya beserta ketua RT dan RW Kampung Nyungcung meminta PT. Aneka Tambang untuk berupaya memecahkan masalah kelangkaan air yang terjadi di Malasari yang menurut analisis petani disebabkan oleh aktivitas gurandil dari luar8 dan keberadaan kebun pinus PERUM PERHUTANI.

Perlawanan keenam, adalah perlawanan rakyat Malasari pada tahun 2001

terhadap PERUM PERHUTANI yang memanen habis pohon pinusnya (clear

cutting) dengan cara mengokupasi tanah bekas tebang habis tersebut. PERUM PERHUTANI menebang habis kebun pinus di tanah seluas ± 16 ha di Kampung Malasari. Petani menganggap tanah tersebut dapat digarap oleh mereka walaupun tidak mendapatkan izin dari PERUM PERHUTANI. Inilah yang menjadi sebab konflik antara rakyat penggarap tanah PERUM PERHUTANI dan PERUM PERHUTANI sendiri. Petani penggarap selalu siap siaga jika pihak PERUM PERHUTANI akan mengambil-alih secara paksa tanah yang mereka sudah olah menjadi huma dan kebun. Selain sebagai bentuk perlawanan lanjutan, pada tingkat tertentu tindakan okupasi ini dapat dinilai sebagai bentuk negosiasi petani Malasari terhadap ‘program’ Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) PERUM PERHUTANI yang saat itu gencar disosialisasikan kepada para petani

penggarap di kawasan produksi PERUM PERHUTANI. Dari hal yang direklaim, yaitu hak garap dalam jaluran meranti dengan tanaman keras (pohon buah dan kayu), sesungguhnya dapat dipandang sebagai model PHBM alternatif yang diajukan oleh para petani tersebut.

Perlawanan ketujuh, perlawanan yang secara khusus dikaji dalam tesis ini, adalah perlawanan rakyat Malasari terhadap kebijakan pemerintah memperluas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Rakyat Malasari menuntut Taman Nasional Gunung Halimun – Salak untuk tidak memasukkan kampung, sawah dan kebun mereka sebagai kawasan konservasi. Dalam perlawanan kali ini, sejak akhir tahun 2004, rakyat sudah mampu mengorganisir diri mereka dalam kelompok-kelompok yang sudah terstruktur. Keadaan ini merupakan hasil dari intervensi ORNOP, secara langsung ataupun tidak, dalam mengorganisir perlawanan rakyat untuk mendapatkan keadilan. Petani-petani ini sudah mampu melakukan program konservasi lokal dengan nama Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo (Hutan Hijau, Masyarakat Sejahtera) atau dalam bahasa lainnya mereka sebut sebagai Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK) dalam naungan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Nyungcung.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa tumbuh dan berkembangnya gerakan konservasi lokal yang berbasis perempuan ini sangat dipengaruhi oleh politik perlawanan rakyat yang dipelopori dan diaktifkan oleh petani-petani miskin terutama petani laki-laki yang termarginalkan karena adanya pihak-pihak luar yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka.