• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Kondisi dan Situasi Perempuan Malasari – Nyungcung 1 Beban Ganda Perempuan

4.3. Pekerjaan Perempuan

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub-bab 4.1. di atas bahwa perempuan Malasari setidaknya bekerja 14 jam sehari. Berdasarkan penelitian RMI (2005) terhadap 79 rumah tangga petani di Kampung Nyungcung, diketahui

bahwa secara umum, 8 jenis pekerjaan utama rumahtangga dilakukan oleh perempuan, dan 1 oleh laki-laki (Tabel 7). Sementara itu, untuk kerja tani, ketika para suami belum/tidak beralih ke pekerjaan non pertanian, maka perempuan lebih terspesialisasi pada nebar, nandur, dan ngoyos-ngarambet, sedangkan laki- lakinya pada pengolahan tanah, dan penyemprotan (Tabel 8).

Tabel 7. Jenis-jenis Pekerjaan Domestik yang Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki

No. Jenis-jenis Pekerjaan Domestik

Pelakunya

Perempuan Laki-laki

1. Membersihkan rumah

(menyapu dan mengepel)

9 2. Memasak 9 3. Mencuci piring 9 4. Mencuci pakaian 9 5. Menyeterikan pakaian 9 6. Mengambil air 9

7. Mengambil kayu bakar 9

8. Membersihkan halaman 9

9. Mengasuh anak 9

Tabel 8. Tahapan Pekerjaan Tani antara Perempuan dan Laki-laki

No. Jenis-jenis Pekerjaan Tani Pelakunya

Perempuan Laki-laki

1. Pengolahan tanah 9

2. Nebar (pembuatan bibit) 9 3. Nandur (penanam bibit padi) 9

4. Pemupukan 9 9

5. Ngoyos (menghancurkan bongkahan2 tanah di sawah) dan

Ngarambas (penyiangan gulma)

9

6. Penyemprotan 9

7. Panen 9 9

8. Penjemuran padi 9 9

9. Pengikatan padi (untuk padi lokal) 9 9

10. Ampe pare (penyimpanan padi) 9 9

Secara garis besar, selain bersawah dan atau berkebun di tanah milik dan atau garapan, jenis pekerjaan lain yang biasa dilakukan oleh petani dan buruh tani perempuan dan laki-laki agar tetap mendapatkan dan mempertahankan hak untuk

makan serta mendapatkan uang (cash) bagi keluarga mereka, dijelaskan dalam Tabel 9.

“Suami saya ngojek untuk mencukupi kebutuhan kami, tapi hasilnya nggak tentu, kadang kalau rezeki lagi bagus, ya dapat agak lebih..tapi kalau lagi nggak ada penumpang, sering juga seharian nggak dapat duit...” (Pernyataan Ibu Ma, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal...., bulan...., 2002)

“Saya sering jadi kuli ngoyos, mulai dari pagi sampai siang, biasanya dapat lima ribu, bapak sering juga nguli nyangkul atau kalau ada pas ada panggulan kayu, nguli juga, mulai dari pagi sampai sore dapat limabelas ribu tapi nggak dapat makan, kalo dapat makan, upahnya sepuluh ribu...” (Pernyataan Ibu Un, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal...., bulan...., 2002)

Tabel 9. Pekerjaan dengan Imbalan (Padi, Ternak, atau Uang) yang Biasa Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki No

.

Jenis Pekerjaan Perempuan Laki-

laki

Hasil yang didapat 1. Ngepak (untuk nandur dan panen) 9 Padi^

2. Maro sawah 9 9 Padi^

3. Maro ternak kambing 9 9 Ternak

4. Kuli nandur 9 Uang

5. Kuli ngoyos 9 Uang

6. Kuli nyangkul 9 Uang

7. Kuli ngarambas 9 Uang

8. Kuli panen 9 Padi^ atau Uang

9. Kuli tebang dan atau pikul kayu 9 Uang

10. Ngojek 9 Uang

11. Pembantu Rumahtangga 9 Uang

12. Buruh murah di kota 9 9 Uang

13. Nambang emas (menjadi gurandil) 9* 9 Uang

14. Jual hasil ternak 9 9 Uang

15. Jual hasil kebun 9 9 Uang

Sumber: Hidayati 2005, dengan beberapa perbaikan.

Keterangan ^: Umumnya diterima dalam bentuk ikatan (pocong) *: Ditemukan di Kampung Nyungcung, Desa Malasari.

Beberapa perempuan mengambil kumpulan batu dan tanah yang mengandung emas yang sebelumnya telah dikumpulkan dalam karung- karung oleh para gurandil laki-laki, suami atau saudara mereka.

Dikaitkan dengan pertambahan anggota keluarga dan kebutuhan hidup, yang tentu saja tidak dapat lagi dicukupi dari petakan-petakan sempit sawah mereka, maka sebagaimana yang dilakukan oleh generasi muda, sebagian besar petani

laki-laki mulai beralih pada pekerjaan di bidang non pertanian, terutama mencari emas di gunung (menjadi gurandil). Kondisi ini tidak jarang mengharuskan petani perempuan, terutama dari kalangan rumahtangga miskin, mengambil alih sisa pekerjaan bersawah yang awalnya merupakan pekerjaan laki-laki, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibu Tt pada halaman 74.

Bagi petani perempuan Malasari, sumberdaya lahan dalam bentuk sawah dan kebun tidak hanya menjadi satu faktor produksi yang sangat penting, tetapi juga membantu memberi keamanan secara sosial.

“….. kami ingin menggarap sawah dan atau kebun di lahan Kahutanan

dengan rasa aman. …. kalau semua anggota keluarga cukup makan, kami dapat tidur nyenyak! …..” (Pernyataan Ibu Ar, dari Kampung Malasari. Didokumentasikan pada tanggal…., bulan…, 2002)

Makna sangat penting tersebut dapat terlihat dari berbagai upaya yang selalu dilakukan untuk mengamankan kebutuhan beras bagi keluarga mereka, yaitu:

Ngepak

Ngepak adalah salah bentuk kelembagaan lokal bagi hasil di bidang pertanian padi sawah yang menghubungkan antara pemilik sawah dengan para pengepak

(‘pekerja’ perempuan) yang membantu pada saat menanam (tandur) dan panen -- tidak ada laki-laki yang terlibat sebagai pengepak, baik pada saat

tandur atau panen. Bagi hasil dari ngepak di Malasari adalah 5 : 1, jika hasil panen 5 gedeng maka pemilik sawah mendapatkan 4 gedeng dan pengepak mendapatkan 1 gedeng. Untuk mencukupi kebutuhan beras keluarga, terutama bagi perempuan dari rumahtangga yang tidak memiliki atau menggarap lahan, ngepak merupakan cara yang tepat. Dengan bermodalkan tenaga, keahlian (menanam dan memanen padi dengan cepat), dan waktu, para pengepak mengusahakan pemenuhan kebutuhan beras dari banyak tempat/sawah orang lain. Pada satu musim tanam seorang pengepak dapat mengepak di 10 - 15 tempat dengan hasil maksimal 50 - 65 gedeng padi (1 gedeng padi setara dengan 7.5 kg gabah padi).

Nguli

Pekerjaan nguli yang dipilih oleh perempuan adalah ngoyos (melembutkan lumpur dan atau menghancurkan gumpalan/bongkahan tanah di sawah dan

sekaligus menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela padi). Upah yang diterima adalah sebesar Rp 10,000 dengan waktu kerja dari jam 07.00 – 15.00.

Maro

Pada sistem maro, petani penggarap memikul semua biaya kegiatan bercocok tanam di sawah yaitu mulai dari pengolahan tanah, penanaman (tandur),

pemeliharaan tanaman (penyiangan rumput/ngarambet, menggemburkan

tanah/ngoyos, pemupukan, penyemprotan dan pengairan) dan pemanenan. Sementara itu, pihak pemilik sawah hanya menyediakan tanah sawahnya saja. Ketika panen, hasil tersebut dibagi dua, ½ bagian untuk pemilik dan ½ bagian untuk penggarap. Dalam sistem maro ini, hubungan antara penggarap dan pemilik sawah bukan merupakan hubungan abdi-majikan seperti yang terjadi di daerah Jawa atau tempat lainnya.

Bagi mereka yang masih memiliki BALITA, beban ganda ini disiasati melalui pembentukan ‘institusi’ pengasuhan BALITA. Dijelaskan oleh para ibu yang menjalankan ‘institusi’ ini, bahwa disamping rasa tenang karena menitipkan anaknya dalam kondisi aman, juga memperoleh informasi tentang kesempatan bekerja di sawah orang lain (melakukan ngepak dan atau menjadi kuli ngoyos) yang dapat diakses secara bergilir. Kemudian, terkait dengan hari gelap, (waktu larangan melakukan kegiatan di sawah pada hari Jum’at dan Senin, atau Minggu), dipatuhi dengan cara bekerja di kebun, menghadiri pengajian, dan atau arisan beras (di Kampung Malasari).

Dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan di kampung atau di desa, seperti maulid nabi, isro’ mi’raj, pertemuan kampung atau desa dengan pihak luar, dan kendurian pernikahan, para ibu bekerja untuk menyediakan konsumsi. Sedangkan para bapak dan pemudanya terlibat dalam pemasangan tenda dan penyediaan kayu bakar untuk memasak. Dalam hal penyediaan konsumsi untuk pertemuan dengan pihak luar yang dana konsumsinya berasal dari kontribusi pihak luar tersebut, pernah terjadi ‘tuduhan’ dari beberapa warga kepada para ibu yang bersedia memasak. Para ibu itu dicurigai mengambil sisa uang belanja atau bahan-bahan makanan. Merasa tidak dihargai, satu seorang ibu yang memasak menyampaikan keberatannya atas tuduhan tersebut pada tokoh kampung yang memintanya menyediakan konsumsi. Contoh seperti ini merupakan gambaran

bagaimana masyarakat ‘menilai’ pekerjaan perempuan sebagai pekerjaan yang biasa saja atau tidak dihargai.

Selain penjelasan pekerjaan domestik, bertani, dan kegiatan sosial tersebut, diceritakan oleh Ibu Km (anggota kelompok Cepak Nangka), bahwa sebagian besar ibu-ibu di Kampung Nyungcung pada saat mereka belum menikah, mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga di JABOTABEK. Seperti yang telah sedikit disinggung sebelumnya (halaman 70), keadaan ini disebabkan karena keterbatasan ekonomi keluarga. Dengan bekal pendidikan, pengetahuan dan pengalaman yang minim (hanya didapat dari SD dan lingkup membantu pekerjaan Ibu di rumah), para perempuan muda (termasuk anak-anak yang menjelang remaja) melalui ‘jaringan’ dengan para perintis migran, yang dalam hal ini didasari oleh suatu ikatan kekerabatan atau perkawanan -- mengacu pada istilah Marzali (2003) dikenal sebagai ikatan karunya’ batur -- berusaha untuk mendapatkan pekerjaan di kota.

‘Tradisi’ migrasi ke kota untuk bekerja, menurut Astuti dalam Poerwandari dan Hidayat (2000), dapat dikatakan sebagai ‘gerakan tandingan’ dari perempuan muda kelas bawah untuk memerangi kemiskinan yang mereka alami selama ini. Terkait dengan budaya patriarkhi yang telah dijelaskan dalam Bab II, bahwa dalam kerangka kognitif ibu rumahtangga, peran dan kedudukan perempuan selama ini, ketika belum menikah, selalu digambarkan sebagai sosok yang selalu patuh pada orang tua dan bekerja dengan baik di rumah, mulai mendapat reaksi dari perempuan generasi muda. Mereka mulai berani keluar desanya demi memperoleh penghasilan untuk membantu orang tua. Abdullah (1997), dikutip oleh Astuti dalam Poerwandari dan Hidayat (2000), menilai keberanian ini sebenarnya merupakan salah satu bukti bahwa perempuan mulai merekonstruksi sejarah hidupnya dan menggugat ideologi familialisme. Migrasi yang dilakukan para perempuan muda tentu saja membawa beberapa implikasi tertentu, di antaranya adalah peralihan kultur desa ke kultur kota setidaknya menimbulkan konsekuensi sosial, ekonomi, psikologis dan politis bagi diri mereka; terjadi perubahan dan pergeseran status dan posisi, dari sebelumnya ikut orang tua dengan segala macam aturan yang harus dipatuhi, dalam posisi yang tergantung

pada orang tua, kemudian berubah menjadi perempuan yang belajar menghadapi dan menyelesaikan persoalan, serta belajar menjadi mandiri dalam segala hal.