• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SWADAYA

BERKELANJUTAN SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI

MASYARAKAT NELAYAN DALAM PEMBANGUNAN

(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)

MUSSADUN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Strategi

Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi

Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa

Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak) adalah karya saya sendiri dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicamtumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2005

(3)

ABSTRAK

MUSSADUN. C251030011. Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak). Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI dan FREDIAN TONNY.

Desa Morordemak mempunyai potensi di sektor perikanan tangkap dan budidaya tambak, namun potensi ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga desa ini tetap miskin. Permasalahan kemiskinan nelayan tersebut mengundang perhatian pemerintah. Pemerintah berupaya memberikan solusi berupa pemberian program bantuan pengentasan kemiskinan. Namun sejauh ini perkembangan yang terjadi di Desa Morodemak belum sesuai dengan yang diharapkan.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendiskripsikan pengaruh kebijakan pembangunan yang terkesan dipaksakan dan norma yang berkembang ditengah masyarakat, sehingga menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat nelayan untuk berpartisipasi; (2) Mendiskripsikan pengaruh lemahnya partisipasi masyarakat yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya, sehingga masyarakat nelayan miskin; (3) Memberikan usulan bentuk sistem kelembagaan swadaya yang berkelanjutan sebagai media partisipasi; (4) Merumuskan strategi pengembangan sistem kelembagaan swadaya yang berkelanjutan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Metode studi kasus memiliki strategi pengumpulan data yang bersifat multi-metode (triangulasi), yaitu wawancara mendalam, pengamatan dan analisis dokumen. Temuan studi hasil analisis diskripsi adalah sebagai berikut: (1) Desa Morodemak merupakan desa miskin ditinjau dari segi kondisi fisik sarana dan prasarana, kondisi pemukiman penduduk dan tingkat pendidikan; (2) Kesalahan pemerintah dalam memahami konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan peran tokoh agama, mempengaruhi norma atau perilaku masyarakat nelayan Desa Morodemak yang tidak mendukung pembangunan sebagai penyebab lemahnya partisipasi masyarakat nelayan; (3) Lemahnya partisipasi masyarakat menyebabkan tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan di Desa Morodemak, sehingga terbelit Kemiskinan; (4) Usaha untuk mengentaskan kemiskinan tersebut adalah mengembangkan Lembaga Musyawarah, Perencana dan Pelaksana Pembangunan Desa Morodemak sebagai media partisipasi; (5) Langkah-langkah strategis dirumuskan dengan memperhatikan kepentingan dan nilai-nilai pranata yang berkembang di masyarakat nelayan Desa Morodemak. Nilai-nilai, pranata dan norma yang berkembang dan berpotensi sangat bagus di Desa Morodemak adalah kelembagaan agama.

(4)

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SWADAYA

BERKELANJUTAN SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI

MASYARAKAT NELAYAN DALAM PEMBANGUNAN

(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)

MUSSADUN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Tesis : Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)

Nama : Mussadun

NIM : C251030011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA Ir. Fredian Tonny, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

dan Lautan

Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc

(6)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis berjudul “Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terwujudnya karya ilmiah ini dari awal sampai selesai tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan, masukan, dorongan dan semangat. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada: (1) Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA dan Bapak Ir. Fredian Tonny, MS, masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberi bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini; (2) Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB); (3) Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf; (4) Bapak Prof. Dr. Ir. H Rokhmin Dahuri, MS, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) beserta staf; (5) segenap dosen mata kuliah pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor; (6) Pemerintah Kabupaten Demak, Kesbanglinmas Demak, BAPPEDA Demak, DKP Demak, PMD Demak, PEDAL Demak, Kantor Kecamatan Demak dan Kepala Kelurahan Desa Morodemak yang telah memberikan izin penelitian di Desa morodemak: (7) Bapak Ir Jawoto, Ibu Wiwik dan rekan dosen Studio Perencanaan Wilayah PWK UNDIP beserta mahasiswa Tim Desa Morodemak dan Purworejo atas masukan data dan informasi; (8) semua pihak yang tidak dapat kami sebut satu per satu yang telah membantu baik material maupun spiritual, sehingga penyusunan tesis ini selesai.

Tidak lupa juga kepada semua rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, khususnya Angkatan X yang telah memberi dukungan dan bantuan yang tak terhingga.

Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian, Amiin.

Bogor, September 2005

Mussadun

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Juni 1970 dari ayah Saman dan ibu Tumini. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Karangkumpul Semarang pada tahun 1983, pada tahun 1986 menamatkan pendidikan menengah pertama pada SMP Negeri 13 Semarang dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai siswa SMA Negeri 3 Semarang dan tamat pada tahun 1989. Pada tahun 1989, penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang. Pada tahun 1991, penulis mendapatkan beasiswa ikatan dinas dari Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penulis menamatkan program S1

Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro pada tahun

1996.

Pada tahun 1997, penulis diterima sebagai tenaga pengajar magang di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dan pada tahun 1998 diangkat sebagai CPNS di instansi yang sama. Pada tahun 1999, penulis resmi menjadi PNS sebagai tenaga pengajar di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ……….. ii

DAFTAR TABEL ………. v

DAFTAR GAMBAR ……….……….. vi

DAFTAR LAMPIRAN ……….……… vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ……….………. 1

Perumusan Masalah ………. 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….……… 4

PENDEKATAN TEORITIS TINJAUAN PUSTAKA ………..……… 6

Fenomena Kemiskinan Masyarakat Nelayan ……….…….. 6

Struktur Sosial, Interaksi Sosial dan Pranata Sosial …….……… 8

Kelembagaan Swadaya Masyarakat ………. 10

Proses Pertumbuhan dan Pola Hubungan Kelembagaan …..… 11

Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat ……….. 12

Konsep Pembangunan Berkelanjutan ………..……. 14

Pengembangan Sistem Kelembagaan Berkelanjutan ………….. 14

KERANGKA PEMIKIRAN ………...………….. 15

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ………..……. 19

Metode dan Teknik Pengumpulan Data ……… 19

Penentuan Sampel (Responden dan Informan) ..……….. 19

Metode Pengolahan dan Analisis Data .………..………. 23

GAMBARAN UMUM DESA MORODEMAK Wilayah Administrasi ……….……….. 26

Tata Guna Lahan ………..……….. 26

Pemerintahan Desa ……….………. 27

Kependudukan ……….. 27

Mata Pencaharian Penduduk ………...….. 29

Tingkat Pendidikan ………..……… 31

Agama ………..……… 32

Tingkat Kesejahteraan ………..…..……… 32

Fasilitas dan Utilitas ………..………..… 33

HISTORIS STRUKTUR SOSIAL POLITIK DI DESA MORODEMAK …... 39

FENOMENA KEMISKINAN DI DESA MORODEMAK Mata Pencaharian dan Tingkat Kesejahteraan ………..………. 43

Tingkat Pendapatan ……….……… 45

Kondisi Fisik Sarana dan Prasarana ……….………… 45

Kondisi Sarana di Desa Morodemak ………..……… 45

Sarana Pendidikan ………..……… 45

Sarana Kesahatan ……… 46

Sarana Perdagangan ………..……… 46

Pemukiman ……… 47

Kondisi Prasarana di Desa Morodemak ………..….. 47

Jaringan Jalan ………. 47

Jaringan Transportasi ………..………….. 47

(9)

Jaringan Sanitasi dan Drainase ……… 48

Jaringan Persampahan ……….………. 48

Kemiskinan Kultural ……….…….. 49

Kemiskinan Struktural ……… 50

Kemiskinan Alami (Natural) ………. 52

PROGRAM PEMBANGUNAN DAN NORMA MASYARAKAT YANG MENGHAMBAT PARTISIPASI Program Pembangunan Pengentasan Kemiskinan ………….……… 54

Norma dan Perilaku Masyarakat Nelayan Desa Morodemak ………. 58

Lemahnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan ………….. 64

SISTEM KELEMBAGAAN MASYARAKAT NELAYAN YANG KURANG BERFUNGSI DI DESA MORODEMAK Kelembagaan Keluarga ………..……… 67

Kelembagaan Keagamaan ………..……… 70

Kelembagaan Pendidikan ……… 72

Kelembagaan Ekonomi ……… ………… 74

Kelembagaan Politik ……….……… 79

Kelembagaan Pemerintahan Desa ……… 79

Kelembagaan Penegakan Hukum ………..……… 80

Karakter Tokoh dalam Sistem Kelembagaan …….……….………….. 86

BENTUK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SISTEM KELEMBAGAAN SWADAYA MASYARAKAT BERKELANJUTAN Bentuk Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya Masyarakat 88 Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan 91 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ……….……… 95

Saran ……… ….………. 96

DAFTAR PUSTAKA ………...………..………..……… 97

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis Kategori ... 21

2. Penggunaan Lahan Desa Morodemak ... 23

3. Jumlah Penduduk Per Tahun Desa Morordemak ... 25

4. Jumlah Penduduk Menurut Umur Desa Morodemak ... 25

5. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa Morodemak .. 26

6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 28

7. Jumlah Penduduk Menurut Agama ... 29

8. Jumlah Kendaraan Bermotor ... 30

9. Jumlah Sarana Komunikasi ... 30

10. Jumlah Fasilitas Pendidikan ... 31

11. Jumlah Fasilitas Kesehatan ... 32

12. Jumlah Fasilitas Peribadatan ... 32

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pola Hubungan Sistem Kelembagaan Masyarakat ... 12

2. Diagram Alur Berpikir ... 18

3. Rangkaian Tahapan Metodologi Penelitian ... 22

4. Diagram Batang Tata Guna Lahan Desa Morodemak ... 24

5. Diagram Batang Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 25

6. Diagram Batang Mata Pencaharian Penduduk ... 27

7. Usaha Rumah Tangga Nelayan (On Farm) ... 27

8. Pekerjaan Masyarakat Nelayan Desa Morodemak (Off Farm) ... 27

9. Diagram Batang Tingkat Pendidikan ... 28

10. Fasilitas Pendidikan MTs Sunan Barmawi dan SD Inpres Moro ... 30

11. Masjid Jami Baitul Atiq dan Mushala Mujahidin Desa Morodemak ... 32

12. Pemukiman Nelayan Desa Morodemak ... 33

13. Pasar, Warung dan Toko/Kios ... 33

14. Angkutan Desa, Ojek Roda Tiga dan Perahu Penyeberangan ... 34

15. Kondisi Jalan Desa Morodemak ... 34

16. Kondisi Drainase Desa Morodemak ... 35

17. Kondisi Tempat Pembuangan Sampah ... 35

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Pengamatan ... 102

2. Responden dan Informan ... 106

3. Hasil Wawancara ... 107

4. Jenis Dokumen ... ... 108

5. Peta Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak .... 109

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat nelayan merupakan salah satu bagian yang tidak dapat

dipisahkan dalam proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam di

wilayah pesisir. Mereka kebanyakan merupakan masyarakat nelayan tradisional

dengan kondisi sosial ekonomi dan berlatar belakang pendidikan yang relatif sangat

rendah (Supriharyono, 2000:4). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Raymond

Firth, bahwa masyarakat nelayan memiliki karakteristik diantaranya adalah tingkat

pendidikan nelayan dan anak-anak nelayan pada umumnya rendah dan tingkat

pendapatan mereka juga rendah (Sulistiyo, 1994:117).

Rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat

nelayan tradisional tersebut menyebabkan mereka hidup terbelit dengan kemiskinan

dan keterbelakangan. Kusnadi (2002:3) berpendapat, bahwa tingkat kehidupan

sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional sangat rendah dan bahkan dapat

dikatakan sebagai lapisan sosial yang paling miskin di desa-desa pesisir.

Kemiskinan dan keterbelakangan yang dimiliki oleh masyarakat nelayan

tersebut merupakan dampak dari adanya proses pembangunan yang bersifat top-down, sentralistis, teknokratis dan bersifat penyeragaman dan belum memperhatikan keterlibatan masyarakat, sehingga prakarsa lokal tidak dapat

berkembang dan “memasung” usaha untuk pengembangan diri masyarakat nelayan.

Berdasarkan penelitian yang banyak dilakukan, hal ini menyebabkan masyarakat

nelayan terjatuh dalam kemiskinan, baik secara struktural maupun kultural

(Damanhuri, 2000:64-66).

Kemiskinan merupakan suatu kondisi yang dapat menyebabkan seseorang

atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan

untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu

yang berlaku di dalam masyarakat, karena sebab-sebab natural (alami), kultural atau

struktural (Nugroho dan Rokhmin, 2004:165). Kemiskinan kultural disebabkan oleh

variabel-variabel yang melekat, inheren dan sudah menjadi gaya hidupnya

membentuk pola perilaku. Akibatnya sulit bagi individu nelayan untuk keluar dari

(14)

Kebijakan pembangunan pemerintah yang bersifat sentralistik, teknokratik,

top-down dan terkesan dipaksakan kepada masyarakat akan berdampak pada kemiskinan struktural yang menyebabkan partisipasi dan usaha pengembangan diri

tehadap prakarsa (swadaya) lokal terhambat. Loekman Soetrisno berpendapat,

bahwa pemerintah sebagai pelaku pembangunan yang menyediakan segalanya baik

pembiayaan, perencanaan maupun pelaksanaannya. Akibatnya masyarakat

menjadi pasif dan tergantung kepada pemerintah, sehingga pembangunan yang

terjadi tidak didasari dengan berkembangnya kemandirian masyarakat dan

partisipasi masyarakatpun menjadi semu (Sulistiyo, 1994:114).

Peranan pemerintah sebagai pelaksana pembangunan berkeinginan, agar

masyarakat terlibat dalam pembangunan, akan tetapi keikutsertaan masyarakat

dalam pembangunan lebih banyak terjadi sebagai hasil pengarahan dari pemerintah

untuk menunjang proyek dan program pemerintah, bukan inisiatif masyarakat

sendiri. Kebijaksanaan pembangunan selama ini terbukti kurang memberi peluang

berkembangnya keswadayaan masyarakat nelayan. Implikasi yang timbul adalah

partisipasi masyarakat nelayan yang semu dan parsial, sehingga tidak mendukung

munculnya pembangunan yang berkelanjutan (Mubyarto, 1994:8). Hal ini

berpengaruh kepada perkembangan sistem kelembagaan swadaya masyarakat

nelayan yang cenderung bersifat pasif dan menimbulkan budaya partenalistik,

sehingga tidak berkembang sesuai dengan potensi dan lingkungan yang ada.

Kabupaten Demak merupakan salah satu kabupaten yang dikategorikan

miskin di Propinsi Jawa Tengah. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2004

sebanyak 243.800 jiwa.

Menurut data BPS Kabupaten Demak tahun 2003, Kecamatan Bonang

merupakan kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk miskin yang ke-4

sebanyak 37.811 jiwa, setelah Kecamatan Sayung (51.843 jiwa), Kecamatan Guntur

(42.998 jiwa) dan Kecamatan Mranggen (38.645 jiwa). Desa Morodemak

merupakan desa pesisir yang paling miskin dibandingkan dengan desa lainnya di

Kecamatan Bonang.

Kabupaten Demak memiliki luas wilayah 89.743 Ha, terdiri dari 14 kecamatan, 241 desa dan 6 kelurahan. Jumlah penduduknya pada tahun 2004 ini sebanyak 1.017.075 jiwa dengan 243.800 jiwa digolongkan sebagai warga miskin. Indikator ekonominya menunjukkan, bahwa APBD kabupaten sebesar Rp 335,22 milyar dan PAD kabupaten sebesar Rp 19 milyar, sedangkan pendapatan per kapitanya Rp 2,63 juta.

(15)

Desa Morodemak mempunyai potensi di sektor perikanan tangkap dan

budidaya tambak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya TPI Moro Demak mempunyai

peran yang sangat besar bagi Kabupaten Demak dalam penyumbangan devisa dari

sektor perikanan, yaitu sebesar 2,3 ton atau 66,52 % dari produksi ikan basah di

Kabupaten Demak. Selain itu, TPI Moro Demak mampu menyerap tenaga kerja lebih

dari 30% dari jumah nelayan di Kabupaten Demak (BPS Kabupaten Demak). Selain

itu, potensi sebagian besar penduduk Desa Morodemak bermatapencaharian

sebagai nelayan dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan sektor perikanan dan

tambak. Potensi lainnya berupa penggunaan lahan Desa Morodemak untuk tambak

sebesar 233 ha atau 54,7% dari seluruh luas Desa Morodemak. Namun potensi ini

belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Morodemak, sehingga

desa ini tetap miskin.

.

Perumusan Masalah

Permasalahan kemiskinan di Desa Morodemak Kecamatan Bonang

Kabupaten Demak tersebut mengundang perhatian dari pemerintah. Menyikapi hal

ini, pemerintah berupaya untuk memberikan solusi berupa pemberian

program-program bantuan yang dapat menangani masalah kemiskinan. Namun sejauh ini

perkembangan yang terjadi di Desa Morodemak belum sesuai dengan yang

diharapkan.

Pendekatan program pembangunan yang bersifat top down dan sentralistik menyebabkan partisipasi masyarakat menjadi rendah, karena masyarakat

cenderung tidak merasa memiliki program tersebut dan terkesan dipaksakan. Hal itu

diperparah dengan karakter kepemimpinan dan norma yang berkembang ditengah

masyarakat nelayan Desa Morodemak cenderung tidak mendukung program

pembangunan yang diberikan oleh pemerintah.

Sebagai bukti bahwa program pembangunan pemerintah yang terkesan

dipaksakan dan belum memenuhi keinginan masyarakat nelayan Desa Morodemak Banyak kriteria mengapa desa Morodemak termasuk berkategori desa

(16)

adalah hasil temuan Tim Evaluasi Program Pengembangan Kecamatan tersebut

dibawah ini:

Lemahnya tingkat partisipasi masyarakat nelayan Desa Morodemak

terhadap program pembangunan, berdampak pada lemahnya sistem kelembagaan

swadaya yang tidak berkembang dan menjadi pasif serta tidak berfungsi dengan

baik. Tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat mengakibatkan

masyarakat nelayan terjatuh dalam kemiskinan.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka timbul suatu

pertanyaan yang mendasari penelitian ini, yaitu bagaimanakah seharusnya bentuk

sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan yang berkelanjutan di Desa

Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak, sehingga dapat berfungsi

sebagai media partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bentuk sistem

kelembagaan swadaya berkelanjutan masyarakat nelayan di Desa Morodemak

Kecamatan Bonang Kabupaten Demak yang berfungsi sebagai media partisipasi

masyarakat nelayan dalam pembangunan berkelanjutan.

Adapun tujuan spesifik yang ingin dicapai untuk menjawab tujuan utama

tersebut diatas adalah:

1. Mendiskripsikan kemiskinan di Desa Morodemak yang disebabkan karena

faktor natural, kultural dan struktural.

2. Mendiskripsikan pengaruh kebijakan pembangunan yang terkesan

dipaksakan, pengaruh tokoh masyarakat dan norma yang berkembang Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problem tersebut (kemiskinan-red)

adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya, misalnya pada kehidupan keluarga yang tertimpa kemiskinan tersebut (Soekanto, 2002:366)

(17)

ditengah masyarakat, sehingga membuat ketidakberdayaan masyarakat

nelayan untuk berpartisipasi dalam sistem kelembagaan swadaya

masyarakat.

3. Mendiskripsikan lemahnya partisipasi masyarakat yang mengakibatkan tidak

berfungsinya sistem kelembagaan swadaya. Tidak berfungsinya sistem

kelembagaan swadaya menyebabkan masyarakat nelayan miskin.

4. Mengusulkan bentuk sistem kelembagaan swadaya berkelanjutan sebagai

media partisipasi masyarakat nelayan Desa Morodemak dalam

pembangunan.

5. Merumuskan strategi pengembangan, agar terwujud sistem kelembagaan

swadaya berkelanjutan sebagai media partisipasi masyarakat nelayan Desa

Morodemak dalam pembangunan.

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini meliputi:

1. Kegunaan bagi masyarakat nelayan Desa Morodemak adalah agar mereka

mengetahui bahwa sistem kelembagaan swadaya yang mereka miliki sangat

berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, selama mereka

berusaha untuk dapat mengembangkan diri dan berpartisipasi dalam sistem

kelembagaan swadaya tersebut.

2. Kegunaan bagi akademis adalah pengembangan wacana secara teoritis dan

komprehensif dalam memahami potensi sistem kelembagaan swadaya

berkelanjutan sebagai media partisipasi masyarakat nelayan dalam

pembangunan.

3. Kegunaan bagi pemerintah sebagai penentu kebijakan adalah agar

memperhatikan potensi kelembagaan swadaya masyarakat nelayan sebelum

menetapkan kebijakan program-program pembangunan di kawasan pesisir

dan mengetahui program pembangunan apa saja yang dibutuhkan oleh

masyarakat nelayan di Desa Morodemak.

4. Kegunaan bagi swasta adalah dengan mengetahui potensi sistem

kelembagaan swadaya masyarakat nelayan di Desa Morodemak, mereka

dalam melakukan aktivitas usaha akan menggunakan strategi pendekatan

(18)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Fenomena Kemiskinan Masyarakat Nelayan

Kemiskinan pada suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan dimensi sosial,

ekonomi dan budaya. Kemiskinan menggambarkan potensi suatu wilayah yang

memiliki perkembangan masyarakatnya yang rendah, aspirasi dan persepsi pada

suatu masalah bersifat terbatas dan semu serta mengutamakan pengambilan

keputusan dalam jangka waktu yang pendek. Kemiskinan disebabkan oleh faktor

alami (natural), faktor struktural dan faktor kultural (Nugroho dan Rokhmin, 2004:

166-168).

Sifat dan karakteristik masyarakat nelayan adalah tergantung pada musim

(faktor alam). Pada masa musim subur dan cuaca cerah, masyarakat nelayan

melakukan penangkapan ikan dan mereka sibuk melaut untuk mendapatkan banyak

ikan, sehingga mereka mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Sebaliknya pada masa musim paceklik atau cuaca yang tidak mendukung

untuk melakukan penangkapan ikan, masyarakat nelayan kecil yang tidak mampu

mengakses teknologi tidak melakukan penangkapan ikan, sehingga mereka

menganggur dan tidak mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Apalagi didukung dengan tidak adanya alternatif mata pencaharian lain

yang menghasilkan pendapatan, akhirnya mereka mencari pinjaman kepada orang

lain. Belitan hutang yang tak terelakkan tersebut menyebabkan masyarakat nelayan

kecil terperangkap dalam kemiskinan yang disebabkan oleh faktor alami (natural).

Konsep kemiskinan kultural, menurut Parsudi Suparlan yang menukil

pendapat Oscar Lewis, bahwa konsep kemiskinan kultural bukanlah semata-mata

berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, akan tetapi kemiskinan yang

disebabkan adanya pengaruh kebudayaan dan kejiwaan yang diturunkan dari

generasi ke generasi secara turun temurun melalui proses sosialisasi yang panjang

(Nurlina, 1998:8 dan Suparlan, 1986:133). Kemiskinan kultural merupakan

kemiskinan yang disebabkan adanya faktor budaya yang melekat dan menjadi

perilaku dan gaya hidup pada suatu masyarkat. Variabel kemiskinan kultural ini

meliputi tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, kepercayaan, kesetiaan, ketaatan

pada panutan (Nikijuluw, 2001:30 dan Nugroho dan Rokhmin, 2004:168).

Kemiskinan kultural ini sangat sulit diatasi, karena membutuhkan kesabaran dan

(19)

Sebagaimana telah dinyatakan oleh Soemarjan, bahwa konsep kemiskinan

struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat karena struktur

sosialnya, sehingga masyarakat tersebut tidak dapat mengakses potensi

sumberdaya-sumberdaya yang sebenarnya tersedia dan dimiliki mereka (Cahyono,

1983:2-3 dan Nurlina, 1998:9). Pitirim Sorokin membagi konsep struktur tersebut

dalam dua bagian, yaitu struktur sosial vertikal dan struktur sosial horinzontal.

Struktur sosial vertikal adalah menggambarkan tinggi-rendahnya kedudukan

kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hirarkis berupa stratifikasi sosial

atau pelapisan masyarakat. Struktur sosial horizontal adalah menggambarkan

keseimbangan kedudukan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memiliki

kedudukan sama, sehingga didapatkan variasi atau pengkayaan pengelompokan

dalam suatu masyarakat (Rahardjo, 1999:94). Lebih jauh dipahami, bahwa

kemiskinan struktural ini disebabkan oleh tatanan kelembagaan, dalam artian

pengertian kelembagaan yang lebih luas tidak hanya mencakup tatanan organisasi

saja, tetapi juga terkait dengan aturan-aturan main yang diterapkan (Nugroho dan

Rokhmin, 2004:167).

Menurut Valentine (1968) dalam bukunya Culture and Poverty, menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada yang namanya kemiskinan kultural. Kemiskinan

yang terjadi pada suatu golongan masyarakat itu karena adanya berbagai hambatan

sosial yang sangat besar, yang disebabkan oleh kondisi-kondisi struktural dari

masyarkat tersebut yang terletak di luar jangkauan kekuatan kontrol dari mereka

yang tergolong miskin. Pada hakekatnya tidak ada kemiskinan kultural, karena

kebudayaan yang dimiliki oleh orang miskin dengan kebudayaan yang dimiliki orang

yang kaya dalam masyarakat adalah sama (Suparlan, 1981:133).

Menurut Marx dan Engels, bahwa dalam struktur sosial suatu masyarakat

terbentuk pola hubungan antar kelas (pelapisan) sosial. Kelas-kelas sosial tersebut

terbentuk karena pola hubungan produksi. Pola hubungan produksi antara

pengusaha dan pekerja, majikan dan buruh, orang kaya dan orang miskin dapat

menimbulkan ketimpangan antar kelas sosial yang menyebabkan rusaknya

solidaritas sosial. Akibatnya mendorong konflik antar kelas pekerja/buruh

(proletariat) dengan majikan/pengusaha (borjuasi), sehingga timbul pemiskinan bagi

pihak pekerja/buruh (Kleden, 1997:79).

Di dalam Agama Islam, perbedaan status sosial merupakan sunatullah dan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Adanya orang kaya dan orang miskin,

(20)

dan orang bodoh dan lain-lainnya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala melebihkan sebagian orang atas sebagian yang lain, memberi kelebihan rezki sebagian atas

sebagian yang lain, memberikan kelebihan kekuasaan sebagian atas sebagian yang

lain dan memberikan kecerdasan sebagian orang atas sebagian yang lainnya.

Namun golongan yang diberi kelebihan oleh Allah tersebut diperintahkan

untuk tidak serakah, mengikuti hawa nafsu, sombong dan tidak berbuat adil. Justru

mereka diperintahkan mengeluarkan zakat, sedekah, menyantuni anak yatim,

memberi makan orang miskin, tidak berbuat dholim kepada si lemah, berbelas

kasihan terhadap orang yang kekurangan dan membantu yang sedang

berkesusahan untuk meraih kebahagian dunia dan akhirat.

Jika si kaya memberi sedekah sebagian hartanya kepada si miskin, majikan

memberi bantuan kelebihan hartanya kepada pekerjanya, pemerintah berbuat adil

kepada rakyatnya, kaum borjuis tidak berbuat dholim kepada kaum proletar, si kuat

mengasihsayangi si lemah dengan berharap kepada Allah untuk mendapatkan

kebaikan dunia dan akhirat, maka akan terwujud suatu tatanan struktur sosial

masyarakat yang masih mengakui adanya perbedaan kelas, namun terjalin rasa

solidaritas dan saling membantu serta saling kasih sayang diantara mereka.

Muncullah pola hubungan interaksi dalam kehidupan diantara mereka yang damai

dan serasi. Ternyata agama Islam mempunyai jalan keluar untuk menyelesaikan

problem konflik yang selama ini terjadi antara paham liberalisme/kapitalisme dengan

sosialis/komunisme. Allah Maha Benar dan Maha Mengetahui segala urusan

manusia.

Struktur Sosial, Interaksi Sosial dan Pranata Sosial

Struktur sosial bersifat abstrak, dikarenakan perhatian objeknya ditujukan

pada pola-pola tindakan, jaringan-jaringan interaksi yang teratur dan seragam Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan dirimu sebagai khalifah (penguasa)

di bumi, maka berilah keputusan perkara diantara manusia dengan adil. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu (syetan), karena akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (Al Quran surat Shad (38) ayat 26)

(21)

dalam waktu dan ruang, posisi sosial dan peranan-peranan (fungsi) sosial yang

kadang tidak nampak oleh pandangan mata manusia. Struktur sosial merupakan

sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian pola hubungan sosial antar individu

atau kelembagaan yang ada menurut status, peranan dan pranata yang berlaku

pada suatu masyarakat tertentu (Suparlan, 1981:90).

Selo Soemardjan (1964:14) dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi

menjelaskan hubungan antara norma-norma, kelembagaan sosial dan lapisan

masyarakat sebagai berikut:

Unsur-unsur sosial yang pokok ialah norma-norma atau kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Kesemuanya ini berjalin satu sama lainnya dan keseluruhan dari unsur-unsur sosial ini dalam hubungannya satu sama lain disebut struktur sosial…….Pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan ini dicakup dalam pengertian proses-proses sosial. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadi perubahan-perubahan dalam struktur sosial.

Satuan-satuan lingkungan sosial terdiri dari individu-individu yang saling

berinteraksi. Sedangkan yang melingkari individu-individu tersebut terdiri dari

keluarga, kelembagaan, komunitas, dan masyarakat. Satuan lingkaran struktur

sosial tersebut mempunyai karakteristik yang setiap kali berbeda fungsinya, struktur,

peranan dan proses-proses yang berlangsung dalam struktur tersebut.

Interaksi struktur sosial bersifat kompleks, karena masing-masing individu

mempunyai kepentingan, sehingga memerlukan suatu tatanan hidup bersama untuk

mengamankan kepentingan komunal demi kesejahteraan dan keberlangsungan

hidup struktur sosial tersebut. Perangkat tatanan kehidupan bersama menurut pola

tertentu kemudian berkembang menjadi pranata sosial, atau abstraksi yang lebih

tinggi dinamakan kelembagaan atau institusi (Soelaeman, 1993:64).

Corak dari suatu struktur sosial ditentukan oleh kebudayaan dari masyarakat

yang bersangkutan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang ada

disekitarnya. Perwujudan kebudayaan sebagai pola kelakuan berupa norma-norma

atau aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat tergambarkan melalui beraneka

ragam corak pranata-pranata sosial yang berkembang di masyarakat tersebut.

Pranata-pranata tersebut sebagai wujud dari serangkaian norma-norma yang

menjadi tradisi/kebiasaan kehidupan individu-individu dan kelompok-kelompok yang

(22)

masyarakat adalah pranata-pranata yang berkembang dalam kehidupan

masyarakat tersebut.

Kelembagaan Swadaya Masyarakat

Soerjono Soekanto (2002:209-210) menjelaskan, bahwa kelembagaan

masyarakat merupakan hasil kristalisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku

yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Kelembagaan masyarakat

memiliki ciri adanya aturan-aturan berupa adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan

serta unsur-unsur kebudayaan yang tergabung dalam satu unit fungsional sesuai

dengan peran masing-masing individu yang ada didalamnya.

Norman Uphoff (1986: 19) menjelaskan, bahwa aspek kelembagaan memiliki

makna yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian organisasi. Kelembagaan

mengandung unsur adanya aturan-aturan (rules) yang dapat mempengaruhi perilaku, yaitu berupa norma yang diturunkan dari tata nilai yang hidup dan

berkembang dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Konsep swadaya (self help) memiliki dasar pengertian, bahwa penggunaan sumberdaya lokal beserta semua kegiatan yang dikelola oleh masyarakat sebagai

suatu kesatuan yang bertahan secara mandiri (Conyer, 1994:177). Gunawan

Sumodiningrat mengemukakan, bahwa kelembagaan swadaya masyarakat muncul

atas inisiatif masyarakat sendiri dengan tujuan pokok memecahkan masalah yang

dihadapi masyarakat baik secara individu maupun kelompok (Quranggana,

1994:18).

Bambang Ismawan memberikan ciri, bahwa kelembagaan swadaya

masyarakat adalah kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat untuk mencapai

kesejahteraan bersama. Kelembagaan swadaya masyarakat merupakan suatu

wahana yang dapat menggerakkan sumberdaya lokal untuk meningkatkan

pencapaian kesejahteraan bersama dan sebagai tempat untuk proses belajar dan

mengajar serta pengambilan keputusan (Setiawati, 1994:208).

Indikasi suatu masyarakat berhasil dalam melaksanakan pembangunan

adalah tergantung kepada kemampuan dan kemauan masyarakat untuk

mengakumulasikan segala potensi yang ada secara maksiamal, baik sumberdaya

manusia maupun sumberdaya alamnya untuk meningkatkan kesejahteraan

hidupnya secara bersama-sama secara mandiri (berswadaya) tanpa adanya

(23)

Proses Pertumbuhan dan Pola Hubungan Kelembagaan Sosial

Kelembagaan yang memiliki nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur

anggotanya berperilaku selaras dengan lingkungannya akan mencerminkan suatu

totalitas kehidupan sosial yang khas (Taryoto, 2001:53). Kelembagaan yang

terbentuk secara alamiah bermula dari kristalisasi nilai-nilai dan norma. Suatu

norma akan terbentuk secara bertahap, pada awalnya berupa cara perilaku biasa

(usage), kemudian meningkat menjadi kebiasaan (folkways), selanjutnya menjadi tata kelakuan (mores) dan akhirnya menjadi adat istiadat (custom). Proses pertumbuhan suatu norma yang baru menjadi bagian dari kelembagaan pada

masyarakat disebut proses pelembagaan (Syahyuti, 2003:29).

Suatu norma telah melembaga, apabila telah diketahui, dipahami atau

dimengerti, ditaati, dan dihargai sampai kemudian menjadi bagian yang tidak

terpisahkan bagi kehidupan suatu masyarakat, sehingga norma tersebut menjadi

suatu kelembagaan yang mempunyai kedudukan sempurna (Soekanto, 2002:203).

Metta Spencer (1995:325-441) membagi kelembagaan masyarakat menjadi

lima bagian, yaitu sistem kelembagaan keluarga, sistem kelembagaan keagamaan,

sistem kelembagaan pendidikan, sistem kelembagaan ekonomi politik dan sistem

kelembagaan penegakan hukum. Munculnya kelembagaan masyarakat, biasanya

merupakan implementasi dari suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.

Keperluan-keperluan pokok tersebut meliputi bidang ekonomi, pendidikan, agama,

politik, keturunan (keluarga). Masing-masing bidang kehidupan tersebut mempunyai

hubungan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan membentuk

segi kehidupan bersama melalui proses-proses sosial (Selo Sumardjan, 1964:14

dan 62).

Sistem kelembagan masyarakat antara yang satu dengan yang lain

mempunyai hubungan dengan pola-pola dan keserasian tertentu sesuai dengan

karakteristik suatu tempat. Soerjono Soekanto (2002:333) membagi kelembagaan

masyarakat menjadi lima bagian, yaitu: sistem kelembagaan politik, keagamaan,

pendidikan, ekonomi dan hukum. Pola hubungan masing-masing sistem

kelembagaan masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial yang

terjadi pada suatu tempat. Untuk lebih jelasnya mengenai pola hubungan sistem

(24)

Sumber: Soekanto, 2003:333

Gambar 1 Pola Hubungan Sistem Kelembagaan Masyarakat

Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Margono Slamet (2003: 45) memberikan pengertian pemberdayaan adalah

kemampuan, berdaya, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, dapat

memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif,

mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan

menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Pemberdayaan

masyarakat merupakan suatu upaya untuk memberikan motivasi dan dorongan

kepada masyarakat agar mampu menggali potensinya dan berani bertindak

mengembangkan diri, sehingga terbentuk kemandirian dan tidak tergantung dengan

pihak lain.

Istilah partisipasi secara umum mempunyai pengertian suatu usaha

berkelanjutan, yang memungkinkan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan,

baik secara aktif maupun pasif. Definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan

menurut Loekman Soetrisno (1995: 207) adalah kerja sama antara masyarakat

dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan

mengembangkan hasil pembangunan dengan mengakomodasi aspirasi, nilai

budaya dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan.

Partisipasi tersebut dapat dimanfaatkan pula sebagai sarana mengkomunikasikan Kelembagaan

Politik

Kelembagaan Hukum Kelembagaan

Pendidikan

Kelembagaan Ekonomi Kelembagaan

(25)

keinginan masyarakat untuk ikut melakukan kontrol terhadap kegiatan

pembangunan.

Menurut PBB dalam Conyer (1994:174-175):

Istilah pembangunan masyarakat (community development) telah digunakan secara internasional dalam arti sebagai proses, dimana semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan kultural, serta untuk mengintegrasikan masyarakat…..Proses yang rumit itu terdiri atas dua elemen penting: (1) partisipasi masyarakat itu sendiri dalam usaha mereka untuk meningkatkan taraf hidup dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif mereka sendiri; serta (2) pembentukan pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat mendorong timbulnya inisiatif, sifat berswadaya dan kegotongroyongan yang membuat kesemuanya ini lebih efektif lagi.

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat menurut Pimbert dan Pretty dalam

Brown (2001:15) meliputi partisipasi pasif, partisipasi dalam memberikan masukan

informasi, partisipasi dengan melakukan konsultasi, partisipasi dengan memberi

bantuan material, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif dan partisipasi dengan

berperan aktif.

Partispasi pasif berupa paling tidak masyarakat memberikan dukungan moril

dan setuju terhadap kegiatan Pembangunan di daerahnya, walaupun mereka tidak

berperan aktif. Akan lebih baik jika masyarakat berperan serta dalam memberikan

informasi dan masukan yang bermanfaat dalam forum diskusi atau musyawarah.

Jauh lebih baik lagi apabila masyarakat ikut aktif untuk berkonsultasi jika mengalami

kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di lapangan, dengan suka rela

memberikan bantuan baik dana, pikiran dan kemampuannya, ikut terlibat dalam

kepengurusan dan pengelolaan kegiatan pembangunan sesuai dengan bidang

keahlian masing-masing secara fungsional, saling bekerja sama dengan seluruh

elemen yang ada untuk mensukseskan tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan

pembangunan tersebut.

Ada tiga alasan penting, perlunya partisipasi masyarakat dalam

pembangunan, yaitu (1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna

memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat

setempat. (2) masyarakat akan lebih mempercayai suatu program pembangunan,

jika merasa dilibatkan dalam proses pemabngunan tersebut, sehingga akan

mempunyai rasa memiliki. (3) masyarakat mempunyai hak untuk menyampaikan

pendapatnya dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di

(26)

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan berusaha mencari jalan keluar untuk

memandang, bahwa pembangunan seharusnya tidak hanya memperhatikan segi

pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga memperhatikan segi kesejahteraan

masyarakat dan perlindungan terhadap lingkungan. Menurut Giuseppe Munda

(1997:18), bahwa konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya memperhatikan

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi perlu juga memperhatikan aspek

pertumbuhan kesejahteraan sosial yang baik dan perlindungan terhadap

lingkungan. Program pembangunan berkelanjutan tidak hanya sekedar

menitikberatkan pembangunan ekonomi saja, namun mencakup juga pembangunan

sosial-budaya dan ekologi, sehingga pembangunan aktor sosial dan kelembagaan

sosial juga perlu diperhatikan pengembangannya.

Prinsip-prinsip dari pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan adalah

(a) terpenuhinya kebutuhan dasar (pokok) manusia; (b) tercapainya keseimbangan

dan keadilan sosial; (c) memberikan kebebasan untuk menetapkan nasibnya sendiri

secara (demokratis); (d) menjaga kelestarian ekosistem lingkungan dan

keanekaragaman hayati; (e) mempertimbangkan aspek-aspek kesatuan antara

aspek lingkungan,aspek sosial dan aspek ekonomi (Mitchell,1994:190).

Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan adalah pemerataan dan

keadilan sosial, partisipasi, menghargai keanekaragaman hayati, menggunakan

pendekatan integratif dan perspektif jangka panjang. Prospek generasi di masa

datang tidak dapat dikompromikan dengan aktivitas generasi masa kini.

Pembangunan generasi masa kini harus selalu mengindahkan generasi masa

datang untuk memenuhi kebutuhannya, baik keberlanjutan ekologis, ekonomi, sosial

budaya maupun politik, pertahanan dan keamanan (Djajadiningrat, 2001:30-38).

Pengembangan Sistem Kelembagaan Berkelanjutan

Sistem kelembagaan yang berkelanjutan merupakan suatu bentuk ketaatan

masing-masing individu masyarakat terhadap norma-norma yang dipegang secara

terus menerus, konsisten dalam semangat dan stabil walupun terjadi

perubahan-perubahan. Jadi kelembagaan yang berkelanjutan mencakup aturan (rules) dan peran (roles). Strategi pemilihan alternatif terbaik yang memungkinkan keadaan masyarakat menjadi lebih baik sesuai kemampuan dan memanfaatkan kondisi

(27)

Menurut Derick W. Brinkerhoff dan Arthur A. Goldsmith (1992: 371-380),

Pengembangan kelembagaan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh (1) partisipasi

dari masing-masing individu masyarakat (stakeholder); (2) Kinerja yang baik secara berkelanjutan; (3) Dapat mengantisipasi kompleksitas permasalahan yang tidak

dapat dielakkan dengan usaha pengembangan diri; (4) Ditegakkannya kewibawaan

aturan hukum.

Kemampuan penduduk dalam menguasai lingkungan sosialnya harus

didukung dengan pengembangan kemandirian setiap anggota masyarakat untuk

berpartisipasi dalam pembangunan. Dan bentuk partisipasi tersebut tidak hanya

dimonopoli oleh suatu kelompok/kelembagaan tertentu saja, tetapi harus secara

bersama-sama dan merata oleh semua kelompok/kelembagaan yang terlibat di

dalamnya.

Kerangka Pemikiran

Masyarakat Desa Morodemak 100% beragama Islam, sehingga struktur

sosial masyarakatnya didominasi oleh nilai-nilai keagamaan. Kondisi masyarakat

Desa Morodemak yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan,

dimanfaatkan oleh para juru kampanye untuk mencapai tujuan dan kepentingan

partai politik mereka. Peran tokoh agama sangat berpengaruh dalam struktur sosial

politik di Desa Morodemak. Berawal dari kepentingan politik masa orde baru

berkuasa, terjadilah konflik antar tokoh masyarakat (aparat desa) yang pro-“kuning”

dengan tokoh agama yang “hijau”, sehingga hubungan antara tokoh aparat desa dan

tokoh agama kurang baik. Hal ini berimbas pada masyarakat, mereka lebih percaya

dan menghormati tokoh agama daripada tokoh aparat desa yang mereka anggap

pro-“kuning”. Peran tokoh agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam

membentuk norma dan perilaku masyarakat yang mementingkan nilai-nilai

keagamaan saja untuk melanggengkan kepentingan politik mereka, sehingga yang

muncul dalam pandangan masyarakat, bahwa aparat desa dan semua program

pembangunan sarana dan prasarana desa adalah tanggung jawab pemerintah yang

mendukung GOLKAR.

Secara struktur, runtuhnya pemerintahan orde baru dengan sebab reformasi

telah meninggalkan tiga jenis kemiskinan di Desa Morodemak, yaitu (1) kemiskinan

keterbatasan sarana dan prasarana desa;(2) kemiskinan kultural berupa norma dan

perilaku masyarakat yang hanya mementingkan agama;(3) Kemiskinan struktural

(28)

Kemiskinan merupakan suatu keadaan ketidakberdayaan memanfaatkan

potensi tenaga, mental maupun fisiknya untuk memelihara diri sesuai dengan taraf

kehidupan yang berlaku disekitarnya (Soekanto, 2002:365). Kompleksitas

permasalahan kemiskinan dan keterbelakangan yang disebabkan oleh faktor natural

(alami), faktor struktural maupun faktor kultural telah mendominasi karakteristik

masyarakat nelayan, sehingga tingkat kesejahteraan menurun dan potensi

kemampuan untuk mengembangkan diri secara swadaya terhambat.

Bermacam-macam program pembangunan telah digulirkan oleh pemerintah

untuk mengentaskan kemiskinan yang melilit kehidupan nelayan, mulai dari IDT

(Inpres Desa Tertnggal), PEMP (Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir),

P3EMDN (Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa Nelayan) dan PPK

(Program Pengambangan Kecamatan). Victor P.H. Nikijuluw (2001:32)

menambahkan keseluruhan program dan pendekatan yang dilakukan untuk

meningkatkan pendapatan nelayan dan mengentaskan mereka dari kemiskinan ,

seperti: motorisasi armada perikanan, pengembangan kelompok usaha bersama,

rehabilitasi lingkungan, pengembangan koperasi perikanan, Protekan 2003 dan

lain-lainnya, diibaratkan seperti membuang garam di laut. Hasilnya tidak pernah

membekas dan tidak pula berdampak sesuai dengan yang diinginkan.

Ketidakberhasilan program pembangunan yang telah digulirkan oleh

pemerintah selama ini kurang memperhatikan kebutuhan yang semestinya dipenuhi,

yaitu melibatkan masyarakat pesisir dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat

dalam pembangunan merupakan suatu hal yang sangat penting, agar muncul dalam

hati masyarakat sikap benar-benar merasa memiliki dan memelihara hasil-hasil

pembangunan.

Hambatan pertama yang dialami untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat

adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi masyarakat

dalam pembangunan oleh pihak perencana, pelaksana dan penentu kebijakan.

Definisi partisipasi masyarakat yang berkembang di kalangan perencana, pelaksana

dan penentu kebijakan adalah masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk

mendukung secara mutlak program-program pembangunan yang telah dirancang

dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam

pembangunan dikesankan oleh mereka sebagai usaha memobilisasi masyarakat

untuk mendukung program pembangunan yang mereka inginkan (Sutrisno,

1995:207-208). Masyarakat tidak merasa dilibatkan dan tidak merasa memiliki

(29)

berpartisipasi, apalagi berkorban dengan suka rela untuk pembangunan. Akibatnya

program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, banyak yang tidak sesuai

dengan kebutuhan masyarakat setempat, sehingga menjadi tidak terpakai dan

percuma. Seharusnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan mempunyai

pengertian bahwa masyarakat bersama-sama pemerintah dibantu oleh swasta,

perguruan tinggi dan LSM dalam merencanakan, malaksanakan dan membiayai

pembangunan.

Hambatan kedua yang menyebabkan lemahnya partisipasi masyarakat

dalam pembangunan adalah berkembangnya norma ditengah masyarakat yang

kurang mendukung terhadap program pembangunan. Kecenderungan munculnya

pola pikiran yang berkembang ditengah masyarakat, bahwa pemerintah sebagai

badan amal yang setiap tahun datang membantu dengan gratis dan cuma-cuma. Jika ada program bantuan dana pengembangan yang seharusnya bergulir dari

masyarakat yang satu dengan yang lain, ternyata program tersebut seringnya macet

dan tidak jelas kelanjutannya. Adanya norma tertentu yang berkembang ditengah

masyarakat, sehingga masyarakat merasa enggan untuk berpartisipasi dalam

pembangunan.

Lemahnya partisipasi masyarakat dalam sistem kelembagaan swadaya

menyebabkan sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan tidak berfungsi

dengan baik. Tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat,

menyebabkan masyarakat nelayan belum mampu memperbaiki kehidupan sosial

dan ekonomi mereka. Tidak berkembangnya keswadayaan masyarakat nelayan

mengakibatkan mereka tetap terbelit dalam kemiskinan.

Untuk itu diusulkan suatu bentuk sistem kelembagaan swadaya

berkelanjutan masyarakat nelayan di Desa Morodemak, agar mereka mau ikut

berpartisipasi. Langkah-langkah strategis perlu dirumuskan untuk pengembangan

bentuk sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan, sehingga mampu

melindungi dan memperjuangkan aspirasi mereka secara berkelanjutan dalam

pembangunan.

Secara diagramatis kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai

berikut:

(30)
[image:30.612.116.525.68.757.2]

Gambar 2 Diagram Alur Berpikir Faktor Natural Faktor Struktural Faktor Kultural Rezim Orba “Kuning” Tokoh Agama “Hijau” Historis Struktur Sosial Politik KEMISKINAN Sarana dan Prasarana Desa tidak diperhatikan pemerintah

Norma dan perilaku masyarakat yang hanya

mementingkan agama

Program Pemerintah Pengentasan Kemiskinan Program pembangunan

bersifat top down dan kurang memahami

konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan

Norma dan perilaku masyarakat yang terkesan kurang mendukung program pembanguanan Lemahnya Partisipasi Masyarakat

Tidak Berfungsinya Sistem Kelembagaan Swadaya Masyarakat

KEMISKINAN

Usulan Bentuk Sistem Kelembagaan Swadaya Mayarakat Nelayan Desa

Morodemak

Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya SISTEM KELEMBAGAAN SWADAYA BERKELANJUTAN SEBAGAI MEDIA

PARTISIPASI MASYARAKAT NELAYAN DESA MORODEMAK

DALAM PEMBANGUNAN konflik

Kurangnya sarana dan aktivitas alih teknologi, ilmu pengetahuan dan

ketrampilan

Norma dan perilaku masyarakat yang apatis terhadap Pembangunan Fasilitas Umum Desa

Kelembagaan Keluarga Kelembagaan Agama Kelembagaan Pendidikan Kelembagaan Ekonomi Pol Kelembagaan Hukum Lemahnya Keswadayaan

(31)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Desa Morodemak Kecamatan Bonang

Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah selama 3 bulan, yaitu pada Maret 2005

sampai dengan bulan Mei 2005. Desa Morodemak dipilih sebagai lokasi penelitian,

karena cukup beralasan, yaitu: (1) Desa Morodemak merupakan desa yang

termiskin di Kecamatan Bonang; (2) Mayoritas penduduk Desa Morodemak sebagai

nelayan; (3) Desa Morodemak telah banyak mendapatkan bantuan program

pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan, namun diduga belum dapat

berhasil.

Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif

dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus digunakan dalam

penelitian ini, karena (1) Peneliti hanya memiliki sedikit peluang dan waktu yang

terbatas untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki di lapangan; (2)

Fokus penelitian berupa fenomena kontemporer (masa kini) didalam konteks

kehidupan yang nyata, yaitu kehidupan masyarakat nelayan di Desa Morodemak; (3)

Mengacu pada strategi penelitian dengan menggunakan pokok pertanyaan

“bagaimana” dan “mengapa” dalam wawancara mendalam (Yin, 2002:1 dan Sitorus,

1998:25-26). Hal ini memungkinkan bagi peneliti untuk memperoleh informasi

tangan pertama mengenai masalah sosial empiris yang hendak dipecahkan sesuai

dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

Metode studi kasus dalam penelitian ini memiliki strategi pengumpulan data

yang bersifat multi-metode (triangulasi), yaitu wawancara mendalam, pengamatan

dan analisis dokumen (Yin, 2002:118 dan Sitorus, 1998:25).

Penentuan Sampel (Responden dan Informan)

Metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dalam penelitian ini

menggunakan sampel bertujuan (purposive sampel). Penarikan sampel yang dipilih dengan menggunakan cara pemilihan, bahwa jumlah sampel berakhir, jika sudah

terjadi pengulangan informasi. Pada sampel bertujuan ini, jumlah sampel ditentukan

oleh pertimbangan-pertimbangan informasi yang dibutuhkan. Sampel masih

(32)

tidak ada informasi yang dapat dijaring dan terjadi pengulangan informasi, maka

penarikan sampel pun sudah dapat diakhiri (Moleong, 2004:166).

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dengan melakukan

pengamatan di lapangan, wawancara mendalam dan mengadakan diskusi (Forum

Diskusi Kelompok). Pengamatan di lapangan dilakukan oleh peneliti dengan

membuat catatan-catatan reflektif dan pengambilan foto-foto, yang nantinya

berfungsi sebagai sumber bukti.

Wawancara mendalam dengan memilih sejumlah responden yang terdiri dari

nelayan, istri nelayan, anak nelayan, tokoh masyarakat nelayan, tokoh pendidikan,

tokoh agama, tokoh politik, dan tokoh ekonomi. Sebagai informan dalam penelitian

ini adalah Kepala Kelurahan Desa Morodemak, kaur pembangunan Desa

Morodemak, kaur pembangunan Kecamatan Bonang, staf lapangan DKP Demak,

staf lapangan bidang ekonomi BAPPEDA Demak, staf lapangan Pedal Demak, staf

lapangan Pemberdayaan Masyarakat Demak dan staf BPS Demak.

Forum diskusi kelompok (FDK) dengan mengundang sejumlah tokoh

masyarakat nelayan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh

pendidikan, tokoh ekonomi dan politik, aparat desa serta melibatkan instansi

BAPPEDA Demak, DKP Demak, Pemberdayaan Masyarakat Demak dan

Kecamatan Bonang.

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mencari data-data dan

dokumen ke instansi BAPPEDA Kabupaten Demak, Kantor Kecamatan Bonang,

BPS Demak dan buku-buku hasil laporan penelitian yang berkaitan dengan tema

sebagai sumber literatur data.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Setelah melakukan pengumpulan data berupa pengamatan lapangan,

wawancara mendalam dan analisis dokumen, peneliti membuat catatan harian

lapangan yang berisi seluruh kegiatan penelitian di lapangan sejak tanggal 7 Maret

2005 sampai dengan tanggal 18 Mei 2005. Catatan harian lapangan berisi

penyusunan data mentah hasil pengamatan dan wawancara mendalam kepada

responden dan informan dengan menggunakan tipe catatan asli. Michael Quinn

Patton menyarankan menggunakan tipe catatan asli di lapangan untuk mempelajari

definisi perilaku sosial dan kebudayaan dari dalam. Konseptualisasi akan ditemukan

dengan menganalisis proses kognitif dan struktur kognitif orang-orang yang diteliti,

(33)

Kemudian dari catatan harian lapangan sementara tersebut, peneliti menarik

suatu kesimpulan sementara dan membuat kerangka pemikiran dengan proposisi

teori dari beberapa literatur yang berkaitan dengan materi penelitian. Selanjutnya

peneliti mendiskusikan temuan kesimpulan sementara dan kerangka pemikiran

dengan proposisi teori tersebut dalam Forum Diskusi Kelompok.

Hal ini dilakukan peneliti dengan tujuan untuk mengecek keabsahan data.

Keabsahan data merupakan konsep penting untuk menjaga kesahihan (validitas)

dan keandalan (reliabilitas) data (Moleong, 2002: 171). Salah satu cara untuk

menguji data tersebut shahih dan andal, yaitu dengan cara mendiskusikannya.

Forum diskusi kelompok merupakan langkah untuk memulai menjajaki dan menguji

hipotesis yang muncul dari pemikiran peneliti (Moleong, 2002:179).

Selanjutnya peneliti membuat catatan harian lapangan yang lengkap

sebagai bahan untuk membuat kartu-kartu indeks berdasarkan kategori yang

disusun sesuai dengan tema kerangka teoritis yang ada di kerangka pemikiran.

Tabel 5 Jenis Kategori

No Kategori Kode

01 Program Pembangunan Pemerintah PPM

02 Norma, Perilaku, Pola Pemikiran Masyarakat NRM

03 Kondisi Fisik Alam, Sarana dan Prasarana KDF

04 Partispasi Masyarakat PAR

05 Kelembagaan Masyarakat Kelembagaan Rumah Tangga Kelembagaan Pendidikan Kelembagaan Agama Kelembagaan Ekonomi-Politik Kelembagaan Penegakkan Hukum

KLB KLB-RT KLB-PDK KLB-AGM KLB-EKP KLB-PHK

06 Kemiskinan Masyarakat KMS

07 Bentuk Kelembagaan Berkelanjutan BTK

08 Strategi Pengembangan STR

Sumber: Hasil Analsis 2005

Kemudian Kartu-kartu indeks tersebut diberi kode berupa nomor urut satuan data, sumber data sesuai dengan halaman dan alenia yang terdapat di catatan harian lapangan.

Keterangan:

A = Nomor Urut Kartu 010 Hasil Wawancara

B-WCR = Nomor responden 2 (Abdul Ghani dapat dilihat dalam tabel responden

C = Halaman 16 di Catatan Harian Lapangan

D = Alenia ke-5 halaman 16 di Catatan Harian Lapangan E = Kode Jenis Kategori Partisipasi Masyarakat

(34)

Keterangan:

A/AMT = Nomor Urut Kartu 001 hasil pengamatan B = Halaman 9 di Catatan Harian Lapangan

C = Alenia ke-5 halaman 9 di Catatan Harian Lapangan D = Kode Jenis Kategori Kemiskinan

Keterangan:

A = Nomor Urut Kartu 021 hasil analisis dokumen B-DOK = Dokumen nomor 7 dalam Tabel Dokumen

C = Halaman 5 dalam Dokumen

D = Kode Jenis Kategori Norma Masyarakat

Kategori dan pengkodean satuan data ini nantinya berfungsi untuk membuat

uraian penafsiran data secara diskripsi kasus per kasus sesuai dengan yang

terdapat dalam alir kerangka pemikiran. Proses penafsiran data pada penelitian ini

dilkakukan dengan cara proposisi teoritis yang menuntun pendekatan studi kasus

(Yin, 2002: 136). Data ditafsirkan berdasarkan rancangan organisasional yang

dikembangkan dari temuan lapangan yang disimpan dalam kartu indeks

kategorisasi dan menghubungkan hal-hal yang ada kaitannya dalam kerangka

proposisi teori yang terdapat di kerangka pemikiran. Rangkaian tahapan metodologi

[image:34.612.112.531.512.727.2]

penelitian ini lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:

(35)

GAMBARAN UMUM DESA MORODEMAK

Wilayah Administrasi

Desa Morodemak merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

Bonang, Kabupaten Demak. Desa Morodemak memiliki 5 Dusun, 5 RW dan 24 RT

dengan luas 4,263 Km2. Secara Geografis Desa Morodemak terletak berbatasan

dengan Laut Jawa dan Desa Purworejo disebelah Utara, Desa Margolinduk

disebelah Timur, Kecamatan Karangtengah disebelah Selatan dan Laut Jawa

disebelah Barat.

Tata Guna Lahan

Pola penggunaan lahan di Desa Morodemak dipengaruhi oleh jenis aktivitas

mata pencaharian penduduk yang mayoritas nelayan dan petani tambak,

penggunaan lahan untuk tanah sawah seluas 27,08 ha dan tanah kering termasuk

untuk tambak seluas 399,22 ha.

Penggunaan lahan terbesar di Desa Morodemak adalah untuk tambak

sebesar 233 ha atau 54,7% dan penggunaan lahan untuk pekarangan dan

bangunan sebesar 138,04 ha atau 32,4%, penggunaan sawah telah beralih fungsi

menjadi lahan tambak karena dinilai memberi keuntungan yang lebih besarsecara

ekonomis. Penggunaan lahan Desa Morodemak secara rinci dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 2 Penggunaan LahanDesa Morodemak

Penggunaan Lahan Jumlah Luas (ha)

(%)

Tanah Sawah Tadah Hujan 27,08 6,36

Pekarangan/Bangunan 138,04 32,40

Tegalan/Kebun 0,63 0,15

Padang 0 0

Tebat/Empang 0 0

Tambak 233,00 54,70

Hutan Negara 0 0

Perkebunan Negara/Swasta 0 0

Lainnya (Sungai, jalan, dll) 27,35 6,42

Jumlah 426,10 100,00

(36)
[image:36.612.147.485.92.299.2]

Gambar 4 Diagram Batang Tata Guna Lahan Desa Morodemak

Tanah bengkok desa seluas 19 ha, yang tadinya berupa sawah juga dialih

fungsikan menjadi tambak, karena lebih besar harga sewanya sebagai gaji aparat

desa, yang terdiri dari seorang Kepala Desa, seorang Sekretaris desa dan 4 orang

Kepala Urusan

.

Pemerintahan Desa

Desa Morodemak memiliki fasilitas Balai Desa dan Kantor Desa. Kedua

fasilitas tersebut terdapat dalam satu gedung berlantai dua. Bagian atas gedung

digunakan untuk Kantor Kades dan bagian bawah gedung digunakan sebagai Balai

Desa sekaligus tempat untuk melayani kebutuhan masyarakat.

Luas tanah benkok desa hanya seluas 19 ha dan tidak memiliki tanah kas

desa. Tanah bengkok desa tersebut disewakan sebagai tambak untuk menggaji

aparat desa yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa dan 4 orang Kaur. Desa

Morodemak mempunyai 5 dusun (dukuh), 5 RW dan 24 RT.

Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Morodemak mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun, pada tahun 2003 mencapai 5.637 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar

1.322 jiwa/km2 dan jumlah penduduk laki-laki (2.815 jiwa) relatif sama dengan

jumlah penduduk perempuan (2.822 jiwa). Jumlah rumah tangga sebanyak 1.467

KK dengan rata-rata anggota rumah tangga 4 orang. Banyaknya kelahiran 158 jiwa

dan kematian 28 jiwa. Jumlah penduduk yang datang 162 jiwa dan yang pergi 18 0

50 100 150 200 250

Tanah Sawah Tadah Hujan

Pkrangn Tegaln Tmbak Lainnya

(37)

jiwa. Perkembangan jumlah penduduk Desa Morodemak per tahun dari tahun 1997

[image:37.612.223.418.154.276.2]

sampai dengan 2003 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3 Jumlah Penduduk PerTahun Desa Morodemak

Tahun

Jumlah

1997 4.792

1998 4.910

1999 4.953

2000 5.171

2001 5.264

2002 5.363

2003 5.637

Sumber: Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:14-26

Berdasarkan kelompok umur, jumlah penduduk Desa Morodemak terbesar

yaitu kelompok umur 15-64 tahun sebesar 3.588 jiwa, kelompok umur 0-14

sebanyak 1.827 jiwa dan umur 65 keatas sebesar 222 jiwa. data penduduk menurut

kelompok umur dapat dilihat pada tbel berikut:

Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut UmurDesa Morodemak Kelompok Umur Tahun

2000

Tahun

2001

Tahun

2002

Tahun

2003

0-14 2.105 1.954 1.301 1.827

15-64 2.783 3.198 3.946 3.588

65+ 217 112 166 222

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003

Gambar 5 Diagram Batang Penduduk Menurut Kelompok Umur 0

500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000

0-14 th 15-64 th > 65 th

[image:37.612.170.488.434.729.2]
(38)

Mata Pencaharian Penduduk

Sektor perikanan merupakan sektor yang sangat dominan di Desa

Morodemak. Hal ini sesuai dengan karakteristik desa, yaitu sebagai desa pesisir.

Sebagian besar masyarakat Desa Morodemak berprofesi sebagai nelayan atau

profesi lain yang masih ada berkaitannya dengan sektor perikanan. Sebanyak 1.513

orang atau 26,84% dari seluruh penduduk Desa Morodemak bermata pencaharian

sebagai nelayan. Ada juga yang bermatapencaharian sebagai pengusaha, buruh

industri, pedagang, sopir angkutan, dan lainnya.

Perekonomian di Desa Morodemak sangat tergantung dari pendapatan

sumberdaya perikanan dan lautan. Sektor perikanan di Desa Morodemak ini

didukung oleh keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Moro Kabupaten Demak,

yang berada di Desa Purworejo. Tempat pelelangan ikan ini sebagai tempat untuk

memasarkan hasil tangkapan ikan dari para nelayan. Nelayan yang menggunakan

jasa TPI ini tidak hanya nelayan dari Desa Morodemak tetapi juga nelyan dari

desa-desa pesisir lain yang terdapat di Kecamatan Bonang, bahkan ada juga nelayan dari

Jawa Timur.

Selain mata pencaharian masyarakat Desa Morodemak yang didominasi

oleh nelayan, juga diantara mereka bekerja sebagai bakul ikan, pengusaha ikan

asin, pemanggangan ikan, bandeng presto, trasi udang, krupuk udang, krupuk ikan,

pedagang (bakul di pasar, kios, warung, toko atau jualan keliling). Ada juga yang

bekerja sebagai kuli panggul di TPI, penyeberangan perahu, buruh angkutan, sopir,

buruh bangunan, ojek, perbaikan alat tangkap dan kapal. Mata pencaharian

penduduk Desa Morodemak, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5 Jumlah Penduduk Menurut Mata PencaharianDesa Morodemak

Mata Pencaharian

Jumlah (%)

Petani Sendiri 206 3,65

Buruh tani 173 3,07

Nelayan 1.513 26,84

Pengusaha 21 0,37

Buruh Industri 24 0,42

Buruh Bangunan 111 1,96

Pedagang 56 0,99

Angkutan 43 0,76

Pegawai Negri/ABRI 10 0,17

Pensiunan 13 0,23

Lainnya 1896 33,63

(39)

Gambar 6 Diagram Batang Mata Pencaharian Penduduk

Peranan kepala rumah tangga yang harus menghidupi keluarganya dipegang

oleh suami yang bekerja sebagai nelayan atau pekerjaan lain yang masih ada

kaitannya dengan bidang perikanan. Kebanyakan kondisi perekonomian keluarga

nelayan belum dapat memenuhi kebutuhan hidup, maka peran istri nelayan

membantu mencari alternatif pekerjaan lain untuk membantu pendapatan keluarga

sebagai penjual ikan di TPI Moro, usaha rumah tangga berupa pembuatan ikan asin,

panggang ikan, kerupuk udang, trasi, bandeng presto, dan lainnya.

Gambar 7 Usaha Rumah Tangga Istri Nelayan (On Farm)

Ada sebagian masyarakat Desa Morodemak yang bermatapencaharian

sebagai sopir angkutan, buruh bongkar muat TPI, penyeberangan perahu, ojek roda

tiga, memperbaiki perahu, mesin serta alat tangkap dan berjualan sayur keliling

kampung dengan sepeda.

Gambar 8 Pekerjaan Masyarakat Desa Morodemak (Off Farm)

0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000

Petani

Buruh Tani Nelayan

Pengusaha Buruh Industri

Buruh Bangunan

PedagangAngkutanPNS/ABRIPensiunanLainnya

(40)

Tingkat Pendidikan

Rata-rata penduduk Desa Morodemak berpendidikan relatif rendah, yaitu

sebagian besar hanya tamatan SD. Jumlah penduduk yang tamat SD mencapai

2.021 orang atau 35,85% dari keseluruhan jumlah penduduk Desa Morodemak.

Penduduk yang berpendidikan tidak tamat SD sebesar 666 orang (11,81%), SLTP

571 orang (10,13%), SLTA 149 orang (2,64%) dan Akademi/Perguruan Tinggi hanya

38 orang (0,67%). Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan secara rinci dapat

[image:40.612.157.497.245.615.2]

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Morodemak Tingkat Pendidikan Jumlah (%)

Tidak/Belum Sekolah 280 4,96

Belum Tamat SD 358 6,35

Tidak Tamat SD 666 11,81

SD 2.021 35,85

SLTP 571 10,13

SLTA 149 2,64

Akademi/PT 38 0,67

Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:30-31

Gambar 9 Diagram Batang Tingkat Pendidikan

Dilihat dari struktur tingkat pendidikan masyarakat Desa Morodemak relatif

rendah, sehingga sumberdaya manusia yang dimiliki oleg Desa Morodemak pun

juga relatif rendah. Hal ini berpengaruh terhadap pola pikir dan perkembangan

ekonomi di masyarakat Desa Morodemak juga lamban. 0

500 1,000 1,500 2,000 2,500

TidakBlm Sekolah

BLU Tamat SDTidak Tamat

SD SLP SLTA

Akademi/PT

(41)

Agama

Penduduk Desa Morodemak sebanyak 5.637 jiwa seluruhnya 100%

memeluk agama Islam. Pola kehidupan mereka sangat agamis, walaupun diantara

mereka masih banyak yang belum menjalankan ajaran agama secara benar. Untuk

menam

Gambar

Gambar 2   Diagram Alur Berpikir
Gambar 3  Rangkaian Tahapan Metodologi Penelitian
Gambar  4  Diagram Batang Tata Guna Lahan Desa Morodemak
Tabel  3  Jumlah Penduduk PerTahun Desa Morodemak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pengungsi, seseorang harus memenuhi beberapa elemen, antara lain: (a) penganiayaan atau

Taraf pemberian limbah daun pepaya dalam bentuk tepung dan jus sampai taraf 8% tidak mempengaruhi performas produksi ayam arab ( konsumsi pakan, bobot telur, konversi pakan,

Ditinjau dari segi bahasa, soal pilihan ganda KD 2.4 secara keseluruhan sudah sesuai dengan aspek penelaahan yang meliputi kesesuaia bahasa dengan kaidah bahasa Indonesia,

Pada tahap ini dilakukan pengidentifikasian dan pengklasifikasian permasalahan yang ada, sehingga dapat diketahui tujuan yang harus dicapai Perumusan masalah

Ekspresi wajah serta reaksi bahasa tubuh yang dapat dilihat semasa sesi kaunseling dapat memberi isyarat, maklumat atau ‘cues’ kepada klien mengenai pandangan atau

Hasil penelitian ini menemukan perilaku afektif yang ditunjukan perawat saat memberi asuhan keperawatan sudah dilakukan dengan cukup baik, 38 orang (74,5%) dari 51

Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam penulisan skripsi ini agar mudah di pahami

Merkityksen muutos, sekä kytkentä väestöön ja maatalouteen vuoden 1975 jälkeen.. Olli Wuori ja