STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SWADAYA
BERKELANJUTAN SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI
MASYARAKAT NELAYAN DALAM PEMBANGUNAN
(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)MUSSADUN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Strategi
Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi
Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa
Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak) adalah karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicamtumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2005
ABSTRAK
MUSSADUN. C251030011. Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak). Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI dan FREDIAN TONNY.
Desa Morordemak mempunyai potensi di sektor perikanan tangkap dan budidaya tambak, namun potensi ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga desa ini tetap miskin. Permasalahan kemiskinan nelayan tersebut mengundang perhatian pemerintah. Pemerintah berupaya memberikan solusi berupa pemberian program bantuan pengentasan kemiskinan. Namun sejauh ini perkembangan yang terjadi di Desa Morodemak belum sesuai dengan yang diharapkan.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendiskripsikan pengaruh kebijakan pembangunan yang terkesan dipaksakan dan norma yang berkembang ditengah masyarakat, sehingga menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat nelayan untuk berpartisipasi; (2) Mendiskripsikan pengaruh lemahnya partisipasi masyarakat yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya, sehingga masyarakat nelayan miskin; (3) Memberikan usulan bentuk sistem kelembagaan swadaya yang berkelanjutan sebagai media partisipasi; (4) Merumuskan strategi pengembangan sistem kelembagaan swadaya yang berkelanjutan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Metode studi kasus memiliki strategi pengumpulan data yang bersifat multi-metode (triangulasi), yaitu wawancara mendalam, pengamatan dan analisis dokumen. Temuan studi hasil analisis diskripsi adalah sebagai berikut: (1) Desa Morodemak merupakan desa miskin ditinjau dari segi kondisi fisik sarana dan prasarana, kondisi pemukiman penduduk dan tingkat pendidikan; (2) Kesalahan pemerintah dalam memahami konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan peran tokoh agama, mempengaruhi norma atau perilaku masyarakat nelayan Desa Morodemak yang tidak mendukung pembangunan sebagai penyebab lemahnya partisipasi masyarakat nelayan; (3) Lemahnya partisipasi masyarakat menyebabkan tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan di Desa Morodemak, sehingga terbelit Kemiskinan; (4) Usaha untuk mengentaskan kemiskinan tersebut adalah mengembangkan Lembaga Musyawarah, Perencana dan Pelaksana Pembangunan Desa Morodemak sebagai media partisipasi; (5) Langkah-langkah strategis dirumuskan dengan memperhatikan kepentingan dan nilai-nilai pranata yang berkembang di masyarakat nelayan Desa Morodemak. Nilai-nilai, pranata dan norma yang berkembang dan berpotensi sangat bagus di Desa Morodemak adalah kelembagaan agama.
STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN SWADAYA
BERKELANJUTAN SEBAGAI MEDIA PARTISIPASI
MASYARAKAT NELAYAN DALAM PEMBANGUNAN
(Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)MUSSADUN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Strategi Pengembangan Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)
Nama : Mussadun
NIM : C251030011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA Ir. Fredian Tonny, MS Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan
Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis berjudul “Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan sebagai Media Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Nelayan Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak)” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terwujudnya karya ilmiah ini dari awal sampai selesai tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan, masukan, dorongan dan semangat. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada: (1) Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA dan Bapak Ir. Fredian Tonny, MS, masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberi bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini; (2) Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB); (3) Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf; (4) Bapak Prof. Dr. Ir. H Rokhmin Dahuri, MS, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) beserta staf; (5) segenap dosen mata kuliah pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor; (6) Pemerintah Kabupaten Demak, Kesbanglinmas Demak, BAPPEDA Demak, DKP Demak, PMD Demak, PEDAL Demak, Kantor Kecamatan Demak dan Kepala Kelurahan Desa Morodemak yang telah memberikan izin penelitian di Desa morodemak: (7) Bapak Ir Jawoto, Ibu Wiwik dan rekan dosen Studio Perencanaan Wilayah PWK UNDIP beserta mahasiswa Tim Desa Morodemak dan Purworejo atas masukan data dan informasi; (8) semua pihak yang tidak dapat kami sebut satu per satu yang telah membantu baik material maupun spiritual, sehingga penyusunan tesis ini selesai.
Tidak lupa juga kepada semua rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, khususnya Angkatan X yang telah memberi dukungan dan bantuan yang tak terhingga.
Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian, Amiin.
Bogor, September 2005
Mussadun
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 27 Juni 1970 dari ayah Saman dan ibu Tumini. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Karangkumpul Semarang pada tahun 1983, pada tahun 1986 menamatkan pendidikan menengah pertama pada SMP Negeri 13 Semarang dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai siswa SMA Negeri 3 Semarang dan tamat pada tahun 1989. Pada tahun 1989, penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang. Pada tahun 1991, penulis mendapatkan beasiswa ikatan dinas dari Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penulis menamatkan program S1
Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro pada tahun
1996.
Pada tahun 1997, penulis diterima sebagai tenaga pengajar magang di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dan pada tahun 1998 diangkat sebagai CPNS di instansi yang sama. Pada tahun 1999, penulis resmi menjadi PNS sebagai tenaga pengajar di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ……….. ii
DAFTAR TABEL ………. v
DAFTAR GAMBAR ……….……….. vi
DAFTAR LAMPIRAN ……….……… vii
PENDAHULUAN Latar Belakang ……….………. 1
Perumusan Masalah ………. 3
Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….……… 4
PENDEKATAN TEORITIS TINJAUAN PUSTAKA ………..……… 6
Fenomena Kemiskinan Masyarakat Nelayan ……….…….. 6
Struktur Sosial, Interaksi Sosial dan Pranata Sosial …….……… 8
Kelembagaan Swadaya Masyarakat ………. 10
Proses Pertumbuhan dan Pola Hubungan Kelembagaan …..… 11
Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat ……….. 12
Konsep Pembangunan Berkelanjutan ………..……. 14
Pengembangan Sistem Kelembagaan Berkelanjutan ………….. 14
KERANGKA PEMIKIRAN ………...………….. 15
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ………..……. 19
Metode dan Teknik Pengumpulan Data ……… 19
Penentuan Sampel (Responden dan Informan) ..……….. 19
Metode Pengolahan dan Analisis Data .………..………. 23
GAMBARAN UMUM DESA MORODEMAK Wilayah Administrasi ……….……….. 26
Tata Guna Lahan ………..……….. 26
Pemerintahan Desa ……….………. 27
Kependudukan ……….. 27
Mata Pencaharian Penduduk ………...….. 29
Tingkat Pendidikan ………..……… 31
Agama ………..……… 32
Tingkat Kesejahteraan ………..…..……… 32
Fasilitas dan Utilitas ………..………..… 33
HISTORIS STRUKTUR SOSIAL POLITIK DI DESA MORODEMAK …... 39
FENOMENA KEMISKINAN DI DESA MORODEMAK Mata Pencaharian dan Tingkat Kesejahteraan ………..………. 43
Tingkat Pendapatan ……….……… 45
Kondisi Fisik Sarana dan Prasarana ……….………… 45
Kondisi Sarana di Desa Morodemak ………..……… 45
Sarana Pendidikan ………..……… 45
Sarana Kesahatan ……… 46
Sarana Perdagangan ………..……… 46
Pemukiman ……… 47
Kondisi Prasarana di Desa Morodemak ………..….. 47
Jaringan Jalan ………. 47
Jaringan Transportasi ………..………….. 47
Jaringan Sanitasi dan Drainase ……… 48
Jaringan Persampahan ……….………. 48
Kemiskinan Kultural ……….…….. 49
Kemiskinan Struktural ……… 50
Kemiskinan Alami (Natural) ………. 52
PROGRAM PEMBANGUNAN DAN NORMA MASYARAKAT YANG MENGHAMBAT PARTISIPASI Program Pembangunan Pengentasan Kemiskinan ………….……… 54
Norma dan Perilaku Masyarakat Nelayan Desa Morodemak ………. 58
Lemahnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan ………….. 64
SISTEM KELEMBAGAAN MASYARAKAT NELAYAN YANG KURANG BERFUNGSI DI DESA MORODEMAK Kelembagaan Keluarga ………..……… 67
Kelembagaan Keagamaan ………..……… 70
Kelembagaan Pendidikan ……… 72
Kelembagaan Ekonomi ……… ………… 74
Kelembagaan Politik ……….……… 79
Kelembagaan Pemerintahan Desa ……… 79
Kelembagaan Penegakan Hukum ………..……… 80
Karakter Tokoh dalam Sistem Kelembagaan …….……….………….. 86
BENTUK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN SISTEM KELEMBAGAAN SWADAYA MASYARAKAT BERKELANJUTAN Bentuk Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya Masyarakat 88 Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya Berkelanjutan 91 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ……….……… 95
Saran ……… ….………. 96
DAFTAR PUSTAKA ………...………..………..……… 97
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis Kategori ... 21
2. Penggunaan Lahan Desa Morodemak ... 23
3. Jumlah Penduduk Per Tahun Desa Morordemak ... 25
4. Jumlah Penduduk Menurut Umur Desa Morodemak ... 25
5. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa Morodemak .. 26
6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 28
7. Jumlah Penduduk Menurut Agama ... 29
8. Jumlah Kendaraan Bermotor ... 30
9. Jumlah Sarana Komunikasi ... 30
10. Jumlah Fasilitas Pendidikan ... 31
11. Jumlah Fasilitas Kesehatan ... 32
12. Jumlah Fasilitas Peribadatan ... 32
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pola Hubungan Sistem Kelembagaan Masyarakat ... 12
2. Diagram Alur Berpikir ... 18
3. Rangkaian Tahapan Metodologi Penelitian ... 22
4. Diagram Batang Tata Guna Lahan Desa Morodemak ... 24
5. Diagram Batang Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 25
6. Diagram Batang Mata Pencaharian Penduduk ... 27
7. Usaha Rumah Tangga Nelayan (On Farm) ... 27
8. Pekerjaan Masyarakat Nelayan Desa Morodemak (Off Farm) ... 27
9. Diagram Batang Tingkat Pendidikan ... 28
10. Fasilitas Pendidikan MTs Sunan Barmawi dan SD Inpres Moro ... 30
11. Masjid Jami Baitul Atiq dan Mushala Mujahidin Desa Morodemak ... 32
12. Pemukiman Nelayan Desa Morodemak ... 33
13. Pasar, Warung dan Toko/Kios ... 33
14. Angkutan Desa, Ojek Roda Tiga dan Perahu Penyeberangan ... 34
15. Kondisi Jalan Desa Morodemak ... 34
16. Kondisi Drainase Desa Morodemak ... 35
17. Kondisi Tempat Pembuangan Sampah ... 35
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil Pengamatan ... 102
2. Responden dan Informan ... 106
3. Hasil Wawancara ... 107
4. Jenis Dokumen ... ... 108
5. Peta Desa Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak .... 109
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat nelayan merupakan salah satu bagian yang tidak dapat
dipisahkan dalam proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam di
wilayah pesisir. Mereka kebanyakan merupakan masyarakat nelayan tradisional
dengan kondisi sosial ekonomi dan berlatar belakang pendidikan yang relatif sangat
rendah (Supriharyono, 2000:4). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Raymond
Firth, bahwa masyarakat nelayan memiliki karakteristik diantaranya adalah tingkat
pendidikan nelayan dan anak-anak nelayan pada umumnya rendah dan tingkat
pendapatan mereka juga rendah (Sulistiyo, 1994:117).
Rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat
nelayan tradisional tersebut menyebabkan mereka hidup terbelit dengan kemiskinan
dan keterbelakangan. Kusnadi (2002:3) berpendapat, bahwa tingkat kehidupan
sosial ekonomi masyarakat nelayan tradisional sangat rendah dan bahkan dapat
dikatakan sebagai lapisan sosial yang paling miskin di desa-desa pesisir.
Kemiskinan dan keterbelakangan yang dimiliki oleh masyarakat nelayan
tersebut merupakan dampak dari adanya proses pembangunan yang bersifat top-down, sentralistis, teknokratis dan bersifat penyeragaman dan belum memperhatikan keterlibatan masyarakat, sehingga prakarsa lokal tidak dapat
berkembang dan “memasung” usaha untuk pengembangan diri masyarakat nelayan.
Berdasarkan penelitian yang banyak dilakukan, hal ini menyebabkan masyarakat
nelayan terjatuh dalam kemiskinan, baik secara struktural maupun kultural
(Damanhuri, 2000:64-66).
Kemiskinan merupakan suatu kondisi yang dapat menyebabkan seseorang
atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan
untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu
yang berlaku di dalam masyarakat, karena sebab-sebab natural (alami), kultural atau
struktural (Nugroho dan Rokhmin, 2004:165). Kemiskinan kultural disebabkan oleh
variabel-variabel yang melekat, inheren dan sudah menjadi gaya hidupnya
membentuk pola perilaku. Akibatnya sulit bagi individu nelayan untuk keluar dari
Kebijakan pembangunan pemerintah yang bersifat sentralistik, teknokratik,
top-down dan terkesan dipaksakan kepada masyarakat akan berdampak pada kemiskinan struktural yang menyebabkan partisipasi dan usaha pengembangan diri
tehadap prakarsa (swadaya) lokal terhambat. Loekman Soetrisno berpendapat,
bahwa pemerintah sebagai pelaku pembangunan yang menyediakan segalanya baik
pembiayaan, perencanaan maupun pelaksanaannya. Akibatnya masyarakat
menjadi pasif dan tergantung kepada pemerintah, sehingga pembangunan yang
terjadi tidak didasari dengan berkembangnya kemandirian masyarakat dan
partisipasi masyarakatpun menjadi semu (Sulistiyo, 1994:114).
Peranan pemerintah sebagai pelaksana pembangunan berkeinginan, agar
masyarakat terlibat dalam pembangunan, akan tetapi keikutsertaan masyarakat
dalam pembangunan lebih banyak terjadi sebagai hasil pengarahan dari pemerintah
untuk menunjang proyek dan program pemerintah, bukan inisiatif masyarakat
sendiri. Kebijaksanaan pembangunan selama ini terbukti kurang memberi peluang
berkembangnya keswadayaan masyarakat nelayan. Implikasi yang timbul adalah
partisipasi masyarakat nelayan yang semu dan parsial, sehingga tidak mendukung
munculnya pembangunan yang berkelanjutan (Mubyarto, 1994:8). Hal ini
berpengaruh kepada perkembangan sistem kelembagaan swadaya masyarakat
nelayan yang cenderung bersifat pasif dan menimbulkan budaya partenalistik,
sehingga tidak berkembang sesuai dengan potensi dan lingkungan yang ada.
Kabupaten Demak merupakan salah satu kabupaten yang dikategorikan
miskin di Propinsi Jawa Tengah. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2004
sebanyak 243.800 jiwa.
Menurut data BPS Kabupaten Demak tahun 2003, Kecamatan Bonang
merupakan kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk miskin yang ke-4
sebanyak 37.811 jiwa, setelah Kecamatan Sayung (51.843 jiwa), Kecamatan Guntur
(42.998 jiwa) dan Kecamatan Mranggen (38.645 jiwa). Desa Morodemak
merupakan desa pesisir yang paling miskin dibandingkan dengan desa lainnya di
Kecamatan Bonang.
Kabupaten Demak memiliki luas wilayah 89.743 Ha, terdiri dari 14 kecamatan, 241 desa dan 6 kelurahan. Jumlah penduduknya pada tahun 2004 ini sebanyak 1.017.075 jiwa dengan 243.800 jiwa digolongkan sebagai warga miskin. Indikator ekonominya menunjukkan, bahwa APBD kabupaten sebesar Rp 335,22 milyar dan PAD kabupaten sebesar Rp 19 milyar, sedangkan pendapatan per kapitanya Rp 2,63 juta.
Desa Morodemak mempunyai potensi di sektor perikanan tangkap dan
budidaya tambak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya TPI Moro Demak mempunyai
peran yang sangat besar bagi Kabupaten Demak dalam penyumbangan devisa dari
sektor perikanan, yaitu sebesar 2,3 ton atau 66,52 % dari produksi ikan basah di
Kabupaten Demak. Selain itu, TPI Moro Demak mampu menyerap tenaga kerja lebih
dari 30% dari jumah nelayan di Kabupaten Demak (BPS Kabupaten Demak). Selain
itu, potensi sebagian besar penduduk Desa Morodemak bermatapencaharian
sebagai nelayan dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan sektor perikanan dan
tambak. Potensi lainnya berupa penggunaan lahan Desa Morodemak untuk tambak
sebesar 233 ha atau 54,7% dari seluruh luas Desa Morodemak. Namun potensi ini
belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Morodemak, sehingga
desa ini tetap miskin.
.
Perumusan Masalah
Permasalahan kemiskinan di Desa Morodemak Kecamatan Bonang
Kabupaten Demak tersebut mengundang perhatian dari pemerintah. Menyikapi hal
ini, pemerintah berupaya untuk memberikan solusi berupa pemberian
program-program bantuan yang dapat menangani masalah kemiskinan. Namun sejauh ini
perkembangan yang terjadi di Desa Morodemak belum sesuai dengan yang
diharapkan.
Pendekatan program pembangunan yang bersifat top down dan sentralistik menyebabkan partisipasi masyarakat menjadi rendah, karena masyarakat
cenderung tidak merasa memiliki program tersebut dan terkesan dipaksakan. Hal itu
diperparah dengan karakter kepemimpinan dan norma yang berkembang ditengah
masyarakat nelayan Desa Morodemak cenderung tidak mendukung program
pembangunan yang diberikan oleh pemerintah.
Sebagai bukti bahwa program pembangunan pemerintah yang terkesan
dipaksakan dan belum memenuhi keinginan masyarakat nelayan Desa Morodemak Banyak kriteria mengapa desa Morodemak termasuk berkategori desa
adalah hasil temuan Tim Evaluasi Program Pengembangan Kecamatan tersebut
dibawah ini:
Lemahnya tingkat partisipasi masyarakat nelayan Desa Morodemak
terhadap program pembangunan, berdampak pada lemahnya sistem kelembagaan
swadaya yang tidak berkembang dan menjadi pasif serta tidak berfungsi dengan
baik. Tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat mengakibatkan
masyarakat nelayan terjatuh dalam kemiskinan.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka timbul suatu
pertanyaan yang mendasari penelitian ini, yaitu bagaimanakah seharusnya bentuk
sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan yang berkelanjutan di Desa
Morodemak Kecamatan Bonang Kabupaten Demak, sehingga dapat berfungsi
sebagai media partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bentuk sistem
kelembagaan swadaya berkelanjutan masyarakat nelayan di Desa Morodemak
Kecamatan Bonang Kabupaten Demak yang berfungsi sebagai media partisipasi
masyarakat nelayan dalam pembangunan berkelanjutan.
Adapun tujuan spesifik yang ingin dicapai untuk menjawab tujuan utama
tersebut diatas adalah:
1. Mendiskripsikan kemiskinan di Desa Morodemak yang disebabkan karena
faktor natural, kultural dan struktural.
2. Mendiskripsikan pengaruh kebijakan pembangunan yang terkesan
dipaksakan, pengaruh tokoh masyarakat dan norma yang berkembang Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problem tersebut (kemiskinan-red)
adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya, misalnya pada kehidupan keluarga yang tertimpa kemiskinan tersebut (Soekanto, 2002:366)
ditengah masyarakat, sehingga membuat ketidakberdayaan masyarakat
nelayan untuk berpartisipasi dalam sistem kelembagaan swadaya
masyarakat.
3. Mendiskripsikan lemahnya partisipasi masyarakat yang mengakibatkan tidak
berfungsinya sistem kelembagaan swadaya. Tidak berfungsinya sistem
kelembagaan swadaya menyebabkan masyarakat nelayan miskin.
4. Mengusulkan bentuk sistem kelembagaan swadaya berkelanjutan sebagai
media partisipasi masyarakat nelayan Desa Morodemak dalam
pembangunan.
5. Merumuskan strategi pengembangan, agar terwujud sistem kelembagaan
swadaya berkelanjutan sebagai media partisipasi masyarakat nelayan Desa
Morodemak dalam pembangunan.
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini meliputi:
1. Kegunaan bagi masyarakat nelayan Desa Morodemak adalah agar mereka
mengetahui bahwa sistem kelembagaan swadaya yang mereka miliki sangat
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, selama mereka
berusaha untuk dapat mengembangkan diri dan berpartisipasi dalam sistem
kelembagaan swadaya tersebut.
2. Kegunaan bagi akademis adalah pengembangan wacana secara teoritis dan
komprehensif dalam memahami potensi sistem kelembagaan swadaya
berkelanjutan sebagai media partisipasi masyarakat nelayan dalam
pembangunan.
3. Kegunaan bagi pemerintah sebagai penentu kebijakan adalah agar
memperhatikan potensi kelembagaan swadaya masyarakat nelayan sebelum
menetapkan kebijakan program-program pembangunan di kawasan pesisir
dan mengetahui program pembangunan apa saja yang dibutuhkan oleh
masyarakat nelayan di Desa Morodemak.
4. Kegunaan bagi swasta adalah dengan mengetahui potensi sistem
kelembagaan swadaya masyarakat nelayan di Desa Morodemak, mereka
dalam melakukan aktivitas usaha akan menggunakan strategi pendekatan
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Fenomena Kemiskinan Masyarakat Nelayan
Kemiskinan pada suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan dimensi sosial,
ekonomi dan budaya. Kemiskinan menggambarkan potensi suatu wilayah yang
memiliki perkembangan masyarakatnya yang rendah, aspirasi dan persepsi pada
suatu masalah bersifat terbatas dan semu serta mengutamakan pengambilan
keputusan dalam jangka waktu yang pendek. Kemiskinan disebabkan oleh faktor
alami (natural), faktor struktural dan faktor kultural (Nugroho dan Rokhmin, 2004:
166-168).
Sifat dan karakteristik masyarakat nelayan adalah tergantung pada musim
(faktor alam). Pada masa musim subur dan cuaca cerah, masyarakat nelayan
melakukan penangkapan ikan dan mereka sibuk melaut untuk mendapatkan banyak
ikan, sehingga mereka mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebaliknya pada masa musim paceklik atau cuaca yang tidak mendukung
untuk melakukan penangkapan ikan, masyarakat nelayan kecil yang tidak mampu
mengakses teknologi tidak melakukan penangkapan ikan, sehingga mereka
menganggur dan tidak mendapatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Apalagi didukung dengan tidak adanya alternatif mata pencaharian lain
yang menghasilkan pendapatan, akhirnya mereka mencari pinjaman kepada orang
lain. Belitan hutang yang tak terelakkan tersebut menyebabkan masyarakat nelayan
kecil terperangkap dalam kemiskinan yang disebabkan oleh faktor alami (natural).
Konsep kemiskinan kultural, menurut Parsudi Suparlan yang menukil
pendapat Oscar Lewis, bahwa konsep kemiskinan kultural bukanlah semata-mata
berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, akan tetapi kemiskinan yang
disebabkan adanya pengaruh kebudayaan dan kejiwaan yang diturunkan dari
generasi ke generasi secara turun temurun melalui proses sosialisasi yang panjang
(Nurlina, 1998:8 dan Suparlan, 1986:133). Kemiskinan kultural merupakan
kemiskinan yang disebabkan adanya faktor budaya yang melekat dan menjadi
perilaku dan gaya hidup pada suatu masyarkat. Variabel kemiskinan kultural ini
meliputi tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, kepercayaan, kesetiaan, ketaatan
pada panutan (Nikijuluw, 2001:30 dan Nugroho dan Rokhmin, 2004:168).
Kemiskinan kultural ini sangat sulit diatasi, karena membutuhkan kesabaran dan
Sebagaimana telah dinyatakan oleh Soemarjan, bahwa konsep kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat karena struktur
sosialnya, sehingga masyarakat tersebut tidak dapat mengakses potensi
sumberdaya-sumberdaya yang sebenarnya tersedia dan dimiliki mereka (Cahyono,
1983:2-3 dan Nurlina, 1998:9). Pitirim Sorokin membagi konsep struktur tersebut
dalam dua bagian, yaitu struktur sosial vertikal dan struktur sosial horinzontal.
Struktur sosial vertikal adalah menggambarkan tinggi-rendahnya kedudukan
kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang hirarkis berupa stratifikasi sosial
atau pelapisan masyarakat. Struktur sosial horizontal adalah menggambarkan
keseimbangan kedudukan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memiliki
kedudukan sama, sehingga didapatkan variasi atau pengkayaan pengelompokan
dalam suatu masyarakat (Rahardjo, 1999:94). Lebih jauh dipahami, bahwa
kemiskinan struktural ini disebabkan oleh tatanan kelembagaan, dalam artian
pengertian kelembagaan yang lebih luas tidak hanya mencakup tatanan organisasi
saja, tetapi juga terkait dengan aturan-aturan main yang diterapkan (Nugroho dan
Rokhmin, 2004:167).
Menurut Valentine (1968) dalam bukunya Culture and Poverty, menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada yang namanya kemiskinan kultural. Kemiskinan
yang terjadi pada suatu golongan masyarakat itu karena adanya berbagai hambatan
sosial yang sangat besar, yang disebabkan oleh kondisi-kondisi struktural dari
masyarkat tersebut yang terletak di luar jangkauan kekuatan kontrol dari mereka
yang tergolong miskin. Pada hakekatnya tidak ada kemiskinan kultural, karena
kebudayaan yang dimiliki oleh orang miskin dengan kebudayaan yang dimiliki orang
yang kaya dalam masyarakat adalah sama (Suparlan, 1981:133).
Menurut Marx dan Engels, bahwa dalam struktur sosial suatu masyarakat
terbentuk pola hubungan antar kelas (pelapisan) sosial. Kelas-kelas sosial tersebut
terbentuk karena pola hubungan produksi. Pola hubungan produksi antara
pengusaha dan pekerja, majikan dan buruh, orang kaya dan orang miskin dapat
menimbulkan ketimpangan antar kelas sosial yang menyebabkan rusaknya
solidaritas sosial. Akibatnya mendorong konflik antar kelas pekerja/buruh
(proletariat) dengan majikan/pengusaha (borjuasi), sehingga timbul pemiskinan bagi
pihak pekerja/buruh (Kleden, 1997:79).
Di dalam Agama Islam, perbedaan status sosial merupakan sunatullah dan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Adanya orang kaya dan orang miskin,
dan orang bodoh dan lain-lainnya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala melebihkan sebagian orang atas sebagian yang lain, memberi kelebihan rezki sebagian atas
sebagian yang lain, memberikan kelebihan kekuasaan sebagian atas sebagian yang
lain dan memberikan kecerdasan sebagian orang atas sebagian yang lainnya.
Namun golongan yang diberi kelebihan oleh Allah tersebut diperintahkan
untuk tidak serakah, mengikuti hawa nafsu, sombong dan tidak berbuat adil. Justru
mereka diperintahkan mengeluarkan zakat, sedekah, menyantuni anak yatim,
memberi makan orang miskin, tidak berbuat dholim kepada si lemah, berbelas
kasihan terhadap orang yang kekurangan dan membantu yang sedang
berkesusahan untuk meraih kebahagian dunia dan akhirat.
Jika si kaya memberi sedekah sebagian hartanya kepada si miskin, majikan
memberi bantuan kelebihan hartanya kepada pekerjanya, pemerintah berbuat adil
kepada rakyatnya, kaum borjuis tidak berbuat dholim kepada kaum proletar, si kuat
mengasihsayangi si lemah dengan berharap kepada Allah untuk mendapatkan
kebaikan dunia dan akhirat, maka akan terwujud suatu tatanan struktur sosial
masyarakat yang masih mengakui adanya perbedaan kelas, namun terjalin rasa
solidaritas dan saling membantu serta saling kasih sayang diantara mereka.
Muncullah pola hubungan interaksi dalam kehidupan diantara mereka yang damai
dan serasi. Ternyata agama Islam mempunyai jalan keluar untuk menyelesaikan
problem konflik yang selama ini terjadi antara paham liberalisme/kapitalisme dengan
sosialis/komunisme. Allah Maha Benar dan Maha Mengetahui segala urusan
manusia.
Struktur Sosial, Interaksi Sosial dan Pranata Sosial
Struktur sosial bersifat abstrak, dikarenakan perhatian objeknya ditujukan
pada pola-pola tindakan, jaringan-jaringan interaksi yang teratur dan seragam Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan dirimu sebagai khalifah (penguasa)
di bumi, maka berilah keputusan perkara diantara manusia dengan adil. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu (syetan), karena akan menyesatkan kamu dari jalan Allah (Al Quran surat Shad (38) ayat 26)
dalam waktu dan ruang, posisi sosial dan peranan-peranan (fungsi) sosial yang
kadang tidak nampak oleh pandangan mata manusia. Struktur sosial merupakan
sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian pola hubungan sosial antar individu
atau kelembagaan yang ada menurut status, peranan dan pranata yang berlaku
pada suatu masyarakat tertentu (Suparlan, 1981:90).
Selo Soemardjan (1964:14) dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi
menjelaskan hubungan antara norma-norma, kelembagaan sosial dan lapisan
masyarakat sebagai berikut:
Unsur-unsur sosial yang pokok ialah norma-norma atau kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Kesemuanya ini berjalin satu sama lainnya dan keseluruhan dari unsur-unsur sosial ini dalam hubungannya satu sama lain disebut struktur sosial…….Pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan ini dicakup dalam pengertian proses-proses sosial. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadi perubahan-perubahan dalam struktur sosial.
Satuan-satuan lingkungan sosial terdiri dari individu-individu yang saling
berinteraksi. Sedangkan yang melingkari individu-individu tersebut terdiri dari
keluarga, kelembagaan, komunitas, dan masyarakat. Satuan lingkaran struktur
sosial tersebut mempunyai karakteristik yang setiap kali berbeda fungsinya, struktur,
peranan dan proses-proses yang berlangsung dalam struktur tersebut.
Interaksi struktur sosial bersifat kompleks, karena masing-masing individu
mempunyai kepentingan, sehingga memerlukan suatu tatanan hidup bersama untuk
mengamankan kepentingan komunal demi kesejahteraan dan keberlangsungan
hidup struktur sosial tersebut. Perangkat tatanan kehidupan bersama menurut pola
tertentu kemudian berkembang menjadi pranata sosial, atau abstraksi yang lebih
tinggi dinamakan kelembagaan atau institusi (Soelaeman, 1993:64).
Corak dari suatu struktur sosial ditentukan oleh kebudayaan dari masyarakat
yang bersangkutan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang ada
disekitarnya. Perwujudan kebudayaan sebagai pola kelakuan berupa norma-norma
atau aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat tergambarkan melalui beraneka
ragam corak pranata-pranata sosial yang berkembang di masyarakat tersebut.
Pranata-pranata tersebut sebagai wujud dari serangkaian norma-norma yang
menjadi tradisi/kebiasaan kehidupan individu-individu dan kelompok-kelompok yang
masyarakat adalah pranata-pranata yang berkembang dalam kehidupan
masyarakat tersebut.
Kelembagaan Swadaya Masyarakat
Soerjono Soekanto (2002:209-210) menjelaskan, bahwa kelembagaan
masyarakat merupakan hasil kristalisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku
yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Kelembagaan masyarakat
memiliki ciri adanya aturan-aturan berupa adat istiadat, tata kelakuan, kebiasaan
serta unsur-unsur kebudayaan yang tergabung dalam satu unit fungsional sesuai
dengan peran masing-masing individu yang ada didalamnya.
Norman Uphoff (1986: 19) menjelaskan, bahwa aspek kelembagaan memiliki
makna yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian organisasi. Kelembagaan
mengandung unsur adanya aturan-aturan (rules) yang dapat mempengaruhi perilaku, yaitu berupa norma yang diturunkan dari tata nilai yang hidup dan
berkembang dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Konsep swadaya (self help) memiliki dasar pengertian, bahwa penggunaan sumberdaya lokal beserta semua kegiatan yang dikelola oleh masyarakat sebagai
suatu kesatuan yang bertahan secara mandiri (Conyer, 1994:177). Gunawan
Sumodiningrat mengemukakan, bahwa kelembagaan swadaya masyarakat muncul
atas inisiatif masyarakat sendiri dengan tujuan pokok memecahkan masalah yang
dihadapi masyarakat baik secara individu maupun kelompok (Quranggana,
1994:18).
Bambang Ismawan memberikan ciri, bahwa kelembagaan swadaya
masyarakat adalah kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Kelembagaan swadaya masyarakat merupakan suatu
wahana yang dapat menggerakkan sumberdaya lokal untuk meningkatkan
pencapaian kesejahteraan bersama dan sebagai tempat untuk proses belajar dan
mengajar serta pengambilan keputusan (Setiawati, 1994:208).
Indikasi suatu masyarakat berhasil dalam melaksanakan pembangunan
adalah tergantung kepada kemampuan dan kemauan masyarakat untuk
mengakumulasikan segala potensi yang ada secara maksiamal, baik sumberdaya
manusia maupun sumberdaya alamnya untuk meningkatkan kesejahteraan
hidupnya secara bersama-sama secara mandiri (berswadaya) tanpa adanya
Proses Pertumbuhan dan Pola Hubungan Kelembagaan Sosial
Kelembagaan yang memiliki nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur
anggotanya berperilaku selaras dengan lingkungannya akan mencerminkan suatu
totalitas kehidupan sosial yang khas (Taryoto, 2001:53). Kelembagaan yang
terbentuk secara alamiah bermula dari kristalisasi nilai-nilai dan norma. Suatu
norma akan terbentuk secara bertahap, pada awalnya berupa cara perilaku biasa
(usage), kemudian meningkat menjadi kebiasaan (folkways), selanjutnya menjadi tata kelakuan (mores) dan akhirnya menjadi adat istiadat (custom). Proses pertumbuhan suatu norma yang baru menjadi bagian dari kelembagaan pada
masyarakat disebut proses pelembagaan (Syahyuti, 2003:29).
Suatu norma telah melembaga, apabila telah diketahui, dipahami atau
dimengerti, ditaati, dan dihargai sampai kemudian menjadi bagian yang tidak
terpisahkan bagi kehidupan suatu masyarakat, sehingga norma tersebut menjadi
suatu kelembagaan yang mempunyai kedudukan sempurna (Soekanto, 2002:203).
Metta Spencer (1995:325-441) membagi kelembagaan masyarakat menjadi
lima bagian, yaitu sistem kelembagaan keluarga, sistem kelembagaan keagamaan,
sistem kelembagaan pendidikan, sistem kelembagaan ekonomi politik dan sistem
kelembagaan penegakan hukum. Munculnya kelembagaan masyarakat, biasanya
merupakan implementasi dari suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.
Keperluan-keperluan pokok tersebut meliputi bidang ekonomi, pendidikan, agama,
politik, keturunan (keluarga). Masing-masing bidang kehidupan tersebut mempunyai
hubungan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan membentuk
segi kehidupan bersama melalui proses-proses sosial (Selo Sumardjan, 1964:14
dan 62).
Sistem kelembagan masyarakat antara yang satu dengan yang lain
mempunyai hubungan dengan pola-pola dan keserasian tertentu sesuai dengan
karakteristik suatu tempat. Soerjono Soekanto (2002:333) membagi kelembagaan
masyarakat menjadi lima bagian, yaitu: sistem kelembagaan politik, keagamaan,
pendidikan, ekonomi dan hukum. Pola hubungan masing-masing sistem
kelembagaan masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial yang
terjadi pada suatu tempat. Untuk lebih jelasnya mengenai pola hubungan sistem
Sumber: Soekanto, 2003:333
Gambar 1 Pola Hubungan Sistem Kelembagaan Masyarakat
Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat
Margono Slamet (2003: 45) memberikan pengertian pemberdayaan adalah
kemampuan, berdaya, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, dapat
memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif,
mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan
menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Pemberdayaan
masyarakat merupakan suatu upaya untuk memberikan motivasi dan dorongan
kepada masyarakat agar mampu menggali potensinya dan berani bertindak
mengembangkan diri, sehingga terbentuk kemandirian dan tidak tergantung dengan
pihak lain.
Istilah partisipasi secara umum mempunyai pengertian suatu usaha
berkelanjutan, yang memungkinkan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan,
baik secara aktif maupun pasif. Definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan
menurut Loekman Soetrisno (1995: 207) adalah kerja sama antara masyarakat
dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan
mengembangkan hasil pembangunan dengan mengakomodasi aspirasi, nilai
budaya dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan.
Partisipasi tersebut dapat dimanfaatkan pula sebagai sarana mengkomunikasikan Kelembagaan
Politik
Kelembagaan Hukum Kelembagaan
Pendidikan
Kelembagaan Ekonomi Kelembagaan
keinginan masyarakat untuk ikut melakukan kontrol terhadap kegiatan
pembangunan.
Menurut PBB dalam Conyer (1994:174-175):
Istilah pembangunan masyarakat (community development) telah digunakan secara internasional dalam arti sebagai proses, dimana semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat dibidang ekonomi, sosial, dan kultural, serta untuk mengintegrasikan masyarakat…..Proses yang rumit itu terdiri atas dua elemen penting: (1) partisipasi masyarakat itu sendiri dalam usaha mereka untuk meningkatkan taraf hidup dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif mereka sendiri; serta (2) pembentukan pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat mendorong timbulnya inisiatif, sifat berswadaya dan kegotongroyongan yang membuat kesemuanya ini lebih efektif lagi.
Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat menurut Pimbert dan Pretty dalam
Brown (2001:15) meliputi partisipasi pasif, partisipasi dalam memberikan masukan
informasi, partisipasi dengan melakukan konsultasi, partisipasi dengan memberi
bantuan material, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif dan partisipasi dengan
berperan aktif.
Partispasi pasif berupa paling tidak masyarakat memberikan dukungan moril
dan setuju terhadap kegiatan Pembangunan di daerahnya, walaupun mereka tidak
berperan aktif. Akan lebih baik jika masyarakat berperan serta dalam memberikan
informasi dan masukan yang bermanfaat dalam forum diskusi atau musyawarah.
Jauh lebih baik lagi apabila masyarakat ikut aktif untuk berkonsultasi jika mengalami
kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di lapangan, dengan suka rela
memberikan bantuan baik dana, pikiran dan kemampuannya, ikut terlibat dalam
kepengurusan dan pengelolaan kegiatan pembangunan sesuai dengan bidang
keahlian masing-masing secara fungsional, saling bekerja sama dengan seluruh
elemen yang ada untuk mensukseskan tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan
pembangunan tersebut.
Ada tiga alasan penting, perlunya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, yaitu (1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna
memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat
setempat. (2) masyarakat akan lebih mempercayai suatu program pembangunan,
jika merasa dilibatkan dalam proses pemabngunan tersebut, sehingga akan
mempunyai rasa memiliki. (3) masyarakat mempunyai hak untuk menyampaikan
pendapatnya dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan berusaha mencari jalan keluar untuk
memandang, bahwa pembangunan seharusnya tidak hanya memperhatikan segi
pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga memperhatikan segi kesejahteraan
masyarakat dan perlindungan terhadap lingkungan. Menurut Giuseppe Munda
(1997:18), bahwa konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya memperhatikan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi perlu juga memperhatikan aspek
pertumbuhan kesejahteraan sosial yang baik dan perlindungan terhadap
lingkungan. Program pembangunan berkelanjutan tidak hanya sekedar
menitikberatkan pembangunan ekonomi saja, namun mencakup juga pembangunan
sosial-budaya dan ekologi, sehingga pembangunan aktor sosial dan kelembagaan
sosial juga perlu diperhatikan pengembangannya.
Prinsip-prinsip dari pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan adalah
(a) terpenuhinya kebutuhan dasar (pokok) manusia; (b) tercapainya keseimbangan
dan keadilan sosial; (c) memberikan kebebasan untuk menetapkan nasibnya sendiri
secara (demokratis); (d) menjaga kelestarian ekosistem lingkungan dan
keanekaragaman hayati; (e) mempertimbangkan aspek-aspek kesatuan antara
aspek lingkungan,aspek sosial dan aspek ekonomi (Mitchell,1994:190).
Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan adalah pemerataan dan
keadilan sosial, partisipasi, menghargai keanekaragaman hayati, menggunakan
pendekatan integratif dan perspektif jangka panjang. Prospek generasi di masa
datang tidak dapat dikompromikan dengan aktivitas generasi masa kini.
Pembangunan generasi masa kini harus selalu mengindahkan generasi masa
datang untuk memenuhi kebutuhannya, baik keberlanjutan ekologis, ekonomi, sosial
budaya maupun politik, pertahanan dan keamanan (Djajadiningrat, 2001:30-38).
Pengembangan Sistem Kelembagaan Berkelanjutan
Sistem kelembagaan yang berkelanjutan merupakan suatu bentuk ketaatan
masing-masing individu masyarakat terhadap norma-norma yang dipegang secara
terus menerus, konsisten dalam semangat dan stabil walupun terjadi
perubahan-perubahan. Jadi kelembagaan yang berkelanjutan mencakup aturan (rules) dan peran (roles). Strategi pemilihan alternatif terbaik yang memungkinkan keadaan masyarakat menjadi lebih baik sesuai kemampuan dan memanfaatkan kondisi
Menurut Derick W. Brinkerhoff dan Arthur A. Goldsmith (1992: 371-380),
Pengembangan kelembagaan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh (1) partisipasi
dari masing-masing individu masyarakat (stakeholder); (2) Kinerja yang baik secara berkelanjutan; (3) Dapat mengantisipasi kompleksitas permasalahan yang tidak
dapat dielakkan dengan usaha pengembangan diri; (4) Ditegakkannya kewibawaan
aturan hukum.
Kemampuan penduduk dalam menguasai lingkungan sosialnya harus
didukung dengan pengembangan kemandirian setiap anggota masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan. Dan bentuk partisipasi tersebut tidak hanya
dimonopoli oleh suatu kelompok/kelembagaan tertentu saja, tetapi harus secara
bersama-sama dan merata oleh semua kelompok/kelembagaan yang terlibat di
dalamnya.
Kerangka Pemikiran
Masyarakat Desa Morodemak 100% beragama Islam, sehingga struktur
sosial masyarakatnya didominasi oleh nilai-nilai keagamaan. Kondisi masyarakat
Desa Morodemak yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan,
dimanfaatkan oleh para juru kampanye untuk mencapai tujuan dan kepentingan
partai politik mereka. Peran tokoh agama sangat berpengaruh dalam struktur sosial
politik di Desa Morodemak. Berawal dari kepentingan politik masa orde baru
berkuasa, terjadilah konflik antar tokoh masyarakat (aparat desa) yang pro-“kuning”
dengan tokoh agama yang “hijau”, sehingga hubungan antara tokoh aparat desa dan
tokoh agama kurang baik. Hal ini berimbas pada masyarakat, mereka lebih percaya
dan menghormati tokoh agama daripada tokoh aparat desa yang mereka anggap
pro-“kuning”. Peran tokoh agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam
membentuk norma dan perilaku masyarakat yang mementingkan nilai-nilai
keagamaan saja untuk melanggengkan kepentingan politik mereka, sehingga yang
muncul dalam pandangan masyarakat, bahwa aparat desa dan semua program
pembangunan sarana dan prasarana desa adalah tanggung jawab pemerintah yang
mendukung GOLKAR.
Secara struktur, runtuhnya pemerintahan orde baru dengan sebab reformasi
telah meninggalkan tiga jenis kemiskinan di Desa Morodemak, yaitu (1) kemiskinan
keterbatasan sarana dan prasarana desa;(2) kemiskinan kultural berupa norma dan
perilaku masyarakat yang hanya mementingkan agama;(3) Kemiskinan struktural
Kemiskinan merupakan suatu keadaan ketidakberdayaan memanfaatkan
potensi tenaga, mental maupun fisiknya untuk memelihara diri sesuai dengan taraf
kehidupan yang berlaku disekitarnya (Soekanto, 2002:365). Kompleksitas
permasalahan kemiskinan dan keterbelakangan yang disebabkan oleh faktor natural
(alami), faktor struktural maupun faktor kultural telah mendominasi karakteristik
masyarakat nelayan, sehingga tingkat kesejahteraan menurun dan potensi
kemampuan untuk mengembangkan diri secara swadaya terhambat.
Bermacam-macam program pembangunan telah digulirkan oleh pemerintah
untuk mengentaskan kemiskinan yang melilit kehidupan nelayan, mulai dari IDT
(Inpres Desa Tertnggal), PEMP (Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir),
P3EMDN (Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Desa Nelayan) dan PPK
(Program Pengambangan Kecamatan). Victor P.H. Nikijuluw (2001:32)
menambahkan keseluruhan program dan pendekatan yang dilakukan untuk
meningkatkan pendapatan nelayan dan mengentaskan mereka dari kemiskinan ,
seperti: motorisasi armada perikanan, pengembangan kelompok usaha bersama,
rehabilitasi lingkungan, pengembangan koperasi perikanan, Protekan 2003 dan
lain-lainnya, diibaratkan seperti membuang garam di laut. Hasilnya tidak pernah
membekas dan tidak pula berdampak sesuai dengan yang diinginkan.
Ketidakberhasilan program pembangunan yang telah digulirkan oleh
pemerintah selama ini kurang memperhatikan kebutuhan yang semestinya dipenuhi,
yaitu melibatkan masyarakat pesisir dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat
dalam pembangunan merupakan suatu hal yang sangat penting, agar muncul dalam
hati masyarakat sikap benar-benar merasa memiliki dan memelihara hasil-hasil
pembangunan.
Hambatan pertama yang dialami untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat
adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi masyarakat
dalam pembangunan oleh pihak perencana, pelaksana dan penentu kebijakan.
Definisi partisipasi masyarakat yang berkembang di kalangan perencana, pelaksana
dan penentu kebijakan adalah masyarakat harus ikut berpartisipasi untuk
mendukung secara mutlak program-program pembangunan yang telah dirancang
dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dikesankan oleh mereka sebagai usaha memobilisasi masyarakat
untuk mendukung program pembangunan yang mereka inginkan (Sutrisno,
1995:207-208). Masyarakat tidak merasa dilibatkan dan tidak merasa memiliki
berpartisipasi, apalagi berkorban dengan suka rela untuk pembangunan. Akibatnya
program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, banyak yang tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat, sehingga menjadi tidak terpakai dan
percuma. Seharusnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan mempunyai
pengertian bahwa masyarakat bersama-sama pemerintah dibantu oleh swasta,
perguruan tinggi dan LSM dalam merencanakan, malaksanakan dan membiayai
pembangunan.
Hambatan kedua yang menyebabkan lemahnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan adalah berkembangnya norma ditengah masyarakat yang
kurang mendukung terhadap program pembangunan. Kecenderungan munculnya
pola pikiran yang berkembang ditengah masyarakat, bahwa pemerintah sebagai
badan amal yang setiap tahun datang membantu dengan gratis dan cuma-cuma. Jika ada program bantuan dana pengembangan yang seharusnya bergulir dari
masyarakat yang satu dengan yang lain, ternyata program tersebut seringnya macet
dan tidak jelas kelanjutannya. Adanya norma tertentu yang berkembang ditengah
masyarakat, sehingga masyarakat merasa enggan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan.
Lemahnya partisipasi masyarakat dalam sistem kelembagaan swadaya
menyebabkan sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan tidak berfungsi
dengan baik. Tidak berfungsinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat,
menyebabkan masyarakat nelayan belum mampu memperbaiki kehidupan sosial
dan ekonomi mereka. Tidak berkembangnya keswadayaan masyarakat nelayan
mengakibatkan mereka tetap terbelit dalam kemiskinan.
Untuk itu diusulkan suatu bentuk sistem kelembagaan swadaya
berkelanjutan masyarakat nelayan di Desa Morodemak, agar mereka mau ikut
berpartisipasi. Langkah-langkah strategis perlu dirumuskan untuk pengembangan
bentuk sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan, sehingga mampu
melindungi dan memperjuangkan aspirasi mereka secara berkelanjutan dalam
pembangunan.
Secara diagramatis kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2 Diagram Alur Berpikir Faktor Natural Faktor Struktural Faktor Kultural Rezim Orba “Kuning” Tokoh Agama “Hijau” Historis Struktur Sosial Politik KEMISKINAN Sarana dan Prasarana Desa tidak diperhatikan pemerintah
Norma dan perilaku masyarakat yang hanya
mementingkan agama
Program Pemerintah Pengentasan Kemiskinan Program pembangunan
bersifat top down dan kurang memahami
konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan
Norma dan perilaku masyarakat yang terkesan kurang mendukung program pembanguanan Lemahnya Partisipasi Masyarakat
Tidak Berfungsinya Sistem Kelembagaan Swadaya Masyarakat
KEMISKINAN
Usulan Bentuk Sistem Kelembagaan Swadaya Mayarakat Nelayan Desa
Morodemak
Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan Swadaya SISTEM KELEMBAGAAN SWADAYA BERKELANJUTAN SEBAGAI MEDIA
PARTISIPASI MASYARAKAT NELAYAN DESA MORODEMAK
DALAM PEMBANGUNAN konflik
Kurangnya sarana dan aktivitas alih teknologi, ilmu pengetahuan dan
ketrampilan
Norma dan perilaku masyarakat yang apatis terhadap Pembangunan Fasilitas Umum Desa
Kelembagaan Keluarga Kelembagaan Agama Kelembagaan Pendidikan Kelembagaan Ekonomi Pol Kelembagaan Hukum Lemahnya Keswadayaan
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Desa Morodemak Kecamatan Bonang
Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah selama 3 bulan, yaitu pada Maret 2005
sampai dengan bulan Mei 2005. Desa Morodemak dipilih sebagai lokasi penelitian,
karena cukup beralasan, yaitu: (1) Desa Morodemak merupakan desa yang
termiskin di Kecamatan Bonang; (2) Mayoritas penduduk Desa Morodemak sebagai
nelayan; (3) Desa Morodemak telah banyak mendapatkan bantuan program
pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan, namun diduga belum dapat
berhasil.
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif
dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus digunakan dalam
penelitian ini, karena (1) Peneliti hanya memiliki sedikit peluang dan waktu yang
terbatas untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki di lapangan; (2)
Fokus penelitian berupa fenomena kontemporer (masa kini) didalam konteks
kehidupan yang nyata, yaitu kehidupan masyarakat nelayan di Desa Morodemak; (3)
Mengacu pada strategi penelitian dengan menggunakan pokok pertanyaan
“bagaimana” dan “mengapa” dalam wawancara mendalam (Yin, 2002:1 dan Sitorus,
1998:25-26). Hal ini memungkinkan bagi peneliti untuk memperoleh informasi
tangan pertama mengenai masalah sosial empiris yang hendak dipecahkan sesuai
dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.
Metode studi kasus dalam penelitian ini memiliki strategi pengumpulan data
yang bersifat multi-metode (triangulasi), yaitu wawancara mendalam, pengamatan
dan analisis dokumen (Yin, 2002:118 dan Sitorus, 1998:25).
Penentuan Sampel (Responden dan Informan)
Metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dalam penelitian ini
menggunakan sampel bertujuan (purposive sampel). Penarikan sampel yang dipilih dengan menggunakan cara pemilihan, bahwa jumlah sampel berakhir, jika sudah
terjadi pengulangan informasi. Pada sampel bertujuan ini, jumlah sampel ditentukan
oleh pertimbangan-pertimbangan informasi yang dibutuhkan. Sampel masih
tidak ada informasi yang dapat dijaring dan terjadi pengulangan informasi, maka
penarikan sampel pun sudah dapat diakhiri (Moleong, 2004:166).
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dengan melakukan
pengamatan di lapangan, wawancara mendalam dan mengadakan diskusi (Forum
Diskusi Kelompok). Pengamatan di lapangan dilakukan oleh peneliti dengan
membuat catatan-catatan reflektif dan pengambilan foto-foto, yang nantinya
berfungsi sebagai sumber bukti.
Wawancara mendalam dengan memilih sejumlah responden yang terdiri dari
nelayan, istri nelayan, anak nelayan, tokoh masyarakat nelayan, tokoh pendidikan,
tokoh agama, tokoh politik, dan tokoh ekonomi. Sebagai informan dalam penelitian
ini adalah Kepala Kelurahan Desa Morodemak, kaur pembangunan Desa
Morodemak, kaur pembangunan Kecamatan Bonang, staf lapangan DKP Demak,
staf lapangan bidang ekonomi BAPPEDA Demak, staf lapangan Pedal Demak, staf
lapangan Pemberdayaan Masyarakat Demak dan staf BPS Demak.
Forum diskusi kelompok (FDK) dengan mengundang sejumlah tokoh
masyarakat nelayan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh
pendidikan, tokoh ekonomi dan politik, aparat desa serta melibatkan instansi
BAPPEDA Demak, DKP Demak, Pemberdayaan Masyarakat Demak dan
Kecamatan Bonang.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mencari data-data dan
dokumen ke instansi BAPPEDA Kabupaten Demak, Kantor Kecamatan Bonang,
BPS Demak dan buku-buku hasil laporan penelitian yang berkaitan dengan tema
sebagai sumber literatur data.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Setelah melakukan pengumpulan data berupa pengamatan lapangan,
wawancara mendalam dan analisis dokumen, peneliti membuat catatan harian
lapangan yang berisi seluruh kegiatan penelitian di lapangan sejak tanggal 7 Maret
2005 sampai dengan tanggal 18 Mei 2005. Catatan harian lapangan berisi
penyusunan data mentah hasil pengamatan dan wawancara mendalam kepada
responden dan informan dengan menggunakan tipe catatan asli. Michael Quinn
Patton menyarankan menggunakan tipe catatan asli di lapangan untuk mempelajari
definisi perilaku sosial dan kebudayaan dari dalam. Konseptualisasi akan ditemukan
dengan menganalisis proses kognitif dan struktur kognitif orang-orang yang diteliti,
Kemudian dari catatan harian lapangan sementara tersebut, peneliti menarik
suatu kesimpulan sementara dan membuat kerangka pemikiran dengan proposisi
teori dari beberapa literatur yang berkaitan dengan materi penelitian. Selanjutnya
peneliti mendiskusikan temuan kesimpulan sementara dan kerangka pemikiran
dengan proposisi teori tersebut dalam Forum Diskusi Kelompok.
Hal ini dilakukan peneliti dengan tujuan untuk mengecek keabsahan data.
Keabsahan data merupakan konsep penting untuk menjaga kesahihan (validitas)
dan keandalan (reliabilitas) data (Moleong, 2002: 171). Salah satu cara untuk
menguji data tersebut shahih dan andal, yaitu dengan cara mendiskusikannya.
Forum diskusi kelompok merupakan langkah untuk memulai menjajaki dan menguji
hipotesis yang muncul dari pemikiran peneliti (Moleong, 2002:179).
Selanjutnya peneliti membuat catatan harian lapangan yang lengkap
sebagai bahan untuk membuat kartu-kartu indeks berdasarkan kategori yang
disusun sesuai dengan tema kerangka teoritis yang ada di kerangka pemikiran.
Tabel 5 Jenis Kategori
No Kategori Kode
01 Program Pembangunan Pemerintah PPM
02 Norma, Perilaku, Pola Pemikiran Masyarakat NRM
03 Kondisi Fisik Alam, Sarana dan Prasarana KDF
04 Partispasi Masyarakat PAR
05 Kelembagaan Masyarakat Kelembagaan Rumah Tangga Kelembagaan Pendidikan Kelembagaan Agama Kelembagaan Ekonomi-Politik Kelembagaan Penegakkan Hukum
KLB KLB-RT KLB-PDK KLB-AGM KLB-EKP KLB-PHK
06 Kemiskinan Masyarakat KMS
07 Bentuk Kelembagaan Berkelanjutan BTK
08 Strategi Pengembangan STR
Sumber: Hasil Analsis 2005
Kemudian Kartu-kartu indeks tersebut diberi kode berupa nomor urut satuan data, sumber data sesuai dengan halaman dan alenia yang terdapat di catatan harian lapangan.
Keterangan:
A = Nomor Urut Kartu 010 Hasil Wawancara
B-WCR = Nomor responden 2 (Abdul Ghani dapat dilihat dalam tabel responden
C = Halaman 16 di Catatan Harian Lapangan
D = Alenia ke-5 halaman 16 di Catatan Harian Lapangan E = Kode Jenis Kategori Partisipasi Masyarakat
Keterangan:
A/AMT = Nomor Urut Kartu 001 hasil pengamatan B = Halaman 9 di Catatan Harian Lapangan
C = Alenia ke-5 halaman 9 di Catatan Harian Lapangan D = Kode Jenis Kategori Kemiskinan
Keterangan:
A = Nomor Urut Kartu 021 hasil analisis dokumen B-DOK = Dokumen nomor 7 dalam Tabel Dokumen
C = Halaman 5 dalam Dokumen
D = Kode Jenis Kategori Norma Masyarakat
Kategori dan pengkodean satuan data ini nantinya berfungsi untuk membuat
uraian penafsiran data secara diskripsi kasus per kasus sesuai dengan yang
terdapat dalam alir kerangka pemikiran. Proses penafsiran data pada penelitian ini
dilkakukan dengan cara proposisi teoritis yang menuntun pendekatan studi kasus
(Yin, 2002: 136). Data ditafsirkan berdasarkan rancangan organisasional yang
dikembangkan dari temuan lapangan yang disimpan dalam kartu indeks
kategorisasi dan menghubungkan hal-hal yang ada kaitannya dalam kerangka
proposisi teori yang terdapat di kerangka pemikiran. Rangkaian tahapan metodologi
[image:34.612.112.531.512.727.2]penelitian ini lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
GAMBARAN UMUM DESA MORODEMAK
Wilayah Administrasi
Desa Morodemak merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Bonang, Kabupaten Demak. Desa Morodemak memiliki 5 Dusun, 5 RW dan 24 RT
dengan luas 4,263 Km2. Secara Geografis Desa Morodemak terletak berbatasan
dengan Laut Jawa dan Desa Purworejo disebelah Utara, Desa Margolinduk
disebelah Timur, Kecamatan Karangtengah disebelah Selatan dan Laut Jawa
disebelah Barat.
Tata Guna Lahan
Pola penggunaan lahan di Desa Morodemak dipengaruhi oleh jenis aktivitas
mata pencaharian penduduk yang mayoritas nelayan dan petani tambak,
penggunaan lahan untuk tanah sawah seluas 27,08 ha dan tanah kering termasuk
untuk tambak seluas 399,22 ha.
Penggunaan lahan terbesar di Desa Morodemak adalah untuk tambak
sebesar 233 ha atau 54,7% dan penggunaan lahan untuk pekarangan dan
bangunan sebesar 138,04 ha atau 32,4%, penggunaan sawah telah beralih fungsi
menjadi lahan tambak karena dinilai memberi keuntungan yang lebih besarsecara
ekonomis. Penggunaan lahan Desa Morodemak secara rinci dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 2 Penggunaan LahanDesa Morodemak
Penggunaan Lahan Jumlah Luas (ha)
(%)
Tanah Sawah Tadah Hujan 27,08 6,36
Pekarangan/Bangunan 138,04 32,40
Tegalan/Kebun 0,63 0,15
Padang 0 0
Tebat/Empang 0 0
Tambak 233,00 54,70
Hutan Negara 0 0
Perkebunan Negara/Swasta 0 0
Lainnya (Sungai, jalan, dll) 27,35 6,42
Jumlah 426,10 100,00
Gambar 4 Diagram Batang Tata Guna Lahan Desa Morodemak
Tanah bengkok desa seluas 19 ha, yang tadinya berupa sawah juga dialih
fungsikan menjadi tambak, karena lebih besar harga sewanya sebagai gaji aparat
desa, yang terdiri dari seorang Kepala Desa, seorang Sekretaris desa dan 4 orang
Kepala Urusan
.
Pemerintahan Desa
Desa Morodemak memiliki fasilitas Balai Desa dan Kantor Desa. Kedua
fasilitas tersebut terdapat dalam satu gedung berlantai dua. Bagian atas gedung
digunakan untuk Kantor Kades dan bagian bawah gedung digunakan sebagai Balai
Desa sekaligus tempat untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Luas tanah benkok desa hanya seluas 19 ha dan tidak memiliki tanah kas
desa. Tanah bengkok desa tersebut disewakan sebagai tambak untuk menggaji
aparat desa yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa dan 4 orang Kaur. Desa
Morodemak mempunyai 5 dusun (dukuh), 5 RW dan 24 RT.
Kependudukan
Jumlah penduduk Desa Morodemak mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, pada tahun 2003 mencapai 5.637 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar
1.322 jiwa/km2 dan jumlah penduduk laki-laki (2.815 jiwa) relatif sama dengan
jumlah penduduk perempuan (2.822 jiwa). Jumlah rumah tangga sebanyak 1.467
KK dengan rata-rata anggota rumah tangga 4 orang. Banyaknya kelahiran 158 jiwa
dan kematian 28 jiwa. Jumlah penduduk yang datang 162 jiwa dan yang pergi 18 0
50 100 150 200 250
Tanah Sawah Tadah Hujan
Pkrangn Tegaln Tmbak Lainnya
jiwa. Perkembangan jumlah penduduk Desa Morodemak per tahun dari tahun 1997
[image:37.612.223.418.154.276.2]sampai dengan 2003 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3 Jumlah Penduduk PerTahun Desa Morodemak
Tahun
Jumlah
1997 4.792
1998 4.910
1999 4.953
2000 5.171
2001 5.264
2002 5.363
2003 5.637
Sumber: Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:14-26
Berdasarkan kelompok umur, jumlah penduduk Desa Morodemak terbesar
yaitu kelompok umur 15-64 tahun sebesar 3.588 jiwa, kelompok umur 0-14
sebanyak 1.827 jiwa dan umur 65 keatas sebesar 222 jiwa. data penduduk menurut
kelompok umur dapat dilihat pada tbel berikut:
Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut UmurDesa Morodemak Kelompok Umur Tahun
2000
Tahun
2001
Tahun
2002
Tahun
2003
0-14 2.105 1.954 1.301 1.827
15-64 2.783 3.198 3.946 3.588
65+ 217 112 166 222
Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003
Gambar 5 Diagram Batang Penduduk Menurut Kelompok Umur 0
500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000
0-14 th 15-64 th > 65 th
[image:37.612.170.488.434.729.2]Mata Pencaharian Penduduk
Sektor perikanan merupakan sektor yang sangat dominan di Desa
Morodemak. Hal ini sesuai dengan karakteristik desa, yaitu sebagai desa pesisir.
Sebagian besar masyarakat Desa Morodemak berprofesi sebagai nelayan atau
profesi lain yang masih ada berkaitannya dengan sektor perikanan. Sebanyak 1.513
orang atau 26,84% dari seluruh penduduk Desa Morodemak bermata pencaharian
sebagai nelayan. Ada juga yang bermatapencaharian sebagai pengusaha, buruh
industri, pedagang, sopir angkutan, dan lainnya.
Perekonomian di Desa Morodemak sangat tergantung dari pendapatan
sumberdaya perikanan dan lautan. Sektor perikanan di Desa Morodemak ini
didukung oleh keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Moro Kabupaten Demak,
yang berada di Desa Purworejo. Tempat pelelangan ikan ini sebagai tempat untuk
memasarkan hasil tangkapan ikan dari para nelayan. Nelayan yang menggunakan
jasa TPI ini tidak hanya nelayan dari Desa Morodemak tetapi juga nelyan dari
desa-desa pesisir lain yang terdapat di Kecamatan Bonang, bahkan ada juga nelayan dari
Jawa Timur.
Selain mata pencaharian masyarakat Desa Morodemak yang didominasi
oleh nelayan, juga diantara mereka bekerja sebagai bakul ikan, pengusaha ikan
asin, pemanggangan ikan, bandeng presto, trasi udang, krupuk udang, krupuk ikan,
pedagang (bakul di pasar, kios, warung, toko atau jualan keliling). Ada juga yang
bekerja sebagai kuli panggul di TPI, penyeberangan perahu, buruh angkutan, sopir,
buruh bangunan, ojek, perbaikan alat tangkap dan kapal. Mata pencaharian
penduduk Desa Morodemak, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5 Jumlah Penduduk Menurut Mata PencaharianDesa Morodemak
Mata Pencaharian
Jumlah (%)
Petani Sendiri 206 3,65
Buruh tani 173 3,07
Nelayan 1.513 26,84
Pengusaha 21 0,37
Buruh Industri 24 0,42
Buruh Bangunan 111 1,96
Pedagang 56 0,99
Angkutan 43 0,76
Pegawai Negri/ABRI 10 0,17
Pensiunan 13 0,23
Lainnya 1896 33,63
Gambar 6 Diagram Batang Mata Pencaharian Penduduk
Peranan kepala rumah tangga yang harus menghidupi keluarganya dipegang
oleh suami yang bekerja sebagai nelayan atau pekerjaan lain yang masih ada
kaitannya dengan bidang perikanan. Kebanyakan kondisi perekonomian keluarga
nelayan belum dapat memenuhi kebutuhan hidup, maka peran istri nelayan
membantu mencari alternatif pekerjaan lain untuk membantu pendapatan keluarga
sebagai penjual ikan di TPI Moro, usaha rumah tangga berupa pembuatan ikan asin,
panggang ikan, kerupuk udang, trasi, bandeng presto, dan lainnya.
Gambar 7 Usaha Rumah Tangga Istri Nelayan (On Farm)
Ada sebagian masyarakat Desa Morodemak yang bermatapencaharian
sebagai sopir angkutan, buruh bongkar muat TPI, penyeberangan perahu, ojek roda
tiga, memperbaiki perahu, mesin serta alat tangkap dan berjualan sayur keliling
kampung dengan sepeda.
Gambar 8 Pekerjaan Masyarakat Desa Morodemak (Off Farm)
0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000
Petani
Buruh Tani Nelayan
Pengusaha Buruh Industri
Buruh Bangunan
PedagangAngkutanPNS/ABRIPensiunanLainnya
Tingkat Pendidikan
Rata-rata penduduk Desa Morodemak berpendidikan relatif rendah, yaitu
sebagian besar hanya tamatan SD. Jumlah penduduk yang tamat SD mencapai
2.021 orang atau 35,85% dari keseluruhan jumlah penduduk Desa Morodemak.
Penduduk yang berpendidikan tidak tamat SD sebesar 666 orang (11,81%), SLTP
571 orang (10,13%), SLTA 149 orang (2,64%) dan Akademi/Perguruan Tinggi hanya
38 orang (0,67%). Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan secara rinci dapat
[image:40.612.157.497.245.615.2]dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Morodemak Tingkat Pendidikan Jumlah (%)
Tidak/Belum Sekolah 280 4,96
Belum Tamat SD 358 6,35
Tidak Tamat SD 666 11,81
SD 2.021 35,85
SLTP 571 10,13
SLTA 149 2,64
Akademi/PT 38 0,67
Sumber : Kecamatan Bonang Dalam Angka, 2003:30-31
Gambar 9 Diagram Batang Tingkat Pendidikan
Dilihat dari struktur tingkat pendidikan masyarakat Desa Morodemak relatif
rendah, sehingga sumberdaya manusia yang dimiliki oleg Desa Morodemak pun
juga relatif rendah. Hal ini berpengaruh terhadap pola pikir dan perkembangan
ekonomi di masyarakat Desa Morodemak juga lamban. 0
500 1,000 1,500 2,000 2,500
TidakBlm Sekolah
BLU Tamat SDTidak Tamat
SD SLP SLTA
Akademi/PT
Agama
Penduduk Desa Morodemak sebanyak 5.637 jiwa seluruhnya 100%
memeluk agama Islam. Pola kehidupan mereka sangat agamis, walaupun diantara
mereka masih banyak yang belum menjalankan ajaran agama secara benar. Untuk
menam