• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buah Lindur (Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku Pembuatan Beras Analog dengan Penambahan Sagu dan Kitosan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Buah Lindur (Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku Pembuatan Beras Analog dengan Penambahan Sagu dan Kitosan"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

BUAH LINDUR (Brugueira gymnorrhiza) SEBAGAI BAHAN

BAKU PEMBUATAN BERAS ANALOG DENGAN

PENAMBAHAN SAGU DAN KITOSAN

TAUFIK HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Buah Lindur (Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku Pembuatan Beras Analog dengan Penambahan Sagu dan Kitosan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Taufik Hidayat

NRP C351114031

*

(4)
(5)

RINGKASAN

TAUFIK HIDAYAT. Buah Lindur (Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku Pembuatan Beras Analog dengan Penambahan Sagu dan Kitosan Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH dan NURJANAH

Indonesia merupakan negara dengan rata-rata konsumsi beras tertinggi di dunia. Ketergantungan Indonesia terhadap beras sungguh memprihatinkan. Rata-rata konsumsi beras Indonesia mencapai 139,5 kg/kapita/tahun jauh dari konsumsi beras dunia hanya mencapai 60 kg/kapita/tahun, sehingga sumberdaya karbohidrat selain beras menjadi terabaikan. Upaya untuk mengatasi ketergantungan terhadap beras adalah menciptakan produk pangan yang sama dengan beras dan kebiasaan masyarakat Indonesia yaitu beras analog. Beras analog adalah beras yang terbuat dari sumberdaya karbohidrat non padi. Bahan baku yang dapat digunakan untuk pembuatan beras analog adalah buah lindur. Buah lindur (Brugueira gymnorrhiza) merupakan salah satu jenis bakau yang hidup di wilayah pesisir dan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan karena mengandung karbohidrat yang cukup tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi tepung buah lindur, mengkarakterisasi tepung buah lindur, mengaplikasi tepung buah lindur dalam pembuatan beras analog, memilih formula terpilih beras analog dengan uji hedonik, dan karakterisasi beras analog terpilih secara fisika kimia. Penelitian dibagi tiga tahap yaitu proses pembuatan dan karakterisasi tepung, formulasi beras analog, dan karakterisasi produk. Proses pembuatan beras analog ini dilakukan dengan teknologi ekstrusi dengan suhu tinggi. Komponen pembuatan beras analog juga ditambahkan tepung sagu dan kitosan agar mengurangi kelengketan beras analog.

Tepung lindur yang dihasilkan pada penelitian ini mengandung karbohidrat sebesar 86,10%, tanin sebesar 0,216%, total gula 14,75%, HCN 1,98 ppm, amilosa 29,96%, dan daya serap air sebesar 0,81%. Sifat fisik tepung buah lindur lindur mempunyai daya cerah yang hampir mendekati 100 mempunyai suhu gelatinisasi dimulai pada 69ºC dan puncak gelatinisasi pada suhu 82,5ºC. Tepung lindur yang dihasilkan aman dikonsumsi karena kandungan logam berat masih diambang batas standar yang telah ditetapkan SNI. Formulasi terpilih untuk karakterisasi beras analog adalah kombinasi tepung lindur 70%, sagu 30%, dan penambahan kitosan sebesar 0,5%. Beras analog terpilih mempunyai warna kecoklatan nilai karbohidrat sebesar 81,58%, serat pangan enzimatis sebesar 8,16%, amilosa sebesar 20,36%, kalori sebesar 324 kal, dan mempunyai daya cerna pati sebesar 55,22%.

(6)
(7)

SUMMARY

TAUFIK HIDAYAT. Fruit Lindur (Brugueira gymnorrhiza) as Raw Material Preparation Analog Rice with Sago and Chitosan Addition. Supervised by PIPIH SUPTIJAH and NURJANAH

Indonesia is a country which has the highest average of rice consumption in the world. Their dependence on rice might be apprehensive. Indonesia’s average consumption of rice reached 139.5 kg/capita/year, much higher than the world’s which only reached 60 kg/capita/year. As a result, the other carbohydrate resources become neglected. One of the ways to overcome the dependence on rice is creating a food product that similar to rice and the habits of Indonesian people. One of them is analog rice. Analog rice is rice made from non-rice carbohydrate resources. The raw material that suitable to produce analog rice is lindur fruit. Lindur fruit (B.gymnorrhiza)is one of mangrove species that live in coastal areas, very potential to be developed as a comestible because high carbohydrate.

This study was aimed to produce lindur fruit powder, characterize lindur fruit powder, apply lindur fruit powder in the manufacture of analog rice, determine the formula of analog rice by hedonic test, and characterize the selected analog rice by their physical and chemical properties. The study was divided into three phases, specifically the production and characterization of powder, formulation of analog rice, and characterization of end product. The analog rice was made with high temperature extrusion technology. Sago starch and chitosan were also added in analog rice ingredients to increase its nutrient content.

Lindur powder that produced in this study was contain 86.10% carbohydrate, 0.21% tannin, 14.75% sugar, 1.98 ppm HCN, 29.96% amylose, and 0.81% water absorption capacity. The physical properties of lindur has brightness close to 100, gelatinization temperature started at 69oC and reached climax at 82.5oC. Lindur powder that produced in this study was safe to eat because the heavy metal content was still acceptable in accordance with SNI standard threshold. The selected formulation for the characterization of analog rice is a combination of 70% lindur powder and 30% sago with the addition of 0.5% chitosan. The selected analog rice has a brownish color. It contains 81.58% carbohydrate, 8.16% enzymatic dietary fiber, 20.36% amylose, 324 kal calorie, and has starch digestibility by 55.22%.

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

BUAH LINDUR (Brugueira gymnorrhiza) SEBAGAI BAHAN

BAKU PEMBUATAN BERAS ANALOG DENGAN

PENAMBAHAN SAGU DAN KITOSAN

TAUFIK HIDAYAT

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Mala Nurilmala SPi MSi

(13)

Judul Tesis : Buah Lindur (Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku Pembuatan Beras Analog dengan Penambahan Sagu dan Kitosan Nama : Taufik Hidayat

NIM : C351114031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Dra Pipih Suptijah MBA Prof Dr Ir Nurjanah MS Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan

Dr Tati Nurhayati SPi MSi Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, penulis ucapkan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Taufik dan HidayahNYA kepada penulis hingga selesainya penulisan tesis dengan judul Buah Lindur (Brugueira gymnorrhiza) sebagai Bahan Baku Pembuatan Beras Analog dengan Penambahan Sagu dan Kitosan dalam memperoleh gelar Master pada Program Teknologi Hasil Perairan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Penulisan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, perkenankan penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Dr.Dra. Pipih Suptijah MBA selaku ketua komisi pembimbing dan Prof Dr Ir Nurjanah MS sebagai anggota komisi pembimbing atas nasehat, bimbingan, dan arahannya

2. Dr Tati Nurhayati SPi MSi selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan master

3. Dr Mala Nurilmala SPi MSi selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan masukan kepada penulis

4. Drs Yujasril Raza dan Dra Fatimah Tanjung M.Hum orang tua penulis yang tak henti-hentinya berdoa dan memberikan kasih sayangnya kepada penulis

5. Defit Putra Renofa S.Kom, Inna Mukhaira, Masita Pasca Auliani adik yang selalu menjadi semangat dan pelita hati penulis

6. Marisa Permatasari S,Pi yang selalu menemani sekaligus teman terbaik atas kritik, saran, dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan di S2 THP IPB

7. Dra Lulut Sri Yuliani MM selaku pemerhati industri bakau yang telah banyak memberikan masukan terhadap penelitian ini

8. Balai Besar Pengendalian Pengolahan Hasil Perairan (BBP2HP) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menuntaskan penelitian ini 9. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Departemen

Pertanian yang telah banyak membantu penyelesaian penelitian

10.Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Ditjen Dikti yang telah memberikan Beasiswa Unggulan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di THP IPB

11.Kementerian Keuangan melalui Lembaga LPDP yang telah memberikan beasiswa tesis dan banyak membantu penyelesaian tesis penulis

12.Wakil Rektor 1 Universitas Andalas Dr Febrin Anas Ismail atas bantuan moril dan menandatangani beasiswa penulis

(16)
(17)

14.Keluarga besar di Bandung dan Padang yang selalu memberikan motivasi kepada penulis

15.Tirta, Jenny, dan Yosefin teman-teman Pasca genap THP, terima kasih atas kebersamaanya

16.Teman Pasca THP 2011, 2012, dan 2013 yang telah banyak membantu,memberikan masukan dan saran, terima kasih sudah menjadi saudara yang baik bagi penulis semoga silaturahiim ini tetap kekal

17.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam hal apapun selama penulis kuliah di Bogor, terima kasih semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyelesaian tulisan ini. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk Indonesia dan bagi yang membacanya.

Bogor, Mei 2014

(18)
(19)

DAFTAR ISI

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI TEPUNG BUAH LINDUR 6

Pendahuluan 6

Metode 7

Hasil dan Pembahasan 14

Simpulan 18

3 FORMULASI BERAS ANALOG Pendahuluan

Metode

Hasil dan Pembahasan Simpulan

4 KARAKTERISASI BERAS ANALOG TERPILIH

(20)

DAFTAR TABEL

Karakteristik kimia (logam berat) tepung buah lindur Karakteristik kimia tepung buah lindur 9 Histogram hasil uji kesukaaan (hedonik) warna pada formulasi nasi beras

analog 27

10 Histogram hasil uji kesukaaan (hedonik) aroma pada formulasi nasi beras

analog 28

11 Histogram hasil uji kesukaaan (hedonik) rasa pada formulasi nasi beras

analog 29

12 Histogram hasil uji kesukaaan (hedonik) tekstur pada formulasi nasi beras

(21)

1

1 PENDAHULUAN

Latar belakang

Indonesia menjadi negara yang tingkat konsumsi beras tertinggi di dunia dengan rata rata konsumsi beras sebesar 139,5 kg/tahun/kapita melebihi rata-rata konsumsi beras dunia yang hanya 60 kg/tahun/kapita (BPS 2013). Tahun 2013 pemerintah menghabiskan anggaran 1,1 triliyun untuk mengimpor beras. Pemerintah terus berusaha mencari alternatif agar Indonesia tidak tergantung pada beras. Salah satu yang diupayakan adalah penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan). Diversifikasi merupakan program dunia yang digalakan pada tahun 2010 untuk kemandirian pangan dalam menuntaskan kelaparan. Diversifikasi pangan juga bertujuan untuk meningkatkan potensi pangan sumberdaya lokal. Upaya ini terus dilakukan, namun sayang sampai saat ini gagal dan banyak menemui kendala. Kendala terbesar adalah sulitnya melepaskan kebiasaan masyrakat Indonesia untuk tidak mengkonsumsi beras dan beralih ke sumber karbohidrat lainnya. Budaya tidak kenyang jika tidak makan nasi ini terus membudidaya sehingga sumber karbohidrat lain terabaikan.

Salah satu upaya agar diversifikasi pangan tidak bertentangan dengan kebiasaan dan budaya masyarakat Indonesia adalah membuat produk pangan yang hampir mirip dengan beras yaitu beras analog. Beras analog/beras tiruan/beras cerdas adalah beras yang dibuat menggunakan sumberdaya lokal selain padi yang nilai karbohidratnya hampir mendekati beras padi (Samad 2003).

Sumber karbohidrat lokal yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan beras analog yang rendah glikemik adalah buah bakau dengan jenis Brugueira gymnorrhiza. B. Gymnorrhiza atau yang dikenal dengan nama buah lindur memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber alternatif bahan pangan baru. Menurut hasil penelitian terbaru menyebutkan bahwa buah lindur mengandung kadar air 62,92%, abu 1,29%, lemak 0,79%, protein 2,11%, dan karbohidrat 32,91% (Seknun 2012). Penelitian yang dilakukan Sadana (2007) pada masyarakat Kampung Rayori Distrik Supriyori Selatan Kabupaten Biak Numfor memberikan informasi bahwa masyarakat telah memanfaatkan buah bakau untuk dimakan terutama lindur yang buahnya dapat diolah menjadi kue. Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sekitar hutan bakau misalnya di Muara Angke Jakarta dan teluk Balikpapan mengkonsumsi

Bruguiera gymnorrhiza dengan cara mencampurkannya dengan nasi (Haryono 2004). Penelitian yang dilakukan oleh IPB bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa kandungan energi buah lindur sebesar 371 kalori/100 g lebih tinggi dari beras (360 kalori/100 g) dan jagung (307 kalori/ g). Kandungan karbohidrat buah mangrove sebesar 85,1 g/100 g lebih tinggi dari beras (78,9 g/100 g) dan jagung 963,6 g/100 g) (Fortuna 2005). Kandungan karbohidratnya yang tinggi, kemudahannya beradaptasi di habitat dan kemampuannya berbuah sepanjang tahun memberikan nilai tambah buah ini untuk dikaji lebih lanjut.

(22)

2

untuk digunakan sebagai pengganti beras. Keuntungan sagu dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya adalah tanaman sagu atau hutan sagu sudah siap dipanen bila diinginkan. Pohon sagu dapat tumbuh dengan baik di rawa-rawa dan pasang surut, dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar tumbuh. Syarat-syarat agronominya juga lebih sederhana dibandingkan tanaman lainnya dan pemanenannya tidak tergantung musim.

Kandungan kalori pati sagu setiap 100 g ternyata tidak kalah dibandingkan dengan kandungan kalori bahan pangan lainnya. Perbandingan kandungan kalori berbagai sumber pati adalah (dalam 100 g): jagung 361 Kalori, beras giling 360 kalori, ubi kayu 195 kalori, ubi jalar 143 kalori dan sagu 353 kalori. Pohon sagu banyak dijumpai diberbagai daerah di Indonesia, terutama di Indonesia bagian timur dan masih tumbuh secara liar. Luas areal tanaman sagu di dunia diperkirakan kurang lebih 2.200.000 ha, 1.128.000 ha diantaranya terdapat di Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 7.896.000–12.972.000 ton pati sagu kering/tahun.

Teknologi pengolahan pohon sagu menjadi pati sagu, di Indonesia masih dilakukan secara tradisional dan hanya beberapa daerah misalnya Riau, Jambi dan Sumatra Selatan yang menggunakan semi mekanis dalam mengekstraksi pati sagu. Pengolahan empulur pohon sagu secara tradisional menghasilkan pati sagu bermutu lebih rendah dibandingkan dengan pengolahan secara semi mekanis dan mekanis, padahal komoditi pati sagu juga dapat dijadikan komoditi ekspor. Negara pengimpor membutuhkan puluhan ribu ton pati sagu tiap-tiap tahunnya untuk dibuat sirup glukosa, sirup fruktosa, sorbitol dan lain-lain.

Menurut Kementrian Pertanian (2013) luas areal tanaman sagu di dunia lebih kurang 2.187.000 hektar, tersebar mulai dari Pasifik Selatan, Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sebanyak 1.111.264 hektar diantaranya terdapat di Indonesia. Daerah yang terluas adalah Irian Jaya, menyusul Maluku, Sulawesi, Riau, Kalimantan, Kepulauan Mentawai, dan daerah lainnya. Luas areal sagu adalah 850.000 hektar dengan potensi produksi lestari 5 juta ton pati sagu kering per tahun. Luas areal sagu tidak kurang dari 740 ribu hektar dengan perkiraan produksi 5,2–8,5 juta ton pati sagu kering per tahun. Sumber pati, sagu mempunyai peranan penting sebagai bahan pangan. Pemanfaatan sagu sebagai bahan pangan tradisional sudah sejak lama dikenal oleh penduduk di daerah penghasil sagu, baik di Indonesia maupun di luar negeri, misalnya Papua Nugini dan Malaysia. Produk-produk makanan sagu tradisional dikenal dengan sebutan papeda, sagu lempeng, buburnee, sagu tutupala, sagu uha, sinoli, bagea, dan sebagainya. Sagu juga digunakan untuk bahan pangan yang lebih komersial misalnya roti, biskuit, mie, sohun, kerupuk, hunkue, bihun, dan sebagainya.

Beras analog berbasis lindur dan sagu dapat ditambahkan dengan bahan pengikat dan penstabil alami yaitu kitosan. Kitosan merupakan turunan polisakarida yang berasal dari limbah udang. Pemanfaatannya bagi industri pangan di Indonesia belum banyak diaplikasikan. Kitosan dapat digunakan sebagai penstabil, pengental pengemulsi dan pembentuk lapisan pelindung jernih pada produk pangan. Sajomsang (2010) menyatakan bahwa kitosan adalah polisakarida alami kedua terbesar setelah selulosa yang bersifat biodegradable

dan tidak beracun.

(23)

3

sehingga kitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ornum 1992). Kitosan memiliki sifat yang sama dengan bahan pembentuk tekstur sintetis misalnya karboksimetilselulosa (CMC) yang dapat memperbaiki penampakan dan tekstur suatu produk karena memiliki daya pengikat air dan minyak yang kuat dan tahan panas. Manfaat dari kitosan yang sudah diteliti, mulai dari bidang pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian, dan sebagainya.

Informasi yang minim mengenai buah bakau lindur serta kandungan gizi dan pemanfaatanya, potensi sagu yang cukup besar namun konsumsinya rendah, dan pemanfaatan kitosan yang memiliki banyak keunggulan maka penelitian mengenai beras analog berbasis lindur, sagu, dan penambahan kitosan sangat penting untuk dilakukan.

Roadmap Penelitian

Penelitian buah lindur sebagai bahan baku pembuatan beras analog belum pernah dilakukan. Referensi terdahulu mengenai penelitian buah lindur juga sangat minim. Tanaman lindur yang banyak dijadikan objek penelitian adalah bagian daun dan batang. Penelitian daun lindur lebih difokuskan kepada nutrasetika dan farmasetika, sedangkan bagian batang banyak diarahkan sebagai pewarna dan kayu bakar. Penelitian buah lindur lebih difokuskan kepada produk pangan dan functional food. Rodmap penelitian buah lindur dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Roadmap penelitian buah lindur

Peneliti Aspek penelitian Tahun

Utari Analisis jaringan dan

edible film

2012

Selviyani Pembuatan brownies 2012

Helmy Pembuatan bioethanol 2012

Seknun

Bestura Pembuatan biscuit 2012

Syukria

Monneruzaman M et al. Variasi temporal dalam produksi serasah

(24)

4

Penelitian tentang beras analog mulai dikenal pada tahun 1954 di India. Petani dari India dan Pakistan memperkenalkan beras beraroma unik dan bulirnya panjang yang sampai saat ini dikenal sebagai beras Basmati. Penelitian beras analog kemudian berkembang pada tahun 1970. Peneliti Jepang menemukan formula pembuatan beras analog menggunakan sumber karbohidrat lokal yang dicampurkan dengan zat-zat yang sangat berguna bagi tubuh. Paten Yoshida et al

(1971); Katsuya et al. (1971) telah berhasil mencampurkan sumber karbohidrat dengan fortifikan mineral menggunakan teknologi granulasi. Pembuatan beras analog dengan metode granulasi semakin berkembang dengan adanya Paten Kurachi tahun 1995 mengenai proses pembuatan dan pemasakan beras analog. Beras analog kemudian berkembang juga di Indonesia dengan adanya sagu mutiara. Teknologi pembuatan beras analog juga semakin berkembang dengan ditemukan teknologi ekstrusi pada tahun 1987. Pembuatan beras analog dengan teknologi ekstrusi dipopulerkan kembali oleh peneliti India Mishra et al. (2012). Proses pembuatan beras analog yang digunakan menggunakan teknologi ekstrusi dengan suhu tinggi. Beras ekstrusi berkembang di Indonesia pada tahun 2012. Penelitian beras analog yang telah dilakukan baik di Indonesia maupun diluar negeri dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Roadmap penelitian beras analog

Peneliti Aspek penelitian Bahan baku Tahun

Basmati

Yoshida et al. Beras teknologi granulasi

Beras , jagung 1971

Katsuya et al. Beras teknologi granulasi

Beras, jagung 1971

Kurachi Beras teknologi granulasi

Beras, jagung 1995

Samad Beras granulasi 2003

Moretii Beras fortifikasi

(25)

5

Rumusan Masalah

Tanaman bakau dari keluarga Bruguiera memiliki ciri-ciri yang mencolok berupa akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup daun penumpu yang meruncing, serta buah yang lonjong ketika masih di pohon (Fortuna 2005). Pemanfaatan buah bakau Bruguira gymnorrhiza selama ini hanya sebatas dijadikan panganan misalnya sayuran, keripik, permen, dan sirup yang memiliki banyak kandungan vitamin C dan vitamin lain.

Buah lindur belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia karena rasanya yang kurang enak, tetapi sebetulnya stoknya sangat berlimpah. Upaya pemanfaatan buah lindur oleh masyarakat selama ini adalah sebagai obat luka, lauk pauk, dan tepung. Tingginya kandungan karbohidrat buah lindur dapat berpotensi sebagai sumber karbohidrat lokal dan sumber pangan baru.

Pengkajian mengenai manfaat buah lindur sebagai sumber karbohidrat lokal dan bahan pangan baru secara ilmiah masih belum dilakukan. Penelitian ini juga mengkombinasikan buah lindur sebagai sumber karbohidrat dengan tanaman sagu. Tanaman sagu juga sangat potensial untuk dikembangkan, namun pemanfaatannya juga belum optimal. Sinergi buah lindur dan sagu dapat dijadikan suatu produk pangan yang kaya nilai gizi yaitu beras analog. Beras analog merupakan produk pangan yang sangat unik karena bentuknya mirip dengan beras. Penelitian ini juga menambahkan kitosan sebagai bahan pengikat alami. Kitosan merupakan polisakarida alami kedua terbesar setelah selulosa. Kitosan yang berasal dari bahan baku limbah udang sangat potensial menjadi bahan pengikat beras analog karena mempunyai nilai kalori yang rendah. Penelitian mengenai beras analog dari buah lindur, sagu, dan kitosan belum pernah dilakukan sehingga penelitian tersebut perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memilih metode terbaik proses dan produksi tepung buah lindur 2. Mengkarakterisasi tepung buah lindur secara fisik dan kimia

3. Memilih formula beras analog terpilih menggunakan uji rating hedonic score

4. Mengkarakterisasi beras analog terpilih secara fisika kimia

Manfaat Manfaat penelitian ini diantaranya:

1. Pengembangan tepung buah lindur sebagai karbohidrat berbasis sumber daya lokal

2. Pengembangan teknologi penepungan

3. Pengembangan teknologi rekayasa bahan pangan 4. Pengembangan kitosan sebagai bahan tambahan pangan

(26)

6

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI TEPUNG BUAH LINDUR

Pendahuluan

Latar belakang

Buah lindur yang dikenal dengan berbagai sebutan lokal tumu, tanjang, putut, tongke, ai-bon, dan kandeka merupakan salah satu buah dari tumbuhan mangrove berdaun besar. Ketinggian tumbuhan lindur dapat mencapai 30 m. Pohon lindur memiliki akar papan dan akar lutut, melebar ke samping di bagian pangkal pohon. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai cokelat. Daun berbentuk elips dengan ujung meruncing, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya dengan bercak-bercak hitam (Glen 2005). Bentuk daun, bunga, dan buah lindur segar dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b) (c)

Gambar 1 Bentuk buah, daun, dan bunga lindur

(27)

7

Penduduk Indonesia bagian timur memanfaatkan buah lindur sebagai sumber pangan pada musim paceklik tiba (Glen 2005).

Peningkatan nilai tambah dan ekonomi buah lindur dapat dilakukan proses penepungan. Proses penepungan buah lindur dapat memperpanjang umur simpan produk. Menurut Purnabasuki (2011) proses penepungan salah satu cara memperkenalkan buah lindur kepada masyarakat agar mudah diingat dan mempermudah proses edukasi untuk mengembangkan buah lindur.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode yang tepat dalam proses pembuatan tepung buah lindur, memproduksi dan mengkarakterisasi tepung buah lindur yang dapat dikembangkan menjadi produk pangan.

METODE

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2013. Preparasi dan pembuatan tepung dilakukan di Kecamatan Wonorejo Jawa Timur. Karakterisasi tepung dilakukan di Laboratorium FMIPA IPB terpadu, di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Laboratorium Pengujian, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah buah lindur yang berumur panen tua warna hijau dan kelopak buahnya merah. Bahan untuk analisis terdiri dari larutan NH4OH, H2SO4, HCl, H3BO3, HgO, K2SO4, air destilata, larutan NaOH-Na2SO3, heksana, larutan NaOH, larutan K2SO4 10%, KI, HCl, AgNO3, Na2CO3, Na2S2O3, reagen Folin Ciocalteu, etanol (teknis), dan alkohol 95%.

Alat yang digunakan adalah baskom, pisau, oven, cabinet dryer, spektrofotometri, tabung ependorf, labu kjeldahl, sokhlet, cawan porselen, Erlenmeyer, Bunsen, Chromameter (Minolta), dan Brabender Amylograph (Unit).

Metode Penelitian

(28)

8

amilografi. Diagram alir Proses pembuatan tepung buah lindur dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Lindur (*Modifikasi Sarofa et al 2012)

Prosedur analisis

Analisis Fisik

Analisis warna (Firmansyah dan Adawiyah 2003)

Warna tepung ditentukan menggunakan alat chromameter CR-310. Warna tepung dibaca dengan detektor digital, lalu angka hasil pengukuran akan terbaca pada layar. Beberapa jenis kombinasi sistem warna dapat disajikan oleh alat ini. Dalam penelitian ini diukur nilai-nilai L, a, dan b dengan ditambah nilai hº (hue).

Analisis fisik

-Warna

-Daya serap air -Amilografi dan viskositas Analisis kimia

-proksimat -Total gula -Tanin -HCN -Amilosa -Amilografi Buah lindur

Penyortiran

Perebusan dengan suhu 100°C selama 5 menit

Pengupasan kulit

Perendaman dengan air selama 12 jam*

Pencacahan

Pengeringan dengan sinar matahari sampai kering*

Penggilingan dengan mesin giling dan pengayakan ukuran 100 mesh*

(29)

9

L menunjukkan kecerahan dengan kisaran antara 0–100, nilai a merupakan warna campuran merah-hijau dengan a positif (+) antara 0–100 untuk warna merah dan a negatif (-) antara 0–(-80) untuk warna hijau, nilai b merupakan warna campuran kuning-biru dengan b positif (+) antara 0–70 untuk warna kuning dan b negatif antara 0–(-80) untuk warna biru, sedangkan nilai °(hue) menyatakan parameter kisaran warna.

Analisis Kimia

Analisis logam berat (APHA 1998)

Penentuan kandungan logam berat terbagi atas beberapa tahap yaitu destruksi, pembacaan absorbans contoh, dan perhitungan kandungan logam berat. Metode analisis dilakukan berdasarkan APHA (1998). Tahap destruksi dilakukan menurut Cantle (1982) dan pembacaan adsorban menggunakan AAS.

Analisis HCN (Sudharmadji et al. 1989)

Sampel ditimbang sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam labu perebus dan ditambahkan aquades sebanyak 100 mL. Labu ditutup rapat dan dibiarkan selama 2 jam, setelah itu ditambah air lagi sebanyak 100 mL. Labu dihubungkan dengan steam destilation dan destilat ditampung dalam labu erlenmeyer yang telah diisi dengan 20 mL NaOH 2,5%. Setelah destilat mencapai 150 mL, destilasi dihentikan. Destilat ditambah 8 mL NH4OH, 5 mL KI 5% dan dititrasi dengan larutan AgNO3 0,02 N sampai terjadi kekeruhan (kekeruhan mudah terlihat bila dibawah erlenmeyer diletakkan kertas karbon hitam). Kadar HCN dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kadar HCN (ppm) = 1000/bobot contoh x mL titran x 0,54

Analisis daya serap air (Beuchat 1977)

Sampel sebanyak 0,5 g ditambah 5 mL akuades diaduk selama 30 detik. Sampel didiamkan selama 30 menit dalam ruangan. Sebanyak 0,15 mL sampel tersebut dimasukkan ke dalam tabung eppendorf. Sampel tersebut disentrifugasi selama 30 menit pada suhu kamar dengan kecepatan 5000 rpm. Setelah terbentuk suspensi, cairan yang tidak larut dalam air atau minyak dipipet dan ditimbang (A). Rumus yang digunakan yaitu:

Daya serap air (%) = (0,15 mL-A)/0,15mL x 100

Analisis tanin (AOAC 1995)

(30)

10

diplotkan terhadap kurva standar asam tanat yang dipersiapkan dengan cara yang sama.

Analisis kadar karbohidrat Luff schrool (AOAC 1995)

Prinsip analisis karbohidrat yaitu glukosa hasil hidrolisis karbohidrat akan mereduksi larutan luff, Cu2O dalam luff yang direduksi menjadi Cu2O sampai

soda. Selanjutnya campuran ditambahkan larutan terusi dan diencerkan hingga 100 mL ke dalam labu ukur sebanyak 2 g sampel kering, lalu dimasukkan sebanyak 200 mL HCl 3% serta batu didih. Labu erlenmeyer dipasang pada pendingin tegak dan dihidrolisis selama 3 jam, larutannya didinginkan dan dinetralkan dengan NaOH dan indikator fenolftalin. Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL, ditambahkan dengan air suling sampai pada tanda tera kemudian disaring. Larutan sebanyak 10 mL dipipet ke dalam labu erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan larutan luff 25 mL serta 15 mL air suling, sedangkan untuk pembuatan blanko dibuat larutan tanpa menambahkan sampel selanjutnya dianalisis. Larutan yang ada dalam labu erlenmeyer dipasang pada pendingin balik dan dididihkan selama 10 menit setelah itu larutan tersebut langsung didinginkan pada air akuades yang mengalir. Larutan KI 30% dan 25 mL H2SO4 25% kedalam larutan yang telah didinginkan. Proses selanjutnya larutan dititrasi sampai reaksi terhenti kemudian dititrasi lagi dengan larutan Na2S2O3 sampai larutan berwarna biru muda. Kadar karbohidrat dapat dihitung berdasarkan rumus:

Kadar karbohidrat = G x P x 100% g

Keterangan:

G = glukosa setara dengan mL Na2S2O3 yang dipergunakan untuk titrasi (mg) setelah gula diperhitungkan

P = Pengenceran g = Bobot sampel (mg)

Pengukuran sifat amilografi (AOAC 1995)

(31)

11

Analisis amilosa (Apriyantono et al. 1989)

Prinsip pengukuran amilosa adalah berdasarkan pembentukan warna biru akibat reaksi amilosa dengan iod yang diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.

Pembuatan kurva standar

Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, lalu ditambahkan etanol 1 mL dan NaOH 1 N sebanyak 9 mL. Larutan standar didiamkan selama 24 jam dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Larutan standar dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 mL lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Masing-masing larutan ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak 0,2;0,4; 0,6; 0,8; dan 1 mL, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 mL. Larutan ditambahakan akuades hingga tanda tera, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, lalu diukur intensitas warnanya dengan spektofotometer pada =620 nm.

Penetapan sampel

Sampel sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, dan ditambahkan 1 mL etanol dan 9 mL NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel didiamkan selama 24 jam dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Sampel didipet 5 mL, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, dan ditambahkan sebanyak 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod. Larutan ditambahkan akuades hingga tanda tera, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warnanya dengan spektofotometer pada =620 nm. Kadar amilosa dihitung berdasarkan persaman garis yang diperoleh dari kurva standar.

Analisis Proksimat

Analisis proksimat dilakukan untuk melihat kandungan gizi dalam tepung lindur. Pengujian proksimat meliput kadar air dengan oven, protein dengan kjedahl, abu dengan trigivonometri, kadar lemak dengan sokhlet, dan karbohidrat dengan by difference.

Kadar air (AOAC 2005)

(32)

12 C: berat cawan + sampel kering (g)

Kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung sokhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi sokhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40ºC dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Saat destilasi pelarut akan ditampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan sebanyak 0,25 g selenium dan 3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi pada suhu 410oC sampai larutan jernih lalu didinginkan, kemudian ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 200 mL maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% N = (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100% Mg contoh x faktor koreksi alat *

% kadar protein = %N x faktor konversi* *) Faktor koreksi alat = 2,5

(33)

13

Kadar abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105oC, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600oC sampai pengabuan sempurna, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus:

% Kadar abu = C - A x 100% B - A

Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (g) B = Berat cawan dengan sampel (g)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)

Analisis kadar serat kasar (AOAC 2005)

Sampel tepung lindur ditimbang sebanyak 2-4 g kemudian sampel dibebaskan dari lemak dengan cara ekstraksi dengan sokhlet. Sampel dituangkan kedalam pelarut organik sebanyak 3 kali dan keringkan sampel, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan 50 mL H2SO4 1,25%, kemudian didihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak dan ditambahkan 50 mL NaOH 3,25%, kemudian dididihkan selama lagi selama 30 menit. Sampel dalam keadaan panas disaring dengan corong bucher yang berisi kertas saring tak berabu (Whatman 54,41) yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat dikertas saring dicuci berturut-turut dengan H2SO4 1,25% panas, air panas dan etanol 96%. Kertas saring beserta isinya diangkat dan dimasukkan kedalam kotak timbangan yang telah diketahui bobotnya, kemudian dikeringkan pada suhu 105ºC dan didinginkan serta ditimbang beratnya hingga konstan. Kadar serat kasarnya jika melebihi dari 1%, maka kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang beratnya hingga konstan. Kadar serat kasar dapat ditentukan dengan rumus berikut.

Serat kasar kurang dari 1%

Serat kasar lebih dari 1%

Analisis karbohidrat (AOAC 2005)

(34)

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterstik Fisik Tepung Buah lindur

Hasil pengujian warna tepung buah lindur dapat dikatan cerah karena nilai kecerahannya hampir mendekati 100. Proses pembuatan tepung yang baik dapat memperbaiki tingkat kecerahan tepung lindur. Tepung lindur yang dihasilkan pada penelitian ini lebih baik dari pada hasil penelitian Seknun (2012) dan Sulistyawati et al. (2012) yang bernilai 76,87 dan sebesar 54,70 (Tabel 3). Menurut Hutching (1999) warna tepung lindur adalah kuning karena °Hue bernilai 76,37. Warna kuning menurut tabel hutching jika ºHue bernilai 54-90. Warna pada tepung lindur dipengaruhi oleh tanin. Tanin memberikan warna kecoklatan pada tepung buah lindur (Hagerman 2002). Tepung buah lindur dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Tepung buah lindur

Daya serap air merupakan salah satu sifat fungsional penting yang dapat menunjukkan adanya interaksi antara air dengan komponen makronutrien, yaitu karbohidrat dan protein yang terdapat pada produk pangan (Santoso et al. 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap tepung lindur yaitu 0,81 mL/g, ini berarti setiap 1 g bahan bisa menyerap air sekitar 0,81 mL (Tabel 3). Daya serap air dipengaruhi oleh kadar air bahan dan rasio antara amilosa dengan amilopektin (Wirakartakusumah dan Febriyanti 1994). Kemampuan menyerap air yang besar pada pati diakibatkan karena molekul pati mempunyai jumlah gugus hidroksil yang sangat besar (Winarno 2002).

Tabel 3 Hasil analisis warna L/a/b tepung buah lindur

Tepung

(35)

15

Profil gelatinisasi pati dengan uji amilografi Brabender menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi tepung buah lindur dimulai pada suhu 69oC dengan waktu selama 26 menit. Viskositas puncak tepung buah lindur berada pada 630 BU dengan suhu puncak berada pada 82,5°C. Tepung sagu mempunyai suhu awal gelatinisasi selama 25 menit pada suu 69,5°C. Viskositas puncak tepung sagu berada pada suhu 73,5°C dengan viskositas puncak 520 BU. Profil Gelatinisasi pati tepung lindur dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4 Profil gelatinisasi tepung lindur

Amilografi Tepung lindur Tepung sagu*

Waktu gelatinisasi (menit) 26±0,01 25

Suhu gelitinasi (°C) 69±0,25 67,5

Waktu puncak (menit) 35±0,01 29

Suhu peak puncak (°C) 82.5±0,04 73,5

Viskositas puncak (BU) 630±0,05 520

Viskositas 93 °C (BU) 480±0,01 Viskositas 93°C setelah 20

menit (BU) dibandingkan granula yang berukuran besar. Penyerapan semakin intensif seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan sehingga menyebabkan granula membesar hingga pada suatu titik pembesaran granula pati bersifat irreversible (tidak dapat kembali ke bentuk semula) (Winarno 2008). Semakin meningkat suhu pemanasan, semakin meningkat pengembangan granula. Pembesaran granula pati menyebabkan peningkatan viskositas larutan pati secara bertahap (Parker 2003). Pati mencapai maksima menyebabkan granula pati pecah sehingga pemanasan lebih lanjut dapat menurunkan viskositas larutan pati dan kurva amilogram membentuk sebuah puncak viskositas (Parker 2003). Adanya fraksi amilosa dalam granula pati membatasi perkembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa pati, semakin kuat ikatan intramolekul (Banks et al. 1973). Viskositas tepung buah lindur mengalami penurunan saat kondisi dipertahankan pada suhu 93°C selama 20 menit yaitu 330 BU, tetapi viskositas semakin meningkat saat suhu diturunkan menjadi 50°C yaitu 780 BU. Hasil amilografi menunjukkan bahwa viskositas puncak berada pada nilai 630 BU, sedangkan untuk suhu viskositas puncak tepung buah lindur berada pada 82,5°C.

(36)

16

puncak dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin yang terkandung. Semakin tinggi kadar amilosa suatu bahan, maka viskositas puncaknya semakin rendah, hal ini disebabkan oleh pengikatan amilosa dengan lemak yang membentuk kompleks pengembangan granula terhambat. Sebaliknya, peningkatan kadar amilopektin akan meningkatkan nilai viskositas puncak (Sang et al. 2008). Pengaruh kadar amilosa dan viskositas maksimum dapat menentukan suhu optimasi ekstrusi pada proses pembuatan beras analog.

Karakteristik Kimia Tepung Buah Lindur

Logam berat merupakan jenis logam misalnya merkuri, krom, cadmium, arsen, dan timbal dengan berat molekul yang tinggi. Analisis logam berat bagi tepung buah lindur sangat penting yaitu untuk menentukan tingkat keamanan tepung tersebut. Tepung buah lindur mengandung Pb yang relatif kecil yaitu kurang dari 0,01. Hasil Pb masih jauh dari ambang batas yang telah ditetapkan oleh BSN tentang cemaran bahan pangan dengan nilai Pb 0,1. Tepung buah lindur juga mengandung Cu, Hg, Sn, dan As yang cukup kecil dengan nilai masing-masing <0,001, <0,0002, <0,01, dan <0,002 (Tabel 5). Pengujian logam berat Cu, Hg, Sn, dan As yang dihasilkan dari tepung buah lindur masih dalam batas aman yang telah ditetapkan BSN sehingga tepung buah lindur aman untuk dikonsumsi.

Tabel 5 Karakteristik kimia (logam berat) tepung buah lindur

No Logamberat dalam bentuk tepung harus memiliki tingkat kadar air yang rendah karena sangat riskan terhadap pertumbuhan jamur selama proses penyimpanan. Menurut hasil penelitian Sulistyawati et al. (2012), selain mempengaruhi terjadinya perubahan kimia, kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan kandungan mikroba pada produk pangan tersebut.

(37)

17

Tabel 6 Karakteristik kimia tepung buah lindur lindur

No Komponen lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Seknun (2012) dan Sulistyawati et al

(2012) yaitu 3,59% dan 5,59%. Menurut Ginting et al. (2005), kadar protein pada tepung selain terigu dikatakan cukup tinggi apabila memiliki nilai diatas 2,5%. Tepung lindur dapat ditingkatkan nilai proteinnya pada produk pangan dengan fortifikasi protein yaitu menambahkan bahan pangan yang kaya nilai protein.

Lemak tepung buah lindur yang dihasilkan adalah 0,31%. Hasil penelitian ini juga lebih baik dari penelitian yang dilakukan Seknun (2012) yang bernilai 0,40% dan hasil penelitian Sulistyawati et al. (2012) yaitu 1,79%. Huang et al

(2009) menyatakan bahwa kerusakan oksidatif pada bahan makanan yang mengandung lemak tinggi merupakan masalah yang penting karena dapat menurunkan kualitas organoleptik, yaitu ketengikan.

Karbohidrat tepung buah lindur yang dihasilkan adalah 86,10%. Nilai karbohidrat penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Seknun (2012) dan Sulistyawati et al. (2012). Menurut Ginting et al. (2005), karbohidrat menyumbangkan lebih dari 50% kalori dengan nilai 4 kkal/g karbohidrat.

Kadar serat kasar yang terdapat dalam tepung buah lindur adalah 0,39%. Hasil ini dapat dikatakan rendah apabila dibandingkan dengan standar persyaratan mutu tepung berdasarkan SNI, yaitu maksimum 4,54%. Rendahnya serat kasar pada tepung buah lindur berbanding lurus dengan rendemen yang didapatkan. Serat kasar yang rendah dapat memperbanyak rendemen suatu produk pangan (Purnabasuki 2011).

(38)

18

adalah 560 mg/kg berat badan/hari. Menurut Crisanty (2012), perlakuan Perendaman dengan air dan perebusan memberikan pengaruh dalam menurunkan kadar tanin. Menurut Hagerman (2002), tanin bukan merupakan zat gizi namun dalam jumlah kecil dapat bermanfaat bagi kesehatan. Frazier et al. (2010) menyatakan bahwa tanin termasuk dalam kelompok polifenol yang berpotensi sebagai antioksidan dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Senyawa ini menimbulkan rasa sepat dalam buah, tetapi mempunyai fungsi memperlancar sistem pencernaan. Sirkulasinya dalam darah berguna untuk menyerang virus (Wirakusumah 1998).

Kandungan HCN yang terkandung pada tepung buah lindur mempunyai nilai sebesar 1,98 ppm. Sebagai zat antinutrisi, keberadaan HCN dalam makanan tidak boleh melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) yaitu 50 ppm. Proses pembuatan tepung buah lindur yang meliputi perebusan, perendaman, dan pengeringan dapat menurunkan HCN dalam buah lindur. Menurut Crissanty (2012), kandungan HCN dapat dikurangi dengan perendaman, perebusan, ekstraksi pati dalam air, fermentasi, penyangraian, pengukusan, dan pengeringan.

Kadar amilosa yang terkandung dalam tepung buah lindur sebesar 29,96%. Data ini lebih rendah dari penelitian Seknun 2012 yang menghasilkan kadar amilosa 31% dan lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan Sulistyawati et al. (2012) yaitu 18,47%. Amilosa yang terdapat pada tepung buah lindur termasuk kelompok amilosa tinggi karena nilai amilosanya lebih dari 25% (Winarno 2008). Nilai amilopektin tepung buah lindur berkisar yaitu 26,08%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Seknun (2012) dengan nilai amilopektin yaitu 26,17.

Hasil perhitungan total gula pada tepung buah lindur adalah 14,75%. Total gula yang terkandung pada tepung buah lindur lebih tinggi dari total gula yang dihasilkan oleh Suarni (2005) dan Putri (2012) masing masing 6,12% dan 7,68%.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa metode pembuatan tepung buah lindur dengan perebusan 100ºC, perendaman dengan air selama 12 jam, pengeringan dengan sinar matahari, dan pengayakan dengan 100

(39)

19

3 FORMULASI BERAS ANALOG

Pendahuluan

Latar Belakang

Beras tiruan adalah beras yang dibuat dari sumber karbohidrat selain padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras (Samad 2003). Menurut Departemen Pertanian Republik Indonesia (2011), beras tiruan adalah pangan pokok yang berbentuk seperti butiran beras padi yang bahan bakunya dapat berasal dari kombinasi tepung pangan lokal dan atau padi. Pembuatan beras tiruan telah dilakukan dengan berbagai teknik, diantaranya yaitu pembuatan dengan teknik granulasi misalnya membuat sagu mutiara dan teknik ekstrusi. Pembuatan beras analog dari buah lindur ini menggunakan teknologi ekstrusi. Menurut Mishra et al. (2012) proses pembuatan beras analog dengan menggunakan teknologi ekstrusi dapat meningkatkan kandungan gizinya. Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing,

dan pembentukan. Bahan pangan dipaksa mengalir di bawah pengaruh kondisi operasi melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi dalam waktu singkat (Fellows 2000). Alat dalam proses ekstrusi disebut ekstruder. Fungsi ekstruder meliputi gelatinisasi, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan pengeringan. Kombinasi satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi.

Munculnya teknologi ekstrusi telah membuka kesempatan bagi pengusaha makanan untuk membuat produk pangan yang mempunyai bentuk dan tekstur yang beraneka ragam. Pemasakan ekstrusi dipakai untuk menggantikan metode pemasakan konvensional karena berbagai sebab: (1) dapat diubah-ubah sehingga mesin yang sama dapat memasakdan mengolah produk yang mempunyai formula berbeda-beda, (2) member bentuk dan tekstur pada hasil produk, (3) kemampuan produksi yang kontinyu, (4) pengoperasian yang efisien dari segi tenaga, energi dan luas pabrik, (5) pasteurisasi produk akhir dan (6) proses dalam keadaan kering dengan sedikit atau tanpa tumpahan (Muchtadi 2008).

(40)

20

Proses ektrusi yang terjadi pada ektruder terdiri dari tiga tahap yaitu pra ekstrusi, ekstrusi dan tahap setelah ekstrusi. Tahap pra-ekstrusi meliputi proses pencampuran, dan penambahan air. Tahap ekstrusi meliputi perlakuan shear and stress pada adonan. Tahap terakhir adalah proses pemberian tekanan ke arah cetakan beras (die). Produk keluar dari die, alat pemotong otomatis akan berputar dan memotong produk sehingga produk akhir akan memiliki bentuk seperti beras. Ekstruder dapat digolongkan berdasarkan jumlah ulirnya menjadi dua kelompok yaitu ekstruder berulir tunggal (single screw extruder) dan ekstruder berulir ganda (twin screw extruder). Penelitian kali ini menggunakan ekstruder berulir tunggal (single screw extruder) yang merupakan hasil rekayasa Balai Besar Pengembangan Pengolahan Hasil Perairan (BBP2HP). Single screw extruder atau ekstruder berulir tunggal memiliki satu buah ulir yang berputar pada barel. Ekstruder berulir tunggal banyak digunakan dalam menghasilkan produk pasta, permen, cookies dan pengembangan produk baru seperti snack, makanan bayi dan produk modifikasi pati. Ekstruder jenis ini paling awal digunakan. Produk yang dihasilkan sangat beragam meliputi snack, pasta, sereal hingga makanan hewan. Ekstruder ulir tunggal dan zona proses ekstrusi dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.

(41)

21

Gambar 5 Zona proses ekstrusi (Widara 2012)

Bahan pengikat yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan. Kitosan adalah produk alami turunan dari kitin, polisakarida yang ditemukan dalam eksoskleton krustacea misalnya udang, rajungan, dan kepiting. Secara kimiawi, kitosan adalah sellulosa seperti serat tanaman yang mempunyai sifat-sifat sebagai serat tetapi memiliki kemampuan untuk mengikat lemak seperti busa penyerap lemak dalam saluran pencernaan. Kitosan tidak dapat dicerna dan mempunyai kalori rendah, tetapi kitosan dapat difungsikan sebagai penyerap dan pengikat lemak sehingga menimbulkan turunnya berat badan, mencegah dan menghambat LDL dan meningkatkan HDL. Stuktur kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 6.

Tujuan

Pn uji hedonik.

METODE

Gambar 6 Stuktur kitin dan kitosan (Suptijah et al. 1992)

Kitosan merupakan polimer linear yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-asetil-D-glukosamin dalam ikatan β-(1-4), tidak toksik

dengan LD50 setara dengan 16 g/kg BB dan mempunyai berat molekul 800 Kda. Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari biopolimer kitosan, maka

semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan (Tang et al. 2007).

(42)

22

hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan menyebabkan kitosan memiliki kemampuan sebagai pengawet dan penstabil warna, sebagai floculant dan membantu proses reverse osmosis dalam penjernihan air, sebagai aditif untuk produk agrokimia dan pengawet benih (Shahidi et al. 1999).

Kitosan adalah polimer glukosamin yang larut dalam asam, tetapi tidak larut asam sulfat pada suhu kamar, juga tidak larut dalam pelarut organik tetapi larut baik dalam pelarut dengan suasana asam. Pelarut kitosan yang baik adalah asam format dengan konsentrasi 0,2% sampai pekat, namun kitosan sering dipakai dengan dilarutkan terlebih dahulu pada asam asetat (Filer dan Wirik 1978). Menurut Knorr (1984) berat molekul kitosan tergantung dari degradasi yang terjadi pada proses pembuatan kitosan.

Kitosan mempunyai sifat mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, mempunyai berat molekul yang tinggi, tidak larut pada pH 6,5 berat molekul rata-rata 120.000 Dalton (Protan Laboratories 1987). Menurut Knorr (1982), kitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik, pengkelat dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Ornum (1992), menambahkan bahwa gugus amino bebas inilah yang banyak memberikan kegunaan pada kitosan. Kitosan akan menjadi polimer kationik bila dilarutkan dalam asam dan membentuk struktur linier sehingga dapat digunakan dalam proses flokulasi, pembentuk film atau imobilisasi dalam beberapa agen biologi termasuk enzim. Bought (1975) menambahkan bahwa karakter kitosan sebagai polielektrolit dapat digunakan untuk bahan pengkoagulan limbah secara fisika dan kimia. Hirano (1989) mengemukakan kelebihan kitin dan kitosan yaitu:

(1) komponen utama biomasa dari kulit udang. (2) sumber daya yang dapat diperbaharui.

(3) senyawa biopolimer yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan.

(4) tidak bersifat toksik (LD50 16 gram per kg berat badan tikus). (5) konformasi molekulnya dapat dirubah.

(6) mempunyai fungsi biologis.

(7) dapat membentuk gel, koloid dan film.

(8) mengandung gugus amino dan gugus hidroksil yang dapat dimodifikasi. Kitosan merupakan kerangka heksosa yang memiliki gugus amin bermuatan, sehingga menunjukan sifat yang unik yaitu bermuatan positif, berlainan dengan polisakarida alam lainnya yang bermuatan negatif atau netral. Boddu et al. (1999) menyatakan bahwa muatan positif pada polimer kitosan mengakibatkan afinitas atau daya tarik menarik yang sangat baik dengan suspensi dalam cairan selulosa dan polimer glikoprotein.

Mengingat banyak bahan memiliki gugus negatif seperti protein, anion polisakarida, asam nukleat, dan lain-lain. Gugus kitosan berpengaruh kuat dengan gugus negatif sehingga membentuk ion netral (Sanford 1989). Kekuatan ion berpengaruh terhadap struktur kitosan dengan kata lain peningkatan kekuatan ion meningkatkan sifat kekakuan matriks kitosan, daya gembung dan ukuran pori-pori matriks, sementara porositas granula dari kitosan berpengaruh terhadap peningkatan keaktifan grup grup amino terhadap kitosan (Suhartono 2000).

(43)

23

menghasilkan beras analog yang mempunyai nilai gizi tinggi yang kaya serat sehingga dapat diaplikasikan kepada functional food di masyarakat.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memilih formulasi terbaik dalam pembuatan beras analog melalui uji rating hedonik.

METODE

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2013. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Balai Besar Pengendalian Pengolahan Hasil Perairan. Pengujian Hedonik di lakukan di Laboratorium Organoleptik IPB.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung lindur yang telah dikarakterisasi. Bahan tambahan yaitu pati sagu, air, dan kitosan.

Alat yang digunakan antara lain timbangan digital, ekstruder ulir tunggal (Berto Industry BEX-DS-2256), pin disc mill (type Y2112M-2 merk Bartex Electric Motor), oven, dan alat bantu (baskom, mixer, sendok pengaduk).

Metode penelitian

(44)

24

Tabel 5 Kombinasi formulasi pembuatan beras analog

Formulasi Beras Analog

Perlakuan kitosan (%)

Tepung buah lindur (%)

Tepung sagu (%) Kode Formulasi

0 80 20 A

Proses tahapan pembuatan beras analog diawali dengan penimbangan sesuai dengan formulasi yang telah ditetapkan. Proses selanjutnya dilakukan pengadukan tepung yang telah ditimbang secara manual selama 5 menit. Tahapan selanjutnya dilakukan penambahan air sebesar 30% dan perlakuan kitosan 0;0,5%; dan 1% dari adonan tepung. Selanjutnya adonan tersebut diaduk manual selama 10 menit. Adonan dimasukan kedalam ekstruder ulir tunggal dengan suhu optimasi 85ºC berdasarkan profil gelatinisasi tepung buah lindur dan tepung sagu. Setelah keluar butiran ekstrudat, dilakukan pengeringan oven dengan suhu 60ºC selama 4 jam. Proses pembuatan beras analog dapat dilihat pada Gambar 7.

Beras analog yang telah dihasilkan dilakukan proses penanakan nasi. Penanakan nasi dilakukan dengan metode pengukusan selama 15 menit. Metode pemasakan beras analog tidak jauh berbeda dengan pemasakan beras biasa. Alat yang digunakan untuk memasak beras analog pada penelitian ini adalah panci kukusan. Cara pemasakannya adalah ukur beras sebanyak 200 mL, kemudian ukur air sebanyak 200 mL (perbandingan 1:1). Air dimasukkan ke dalam panci kukusan dan nyalakan kompor dan didihkan air. Air mendidih, beras analog dimasukkan dalam panci kukusan.Waktu tanak beras analog adalah 15 menit sesuai dengan hasil peneltian Kharunia (2012) bahwa beras analog akan matang dan tergelatinisasi pada waktu 15 menit. Nasi yang telah matang adalah yang sudah tidak memiliki bintik warna putih di tengah dan tekstur yang kenyal.

(45)

25

+

Gambar 7 Pembuatan beras analog (*Modifikasi Budjianto dan Yulianti 2012)

Analisis Data

Rancangan Percobaan (Steel dan Torrie 1993)

Rancangan percobaan yang digunakann dalam pembuatan beras analog adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 taraf, yaitu rasio tepung lindur dengan sagu dan penambahan kitosan. Rancangan acak lengkap (Nested) faktorial menurut Steel dan Torrie (1993) adalah sebagai berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ €ijk Keterangan :

Yijk : nilai pengamatan dari faktor – A taraf ke-I, faktor B taraf ke-J dan ulangan ke-k

µ : nilai tengah umum

Ai : pengaruh faktor A ke- I (I = 1,2) Bi : pengaruh faktor B ke- J (I = 1,2,3)

ABij : pengaruh interaksi antara faktor A ke-i dan faktor B ke-j

€ijk : galat percobaan dari faktorA taraf ke-I, faktor B taraf ke-J dan ulangan ke-K.

Tepung buah lindur Tepung sagu

Penimbangan sesuai formulasi

Pencampuran secara manual selama 10 menit*

Penambahan air sebesar 30%* Penambahan

kitosan sebesar (0%; 0,5;dan

1%)* Pencampuran secara manual selama 10 menit*

Proses ekstrusi dengan ekstruder ulir tunggal suhu optimasi 85°C*

Butiran ekstrudat dikeringkan di oven dengan suhu 60°C selama 4 jam

(46)

26

Hipotesis

H0: Proporsi tepung buah lindur dengan tepung sagu dan pemberian perlakuan kitosan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik beras analog

H1: Proporsi tepung buah lindur dengan tepung sagu dan pemberian perlakuan kitosan memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik beras analog

(47)

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen

Pembuatan beras analog dengan menggunakan teknologi ekstrusi menghasilkan data rendemen sebgaia indikator produktivitas beras analog yang dihasilkan. Nilai rendemen juga menunjukkan adanya konversi bahan menjadi produk selama proses berlangsung. Hasil rendemen beras analog dapat dilihat pada Gambar 8.

Keterangan: A0 = kombinasi 80% tepung lindur, 20% tepung sagu, kitosan 0% A0,5= kombinasi 80% tepung lindur, 20% tepung sagu, kitosan 0,5%

(48)

28

dalam die dan semakin banyak gelatinisasi adonan yang terjadi maka rendemen yang dihasilkan juga semakin besar.

Analisis Sensori Nasi Beras Analog

Warna

Warna merupakan salah satu faktor visual yang menentukan penerimaan dari suatu produk. Makanan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik terkadang tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak menarik dipandang atau memberikan kesan telah menyimpang dari warna seharusnya. Penerimaan warna suatu bahan pangan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis dan aspek sosial masyarakat penerima (Winarno 2008). Hasil uji hedonik warna pada beras analog lindur dapat dilihat pada Gambar 9.

Huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05)

Gambar 9 Hasil uji hedonik warna nasi analog

(49)

29

kuning merah karena dipengaruhi oleh penambahan tepung jagung yang banyak mengandung karoten.

Aroma

Aroma merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas bahan makanan. Industri pangan, uji terhadap aroma dianggap penting karena dengan cepat dapat dianggap memberikan penilaian terhadap hasil produknya, apakah produk tersebut disukai atau tidak oleh konsumen. Aroma atau bau dapat dikenali bila berbentuk uap, umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bahan utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 2008). Aroma nasi beras analog lindur dapat dilihat pada Gambar 10.

Huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05)

Gambar 10 Hasil uji hedonik aroma nasi analog

(50)

30

Rasa

Parameter rasa berbeda dengan aroma dan lebih banyak melibatkan panca indra pengecap. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno 2008). Rasa beras analog lindur dapat dilihat pada Gambar 11.

Huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05)

Gambar 11 Hasil uji hedonik rasa nasi analog

Hasil Analisis of Variance (ANOVA) menunjukkan bahwa proporsi tepung lindur dan sagu serta penambahan kitosan memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter rasa beras analog sehingga dilanjutkan dengan uji

multiple comparison Duncan. Hasil Rancangan acak lengkap faktorial juga menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara pmeberian proporsi tepung lindur yang berbeda dengan penambahan kitosan. Nilai rasa beras analog berkisar antara 2,43-3,27. Kombinasi tepung buah lindur 70%, tepung sagu 30%, dan penambahan kitosan mempunyai penerimaan panelis yang baik karena mempunyai nilai rasa tertinggi dibandingkan dengan kombinasi formulasi lainnya. Rasa yang dihasilkan didominasi oleh tepung buah lindur yang mengandung tanin. Tanin buah lindur mempengaruhi penilaian panelis karena rasa beras analog yang dihasilkan agak sepat dan hambar. Rasa sepat dan hambar ini dapat ditutupi oleh tepung sagu sehingga ketika dimakan after taste sagu sangat terasa. Pemberian kitosan memberikan pengaruh yang signifikan karena kitosan juga bisa dijadikan pengikat flavor dalam bahan pangan (Suptijah 2006). Widara (2012) menghasilkan beras analog sorgum yang didominasi oleh penambahan jagung sehingga rasa beras analog yang sudah matang terasa hambar.

Tekstur

(51)

31

makanan dapat didefinisikan sebagai cara bagaimana berbagai unsur komponen dan unsur struktur ditata dan digabung menjadi mikro dan makrostruktur dan pernyataan struktur ini keluar dalam segi aliran dan deformasi (De Man 1997). Tekstur merupakan salah satu faktor terpenting dalam penentuan rating hedonic

beras analog. Hasil uji tekstur dapat dilihat pada Gambar 12.

Huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan hasil uji berbeda nyata (P<0,05)

Gambar 12 Hasil uji hedonik tekstur nasi analog

Hasil Analisis of Variance (ANOVA) menunjukkan bahwa proporsi tepung lindur dengan sagu dan pemberian kitosan memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter tekstur beras analog sehingga dilakukan uji lanjut

(52)

32

tekstur beras analog karena kitosan dapat memperbaiki tektstur produk. Kitosan juga sangat membantu mempercepat proses gelatinisasi dan sebagai emulsifier yang bagus sehingga beras analog memiliki kestabilan tekstur yang baik dari pada formulasi beras analog tanpa pemberian kitosan (Suptijah et al. 1992). Konsentrasi kitosan yang tinggi juga sangat mempengaruhi tekstur beras analog. Pemberian konsentrasi kitosan sebanyak 1% justru mengakibatkan tekstur beras analog karena diduga senyawa kitosan semakin dinaikan dapat mengikat semua bahan dan komponen yang terdapat pada beras analog sehingga dapat mempengaruhi tingkat kekenyalan dan kerenyahan beras analog. Penelitian Widara (2012) mengenai beras analog sorgum menghasilkan tekstur beras analog yang juga lengket seperti pulen karena mempunyai amilosa yang sangat rendah yaitu sekitar 14%. Tingkat kelengketan beras analog sorgum dapat berkurang karena adanya penambahan pati jagung (meizena) yang mengandung lemak yang dapat mengurangi kelengketan (FAO1995).

SIMPULAN

(53)

33

4 KARAKTERISASI BERAS ANALOG TERPILIH

Pendahuluan

Latar belakang

Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Konsumsi beras masyarakat Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia (BPS 2013). Ketergantungan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap beras menjadi masalah jika ketersediaan beras sudah tidak dapat tercukupi. Permasalahan ini dapat mengganggu ketahanan pangan nasional. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mencapai ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan adalah dengan diversifikasi pangan. Budaya masyarakat Indonesia yang masih beranggapan belum kenyang jika belum mengkonsumsi nasi membuat proses diversifikasi pangan belum berjalan dengan lancar sehingga diperlukan suatu pangan alternatif yang menyerupai makanan pokok bangsa Indonesia, yaitu beras. Makanan yang menyerupai beras ini dinamakan beras analog (Samad 2003).

Formulasi beras analog terpilih B0,5 menjadi formula yang banyak disukai oleh panelis semi terlatih dan tidak terlatih. Penentuan formula terpilih secara hedonik secara umum telah menunjukkan bahwa produk beras analog berbasis buah lindur, sagu, dan kitosan telah diterima oleh konsumen. Penerimaan konsumen terhadap beras analog dapat didukung oleh karakteristik fisik dan kimia. Karakterisasi beras analog terpilih penting dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui kandungan gizi yang terdapat pada beras analog dari formulasi pilihan panelis.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi formula terpilih beras analog baik secara fisik maupun kimia dan membandingkannya dengan kontrol berupa beras analog sorgum generasi pertama dan beras IR 64 yang telah dikomersialkan.

METODE

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Desember 2013. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium yaitu: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Laboratorium Pengujian, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, dan Analisis Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Bahan dan Alat

Gambar

Tabel 1 Roadmap penelitian buah lindur
Tabel 2 Roadmap penelitian beras analog
Gambar 1 Bentuk buah, daun, dan bunga lindur
Gambar 2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah menentukan nilai indeks glikemik pada dua produk beras analog yaitu yang berbahan baku (1) jagung, sorgum dan sagu aren dan (2) jagung dan

Pembuatan nata dengan bahan baku buah tomat ini memiliki karbohidrat sebagai substrat pembentuk

Data keseragaman butiran beras analog (%) ... Uji sidik ragam kadar air beras analog ... Uji sidik ragam daya serap air beras analog... Uji sidik ragam kerapatan curah beras analog

Ruang lingkup penelitian ini antara lain karaktearisasi bahan baku, pembuatan produk pati sagu-gluten dengan tiga tingkat penambahan gluten dalam pati sagu (10%, 30%, dan

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan judul “ Pemanfaatan Limbah Air Leri Beras IR-64 Sebagai Bahan Baku Pembuatan Sirup Hasil

Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan dan aplikasi edible film dari ekstrak buah jambu biji (Psidium guajava L.) dengan penambahan tepung tapioka, kitosan dan

Telah dilakukan penelitian tentang pembuatan dan aplikasi edible film dari ekstrak buah jambu biji (Psidium guajava L.) dengan penambahan tepung tapioka, kitosan dan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui formulasi beras analog berbasis pati sagu dan tepung jagung dengan pemberian zat aditif sehingga memperoleh hasil