• Tidak ada hasil yang ditemukan

Health benefit knowledge of curcuma and clinical trial of curcuma instant drink on T, B Lymphocytes, and NK cells in obese adult

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Health benefit knowledge of curcuma and clinical trial of curcuma instant drink on T, B Lymphocytes, and NK cells in obese adult"

Copied!
239
0
0

Teks penuh

(1)

PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN UJI KLINIS MINUMAN INSTAN

TEMULAWAK TERHADAP LIMFOSIT T, B, DAN SEL NK PADA OBESITAS

MUHAMMAD ARIES

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD ARIES. Health Benefit Knowledge of Curcuma and Clinical Trial of Curcuma Instant Drink on T, B Lymphocytes, and NK cells in Obese Adult. Under direction of HARDINSYAH and MIRA DEWI.

The objectives of the following study were to analyze the health benefit knowledge of curcuma on adult and clinical efficacy of curcuma instant drink to increasing lymphocytes count. Design for knowledge survey was cross sectional study and involving 79 subjects (40 male and 39 female) while the design for clinical trial was pre and post test design and involving 21 subjects. Result of this study showed that the health benefits of curcuma most widely known by subjects were to increase appetite (93.4%) and to maintain stamina (92.1%). Female subjects have higher knowledge (58.0 ± 25.8) than male subjects (57.0 ± 28.3) altough there isn’t significance difference (p > 0.05) and the knowledge of curcuma health benefit inversely with the level of education (p < 0.05). The study showed that there was significant increase (p = 0.034 and p = 0.045) in T cell population (CD3+, CD4+) and significant decreasing (p = 0.000 and p = 0.001) in B cell (CD 19+) and CD8+ after intervention of 13.24 g curcuma instant drink per day. It was concluded that curcuma has potential beneficial effect in enhancing cellular immunity but decreasing in humoral immunity in obese human subjects.

Key words: Curcuma xanthorrhiza Roxb., health benefit knowledge, instant drink, lymphocyte population.

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD ARIES. Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan sel NK pada Obesitas. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan MIRA DEWI.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui tingkat pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan, 2) mengembangkan produk minuman instan temulawak, dan 3) menganalisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes.

Kegiatan pengembangan minuman instan dan uji klinis minuman instan terhadap fungsi imun merupakan bagian dari kegiatan penelitian hibah KKP3T dengan No. kontrak 1004/LB.620/I.1/4/2010 yang berjudul Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk Meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes. Survai pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak dilakukan dengan desain cross sectional study sedangkan uji klinis dilakukan dengan desain pre dan post test selama 14 hari. Kegiatan penelitian survei pengetahuan manfaat kesehatan temulawak serta pengembangan minuman instan temulawak dilaksanakan di Kampus IPB Darmaga sedangkan analisis jumlah dan jenis limfosit dilakukan di Lab. Makmal Imunoendokrinologi FKUI Jakarta. Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 sampai Juni 2011.

Data survei pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Data tersebut meliputi karakteristik sosial ekonomi, pengalaman mengonsumsi temulawak (baik sebagai pangan maupun obat) dan tujuannya, pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak serta sumber informasinya. Data terkait pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak yang dikumpulkan diantaranya adalah manfaat temulawak untuk sakit perut, sakit hati, demam, sembelit/memperlancar buang air besar, perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal, obat sakit maag, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, peradangan dalam perut atau kulit, dan peningkatan ketahanan tubuh. Sebelum disebarkan kepada contoh, dilakukan pengujian terhadap reliabilitas alat ukur pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak. Analisis statistik yang digunakan uji validitas dan reabilitas serta analisis deskriptif. Uji validitas dan reabilitas dilakukan untuk menentukan reliabilitas kuesioner serta menentukan validitas setiap pertanyaan dalam kuesioner. Analisis deskriptif dilakukan dengan menghitung frekuensi contoh berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, besar keluarga, pengalaman mengonsumsi temulawak, pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak, dan sumber informasi tentang temulawak.

(5)

empat taraf masing-masing 10%, 15%, 20%, dan 25%. Data organoleptik dianalisis dengan ANOVA.

Data uji klinis terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data karakteristik individu, dan data jumlah serta persentase sel NK. Data karakteristik individu meliputi data umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan (untuk menentukan nilai IMT), lingkar pinggang, dan lingkar panggul (unutk menentukan nilai Rasio Lingkar Pinggang Panggul/RLPP). Data status gizi untuk menentukan bahwa subjek termasuk kategori obes ditentukan berdasarkan nilai IMT dan RLPP. Riwayat dan status kesehatan meliputi hasil pemeriksaan fisik dan anamnesa dokter medik. Data penilaian fungsi imun (sel NK) merupakan data primer yang diperoleh dari hasil analisa darah yang dilakukan dengan metode flow cytometri sedangkan total limfosit, sel B, dan sel T merupakan data sekunder yang berasal dari penelitian Dewi, Dwiriani, dan Januwati (2011).

Pengaruh intervensi dianalisis berdasarkan perbedaan (selisih) nilai fungsi imun yang diamati sebelum dan setelah dua minggu intervensi. Uji normalitas dengan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov dilakukan terlebih dahulu terhadap variabel yang diamati. Nilai populasi limfosit sebelum dan sesudah intervensi akan dibandingkan dan untuk melihat apakah intervensi yang diberikan berpengaruh nyata terhadap populasi limfosit maka dilakukan uji T berpasangan.

Tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0.05) antara tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan pada subjek perempuan maupun laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikannya, diketahui bahwa tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan antara subjek yang berpendidikan tinggi dan rendah berbeda nyata (p < 0.05) serta berbanding terbalik. Hal ini diduga karena penggunaan temulawak untuk kesehatan yang lebih banyak didasarkan pada kepercayaan dan informasi yang diperoleh secara turun temurun sehingga pengetahuan mengenai manfaat kesehatannya akan lebih banyak diketahui oleh kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin, yaitu kelompok masyarakt berpendidikan rendah.

Proses pembuatan minuman instan temulawak terbagi menjadi dua yaitu proses pembuatan ekstrak kering temulawak menggunakan spray dryer dan pembuatan minuman instan temulawak dengan metode dry mixing atau pencampuran kering. Komposisi minuman serbuk temulawak instan untuk setiap sachet/kemasan per kali minum terdiri atas tepung ekstrak kering temulawak (0.4 g), maltodekstrin (2 g), garam (0.2 g), asam sitrat (0.6 g), gula tepung (10 g), dan sukralosa (0.043 g) sehingga total berat minuman instan temulawak per sachet adalah 13.24 g atau setara dengan 7.56 mg xanthorrhizol dan 2.8 mg curcumin.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN UJI KLINIS MINUMAN INSTAN

TEMULAWAK TERHADAP LIMFOSIT T, B, DAN SEL NK PADA OBESITAS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Oleh:

MUHAMMAD ARIES I 151090011

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Penelitian : Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas

Nama : Muhammad Aries

NIM : I151090011

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dr. Mira Dewi, S.Ked, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat

drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD. Dr. Ir. Dahrulsyah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) serta Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dari lubuk hati yang paling dalam penulis mennyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan dr. Mira Dewi, S.Ked, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan serta senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk tetap istiqomah dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen penguji luar komisi atas beragam saran konstruktif dan perbaikan yang sangat bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini.

Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada: Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS (Dekan FEMA Periode Tahun 2005-2009) dan Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS (Ketua Departemen Gizi Masyarakat Periode Tahun 2005-2009), dan Dr. Ir. Drajat Martianto, MS (Pembimbing S1) yang telah memberikan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Gizi Masyarakat di IPB. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Koordinator Program Pascasarjana Gizi Masyarakat, para dosen dan seluruh staf yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama menempuh pendidikan sehingga semua dapat terlaksana dengan baik.

(11)

dalam menggunakan sebagian data penelitian tersebut untuk digunakan dalam penelitian ini. Pada penelitian tersebut, penulis terlibat sebagai asisten peneliti yang berperan dalam proses pembuatan produk sampai dengan analisis data. Berikutnya penulis menyampaikan teriam kasih kepada Bapak/Ibu pegawai IPB yang telah bersedia terlibat selama kegiatan pengambilan data penelitian, baik yang berupa survei maupun uji klinis dalam penelitian ini dan juga kepada Bapak Mashudi serta segenap laboran di Laboratorium Analisis Makanan Departemen Gizi Masyarakat, Laboratorium Pilot Plan, FATETA IPB, dan Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik yang/Balitro KEMENTAN telah memfasilitasi kegiatan penelitian khususnya selama pengembangan produk minuman instan temulawak.

Tidak lupa ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seangkatan pada Program Magister Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana - IPB angkatan 2009 atas semangat kebersamaan, persahabatan, dan dukungannya selama menempuh pendidikan di Program Magister Gizi Masyarakat, SPS – IPB dan juga teman-teman Program Magister Gizi Masyarakat, SPS – IPB serta Program Doktor Gizi Manusia, SPS - IPB angkatan 2010 dan 2011 atas semangat kebersamaan, persahabatan, dan dukungannya terutama pada pelaksanaan kolokium, seminar hasil hingga sidang.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan secara tulus dan mendalam khususnya kepada istri tercinta Reisi Nurdiani serta kedua orang tua yang selalu saya hormati dan banggakan Bapak Iing Sulaeman dan Ibu Juwaeriyah, serta adik tersayang Tuti Amaliah atas segala dukungan doa dan kasih sayang yang telah tercurahkan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Cirebon tanggal 18 Desember 1984 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Iing Sulaeman dan Ibu Juwaeriyah. Masa pendidikan dasar hingga menengah atas dilalui di kota Cirebon. Pendidikan dasar diperoleh pada SDN Kanggraksan III periode 1990 - 1996 dan dilanjutkan di SMPN 6 Cirebon periode 1996 - 1999. Penulis menamatkan pendidikan menengah atasnya pada tahun 2002 dari SMUN 2 Cirebon. Kemudian di tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian - Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2006 dengan judul skripsi Kerugian Ekonomi Akibat Status Gizi Buruk pada Balita di Berbagai Propinsi di Indonesia beserta Biaya Penanggulangannya melalui Program Pemberian Makanan Tambahan. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studinya di Program Magister (S2) Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana IPB.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

Lingkup dan Tahapan Kegiatan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) ... 5

Kandungan gizi dan manfaat kesehatan temulawak ... 6

Kadar kurkumin ... 7

Kadar xanthorrhizol ... 8

Penggunaan Temulawak dalam Pengobatan Tradisional ... 9

Pengetahuan ... 11

Pengetahuan dan preferensi terhadap temulawak ... 12

Minuman Serbuk Temulawak/Temulawak Instan ... 13

Proses pembuatan minuman serbuk temulawak ... 14

Status gizi dan imunitas ... 16

Sel T (CD3) serta subset CD4/Th, CD8/Tc, dan Tr ... 18

Sel B (CD19+) ... 21

Sel NK (CD16+56+) ... 22

Fungsi imun dan obesitas ... 23

KERANGKA PEMIKIRAN ... ... 26

METODE ... ... 28

Cakupan Kegiatan ... 28

Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak ... 29

(14)

Uji Klinis Pemberian Minuman Instan Temulawak ... 35

Definisi Operasional ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak ... 41

Karakteristik subjek survei pengetahuan ... 41

Pengalaman mengonsumsi temulawak ... 42

Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak ... 47

Pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan kepercayaan ... 48

Pengembangan Minuman Serbuk Instan Temulawak ... 52

Pengembangan ekstrak temulawak dan analisis mutu ... 52

Formulasi minuman serbuk temulawak ... 54

Uji organoleptik panelis umum ... 56

Uji organoleptik panelis terbatas ... 63

Uji Klinis Minuman Instan Temulawak ... 64

Pelaksanaan uji klinis ... 64

Karakteristik subjek uji klinis ... 66

Jumlah total sel limfosit sebelum dan setelah intervensi ... 67

Jumlah dan persentase sel T serta subsetnya sebelum dan setelah intervensi ... 69

Jumlah dan persentase sel B sebelum dan setelah intervensi .... 76

Jumlah dan persentase sel NK sebelum dan setelah intervensi .. 79

Generalisasi Penelitian ... 83

KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

Kesimpulan ... 85

Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Syarat mutu minuman serbuk tradisional ... 14 2. Beberapa hasil penelitian mengenai imunitas pada subjek obes

dibandingkan dengan subjek non obes ... 25 3. Jenis dan cara pengumpulan data ... 28 4. Karakteristik subjek survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan

temulawak ... 42 5. Sebaran subjek berdasarkan pengalaman mengonsumsi temulawak . 44 6. Sebaran subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin ... 45 7. Sebaran subjek berdasarkan harapan terhadap pengembangan

produk baru berbahan baku temulawak ... 46 8. Subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat

kesehatan dan sumber informasinya ... 47 9. Sebaran subjek yang mampu menjawab benar beberapa aspek

manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan ... 50 10. Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek

berdasarkan jenis kelamin ... 50 11. Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek

berdasarkan tingkat pendidikan ... 51 12. Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek

berdasarkan rutinitas mengonsumsi temulawak ... 52 13. Karakteristik simplisia dan ekstrak kering temulawak ... 54 14. Komposisi formula minuman instan temulawak ... 56 15. Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman serbuk

temulawak ... 66 16. Sebaran subjek uji klinis berdasarkan kelompok umur ... 66 17. Sebaran subjek uji klinis berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman temulawak (a) dan rimpang temulawak (b) ... 5

2. Rumus bangun kurkumin ... 7

3. Rumus bangun xanthorrhizol ... 8

4. Skema sistem imun adaptif dan non adaptif ... 17

5. Kerangka pemikiran ... 27

6. Kerangka pengambilan subjek ... 26

7. Diagram alir pembuatan serbuk temulawak ... 32

8. Bagan pelaksanaan uji klinis ... 37

9. Persen penerimaan terhadap warna produk hasil organoleptik dengan panelis umum ... 57

10. Persen penerimaan terhadap aroma produk hasil organoleptik dengan panelis umum ... 58

11. Persen penerimaan terhadap rasa produk hasil organoleptik dengan panelis umum ... 59

12. Persen penerimaan terhadap kekentalan produk hasil organoleptik Panelis umum ... 61

13. Persen penerimaan terhadap penampilan keseluruhan produk hasil organoleptik dengan panelis umum ... 61

14. Penilaian mutu hedonik terhadap parameter warna, aroma, kekentalan, dan rasa minuman serbuk temulawak ... 62

15. Persen penerimaan produk hasil organoleptik dengan panelis terbatas ... 63

16. Minuman instan temulawak dengan formula terpilih ... 63

17. Sebaran jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah ... 68

18. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel T (b) sebelum dan setelah intervensi ... 70

19. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD4 (b) sebelum dan setelah intervensi ... 72

20. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD8 (b) sebelum dan setelah intervensi ... 74

21. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel B (b) sebelum dan setelah intervensi ... 77

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kuesioner pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak ... 96 2. Formulir uji organoleptik produk minuman serbuk temulawak ... 97 3. Contoh lembar hasil analisis limfosit ... 99 4. Berbagai hasil pengolahan data dengan perangkat lunak SPSS 13.00

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di Indonesia, penggunaan utama tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) selain sebagai bumbu masak juga sebagai bahan pengobatan tradisional. Berbagai manfaat kesehatan temulawak yang telah dikenal dalam pengobatan tradisional diantaranya untuk mengobati sakit perut, sakit hati/penyakit kuning, obat malaria, penyakit ginjal (Sumiaty 1997), obat habis bersalin (Sumiaty 1997; Kuntorini 2005), penyakit kulit, dan peradangan dalam perut atau kulit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Berbagai khasiat obat temulawak ini bahkan telah dikenal sampai ke Eropa, terutama di Jerman dan Belanda (Herman 1985) dan dalam pengobatan modern bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985).

Penggunaan temulawak untuk tujuan pengobatan dan untuk menjaga kesehatan menyebabkan makin banyaknya produk berbahan temulawak yang telah beredar di pasaran meskipun klaim manfaat kesehatan masih banyak yang belum didukung data klinis, terutama yang terkait dengan sistem imun. Lebih jauh lagi, formulasi yang tepat terkait dosis dan mutu bahan aktif pada produk juga belum terstandar.

(19)

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010 menunjukkan prevalensi overweight dan obesitas pada orang dewasa mengalami peningkatan yaitu dari 19.1% menjadi 21.7%. Obesitas pada orang dewasa di Indonesia mencapai 10.3% dengan rincian 13.9% pada laki-laki dan 23.8% pada perempuan (Balitbangkes 2008) sementara pada Riskesdas berikutnya diketahui bahwa prevalensi obesitas di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu mencapai 11.7% dengan rincian 16.3% pada laki-laki dan pada perempuan menjadi 26.9%.

Peningkatan prevalensi obesitas di Indonesia merupakan hal yang mengkhawatirkan karena berbagai hasil kajian menyatakan bahwa obesitas memiliki kaitan positif dengan kekerapan terhadap berbagai penyakit infeksi (Chung et al. 2007). Selain itu, keberadaan jaringan adiposit yang berlebih pada orang yang mengalami obesitas memiliki keterkaitan yang erat dengan terganggunya fungsi imun (Tanaka et al. 1993; Marti et al. 2001; Boynton et al. 2007). Walaupun sampai saat ini masih belum ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko untuk infeksi flu pandemik, namun penanganan medis pada kasus dengan obesitas harus lebih mewaspadai terjadinya komplikasi berat dan mortalitas, karena pada kasus fatal sampai yang menyebabkan kematian, ada proporsi obesitas yang cukup besar (WHO 2010).

(20)

di Indonesia diketahui bahwa pemberian temulawak dapat meningkatkan respon imun pada ayam yang diberi vaksin flu burung (Kosim et al. 2007). Penelitian Damayanti (2008) dengan subjek mencit menunjukkan bahwa temulawak juga dapat digunakan meningkatkan daya tahan dan stamina tubuh.

Walaupun secara empiris penggunaan tanaman obat termasuk temulawak terbukti bermanfaat bagi kesehatan, bukti-bukti ilmiah dan uji klinik tetap diperlukan sebelum dapat direkomendasikan sebagai obat. Terlebih pada manusia, data klinis mengenai efektivitas temulawak terhadap perbaikan sistem imun masih sangat terbatas. Selain itu peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai manfaat kesehatan dari bahan lokal, khususnya temulawak juga masih dipandang perlu sehingga pengembangan temulawak sebagai pangan fungsional maupun obat bisa semakin bervariasi. Saat ini produk pangan fungsional temulawak masih berupa berupa permen dan minuman ringan (Kurniawan 2002).

Dengan memperhatikan berbagai fakta dan masalah di atas, maka kajian mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat pada temulawak yang dilanjutkan dengan pengembangan formula minuman instan temulawak serta uji klinisnya yang terkait dengan sistem imun menjadi penting. Uji klinis yang dilakukan adalah yang spesifik pada fungsi sistem imun dengan pengukuran populasi limfosit total, limfosit T (CD3), subset limfosit T (CD4 dan CD8), limfosit B (CD19), dan sel Natural Killer/NK. Adanya kajian tentang pengetahuan terhadap temulawak serta bukti ilmiah mengenai manfaat temulawak secara klinis akan memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan nilai temulawak sebagai pangan fungsional dan menjadi landasan penting dalam pengembangannya sebagai obat untuk penyakit yang terkait dengan penurunan fungsi imun.

Tujuan

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengetahuan orang dewasa terhadap manfaat kesehatan minuman temulawak serta melakukan uji klinis mengenai efektivitas minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun.

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

(21)

2. Mengembangkan produk minuman instan temulawak.

3. Menganalisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : Pemberian minuman instan temulawak pada orang dewasa obes tidak akan meningkatkan populasi limfosit total.

H1 : Pemberian minuman instan temulawak pada orang dewasa obes akan meningkatkan populasi limfosit total.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap minuman temulawak. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat memberikan bukti ilmiah mengenai manfaat minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol terhadap fungsi sistem imun (peningkatan populasi limfosit) bagi orang dewasa obes sehingga akan semakin meningkatkan nilai temulawak baik sebagai pangan fungsional maupun sebagai obat, terutama yang berkaitan dengan peningkatan fungsi imun.

Lingkup dan Tahapan Kegiatan

Tahapan kegiatan selama proses penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penyiapan bahan baku, uji kandungan bahan aktif dalam ekstrak temulawak

dan formulasi minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol.

2. Pengambilan data pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak pada orang dewasa.

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak (Curcuma xanthorrhizaRoxb.)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia dan banyak tersebar di Pulau Jawa, Madura, Maluku, dan Kalimantan. Pada mulanya tanaman temulawak banyak tumbuh liar di hutan-hutan jati, di tanah kering, tegalan, maupun padang alang-alang, tetapi karena penggunaannya yang semakin meluas maka tanaman ini juga banyak dibudidayakan di kebun maupun pekarangan rumah yang dikenal dengan sebutan apotik hidup (Herman 1985; Hargono 1985). Bentuk tanaman dan rimpang temulawak dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

(a) (b)

Gambar 1 Tanaman temulawak (a) dan rimpang temulawak (b)

Klasifikasi tanaman temulawak adalah sebagai berikut

Kingdom : Plantae Ordo : Zingiberales

Divisi : Spermatophyta Famili : Zingiberaceae Sub Divisi : Angiospermae Genus : Curcuma

(23)

Bagian tanaman temulawak yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian umbi batang. Umbi batang ini dinamakan juga rimpang atau umbi akar. Bagian pinggir penampangnya berwarna kuning muda, sedangkan bagian tengahnya berwarna kuning tua, memiliki aroma tajam dan rasa yang pahit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Bagian rimpang ini biasanya dipanen setelah berumur 8 – 12 bulan (Herman 1985).

Kandungan Gizi dan Manfaat Kesehatan Temulawak

Rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%. Selain itu rimpang temulawak juga mengandung minyak atsiri (volatil oil), lemak (fixed oil), zat warna/pigmen, protein, resin, selulosa, pentosan, pati, mineral, zat-zat penyebab rasa pahit dan sebagainya. Kandungan berbagai komponen tersebut sangat tergantung pada umur rimpang pada saat dipanen dan jika dibandingkan dengan jenis curcuma yang lain maka temulawak memiliki kandungan minyak atsiri yang tinggi (Herman 1985). Kataren (1988) dalam Sumiaty (1997) menyebutkan bahwa komposisi rimpang kering temulawak (dengan kadar air 10%) terdiri atas pati (58.24%), lemak (12.10%), kurkumin (1.55%), serat kasar (4.20%), abu (4.90%), protein (2.90%), mineral (4.29%), dan minyak atsiri (4.90%).

Bagi sebagian rakyat Indonesia, selain sebagai bumbu masak rimpang temulawak juga telah lama dikenal sebagai obat tradisional yang diantaranya bermanfaat untuk mengobati sakit perut, sakit hati, demam, sembelit (Dharma 1985 dalam Sumiaty 1997), perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin (Iftichori 1975 dalam Sumiaty 1997), obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal (Maradjo dan Widodo 1991), dan obat sakit maag (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Dalam pengobatan modern, bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985).

(24)

Secara umum dapat dikatakan bahwa temulawak mempunyai efek menormalkan fungsi jaringan yang terganggu.

Temulawak selain dimanfaatkan sebagai obat juga dapat dijadikan produk minuman fungsional (memiliki manfaat kesehatan). Sebagai minuman temulawak dapat dibuat menjadi sirup, minuman berkarbonat, minuman nonkarbonat atau bahkan minuman instan. Secara singkat minuman instan temulawak dibuat dari tepung temulawak (hasil pengeringan minyak atsiri dengan spray dryer), yang ditambah dengan gula tepung, garam, bahan pengisi (maltodekstrin), dan asam sitrat. Minuman instan ini jika dilarutkan dalam satu gelas air akan menjadi minuman temulawak yang berwarna kuning jernih dengan cita rasa asam manis dan sedikit agak pahit. Minuman ini serupa dengan minuman sari temulawak yang ada di negara-negara Eropa (Soeseno 1986 dalam Sumiaty 1997).

Kadar Kurkumin

Menurut Sinambela (1985) dalam Karyadi (1993), komposisi rimpang temulawak dapat dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu fraksi zat warna dan minyak atsiri. Warna kekuningan dari temulawak disebabkan oleh adanya kurkumin (C25H32O6) yang memiliki rumus bangun seperti pada Gambar 2

berikut.

Gambar 2 Rumus bangun kurkumin

(25)

kurkumin mencapai 71% dan desmetoksikurkumin 29%. Kurkuminoid bersifat larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida serta tidak dapat larut dalam air dan dietil eter sehingga ekstraksi oleoresin temulawak menggunakan pelarut etanol (Yulianti 2010).

Kadar xanthorrhizol

Identifikasi komponen minyak atsiri yang terdapat dalam oleoresin temulawak dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas. Menurut Gritter et al. (1991) dalam Yulianti (2010), kromatografi gas merupakan metode yang cepat dan tepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Komponen campuran dapat diketahui dengan menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat.

Menurut Kim (2007) salah satu komponen minyak atsiri temulawak yang berperan penting dalam memberikan efek farmakologis adalah xanthorrhizol (C15H22O) yang memiliki rumus bangun seperti pada Gambar 3. Hal ini selaras

dengan pernyataan Taryono et al. (1987) yang menyatakan bahwa gabungan senyawa kurkumin dan xanthorrhizol diduga sebagai penyebab berkhasiatnya temulawak. Senyawa ini menurut Maiwald dan Schawantes (1992) dalam Sidik et al. (1995) digolongkan sebagai senyawa sesquiterpen. Komponen lain dalam minyak temulawak yang juga termasuk sesquiterpen adalah αkurkumin, -kurkumin, 1-sikloisopren-mirsen, zingiberen, turunan bisabolen, epoksid-bisakuron, bisakuron A, bisakuron B, dan bisakuron C.

Gambar 3 Rumus bangun xanthorrhizol

(26)

bahan yang mudah menguap dalam oleoresin temulawak berkisar antara 1.26 – 42.82%. Persentase luas area xanthorrhizol tertinggi ada pada oleoresin dengan suhu ekstraksi 30oC dan perbandingan antara bahan dengan pelarut 1 : 6 (Yulianti 2010).

Hasil penelitian Yulianti (2010) menunjukkan bahwa peningkatan suhu ekstraksi mengakibatkan penurunan persentase luas area xanthorrhizol. Hal ini selaras dengan hasil analisis keragaman terhadap persentase luas area xanthorrhizol yang memberikan informasi bahwa faktor suhu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap persentase luas area xanthorrhizol, sedangkan perbandingan baku – pelarut tidak memiliki pengaruh nyata pada persentase luas area xanthorrhizol.

Xanthorrhizol yang merupakan salah satu komponen minyak atsiri temulawak memiliki sifat sensitif terhadap panas dan cahaya. Peningkatan suhu proses untuk memperoleh minyak atsiri akan mengakibatkan terjadinya kerusakan komponen minyak atsiri tersebut sehingga peningkatan suhu ekstraksi oleoresin juga akan mengakibatkan terjadinya kerusakan komponen xanthorrhizol. Selain itu penyimpanan minyak atsiri yang mengandung xanthorrhizol juga harus menggunakan wadah yang kedap cahaya untuk meminimalkan kerusakan xanthorrhizol yang ada di dalamnya.

Penggunaan Temulawak dalam Pengobatan Tradisional

(27)

untuk penambah nafsu makan, sedangkan masyarakat Sunda menggunakan rimpang temulawak untuk mengobati sakit kuning dan mengatasi gangguan perut kembung. Selain oleh masyarakat Sunda, rimpang temulawak juga digunakan dalam ramuan sebagai obat penyakit kuning oleh masyarakat etnis Jawa, yang juga menggunakan rimpang temulawak tunggal sebagai obat mencret. Masyarakat etnis Bali menggunakan rimpang temulawak untuk mengatasi gangguan lambung perih dan kembung, sedangkan masyarakat etnis Madura menggunakan rimpang temulawak sebagai obat keputihan. Komunitas penggemar jamu gendong menggunakan rebusan rimpang temulawak sebagai penguat daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Moelyono 2007).

Temulawak selain sering dimanfaatkan untuk jamu dan obat juga bermanfaat sebagai sumber karbohidrat dengan cara mengambil patinya, pati ini kemudian diolah untuk dibuat menjadi bubur makanan bayi atau untuk orang-orang yang sedang mengalami gangguan pencernaan. Karena kandungan temulawak juga mengandung senyawa yang beracun, bisa dimanfaatkan untu mengusir nyamuk (Anonim 2011).

Sebagai primadona obat herbal Indonesia, penggunaan temulawak mengalami perkembangan dalam penggunaannya, dimulai dari sediaan obat tradisional, melalui sediaan obat herbal terstandar, akhirnya menjadi sediaan fitofarmaka. Perkembangan penggunaan juga diikuti oleh perkembangan bentuk sediaan, dari bentuk sediaan tradisional seperti jamu rebusan, jamu seduh, atau bentuk lain menjadi sediaan berbentuk kapsul, kaplet, hingga bentuk sediaan sirup atau suspensi. Pengembangan bentuk dan penggunaan ini merupakan tuntutan pengguna yang menginginkan kepastian keamanan dan khasiat, serta bentuk yang menarik, praktis, dan stabil.

(28)

Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu yang didapatkan oleh individu baik melalui proses belajar, pengalaman, atau media elektronik yang kemudian disimpan dalam diri individu. Aziz (1995) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan segala informasi dan kebijaksanaan dari dunia sekitar yang disertai dengan pemahaman pada informasi yang diterima pada suatu objek, karena tanpa adanya unsur pemahaman, maka seseorang belum dapat dikatakan berpengetahuan.

Pengetahuan atau knowledge adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengungkapkan atau mengingat kembali pengalaman, konsep, berbagai prinsip materi, dan kejadian pada hal-hal yang umum maupun khusus. Pendapat lain mengatakan bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui seseorang dari hasil belajar atau pengalaman tertentu. Pengetahuan merupakan hasil belajar sebagai aktifitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, serta diperoleh melalui pengalaman.

Menurut Notoatmojo (1995) dalam Artanti (2009), pengetahuan adalah hasil dari proses belajar dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Para ahli psikologi kognitif membagi pengetahuan ke dalam pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) dan pengetahuan prosedur (procedural knowledge). Pengetahuan deklaratif adalah fakta atau subjektif yang diketahui seseorang, sedangkan pengetahuan prosedur adalah pengetauan mengenai bagaimana fakta-fakta tersebut digunakan (Sumarwan 2003).

(29)

Sumarwan (2003) mengungkapkan, bahwa pengetahuan yang baik mengenai suatu produk dapat mendorong konsumen untuk menyukai produk tersebut. Dengan demikian, sikap positif terhadap suatu produk dapat mencerminkan pengetahuan konsumen mengenai produk tersebut. Pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengerti suatu pesan, membantu mengganti logika yang salah, dan menghindarkannya dari berbagai persepsi yang tidak tepat. Dalam teori perilaku konsumen, pengetahuan dan persepsi seseorang merupakan dua hal yang penting diperhatikan bahkan dijadikan sasaran perubahan untuk tujuan pemasaran, demikian pula dalam psikologi untuk tujuan terapi (Belch & Belch 1995 dalam Artanti 2009).

Pengetahuan dan preferensi terhadap temulawak

Temulawak dikenal luas oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dengan penggunaan utama sebagai bumbu masak dan bahan pengobatan tradisional. Hasil penelitian Kuntorini (2005) menyebutkan bahwa di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, temulawak merupakan tanaman obat tradisional yang penting dengan kegunaan untuk mengobati penyakit dalam dan menetralkan darah. Sumber pengetahuan masyarakat di wilayah penelitian inipun sebagian besar diperoleh dari turun-temurun.

Berbagai manfaat kesehatan temulawak lainnya yang telah dikenal dalam pengobatan tradisional masyarakat Indonesia diantaranya untuk mengobati sakit perut, sakit hati, demam, sembelit, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal (Sumiaty 1997), menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin (Sumiaty 1997; Kuntorini 2005), obat sakit maag, melancarkan saluran pencernaan, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, dan peradangan dalam perut atau kulit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Berbagai khasiat obat temulawak ini bahkan telah dikenal sampai ke Eropa, terutama di Jerman dan Belanda (Herman 1985) dan dalam pengobatan modern bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985).

(30)

pengenalan kebutuhan yang didefinisikan sebagai suatu persepsi atas perbedaan antara keadaan yang diinginkan dengan situasi aktual yang memadai untuk menggugah dan mengaktifkan proses kebutuhan. Berdasarkan hasil penelitian Kurniawan (2002) diketahui bahwa preferensi konsumen dalam membeli dan mengonsumsi produk minuman temulawak diantaranya dipengaruhi oleh pengetahuan tentang manfaat temulawak, meskipun yang menjadi pertimbangan utama adalah harga.

Penerimaan atau preferensi konsumen dapat dipengaruhi oleh sifat-sifat sensori pada makanan seperti rasa, aroma, tekstur dan penampakan. Hal yang sama juga berlaku terhadap minuman instan temulawak. Sifat-sifat sensori pada makanan akan diproses dalam otak dengan dilatarbelakangi oleh faktor kultur/etnis, psikososial, pembelajaran dan daya ingat, ketahanan tubuh dan lain-lain (Cardello 1994 dalam Hendarini 2011). Perbedaaan psikologi diantara individu seperti kepribadian juga berpengaruh terhadap preferensi makanan, contohnya adalah mood dan slepness (Shepherd & Spark 1994 dalam Hendarini 2011).

Minuman Serbuk Temulawak/Temulawak Instan

Temulawak instan merupakan sari temulawak yang mengandung komponen temulawak-temulawak baik yang menguap (minyak atsiri) maupun komponen yang tidak menguap (resin, pigmen, dan lainnya) dengan ditambah bahan pengisi seperti dekstrin dan gum arab (Suryati 1985).

(31)
[image:31.595.111.509.198.456.2]

minuman non-karbonasi berdasarkan SNI 01-6993-2004 berturut-turut adalah sebanyak 500 mg/kg berat bahan dan 1000 mg/kg berat bahan. Berdasarkan berbagai keterangan dalam SNI tersebut, maka syarat mutu minuman serbuk tradisional adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Syarat mutu minuman serbuk tradisional

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan Sumber 1. 1.1. 1.2. 1.3. Keadaan Warna Bau Rasa Normal

Normal, khas rempah-rempah Normal, khas rempah-rempah

SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 2. Air, b/b % Maks 3.0 SNI 01-4320-1996 3. Abu, b/b % Maks 1.5 SNI 01-4320-1996 4. Jumlah gula (dihitung

sebagai sakarosa) b/b

% Maks 85.0 SNI 01-4320-1996

5. 5.1.

5.2.

Bahan tambahan makanan Pemanis buatan - Sakarin - Siklamat Pewarna tambahan - mg/kg mg/kg - Maks. 500 Maks. 1000

Sesuai SNI 01-0222-1995

SNI 01-6993-2004 SNI 01-6993-2004 SNI 01-0222-1995 6. 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks 0.2 Maks 2.0 Maks 50 Maks 40.0 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 7. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 0.1 SNI 01-4320-1996 8.

8.1. 8.2.

Cemaran mikroba Angka lempeng total Coliform

Koloni/gr APM/gr

3 x 103 < 3

SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996

Proses pembuatan minuman serbuk temulawak

Tahapan yang harus diperhatikan dalam pembuatan temulawak instan adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi, proses pengambilan pelarut, pengawasan mutu dan pengujian sebagai tahap penyelesaian (Sabel & Warren 1973 dalam Suwiah 1991)

Perlakuan pendahuluan untuk rimpang temulawak adalah dengan cara pengecilan ukuran bahan dan pengeringan. Proses pengeringan akan mempercepat proses ekstraksi dan memperbaiki mutu minyak, akan tetapi selama pengeringan kemungkinan sebagian minyak akan hilang karena proses penguapan dan oksidasi (Ketaren 1985).

(32)

diekstrak dengan perbandingan tertentu kemudian diaduk dengan magnetic stirer atau mixer (Sabel & Warren 1973 dalam Suwiah 1991).

Beberapa pelarut yang biasa digunakan untuk proses ektraksi oleoresin adalah aseton, metanol, haksana, etil alkohol, isopropil alkohol, dan etilen diklorida. Hasil penelitian Ria (1989) menunjukkan bahwa pelarut organik yang mempunyai gugus hidroksil dan karbonil, yaitu etanol dan aseton ternyata mampu melarutkan oleoresin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pelarut hidrokarbon (heksana).

Penyaringan sebagai proses pemisahan benda padat dengan larutan atau gas melalui media yang berlubang, yang akan menahan benda padat tapi mengalirkan cairan. Faktor yang mempengaruhi tingkat penyaringan adalah luas dari medium filter, tekanan dari “cake filter” dan filter, kekentalan filtrat dan perbedaan tekanan antar filter. Pemilihan media penyaring tergantung dari tujuan penyaringan dan jumlah yang akan disaring. Sifat-sifat dari medium penyaring yang baik, yaitu kecilnya tahanan terhadap aliran cairan filtrat, kemampuannya untuk menjembatani zat padat pada lubang-lubangnya setelah mulai dimasukkan, tidak boleh ada reaksi kimia dengan campuran yang akan disaring, cukup kuat untuk menahan tekanan penyaringan dan mekanis, harus mempunyai daya serap kecil terhadap bahan yang larut dan permukaan filter harus halus untuk memudahkan membuang ampas (Suwiah 1991).

(33)

dihasilkan dari proses ini berkisar antara 10 – 200 mikron. Kadar air bahan hasil pengeringan antara 3 – 5% (Taib et al. 1988).

Keuntungan menggunakan spray dryer dan bahan pengisi untuk kapsulasi flavor adalah bahan tidak volatil karena zat flavor diselubungi oleh suatu lapisan yang tidak bisa ditembus sehingga terlindung dari kehilangan karena penguapan dan perubahan oksidatif; bahan yang dihasilkan kering; tidak higroskopis; tidak menggumpal; bahan siap digabungkan ke dalam campuran makanan untuk membentuk dispersi flavor yang homogen; kekuatan flavor dan kualitasnya terjamin selama masa penyimpanan; saat bahan dicampur dengan air maka kapsul akan pecah dan mengeluarkan flavor (mudah larut dalam air dingin); ukuran partikel yang dihasilkan antara 10 – 200 mikron dengan mayoritas berbentuk bola yang berdiameter 50 mikron serta aktivitas air (aw) di bawah 0.2 – 0.3 (Heath & Pharm 1978 dalam Suwiah 1991).

Proses lanjutan setelah terbentuk tepung ekstrak temulawak adalah pencampuran tepung ekstrak tersebut dengan menggunakan berbagai bahan pengisi dan perasa yang terdiri atas maltodekstrin, gula tepung, garam, sukralosa, dan asam sitrat. Penambahan gula tepung sebagai pemberi rasa manis akan memberikan sumbangan energi, oleh karena itu perlu ditambahkan pemanis buatan (sukralosa) sehingga minuman instan temulawak yang dihasilkan akan tetap memiliki rasa yang dapat diterima tetapi juga dapat diklaim rendah energi. Berdasarkan SNI 01-6993-2004 dan Komisi Regulasi Uni Eropa/Commission Regulation EU (2006) diketahui bahwa suatu produk dapat diklaim sebagai produk rendah energi jika total energinya maksimal hanya 40 kkal per takaran saji.

Status Gizi dan Imunitas

(34)

tanda-tanda yang tidak normal karena terinfeksi oleh virus atau mikroorganisme lain (Zakaria 1996 dalam Rusilanti 2006).

Sistem pertahanan tubuh terdiri dari berbagai mekanisme yang secara garis besar dapat dibagi dua yaitu kekebalan adaptif (adaptive immunity) dan kekebalan non adaptive (innate immunity) (Harlow dan Lane 1999 dalam Rusilanti 2006; Baratawidjaja dan Rengganis 2009). Kekebalan non adaptif diperantarai oleh sel yang merespon terhadap molekul asing secara tidak spesifik dan termasuk di dalamnya sistem fagositosis oleh makrofag, sekresi lisozime, dan sel lisis oleh sel NK (natural killer). Kekebalan non spesifik tidak berkembang atau bertambah kuat dengan meningkatnya paparan terhadap molekul asing secara berulang kali.

Kekebalan adaptif/spesifik ditujukan untuk melawan molekul asing yang spesifik dan akan bertambah kuat dengan terjadinya paparan yang berulang kali. Kekebalan spesifik/adaptif diperantarai oleh sel-sel limfosit yang dapat mensintesis reseptor permukaan sel atau mensekresikan protein yang dapat berikatan secara spesifik dengan molekul asing. Protein yang disekresikan ini dikenal dengan nama antibodi. Molekul asing yang dapat berikatan dengan antibodi disebut antigen.

[image:34.595.115.510.489.656.2]

Gambar 4 berikut memberi penjelasan secara skematik sistem imun non spesifik (innate) dan spesifik (adaptif/acquired).

Gambar 4 Skema sistem imun adaptif dan non adaptif Sumber: Roitt & Delves (2001)

Dalam sistem kekebalan spesifik, mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi

Sel NK

Infeksi intraseluler Infeksi ekstraseluler

Sel B Antibodi

Komplemen

Polimorf Sitokin

Sel T

Makrofag

Innate

Adaptif

(35)

sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel imun yang sudah tersensitasi tersebut terpajan/terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat untuk kemudian dihancurkan. Sistem imun spesifik secara umum bekerjasama antara antibodi-komplemen-fagosit dan antara sel T-makrofag (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Infeksi mikroorganisme dapat menyebabkan reaksi inflamasi pada tubuh. Dalam rangka menghancurkan benda asing atau mikroorganisme, tubuh akan mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat mikroorganisme yang masuk tersebut. Ada tiga pertahanan yang dilakukan oleh tubuh, yaitu:

1. Penghalang pada permukaan seperti enzim dan mucus yang secara langsung bertindak sebagai antimikroba atau menghambat penempelan mikroba.

2. Mikroba yang berhasil menembus lapisan ektoderm, maka yang akan menghadapi pertama kali adalah respon imun natural (innate immunity) yang meliputi sel-sel fagosit (neutrofil, monosit, dan maktofag) yang melepaskan media inflamasi (basofil, sel mast, dan eosinofil) dan sel natural killer (NK). Komponen molekuler yang terlibat dalam respon imun natural antara lain komplemen, protein fase akut, dan sitokin (protein yang berperan dalam inflamasi dan sebagai mediator utama komunikasi antar sel sistem imun). 3. Pertahanan yang ketiga adalah respon imun dapatan (acquired immunity)

yang meliputi proliferasi sel B dan T peka-antigen. Sel B mengeluarkan imunoglobulin dan sel T membantu sel B membuat antibodi dan juga membasmi patogen intraseluler dengan mengaktifkan makrofag. Respon imun natural dan dapatan bekerja bersama-sama untuk membunuh patogen (Roitt & Delves 2001).

Sel T (CD3) serta subset CD4/Th, CD8/Tc, dan Tr

(36)

Histocompatability Complex) dan dipresentasikan APC (Antigen Presenting Cell) (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel timosit/CD3 untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal, Balasubramaniam, Quek, Gill, dan Nasuruddin (1995) adalah 2092 ± 905 sel/µL.

Sel T yang berkembang penuh melewati dinding venul poskapilar, mencapai sirkulasi sistemik serta menempati organ limfoid perifer dan beberapa diantaranya disirkulasikan ulang. Sel T akan berdiferensiasi jika terpajan dengan antigen spesifik yang dipresentasikan APC dalam organ limfoid sekunder seperti limpa, kelenjar limfoid, dan MALT (Mucosal Associated Lymphoid Tissue). Kemampuan sel T matang untuk mengenal benda asing dimungkinkan oleh ekspresi molekul unik pada membrannya yang disebut TCR (T cell receptor) yang memiliki sifat diversitas, spesifisitas, memori, dan berperan dalam imunitas spesifik (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Peran sel T adalah pada inflamasi, aktivasi fagositosis makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi, serta pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi virus. Sel T terdiri atas beberapa subset yaitu sel T naif, Th/CD4, Tc/CD8, Tr/Treg/Th3, dan sel NKT. Sel T naif yang terpajan dengan kompleks antigen MHC dan dipresentasikan APC atau rangsangan sitokin spesifik akan berkembang menjadi subset sel T berupa CD4 dan CD8 dengan fungsi efektor yang berlainan (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Sel T naif adalah sel limfosit matang yang meninggalkan timus dan belum berdiferensiasi, belum terpajan antigen, dan memiliki molekul permukaan CD45RA. Dari timus sel T naif dibawa darah ke organ limfoid perifer. Sel T naïf yang terpajan antigen akan berkembang menjadi sel Th0 yang selanjutnya akan berkembang lagi menjadi sel efektor Th1 dan Th2 yang dapat dibedakan berdasarkan jenis sitokin yang diproduksinya. Sel Th0 memproduksi sitokin IL-2, IFN, dan IL-4 (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

(37)

berkembang menjadi subset Th1 dan Th2 yang akan mensintesis sitokin serta mengaktifkan fungsi sel imun lain seperti CD8, sel B, makrofag, dan sel NK (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel CD4 untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal et al. (1995) adalah 1052 ± 526 sel/µL

Sel CD8 naif yang keluar dari timus disebut juga sel T sitotoksik/Tc dan rata-rata untuk orang melayu normal adalah 965 ± 470 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Sel CD8 mengenal kompleks antigen MHC-I yang dipresentasikan APC. Molekul MHC-I ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi utama sel CD8 adalah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan sel histoin kompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Pada kondisi tertentu, sel CD8 juga dapat menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel CD8 menimbulkan sitolisis/penghancuran sel sasaran melalui mekanisme perforin/granzim, FasL/Fas (apoptosis/penghancuran diri), TNF-α serta memacu produksi sitokin Th1 dan Th2 (Roitt & Delves 2001; Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Proses penghancuran sel sasaran melalui mekanisme perforin/granzim dimulai dari sel CD8 yang aktif dan mengekspresikan molekul yang disebut perforin yang menyerupai MAC (Macrophage Activating Cytokine) dari komplemen. Perforin membuat lubang-lubnag dipermukaan sel T. Enzim yang disebut granzim lalu dimasukkan ke sel sasaran dan selanjutnya mengaktifkan kaspase, yaitu protein intraseluler dengan sistein di lokasi aktifnya yang berikatan dengan substrat di C terminal dari residu asam aspartik serta merupakan komponen kaskade enzim yang menimbulkan kematian apoptosis sel. Sedangkan penghancuran melalui mekanisme FasL diawali dari sel CD8 yang mengekspresikan molekul yang disebut FasL. Molekul ini akan mengikat Fas di permukaan sel sasaran dan Fas memiliki domen mati sitoplasma yang juga akan mengaktifkan kaspase (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

(38)

petanda supresif. IL-10 menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag sedangkan TGF- akan menekan proliferasi sel T dan aktivasi makrofag (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Sel B (CD19+)

Sel B atau limfosit B memiliki antigen permukaan CD19 dan memiliki peranan utama dalam sistem imun spesifik humoral. Jumlah sel B berkisar antara 5 – 25% dari limfosit dalam darah dan pertama kali diproduksi selama fase embrionik dan berlangsung terus selama hidup. Sebelum janin dilahirkan, yolk sac, hati, dan sumsum tulang janin merupakan tempat pematangan utama sel B dan setelah janin dilahirkan pematangan sel B terjadi di sumsum tulang. Pematangan sel B terjadi dalam beberapa tahap dan berhubungan dengan berbagai Ig yang diproduksi (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel B untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal et al. (1995) adalah 414 ± 283 sel/µL.

Pematangan limfosit terjadi melalui proses yang disebut seleksi (positif dan negatif) dan untuk sel B proses seleksi pematangan primer terjadi dalam organ limfoid primer sumsum tulang. Sel B akan berproliferasi atas pengaruh sitokin IL-12 yang meningkatkan jumlah sel imatur. Perkembangan sel B mulai dari sel precursor limfoid yang berdiferensiasi menjadi sel progenitor B (pro-sel B) yang mengekspresikan transmembran tirosin-fosfatase (CD45R). Proliferasi dan diferensiasi pro-B menjadi prekursor B memerlukan lingkungan mikro dari stroma sel sumsum tulang. Jadi jika sel pro-B dibiakkan secara in vivo, tidak akan tumbuh menjadi sel yang matang kecuali ada sel sumsum tulang yang melepas sitokin IL-17 untuk membantu perkembangan sel tersebut (Roitt & Delves 2001; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

(39)

mula-mula memproduksi IgM atau isotope Ig lain (missal IgG), menjadi matang, atau menetap sebagai sel memori (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Sel NK (CD16+56+)

Sel NK merupakan salah satu kelompok limfosit yang memiliki antigen permukaan CD 56 dan 16 (CD16+56+) (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Sel NK akan merespon antigen atau mikroba intraseluler dengan membunuh sel-sel yang terinfeksi dan memproduksi IFN- , yaitu sitokin yang akan mengaktivasi makrofag dan berfungsi dalam imunitas non spesifik terhadap virus dan sel tumor (Abbas & Lichtman 2004).

Jumlah sel NK sekitar 5 – 15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit dalam jaringan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dhaliwal et al (1995), rata-rata sel NK pada orang melayu normal adalah 649 ± 349 sel/µL. Sel NK berkembang dari sel sel asal progenitor yang sama dengan sel B dan sel T tetapi tidak memiliki petanda sel B, sel T, atau immunoglobulin permukaan. Sel NK juga bermigrasi ke organ limfoid perifer seperti limpa dan kelenjar getah bening meskipun hanya merupakan sebagian kecil dari sel T (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Sel NK mengenal dan membunuh sel terinfeksi atau sel yang menunjukkan transformasi ganas, tetapi tidak membunuh sel sendiri yang normal karena dapat membedakan sel sendiri dari sel yang potensial berbahaya. Hal tersebut dimungkinkan karena reseptornya yang berupa reseptor inhibitori dan reseptor aktivasi. Sel NK mengenal MHC-I yang diekspresikan semua sel sehat dan tidak oleh sel yang terinfeksi virus atau kanker. Reseptor yang diaktifkan dapat mengenal struktur yang ada pada sel sasaran yang rentan terhadap sel NK dan sel normal. Pengaruh reseptor inhibitori akan dominan dan mengikat MHC-I yang normal diekspresikan pada sel sehat (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

(40)

tetapi mungkin tidak dikenal oleh sel CTL/CD8. Sel tumor dapat berkembang dan menjadi varian tumor yang secara genetik tidak stabil, dengan ekspresi MHC yang kurang pada permukaan sel, sehingga sel CD8 tidak mampu mengenalinya. Beberapa jenis virus juga dapat mengurangkan ekspresi molekul MHC-I pada sel terinfeksi sehingga mempersulit sel CD8 dalam mengenali dan membunuh sel tersebut. Hal inilah yang menjadi kelebihan sel NK karena dapat membunuh sel pejamu yang mengekspresikan molekul MHC-I abnormal. Dalam hal ini, sel NK dengan reseptor aktivasinya yang mengenali molekul MHC-I abnormal pada sel sasaran dapat membunuh sel tumor serta memusnahkan sel terinfeksi virus intraselular, sehingga dapat menyingkirkan sumber infeksi. Mekanisme kerja sel NK dalam imunitas spesifik terjadi melalui produksi IFN- dan TNF-α yang merupakan dua sitokin proinflamasi poten dan dapat merangsang pematangan sel dendritik yang merupakan sel koordinator imunitas nonspesifik dan spesifik.

merupakan mediator poten aktivasi makrofag dan penting pada regulasi perkembangan Th yang merupakan bagian dari imunitas spesifik (Roitt & Delves 2001; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Fungsi imun dan obesitas

Sistem imun sangat dipengaruhi oleh gizi karena tanpa gizi yang memadai, maka sistem imun akan kekurangan komponen yang dibutuhkan untuk menghasilkan respon imun yang efektif. Kekurangan gizi pada manusia biasanya merupakan kasus kurang gizi komplek (bukan hanya satu zat gizi). Hasil penelitian (dengan hewan coba dan pengamatan pada pasien kurang gizi tunggal) telah menunjukkan peran penting dari vitamin A, beta karoten, asam folat, vitamin B2, B6, B12, vitamin C, vitamin E, besi, seng, dan selenium dalam pemeliharaan sistem imun (Chandra 2002; Grimble 1997 dalam Marcos, Nova, & Montero 2003). Perbaikan gizi akan dapat meningkatkan kembali fungsi imun dan resistensi tubuh terhadap infeksi. Meskipun demikian, kelebihan gizi juga akan berdampak negative/merusak fungsi kekebalan tubuh (Calder dan Kew 2002)

(41)

komposisi asam lemak yang ada dalam diet. Oleh karena itu, pengaturan lemak dalam diet menjadi penting terutama jika diet tersebut digunakan dalam tata laksana diet penyakit yang terkait dengan proses peradangan maupun penyakit autoimun (De Pablo & Alvarez de Cienfuegos 2000 dalam Marcos, Nova, & Montero 2003).

Sampai saat ini, informasi mengenai mekanisme yang menyebabkan terjadinya peningkatan risiko infeksi dan rendahnya respon antibodi pada orang-orang obes masih belum diketahui, tetapi kemungkinan yang terbesar adalah karena adanya kaitan antara proses metabolisme dalam tubuh yang buruk yang akhirnya menghasilkan respon imun yang buruk pula (Lamas et al. 2002 dalam Marcos, Nova & Montero 2003). Hal ini didukung dengan banyaknya bukti ilmiah yang menunjukkan adanya hubungan antara metabolism jaringan adipose dengan fungsi sel yang mampu mengembangkan respon kekebalan tubuh (imunokompeten). Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, diketahui bahwa pada subjek hewan coba obes ada hubungan antara keberadaan leptin dan TNF-α dalam jaringan adiposa dengan penurunan seluruh subset limfosit T dan populasi sel B (Kimura et al. 1998 dalamMarcos, Nova & Montero 2003). Selain itu, tingkat responsifitas limfosit hewan coba obes pada berbagai mitogen lebih rendah jika dibandingkan pada subjek yang tidak obes (Tanaka et al. 1998 dalam Marcos, Nova & Montero 2003).

(42)
[image:42.595.102.520.161.554.2]

sebelumnya) juga menghasilkan kesimpulan yang berbeda (Marcos, Nova, & Montero 2003). Beberapa hasil penelitian yang membandingkan respon imun pada subjek obes dan non obes disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Beberapa hasil penelitian mengenai imunitas pada subjek obes dibandingkan dengan subjek non obes

Subjek Hasil Penelitian Sumber

Individu obes Total limfosit (sel-sel helper (CD4+) dan

sel T sitotoksik (CD8+), kadar IL-6 dan IL-1 α, dan kadar serum protein C-reaktif) lebih tinggi dibandingkan subjek non obes.

Nieman et al. (1999) Visser et al. (1999) Raymond et al. (1999)

Individu obes Respon limfosit yang lebih rendah

terhadap mitogen dibandingkan subjek

non obes, terkait dengan kadar TNF-α

yang lebih tinggi.

Nieman et al. (1999) Tanaka et al. (1993)

Individu obes dengan pembatasan asupan energi

Respon proliferasi yang lebih rendah terhadap berbagai mitogen dibandingkan subjek non obes.

Nieman et al. (1996)

Individu obes setelah mengalami penurunan berat badan

Peningkatan respon sel T dan peningkatan respon proliferasi terhadap berbagai mitogen dibandingkan subjek non obes.

Tanaka et al. (1993 dan 2001)

Individu obes setelah berpuasa

Jumlah PHA (phytohaemaglutinin) lebih

rendah dan aktifitas sel NK serta IgM (penunjuk terjadinya infeksi primer) lebih tinggi dibandingkan pada subjek non obes.

Wing et al. (1983)

Individu obes dengan program fat burn

Bakterinemia, demam, durasi

antibiotherapy, dan lama rawat inap di rumah sakit yang lebih tinggi

dibandingkan pada subjek non obes.

Gottschlich et al. (1993)

(43)

KERANGKA PEMIKIRAN

  RISKESDAS 2007 menunjukkan bahwa penyakit infeksi utama yang perlu mendapat perhatian tinggi di Indonesia adalah HIV/AIDS, malaria, dan TBC karena dapat memberikan risiko yang fatal dan prevalensi kejadian ketiga penyakit infeksi ini masih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus infeksi akan berakibat fatal jika terjadi pada individu yang mengalami obesitas. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih karena permasalahan obesitas di Indonesia saat ini juga semakin meningkat. Penelitian lain menunjukkan bahwa kejadian obesitas terbukti membawa dampak negatif yang diantaranya adalah penurunan fungsi imun sehingga penderita obesitas jadi semakin rentan terhadap berbagai penyakit infeksi.

Upaya yang dapat ditempuh untuk perbaikan sistem imun diantaranya dengan pemanfaatan bahan lokal yaitu temulawak. Secara tradisional temulawak banyak digunakan untuk tujuan pengobatan atau sebagai minuman untuk menjaga kesehatan sehingga sampai saat ini berbagai produk berbahan dasar temulawak telah banyak beredar di pasaran, meskipun klaim manfaat kesehatan masih banyak yang belum didukung data klinis, terutama yang terkait dengan sistem imun. Lebih jauh lagi, formulasi yang tepat terkait dosis dan mutu bahan aktif pada produk juga belum terjamin.

(44)

Pemanfaatan temulawak, khususnya untuk kesehatan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat mengenai temulawak. Pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak akan memberikan persepsi yang baik pula mengenai temulawak sehingga penerimaan masyarakat terhadap produk pangan fungsional berbasis temulawak akan semakin baik jika pengetahuan dan persepsi terhadap temulawak juga baik. Jadi dapat dikatakan bahwa persepsi berpengaruh secara langsung terhadap penerimaan. Lebih lanjut, hal ini tentunya akan sangat menentukan apakah produk minuman serbuk temulawak yang diberikan akan berpengaruh terhadap fungsi sistem imun atau tidak. 

Keterangan

= Peubah yang diteliti = Hubungan yang diteliti

[image:44.595.105.513.77.825.2]

= Peubah yang tidak diteliti = Hubungan yang tidak diteliti

Gambar 5 Kerangka pemikiran

Tingkat pendidikan

Subjek

Obesitas

Penurunan fungsi imun

Pemberian minuman temulawak

Akses informasi

Perbaikan fungsi imun [↑ jumlah dan % limfosit

serta subsetnya: Sel T (CD3+, CD4+, CD8+), Sel B

(CD19+), dan Sel NK (CD16+56+)]

Pengetahuan tentang manfaat kesehatan

temulawak

Persepsi tentang manfaat kesehatan

temulawak

Penerimaan dan pemanfaatan temulawak untuk

(45)

METODE Cakupan Kegiatan

Cakupan kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak pada orang dewasa.

2. Pengembangan minuman instan temulawak

3. Uji klinis pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi imun yang diukur dari populasi limfosit total (sel B, sel T, dan sel NK).

Kegiatan pengembangan minuman instan dan uji klinis minuman instan terhadap fungsi imun merupakan bagian dari kegiatan penelitian hibah KKP3T dengan No. kontrak 1004/LB.620/I.1/4/2010 yang berjudul Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk Meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes.

[image:45.595.106.519.464.696.2]

Berbagai data serta cara pengumpulan yang dilakukan dalam seluruh kegiatan penelitain ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data

Tujuan Data Cara Pengumpulan Jenis Data/Sumber

Analisis pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan temulawak.

 Pengalaman

mengonsumsi temulawak

 Pengetahuan tentang

manfaat kesehatan temulawak

 Wawancara

dengan kuesioner

 Wawancara

dengan kuesioner

 Data primer

 Data primer

Pengembangan produk minuman instan temulawak

Daya terima organoleptik

Uji organoleptik Data primer

Analisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes.

Sel T dan subsetnya

(CD3+, CD4+, dan CD8+)

Sel B (CD19+)

Sel NK (CD16+56+)

Flow cytometri

Flow cytometri

Flow cytometri

 Dwiriani, Dewi,

dan Januwati (2010)

 Dwiriani, Dewi,

dan Januwati (2010)

(46)

Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak

Desain, tempat dan waktu

Penelitian ini merupakan penelitian lapang dengan desain cross sectional study yang akan dilaksanakan pada April – Juni 2011. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Lokasi penelitian tersebut dipilih dengan pertimbangan: (1) keberadaan subjek yang akan mewakili populasi sasaran, dan (2) kemudahan akses.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Berdasarkan pengelompokkan penduduk dalam RISKESDAS diketahui bahwa penduduk yang dikategorikan sebagai penduduk dewasa jika berumur lebih dari 18 tahun. Lokasi untuk survei ditentukan secara purposive yaitu di Kampus IPB Darmaga. Mempertimbangkan bahwa pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan maka subjek dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok subjek dengan tingkat pendidikan tinggi dan subjek dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, dari setiap kelompok, subjek terbagi lagi berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu kelompok laki-laki dan perempuan sehingga kerangka penarikan subjeknya adalah sebagai berikut:

Gambar 6 Kerangka pengambilan subjek

Jumlah subjek minimum dihitung berdasarkan rumus perhitungan jumlah sampel minimum penelitian cross sectional study dengan mempertimbangkan power sebesar 90% seperti berikut:

n ≥ zα2 x p (1 – p)/d2

n = jumlah contoh/subjek minimum p = 0.9 atau 90%

zα2 = 1.96 d = perkiraan ketepatan penelitian (0.1)

Pegawai IPB

Tingkat pendidikan tinggi Tingkat pendidikan rendah

(47)

Berdasarkan rumus perhitungan tersebut, jumlah subjek minimum untuk tiap kelompok (tingkat pendidikan dan jenis kelamin) penelitian adalah 18. Jumlah total subjek untuk survei pengetahuan menjadi: 18 x 2 (kelompok status pekerjaan) x 2 (kelompok jenis kelamin) = 72 subjek. Jumlah tersebut dibulatkan menjadi 80 untuk meningkatkan ketepatan penelitian. Teknik yang digunakan dalam pengambilan contoh yaitu dengan random sampling. Contoh dipilih secara acak pada lokasi yang telah ditentukan secara purposive.

Kriteria inklusi untuk subjek adalah: berusia dewasa (> 18 tahun) dan berstatus sebagai pegawai IPB (PNS maupun honorer), sedangkan kriteria ekslusi subjek adalah: pegawai pendidik pakar pangan, gizi, dan kesehatan.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam survei ini dilakukan melalui wawancara dan pengisian langsung dengan subjek. Data tersebut meliputi karakteristik sosial ekonomi, pengalaman mengonsumsi temulawak (baik sebagai pangan maupun obat) dan tujuannya, pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak serta sumber informasinya.

Data terkait pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak yang dikumpulkan diantaranya adalah manfaat temulawak untuk sakit perut, sakit hati, demam, sembelit/memperlancar buang air besar, perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal, obat sakit maag, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, peradangan dalam perut atau kulit, dan peningkatan ketahanan tubuh. Sebelum disebarkan kepada contoh, dilakukan pengujian terhadap reliabilitas alat ukur pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak. Pengolahan dan Analisis Data

(48)

Kuesioner untuk pengukuran tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak diuji validitas dan reliabilitasnya dengan tes reliabilitas. Nilai Cronbach’s Alpha dari tes ini akan menentukan reliabilitas kuesioner yang digunakan sedangkan nilai korelasi pada uji ini akan menentukan validitas setiap pertanyaan dalam kuesioner. Tingkat pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak dikategorikan dengan menetapkan cut off point dari skor yang mengadopsi penentuan cut off point pengetahuan gizi (Khomsan, 2000). Kategorinya adalah baik jika skor > 80, sedang jika skor antara 60 – 80, dan kurang jika skor < 60.

Pengembangan Minuman Instan Temulawak

Pengembangan ekstrak temulawak dilakukan melalui tahapan: Penyiapan bahan baku, identifikasi dan analisis mutu bahan aktif, serta formulasi minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol. Standardisasi bahan baku dilakukan dengan mengambil satu dari tiga varietas temulawak unggul yang telah diteliti Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro). Penelitian skala laboratorium untuk pengembangan produk minuman instan temulawak dilakukan di Lab. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), Lab. Analisis Makanan dan Instrumentasi, Dept. GM, dan Lab. Pilot Plan, FATETA IPB.

Pembuatan ekstrak kering temulawak a. Bahan dan Metode

Bahan kimia yang digunakan yaitu, metanol HPLC, etanol teknis, aquades, maltodextrin, dan bahan kimia lainnya untuk analisis mutu. Sedangkan peralatan yang digunakan seperti, ekstraktor, blower, spray dryer, freeze dryer, rotavapor, alat penyuling serta peralatan lainnya untuk analisis mutu ekstrak.

b. Rancangan Kerja

(49)

dihasilkan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer sehingga dihasilkan ekstrak temulawak kering. Untuk mempercepat proses pengeringan serta memperbaiki terkstur ekstrak sebelum proses pengeringan, ekstrak diencerkan dan ditambahkan bahan pengisi berupa maltodekstrin lalu diaduk hingga merata. Setelah kering dilakukan analisis mutu terhadap ekstrak yang dihasilkan.

c. Rancangan pengamatan

Pengamatan mutu dari ekstrak kering temulawak dilakukan meliputi parameter tekstur, kadar air, warna, kadar bahan aktif (marker) kurkumin dan xanthorhizol.

Teknik pengembangan minuman instan temulawak a. Rancangan kerja

Formulasi produk berupa serbuk dari ekstrak kering, yang ditambahkan dengan pemanis (gula tepung dan sukralosa), garam, asam sitrat, dan bahan pengisi (maltodekstrin).

Rimpang segar temulawak

Pencucian

Pengupasan

Perajangan (tebal 7 – 8 mm)

Penghancuran/blender

Bubur temulawak

Ekstraksi (4 jam)

Pemerasan

Penyaringan

Filtrat/Sari

(Penguapan pelarut 70oC, 0.75 atm) Pengendapan pati

Gambar

Tabel 1 Syarat mutu minuman serbuk tradisional
Gambar 4 Skema sistem imun adaptif dan non adaptif
Tabel 2 Beberapa hasil penelitian mengenai imunitas pada subjek obes
Gambar 5 Kerangka pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati tahun 2014 juga menunjukkan hasil yang sama yaitu tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada

Sutarto (2006 : 183) mengemukakan bahwa dalam sebuah organisasi, seorang staf memiliki peranan sebagai pejabat yang bertugas melakukan

Tujuan dari penelitian ini adalah Mempelajari pengaruh temperatur dan kecepatan pengadukan terhadap pengurangan konsentrasi kalsium hidroksida pada sintesis

4.4.2 Sikap Responden Terhadap Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru

Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus

terjadi atau return aktual, merupakan return yang telah diperoleh seorang investor pada masa lalu atau padasaat

Simpulan yang dapat disusun dari dua pendapat ahli diatas bahwa simposium merupakan serangkaian pidato pendek di depan pengunjung dengan seorang

pada darah yang ditetesi anti serum A, maka orang itu akan bergolongan darah. Ketika terjadi penggumpalan pada darah yang ditetesi anti serum B,