TESIS
Oleh
JOJOR IMELDA LIMBONG 107011124/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2012
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
JOJOR IMELDA LIMBONG 107011124/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2012
Nama Mahasiswa : JOJOR IMELDA LIMBONG Nomor Pokok : 107011124
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Tanggal lulus : 12 Juli 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum Anggota : 1.Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
2.Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
Nama : JOJOR IMELDA LIMBONG
Nim : 107011124
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PELAKSANAAN PERJANJIAN JASA
PEMBORONGAN PEKERJAAN PENYEDIAAN AIR BAKU ANTARA PT. MITHA PRANA CHASEA DENGAN BALAI SUMBER DAYA AIR SUMATERA II PROPINSI SUMATERA UTARA
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : JOJOR IMELDA LIMBONG Nim : 107011124
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang merupakan penyempurnaan dari Keppres Nomor 80 Tahun 2003, tujuan diberlakukannya peraturan tentang pengadaan barang/jasa agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Permasalahan yang penulis angkat dalam tesis ini yaitu bagaimana proses pelaksanaan perjanjian pemborongan apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanggung jawab para pihak, dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan proyek serta upaya-upaya yang dilakukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa dalam perjanjian tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan secara pendekatan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan para responden sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang- undangan dan literatur. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan penyediaan air baku antara PT.
Mitha Prana Chasea dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara proses pembuatan perjanjian pemborongan dan pelaksanaan perjanjian dimulai dengan tahap pra kontrak, kontrak dan pasca kontrak. Pasca penandatanganan kontrak terjadi addendum atau perubahan kontrak akibat adanya perubahan volume pekerjaan yang mengakibatkan perubahan harga dan volume pekerjaan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa perjanjian jasa pemborongan ini telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dimana PT.
Mitha Prana Chasea telah memenuhi ketentuan yang berlaku sebagai pemborong/penyedia jasa. Para pihak juga memiliki tanggung jawabnya masing- masing atas pelaksanaan perjanjian pemborongan. Pihak pengguna jasa bertanggungjawab menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Pemborong atau penyedia jasa bertanggungjawab mengerjakan kontrak sesuai dengan bestek, melaporkan hasil pekerjaan secara periodik, memberikan jaminan berupa garansi bank dan juga bertanggungjawab dalam pemeliharaan proyek selama 3 (tiga) bulan pasca kontrak. Agar proses pelaksanaan pekerjaan pemborongan dapat berjalan dengan efektif hendaknya didukung kerjasama kedua belah pihak serta dilakukan dengan penuh tanggungjawab. Apabila ada perselisihan yang terjadi agar diselesaikan dengan musyawarah tanpa harus dibawa ke pengadilan.
Kata Kunci : Jasa Pemborongan, Perjanjian
No.54/2010 on the government goods and service procurement as the amendment of Presidential Decree No.80/2003, it is stated that the purpose of the enactment of regulation on goods and services procurement is to make the implementation of goods and services procurement which is partially or entirely funded by APBN/APBD efficient, effective, open and competitive, transparent, fair/not discriminative and accountable. But, in general, not all of the goods and services procurement was implemented in accordance with the provisions above. The purpose of this descriptive analytical study with juridical empirical approach was to find out whether or not the process of tender agreement was implemented in accordance with the currently applicable law, the responsibility of the parties involved, the constraints faced in the implementation of the project, and the attempts done by the parties involved to settle the dispute occurred in the agreement.
The data used in this study were primary data obtained through interviewing the respondents and secondary data obtained from the related regulations of legislation and literatures. The data obtained were then qualitatively analyzed.
In the tender agreement of raw water supply between PT. Mitha Prana Chasea and Balai Sumber Daya Air Sumatera II Province of Sumatera Utara, the making process of tender agreement and the implementation of the agreement began with the stages of pre-contract, contract, and post-contract. After signing the contract, an addendum or change of contract occurred due to change of work volume resulted in the change of work volume and cost. The result of this study showed that the tender agreement of this service has met the current legal provisions in which PT. Mitha Prana Chasea in its capacity as contractor/service provider has met anything required. The parties involved also had their own responsibility for the implementation of the tender agreement. The service user was responsible for the provision of facilities and infrastructures needed. The contractor or service provider was responsible for the implementation of work in accordance with the specification agreed, periodically reporting the results of works, providing a collateral in the form of bank guarantee and being responsible for project maintenance for 3 (three) months during post-contract. In order to make it effective, the implementation process of contracted jobs must be supported by a fully responsible cooperation between both parties. In case a dispute occurs, it should be settled by deliberation and consensus without taking it to the court of law.
Keywords: Tender Service, Agreement
Tuhan Yang Maha Esa, atas segala cinta kasih, pertolongan, kemurahan dan penyertaanNya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) dengan judul : “Pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan Pekerjaan Penyediaan Air Baku Antara PT.
Mitha Prana Chasea Dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara”.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar :
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.
2. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.
4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.
5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.
Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis juga mengucapkan terimakasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
3. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah
Hukum Universitas Sumatera Utara, Bu Fat, Winda, Sari, Lisa, Afni, Aldi, Ken, Rizal, yang selalu membantu kelancaran dalam hal management administrasi yang dibutuhkan.
5. Seluruh teman-teman seangkatan mahasiswa Magíster Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya Kelas Reguler Khusus, yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
6. Teman-teman terbaikku, Candy, Willy, Raymond, Lidya yang telah banyak memberikan bantuan dan semangat untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
Suatu rasa haru yang tidak terhingga dalam kesempatan ini penulis juga menghaturkan sembah sujud dan ucapan terimakasih kepada Ayahanda tercinta Almarhum Lucius Limbong dan Ibunda Senti Sigalingging yang terus memberikan doa dan kasih sayangnya kepada penulis. Teristimewa kepada suami tercinta Viktor Silaen, SE., yang telah memberikan dorongan dan doa demi perjuangan penulis meraih cita-cita dan putriku tersayang Gabriella Gracia Silaen yang senantiasa memberikan keceriaan buat penulis disaat penulis menyelesaikan tesis ini. Tidak ketinggalan kepada seluruh saudara-saudaraku, abang, kakak yang telah banyak memberikan dorongan moril dan doa.
tesis ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembacanya.
Medan, Juli 2012 Penulis
JOJOR IMELDA LIMBONG
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Jojor Imelda Limbong
Tempat / Tgl. Lahir : Sibolga, 1 Mei 1976
Alamat : Jl. Persatuan Komplek Surya Regency D-10 Medan
II. KELUARGA
Nama Suami : Viktor Silaen, SE Nama Anak : Gabriella Gracia Silaen III. PENDIDIKAN
SD Negeri 060832 Medan : Lulus Tahun 1988
SMP Negeri 6 Medan : Lulus Tahun 1991
SMA Negeri 11 Medan : Lulus Tahun 1994
S1 Ilmu Hukum Universitas Darma Agung Medan : Lulus Tahun 1999 S2 Magister Kenotariatan FH-USU : Lulus Tahun 2012 IV. PEKERJAAN
Agustus 2000 – sekarang : HRD Manager PT. Panca Pilar Tangguh Medan
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR SINGKATAN ... xi
DAFTAR ISTILAH ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... ... 1
B. Permasalahan ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Keaslian Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11
1. Kerangka Teori ... 11
2. Konsepsi ... 17
G. Metode Penelitian ... 18
1. Spesifikasi Penelitian ... 18
2. Metode Pendekatan ... 19
3. Sumber Data ... 20
4. Alat Pengumpulan Data ... 22
5. Analisis Data ... 23
BAB II PROSES PELAKSANAAN PERJANJIAN JASA PEMBORONGAN PEKERJAAN PENYEDIAAN AIR BAKU ANTARA PT. MITHA PRANA CHASEA DENGAN BALAI SUMBER DAYA AIR SUMATERA II PROPINSI SUMATERA UTARA ... 24
A. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian ... 24
1. Pengertian Perjanjian ... 24
6. Berakhirnya Perjanjian ... 43
7. Perjanjian Baku ... 44
B. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Pemborongan .. 46
1. Pengertian Perjanjian Pemborongan ... 46
2. Sifat dan Bentuk Perjanjian Pemborongan ... 51
3. Macam dan Resiko Perjanjian Pemborongan ... 52
4. Isi Perjanjian Pemborongan ... 57
5. Pihak-pihak Dalam Perjanjian Pemborongan ... 57
C. Tinjauan Umum terhadap Undang-Undang Jasa Konstruksi ... 59
1. Sejarah dan Pengertian Jasa Konstruksi ... 59
2. Asas dan Prinsip Jasa Konstruksi ... 65
3. Jenis Usaha Konstruksi ... 66
4. Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi ... 67
D. Proses Pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan Penyediaan Air Baku Antara PT. Mitha Prana Chasea Dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara ... 68
1. Tahap/Fase Pra Kontrak ... 68
2. Tahap/Fase Penandatanganan Surat Perjanjian (Kontrak) ... 79
3. Tahap/Fase Pasca Kontrak (Pelaksanaan) ... 86
BAB III TANGGUNGJAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBORONGAN . 97 A. Tanggungjawab Pejabat Pembuat Komitmen Selaku Pengguna Jasa ... 97
B. Tanggungjawab PT. Mitha Prana Chasea selaku Penyedia Jasa ... 103
1. Tanggungjawab Kontraktor apabila melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengan bestek ... 106
4. Tanggungjawab Kontraktor dalam memberikan
Jaminan berupa garansi Bank dan Asuransi ... 115
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DAN UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PARA PIHAK UNTUK MENYELESAIKAN SENGKETA DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN JASA PEMBORONGAN ... 120
A. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Pembangunan Proyek ... 120
B. Upaya-upaya yang Dilakukan oleh Para Pihak .. untuk Menyelesaikan Sengketa dalam Pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan ... 127
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 132
A. Kesimpulan ... 132
B. Saran ... 133
DAFTAR PUSTAKA ... 134 LAMPIRAN
3. APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara 4. AV : Algemene Voorwarden voorde uitvoering bij
aanneming van openbare werken in Indonesia (syarat-syarat umum untuk pelaksanaan
pemborongan pekerjaan umum di Indonesia) 5. DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
6. KAK : Kerangka Acuan Kerja
7. Kepmenpraswil : Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah
8. Keppres : Keputusan Presiden
9. KUH Perdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 10. NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak
11. PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum 12. Pemda : Pemerintah Daerah
13. Perpres : Peraturan Presiden
14. PPK : Pejabat Pembuat Komitmen 15. PPN : Pajak Pertambahan Nilai
16. RKS : Rencana Kerja dan Syarat-syarat 17. SBU : Sertifikat Badan Usaha
18. SDA : Sumber Daya Air
19. SIUJK : Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi 20. SMM : Sistem Manajemen Mutu
21. SNVT : Satuan Non Vertikal 22. SPMK : Surat Perintah Mulai Kerja 23. STL : Serah Terima Lapangan 24. TDP : Tanda Daftar Perusahan
25. UUJK : Undang-Undang Jasa Konstruksi
2. Addendum Kontrak : Perubahan Kontrak
3. Advance Payment Bond : Jaminan Pembayaran Uang Muka
4. Air Baku : Air bersih yang dipakai untuk kebutuhan Air minum, rumah tangga dan industri 5. Annemer : Kontraktor, pelaksana
6. Bank Guarantee : Garansi bank
7. Bestek : Uraian tentang pekerjaan yang disertai dengan gambar-gambar dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan pekerjaan pemborongan bangunan.
8. Bid Bond : Jaminan penawaran
9. Fixed price : Harga pasti
10. Force majeur/overmacht : Keadaan memaksa 11. In good faith : Asas Itikad baik
12. Klarifikasi : Kegiatan menilai kemampuan dasar pemborong, sesuai dengan pekerjaan yang menjadi spesialisasinya
13. Lumpsum : Harga keseluruhan
14. Maintenance Bond : Jaminan Pemeliharaan 15. Obligee. : Pemilik pekerjaan 16. Performance Bond : Jaminan pelaksanaan
17. Pre-Construction Meeting/PCM : Rapat persiapan pelaksanaan 18. Rescheduling : Jadwal pelaksanaan pekerjaan 19. Retention money : Uang retensi
20. Surety : Penjamin
21. Toesteming : Persetujuan, persesuaian kehendak, sepakat 22. Unit price : Harga satuan
23. Wanprestasi : Kelalaian dari salah satu pihak
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat ditegaskan bahwa yang menjadi tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah “untuk memajukan kesejahteraan umum”. Kata “umum” dalam kalimat tersebut mengandung arti kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu negara dalam hal ini pemerintah Indonesia, mempunyai tugas dan kewajiban untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya adalah melalui peningkatan sarana dan prasarana umum bagi masyarakat.
Dengan meningkatnya kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat, diperlukan adanya sarana dan prasarana yang dapat memudahkan serta menunjang kegiatan masyarakat. Dengan membaiknya perekonomian negara Indonesia dan berkembangnya pembangunan, sangat dibutuhkan suatu pekerjaan yang cepat, tepat dan berkualitas oleh tenaga-tenaga ahli di bidangnya, dalam pelaksanaan dan penyelesaian suatu proyek pembangunan, termasuk didalamnya pembuatan sarana dan prasarana guna menunjang kegiatan pemerintah dan masyarakat.
Untuk terwujudnya sarana dan prasarana yang memadai guna menunjang kegiatan masyarakat, banyak para pihak yang menawarkan jasa untuk melakukan pekerjaan pembangunan yang dikenal dengan istilah jasa pemborongan. Jasa pemborongan tersebut dapat meliputi pekerjaan yang secara keseluruhan dan
sebagian mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan guna mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik.
Dalam pelaksanaan jasa pemborongan pada umumnya dilakukan dengan cara memborongkan pekerjaan pada pihak lain yang bidang usahanya khusus bergerak dalam pembangunan fisik dalam bidang jasa pemborongan yaitu pemborong atau kontraktor yang berbentuk usaha perorangan maupun badan usaha.
Usaha jasa pemborongan sudah lazim digunakan oleh masyarakat maupun pemerintah dalam hal ini sebagai bouwheer dalam pekerjaan proyek berskala besar. Para pihak yang memiliki pekerjaan (owner/bouwheer) dan pemborong (kontraktor), terikat dalam suatu bentuk perjanjian pemborongan tentang pembuatan suatu karya (het maken van werk).1
Perjanjian atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.2
Perjanjian pemborongan adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga borongan.3
1FX. Djumaialdji, Hukum Bangunan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 5.
2M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6
3R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 58
Secara garis besar, tatanan hukum perdata Indonesia memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk saling mengadakan perjanjian tentang apa saja yang dianggap perlu bagi tujuannya. Sebagaimana ketentuan pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaimana undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Mensikapi hal tersebut R. Subekti menjelaskan :
“Bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang. Atau dengan perkataan lain, dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal- pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.”4
Pihak-pihak yang berjanji itu harus bermaksud supaya perjanjian yang mereka buat itu mengikat secara sah.5
Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.6
Perjanjian yang telah dibuat akan mengikat para pihak yang mengadakannya. Pada umumnya suatu perjanjian dituangkan ke dalam tulisan atau perjanjian tertulis atau surat.7
4R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta 1987, hlm.14.
5Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 94.
6 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 1.
7 Santia Dewi dan Fauwas Diradja, R.M, Panduan Teori & Praktik Notaris, Pustaka Yustisia, Yogyakarta2011, hlm. 31.
Ketentuan mengenai perjanjian pemborongan telah diatur dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.8
Untuk dapat terlaksananya jasa pemborongan, sebelumnya harus didahului dengan pengikatan para pihak yang sepakat mengikatkan diri antara satu dengan yang lainnya serta dituangkan dalam suatu perjanjian jasa pemborongan, sehingga menimbulkan hubungan hukum bagi para pihak.
Selain itu dalam perjanjian jasa pemborongan tersebut, wajib memuat ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para pihak, termasuk didalamnya ketentuan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak, pelaksanaan perjanjian serta berakhirnya perjanjian, dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan serta peraturan pelaksananya yang mengatur mengenai jasa pemborongan.
Dalam perjanjian jasa pemborongan juga terdapat hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi para pihak baik oleh pemborong atau penyedia jasa dan pemilik sebagai pengguna jasa, termasuk didalamnya hasil kerja dari pihak yang mengerjakan, dalam hal ini penyedia jasa serta adanya suatu harga atau imbalan dari pengguna jasa, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati.
Perjanjian jasa pemborongan merupakan perjanjian yang mengandung resiko, antara lain resiko tentang keselamatan umum dan resiko tentang
8Subekti, R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 1999, hlm. 391.
hambatan-hambatan dalam melaksanakan pekerjaan, maka dari itu perjanjian lazim dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis (kontrak). Oleh karena itu dalam pelaksanaan tersebut pihak pemborong atau penyedia jasa diwajibkan menggunakan jaminan, umumnya bank garansi atau lembaga asuransi, hal tersebut guna mencegah resiko yang mungkin dapat terjadi di kemudian hari.
Saat ini pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang dan jasa termasuk didalamnya jasa peborongan, yang seluruh biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), harus mengacu kepada ketentuan perundang-undangan yaitu Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pekerjaan jasa pemborongan pekerjaan penyediaan air baku antara PT. Mitha Prana Chasea dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara merupakan tahun anggaran 2010, dan saat itu peraturan yang masih berlaku adalah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Indonesia Nomor 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 merupakan penyempurnaan dari Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya, yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
Baik dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 maupun Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, tujuan diberlakukannya peraturan tentang pengadaan barang dan jasa agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Jika tujuan tercapai maka pemerintah akan diuntungkan dari sisi penggunaan anggaran.
Dalam pelaksanaan jasa pemborongan terhadap proyek-proyek pemerintah, harus diketahui kemampuan dasar pemborong atau penyedia jasa sesuai dengan spesialisasinya. Kegiatan menilai kemampuan dasar pemborong, sesuai dengan pekerjaan yang menjadi spesialisasinya tersebut dinamakan klarifikasi.9
Oleh karena itu dalam praktek pada umumnya, pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan dilakukan berdasarkan prinsip persaingan sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan pelelangan umum atau terbatas. Selain itu dalam pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan, tidak tertutup kemungkinan adanya keterlambatan, kelalaian dari salah satu pihak (wanprestasi), baik sengaja maupun karena keadaan memaksa (force majeur/overmacht).
Kebutuhan air bersih Kabupaten Dairi semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan kabupaten. Saat ini penyediaan air
9FX. Djumaialdji, Op-Cit, hlm. 38
bersih diselenggarakan oleh PDAM, akan tetapi kapasitasnya belum bisa mencukupi seluruh kebutuhan warga kabupaten. Agar bisa mencukupi, maka sistem penyediaan air bersih tersebut perlu dikembangkan, salah satu diantaranya adalah dengan cara mencari sumber air baku yang baru. Sumber air baku yang ada di Kabupaten Dairi kapasitasnya sangat terbatas, oleh karena itu perlu dicarikan sumber air baku baru yang berlokasi di wilayah Tigalingga Kabupaten Dairi. Air baku adalah air yang memenuhi mutu air baku yang dapat diolah menjadi air minum. Sumber air baku untuk perkotaan pada umumnya berasal dari air tanah, air yang diolah dan mata air. Sedangkan untuk daerah pedesaan umumnya berasal dari mata air, air tanah dan air permukiman.10
Pekerjaan Penyediaan Air Baku Kecamatan Tiga Lingga Kabupaten Dairi, antara PT. Mitha Prana Chasea sebagai penyedia jasa dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara merupakan suatu pekerjaan penyediaan air baku melalui pembuatan bangunan pengambilan dan jaringan transmisi. Pada salah satu sumber air yang berada di kecamatan Tigalingga Kabupaten Dairi dibangun suatu bangunan atau berupa bendungan untuk mengumpulkan air tersebut, kemudian dibuat jaringan transmisi berupa pipa-pipa yang akan dialirkan ke beberapa titik . Dari titik itulah nantinya pemda setempat akan mengalirkan air tersebut ke desa-desa.
Perjanjian tersebut telah dituangkan dalam Surat Perjanjian (Kontrak), yang mana prosesnya dalam pelaksanaannya timbul perubahan pekerjaan berupa pekerjaan tambah serta perubahan harga kontrak. Oleh karena itu para pihak
10Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/303193/sda.pu.go.id, tanggal 30 April 2012, pukul 20.35 WIB.
sepakat melakukan perubahan (addendum) kontrak. Addendum kontrak ini berpengaruh pada pelaksanaan kegiatan dari proyek yang bersangkutan dimana prosesnya memakan waktu dan memerlukan persetujuan kembali dari kedua belah pihak.
Berdasarkan dari uraian judul di atas, maka mendorong penulis mengangkat dalam suatu judul penelitian dengan judul :
“PELAKSANAAN PERJANJIAN JASA PEMBORONGAN PEKERJAAN PENYEDIAAN AIR BAKU ANTARA PT. MITHA PRANA CHASEA DENGAN BALAI SUMBER DAYA AIR SUMATERA II PROPINSI SUMATERA UTARA”
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah proses pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan pekerjaan penyediaan air baku antara PT. Mitha Prana Chasea dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku?
2. Bagaimana tanggungjawab para pihak dalam hal ini PT. Mitha Prana Chasea sebagai penyedia jasa dan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara sebagai pengguna jasa dalam pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan Pekerjaan Penyediaan Air Baku tersebut ?
3. Apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan proyek dan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa dalam perjanjian jasa pemborongan tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan
pekerjaan penyediaan air baku antara PT. Mitha Prana Chasea dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
2. Untuk mengetahui tanggungjawab para pihak dalam hal ini PT. Mitha Prana Chasea sebagai penyedia jasa dan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara sebagai pengguna jasa dalam Pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan Pekerjaan Penyediaan Air Baku tersebut.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan proyek dan upaya-upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa dalam perjanjian jasa pemborongan tersebut
D. Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kegunaan, antara lain :
a. Kegunaan teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau paparan serta sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
hukum khususnya dalam lingkup bidang hukum perdata yang berkaitan mengenai perjanjian jasa pemborongan.
2. Diharapkan dapat mengerti dan memahami serta menambah wawasan tentang pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Kegunaan praktis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang bergerak dalam kegiatan jasa pemborongan khususnya dalam bidang jasa konstruksi, antara lain bagi penyedia jasa dan pemilik proyek sebagai pengguna jasa konstruksi dalam rangka penyusunan perjanjian jasa pemborongan serta bagi pemerintah dalam rangka penyempurnaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur jasa pemborongan khususnya dalam bidang jasa konstruksi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul “Pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan Pekerjaan Penyediaan Air Baku antara PT. Mitha Prana Chasea dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara“, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya.
Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi isinya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah untuk menemukan suatu pengetahuan yang benar dengan menggunakan metode ilmiah, logis dan dapat diverifikasi. Teori mempunyai peranan penting dalam setiap kegiatan penelitian ilmiah, karena setiap kegiatan ilmiah pada umumnya diawali penelusuran teori dan membuat keputusan terakhir dengan suatu konsepsi teori. Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variable, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.11
Menurut M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.12
Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.
Menurut Soerjono Soekanto, bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”13
11J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm.
194
12M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, hlm. 80.
13Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 6.
Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori Hans Kelsen tentang tanggungjawab hukum. Satu konsep yang berhubungan dengan konsep tanggungjawab hukum. “Bahwa seseorang bertanggungjawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggungjawab hukum, berarti dia bertanggungjawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.14
Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa :”Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilapan (negligence) ; dan kekhilapan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan mengkehendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.”15
Menurut teori klasik, “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang berisi dua (een tweezijdigde overeenkomst), yang didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Maksud dari satu perbuatan hukum yang meliputi penawaran (offer, aanbod) dari pihak yang satu dan penerimaan (acceptance, aanvaarding) dari pihak yang lain. Akan tetapi, pandangan klasik itu kiranya kurang tepat, oleh karena dari pihak yang satu penawaran, dan dari pihak yang lain ada penerimaan, maka ada dua perbuatan hukum yang masing-masing bersisi satu”.16
Dalam teori sama nilai (equivalent theory) yang dikemukakan oleh Laesio Enormis, menyatakan bahwa, “suatu janji yang tidak diimbangi dengan sesuatu yang equivalent (sama nilainya) dengan isi janji itu oleh pihak kedua (lazimnya perjanjian sepihak eenzijdige overeenkomst atau abstract promise) tidak merupakan janji yang wajar, dan karenanya tidak pula mengikat.”17
Prinsip diatas mencerminkan telah adanya rasa keadilan didalam melakukan perjanjian. “Walaupun teori tersebut ternyata bukanlah yang tumbuh dalam hukum perjanjian kita yang bersumber dari KUH Perdata, dimana
14Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum dan Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 81.
15Ibid, hlm. 83
16 Erza Putri, Teori-Teori Tentang Hukum Kontrak,
http://erzaputri.blogspot.com/2011/07/teori-teori-tentang-hukum-kontrak.html, diakses tanggal 09 Juli 2011, pukul 21.43 WIB.
17 Sunarjati Hartono, Mencari Bentuk dan Sistem Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 305.
dikatakan masih berasaskan kehendak bebas perseorangan, yang merupakan falsafah hidup masyarakat Eropa abad ke-19”.18
Menurut teori kehendak suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak para pihak, yang diasumsikan bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para pihak.19 Teori kehendak ini dipertahankan oleh Gr. Van der Burght, yang dikenal dengan ajaran kehendak (wisleer). Menurutnya ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subjektif para calon kontrakan.20
Para pihak dalam suatu kontrak memiliki hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Pertimbangannya ialah bahwa individu harus memiliki kebebasan dalam setiap penawaran dan mempertimbangkan kemanfaatannya bagi dirinya.
Fungsi atau arti penting kontrak dalam lalu lintas bisnis, yaitu :21
a. Kontrak sebagai wadah hukum bagi para pihak dalam menuangkan hak dan kewajiban masing-masing (bertukar konsesi dan kepentingan).
b. Kontrak sebagai bingkai aturan main.
c. Kontrak sebagai alat bukti adanya hubungan hukum.
d. Kontrak memberikan atau menjamin kepastian hukum.
e. Kontrak menunjang iklim bisnis yang kondusif (win-win solution; efisiensi – profit).
18Ibid, hlm. 60.
19 Johannes Ibrahim, Cross Default dan Cross Collateral Dalam Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 5
20Ibid, hlm. 6
21 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, Kencana Prenada Media Group Jakarta, 2010, hlm. 100.
Istilah ”kontrak“ atau “perjanjian“ dalam sistim hukum nasional memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian “contract“ dan “overeenkomst“.
Pelaksanaan perjanjian jasa borongan tentunya berhubungan erat dengan perjanjian. Bahwa dasar hubungan yang terjadi antara pihak penyedia jasa dengan pengguna jasa tentunya berhubungan erat dengan perjanjian. Bahwa dasar hubungan yang terjadi antara penyedia jasa (pemborong) dengan pengguna jasa (pemilik) adalah suatu perjanjian yang berarti para pihak dalam hal ini mempunyai hak dan kewajiban. Untuk itu dalam membahas masalah perjanjian tidak bisa lepas dari ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata khususnya Bab II Buku III yang berjudul perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian. Perjanjian dalam KUH Perdata dapat diartikan “sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”22
Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih”.23
Dari pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas, agar suatu perjanjian mempunyai kekuatan maka harus dipenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah ditetapkan dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
22Subekti, Op-Cit, hlm. 1
23Ibid, hlm. 1
1) Syarat Subyektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan, yang meliputi :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
2) Syarat Obyektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum, yang meliputi :
a. Suatu hal (obyek) tertentu b. Sebab yang halal
Kesepakatan diantara para pihak diatur dalam pasal 1321-1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang perorangan diatur dalam pasal 1329-1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat tersebut merupakan syarat subyektif yaitu syarat mengenai subyek hukum atau orangnya. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan syarat obyektif diatur dalam pasal 1332- 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu obyek dalam perjanjian dan pasal 1335-1337 mengatur mengenai kewajiban adanya suatu causa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Syarat tersebut merupakan syarat obyektif, apabila tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
Mengenai kapan suatu perjanjian dikatakan terjadi antara para pihak, dalam ilmu hukum kontrak dikenal beberapa teori, yaitu :24
1) Teori Penawaran dan Penerimaan
24 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 8.
Bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut.
2) Teori Kehendak
Teori ini berusaha untuk menjelaskan jika ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan dalam perjanjian, maka yang berlaku adalah apa yang dikehendaki, sementara apa yang dinyatakan tersebut dianggap tidak berlaku.
3) Teori Pernyataan
Menurut teori ini, apabila ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan, maka apa yang dinyatakan tersebutlah yang berlaku. Sebab masyarakat menghendaki apa yang dinyatakan itu dapat dipegang.
4) Teori Pengiriman
Menurut teori ini suatu kata sepakat dapat terbentuk pada saat dikirimnya suatu jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu perjanjian, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim jawaban telah kehilangan kekuasaan atas surat yang dikirimnya itu.
5) Teori Pengetahuan
Menurut teori ini, suatu kata sepakat telah terbentuk pada saat orang yang menawarkan tersebut mengetahui bahwa penawarannya tersebut telah disetujui oleh pihak lainnya. Jadi pengiriman jawaban saja oleh pihak yang
menerima tawaran masih dianggap belum cukup, karena pihak yang melakukan tawaran masih belum mengetahui diterimanya tawaran tersebut.
6) Teori Kepercayaan
Teori ini mengajarkan bahwa suatu kata sepakat dianggap telah terjadi manakala ada pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya.
2. Konsepsi
Konsep berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.25
Konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan operacional definition.26 Pentingnya definisi operasional tersebut adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut :
a. Jasa Pemborongan adalah layanan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang perencanaan teknis dan spesifikasinya ditetapkan Pejabat Pembuat Komitmen pada Kantor Balai Sumber Daya Air dan proses serta
25Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hlm. 122.
26Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 10.
pelaksanaannya diawasi oleh Balai Sumber Daya Air atau pengawas konstruksi yang ditugasi
b. Sumber Daya Air adalah air, sumber air dan daya air yang terkandung didalamnya.
c. Air Baku adalah air bersih yang dipakai untuk kebutuhan air minum, air rumah tangga dan industri.
d. Pejabat Pembuat Komitmen pada Kantor Balai Sumber Daya Air adalah pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan jasa. Nama, jabatan dan alamat Pejabat Pembuat Komitmen tercantum dalam syarat-syarat khusus kontrak.
e. Perjanjian Pemborongan adalah suatu perjanjian antara seseorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak pemborong pekerjaan) dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga pemborongan.27
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karateristik dari fakta-fakta (individu,
27Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekwensi sesuatu yang terjadi.”28
Dengan Penelitian bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwanya, kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan perundangan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum sehingga dapat diperoleh gambaran tentang data faktual yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian baku dalam perjanjian jasa pemborongan pekerjaan penyediaan air baku.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang mengacu pada kaidah-kaidah dan norma-norma hukum yang ada yang sifatnya menjelaskan dengan cara meneliti dan juga melihat pada kenyataan yang ada. Penelitian yuridis empiris terutama meneliti data primer disamping juga mengumpulkan data yang bersumber dari data sekunder.29
Pendekatan yuridis dimaksudkan bahwa pendekatan tersebut ditinjau dari sudut peraturan yang merupakan data sekunder. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah peraturan yang mengatur mengenai jasa pemborongan, yaitu Undang-Undang Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa Pemerintah serta Keputusan Menteri tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah.
28Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, 2004, hlm. 58.
29Hadikusuma, Hilman, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum , CV.
Mandar Maju, Bandung , 1995, hlm. 7
Jadi dapat dikatakan bahwa penelitian yuridis adalah penelitian yang didasarkan pada hukum dan peraturan-peraturan berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
Sedangkan pendekatan empiris adalah penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris dengan jalan terjun langsung ke lapangan. Jadi pendekatan yuridis empiris adalah penelitian yang berusaha menghubungkan antara norma hukum yang berlaku dengan kenyataan yang ada di masyarakat dan penelitian berupa studi empiris berusaha menemukan teori mengenai proses terjadinya dan proses bekerjanya hukum.
Adapun faktor empirisnya adalah pelaksanaan dari peraturan tersebut dalam praktek dan kegiatan yang berhubungan dengan Pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan Pekerjaan Penyediaan Air Baku antara PT. Mitha Prana Chasea dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder.
Data primer didapat dengan melihat dan meneliti perjanjian jasa pemborongan pekerjaan penyediaan air baku, serta dengan melalui hasil wawancara dengan responden yang terlibat langsung dengan perjanjian baku dalam perjanjian jasa pemborongan pekerjaan penyediaan air baku, yaitu dengan pihak PT. Mitha Prana Chasea dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studio kepustakaan dengan mempelajari :
1. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
c. Keppres Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
d. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi e. Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang
Penyelengaraan Jasa Konstruksi
f. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
g. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah.
h. Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 257/KPTS/M/2004 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi.
i. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi.
2. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah.“30
3. Bahan Hukum Tertier
yaitu berupa petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sebagainya.31
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data.
Dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang diperlukan, dipergunakan alat pengumpulan data sebagai berikut :
Wawancara secara langsung dengan :
1. Bapak Adner Silaen, Site Manager PT. Mitha Prana Chesea.
30Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, hlm. 141
31Zainuddin Ali, H, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009., hlm. 224.
2. Bapak Supron, Pengawas Utama Pejabat Pembuat Komitmen Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara
5. Analisis Data
“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data“.32
Semua data yang telah terkumpul dan diperoleh baik dari data primer dan data sekunder serta semua informasi yang didapatkan akan dianalisa secara kualitatif analisis, artinya analisa dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas.
32Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 101.
BAB II
PROSES PELAKSANAAN PERJANJIAN JASA PEMBORONGAN PEKERJAAN PENYEDIAAN AIR BAKU ANTARA PT. MITHA
PRANA CHASEA DENGAN BALAI SUMBER DAYA AIR SUMATERA II PROPINSI SUMATERA UTARA
A. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian
Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang Perikatan pada umumnya. Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.33 Suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan karena dua pihak setuju untuk melaksanakan suatu hal atau sama-sama berjanji untuk melaksanakan suatu hal tertentu.
Istilah perjanjian merupakan istilah yang umum dalam dunia hukum.
Mengenai pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Pengertian perjanjian di atas selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja sedangkan sangat luas karena dipergunakannya perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.
Menurut R. Setiawan sehubungan dengan itu perlu diadakan perbaikan pengertian perjanjian, yaitu34:
1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
33Subekti, Op-Cit, hlm. 1.
34R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1979, hlm. 49
2. Menambah perkataan ‘atau saling mengikatkan dirinya’ dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Sehingga perumusannya menjadi, persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Beberapa sarjana juga mengemukakan keberatannya pada batasan perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata dengan mengatakan, rumusan dan batasan perjanjian dalam KUH Perdata kurang lengkap bahkan dikatakan terlalu luas. Adapun kelemahan dalam perumusan perjanjian dalam KUH Perdata adalah hanya menyangkut perjanjian sepihak saja, disini dapat diketahui dari rumusan
“satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih” kata mengikatkan merupakan kata kerja yang sifatnya datang dari suatu pihak saja tidak dari kedua belah pihak. Adapun maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu ada rumusan “saling mengikatkan diri” jadi jelas nampak adanya consensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Selain itu kata perbuatan mencakup juga perikatan tanpa consensus atau kesepakatan dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum . Dalam rumusan pasal tersebut juga tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkankan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya. Selanjutnya untuk adanya
suatu perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan saja. Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak.35
M Yahya Harahap berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.36
Menurut Sudikno Mertokusumo kata overeenkomst diterjemahkan sebagai perjanjian, beliau tidak menggunakan istilah persetujuan sebagai toesteming. Kata toesteming ini dapat diartikan persetujuan, persesuaian kehendak, atau kata sepakat. Pengertian perjanjian menurut beliau adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.37
Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, di mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.38 Perjanjian menurut system common law dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang dilakukan atau yang akan dilakukan.39
35 Rahman Yuliardhi Sukamto, “Penerapan Asas Iktikad Baik Pada Transaksi Bisnis Dalam E-Commerce, Tesis UGM, Yogyakarta, 2005, hlm 13.
36M. Yahya Harahap, Op-Cit. hlm. 9.
37 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 97.
38 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Bandung, 1981, hlm. 11.
39 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan untuk Merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta, 2001, hlm. 6
Perjanjian erat sekali kaitannya dengan perikatan, sebab ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata menyebutkan bahwa, perikatan dilahirkan baik dari undang- undang maupun perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.
Apabila dua orang mengadakan perjanjian, maka mereka bermaksud agar antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Berkaitan dengan ketentuan di atas Subekti berpendapat bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting karena melihat perikatan sebagai suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian diartikan sebagai suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa.40
Perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang mengikat satu atau lebih subyek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain. Perikatan yang lahir karena undang-undang mencakup misalnya kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak yang dilahirkan oleh istrinya.41
2. Syarat-syarat sahnya perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian.
Syarat-syarat tersebut adalah :42
a. Adanya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian b. Adanya kecakapan para pihak untuk mengadakan perjanjian c. Adanya suatu hal tertentu
d. Adanya sebab (causa) yang halal.
40Subekti, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Intermasa, Jakarta, 1987, hlm. 3.
41Johannes Ibrahim, Cross Default dan Cross Collateral, Aditama,Bandung, 2004, hlm 10
42M. Yahya Harahap, Op-Cit, hlm. 24
Dari empat syarat tersebut, syarat pertama dan kedua merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian karena disebut syarat subyektif sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian yang disebut syarat obyektif. Tidak dipenuhinya syarat obyektif ini berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan.
Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam hal menentukan isi, bentuk, serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selain tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, juga harus memuat syarat sahnya perjanjian.
Ketentuan yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah hukum yang mengatur artinya kaidah–kaidah hukum yang dalam kenyataanya dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri. Kaidah- kaidah hukum semacam itu ada yang menamakan dengan istilah hukum
pelengkap atau hukum penambah. Hal ini ditegaskan pula oleh Subekti bahwa pasal-pasal tersebut boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian.43
3. Asas-asas Perjanjian
Asas-asas hukum perjanjian merupakan asas-asas umum (principle) yang harus diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya, asas-asas tersebut adalah:44
1) Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian, asas konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Menurut Subekti asas consensus itu dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.45 Dengan kata lain perjanjian itu mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat dari para pihak yang bersangkutan. Asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1338 (1) jo. Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata. Konsensus antara pihak dapat diketahui dari kata “dibuat secara sah”, sedangkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang salah satunya menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” (Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata)
Kata sepakat itu sendiri timbul apabila ada pernyataan kehendak dari satu pihak dan pihak lain menyatakan menerima atau menyetujuinya. Oleh karena itu unsur kehendak dan pernyataan merupakan unsur-unsur pokok di samping unsur lain yang menentukan lahirnya perjanjian.
43Subekti, Op-cit., hlm 13
44Ahmadi Miru, Op-Cit, hlm. 3-7.
45Subekti, Op-Cit, hlm. 3.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it) .
Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Asas konsesualisme merupakan ‘roh’ dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya CACAT kehendak (wilsgebreke) yang
mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam BW CACAT kehendak meliputi tiga hal, yaitu :46
a. Kesesatan atau dwaling b. Penipuan atau bedrog c. Paksaan atau dwang
Pemahaman asas konsesualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang yang beritikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan”, sehingga dengan asumsi bahwa yang berhadapan dalam berkontrak itu adalah para “gentleman”, maka akan terwujud juga “gentleman agreement”
diantara para pihak. Apabila kata sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka yang sebenarnya, dalam arti terjadi cacat kehendak, maka dalam hal ini akan mengancam eksistensi kontrak itu sendiri.
2) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kekebasan orang melakukan kontrak.47 Asas ini berarti setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja walaupun perjanjian itu belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Asas ini menganut sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian. Jadi para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri isi dan bentuk perjanjian. Asas kebebasan berkontrak dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1338
46Agus Yudha Hernoko, Op-Cit, hlm. 122.
47Ahmadi Miru, Op-Cit, hlm. 4
ayat 1 KUH Perdata dari kata “semua perjanjian” dapat disimpulkan bahwa, masyarakat diberi kebebasan untuk:
1. Mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian 2. Mengadakan perjanjian dengan siapa saja
3. Menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya
4. Menentukan peraturan hukum mana yang berlaku bagi peraturan perjanjian yang dianutnya.
Asas kebebasan berkontrak ini dalam pelaksanaannya dibatasi oleh tiga hal seperti yang tercantum dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu perjanjian itu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Selain dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh:
1. Adanya standarisasi dalam perjanjian. Hal ini disebabkan adanya perkembangan ekonomi yang menghendaki segala secara cepat. Di sini biasanya salah satu pihak berkedudukan membuat perjanjian baku (standard), baik dalam bentuk dan isinya. Di dalam perjanjian standard itu terdapat pula klausula eksonerasi, yaitu yang mensyaratkan salah satu pihak harus melakukan atau tidak melakukan atau mengurangi atau mengalihkan kewajiban atau tanggung jawabnya. Apabila klausula eksonerasi yang dibuat oleh pihak lawan, maka pihak lain ini dianggap menyetujui klausula tersebut meskipun klausula tersebut menjadi beban baginya.
2. Tidak bertentangan dengan moral, adab kebiasaan dan ketertiban umum
Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, pembatasan-pembatasan tersebut adalah akibat dari adanya:48
a. Perkembangan masyarakat, khususnya di bidang sosial ekonomi, yaitu misalnya adanya penggabungan-penggabungan atau sentralisasi- sentralisasi daripada perseroan atau perusahaan-perusahaan. Jadi dengan adanya pemusatan atau penggabungan atau sentralisasi ini, mengakibatkan kebebasan berkontrak perseroan dibatasi.
b. Adanya campur tangan pemerintah atau penguasa untuk melindungi kepentingan umum dan si ekonomi lemah dari cengkeraman pihak ekonomi kuat.
c. Adanya strooming atau aliran dari masyarakat yang menuju kearah
“keadilan sosial” sehingga ada usaha-usaha untuk memberantas ketidakadilan yang terjadi dalam perjanjian-perjanjian yang tidak memenuhi rasa keadilan serta hak-hak asasi manusia.
3) Asas Itikad Baik (in good faith)
Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan ini diatur dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing
48Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dikutip dari Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1989, hlm. 53-54.