• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi deskriptif tentang androgenitas pada mahasiswa fakultas psikologi Universitas Sanata Dharma - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Studi deskriptif tentang androgenitas pada mahasiswa fakultas psikologi Universitas Sanata Dharma - USD Repository"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

NATALIA REGINA DEVI SETYANINGSIH

NIM : 019114101

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Mengiringi setiap langkahku

Tak lupa kubersyukur atas karunia indah ini Sehingga ku sanggup tuk berderap maju sampai akhir

Menggapai kemilaunya mimpi (Written by Devi)

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk:

Orang tua dan adikku tercinta, yang selalu senantiasa memberikan dukungan dan doa tanpa henti untukku.

(5)
(6)

vi

Natalia Regina Devi Setyaningsih Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2009

Penelitian ini berangkat dari sterotipe masyarakat tentang sifat dan peran gender yang seharusnya dimiliki oleh laki - laki dan perempuan. Banyak laki - laki dan perempuan dengan hanya satu tipe seks seperti feminin atau maskulin saja, amat terbatas dalam bertingkah laku terutama dalam interaksinya dengan orang lain serta kurang dapat mengembangkan kepribadiannya secara maksimal. Kemudian muncul pemikiran bahwa aspek maskulin dan feminin sesungguhnya saling melengkapi dan bukan saling bertentangan. Dari situlah muncul konsep tentang androgenitas. Androgenitas merupakan perpaduan hadirnya karakteristik maskulin dan feminin dalam diri individu sama tinggi. Individu androgini adalah individu laki - laki maupun perempuan yang memiliki sifat atau ciri feminin (ekspresif) maupun sifat atau ciri maskulin (instrumental) sama tinggi dalam dirinya. Misalnya laki - laki yang memiliki sifat tegas sekaligus mau mengalah atau perempuan yang memiliki sifat dominan sekaligus sensitif terhadap perasaan orang lain tergantung pada kesesuaian situasi untuk bermacam perilaku tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah mengukur taraf androgenitas mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Subjek penelitian ini adalah 100 orang mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, laki - laki dan perempuan dengan kriteria usia 18 sampai 22 tahun (remaja akhir). Penelitian ini menggunakan teknik SPSS for Windows versi 15.0 untuk menganalisis data - data penelitian. Pengujian reliabilitas alpha) terhadap 60 aitem ciri kepribadian

dilakukan terpisah untuk masing-masing skala. Koefisien reliabilitas α yang

didapatkan untuk skala maskulin adalah sebesar 0, 885. Koefisien reliabilitas α

yang didapatkan untuk skala feminin adalah 0,840 dan koefisien reliabilitas α

yang didapatkan untuk skala netral adalah 0, 734. Berarti dapat disimpulkan bahwa sebagai alat ukur Bem Sex Role Inventory (walau telah melewati proses adaptasi) tetap memiliki kekonsistenan dan keterpercayaan hasil ukur yang tinggi.

Pengujian yang digunakan untuk mengukur androgenitas pada mahasiswa adalah dengan analisis deskriptif dan pengelompokkan peran gender berdasarkan median skor kelompok pada skala maskulin dan skala feminin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70 % mahasiswa memiliki peran gender androgini. Sedangkan 30 % mahasiswa memiliki peran gender yang lain seperti maskulin, feminin atau undifferentiated. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang berusia 18 sampai 22 tahun (remaja akhir) sebagian besar memiliki peran gender androgini.

(7)

vii

Natalia Regina Devi Setyaningsih Psychology Faculty Sanata Dharma University

2009

This research was based on the stereotype of society about characteristics and gender role which should have by man and woman. Many man and woman who have only one type of sex likes feminine or masculine are very limited on their behaviors especially in their interaction with others. They hardly develop their personality optimally. Then it leads to an opinion that masculine aspect and feminine aspect truly complete each other and they aren’t against each other. From that appears point an androgyny concept. Androgyny is a combination of masculine and feminine characteristics in the same level within a single individual. An androgyny individual is a man and a woman who has the feminine characteristics (expressive) and has the masculine characteristics (instrumental) in the same level within himself or herself. For example, a man who is both assertive and yielding or a woman who is both dominant and sensitive to others depends on appropriate situations of these various behaviors.

The purpose of this research were measure androgyny standard to psychology faculty students of Sanata Dharma University. The subjects of this research were 100 psychology faculty students of Sanata Dharma University, male and female with criteria range of age from 18 until 22 years old (the end of adolescence period). This research used SPSS for windows version 15 as a method to analyze it. Reliability alpha (α) testing to sixty personality traits was

done separately in each scale.

The result of the reliability coefficient alpha from the masculine scale was 0,885. The result of the reliability coefficient alpha from the feminine scale was 0,840. Meanwhile the result of the reliability coefficient alpha from the neutral scale was 0,734. The conclusion was that as the measurement, Bem Sex Role Inventory (although it has been adapted) still has high consistency and reliability inventory.

The testing used to measure androgyny of the University students were the descriptive analysis and the gender role categorization based on median score of group in the masculine and feminine scale. The result of this research showed that 70 % students of the University have the androgyny gender roles. Meanwhile 30 % students of the University have other gender roles like masculine, feminine and undifferentiated. From the result the writer make a conclusion that most of the psychology faculty students of Sanata Dharma University who have range age from 18 until 22 years old (the end of the adolescence period) have androgyny gender roles.

(8)
(9)

ix

limpahan rahmat dan karunianya sehingga skripsi yang berjudul, “Studi Deskriptif Tentang Androgenitas Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma” dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Terima kasih atas “waktu” yang bapak berikan sehingga saya bisa menyelesaikan karya ini.

2. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya yang merupakan dosen pembimbing skripsi. Terima kasih untuk waktu, bimbingan, pemikiran dan pembelajaran yang telah Bapak berikan kepada Saya sehingga karya ini dapat terbentuk.

3. Bapak V Didik Suryo H., S.Psi., M.Si. Terima kasih untuk kesabaran,

waktu dan masukan - masukan yang telah Bapak berikan, semua itu amat berarti bagi kemajuan karya ini.

4. Ibu ML. Anantasari, S.Psi., M.Si dan Ibu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si.

(10)

x

6. Teman, sahabat, kenalan yang amat baik: Mas Doni, Mbak Uni, Prima, Yovie, Tien, Mbak Sari, Bu Silvia, Bu Diana, Anton, Ony, Reni. Terima kasih untuk semua bantuan material, dukungan, doa, saran, serta sharingnya sehingga karya ini dapat terwujud. Teman – teman angkatan 2001. Always Fight….!!

7. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

bersedia menjadi subyek penelitian ini. Terima kasih untuk kerja samanya.

8. Seluruh karyawan secretariat Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah ikut membantu memperlancar proses ini. Terima kasih banyak.

9. Semua pihak - pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang juga telah memberikan dorongan serta bantuan baik material maupun spiritual selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih.

10. Mas Gerhard dan Mbak Agnes dari rental WTC. Terima kasih banyak

(11)
(12)

xii e. Teori Perkembangan Kognitif………. f. Teori Skema Gender……… 4. Pengukuran Peran Gender………

5. Androgini……….

Bem Sex Role Inventory……… 6. Klasifikasi Peran Gender……….. a. Karakteristik Peran Gender Maskulin………. b. Karakteristik Peran Gender Feminin………... c. Karakteristik Peran Gender Androgini……… d. Karakteristik Peran Gender Tak Terbedakan……….. 7. Bukti - bukti Ilmiah Androgenitas Manusia………..

(13)

xiii

2. Pengertian Remaja………... 3. Perkembangan Pada Masa Remaja……….

a. Secara Biologis………

b. Secara Kognitif………

c. Secara Sosial - Emosional………...

4. Tugas Perkembangan Masa Remaja……… 5. Remaja Akhir Dan Peran Gender Androgini………..

41 E. Metode Pengumpulan Data Dan Instrumen Penelitian………… 1. Bem Sex Role Inventory……….

2. Pemberian Skor………..

3. Model Pengukuran……….

F. Pertanggungjawaban Mutu Instrumen Penelitian………

(14)

xiv

b. Setelah Adaptasi………... G. Analisis Data……….

76 78 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….

A. Analisis Data Dan Hasil Penelitian……….. 1. Uji Normalitas………

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….

A. Kesimpulan……… B. Saran……….. 1. Bagi Mahasiswa Remaja Akhir………...

(15)

xv

Netral Dalam BSRI (sebelum penerjemahan)……… 29

TABEL 2. Butir – butir Kepribadian Skala Maskulin, Feminin Dan Netral Dalam BSRI (setelah penerjemahan)………. 61

TABEL 3. Skala 7 Angka………. 62

TABEL 4. Penilaian Mean Social Desirability Dari Butir - butir Maskulin, Feminin Dan Netral………. 68 TABEL 5. Penilaian Mean Social Desirability Dari Butir - butir Maskulin Dan Feminin Terhadap Jenis Kelamin Subjek……… 69 TABEL 6. Distribusi Koefisien Korelasi Aitem Total Try Out Penelitian.. 74

TABEL 7. Butir - butir Bem Yang Sahih Setelah Uji Coba……… 75

TABEL 8. Norma Kategorisasi Peran Gender………... 81

TABEL 9. Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov - Smirnov…… 83

TABEL 10. Hasil Perhitungan Uji Homogenitas……….. 84

TABEL 11. Anova………... 85

TABEL 12. Hasil Deskripsi Data Penelitian………. 86

TABEL 13. Pengkodean Peran Gender………. 88

(16)

xvi

2. Reliabilitas Alpha Cronbach & Data Korelasi Aitem Total……… 3. Data Skala Maskulin………. 4. Data Skala Feminin……….. 5. Data Skala Netral……….

110 – 115 116 – 127 128 – 139 140 - 148 LAMPIRAN B 1. Uji Normalitas……….

2. Uji Homogenitas & Anova…………. 3. Data Deskriptif Penelitian…………...

150 150 – 151

152 LAMPIRAN C 1. Data Pengelompokkan Peran Gender...

2. Data Social Desirability………. 3. Surat Keterangan Penelitian…………...

154 – 158 159 – 163

(17)

xvii

Dimensi………...

(18)

1

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin pesat berbagai isu mengenai kesetaraan gender bergema dimana - mana meningkatkan kesadaran kaum perempuan untuk sejajar dengan kaum laki - laki di berbagai sektor kehidupan, terutama di sektor publik (Hamid, 2005) Walaupun demikian menurut Ilham (2001) masyarakat cenderung masih mengharapkan pekerjaan laki - laki dan perempuan dapat sesuai dengan peran seksnya.

(19)

suaminya. Sedangkan perempuan Romawi pada prakteknya jauh lebih terintegrasi dengan masyarakat, sebagai seorang istri, perempuan Romawi dianggap sebagai “pemilik bayangan” properti suaminya. Perempuan Romawi adalah nyonya rumah dan sahabat bagi laki - laki yang mana pekerjaan pokoknya adalah mengurus rumah, suami dan anak - anaknya. Pada masa pertengahan yaitu masa awal pengaruh idiologi Kristen di Eropa, perempuan diperlakukan dengan hormat jika mereka berpasrah diri pada pengawasan Gereja. Mereka menanggung kesaksian sebagai martir bersama kaum laki - laki namun mereka tetap memperoleh tempat kedua sebagai partisipan dalam berdoa dan hanya diperbolehkan menyandang tugas - tugas merawat orang sakit, membantu orang miskin dan diharuskan memiliki kesetiaan penuh pada suaminya. Banyak martir yang mendasarkan subordinasi perempuan terhadap laki - laki baik melalui kitab perjanjian lama atau perjanjian baru. Salah satunya pada kisah legend of the fall, yaitu kisah dramatis kejatuhan manusia pertama Adam dan Hawa akibat melanggar larangan Tuhan. Pelanggaran pertama oleh Hawa ini dipandang sebagai penyebab timbulnya perbedaan laki - laki dan perempuan dengan meletakkan perempuan pada posisi yang inferior. Perbedaan itu selanjutnya terlihat dalam tata peribadatan dan perilaku sehari - hari.

Di atas telah dijabarkan sekilas tentang sejarah pembagian peran laki - laki dan perempuan di luar negeri, pada budaya Indonesia pun kurang lebih sama. Masyarakat masih menganut sistem patriarki1 yang cirinya adalah menempatkan

1

(20)

perempuan pada posisi yang inferior, misalnya dalam kebudayaan Jawa perempuan selama berabad - abad telah disosialisasikan dan diinternalisasikan berperan di sekitar rumah tangga serta dipandang sebagai makhluk yang anggun, rapi, halus, dan tidak mempunyai daya pikir tinggi (Kusujiarti, 1997). Sebagai seorang istri, perempuan diharapkan pandai bersikap dan bertingkah laku agar selalu dikasihi suami dan diharapkan mendampingi keberhasilan suaminya. Sebagai seorang ibu, perempuan harus mampu mempunyai keturunan dan menghasilkan anak - anak yang berguna dan pengasuhan anak yang dilahirkan pun menjadi tanggung jawab perempuan (Abdullah, 1997). Menurut Hardanti (2002) dalam budaya Jawa perempuan biasa disebut konco wingking atau teman di garis belakang, hal tersebut berkaitan dengan peran tradisional perempuan yang selalu dikaitkan dengan rumah, dapur dan anak.

Salah satu norma yang mengukuhkan posisi inferior perempuan dalam budaya Jawa terdapat pada Serat Panitisastra2 (Pupuh X: Dhandhanggula) lebih jelasnya terlihat pada kutipan berikut:

X.13

wuwuse kang wus (putus) ing ngelmi kata mereka yang telah khatam dalam ilmu,

kaprawolu wanudya lan priya wanita hanyalah seperdelapan dibandingkan pria

ing kabisan myang kuwate dalam hal kepandaian dan kekuatan;

tuwin wiwekanipun dalam hal kebijaksanaan

pan kapara astha ta malih. masih dibanding delapan lagi.

(Sudewa, 1991)

2

(21)

Istilah gender mengacu pada dimensi sosial budaya seseorang sebagai laki-laki dan perempuan. Salah satu aspek dari gender adalah peran gender (gender role) yang merupakan suatu set harapan yang menetapkan bagaimana seharusnya perempuan dan laki – laki berpikir, bertingkah laku dan berperasaan. Berbicara tentang peran gender tidak lepas pula dari stereotipe peran gender. Stereotipe peran gender adalah kategori – kategori luas yang mencerminkan kesan – kesan dan kepercayaan kita tentang perempuan dan laki – laki. Stereotipe peran gender itu sudah sedemikian mengakar dalam masyarakat, sebagai contoh laki-laki diyakini secara luas sebagai dominan, mandiri, agresif, berorientasi prestasi, dan tegar. Sementara itu perempuan diyakini secara luas sebagai bersifat mengasuh, senang berkumpul, kurang memiliki harga diri, dan lebih memberi pertolongan saat – saat mengalami tekanan (Santrock, 2002).

(22)

mengingkari kodratnya (Suwarno, 2004). Sesungguhnya apabila sifat, aktivitas maupun peran tersebut dapat dipertukarkan, maka sifat, aktivitas maupun peran tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukanlah kodrat (Fakih, 1996). Pada kenyataannya banyak orang akhirnya mengalami penderitaan psikis karena terikat untuk berperan hanya sebagai laki - laki atau perempuan saja seperti telah digariskan oleh masyarakat, karena apabila laki - laki atau perempuan bertindak tidak sesuai dengan harapan masyarakat, mereka akan dianggap sakit (Constantinopel dan O’Neil dalam Sebatu, 1994). Bem (1974) menyatakan bahwa individu yang berperan dengan hanya satu tipe seks saja (hanya maskulin atau feminin) akan amat terbatas tingkah lakunya dalam berinteraksi dengan orang lain.

Menurut Bem (1974, 1977) aspek maskulin dan feminin itu sesungguhnya bersifat komplementer, saling mengandaikan dan melengkapi dan bukan saling bertentangan. Pemikiran ini kemudian menghasilkan konsep tentang androgini. Androgini adalah tingginya kehadiran karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan pada satu individu secara bersamaan. Individu yang androgini dapat menjadi seorang laki - laki yang tegas (maskulin) dan bersifat mengasuh (feminin), atau seorang perempuan yang dominan (maskulin) dan sensitif kepada perasaan - perasaan orang lain (feminin). Individu yang androgini digambarkan lebih fleksibel dan lebih sehat mentalnya daripada individu yang hanya maskulin atau feminin saja.

(23)

Maulina (1994) yang membuktikan hubungan peran jenis androgini dan locus of control internal dengan aspirasi pengembangan karir pada ibu bekerja, dan Sari (1995) membuktikan tentang hubungan peran jenis androgini dan kecenderungan perilaku pengambilan resiko pada polisi berpangkat bintara. Keduanya menemukan korelasi yang positif dalam penelitiannya. Hal ini membuktikan bahwa karakter kepribadian androgini memang diperlukan agar individu secara fleksibel dapat menghadapi segala situasi, baik itu berhubungan dengan pekerjaan, lawan jenis maupun berbagai permasalahan hidup lainnya.

Dalam suatu diskusi dengan beberapa teman dari kalangan akademik, peneliti menemukan ternyata sebagian besar masih belum mengetahui konsep tentang androgenitas dan pengaruhnya dalam perkembangan kepribadian manusia. Oleh karena itu peneliti mempertimbangkan untuk membuat survei tentang androgini di kalangan mahasiswa. Mahasiswa adalah orang yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988) dan menurut psikologi perkembangan masuk pada masa remaja akhir. Menurut Santrock (2003) masa remaja adalah masa transisi antara masa anak - anak ke masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio - emosional. Rentang usia remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun.

(24)

membuat remaja mulai menyusun konsep tentang dirinya sendiri. Remaja akan melakukan evaluasi terhadap berbagai domain dalam hidupnya, misalnya akademik, penampilan fisik, atletik, urusan percintaan, dunia kerja, dan lain – lain. Pemahaman diri itu akan membantu remaja dalam pembentukan identitas dirinya. Perkembangan identitas pada masa remaja akhir adalah untuk pertama kalinya perkembangan fisik, kognisi dan sosial – emosional meningkat pada suatu titik di mana seorang individu dapat memilih dan melakukan sintesa identitas – identitas dan identifikasi di masa kecilnya untuk mencapai suatu jalan menuju kedewasaan (Adams, Gulotta dan Montemayor dalam Santrock, 2003). Peningkatan minat dan perhatian remaja terhadap masalah identitas diri yang disertai dengan kemampuan kognitif operasional formal akan mengarahkan remaja untuk cenderung mempelajari dan menjelaskan ulang sikap dan perilaku gender mereka. Sehingga remaja akhir sampai pada tahap dimana mereka memiliki kemampuan kognitif untuk menganalisa diri dan memutuskan identitas seperti apa yang mereka inginkan (Santrock, 2003).

(25)

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah taraf androgenitas yang dimiliki oleh mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana taraf androgenitas mahasiswa di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis

Memberi sumbangan pada bidang psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan tentang androgini.

2. Manfaat praktis

Memberi pemahaman seputar topik androgini pada kalangan umum maupun mahasiswa agar lebih dapat memahami diri dan dapat menerapkan peran jenis androgini dalam menghadapi berbagai situasi maupun masalah.

(26)

9

A. Gender

1. Pengertian Gender

Dalam The Oxford Encyclopedia Of The Modern World disebutkan bahwa gender adalah pengelompokan individu dalam tata bahasa yang digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis kelamin tertentu (Esposito, 1995). Gender merupakan satu diantara tiga jenis kata sandang dalam tata bahasa yang membeda - bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian dan diperlukan ketika kata benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata - kata benda dalam bahasa Inggris biasanya digolong-golongkan menurut gender maskulin, feminin dan netral (Illich, 1998). Secara terminologis, gender digunakan untuk menandai segala sesuatu yang ada dalam masyarakat “vernacular” termasuk di dalamnya adalah bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, alat - alat produksi dan sebagainya. Secara konseptual gender berguna untuk mengadakan kajian terhadap pola hubungan sosial laki - laki dan perempuan dalam berbagai masyarakat yang berbeda (Fakih, 1996).

(27)

seharusnya dan bagaimana seharusnya dilakukan, dirasakan dan dipikirkan oleh individu sebagai maskulin dan feminin.

2. Peran Gender, Identitas Gender, Stereotipe Peran Gender

Pengertian peran jenis dan peran gender merupakan dua hal yang berbeda. Peran jenis adalah perilaku yang ditentukan oleh jenis kelamin secara biologis, seperti menstruasi, ereksi dan ejakulasi. Contohnya adalah seorang perempuan bertanggung jawab untuk melahirkan dan merawat anaknya. Sedangkan peran gender adalah seluruh harapan yang dibuat lingkungan sosial tentang perilaku maskulin dan feminin. Harapan - harapan ini dikemukakan oleh institusi nilai - nilai yang dianut oleh masyarakat sosial setempat. Contohnya seorang perempuan bertanggung jawab untuk membesarkan anak. Peran gender juga merupakan kumpulan sikap, atribut dan perilaku tertentu yang dianggap sesuai untuk jenis kelamin tertentu (Richmond - Abbott, 1992, Kimmel, 1974). Dapat disimpulkan bahwa peran gender adalah seluruh harapan yang dibuat lingkungan sosial tentang perilaku maskulin dan feminin yang dimiliki oleh laki - laki dan perempuan. Harapan - harapan ini dikemukakan oleh instusi dan nilai - nilai yang dianut oleh masyarakat sosial setempat, yang merupakan sikap, atribut dan perilaku yang dianggap sesuai untuk jenis kelamin laki - laki maupun perempuan.

(28)

Stereotipe peran gender adalah kategori – kategori luas yang mencerminkan kesan – kesan dan kepercayaan kita tentang perempuan dan laki – laki. Streotipe peran gender biasanya sudah sedemikian mengakar dalam masyarakat, sebagai contoh laki - laki diyakini secara luas memiliki sifat dominan, mandiri, agresif, berorientasi prestasi, dan tegar. Sementara itu perempuan diyakini secara luas memiliki sifat mengasuh, senang berkumpul, kurang memiliki harga diri, dan lebih memberi pertolongan saat – saat mengalami tekanan (Santrock, 2002).

3. Pembentukan Peran Gender

Sebagaimana diketahui oleh setiap orangtua, guru, dan psikolog perkembangan bahwa anak laki - laki dan perempuan menjadi “maskulin” dan “feminin” di usia yang sangat dini yaitu ketika mereka berusia 4 atau 5 tahun. Pada usia itu anak laki – laki dan perempuan lebih menyukai aktivitas - aktivitas yang telah didefinisikan berdasarkan budaya sesuai dengan jenis kelamin mereka dan juga lebih menyukai teman - teman sebaya dengan jenis kelamin yang sama. Penerimaan atas berbagai preferensi, keterampilan, sifat kepribadian, perilaku dan konsep diri yang sesuai jenis kelamin itu disebut dalam psikologi sebagai proses

(29)

a. Teori Biologis

Teori biologis percaya bahwa perbedaan peran gender tidak lepas dari pengaruh perbedaan biologis (sex) pada laki - laki dan perempuan. Perbedaan biologis laki - laki dan perempuan adalah alami (nature), begitu pula sifat peran gender (maskulin dan feminin) yang dibentuknya. Perbedaan biologis menyebabkan terjadinya perbedaan peran antara laki - laki dan perempuan. Oleh karena itu, sifat stereotipe peran gender antara laki - laki dan perempuan sulit diubah. Pengalaman perempuan dalam menjalankan proses reproduksi (hamil, melahirkan dan menyusui) memunculkan insting keibuan dan pengasuhan yang tidak dialami oleh laki - laki. Sifat keibuan dan pengasuhan adalah merupakan figur feminin dan sangat penting dalam perkembangan bayi. Perbedaan fisik laki - laki dan perempuan memberikan implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibandingkan laki - laki (Megawangi, 2001).

b. Teori Kultural

(30)

diubah, sedangkan peran gender dapat diubah baik melalui budaya maupun teknologi (Megawangi, 2001).

c. Teori Psikoanalisa

Sigmund Freud maupun Erik Erikson (dalam Santrock, 2003) berpandangan bahwa alat kelamin seseorang mempengaruhi perilaku gendernya dan karena itu anatomi tubuhnya adalah nasib bagi orang tersebut. Freud berasumsi bahwa perilaku manusia dan sejarahnya berhubungan langsung dengan proses reproduksi. Dari asumsi tersebut timbul keyakinan bahwa gender dan perilaku seksual pada dasarnya tidak dipelajari dan muncul secara naluriah.

Pada masa kanak - kanak, anak akan mengidentifikasi perlakuan orang tuanya. Anak laki - laki mengidentifikasi perlakuan ayahnya sehingga dia mengetahui bagaimana perilaku seorang laki - laki, demikian pula pada anak perempuan yang mengidentifikasi ibunya. Proses pegidentifikasian ini ditemukan anak dari perbedaan genital jenis kelamin (Bem, 1983). Erikson (dalam Santrock, 2003), yang memperluas argumen Freud, menyatakan bahwa perbedaan psikologis antara laki - laki dan perempuan berasal dari perbedaan anatominya. Erikson berpendapat bahwa dikarenakan struktur genitalnya, laki - laki menjadi lebih berani tampil dan agresif, sedangkan perempuan lebih tenang dan pasif.

(31)

berbagai hormon, banyak anak perempuan berkeinginan menjadi perempuan sebaik mungkin dan anak laki - laki berusaha keras menjadi laki - laki sebaik mungkin. Dengan kata lain, remaja perempuan dan remaja laki – laki akan menunjukkan lebih banyak perilaku yang sesuai dengan stereotipe perempuan dan stereotipe laki – laki. Sebagai contoh saat remaja perempuan dan laki - laki berinteraksi dengan teman - teman sebaya yang berbeda jenis, terutama yang ingin mereka kencani. Remaja perempuan biasanya bertingkah laku penuh kasih sayang (affectionate), sensitif, menarik (charming) dan bisa berbicara halus. Sedangkan remaja laki - laki biasanya bertingkah laku asertif, sombong (cocky), sinis (cynical), dan sangat berkuasa, karena mereka menyadari bahwa tingkah laku seperti itu akan menambah kualitas seksualitas dan daya tariknya.

d. Teori Pembelajaran Sosial

Teori pembelajaran sosial (social learning theory of gender) menekankan pada imbalan (rewards) dan hukuman (punishment) yang anak terima atas perilaku - perilaku gender yang sesuai maupun yang tidak sesuai. Perkembangan gender pada anak - anak dan remaja muncul dari hasil pengamatan

(observation) dan peniruan (modeling, imitation) terhadap perilaku gender. Teori pembelajaran sosial ini meletakkan sumber dari proses sex typing pada latihan membedakan jenis kelamin dalam komunitas masyarakat.

(32)

Seorang individu dalam mempelajari perannya akan mendasarkan diri pada nilai - nilai yang berkembang di masyarakatnya. Apa yang dinilai benar atau salah, dan apa yang dinilai baik atau buruk oleh masyarakat sekitarnya. Pembiasaan lewat nilai - nilai ini akan berlangsung terus - menerus mengakibatkan terbentuknya pola dan perilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat, termasuk perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Walaupun teori pembelajaran sosial menjelaskan bahwa anak akan mempelajari sejumlah perilaku tertentu yang distereotipkan budaya sesuai jenis kelaminnya, tetapi teori ini memperlakukan anak lebih sebagai penerima pasif dari kekuatan - kekuatan lingkungan ketimbang sebagai agen aktif yang berusaha keras mengorganisasi atau berusaha memahami dunia sosialnya (Bem, 1983, 1985).

Beberapa sumber ketika individu mempelajari peran gendernya selain berdasar pada kebudayaan adalah pengaruh orang tua, teman sebaya, sekolah dan guru maupun media massa (Santrock, 2003). Penjelasannya dijabarkan sebagai berikut:

1) Orang Tua

(33)

perempuan cenderung lebih diawasi oleh orang tuanya. Orang tua sering memiliki harapan yang berbeda terhadap remaja laki - laki dan perempuan terutama pada masalah akademik. Selain itu orang tua sering pula menggunakan penguat (rewards) dan hukuman (punishment) untuk mengajarkan anak perempuan menjadi feminin; contoh, “Karen, baju yang kau pakai membuatmu lebih cantik”, dan mengajarkan kepada anak laki - lakinya untuk menjadi maskulin, “Bobby, kamu sangat agresif pada permainan ini. Teruskan!” (Santrock, 2003).

2) Teman Sebaya

Orang tua menunjukkan kepada anak diskriminasi awal pada perilaku gender, tetapi tak lama kemudian, teman sebaya ikut ke dalam proses sosial dengan merespon dan melakukan modeling perilaku maskulin dan feminin. Situasi bermain pada anak - anak memiliki ciri sebagai gender school, dengan menunjukkan bahwa anak laki - laki saling mengajarkan satu dengan yang lainnya perilaku maskulin yang diharuskan dan kemudian memperkuatnya, begitu pula dengan anak - anak perempuan yang juga saling mengajarkan satu dengan yang lain perilaku feminin yang diharuskan dan kemudian memperkuatnya (Luria & Herzog, Buhrmester dalam Santrock, 2003).

(34)

sifat - sifat yang berhubungan dengan gender yang berlaku di kelompoknya (Huston & Alvarez dalam Santrock, 2003).

3) Sekolah Dan Guru

Guru berperan sebagai pengganti orang tua dan menjadi panutan bagi murid-muridnya. Menurut penelitian Sadker & Sadker (dalam Santrock, 2003), murid laki - laki terlibat lebih banyak interaksi dibandingkan murid perempuan, dan murid laki - laki juga lebih banyak mendapat perhatian dari guru - gurunya. Murid laki - laki diberi lebih banyak perbaikan, kritik, dan pujian dibandingkan murid perempuan.

(35)

4) Media Massa

Seperti telah disebutkan, remaja menemukan berbagai peran untuk laki - laki dan perempuan setiap hari dalam interaksinya dengan orang tua, teman sebaya, sekolah dan guru. Akan tetapi pesan tentang peran gender yang digambarkan oleh media massa juga berpengaruh penting bagi perkembangan gender pada remaja. Masa remaja awal merupakan suatu masa yang sangat sensitif terhadap pesan - pesan yang disampaikan oleh televisi tentang peran gender. Dalam menonton televisi remaja akan belajar tentang perilaku gender yang diperbolehkan, terutama dalam hubungan dengan lawan jenis. Secara kognitif, remaja lebih terikat dalam pemikiran yang idealis daripada yang dialami oleh anak – anak, dan televisi jelas - jelas memiliki peranan dalam menunjukkan karakter - karakter ideal yang mana para remaja kemudian akan mengidentifikasinya dan melakukan imitasi. Model yang sangat menarik adalah muda, mempesona dan sukses. Televisi adalah dunia stereotipe gender yang tinggi dan menyampaikan pesan - pesan tentang perbandingan kekuasaan dan kepentingan perempuan dan laki - laki (Huston & Alvarez, Condry, Durkin dalam Santrock, 2003).

(36)

pekerjaan tradisional laki - laki. Pada tahun 2000 remaja mengenal yang namanya program MTV (Music Television) dan melalui MTV remaja bebas menonton video musik rock. Dalam video musik rock, perempuan cenderung ditampilkan memakai baju yang seronok atau minim dan menampilkan keagresifan dalam melakukan perilaku seksual (Sherman & Dominic dalam Santrock, 2003). Dalam video – video musik, karakter laki - laki lebih sering digambarkan agresif, dominan, kompeten, otonom dan aktif. Sementara perempuan lebih sering digambarkan sebagai orang yang pasif. Morgan (dalam Santrock, 2003), menyatakan bahwa dengan banyak menonton televisi maka remaja akan semakin banyak menerima pesan - pesan yang berbau stereotipe dan hal itu akan meningkatkan kecenderungan untuk mendukung pembagian kerja peran gender yang tradisional. Melalui sebuah penelitian muncul asumsi bahwa televisi membawa pesan yang merendahkan jenis kelamin tertentu (sexist), padahal remaja banyak menerima pesan - pesan tersebut.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Durkin & Hutchins (dalam Santrock, 2003), menemukan bahwa walaupun ada program acara televisi yang non stereotipe akan tetapi remaja yang memperhatikan gambaran tentang orang - orang yang berkecimpung di pekerjaan non tradisional, seperti sekretaris laki - laki atau perawat laki - laki atau tukang ledeng perempuan tetap memiliki pandangan tradisional tentang karir. Sangatlah sulit untuk merubah pandangan yang bersifat tradisional tersebut.

(37)

e. Teori Perkembangan Kognitif

(38)

Berdasarkan teori Piaget yang dicetuskan pertama kali oleh ahli perkembangan Lawrence Kohlberg (dalam Santrock, 2003), perkembangan kognitif terhadap gender dimulai dengan cara berikut: anak perempuan berpendapat, “Saya seorang perempuan. Saya ingin melakukan pekerjaan - pekerjaan perempuan; oleh karena itu, kesempatan untuk melakukan hal - hal tersebut sangatlah berharga”. Setelah diperoleh kemampuan untuk mengkategorikan, anak - anak berusaha mencapai kekonsistenan dalam menggunakan kategori - kategori tersebut dalam perilaku mereka sehari - hari. Menurut Tavris & Wade (dalam Santrock, 2003), teori Kohlberg ini menekankan bahwa perubahan penting dalam perkembangan gender muncul di masa kanak - kanak. Pada tahap kongkrit operasional (tahap ketiga dari teori Piaget, ketika memasuki usia enam sampai tujuh tahun), anak - anak mengerti kepastian tentang gender. Dimana seorang anak laki - laki tetap seorang laki - laki tanpa perduli apakah ia mengenakan celana atau rok, ataukah rambutnya panjang atau pendek.

(39)

adalah satu area dimana terdapat pilihan yang akan mereka pilih. Peningkatan minat pada masalah identitas diri memicu remaja untuk menilai dan menetapkan ulang sikap dan perilaku gender mereka (Santrock, 2003).

f. Teori Skema Gender

Teori skema gender merupakan kombinasi dari teori belajar sosial dan teori perkembangan kognitif. Pengaruh lingkungan sosial dan peran individu keduanya dipadukan dalam pembentukan peran gender melalui skema gender. Seperti teori perkembangan kognitif, teori skema gender mengemukakan bahwa

(40)

Skema (schema) merupakan suatu struktur kognitif, suatu jaringan yang saling berhubungan, yang mengatur dan mengarahkan persepsi individu. Skema gender (schema gender) mengatur kehidupan menurut jenis kelamin perempuan atau laki - laki. Teori skema gender (gender schema theory) mengemukakan bahwa perhatian dan perilaku individu diarahkan oleh motivasi internal untuk menyesuaikan diri terhadap standar dan stereotipe gender menurut sosial budaya yang berlaku (Bem dalam Santrock, 2003).

(41)

bagi teori skema gender. Proses skematik gender ini ternyata kurang disadari oleh sebagian besar individu, mereka tidak sadar bahwa persepsi - persepsi mereka diatur atas dasar gender. Anak belajar menggunakan dimensi - dimensi tertentu ketimbang yang lain sebagai prinsip - prinsip yang mengatur kognisi, tetapi tidak secara khusus sadar bahwa terdapat dimensi - dimensi alternatif yang dapat dipergunakan. Dimensi - dimensi yang dipilih sebagai prinsip yang mengatur kognisi berfungsi sebagai suatu jenis ideologi tidak sadar (nonconscious ideology) atau dengan kata lain, struktur kognitif akan mempengaruhi persepsi seseorang tanpa kesadaran penuh. Seperti itulah sifat dasar dari pemrosesan skematik gender (gender schematic processing) pada umumnya (Bem, 1983, 1985).

4. Pengukuran Peran Gender

(42)

Para peneliti yang semula hanya memperhatikan pengukuran maskulinitas dan femininitas secara mutlak, kenyataannya menemukan bahwa pengukuran yang mereka gunakan bukan merupakan gambaran dari sifat kepribadian yang menetap. Pengukuran yang mereka gunakan merupakan gambaran dari aspek - aspek gender yang dianggap relevan dan berkaitan erat dengan konsep diri dan gambaran diri seseorang sejalan dengan stereotipe gender yang digunakan. Pendekatan yang digunakan lalu berubah. Mereka mengabaikan teori yang mengatakan bahwa maskulinitas dan femininitas merupakan sifat yang bertolak belakang, dan mulai mencari kemungkinan adanya sifat androgini. Perspektif lain dalam memandang jenis kelamin dan gender menyatakan bahwa maskulinitas dan femininitas adalah dua sifat yang saling melengkapi satu sama lain. Menurut pandangan ini, tidak hanya laki - laki dan perempuan yang membutuhkan satu sama lain, tetapi setiap individu akan mencapai keutuhan apabila mengadopsi sifat - sifat maskulin dan feminin dalam dirinya. Dua kutub ini saling berkaitan secara kreatif, dan saling mendukung satu sama lain. Untuk mencapai keutuhan diri, individu harus menyatukan dualitas yang saling bertentangan ini dan mencapai kesatuan dalam dirinya. Kesatuan dualitas yang bertentangan ini disebut dengan androgini (Lips, 1988).

5. Androgini

Androgini berasal dari kata Yunani, andro yang berarti laki - laki dan gyne

(43)

dan impuls - impuls manusia yang ditunjukkan oleh laki - laki dan perempuan tidak menetap dengan pasti. Judith Laws (dalam Richmond - Abbott, 1992) mengatakan bahwa androgini adalah keadaan dimana elemen maskulin dan feminin sama - sama ada, diterima dan dilakukan oleh individu.

(44)

unidimensional) serta pengukuran maskulinitas dan femininitas yang dilakukan oleh Sandra Bem (pendekatan dua dimensi) pada gambar berikut ini:

Gambar 1 : Pendekatan Undimensional Dan Pendekatan Dua Dimensi

BEM SEX ROLE INVENTORY

Bem Sex Role Inventory (Bem, 1974, 1977, 1979, 1985) adalah sebuah instrumen pengukuran yang akan mengidentifikasikan individu ke dalam kelompok sex typed (individu maskulin atau feminin) atau ke dalam kelompok kontras baru yaitu individu androgini. Instrumen ini meminta responden untuk melaporkan diri dengan cara memberikan penilaian pada butir - butir ciri kepribadian yang disediakan, seberapa baik butir - butir ciri kepribadian itu dapat menggambarkan tentang diri responden. Respon penilaian itu menggunakan skala

Unidimensional Approach

Masculinity Feminity

Two-Dimensional Approach

Masculinity

Femininity

High Low

(45)

7 angka, rentang skala mulai dari angka 1 (memiliki makna tidak pernah atau hampir tidak pernah benar dalam menggambarkan diri responden) sampai 7 (memiliki makna selalu atau hampir selalu benar dalam menggambarkan diri responden). Bem Sex Role Inventory dalam pendistribusiannya kepada responden tidak akan nampak jelas tetapi sebenarnya dalam butir - butirnya mengandung 20 ciri yang merefleksikan definisi budaya tentang maskulinitas (seperti asertif, mandiri), 20 ciri yang merefleksikan definisi budaya tentang femininitas (seperti lembut, pengertian), dan 20 ciri yang lain merupakan pengisi atau ciri butir netral, sehingga total butir keseluruhan adalah 60 butir ciri kepribadian.

(46)

gendernya dan menghindari berbagai perilaku dan sifat yang tidak sesuai dengan gendernya. Karena itulah konsep diri individu maskulin yang sempit akan dapat menghambat perilaku yang distereotipkan sebagai feminin, begitupun sebaliknya konsep diri individu feminin yang sempit akan menghambat perilaku yang distereotipkan sebagai maskulin. Sedangkan individu - individu yang androgini, mereka kurang sesuai dengan definisi - definisi budaya dari maskulinitas dan femininitas dan mereka kurang mengatur perilaku mereka sesuai dengan definisi - definisi tersebut. Mereka cenderung menerapkan konsep diri campuran sehingga mereka bebas mempratekkan perilaku “maskulin” dan perilaku “feminin”.

Dengan demikian Bem Sex Role Inventory didesain untuk menilai sampai mana definisi - definisi budaya tentang standar kepantasan gender bagi pria atau wanita dimasukkan ke dalam deskripsi - diri (self - description) seorang individu. Dengan kata lain Bem Sex Role Inventory didesain untuk memberikan individu koleksi sifat yang heterogen, kemudian individu itu akan menilai dimana dia mengelompokkan sifat - sifat itu ke dalam dua kategori yang didesain oleh budaya yaitu maskulin atau feminin ataukah campuran keduanya (Bem, 1974, 1985).

Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan 60 butir skala maskulin, feminin dan netral yang telah disusun oleh Sandra L. Bem:

Tabel 1

SANDRA L. BEM

ITEMS ON THE MASCULINITY, FEMININITY, AND SOCIAL DESIRABILITY OF THE BSRI

Maskuline Items Feminine Items Neutral Items

1. Self- reliant 2. Yielding 3. Helpful

4. Defens own belief 5. Cheerful 6. Moody

7. Independent 8. Shy 9. Conscientious

10. Athletic 11. Affectionate 12. Theatrical

13. Assertive 14. Flatterable 15. Happy

(47)

19. Forceful 20. Feminine 21. Reliable

22. Analytical 23. Symphathetic 24. Jealous

25. Has leadership abilities 26. Sensitive to the needs of others

27. Truthful

28. Willing to take risks 29. Understanding 30. Secretive

31. Makes decisions easily 32. Compassionate 33. Sincere

34. Self-sufficient 35. Eager to soothe hurt

Karakteristik empat kelompok peran gender diuraikan sebagai berikut:

a. Peran Gender Maskulin

Menurut Raven dan Rubin (1983) karakteristik peran gender maskulin yakni agresif, bebas, dominan, objektif, tidak emosional, aktif, kompetitif, ambisi, rasional, percaya diri, rasa ingin tahu tentang berbagai peristiwa dan objek - objek non sosial, impulsif, kurang dapat mengekspresikan kehangatan dan rasa santai, serta kurang responsif terhadap hal - hal yang berhubungan dengan emosi.

(48)

mencari pengalaman baru, rasional, dan tenang saat menghadapi krisis. Menurut Bakan (dalam Dewi, 2005), peran gender maskulin lebih menonjolkan kebebasan individu, dominasi, mandiri dan agresivitas.

b. Peran Gender Feminin

Menurut Bernard (dalam Dewi, 2005) karakteristik peran gender feminin lebih memperlihatkan sifat - sifat yang hangat dalam hubungan personal, lebih suka berafiliasi dengan orang lain daripada mendominasi. Karakteristik peran gender feminin lebih sensitif dan tanggap terhadap keadaan orang lain, bersikap hati - hati agar tidak menyinggung perasaan orang lain, cenderung suka menyenangkan orang lain, ingin selalu tampak rapi, lebih bersifat loyal dan pemalu. Karakteristik tersebut kemungkinan terbentuk dari kebiasaan dan tugasnya yang bersifat domestik.

(49)

karakteristik sifat feminin terdapat pada prinsip communion, kompromitas, suka membantu, berperasaan halus, tergantung, dan senang pada kehidupan kelompok.

c. Peran Gender Androgini

Menurut Bem (1985) androgini merupakan perpaduan atau kombinasi dari karakteristik maskulin dan feminin dalam diri individu. Kombinasi yang dimaksudkan adalah apabila sifat feminin dan maskulinnya sama tinggi. Misalnya, individu yang androgini dapat menunjukkan sifat dominance dan

(50)

androgini memiliki fleksibilitas yang tinggi dan mereka dapat menempatkan diri sesuai peran gendernya secara fleksibel. Daya adaptasinya sangat tinggi. Beberapa faktor yang harus ada dalam sifat androgini menurut Kaplan dan Sydney (dalam Nuryoto, 2003) adalah: 1) mempunyai wawasan yang luas sehingga mampu bereaksi secara tepat dalam situasi apapun, 2) mampu bersikap fleksibel seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat (mampu membedakan kapan harus bersikap maskulin dan kapan harus bersikap feminin, 3) mampu bersikap hangat dan dapat diterima dengan baik oleh orang lain.

d. Peran Gender Tak Terbedakan

Peran gender tak terbedakan yaitu peran gender yang memiliki karakteristik maskulin dan karakteristik feminin yang sama – sama rendah, dan tidak memiliki karakteristik khusus yang menonjol (Bem, 1975), sehingga dapat diperkirakan sangat rendah perilaku prososialnya dibandingkan dengan peran gender maskulin, feminin, dan androgini.

7. Bukti - bukti Ilmiah Androgenitas Manusia

a. Androgenitas Dalam Mite, Tradisi Dan Perdukunan

(51)

penciptaan Adam dan Hawa. Adam yang adalah asal dari semua manusia memiliki jenis kelamin pria dan wanita sekaligus, akan tetapi Allah mengambil tulang rusuknya dan menjadikan seorang wanita untuk menemaninya, yaitu Hawa. Walaupun interpretasi Jung ini masih diragukan akan tetapi ahli Jungian berpendapat bahwa ayat - ayat dalam kitab suci yang menceritakan kisah tersebut merupakan bukti kuat bahwa pada dasarnya manusia bersifat androgen seperti Allah sendiri. Selanjutnya banyak novel dan mite - mite zaman dulu yang menulis tentang androgenitas manusia. Seperti Plato dalam karangannya yang berjudul

Symposium. Buku itu menceritakan bahwa manusia yang bentuknya bundar, mempunyai empat lengan, empat kaki, satu leher dan dua muka. Hampir semua anggota badan berkelipatan dua kali normal. Manusia itu memiliki kekuatan yang tiada taranya. Dia bahkan merupakan ancaman yang hebat bagi dewa Zeus, yang iri hati akan kekuatannya, memenggalnya menjadi dua bagian. Dengan demikian kekuatan manusia itu menjadi berkurang. Namun semenjak itu timbul kerinduan yang amat kuat pada manusia untuk menyatu. Keinginan untuk bersatu itu diwujudkan dalam kerinduan pria dan wanita terhadap satu sama lain. Mereka ingin bersatu seperti semula, bukan lagi dua tetapi satu. Sekarang ini hal itu bisa dicapai lewat perkawinan (Bennet, Sanford dan Lowe Brian dalam Sebatu, 1994). Pada abad kesembilan belas, sebuah novel yang terkenal berjudul Seraphita

(52)

melihat Seraphita sebagai seorang pria yang gagah perkasa, dia amat mencintainya. Sebaliknya Wilfred justru melihat Seraphita sebagai seorang wanita yang cantik jelita dan amat mencintainya pula (Eliade dalam Sebatu, 1994).

Unsur - unsur androgenitas juga tampak pada praktek perdukunan dan ritus inisiasi. Mircea Eliade (dalam Sebatu, 1994) mengungkapkan bahwa dalam praktek perdukunan, seorang shaman atau dukun biasanya dibantu oleh seorang bidadari yang adalah pria atau wanita. Shaman wanita biasanya dibantu oleh pembantu pria sedangkan shaman pria sebaliknya dibantu oleh seorang wanita. Bahkan ada dukun yang menggunakan pakaian wanita atau memakai dada tiruan untuk menggambarkan adanya unsur feminin dalam dirinya. Roh pengawas

(53)

androgen. Dia harus mengenal bahwa unsur pria dan wanita adalah dua bagian yang tidak terpisah dalam dirinya. Dia tidak lengkap tanpa keduanya menyatu.

Adanya androgenitas di alam raya ini dipercaya penuh oleh orang Cina. Cina kuno mengenal istilah Yin dan Yang. Dalam buku I Ching yang artinya buku tentang perubahan, orang - orang Cina percaya bahwa ada kesatuan antara manusia dengan kosmos sekitarnya, dan juga ada bentuk komplementer antara dua unsur yang berlawanan Yin dan Yang, unsur maskulin dan feminin. Yang

maksudnya semacam panji yang gemilang yang melambai - lambai pada matahari, sesuatu yang amat terang. Yang ditandai dengan langit, surga, cahaya kemilau, kreatif, bagian selatan dari gunung atau bagian utara dari sungai. Sementara Yin

adalah mendung atau cuaca berawan. Yin ditandai dengan bumi, kegelapan, kelembapan, sifat reseptif, bagian utara dari gunung atau bagian selatan dari sungai. Yang dianggap sebagai aspek maskulin dan Yin dianggap sebagai aspek feminin, kedua aspek tersebut ada pada setiap manusia dan merupakan unsur kosmis. Interaksi antara Yang dan Yin menentukan setiap peristiwa. Akan tetapi konsep orang Cina berbeda dengan konsep orang Barat tentang maskulin dan feminin. Pengertian Cina kuno bahwa Yang adalah kekuatan yang mengarahkan tindakan, sedangkan Yin menggambarkan tindakan itu sendiri, sesuatu yang aktif. Manusia bertanggung jawab atas setiap tindakan pada saat dan tempat. Yin dan

Yang menggambarkan perubahan yang teratur dalam alam semesta, dan juga pengalaman manusia (Sam Reifler, Jacobi, Sanford, Wilhem dalam Sebatu, 1994). Pada sejarah Indonesia di masa lampau kita mengenal simbol Lingga dan

(54)

melambangkan penis. Sedangkan Yoni adalah unsur wanita yang digambarkan dalam bentuk wadah, melambangkan vagina atau kelamin wanita. Cara meletakkan Lingga yaitu ditancapkan tegak lurus ke atas, sebaliknya Yoni

dipasang dengan posisi dari atas ke bawah. Lingga dan Yoni adalah merupakan unsur - unsur dalam agama Hindu. Sedangkan Orang Manggarai, Flores Barat menggambarkan unsur pria dan wanita dalam bentuk parang (kope) dan sarungnya. Parang menggambarkan unsur kreatif yang memberikan sesuatu, sedangkan sarung adalah unsur reseptif yang menerima dan menampung sesuatu. Pengantin pria selama pernikahan berlangsung akan dipanggil dengan sebutan “ kope ”. Pengantin wanita bukan dipanggil dengan sebutan “ bako ” (sarung parang) tapi “ kala ” atau daun sirih, karena secara alamiah daun sirih mempunyai bentuk yang mirip wadah atau vagina (Sebatu, 1994).

b. Androgenitas Menurut Analisis Biologis

(55)

genetik. Molekul DNA kelihatannya serupa dengan tangga terpilin. Semua molekul DNA mempunyai komposisi kimiawi yang sama, yaitu terdiri dari gula (deoxyribose), fosfat dan 4 basis: adenine, guanine, thymine dan cytosine ( A,G,T,C). Untaian dari molekul DNA yang terdiri dari fosfat dan gula, terpisah dari basis. Struktur kekayaan dari basis ini adalah sebagai berikut, A selalu berpasangan dengan T, sedangkan G berpasangan dengan C. Basis ini dapat membentuk suatu rangkaian yang pada gilirannya dapat menciptakan kode genetik.

(56)

puluh dua pasangan, namun berbeda untuk pasangan yang ke- 23 disebut pasangan jenis kelamin. Pasangan ke- 23 bersimbol XX bagi wanita yang normal dan XY untuk pria normal (Mc Connel dalam Sebatu, 1994).

(57)

c. Androgenitas Menurut Analisis Psikologi Jung

Anima dan animus adalah kata yang digunakan Jung untuk androgenitas dalam diri manusia. Pada tingkat psikologis, sifat - sifat maskulin dan feminin ada pada kedua jenis kelamin. Jung mengaitkan sisi feminin pada kepribadian pria dan sisi maskulin pada wanita dengan arkhetipe - arkhetipe. Arkhetipe adalah suatu bentuk pikiran (ide) universal yang mengandung unsur emosi yang besar, yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Arkhetipe feminin pada pria disebut anima

(58)

B. Mahasiswa

1. Pengertian Mahasiswa

Definisi mahasiswa adalah orang yang terdaftar secara resmi dan aktif menjalankan studinya di perguruan tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988). Menurut ahli sosiologi, Kenneth Keningston (dalam Santrock, 2003) mahasiswa masuk dalam golongan pemuda karena mahasiswa mengalami transisi antara masa remaja ke dewasa, dimana biasanya masih terjadi perpanjangan masa ketergantungan ekonomi dan pribadi. Masa transisi tersebut sering berlangsung selama 2 hingga 8 tahun. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah golongan pemuda (18 sampai 30 tahun) yang terdaftar secara resmi di sebuah perguruan tinggi, serta aktif dalam menjalankan studinya di perguruan tinggi yang bersangkutan.

2. Pengertian Remaja

(59)

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda- tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak – kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial – ekonomi yang penuh

kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. WHO menetapkan usia 10 sampai 20 tahun sebagai batas usia remaja.

Dari beberapa definisi remaja diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa kanak - kanak dan masa dewasa. Perubahan yang terjadi pada masa remaja meliputi perubahan biologis, kognitif dan sosial - emosional. Rentang usia remaja dimulai pada usia 10 dan berakhir kira - kira usia 22 tahun. Mahasiswa yang merupakan subjek dalam penelitian ini merupakan individu yang masuk dalam golongan remaja akhir, yaitu usia 18 sampai 22 tahun.

Remaja Akhir (Late Adolescence) menurut Sarwono (2007) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini:

a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi – fungsi intelek.

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan

dalam pengalaman – pengalaman baru.

(60)

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain. e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

masyarakat umum (the public).

3. Perkembangan Pada Masa Remaja

a. Secara Biologis

(61)

b. Secara Kognitif

Menurut Piaget (Santrock, 2003) remaja masuk pada tahap terakhir dari perkembangan kognitif yaitu pada tahap operasional formal yang muncul sekitar usia 11 sampai 15 tahun. Pada perkembangannya Piaget meralat pandangannya dan menyimpulkan bahwa pemikiran operasional formal baru tercapai sepenuhnya sekitar akhir masa remaja yaitu 15 sampai 20 tahun. Ciri - ciri cara berpikir operasional formal adalah :

1). Pemikiran operasional bersifat lebih abstrak daripada pemikiran operasional konkret, remaja tidak terbatas lagi pada pengalaman nyata dan kongkret sebagai landasan berpikirnya. Mereka mampu membayangkan situasi rekaan, kejadian yang semata - mata berupa kemungkinan hipotesis atau proporsi abstrak, dan mencoba mengolahnya dengan pemikiran logis.

2). Kualitas abstrak dari pemikiran operasional formal tampak jelas pada kemampuan remaja memecahkan masalah secara verbal.

3). Meningkatnya kecederungan untuk memikirkan tentang pemikiran itu sendiri dan perhatian remaja ke arah pemikiran dan kualitas abstraknya. Contoh: seorang remaja berkomentar, “Aku mulai memikirkan tentang mengapa aku memikirkan tentang siapa aku ini. Lalu aku mulai bepikir tentang mengapa aku sebelum ini memikirkan tentang siapa aku ini”.

(62)

ideal, kualitas yang ingin dimilikinya sendiri atau diinginkan ada pada orang lain. Pemikiran seperti itu sering membuat remaja membandingkan dirinya dengan orang lain dan berfantasi ke arah kemungkinan - kemungkinan di masa depan.

5). Remaja juga berpikir lebih logis dengan menyusun rencana pemecahan masalah dan secara sistematis menguji cara - cara pemecahan yang dipikirkannya.

6). Menurut Keating (Santrock, 2003) masa remaja disertai dengan meningkatnya pengambilan keputusan dan berpikir kritis tentang masa depan, teman yang dipilih, sekolah, hubungan seks, dll.

c. Secara Sosial - Emosional

(63)

dan mereka juga akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya dan mengembangkan persahabatan. Menurut Bloss (dalam Sarwono, 2007) keadaan emosi pada masa remaja sangat peka sehingga tidak stabil. Khususnya pada masa remaja awal sering dilanda pergolakan, sehingga selalu mengalami perubahan dalam perbuatannya. Selain itu remaja cenderung mempunyai kepekaan berlebihan sehingga sulit dimengerti dan juga sulit untuk mengerti orang yang lebih dewasa.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa masa remaja adalah masa yang penuh perubahan. Perubahan terjadi dalam setiap aspek dari diri remaja. Perubahan fisik dan hormonal terjadi selama masa pubertas dan mulai adanya ketertarikan dengan lawan jenisnya. Perubahan kognitif memasuki tahap operasional formal yaitu dapat berpikir abstrak, idealis dan logis. Perubahan sosial - emosional terjadi dimana remaja mulai berproses mencari identitas diri dengan mencoba berbagai peran baru, mulai melepaskan keterikatan dengan orang tua, mengembangkan persahabatan dengan rekan - rekan sebaya, kepekaan emosi remaja juga meningkat dan cenderung tidak stabil karena remaja sering mengalami pergolakan dalam diri.

4. Tugas Perkembangan Masa Remaja

(64)

dapat menyesuaikan diri dengan baik. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas - tugas perkembangan akan membuat seseorang dapat melaksanakan tugas - tugas selanjutnya. Sebaliknya kegagalan seseorang dalam melaksanakan tugas - tugas perkembangan akan dapat menyulitkan pelaksanaan tugas - tugas perkembangan dalam masa kehidupan selanjutnya (Dariyo, 2004).

Havighurst (dalam Rice dan Dolgin, 2002) menyatakan ada 8 tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu :

a. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuh secara efektif.

Salah satu karakteristik remaja adalah kebutuhan mereka yang ekstrem, kesadaran tentang kondisi fisik mereka seiring dengan tercapainya kematangan seksual. Remaja harus menerima kondisi fisik mereka dan pola perkembangan tubuh mereka, belajar untuk memperhatikan tubuh mereka, dan menggunakan tubuh mereka secara efektif dalam kegiatan olahraga dan atletik, rekreasi, kerja, dan tugas sehari-hari.

b. Mencapai hubungan yang baru dan lebih dewasa baik dengan jenis kelamin yang sama maupun jenis kelamin yang berbeda.

(65)

c. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin.

Peran psikoseksual sosial dibangun oleh kebudayaan masing - masing, tetapi karena peran maskulin - feminin sekarang berubah dengan cepat, sebagian proses pendewasaan remaja harus ditinjau kembali mengingat peran gender yang berubah dalam budaya mereka dan memutuskan aspek apa yang akan diadopsi dalam perilaku.

d. Mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang - orang

dewasa disekitarnya.

Remaja harus mengembangkan pemahaman, afeksi, dan penghargaan tanpa ketergantungan emosional. Remaja yang labil dan berada dalam situasi konflik dengan orang tua dan orang dewasa lainnya harus mengembangkan pemahaman yang lebih besar tentang mereka, kedewasaan dan alasan konflik yang mereka alami.

e. Mempersiapkan karir secara ekonomi.

Salah satu tujuan utama remaja adalah memutuskan tentang karir, mempersiapkan karir tersebut, dan kemudian menjadi tergantung dengan cara mendapatkan kehidupan mereka sendiri. Salah satu bagian dari tugas mereka adalah untuk menemukan apa yang mereka inginkan dalam kehidupan mereka.

f. Mempersiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga.

(66)

yang bahagia dan menjadi orang tua yang baik sebagai salah satu tujuan penting dalam kehidupan. Jadi mereka harus mengembangkan sikap positif, kemampuan sosial, kematangan emosional, dan pemahaman yang penting untuk membuat pernikahan kelak berhasil. g. Menginginkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

Tujuan ini meliputi perkembangan ideologi asosial yang kemudian dimasukkan ke dalam nilai - nilai sosial. Tujuan ini juga termasuk partisipasi dalam kehidupan dewasa dalam komunitas dan negara. Beberapa remaja terganggu oleh kualitas etis dalam lingkungan sosial. Beberapa menjadi aktivis radikal; yang lainnya tidak bergabung dalam kelompok apapun dan menolak untuk beraksi. Remaja - remaja ini berjuang untuk menemukan tempat mereka dalam rangka menemukan makna kehidupan.

h. Menerapkan nilai - nilai dan sistem etika sebagai pedoman dalam berperilaku dan mengembangkan ideologi. Tujuan ini termasuk pengembangan ideologi sosial politik dan mengadopsi serta menerapkan nilai - nilai moral, dan ide - ide dalam kehidupan personal seseorang.

(67)

ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, menginginkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, menerapkan nilai - nilai dan sistem etika sebagai pedoman berperilaku dan mengembangkan ideologi.

5. Remaja Akhir Dan Peran Gender Androgini

Pada tahun – tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan standar masyarakat masih tetap penting bagi anak laki – laki dan perempuan. Terutama penyesuaian diri dengan stereotipe peran seks maskulin dan feminin meningkat seiring dengan perubahan yang terjadi karena pubertas. Anak laki – laki akan mencoba menjadi laki – laki sebaik mungkin dan anak perempuan akan mencoba menjadi perempuan sebaik mungkin. Penyesuaian diri dengan nilai dan harapan dalam masyarakat itu terjadi karena remaja mulai dihadapkan pada peran - peran dan status orang dewasa, antara lain adalah urusan pekerjaan dan asmara (Santrock, 2003).

(68)

identitas yang saling bertentangan, dan mendapatkan pemikiran baru yang dapat diterima mengenai dirinya.

Pada akhir masa remaja perkembangan fisik, kognisi dan sosial – emosional meningkat pada suatu titik dimana seorang individu dapat memilih dan melakukan sintesa identitas – identitas dan identifikasi di masa kecilnya untuk mencapai suatu jalan menuju kedewasaan. Peningkatan perhatian remaja terhadap masalah identitas diri yang disertai dengan kemampuan kognitif operasional formal akan mengarahkan remaja untuk cenderung mempelajari dan menjelaskan ulang sikap dan perilaku gender mereka. Sehingga remaja akhir sampai pada tahap dimana mereka memiliki kemampuan kognitif untuk menganalisa diri dan memutuskan identitas seperti apa yang mereka inginkan. Seorang individu yang mengembangkan suatu identitas yang sehat merupakan individu yang fleksibel dan dapat menyesuaikan diri, terbuka terhadap perubahan – perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dalam hubungan, dan dalam karir (Adams, Gulotta dan Montemayor dalam Santrock, 2003). Fleksibilitas itu merupakan ciri utama dari peran gender androgini.

(69)

kegiatan yang produktif, termasuk melakukan pekerjaan – pekerjaan lintas jenis kelamin. Misalnya di Amerika perempuan tidak canggung untuk memperbaiki ledeng, laki – laki tidak segan untuk memasak dan mencuci piring. Selain itu, Individu akan mampu menempatkan diri dalam berbagai situasi secara fleksibel, dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dengan matang dan bijaksana, dan lebih menghargai lawan jenisnya.

Nuryoto (2003) mengemukakan bahwa sifat dan kepribadian yang terpancar dari perilaku seseorang bukan merupakan bawaan sejak lahir namun merupakan kemampuan yang harus diajarkan dan dilatih. Dengan demikian sifat dan kepribadian seorang anak akan menjadi bagian dari dirinya karena telah menjadi kebiasaan dalam kehidupannya sehari – hari. Oleh sebab itu, sebaiknya anak laki – laki maupun perempuan sudah dilatih dan dibiasakan memiliki sifat androgini sejak dini. Artinya, pendidikan anak tidak dibedakan antara anak laki – laki dan perempuan baik dalam bentuk pendidikan formal, informal maupun non formal. Di bawah ini merupakan tri pusat pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara (dalam Nuryoto, 2003) yang dapat mempengaruhi pula tingkat androgenitas diri seseorang:

1) Orang tua

(70)

perkembangan jiwa anak di kemudian hari dan mempertinggi androgenitasnya. Sebaliknya apabila orang tua memberikan tindakan dan contoh perlakuan berbeda kepada anak laki – laki dan perempuan berdasarkan stereotipe budaya maka anak akan cenderung terhambat perkembangan jiwanya dan memiliki androgenitas yang rendah.

2) Sekolah

Sekolah ikut mempengaruhi perkembangan jiwa dan kepribadian anak dan remaja lewat berbagai program pendidikan ekstrakurikuler yang ditawarkan, salah satu contohnya adalah pramuka. Menurut Nuryoto (2003), dengan kepramukaan anak diajarkan bersikap penuh rasa sosial yang kuat, rasa egalitarian, saling membantu jika diperlukan, dan sikap menghargai orang lain. Dalam perkemahan anak laki – laki harus mampu mencukupi kebutuhan makan minumnya dengan memasak, sedangkan anak perempuan harus mampu memanjat pohon, menyeberang sungai, panjat tebing, dan masih banyak lagi. Semua kegiatan lintas peran jenis tersebut amat bermanfaat untuk mengembangkan kepribadian dan mempertinggi androgenitas dalam diri seorang anak.

3) Lingkungan

(71)

Sangatlah penting bagi anak untuk mampu manjing ajur ajer yaitu anak diberi kesempatan untuk mampu menyesuaikan diri dengan kondisi setempat yang sedang dihadapi. Lingkungan akan mengajarkan kepada anak how to survive, ini akan menjadi pelajaran yang sangat penting bagi anak agar mereka dapat hidup mandiri. Lingkungan memang tidak mengajarkan sifat androgini secara spesifik, namun anak dapat memetik pelajaran yang berharga dari lingkungan tempatnya berada. Pergaulan di lingkungan akan membentuk dan mendewasakan jiwa anak, sebab pergaulan anak akan menjadi multi – enis, multi – bahasa dan multi – budaya. Mereka akan dididik oleh lingkungan untuk mampu bersikap dalam berbagai kondisi.

(72)

Masa remaja akhir adalah masa perkembangan dimana individu mulai meningkatkan fokus perhatian pada pilihan pekerjaan, gaya hidup maupun urusan asmara. Oleh karena itu fleksibilitas menjadi penting bagi individu, karena individu harus mampu untuk membuat keputusan yang tepat, menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul, dan mampu untuk menempatkan diri dalam berbagai situasi dengan baik. Menurut Adams, Gulotta dan Montemayor (dalam Santrock, 2003), individu yang dapat mengembangkan suatu identitas yang sehat merupakan individu yang fleksibel dan dapat menyesuaikan diri, serta terbuka terhadap perubahan – perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dalam hubungan, dan dalam karir. Fleksibilitas itu merupakan ciri utama dari peran gender androgini.

Bem (1977), dan Richmond - Abbott (1992) mengemukakan bahwa individu yang androgini terbebas dari pembatasan gender dan lebih leluasa memadukan perilaku maskulin dan feminin dalam berbagai situasi sosial yang berbeda. Individu androgini diindikasikan sebagai individu yang fleksibel, memiliki kompetisi sosial, dapat merespon situasi dengan perilaku yang dibutuhkan, lebih lengkap, dapat berkembang dan memaksimalkan potensi yang dimiliki, dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dibanding peran gender lainnya.

Gambar

Gambar 1 : Pendekatan Undimensional Dan Pendekatan Dua Dimensi
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan kecenderungan Socially-Prescribed Perfectionism yang dilakukan oleh mahasiswa skripsi Fakultas Psikologi

Socially-Prescribed Perfectionism dapat diartikan sebagai kecenderungan individu untuk berusaha memenuhi harapan serta tekanan yang dianggapnya berasal dari

jadi orang luar ngga boleh minjem ....kalo orang dalem boleh...kebetulan temanku yang di psikologi UGM tu udah lulus....mungkin yang akan jadi masalah tu kalo

Populasi dalam penelitian ini adalah para mahasiswa Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang masih aktif sampai dengan semester genap

42 Saya merasa senang dengan pergaulan bebas yang ada saat ini karena memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. 43 Saya akan menghormati wanita yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa mengenai nilai-nilai Universitas Sanata Dharma. Pertanyaan penelitian ini adalah 1) bagaimana persepsi

STUDI KUANTITATIF DESKRIPTIF TENTANG SIKAP MAHASISWA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER.. Dengan demikian saya memberikan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa tingkat employee engagement pada karyawan Universitas Sanata Dharma sangat tinggi. Hasil analisis data menunjukkan sebanyak 95