• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TERHADAP KEMAMPUAN MENGEKSPLANASI DAN MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TERHADAP KEMAMPUAN MENGEKSPLANASI DAN MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD SKRIPSI"

Copied!
254
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT)

TERHADAP KEMAMPUAN MENGEKSPLANASI DAN

MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh:

Yohana Fransiska Lintang Natalia

NIM : 151134259

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Karya ini peneliti persembahkan kepada:

1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria sebagai sumber kekuatanku.

2. Kedua orangtuaku, Yohanes Hari Pracoyo dan Maria Yosefina Sareng

yang selalu mendukung dan selalu memberikan yang terbaik.

3. Kakakku Angela Ryzki Litania Kartika Sari yang selalu memberikan

semangat dan dukungan.

4. Adikku Yubilium Agung Traiger Hari Mardono yang selalu memberikan

semangat dan dukungan ketika lelah.

5. Sahabat-sahabatku yang bersama berjuang menyelesaikan sarjana Agnes

Putri Wiraswasti dan Cordula Anggraeni Oktadayani.

(5)

v

MOTTO

“When you want something, all universe conspires in helping you to achieve it”.

(Paulo Coelho)

“Dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat” (Efesus 5:16)

“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,21 Desember 2019

Peneliti

(7)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Yohana Fransiska Lintang Natalia

Nomor Mahasiswa : 151134259

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TERHADAP KEMAMPUAN

MENGEKSPLANASI DAN MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD”

Dengan demikian saya memberikan kepada Pepustakaan Universitas Sanata

Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,

mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan

mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis

tanpa perlu meminta ijin dari saya mapupun memberikan royalti kepada saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada Tanggal : 21 Desember 2018

Yang menyatakan

(8)

viii

ABSTRAK

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TERHADAP KEMAMPUAN

MENGEKSPLANASI DAN MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD

Yohana Fransiska Lintang Natalia Universitas Sanata Dharma

2019

Latar belakang penelitian ini adalah keprihatinan rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dalam mata pelajaran IPA. Masalah ini terlihat berdasarkan studi yang dilakukan PISA tahun 2012 dan 2015 yang menyatakan bahwa peringkat literasi IPA siswa di Indonesia masih berada pada peringkat 10 terbawah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap kemampuan mengekplanasi dan meregulasi diri siswa kelas V SD.

Penelitian ini merupakanpenelitian quasi experimental tipe pretest-posttest non-equivalent group design. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD sebanyak 42 siswa. Sampel penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu kelas V.2 sebagai kelompok kontrol sebanyak 21 siswa dan kelas V.1 sebagai kelompok eksperimen sebanyak 21 siswa. Treatment yang diterapkan di kelompok eksperimen adalah model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki lima langkah yaitu penyajian materi (presentation class), kelompok (teams), permainan (games), kompetisi (tournament) dan pengakuan kelompok (team regocnition).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berpengaruh terhadap kemampuan mengeksplanasi. Rerata selisih skor yang dicapai pada kelompok eksperimen (M = 1,12, SE = 0,12) lebih tinggi daripada rerata selisih skor yang dicapai kelompok kontrol (M= 0,55, SE = 0,14). Perbedaan skor tersebut signifikan dengan t(40) = -3,01 dan p = 0,004 (p < 0,05); dengan r = 0,430 atau 18,5 % yang setara dengan efek menengah. 2) Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berpengaruh terhadap kemampuan meregulasi diri. Rerata selisih skor yang dicapai pada kelompok eksperimen (M = 1,07, SE = 0,12) lebih tinggi daripada rerata selisih skor yang dicapai kelompok kontrol (M= 0,60, SE = 0,12). Perbedaan skor tersebut signifikan dengan t(40) = -2,708 dan p = 0,010 (p < 0,05); dengan r = 0,394 atau 15,4% yang setara dengan efek menengah.

(9)

ix ABSTRACT

THE EFFECT OF IMPLEMENTING COOPERATIVE LEARNING TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TYPE ON THE ABILITY TO EXPLAIN

AND SELF- REGULATE IN ELEMENTARY SCHOOL CLASS V

Yohana Fransiska Lintang Natalia

SanataDharmaUniversity

2019

This research concerns on the lack of high order thinking skill of students in science subjects. A study by PISA which was conducted in 2012 and 2015 shows that science literacy rating of Indonesian students is still in the 10th position from the bottom. This study aims to investigate the effect of implementing cooperative learning model type Teams Games Tournament (TGT) toward the ability to explain and self-regulate of the fifth grade student.

The research employed quasi-experimental to conduct this study. Specifically, this study used pre-test and posttest non-equivalent group design. The participants of this study were 42 students of the fifth-grade in Elementary School of Yogyakarta. The participants were classified into two groups. The first group was class V.2 (n=21) as the control group and the second group was class V.1 (n=21) as the experimental group. The treatment applied in the experimental group was the cooperative learning model type Teams Games Tournament (TGT). There are five steps in the cooperative learning model on Teams Games Tournament type, namely, class presentation, teams, games, tournament, and

team’s recognition.

The results of the study show that 1) the implementation of the cooperative learning model type Teams Games Tournament (TGT) affects the explanatory ability. The mean score of the experimental group (M = 1.12, SE = 0.12) was higher than the mean score of the control group (M = 0.55, SE = .14). It means that there is a significant difference in the mean score in both control and experimental group with t (40) = -3.01 and p = 0.004 (p <0.05); r = 0.430 or 18.5% which is equivalent to medium effects. 2) The implementation of the cooperative learning model type Teams Games Tournament (TGT) affects the

students’ ability to regulate themselves. The mean score of the experimental group

(M = 1.07, SE = 0.12) was higher than the mean score of the control group (M = 0.60, SE = 0.12). The score difference is significant with t (40) = -2.708 and p = 0.010 (p <0.05); r = 0.394 or 15.4% which is equivalent to medium effects.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga

peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “PENGARUH

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS

GAMES TURNAMENT (TGT) TERHADAP KEMAMPUAN

MENGEKSPLANASI DAN MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD”

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Guru Sekolah Dasar.

3. Kintan Limiansih, S.Pd., M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

4. Gregorius Ari Nugrahanta, S.J., S., BST., M.A selaku Dosen Pembimbing I

yang telah membimbing dengan penuh bijaksana.

5. Agnes Herlina Dwi Hadiyanti, S.Si., M.T., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing

II yang telah membimbing dengan penuh perhatian.

6. Laurensia Aptik Evanjeli, S.Psi., M.A. selaku dosen penguji III yang telah

memberikan masukan pada penulisan penelitian ini.

7. Ari Kristiani, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SD Budya Wacana I Yogyakarta

yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian.

8. Ch. Wiji Widiastuti, S.Pd. selaku guru mitra yang telah membantu

pelaksanaan penelitian ini.

9. Siswa kelas V.1 dan V.2 SD Budya Wacana I Yogyakarta tahun ajaran

2018/2019 yang telah bersedia terlibat dalam penelitian.

10. Sekretariat PGSD Universitas Sanata Dharma yang telah membantu proses

perizinan penelitian skripsi.

11. Kedua orangtua, Yohanes Hari Pracoyo dan Maria Yosefina Sareng yang

(11)

xi 12. Kakakku Angela Ryzki Litania Kartika Sari, kakakku Ricky Prananta, adikku

Yubilium Agung Treiger Hari Mardono yang telah memberi penghiburan dan

penyemangat.

13. Teman-teman PPL Rika, Yutta, Deta, Rani, Agnes, Koko dan Om Jacob SD

Budya Wacana I Yogyakarta atas kerjasama dan dukungannya di sekolah.

14. Sahabat penelitian kolaboratif bersama Rani, Agnes, Halimah, Anggun,

Niken, Herlin, Clara, Poppy, Melsa, Felis, Erine yang telah memberikan

bantuan selama melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

15. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu namun telah

banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna karena keterbatasan

peneliti. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi menyempurnakan skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi

ini berguna bagi semua pihak.

(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMANPERSEMBAHAN... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN LEMBARPUBLIKASI KARYA ILMIAHUNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB IPENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Definisi Operasional ... 7

BAB IILANDASAN TEORI ... 9

2.1 Kajian Pustaka ... 9

2.1.1 Teori yang Mendukung... 9

2.1.1.1 Perkembangan Anak ... 9

2.1.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif ... 16

2.1.1.3 Tipe Teams Games Tournament (TGT) ... 20

2.1.1.4 Kemampuan Berpikir Kritis ... 23

2.1.1.5 Kemampuan Mengeksplanasi... 25

2.1.1.6 Kemampuan Meregulasi Diri ... 26

2.1.1.7 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam ... 27

2.1.1.8 Materi Pembelajaran ... 27

2.1.2 Hasil Penelitian yang Relevan ... 29

2.1.2.1 Penelitian tentang pembelajaran kooperatif tipe TGT ... 29

2.1.2.2 Penelitian tentang Kemampuan Berpikir Kritis ... 30

2.2 Kerangka Berpikir ... 34

2.3 Hipotesis Penelitian ... 35

BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 36

3.1 Jenis Penelitian ... 36

3.2 Setting Penelitian ... 38

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 38

(13)

xiii

3.3 Populasi dan Sampel ... 39

3.3.1 Populasi ... 39

3.3.2 Sampel ... 39

3.4 Variabel Penelitian ... 40

3.4.1 Variabel Independen ... 40

3.4.2 Variabel dependen ... 41

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.6 Instrumen Penelitian ... 42

3.7 Teknik Pengujian Instrumen ... 43

3.7.1 Uji Validitas ... 43

3.7.1.1 Validitas Isi ... 44

3.7.1.2 Validitas Muka ... 44

3.7.1.3 Validitas Konstruk ... 45

3.7.2 Uji Reliabilitas ... 46

3.8 Teknik Analisis Data ... 47

3.8.1 Uji Pengaruh Pelakuan ... 47

3.8.1.1 Uji Asumsi ... 47

3.8.1.2 Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 49

3.8.1.3 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 50

3.8.1.4 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 50

3.8.2 Analisis Lebih Lanjut ... 52

3.8.2.1 Uji Persentase Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I ... 52

3.8.2.2 Uji Besar Efek Peningkatan ... 53

3.8.2.3 Uji Korelasi Rerata Pretest dan Posttest I ... 55

3.8.2.4 Uji Retensi Pengaruh Perlakuan... 56

3.8.3 Ancaman Terhadap Validitas Internal Penelitian ... 57

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

4.1 Hasil Penelitian ... 63

4.1.1 Implementasi Penelitian ... 63

4.1.1.1 Deskripsi Sampel Penelitian ... 63

4.1.1.2 Deskripsi Implementasi Pembelajaran ... 64

4.1.2 Deskripsi Sebaran Data... 69

4.1.2.1 Kemampuan Mengeksplanasi ... 69

4.1.2.2 Kemampuan Meregulasi diri ... 71

4.1.3 Uji Hipotesis Penelitian I ... 72

4.1.3.1 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 73

4.1.3.2 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 79

4.3.1.3 Analisis Lebih Lanjut ... 80

4.1.4 Uji Hipotesis Penelitian II ... 88

4.1.4.1 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 89

4.1.4.2 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 94

4.1.4.3 Analisis Lebih Lanjut ... 95

4.2 Pembahasan ... 103

4.2.1 Analisis Terhadap Ancaman Validitas Internal Penelitian ... 104

(14)

xiv 4.2.2.1 Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games

Tournament Terhadap Kemampuan Mengeksplanasi ... 108

4.2.2.2 Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament Terhadap Kemampuan Meregulasi Diri ... 112

4.2.3 Analisis Hasil Penelitian Terhadap Teori ... 116

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN ... 120

5.1 Kesimpulan ... 120

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 121

5.3 Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122

LAMPIRAN ... 128

(15)

xv

DAFTARTABEL

Tabel 2. 1 Dimensi Kognitif dan Kecakapan berpikir Kritis ... 25

Tabel 3. 1 Waktu penelitian……….……….………...………..39

Tabel 3. 2 Matriks Pengembangan Instrumen... 43

Tabel 3. 3 Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Mengeskplanasi dan Meregulasi Diri ... 46

Tabel 3. 4 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 46

Tabel 3. 5Kriteria Besar Pengaruh ... 52

Tabel 4. 1 Sebaran Data Kemampuan Mengeksplanasi Kelompok Kontrol…….69

Tabel 4. 2 Sebaran Data Kemampuan Mengeksplanasi Kelompok Eksperimen .. 70

Tabel 4. 3 Sebaran Data Kemampuan Meregulasi diri Kelompok Kontrol ... 71

Tabel 4. 4 Sebaran Data Kemampuan Meregulasi Diri Kelompok Eksperimen .. 72

Tabel 4. 5 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest ... 74

Tabel 4. 6 Hasil Uji Homogenitas Varian Skor Rerata Pretest ... 74

Tabel 4. 7 Hasil Uji Perbedaan Rerata Pretest Kemampuan Eksplanasi ... 75

Tabel 4. 8 Uji Normalitas Distribusi Data Selisih Pretest-Posttest I ... 76

Tabel 4. 9 Hasil Uji Homogenitas Varians Rerata Pretest – Posttest I... 77

Tabel 4. 10 Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan Kemampuan Mengeksplanasi ... 77

Tabel 4. 11 Hasil Uji Besar Pengaruh Perlakuan Kemampuan mengeksplanasi .. 79

Tabel 4. 12 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest dan Posttest I ... 80

Tabel 4. 13 Peningkatan Rerata Pretest ke Postetest I Kemampuan Mengeksplanasi ... 80

Tabel 4. 14 Uji Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I... 83

Tabel 4. 15 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest dan Posttest I Kemampuan Mengeksplanasi ... 84

Tabel 4. 16 Hasil Uji Kolerasi antara Rerata Pretest dan Posttest I ... 84

Tabel 4. 17 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Posttest I dan Posttest II Kemampuan Mengeksplanasi ... 85

Tabel 4. 18 Hasil Uji Retensi Pengaruh Perlakuan ... 86

Tabel 4. 19 Hasil Analisis Perbedaan Skor Pretest dan Posttest II ... 87

Tabel 4. 20 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Pretest Kemampuan Meregulasi Diri ... 89

Tabel 4. 21 Hasil Uji Homogenitas Varian Rerata Pretest Kemampuan Meregulasi diri ... 90

Tabel 4. 22 Hasil Uji Perbedaan Rerata Pretest Kemampuan Meregulasi Diri .... 90

Tabel 4. 23 Uji Normalitas Distribusi Data Selisih Pretest-Posttest I ... 92

Tabel 4. 24 Hasil Uji Homogenitas Varians Rerata Selisih Pretest – Posttest I Kemampuan Meregulasi Diri ... 92

Tabel 4. 25 Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan Kemampuan Meregulasi diri ... 93

(16)

xvi Tabel 4. 27 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest dan Posttest

I ... 95

Tabel 4. 28Peningkatan Rerata Pretest ke Postetest I Kemampuan Meregulasi diri ... 96

Tabel 4. 29 Uji Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I... 98

Tabel 4. 30 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest dan Posttest I Kemampuan Meregulasi diri ... 99

Tabel 4. 31 Hasil Uji Kolerasi antara Rerata Pretest dan Posttest I ... 100

Tabel 4. 32 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Posttest I dan Posttest II Kemampuan Meregulasi Diri... 101

Tabel 4. 33 Hasil Uji Retensi Pengaruh Perlakuan ... 101

Tabel 4. 34 Hasil Analisis Perbedaan Skor Pretest dan Posttest II ... 103

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Bagan Tahapan Perkembangan Kognitif... 12

Gambar 2. 2 Zona Perkembangan Kognitif ... 16

Gambar 2. 3 Penempatan pada meja tounamen ... 23

Gambar 2. 11 Literature map ... 33

Gambar 3. 1 Rumus Pengaruh Perlakuan………...37

Gambar 3. 2 Desain Penelitian ... 37

Gambar 3. 3 PemetaanVariabel Penelitian... 41

Gambar 3. 4 Rumus Besar Efek untuk Data Normal ... 51

Gambar 3. 5 Rumus Besar Efek untuk Data Tidak Normal ... 51

Gambar 3. 6 Rumus persentase pengaruh perlakuan ... 52

Gambar 3. 7 Rumus Besar persentase uji peningkatan skor pretest-postet I ... 52

Gambar 3. 8 Rumus Gain Score ... 53

Gambar 3. 9 Rumus Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I untuk Data Normal ... 54

Gambar 3. 10 Rumus Efek peningkatan rerata pretest ke posttest I untuk data tidak normal ... 54

Gambar 3. 11 Rumus Persentase Besar Efek Peningkatan ... 55

Gambar 3. 12 Skema Ancaman Sejarah (History) ... 58

Gambar 4. 1 Rerata Skor Pretest-Postest I Kemampuan Mengeksplanasi...78

Gambar 4. 2 Diagram Perbandingan Selisih Skor Pretest-Posttest I ... 78

Gambar 4. 3 Perbandingan Peningkatan Rerata Skor Pretest ke Posttest I ... 81

Gambar 4. 4 Gain Score Kemampuan Mengeksplanasi ... 82

Gambar 4. 5 Perbandingan Skor Pretest, Posttest I, dan Posttest II ... 87

Gambar 4. 6 Perbandingan Selisih Skor Pretest-Posttest I Kemampuan Meregulasi diri ... 93

Gambar 4. 7 Diagram Perbandingan Selisih Skor Pretest-Posttest I Kemampuan Meregulasi diri ... 94

Gambar 4. 8 Perbandingan Peningkatan Rerata Skor Pretest ke Posttest I ... 96

Gambar 4. 9Gain Score Kemampuan Meregulasi diri ... 97

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. 1 Surat Izin Penelitian... 129

Lampiran 1. 2 Surat Izin Validasi Soal ... 130

Lampiran 2. 1 Silabus Kelompok Kontrol………...131

Lampiran 2. 2 Silabus Kelompok Eksperimen ... 134

Lampiran 2. 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Kontrol... 138

Lampiran 2. 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Eksperimen ... 143

Lampiran 3. 1 Soal Uraian………...153

Lampiran 3. 2 Kunci Jawaban ... 160

Lampiran 3. 3 Rubrik Penilaian ... 171

Lampiran 3. 4 Hasil Rekap Nilai Expert Judgment ... 177

Lampiran 3. 5 Hasil Uji Validasi oleh Expert Judgment ... 181

Lampiran 3. 6 Hasil Analisis SPSS Uji Validitas ... 190

Lampiran 3. 7 Hasil Analisis SPSS Uji Reliabilitas ... 192

Lampiran 3. 8 Data Uji Validitas Instrumen Variabel Mengeskplanasi Dan Meregulasi Diri ... 193

Lampiran 4. 1 Tabulasi Nilai Kemampuan Mengeksplanasi Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen………..194

Lampiran 4. 2 Tabulasi Nilai Kemampuan Meregulasi Diri Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 195

Lampiran 4. 3 Hasil SPSS Uji Normalitas Data ... 196

Lampiran 4. 4 Hasil SPSS Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 197

Lampiran 4. 5 Hasil SPSS Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 203

Lampiran 4. 6 Perhitungan Manual Besar Pengaruh Perlakuan ... 204

Lampiran 4. 7 Perhitungan Persentase Peningkatan Pretest Ke Posttest 1... 205

Lampiran 4. 8 Hasil SPSS Uji besar efek peningkatan rerata pretest ke posttest I ... 208

Lampiran 4. 9 Hasil SPSS Uji Korelasi Rerata Pretest dan Posttest I ... 211

Lampiran 4. 10 Hasil SPSS Uji Retensi Pengaruh Perlakuan ... 212

Lampiran 4. 11 Lembar Hasil Pretest dan Posttest Siswa ... 216

Lampiran 5. 1 Foto-foto kegiatan………...232

Lampiran 5. 2 Surat Keterangan Melaksanakan Validasi ... 233

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab I ini akan dibahas latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi oprasional.

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar oleh keluarga,

masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan pembelajaran, bimbingan, serta

latihan yang dilakukan sekolah maupun di luar sekolah untuk mempersiapkan

siswa dalam melakukan perannya di masa yang akan datang (Triwiyanto, 2014:

22). Pendidikan memiliki berbagai macam tujuan. Salah satu tujuan pendidikan

adalah membentuk siswa yang mampu memecahkan masalah dengan berpikir

kritis dan berpikir kreatif (Ahmadi, 2014: 44). Berpikir kritis termasuk ke dalam

berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk berpikir

secara logis, reflektif, dan produktif dalam menilai situasi untuk membuat

pertimbangan dan keputusan yang baik. Melalui berpikir kritis hendaknya anak

peka terhadap berbagai hal yang terjadi pada lingkungan, kemudian menganalisis,

dan memahami sehingga berpikir, berperasaan dan bertindak secara terkendali dan

teraktualisasikan dalam perilaku yang sehat, berkualitas, dan terjaga integritasnya

(Tawil & Liliasari, 2013: 2). Pandangan lain mengungkapkan berpikir kritis

adalah sebuah proses yang jelas dan terarah sebagai bentuk kegiatan mental

seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi, dan

melakukan penelitian (Johnson, 2008: 185). Dengan demikian, kemampuan

berpikir kritis penting dimilikioleh anak untuk berpikir secara logis, peka, dan

mampu menganalisis serta memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Facione (1990) membagi berpikir kritis dalam enam unsur kemampuan

yang terdiri dari kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi,

menarik kesimpulan, mengeksplanasi, dan meregulasi diri. Keenam kemampuan

tersebut saling berkaitan satu sama lain. Anak diharapkan memiliki kemampuan

untuk memberikan suatu alasan dari hasil pemikiran sendiri tentang suatu konsep

(20)

2 Kemampuan tersebut berkaitan dengan kemampuan mengeskplanasi dan

meregulasi diri. Kemampuan mengeksplanasi dan meregulasi diri merupakan

kemampuan kognitif yang paling kompleks. Kemampuan mengeksplanasi adalah

kemampuan seseorang untuk menyatakan masalah, menjelaskan, dan memberikan

suatu alasan dari hasil pemikiran sendiri maupun orang lain tentang suatu konsep,

metode, kriteria dan konteks yang digunakan dalam menarik kesimpulan.

Sedangkan, kemampuan meregulasi diri adalah kemampuan yang secara sadar

memonitor aktivitas kognitifnya sendiri, unsur-unsur yang digunakan dalam

aktivitas tersebut, dan hasil-hasilnya dengan menganalisis dan mengevaluasi

proses kognitif yang terjadi sehingga dapat mempertanyakan, menegaskan, atau

mengoreksi cara berpikirnya sendiri (Facione, 2015). Kemampuan

mengeksplanasi dan mergulasi diri penting dimiliki oleh anak untuk

menyelesaikan permasalahan pendidikan abad 21 ini.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

merumuskan bahwa paradigma pembelajaran abad 21 menekankan pada

kemampuan peserta didik dalam mencari tahu berbagai sumber, merumuskan

permasalahan, berpikir analitis dan kerja sama serta berkolaborasi dalam

menyelesaikan masalah (Litbang Kemdikbud, dalam Wijaya, Sudjimat & Nyoto,

2016: 266). Pembelajaran abad 21 ini tentunya perlu di terapkan sejak anak berada

pada usia SD. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) adalah jenjang pendidikan formal

yang menjadi dasar pendidikan selanjutnya. Pada umumnya, siswa SD berusia

7-12 tahun. Dimana sesuai dengan usianya, pembelajaran perlu diarahkan untuk

memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa yang pada gilirannya

kegiatan berpikir itu dapat membantu siswa memperoleh pengetahuan yang

mereka konstruksi sendiri (Wijaya, Sudjimat, & Nyoto, 2016: 270). Prinsip

tersebut sejalan dengan pandangan Jean Piaget yang menyatakan bahwa

anak-anak usia SD berada tahap kemampuan berpikir secara konkret. Pemahaman anak-anak

tentang aneka konsep akan dipermudah apabila berdasarkan pada pengalaman dan

melalui proses mengonstruksi yang dilakukan sendiri oleh anak bertolak dari

pengalaman nyata. Usia anak SD juga tidak lepas dari konteks sosial dalam

memerlukan bantuan dari pihak lain. Bantuan tersebut tentunya dapat berasal dari

(21)

3 Vygotsky yang menyatakan bahwa anak mengembangkan pengetahuan dengan

mengonstruksinya melalui interaksi lingkungan sosial (Supratiknya, 2006: 60).

Keyakinan Vygotskty mengenai pentingnya pengaruh sosial tercermin pada

konsep zona perkembangan proksimal atau Zone of Proximal Development

(ZDP). ZDP adalah istilah Vygotsky untuk kiasan tugas-tugas yang sulit saat sang

anak melakukannya sendiri, tetapi dapat dipelajari dengan bimbingan dan bantuan

dari orang dewasa (Santrock, 2009: 62). Pekembangan-perkembangan ini perlu

disesuaikan dengan pembelajaran yang diberikan pada anak terutama pada

pelajaran IPA yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia dan membutuhkan

kemampuan berpikir kritis.

IPA adalah pengetahuan yang rasional dan obyektif terhadap alam semesta

dengan segala isinya (Samatowa, 2011: 2). IPA tidak hanya kumpulan

pengetahuan tentang benda atau mahluk hidup tetapi memerlukan cara kerja, cara

berpikir, dan cara memecahkan masalah (Winaputra, dalam Samatowa, 2011: 3).

IPA perlu diajarkan di Sekolah Dasar dengan alasan: 1) IPA berfaedah bagi suatu

bangsa karena kesejahteraan materi suatu bangsa banyak sekali tergantung pada

kemampuan bangsa itu dalam bidang IPA, 2) IPA merupakan suatu mata

pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis, 3) IPA tidaklah

merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan, dan 4) mata pelajaran IPA 3

memiliki nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk

kepribadian anak secara utuh (Samatowa, 2011: 3). Alasan tersebut tentunya

mampu menjadikan pembelajaran IPA di SD dapat melatih kemapuan berpikir

kritis dengan cara kerja yang tepat, cara berpikir yang rasional dan obyektif serta

cara memecahkan persoalan yang bersifat ilmiah di lingkungannya.

Permasalahannya mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia masih

rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian salah satu organisasi yaitu

Program for International Student Assessment (PISA) di bawah naungan

Organization Economic Cooperation and Development (OECD) telah

mengadakan survei mengenai sistem pendidikan dan kemampuan siswa yang

diadakan setiap tiga tahun sekali. Studi ini digunakan untuk mengukur

kemampuan siswa dalam matematika, membaca, dan sains. Hasil PISA 2009

(22)

4 mata pelajaran IPA (OECD, 2009: 1). Hasil PISA pada tahun 2012 menunjukkan

bahwa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara di dunia dengan skor

382 untuk literasi sains (OECD, 2013: 5). Hasil PISA berikutnya pada tahun 2015

menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 61 dari 70 negara di dunia

dengan skor 403. Hasil penelitian PISA pada tahun 2015 menunjukkan bahwa

Indonesia mengalami peningkatan, namun masih berada pada peringkat 10 besar

terbawah dari 70 peserta negara PISA (OECD, 2016: 5). Hasil penelitian PISA

tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami permasalahan dalam bidang

sains.Fakta yang diungkapkan oleh PISA menunjukkan bahwa kemampuan siswa

pada mata pelajaran IPA masih rendah. Rendahnya kemampuan siswa tersebut

bisa dipengaruhi oleh proses belajar yang kurang sesuai untuk mengembangkan

kemampuan siswa. Proses belajar mengajar umumnya kurang mendorong pada

pencapaian kemampuan berpikir kritis. Ada faktor penyebab berpikir kritis tidak

berkembang selama pendidikan yaitu aktivitas pembelajaran di kelas yang selama

ini dilakukan oleh guru tidak lain merupakan penyampaian informasi dengan lebih

mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin

(Ahmatika, 2016 : 396).Untuk mengantisipasi masalah tersebut, perlu dicarikan

suatu alternatif model pembelajaran yang tepat sehingga dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kritis siswa. Para guru hendaknya terus berusaha menyusun

dan menerapkan berbagai cara yang variasi agar siswa tertarik dan bersemangat

dalam mengikuti pelajaran IPA, salah satunya dapat dilakukan melalui model

pembelajaran kooperatif (Ahmatika, 2016: 396). Model pembelajaran kooperatif

dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif, sebab peserta didik akan lebih

banyak belajar melalui proses pembentukan dan penciptaan, kerja dalam

kelompok dan berbagi pengetahuan serta tanggung jawab individu (Daryanto &

Rahardjo, 2012: 229). Ada berbagai tipe dalam pembelajaran kooperatif di

antaranya adalah Jigsaw, Student Team Achievement Division (STAD), Teams

Games Tournament (TGT), Think-Pair-Share (TPS), Numbered Head Together

(NHT) dan model-model lainnya (Trianto, 2007: 49). Peneliti memilih model

pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT) dalam penelitian ini.

Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe pembelajaran

(23)

5 beranggotakan 5-6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan

suku atau ras yang berbeda (Slavin, 2008: 166). Dalam pelaksanaannya

pembelajaran kooperatif tipe TGT menggunakan 5 langkah yaitu presentasi di

kelas yang dilakukan guru dengan memberikan materi, belajar bersama dalam tim

guna mempersiapkan anggota untuk mengikuti game akademik dan selanjutnya

guru memberikan soal pretest untuk menentukan kelompok homogen, games

dimana guru mempersiapkan pertanyaan yang anak pakai untuk tournament,

kemudian tournament yang dilakukan oleh kelompok homogen, selanjutnya

perhitungan skor dan pemberian reward kepada kelompok yang memperoleh skor

tertinggi. Melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGTdiharapkan siswa

memiliki pemahaman mendalam terhadap materi pembelajaran, memiliki

kebebasan untuk berinteraksi dalam kelompok, meningkatkan percaya diri,

memiliki motivasi belajar tinggi (Taniredja & Faridli, 2014: 72) dan

mengembangkan kemampuan berpikir kritis khususnya mengeksplanasi dan

meregulasi diri.

Penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pembelajaran

kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) memberikan pengaruh terhadap

hasil belajar IPA (Widayanti & Slameto, 2016). Pembelajaran kooperatif tipe

TGT juga berpengaruh terhadap penguasaan kompetensi pengetahuan IPS

(Novianti, I Ketut & Gede, 2017). Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games

Tournament (TGT) juga berpengaruh pada hasil belajar IPA siswa kelas VIII

ditinjau dari kerjasama siswa (Ismah & Ernawati, 2018).Berbagai jurnal juga

diterbitkan untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis. Fuad,

Zubaidah, Mahanal dan Suarsini (2016) meneliti tentang meningkatkan

kemampuan berpikir kritis siswa SMP berdasarkan ujian tiga model pembelajaran

yang berbeda. Hal serupa dilakukan oleh Retnosari, Susili dan Suwono (2016)

yang meneliti pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan

multimedia interaktif terhadap berpikir kritis siswa kelas IX SMA Negeri di

Bojonegoro. Kemudian, Jariyah (2017) meneliti efektivitas pembelajaran inkuiri

dipadu sains teknologi masyarakat (STM) untuk meningkatkan kemampuan

(24)

6 Berdasarkan hasil beberapa penelitian tersebut, model pembelajaran

kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) berpengaruh dan meningkatkan

kemampuan dan hasil belajar siswa. Peneliti belum menemukan penelitian yang

membahas penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games

Tournament (TGT) terhadap kemampuan mengeksplanasi dan meregulasi diri.

Peneliti juga belum menemukan penelitian untuk mengembangkan kemampuan

mengeksplanasi dan meregulasi diri. Sehingga, peneliti akan meneliti pengaruh

model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap

kemampuan mengeksplanasi dan meregulasi diri siswa kelas V SD.

Penelitian ini dibatasi hanya pada pengaruh penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap

kemampuan mengeksplanasi dan meregulasi diri siswa kelas V SD pada mata

pelajaran IPA materi sistem pernapasan hewan. Peneliti memilih salah satu SD

swasta di Yogyakarta sebagai tempat penelitian karena, SD tersebut memiliki

kelas paralel yang tepat digunakan untuk penelitian eksperimental. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V. Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini menggunakan tes. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah penelitian quasi experimentaldesign dengan tipe pretest posttest

non-equivalent group design.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games

Tournament (TGT) berpengaruh terhadap kemampuan mengeksplanasi

siswa kelas V SD?

1.2.2 Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games

Tournament (TGT) berpengaruh terhadap kemampuan meregulasi diri

siswa kelas V SD?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Teams Games Tournament (TGT) terhadap kemampuan mengeksplanasi

(25)

7 1.3.2 Mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Teams Games Tournament (TGT) terhadap kemampuan meregulasi diri

siswa kelas V SD.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Siswa

Siswa memperoleh pengalaman belajar yang baru dengan menggunakan

model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT)

sehingga dapat mengetahui pengaruhnya terhadap kemampuan

mengeksplanasi dan meregulasi diri.

1.4.2 Bagi Peneliti

Peneliti memperoleh pengalaman baru tentang penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT), sehingga

dengan pengalaman tersebut peneliti dapat menguasai model pembelajaran

kooperatif tipe Teams Games Tournament dan dapat menerapkannya

ketika mengajar di kelas.

1.4.3 Bagi Guru

Guru memahami model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games

Tournament (TGT) dan dapat menerapkannya pada pembelajaran lain,

sehingga guru lebih termotivasi untuk menerapkan pembelajaran yang

lebih bervariasi, sehingga penyampaian materi pelajaran menjadi lebih

menarik.

1.4.4 Bagi Sekolah

Sekolah dapat mengembangkan wawasan tentang pembelajaran dengan

model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT).

1.5 Definisi Operasional

1.5.1 Model pembelajaran kooperatif adalah pengajaran kepada siswa di mana

guru menetapkan tugas dan pertanyaan serta bahan informasi yang

direncanakan oleh siswa yang bekerja dalam kelompok-kelompok kecil

untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi

(26)

8 1.5.2 Model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT)

adalah model pembelajaran yang menempatkan siswa dalam

kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan lima sampai enam orang siswa yang

memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda

dengan 5 langkah yaitu presentasi kelas, tim, game, turnamen, dan

rekognisi tim.

1.5.3 Kemampuan berpikir kritis adalah kegiatan yang menganalisis informasi

dan ide secara hati-hati dan logis yang digunakan sebagai penilaian untuk

tujuan tertentu untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan dari

bukti tertentu.

1.5.4 Kemampuan mengeksplanasi adalah kemampuan seseorang untuk

menyatakan masalah, menjelaskan dan memberikan suatu alasan dari hasil

pemikiran sendiri maupun orang lain tentang suatu konsep, metode,

kriteria dan konteks yang digunakan dalam menarik kesimpulan

1.5.5 Kemampuan meregulasi diri adalah kemampuan yang secara sadar

memonitor aktivitas kognitifnya sendiri, unsur-unsur yang digunakan

dalam aktivitas tersebut, dan hasil-hasilnya dengan menganalisis dan

mengevaluasi proses kognitif yang terjadi sehingga dapat

mempertanyakan, menegaskan, atau mengoreksi cara berpikirnya sendiri

1.5.6 Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah mata pelajaran yang digunakan

(27)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II berisi kajian pustaka, hasil penelitian yang relevan, kerangka

berpikir, dan hipotesis penelitian. Kajian pustaka membahas teori-teori yang

mendukung dalam pelaksanaan penelitian dan hasil penelitian sebelumnya yang

berisi pengalaman penelitian yang pernah ada. Selanjutnya dirumuskan kerangka

berpikir dan hipotesis penelitian yang berisi dugaan sementara atau jawaban

sementara dari rumusan masalah penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori yang Mendukung

Teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah teori

perkembangan anak dari Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini merupakan tokoh

konstruktivisme. Teori konstruktivisme menjelaskan bahwa pengetahuan

seseorang adalah bentukan (konstruksi) orang itu sendiri (Suparno, 2001: 122)

Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan

informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain. Teori Piaget ini diambil karena

mengingat perkembangan kognitif anak SD yang berada tahap operasional

konkret. Sementara teori Vygotsky diambil karena pada tahap perkembangan anak

tentunya memiliki pengaruh sosial khusunya pengajaran pada perkembangan

kognitif anak tercermin pada konsep zona perkembangan proksimal.

2.1.1.1 Perkembangan Anak

Manusia pada umumnya mengalami perkembangan. Perkembangan adalah

pola pergerakan atau perubahan yang dimulai sejak masa pembuahan dan terus

berlangsung selama masa hidup manusia. Pola tersebut bersifat kompleks karena

merupakan hasil dari proses biologis, kognitif dan sosioemosi. Proses biologis

menghasilkan perubahan yang berkaitan dengan sifat dasar fisik individu.

Gen-gen yang diwariskan orang tua, perkembangan otak, tinggi dan berat badan

mencerminkan pengaruh dari proses biologis terhadap perkembangan. Proses

kognitif merujuk pada perubahan pemikiran, inteligensi dan bahasa dari individu.

(28)

10 orang lain, perubahan emosi, dan perubahan kepribadian. Proses biologis, kognitif

dan sosioemosi saling terkait dan membentuk suatu jalinan (Santrock, 2012: 16).

Setiap anak mengalami perkembangan. Dalam hidupnya anak akan mengalami

perkembangan yang dialami setiap anak secara berbeda-beda. Salah satu teori

yang membahas mengenai perkembangan khusunya perkembangan kognitif anak

adalah Piaget. Tokoh lain yang membahas perkembangan anak berdasarkan

sosiohistorisnya adalah Vygotsky.

1. Teori perkembangan kognitif

Jean Piaget (1896-1980) lahir di Neuchatel, Swiss. Ayahnya seorang

sejarawan spesialisai sejarah abad pertengahan (Crain, 2007: 167). Sejak kecil

Piaget sangat tertarik pada alam. Ia gemar mengamati burung-burung, ikan-ikan,

dan hewan lainnya. Itu sebabnya, ia sangat tertarik pada pelajaran biologi. Pada

usia 10 tahun, ia sudah menerbitkan artikel tentang burung albino dalam majalah

Ilmu Pengetahuan Alam. Pada 1916, Piaget menyelesaikan pendidikan sarjana

bidang biologi di Universitas Neuchatel. Selang dua tahun, ia menyelesaikan

pendidikan dan memperoleh gelar doktor filsafat. Usai menempuh pendidikan, ia

memutuskan untuk mendalami psikologi.

Pada 1920 Piaget bekerja bersama Dr. Theophile Simon di Laboratorium

Binet, Paris dengan tugas mengembangkan tes penalaran. Dari pengalamannya

itu, Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak yang lebih dewasa berbeda

dengan anak yang lebih muda. Dengan kata lain cara berpikir anak berbeda

dengan orang dewasa. Hal tersebut memacu Piaget untuk meneliti kedua anaknya.

Hasilnya, Piaget mengelompokkan perkembangan kognitif menjadi empat tahap

yaitu, tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkret, dan

tahap operasional formal (Suparno, 2001: 11). Selain mengelompokkan

perkembangan kognitif menjadi empat tahap, Piaget juga menekankan bahwa

perkembangan kognitif anak mengalami skema, asimilasi, akomodasi,

ekuilibrium, dan disekuilibrium.

Skema adalah pola hubungan tindakan dan perilaku yang dapat

digeneralisasikan dan digunakan oleh anak dalam situasi yang berbeda-beda

(Meggit, 2013: 223). Setelah itu, asimilasi ialah penyatuan (pengintegrasian)

(29)

11 benak seseorang (Sanjaya, 2010: 132). Dalam proses asimilasi anak

menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menghadapi

masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya (Wilis, 2011: 135).Setelah

mengalami proses asimilasi, anak mengalami proses akomodasi. Akomodasi ialah

individu mengubah dirinya agar bersesuaian dengan apa yang diterima dari

lingkungannya (Surya, 2003: 56). Sebagai proses penyesuaian atau penyusunan

kembali skema ke dalam situasi yang baru (Yatim, 2009: 123).

Proses penyerapan ini saling berkaitan. Sebagai contoh ketika seorang anak

belum mengetahui atau mengenal api, suatu hari anak merasa sakit karena terkena

percikan api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk struktur penyesuaian

skema pada struktur kognitif anak tentang “api” bahwa api adalah sesuatu yang

membahayakan oleh karena itu harus dihindari, ini dinamakan adaptasi. Dengan

demikian, ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin anak

dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya

memasak memakai api, ketika anak melihat bapaknya merokok menggunakan api,

maka skema yang telah terbentuk semakin sempurna, bahwa api bukan harus

dihindari tetapi dapat dimanfaatkan. Proses penyesuaian skema tentang api yang

dilakukan oleh anak itu dinamakan asimilasi. Semakin anak dewasa, pengalaman

itu semakin bertambah pula. Ketika anak melihat bahwa pabrik-pabrik

memerlukan api, setiap kendaraan memerlukan api, dan lain sebagainya, maka

terbentuklah skema baru tentang api. Bahwa api bukan harus dihindari dan juga

bukan hanya sekedar dapat dimanfaatkan, akan tetapi api sangat dibutuhkan untuk

kehidupan manusia. Proses penyempurnaan skema itu dinamakan proses

akomodasi (Sanjaya, 2010: 132).

Setelah penyempurnaan skema tersebut anak mengalami yang dinamakan

ekuilibrasi. Pengaturan sendiri atau ekuilibrasi adalah kemampuan untuk

mencapai kembali keseimbangan (equilibrium) selama periode

ketidakseimbangan (disequlibrium). Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk

mencapai tingkat-tingkat berfungsi kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi

dan akomodasi tingkat demi tingkat (Jarvis, 2011: 143). Jika pengaturan sendiri

sudah dimiliki anak, ia mampu menjelaskan hal-hal yang dirasakan anak dari

(30)

12 situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pengaturan diri yang sudah ada,

anak mengalami sensasi disequlibrium yang tidak menyenangkan. Secara

naluriah, kita disarankan untuk memperoleh pemahaman tentang dunia dan

menghindari disequlibrium (Jarvis, 2011: 142). Berikut merupakan bagan tahapan

perkembangan kognitif menurut Piaget :

(Sumber : https://www.slideshare.net/satyayoga96/belajar-dan-pembelajaran-kognitif-dan-konstruktivisme-59658784)

Gambar 2. 1Bagan Tahapan Perkembangan Kognitif

Piaget menemukan bahwa anak-anak melewati tahapan-tahapan dengan

kecepatan yang berbeda-beda. Piaget membedakan perkembangan kognitif

menjadi empat tahap yaitu, tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap

operasional konkret, dan tahap operasional formal. Anak-anak selalu melewati

tahapan-tahapan tersebut dengan urutan yang tidak pernah berubah atau dengan

keteraturan yang sama. Piaget meyakini tahapan urutan perkembangan sudah

diatur oleh gen-gen dan bahwa pentahapan itu berjalan menurut rancangan waktu

batiniah anak-anak (Crain, 2007: 171).

a. Tahap sensorimotor (0-2 tahun)

Tahap sensorimotor berlangsung mulai dari lahir hingga usia sekitar 2

tahun adalah tahap pertama menurut Piaget. Pada tahap ini bayi

membangun pemahaman mengenai dunianya dengan mengoordinasikan

pengalaman-pengalaman secara sensori (Santrock, 2012: 28). Masa ini

adalah ketika di mana bayi mulai mempergunakan sistem pengindraan dan

aktivitas-aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya mengenal

(31)

13 dan tidak berdaya, tetapi sebagian alat-alat inderanya sudah langsung bisa

berfungsi (Suparno, 2001: 26).

Pada tahap sensorimotor dibagi menjadi beberapa sub-tahap. Sub

tahap pertama (lahir-1 bulan) anak memang belum mengetahui apa yang

dilakukan dan apa yang di sekelilingnya tetapi anak melakukan sesuatu hal

yang biasanya disebabkan oleh refleks-refleks bawaan. Refleks yang

paling jelas anak bisa otomatis menghisap kapanpun bibir mereka di

sentuh. Kemudian di sub tahap kedua (1-4 bulan), di mana pada sub tahap

ini rekasi terjadi ketika anak menghadapi sebuah pengalaman baru dan

berusaha mengulanginya. Sub tahap ketiga (4-10 bulan) dan keempat

(10-12 bulan) merupakan sub tahap dimana anak mulai mengetahui dan

mencari apa yang ingin di cari, anak sudah mampu menemukan barang

yang sengaja mereka sembunyikan. Sementara, pada sub tahap kelima

(12-18 bulan) anak mulai dapat berekperimen dengan tindakan-tindakan yang

berbeda untuk mengamati hasil yang berbeda-beda. Di tahap keenam (18

bulan-2 tahun) anak anak yang sudah mulai bereksperimen dengan

tindakannya, anak kelihatannya mulai bervariasi dari tindakannya (Crain,

2007: 173).

b. Tahap pra-operasional (2-7 tahun)

Tahap praoperasional berlangsung kurang lebih usia 2 hingga 7 tahun.

Dalam tahap ini anak mulai merepresentasikan dunia dengan

menggunakan kata-kata, bayangan, dan gambar. Anak-anak membentuk

konsep yang stabil dan mudah bernalar. Pada saat egosentrisme dan

keyakinan magis mendominasi dunia anak. Tahap ini diapat dibagi ke

dalam dua subtahapan yaitu sub tahapan fungsi simbolik dan subtahapan

pemikiran intuitif.

Pada sub tahapan fungsi simbolik merupakan subtahapan pertama

yang terjadi pada usia 2-4 tahun. Pada sub tahap ini anak memperoleh

kemampuan untuk membayangkan penampilan objek yang tidak hadir

secara fisik. Meskipun dalam sub tahap ini anak sudah memiliki kemajuan

yang berarti tetapi pemikiran mereka masih terbatas, dua

(32)

14 adalah ketidakmampuan membedakan antara perspektifnya sendiri dan

perspektif oranglain. Sedangkan animisme adalah keyakinan bahwa

benda-benda mati memiliki kualitas seolah-olah hidup. Pada subtahapan

kedua adalah berpikir intuitif yang terjadi sekitar usia 4 sampai 7 tahun.

Pada tahap ini anak mulai menggunakan penalaran primitive dan ingin

mengetahui jawaban terhadap segala jenis pertanyaan (Santrock, 2012:

248).

c. Tahap operasional konkret (7-11 tahun)

Pada tahap ini, anak sudah dapat memandang dunia secara objektif,

mulai berpikir secara operasional, mempergunakan cara berpikir

operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, membentuk dan

mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana,

serta mempergunakan hubungan sebab akibat dapat memahami suatu

konsep (Suparno, 2001: 69). Oprasional konkret adalah tindakan mental

anak yang bisa bolak balik dan berkaitan dengan objek yang nyata dan

konkret. Operasional konkret memungkinkan anak untuk mengkoordinasi

beberapa karakteristik daripada berfokus pada suatu sifat benda (Santrock,

2009: 55).

d. Tahap oprasional formal (11-dewasa)

Tahap oprasional formal terjadi pada usia anak 11 tahun sampai

dewasa. Pada tahap ini, pemikiran oprasional formal lebih bersifat abstrak

dibandingkan pemikiran oprasional konkret. Pemahaman remaja tidak lagi

terbatas pada pengalaman yang konkret. Mereka mampu merekayasa

menjadi seakan-akan benar-benar terjadi terhadap berbagai situasi atau

peristiwa. Selain berpikir abstrak dan idealistik, anak cenderung

memecahkan masalah melalui trial and error, anak juga mulai berpikir

sebagaimana ilmuan berpikir, membuat rencana untuk memecahkan

masalah (Santrock, 2012: 423).

Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget, siswa kelas V

SD berada di tahap ke 3 yaitu pada tahap operasional konkret yang terletak pada

(33)

15 mengembangkan sistem pemikiran logis yang dapat diterapkan dalam

memecahkan persoalan-persoalan konkret (Suparno, 2001: 69).

2. Teori pembelajaran sosiohistoris Vygotsky

Perkembangan anak bukan hanya melalui aspek kognitif saja melainkan juga

melalui aspek sosial. Lev Semyonovich Vygotsky (1896-1934) merupakan

pemikir Rusia. Vygotsky tumbuh besar di Gomel, Rusia. Ayahnya adalah seorang

eksklusif bank dan ibunya adalah seorang guru. Vygotsky sejak kecil sudah suka

membaca mengenai sejarah, karya sastra dan puisi. Semakin dewasa pada tahun

1924 Vygotsky melakukan perjalan ke Leningrad untuk memberikan kuliah

terbuka tentang psikologi. Vygotsky memahami manusia dalam konteks

lingkungan sosial histori di mana Vygotsky memadukan dua garis utama

perkembangan yaitu garis alamiah yang muncul dari dalam diri manusia dan garis

sosial historis yang mempengaruhi manusia sejak kecil tanpa bisa dihindari

(Crain, 2007: 224).

Vygotsky menyatakan bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep

yang lebih sistematis, logis, rasional yang merupakan hasil dari dialog bersama

orang lain. Vygotsky menyatakan orang lain dan bahasa memainkan peran kunci

dalam perkembangan kognitif seorang anak. Keyakinan Vygotskty mengenai

pentingnya pengaruh sosial khususnya pengajaran pada perkembangan kognitif

anak tercermin pada konsep zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan

proksimal adalah istilah Vygotsky untuk kiasan tugas-tugas yang sulit saat sang

anak melakukannya sendiri, tetapi dapat dipelajari dengan bimbingan dan bantuan

dari orang dewasa. Selain itu, Vygotsky berpendapat bahwa individu memiliki

dua tingkat perkembangan yang berbeda yaitu tingkat perkembangan aktual (batas

bawah) dan tingkat perkembangan potensial (batas atas). Batas bawah adalah

tingkat keterampilan yang dapat diraih oleh anak yang dilakukan secara mandiri.

Sementara, batas atas adalah tanggung jawab tambahan yang dapat diterima anak

dengan bantuan pengajar yang kompeten (Santrock, 2009: 62)

Zona yang terletak di antara kedua tingkat tersebut dinamakan dengan zona

perkembangan proksimal (Zone of Proximal Development). Dalam zona ini anak

berada dalam proses perkembangan dalam proses perkembangan mereka perlu

(34)

16 tersebut (Santrock, 2014: 57). Dalam zona ini, pembelajaran terjadi dengan

optimal jika didukung dengan suatu perancah (scaffolding). Perancah (scaffolding)

sendiri ialah teknik yang digunakan oleh pendidik untuk membangun sebuah

jembatan bantuan sementara yang diberikan kepada anak antara hal yang sudah

diketahui anak dengan apa yang seharusnya anak ketahui. Scaffolding dapat

dilakukan dengan melibatkan aktivitas sosial atau kelompok sehingga mampu

memberikan rangsangan sosial bagi anak yang dapat memungkinkan terjadinya

perkembangan (Salkind, 2009: 381). Berikut ini adalah gambar zona

perkembangan menurut Vygotsky adalah sebagai berikut.

(Sumber : http://zakysa.blogspot.com/2013/03/bingung-sedihdan-hilang-semangat.html) Gambar 2. 2Zona Perkembangan Kognitif

2.1.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang

mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang

mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademik (Davidson &

Warsham, dalam Isjoni, 2013: 28). Pembelajaran kooperatif adalah model

pembelajaran kelompok yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar di mana

siswa sentris, humanistik, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan

siswa dan lingkungan belajarnya (Djahri, dalam Wahyuni, 2016:38). Berdasarkan

pendapat para ahli tersebut, dapat ditegaskan bahwa model pembelajaran

kooperatif merupakan pengajaran kepada siswa di mana guru menetapkan tugas

dan pertanyaan serta bahan informasi yang direncanakan oleh siswa yang bekerja

dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya

(35)

17 Model pembelajaran kooperatif memiliki banyak tipe diantaranya Jigsaw,

Student Teams Achievement Division (STAD), Group Investigation (GI), Teams

Games Tournamnet (TGT), Numbered Head Together (NHT), Think Pair Share

(TPS), dan sebagainya (Trianto, 2007: 49).

1. Perspektif teoretis model pembelajaran kooperatif

Model pembelajaran kooperatif memiliki perspektif teoretis yang mendasari

model pembelajaran kooperatif ini. Perspektif teoretis tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Perspektif motivasional (motivational perspective)

Perspektif motivasional berasumsi bahwa usaha-usaha kooperatif

harus berdasarkan pada penghargaan kelompok (group reward) dan

struktur tujuan (goal structure). Menurut perspektif motivasional, aktivitas

model pembelajaran kooperatif dapat menciptakan kondisi di setiap

anggota kelompok yang berkeyakinan bahwa semua anggota kelompok

tersebut bisa sukses mencapai tujuan kelompoknya hanya jika

teman-teman yang lain juga sukses mencapai tujuan tersebut. Asumsi semacam

ini tentu akan memotivasi anggota kelompok lain demi mencapai tujuan

mereka bersama-sama. Bahkan mereka dapat mendorong temannya untuk

memberikan usaha maksimal untuk mencapai tujuan tersebut (Huda, 2012:

34).

b. Perspektif kohesi sosial (social cohesion perspective)

Perspektif lain yang berhubungan dengan perspektif motivasional

adalah perspektif kohesi sosial. Perspektif ini menegaskan bahwa model

pembelajaran kooperatif hanya akan berpengaruh terhadap prestasi belajar

siswa jika dalam kelompok kooperatif terjalin suatu kohevisitas antar

anggota di dalamnya. Kohevisitas ini dapat dimaknai sebagai suatu kondisi

di mana setiap anggota kelompok saling membantu satu sama lain karena

mereka merasa peduli pada yang lain dan ingin sama-sama sukses.

Perspektif ini mirip dengan perspektif motivasional. Akan tetapi dalam

perspektif motivasional siswa tidak sepenuhnya membantu pembelajaran

teman-teman satu kelompoknya karena mereka menyadari bahwa diri

(36)

18 Sebaliknya dalam perspektif sosial siswa sepenuhnya membantu

pembelajaran tema-temannya karena mereka merasa peduli pada

kesuksesan kelompoknya (Huda, 2012: 37).

c. Perspektif kognitif (Cognitive perspective)

Perspektif kognitif berpandangan bahwa interaksi antar siswa akan

meningkatkan prestasi belajar mereka selama mereka mampu memproses

informasi secara pikiran daripada secara motivasional.

2. Unsur pembelajaran model kooperatif

Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok

bisa dianggap pembelajaran model kooperatif. Terdapat lima unsur dalam model

pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan. Lima unsur tersebut yaitu 1)

positive interdependence atau saling ketergantungan positif yang menunjukkan

bahwa dalam model pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban

kelompok. Pertama mempelajari bahan yang ditugaskan dan kedua menjamin

semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan. 2)

personal responsibility atau tanggung jawab perseorangan yang berarti kunci

untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. 3)

face to face promotion atau berarti interaksi promotif. Hal ini berarti salah satu

unsur penting karena menghasilkan saling ketergantungan positif yang memiliki

ciri saling membantu secara efektif dan efisien 4) keterampilan sosial digunakan

untuk mengoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan, 5)

pemrosesan kelompok merupakan tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan

anggota kelompok yang mana siapa diantara anggota kelompok yang sangat

membantu dan siapa yang tidak membantu (Suprijono, 2009: 58).

Adapun unsur-unsur dasar model pembelajaran kooperatif yang lain yaitu 1)

siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup

sepenanggungan bersama, 2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di

dalam kelompoknya, 3) siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam

kelompoknya memiliki tujuan yang sama, 4) siswa haruslah membagi tugas dan

tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompok, 5) siswa akan dikenakan

evaluasi atau diberikan penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua

(37)

19 keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, dan 7) siswa

diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam

kelompok kooperatif (Rusman, 2017: 300).

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka unsur dalam model

pembelajaran kooperatif yaitu siswa memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri

sendiri dan juga orang lain, siswa memiliki tujuan yang sama dalam anggota

kelompoknya, siswa diberikan evaluasi atau penghargaan yang juga diberikan

untuk semua anggota, siswa memiliki keterampilan sosial untuk belajar bersama

mencapai tujuannya.

3. Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif

Ciri-ciri model model pembelajaran kooperatif adalah 1) pembelajaran secara

tim, 2) manajemen kooperatif, 3) kemauan untuk bekerja sama, 4) keterampilan

bekerja sama (Rusman, 2017: 207). Sedangkan Taniredja, dkk (2014: 59),

mengatakan ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah 1) belajar bersama

teman, 2) selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, 3) saling

mendengarkan pendapat diantara anggota kelompok, 4) belajar dari teman sendiri

dalam kelompok, 5) belajar dalam kelompok kecil, 6) produktif berbicara atau

saling mengemukakan pendapat, 7) keputusan tergantung pada siswa sendiri, dan

8) siswa menjadi aktif.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dilihat bahwa ciri-ciri model

model pembelajaran kooperatif adalah 1) pembelajaran di lakukan dalam

kelompok, 2) kelompok dibentuk dari peserta didik yang memiliki kemampuan

tinggi, sedang, dan rendah, 3) apabila memungkinkan, kelompok berasal dari ras,

budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda.

4. Manfaat model pembelajaran kooperatif

Model pembelajaran kooperatif memiliki berbagai manfaat, yaitu

meningkatkan keterampilan kognitif dan afektif siswa. Selain itu mereka juga

menjabarkan manfaat model pembelajaran kooperatif sebagai berikut. 1) siswa

akan memperoleh hasil yang maksimal, 2) siswa akan memiliki sikap harga diri

yang lebih tinggi dan memiliki motivasi yang lebih besar untuk belajar, 3) siswa

menjadi lebih peduli kepada teman-temannya, dan akan terbangun sikap

(38)

20 siswa yang memiliki latar belakang, ras, dan etnis yang berbeda (Sadker

bersaudara, dalam Huda, 2012: 66).

Manfaat model pembelajaran kooperatif diantaranya adalah 1) meningkatkan

kepekaan dan kesetiakawanan sosial, 2) memungkinkan para siswa saling belajar

mengenai sikap, keterampilan, informasi, perilaku sosial, dan

pandangan-pandangan, 3) memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial, 4)

memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen, 5)

menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri, 6) membangun persahabatan

yang dapat berlanjut hingga masa dewasa, 7) mengajarkan berbagai keterampilan

sosial untuk memelihara hubungan saling membutuhkan, 8) meningkatkan rasa

saling percaya kepada sesama, 9) meningkatkan kemampuan memandang masalah

dan situasi dari berbagai perspektif, 10) meningkatkan kesediaan menggunakan

ide orang lain yang dirasakan lebih baik, dan 11) meningkatkan kegemaran

berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, etnis, kelas

sosial, agama, dan orientasi tugas (Sugiyanto, 2009: 43). Selain itu, menurut

Daryanto & Muljo (2012: 242) mengatakan bahwa manfaat model pembelajaran

kooperatif adalah 1) meningkatkan hasil belajar siswa, 2) dapat menerima

berbagai macam keberagaman dari teman-temannya, serta 3) pengembangan

keterampilan.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat ditegaskan bahwa model

pembelajaran kooperatif memberikan berbagai manfaat yaitu 1) meningkatkan

kemampuan kognitif siswa, 2) meningkatkan rasa persaudaraan diantara siswa dan

teman-temannya, dan 3) mengembangkan keterampilan dalam diri siswa.

2.1.1.3 Tipe Teams Games Tournament (TGT)

Teams Games Tournament (TGT) memiliki banyak kesamaan dinamika

dengan STAD tetapi menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari

penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam

mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan

menjelaskan masalah satu sama lain, tetapi waktu siswa sedang bermain dalam

game temannya tidak boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggungjawab

(39)

21 dalam TGT. Sebagian guru lebih memilih TGT karena faktor menyenangkan dan

kegiatannya, sementara yang lain memilih yang murni bersifat kooperatif saja

yaitu STAD, dan banyak juga yang mengkombinasi keduanya (Slavin, 2008 : 14).

1. Pengertian teams games tournament(TGT)

Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe model pembelajaran

kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang

beranggotakan lima sampai enam orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis

kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda (Rusman, 2017: 224).

2. Langkah-langkah tahapan model pembelajaran kooperatif tipe teams games

tournament

Dua bentuk model pembelajaran kooperatif yang paling tua dan paling

banyak diteliti adalah STAD dan TGT. STAD dan TGT memang memiliki

kemiripan, satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah STAD mengunakan

kuis-kuis individual pada akhir pelajaran sementara TGT menggunakan

game-game akademik (Slavin, 2008: 143). Berikut ini merupakan langkah-langkah

dalam teams games tournament adalah sebagai berikut :

a. Presentasi di kelas (Class presentation)

Materi diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan

pelajaran langsung atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi

bisa juga memasukkan presentasi audiovisual (Slavin, 2008: 143).

Presentasi di kelas merupakan pembelajaran langsung yang dipimpin oleh

guru. Presentasi ini dilakukan untuk menerangkan materi pelajaran yang

akan diajarkan kepada siswa oleh guru.

b. Tim (Teams)

Tim terdiri atas empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari

kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Setelah

guru selesai menyampaikan materi, tim berkumpul untuk mempelajari

lembar kegiatan atau materi lainnya. Tim ini berfungsi untuk memastikan

semua anggota tim benar-benar belajar, khususnya untuk mempersiapkan

Gambar

Tabel 4. 32 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Posttest I dan
Gambar 2. 1Bagan Tahapan Perkembangan Kognitif
Gambar 2. 3Penempatan pada meja tounamen
Tabel 2. 1Dimensi Kognitif dan Kecakapan berpikir Kritis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, penyusunan tugas akhir yang berjudul “ HEART ELECTRICAL SIGNAL PATTERN ANALYSIS IN

Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa perilaku informasi yang dikemukakan oleh Niedzwiedzka (2003) adalah seluruh perilaku manusia yang berkaitan dengan sumber

Terdapat perbedaan tingkat produksi padi dari yang diharapkan dibandingkan dengan kondisi dilapangan, menjadi sebuah tanda Tanya sehingga ditarik satu variable

The development of resistance to anti-malarial drugs are due to spontaneous changes in certain genes such as of P.falciparum multi drug resistance1 (Pfmdr1), P.falciparum

though the crime occurred when they were in a dreamlike state... • Once the initial shock of the crime has worn off, victims may experience other emotions such as anger,

[r]

yang disampaikan secara online melalui Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) untuk paket kegiatan: Pada hari ini Senin Tanggal Dua Bulan Juli Tahun Dua Ribu Dua Belas, kami

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan Laporan Akhir Praktikum Statistika Industri ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, dan kerjasama