PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT)
TERHADAP KEMAMPUAN MENGEKSPLANASI DAN
MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh:
Yohana Fransiska Lintang Natalia
NIM : 151134259
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini peneliti persembahkan kepada:
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria sebagai sumber kekuatanku.
2. Kedua orangtuaku, Yohanes Hari Pracoyo dan Maria Yosefina Sareng
yang selalu mendukung dan selalu memberikan yang terbaik.
3. Kakakku Angela Ryzki Litania Kartika Sari yang selalu memberikan
semangat dan dukungan.
4. Adikku Yubilium Agung Traiger Hari Mardono yang selalu memberikan
semangat dan dukungan ketika lelah.
5. Sahabat-sahabatku yang bersama berjuang menyelesaikan sarjana Agnes
Putri Wiraswasti dan Cordula Anggraeni Oktadayani.
v
MOTTO
“When you want something, all universe conspires in helping you to achieve it”.
(Paulo Coelho)
“Dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat” (Efesus 5:16)
“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,21 Desember 2019
Peneliti
vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Yohana Fransiska Lintang Natalia
Nomor Mahasiswa : 151134259
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TERHADAP KEMAMPUAN
MENGEKSPLANASI DAN MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD”
Dengan demikian saya memberikan kepada Pepustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta ijin dari saya mapupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada Tanggal : 21 Desember 2018
Yang menyatakan
viii
ABSTRAK
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TERHADAP KEMAMPUAN
MENGEKSPLANASI DAN MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD
Yohana Fransiska Lintang Natalia Universitas Sanata Dharma
2019
Latar belakang penelitian ini adalah keprihatinan rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dalam mata pelajaran IPA. Masalah ini terlihat berdasarkan studi yang dilakukan PISA tahun 2012 dan 2015 yang menyatakan bahwa peringkat literasi IPA siswa di Indonesia masih berada pada peringkat 10 terbawah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap kemampuan mengekplanasi dan meregulasi diri siswa kelas V SD.
Penelitian ini merupakanpenelitian quasi experimental tipe pretest-posttest non-equivalent group design. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD sebanyak 42 siswa. Sampel penelitian terdiri dari dua kelompok yaitu kelas V.2 sebagai kelompok kontrol sebanyak 21 siswa dan kelas V.1 sebagai kelompok eksperimen sebanyak 21 siswa. Treatment yang diterapkan di kelompok eksperimen adalah model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki lima langkah yaitu penyajian materi (presentation class), kelompok (teams), permainan (games), kompetisi (tournament) dan pengakuan kelompok (team regocnition).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berpengaruh terhadap kemampuan mengeksplanasi. Rerata selisih skor yang dicapai pada kelompok eksperimen (M = 1,12, SE = 0,12) lebih tinggi daripada rerata selisih skor yang dicapai kelompok kontrol (M= 0,55, SE = 0,14). Perbedaan skor tersebut signifikan dengan t(40) = -3,01 dan p = 0,004 (p < 0,05); dengan r = 0,430 atau 18,5 % yang setara dengan efek menengah. 2) Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT berpengaruh terhadap kemampuan meregulasi diri. Rerata selisih skor yang dicapai pada kelompok eksperimen (M = 1,07, SE = 0,12) lebih tinggi daripada rerata selisih skor yang dicapai kelompok kontrol (M= 0,60, SE = 0,12). Perbedaan skor tersebut signifikan dengan t(40) = -2,708 dan p = 0,010 (p < 0,05); dengan r = 0,394 atau 15,4% yang setara dengan efek menengah.
ix ABSTRACT
THE EFFECT OF IMPLEMENTING COOPERATIVE LEARNING TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) TYPE ON THE ABILITY TO EXPLAIN
AND SELF- REGULATE IN ELEMENTARY SCHOOL CLASS V
Yohana Fransiska Lintang Natalia
SanataDharmaUniversity
2019
This research concerns on the lack of high order thinking skill of students in science subjects. A study by PISA which was conducted in 2012 and 2015 shows that science literacy rating of Indonesian students is still in the 10th position from the bottom. This study aims to investigate the effect of implementing cooperative learning model type Teams Games Tournament (TGT) toward the ability to explain and self-regulate of the fifth grade student.
The research employed quasi-experimental to conduct this study. Specifically, this study used pre-test and posttest non-equivalent group design. The participants of this study were 42 students of the fifth-grade in Elementary School of Yogyakarta. The participants were classified into two groups. The first group was class V.2 (n=21) as the control group and the second group was class V.1 (n=21) as the experimental group. The treatment applied in the experimental group was the cooperative learning model type Teams Games Tournament (TGT). There are five steps in the cooperative learning model on Teams Games Tournament type, namely, class presentation, teams, games, tournament, and
team’s recognition.
The results of the study show that 1) the implementation of the cooperative learning model type Teams Games Tournament (TGT) affects the explanatory ability. The mean score of the experimental group (M = 1.12, SE = 0.12) was higher than the mean score of the control group (M = 0.55, SE = .14). It means that there is a significant difference in the mean score in both control and experimental group with t (40) = -3.01 and p = 0.004 (p <0.05); r = 0.430 or 18.5% which is equivalent to medium effects. 2) The implementation of the cooperative learning model type Teams Games Tournament (TGT) affects the
students’ ability to regulate themselves. The mean score of the experimental group
(M = 1.07, SE = 0.12) was higher than the mean score of the control group (M = 0.60, SE = 0.12). The score difference is significant with t (40) = -2.708 and p = 0.010 (p <0.05); r = 0.394 or 15.4% which is equivalent to medium effects.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga
peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “PENGARUH
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS
GAMES TURNAMENT (TGT) TERHADAP KEMAMPUAN
MENGEKSPLANASI DAN MEREGULASI DIRI SISWA KELAS V SD”
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Guru Sekolah Dasar.
3. Kintan Limiansih, S.Pd., M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
4. Gregorius Ari Nugrahanta, S.J., S., BST., M.A selaku Dosen Pembimbing I
yang telah membimbing dengan penuh bijaksana.
5. Agnes Herlina Dwi Hadiyanti, S.Si., M.T., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing
II yang telah membimbing dengan penuh perhatian.
6. Laurensia Aptik Evanjeli, S.Psi., M.A. selaku dosen penguji III yang telah
memberikan masukan pada penulisan penelitian ini.
7. Ari Kristiani, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SD Budya Wacana I Yogyakarta
yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian.
8. Ch. Wiji Widiastuti, S.Pd. selaku guru mitra yang telah membantu
pelaksanaan penelitian ini.
9. Siswa kelas V.1 dan V.2 SD Budya Wacana I Yogyakarta tahun ajaran
2018/2019 yang telah bersedia terlibat dalam penelitian.
10. Sekretariat PGSD Universitas Sanata Dharma yang telah membantu proses
perizinan penelitian skripsi.
11. Kedua orangtua, Yohanes Hari Pracoyo dan Maria Yosefina Sareng yang
xi 12. Kakakku Angela Ryzki Litania Kartika Sari, kakakku Ricky Prananta, adikku
Yubilium Agung Treiger Hari Mardono yang telah memberi penghiburan dan
penyemangat.
13. Teman-teman PPL Rika, Yutta, Deta, Rani, Agnes, Koko dan Om Jacob SD
Budya Wacana I Yogyakarta atas kerjasama dan dukungannya di sekolah.
14. Sahabat penelitian kolaboratif bersama Rani, Agnes, Halimah, Anggun,
Niken, Herlin, Clara, Poppy, Melsa, Felis, Erine yang telah memberikan
bantuan selama melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.
15. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu namun telah
banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna karena keterbatasan
peneliti. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi menyempurnakan skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi
ini berguna bagi semua pihak.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMANPERSEMBAHAN... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN LEMBARPUBLIKASI KARYA ILMIAHUNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB IPENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Definisi Operasional ... 7
BAB IILANDASAN TEORI ... 9
2.1 Kajian Pustaka ... 9
2.1.1 Teori yang Mendukung... 9
2.1.1.1 Perkembangan Anak ... 9
2.1.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif ... 16
2.1.1.3 Tipe Teams Games Tournament (TGT) ... 20
2.1.1.4 Kemampuan Berpikir Kritis ... 23
2.1.1.5 Kemampuan Mengeksplanasi... 25
2.1.1.6 Kemampuan Meregulasi Diri ... 26
2.1.1.7 Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam ... 27
2.1.1.8 Materi Pembelajaran ... 27
2.1.2 Hasil Penelitian yang Relevan ... 29
2.1.2.1 Penelitian tentang pembelajaran kooperatif tipe TGT ... 29
2.1.2.2 Penelitian tentang Kemampuan Berpikir Kritis ... 30
2.2 Kerangka Berpikir ... 34
2.3 Hipotesis Penelitian ... 35
BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 36
3.1 Jenis Penelitian ... 36
3.2 Setting Penelitian ... 38
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 38
xiii
3.3 Populasi dan Sampel ... 39
3.3.1 Populasi ... 39
3.3.2 Sampel ... 39
3.4 Variabel Penelitian ... 40
3.4.1 Variabel Independen ... 40
3.4.2 Variabel dependen ... 41
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 41
3.6 Instrumen Penelitian ... 42
3.7 Teknik Pengujian Instrumen ... 43
3.7.1 Uji Validitas ... 43
3.7.1.1 Validitas Isi ... 44
3.7.1.2 Validitas Muka ... 44
3.7.1.3 Validitas Konstruk ... 45
3.7.2 Uji Reliabilitas ... 46
3.8 Teknik Analisis Data ... 47
3.8.1 Uji Pengaruh Pelakuan ... 47
3.8.1.1 Uji Asumsi ... 47
3.8.1.2 Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 49
3.8.1.3 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 50
3.8.1.4 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 50
3.8.2 Analisis Lebih Lanjut ... 52
3.8.2.1 Uji Persentase Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I ... 52
3.8.2.2 Uji Besar Efek Peningkatan ... 53
3.8.2.3 Uji Korelasi Rerata Pretest dan Posttest I ... 55
3.8.2.4 Uji Retensi Pengaruh Perlakuan... 56
3.8.3 Ancaman Terhadap Validitas Internal Penelitian ... 57
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63
4.1 Hasil Penelitian ... 63
4.1.1 Implementasi Penelitian ... 63
4.1.1.1 Deskripsi Sampel Penelitian ... 63
4.1.1.2 Deskripsi Implementasi Pembelajaran ... 64
4.1.2 Deskripsi Sebaran Data... 69
4.1.2.1 Kemampuan Mengeksplanasi ... 69
4.1.2.2 Kemampuan Meregulasi diri ... 71
4.1.3 Uji Hipotesis Penelitian I ... 72
4.1.3.1 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 73
4.1.3.2 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 79
4.3.1.3 Analisis Lebih Lanjut ... 80
4.1.4 Uji Hipotesis Penelitian II ... 88
4.1.4.1 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 89
4.1.4.2 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 94
4.1.4.3 Analisis Lebih Lanjut ... 95
4.2 Pembahasan ... 103
4.2.1 Analisis Terhadap Ancaman Validitas Internal Penelitian ... 104
xiv 4.2.2.1 Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games
Tournament Terhadap Kemampuan Mengeksplanasi ... 108
4.2.2.2 Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament Terhadap Kemampuan Meregulasi Diri ... 112
4.2.3 Analisis Hasil Penelitian Terhadap Teori ... 116
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN ... 120
5.1 Kesimpulan ... 120
5.2 Keterbatasan Penelitian ... 121
5.3 Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA ... 122
LAMPIRAN ... 128
xv
DAFTARTABEL
Tabel 2. 1 Dimensi Kognitif dan Kecakapan berpikir Kritis ... 25
Tabel 3. 1 Waktu penelitian……….……….………...………..39
Tabel 3. 2 Matriks Pengembangan Instrumen... 43
Tabel 3. 3 Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Mengeskplanasi dan Meregulasi Diri ... 46
Tabel 3. 4 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 46
Tabel 3. 5Kriteria Besar Pengaruh ... 52
Tabel 4. 1 Sebaran Data Kemampuan Mengeksplanasi Kelompok Kontrol…….69
Tabel 4. 2 Sebaran Data Kemampuan Mengeksplanasi Kelompok Eksperimen .. 70
Tabel 4. 3 Sebaran Data Kemampuan Meregulasi diri Kelompok Kontrol ... 71
Tabel 4. 4 Sebaran Data Kemampuan Meregulasi Diri Kelompok Eksperimen .. 72
Tabel 4. 5 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest ... 74
Tabel 4. 6 Hasil Uji Homogenitas Varian Skor Rerata Pretest ... 74
Tabel 4. 7 Hasil Uji Perbedaan Rerata Pretest Kemampuan Eksplanasi ... 75
Tabel 4. 8 Uji Normalitas Distribusi Data Selisih Pretest-Posttest I ... 76
Tabel 4. 9 Hasil Uji Homogenitas Varians Rerata Pretest – Posttest I... 77
Tabel 4. 10 Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan Kemampuan Mengeksplanasi ... 77
Tabel 4. 11 Hasil Uji Besar Pengaruh Perlakuan Kemampuan mengeksplanasi .. 79
Tabel 4. 12 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest dan Posttest I ... 80
Tabel 4. 13 Peningkatan Rerata Pretest ke Postetest I Kemampuan Mengeksplanasi ... 80
Tabel 4. 14 Uji Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I... 83
Tabel 4. 15 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest dan Posttest I Kemampuan Mengeksplanasi ... 84
Tabel 4. 16 Hasil Uji Kolerasi antara Rerata Pretest dan Posttest I ... 84
Tabel 4. 17 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Posttest I dan Posttest II Kemampuan Mengeksplanasi ... 85
Tabel 4. 18 Hasil Uji Retensi Pengaruh Perlakuan ... 86
Tabel 4. 19 Hasil Analisis Perbedaan Skor Pretest dan Posttest II ... 87
Tabel 4. 20 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Pretest Kemampuan Meregulasi Diri ... 89
Tabel 4. 21 Hasil Uji Homogenitas Varian Rerata Pretest Kemampuan Meregulasi diri ... 90
Tabel 4. 22 Hasil Uji Perbedaan Rerata Pretest Kemampuan Meregulasi Diri .... 90
Tabel 4. 23 Uji Normalitas Distribusi Data Selisih Pretest-Posttest I ... 92
Tabel 4. 24 Hasil Uji Homogenitas Varians Rerata Selisih Pretest – Posttest I Kemampuan Meregulasi Diri ... 92
Tabel 4. 25 Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan Kemampuan Meregulasi diri ... 93
xvi Tabel 4. 27 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest dan Posttest
I ... 95
Tabel 4. 28Peningkatan Rerata Pretest ke Postetest I Kemampuan Meregulasi diri ... 96
Tabel 4. 29 Uji Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I... 98
Tabel 4. 30 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest dan Posttest I Kemampuan Meregulasi diri ... 99
Tabel 4. 31 Hasil Uji Kolerasi antara Rerata Pretest dan Posttest I ... 100
Tabel 4. 32 Hasil Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Posttest I dan Posttest II Kemampuan Meregulasi Diri... 101
Tabel 4. 33 Hasil Uji Retensi Pengaruh Perlakuan ... 101
Tabel 4. 34 Hasil Analisis Perbedaan Skor Pretest dan Posttest II ... 103
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Bagan Tahapan Perkembangan Kognitif... 12
Gambar 2. 2 Zona Perkembangan Kognitif ... 16
Gambar 2. 3 Penempatan pada meja tounamen ... 23
Gambar 2. 11 Literature map ... 33
Gambar 3. 1 Rumus Pengaruh Perlakuan………...37
Gambar 3. 2 Desain Penelitian ... 37
Gambar 3. 3 PemetaanVariabel Penelitian... 41
Gambar 3. 4 Rumus Besar Efek untuk Data Normal ... 51
Gambar 3. 5 Rumus Besar Efek untuk Data Tidak Normal ... 51
Gambar 3. 6 Rumus persentase pengaruh perlakuan ... 52
Gambar 3. 7 Rumus Besar persentase uji peningkatan skor pretest-postet I ... 52
Gambar 3. 8 Rumus Gain Score ... 53
Gambar 3. 9 Rumus Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I untuk Data Normal ... 54
Gambar 3. 10 Rumus Efek peningkatan rerata pretest ke posttest I untuk data tidak normal ... 54
Gambar 3. 11 Rumus Persentase Besar Efek Peningkatan ... 55
Gambar 3. 12 Skema Ancaman Sejarah (History) ... 58
Gambar 4. 1 Rerata Skor Pretest-Postest I Kemampuan Mengeksplanasi...78
Gambar 4. 2 Diagram Perbandingan Selisih Skor Pretest-Posttest I ... 78
Gambar 4. 3 Perbandingan Peningkatan Rerata Skor Pretest ke Posttest I ... 81
Gambar 4. 4 Gain Score Kemampuan Mengeksplanasi ... 82
Gambar 4. 5 Perbandingan Skor Pretest, Posttest I, dan Posttest II ... 87
Gambar 4. 6 Perbandingan Selisih Skor Pretest-Posttest I Kemampuan Meregulasi diri ... 93
Gambar 4. 7 Diagram Perbandingan Selisih Skor Pretest-Posttest I Kemampuan Meregulasi diri ... 94
Gambar 4. 8 Perbandingan Peningkatan Rerata Skor Pretest ke Posttest I ... 96
Gambar 4. 9Gain Score Kemampuan Meregulasi diri ... 97
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. 1 Surat Izin Penelitian... 129
Lampiran 1. 2 Surat Izin Validasi Soal ... 130
Lampiran 2. 1 Silabus Kelompok Kontrol………...131
Lampiran 2. 2 Silabus Kelompok Eksperimen ... 134
Lampiran 2. 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Kontrol... 138
Lampiran 2. 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Eksperimen ... 143
Lampiran 3. 1 Soal Uraian………...153
Lampiran 3. 2 Kunci Jawaban ... 160
Lampiran 3. 3 Rubrik Penilaian ... 171
Lampiran 3. 4 Hasil Rekap Nilai Expert Judgment ... 177
Lampiran 3. 5 Hasil Uji Validasi oleh Expert Judgment ... 181
Lampiran 3. 6 Hasil Analisis SPSS Uji Validitas ... 190
Lampiran 3. 7 Hasil Analisis SPSS Uji Reliabilitas ... 192
Lampiran 3. 8 Data Uji Validitas Instrumen Variabel Mengeskplanasi Dan Meregulasi Diri ... 193
Lampiran 4. 1 Tabulasi Nilai Kemampuan Mengeksplanasi Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen………..194
Lampiran 4. 2 Tabulasi Nilai Kemampuan Meregulasi Diri Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 195
Lampiran 4. 3 Hasil SPSS Uji Normalitas Data ... 196
Lampiran 4. 4 Hasil SPSS Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 197
Lampiran 4. 5 Hasil SPSS Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 203
Lampiran 4. 6 Perhitungan Manual Besar Pengaruh Perlakuan ... 204
Lampiran 4. 7 Perhitungan Persentase Peningkatan Pretest Ke Posttest 1... 205
Lampiran 4. 8 Hasil SPSS Uji besar efek peningkatan rerata pretest ke posttest I ... 208
Lampiran 4. 9 Hasil SPSS Uji Korelasi Rerata Pretest dan Posttest I ... 211
Lampiran 4. 10 Hasil SPSS Uji Retensi Pengaruh Perlakuan ... 212
Lampiran 4. 11 Lembar Hasil Pretest dan Posttest Siswa ... 216
Lampiran 5. 1 Foto-foto kegiatan………...232
Lampiran 5. 2 Surat Keterangan Melaksanakan Validasi ... 233
1
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I ini akan dibahas latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi oprasional.
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar oleh keluarga,
masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan pembelajaran, bimbingan, serta
latihan yang dilakukan sekolah maupun di luar sekolah untuk mempersiapkan
siswa dalam melakukan perannya di masa yang akan datang (Triwiyanto, 2014:
22). Pendidikan memiliki berbagai macam tujuan. Salah satu tujuan pendidikan
adalah membentuk siswa yang mampu memecahkan masalah dengan berpikir
kritis dan berpikir kreatif (Ahmadi, 2014: 44). Berpikir kritis termasuk ke dalam
berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk berpikir
secara logis, reflektif, dan produktif dalam menilai situasi untuk membuat
pertimbangan dan keputusan yang baik. Melalui berpikir kritis hendaknya anak
peka terhadap berbagai hal yang terjadi pada lingkungan, kemudian menganalisis,
dan memahami sehingga berpikir, berperasaan dan bertindak secara terkendali dan
teraktualisasikan dalam perilaku yang sehat, berkualitas, dan terjaga integritasnya
(Tawil & Liliasari, 2013: 2). Pandangan lain mengungkapkan berpikir kritis
adalah sebuah proses yang jelas dan terarah sebagai bentuk kegiatan mental
seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi, dan
melakukan penelitian (Johnson, 2008: 185). Dengan demikian, kemampuan
berpikir kritis penting dimilikioleh anak untuk berpikir secara logis, peka, dan
mampu menganalisis serta memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Facione (1990) membagi berpikir kritis dalam enam unsur kemampuan
yang terdiri dari kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi,
menarik kesimpulan, mengeksplanasi, dan meregulasi diri. Keenam kemampuan
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Anak diharapkan memiliki kemampuan
untuk memberikan suatu alasan dari hasil pemikiran sendiri tentang suatu konsep
2 Kemampuan tersebut berkaitan dengan kemampuan mengeskplanasi dan
meregulasi diri. Kemampuan mengeksplanasi dan meregulasi diri merupakan
kemampuan kognitif yang paling kompleks. Kemampuan mengeksplanasi adalah
kemampuan seseorang untuk menyatakan masalah, menjelaskan, dan memberikan
suatu alasan dari hasil pemikiran sendiri maupun orang lain tentang suatu konsep,
metode, kriteria dan konteks yang digunakan dalam menarik kesimpulan.
Sedangkan, kemampuan meregulasi diri adalah kemampuan yang secara sadar
memonitor aktivitas kognitifnya sendiri, unsur-unsur yang digunakan dalam
aktivitas tersebut, dan hasil-hasilnya dengan menganalisis dan mengevaluasi
proses kognitif yang terjadi sehingga dapat mempertanyakan, menegaskan, atau
mengoreksi cara berpikirnya sendiri (Facione, 2015). Kemampuan
mengeksplanasi dan mergulasi diri penting dimiliki oleh anak untuk
menyelesaikan permasalahan pendidikan abad 21 ini.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
merumuskan bahwa paradigma pembelajaran abad 21 menekankan pada
kemampuan peserta didik dalam mencari tahu berbagai sumber, merumuskan
permasalahan, berpikir analitis dan kerja sama serta berkolaborasi dalam
menyelesaikan masalah (Litbang Kemdikbud, dalam Wijaya, Sudjimat & Nyoto,
2016: 266). Pembelajaran abad 21 ini tentunya perlu di terapkan sejak anak berada
pada usia SD. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) adalah jenjang pendidikan formal
yang menjadi dasar pendidikan selanjutnya. Pada umumnya, siswa SD berusia
7-12 tahun. Dimana sesuai dengan usianya, pembelajaran perlu diarahkan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa yang pada gilirannya
kegiatan berpikir itu dapat membantu siswa memperoleh pengetahuan yang
mereka konstruksi sendiri (Wijaya, Sudjimat, & Nyoto, 2016: 270). Prinsip
tersebut sejalan dengan pandangan Jean Piaget yang menyatakan bahwa
anak-anak usia SD berada tahap kemampuan berpikir secara konkret. Pemahaman anak-anak
tentang aneka konsep akan dipermudah apabila berdasarkan pada pengalaman dan
melalui proses mengonstruksi yang dilakukan sendiri oleh anak bertolak dari
pengalaman nyata. Usia anak SD juga tidak lepas dari konteks sosial dalam
memerlukan bantuan dari pihak lain. Bantuan tersebut tentunya dapat berasal dari
3 Vygotsky yang menyatakan bahwa anak mengembangkan pengetahuan dengan
mengonstruksinya melalui interaksi lingkungan sosial (Supratiknya, 2006: 60).
Keyakinan Vygotskty mengenai pentingnya pengaruh sosial tercermin pada
konsep zona perkembangan proksimal atau Zone of Proximal Development
(ZDP). ZDP adalah istilah Vygotsky untuk kiasan tugas-tugas yang sulit saat sang
anak melakukannya sendiri, tetapi dapat dipelajari dengan bimbingan dan bantuan
dari orang dewasa (Santrock, 2009: 62). Pekembangan-perkembangan ini perlu
disesuaikan dengan pembelajaran yang diberikan pada anak terutama pada
pelajaran IPA yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia dan membutuhkan
kemampuan berpikir kritis.
IPA adalah pengetahuan yang rasional dan obyektif terhadap alam semesta
dengan segala isinya (Samatowa, 2011: 2). IPA tidak hanya kumpulan
pengetahuan tentang benda atau mahluk hidup tetapi memerlukan cara kerja, cara
berpikir, dan cara memecahkan masalah (Winaputra, dalam Samatowa, 2011: 3).
IPA perlu diajarkan di Sekolah Dasar dengan alasan: 1) IPA berfaedah bagi suatu
bangsa karena kesejahteraan materi suatu bangsa banyak sekali tergantung pada
kemampuan bangsa itu dalam bidang IPA, 2) IPA merupakan suatu mata
pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis, 3) IPA tidaklah
merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan, dan 4) mata pelajaran IPA 3
memiliki nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk
kepribadian anak secara utuh (Samatowa, 2011: 3). Alasan tersebut tentunya
mampu menjadikan pembelajaran IPA di SD dapat melatih kemapuan berpikir
kritis dengan cara kerja yang tepat, cara berpikir yang rasional dan obyektif serta
cara memecahkan persoalan yang bersifat ilmiah di lingkungannya.
Permasalahannya mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia masih
rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian salah satu organisasi yaitu
Program for International Student Assessment (PISA) di bawah naungan
Organization Economic Cooperation and Development (OECD) telah
mengadakan survei mengenai sistem pendidikan dan kemampuan siswa yang
diadakan setiap tiga tahun sekali. Studi ini digunakan untuk mengukur
kemampuan siswa dalam matematika, membaca, dan sains. Hasil PISA 2009
4 mata pelajaran IPA (OECD, 2009: 1). Hasil PISA pada tahun 2012 menunjukkan
bahwa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara di dunia dengan skor
382 untuk literasi sains (OECD, 2013: 5). Hasil PISA berikutnya pada tahun 2015
menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 61 dari 70 negara di dunia
dengan skor 403. Hasil penelitian PISA pada tahun 2015 menunjukkan bahwa
Indonesia mengalami peningkatan, namun masih berada pada peringkat 10 besar
terbawah dari 70 peserta negara PISA (OECD, 2016: 5). Hasil penelitian PISA
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami permasalahan dalam bidang
sains.Fakta yang diungkapkan oleh PISA menunjukkan bahwa kemampuan siswa
pada mata pelajaran IPA masih rendah. Rendahnya kemampuan siswa tersebut
bisa dipengaruhi oleh proses belajar yang kurang sesuai untuk mengembangkan
kemampuan siswa. Proses belajar mengajar umumnya kurang mendorong pada
pencapaian kemampuan berpikir kritis. Ada faktor penyebab berpikir kritis tidak
berkembang selama pendidikan yaitu aktivitas pembelajaran di kelas yang selama
ini dilakukan oleh guru tidak lain merupakan penyampaian informasi dengan lebih
mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin
(Ahmatika, 2016 : 396).Untuk mengantisipasi masalah tersebut, perlu dicarikan
suatu alternatif model pembelajaran yang tepat sehingga dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa. Para guru hendaknya terus berusaha menyusun
dan menerapkan berbagai cara yang variasi agar siswa tertarik dan bersemangat
dalam mengikuti pelajaran IPA, salah satunya dapat dilakukan melalui model
pembelajaran kooperatif (Ahmatika, 2016: 396). Model pembelajaran kooperatif
dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif, sebab peserta didik akan lebih
banyak belajar melalui proses pembentukan dan penciptaan, kerja dalam
kelompok dan berbagi pengetahuan serta tanggung jawab individu (Daryanto &
Rahardjo, 2012: 229). Ada berbagai tipe dalam pembelajaran kooperatif di
antaranya adalah Jigsaw, Student Team Achievement Division (STAD), Teams
Games Tournament (TGT), Think-Pair-Share (TPS), Numbered Head Together
(NHT) dan model-model lainnya (Trianto, 2007: 49). Peneliti memilih model
pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT) dalam penelitian ini.
Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe pembelajaran
5 beranggotakan 5-6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan
suku atau ras yang berbeda (Slavin, 2008: 166). Dalam pelaksanaannya
pembelajaran kooperatif tipe TGT menggunakan 5 langkah yaitu presentasi di
kelas yang dilakukan guru dengan memberikan materi, belajar bersama dalam tim
guna mempersiapkan anggota untuk mengikuti game akademik dan selanjutnya
guru memberikan soal pretest untuk menentukan kelompok homogen, games
dimana guru mempersiapkan pertanyaan yang anak pakai untuk tournament,
kemudian tournament yang dilakukan oleh kelompok homogen, selanjutnya
perhitungan skor dan pemberian reward kepada kelompok yang memperoleh skor
tertinggi. Melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGTdiharapkan siswa
memiliki pemahaman mendalam terhadap materi pembelajaran, memiliki
kebebasan untuk berinteraksi dalam kelompok, meningkatkan percaya diri,
memiliki motivasi belajar tinggi (Taniredja & Faridli, 2014: 72) dan
mengembangkan kemampuan berpikir kritis khususnya mengeksplanasi dan
meregulasi diri.
Penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pembelajaran
kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) memberikan pengaruh terhadap
hasil belajar IPA (Widayanti & Slameto, 2016). Pembelajaran kooperatif tipe
TGT juga berpengaruh terhadap penguasaan kompetensi pengetahuan IPS
(Novianti, I Ketut & Gede, 2017). Pembelajaran kooperatif tipe Teams Games
Tournament (TGT) juga berpengaruh pada hasil belajar IPA siswa kelas VIII
ditinjau dari kerjasama siswa (Ismah & Ernawati, 2018).Berbagai jurnal juga
diterbitkan untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis. Fuad,
Zubaidah, Mahanal dan Suarsini (2016) meneliti tentang meningkatkan
kemampuan berpikir kritis siswa SMP berdasarkan ujian tiga model pembelajaran
yang berbeda. Hal serupa dilakukan oleh Retnosari, Susili dan Suwono (2016)
yang meneliti pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing berbantuan
multimedia interaktif terhadap berpikir kritis siswa kelas IX SMA Negeri di
Bojonegoro. Kemudian, Jariyah (2017) meneliti efektivitas pembelajaran inkuiri
dipadu sains teknologi masyarakat (STM) untuk meningkatkan kemampuan
6 Berdasarkan hasil beberapa penelitian tersebut, model pembelajaran
kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) berpengaruh dan meningkatkan
kemampuan dan hasil belajar siswa. Peneliti belum menemukan penelitian yang
membahas penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games
Tournament (TGT) terhadap kemampuan mengeksplanasi dan meregulasi diri.
Peneliti juga belum menemukan penelitian untuk mengembangkan kemampuan
mengeksplanasi dan meregulasi diri. Sehingga, peneliti akan meneliti pengaruh
model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap
kemampuan mengeksplanasi dan meregulasi diri siswa kelas V SD.
Penelitian ini dibatasi hanya pada pengaruh penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap
kemampuan mengeksplanasi dan meregulasi diri siswa kelas V SD pada mata
pelajaran IPA materi sistem pernapasan hewan. Peneliti memilih salah satu SD
swasta di Yogyakarta sebagai tempat penelitian karena, SD tersebut memiliki
kelas paralel yang tepat digunakan untuk penelitian eksperimental. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan tes. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian quasi experimentaldesign dengan tipe pretest posttest
non-equivalent group design.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games
Tournament (TGT) berpengaruh terhadap kemampuan mengeksplanasi
siswa kelas V SD?
1.2.2 Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games
Tournament (TGT) berpengaruh terhadap kemampuan meregulasi diri
siswa kelas V SD?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
Teams Games Tournament (TGT) terhadap kemampuan mengeksplanasi
7 1.3.2 Mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
Teams Games Tournament (TGT) terhadap kemampuan meregulasi diri
siswa kelas V SD.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Siswa
Siswa memperoleh pengalaman belajar yang baru dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT)
sehingga dapat mengetahui pengaruhnya terhadap kemampuan
mengeksplanasi dan meregulasi diri.
1.4.2 Bagi Peneliti
Peneliti memperoleh pengalaman baru tentang penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT), sehingga
dengan pengalaman tersebut peneliti dapat menguasai model pembelajaran
kooperatif tipe Teams Games Tournament dan dapat menerapkannya
ketika mengajar di kelas.
1.4.3 Bagi Guru
Guru memahami model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games
Tournament (TGT) dan dapat menerapkannya pada pembelajaran lain,
sehingga guru lebih termotivasi untuk menerapkan pembelajaran yang
lebih bervariasi, sehingga penyampaian materi pelajaran menjadi lebih
menarik.
1.4.4 Bagi Sekolah
Sekolah dapat mengembangkan wawasan tentang pembelajaran dengan
model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT).
1.5 Definisi Operasional
1.5.1 Model pembelajaran kooperatif adalah pengajaran kepada siswa di mana
guru menetapkan tugas dan pertanyaan serta bahan informasi yang
direncanakan oleh siswa yang bekerja dalam kelompok-kelompok kecil
untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi
8 1.5.2 Model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT)
adalah model pembelajaran yang menempatkan siswa dalam
kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan lima sampai enam orang siswa yang
memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda
dengan 5 langkah yaitu presentasi kelas, tim, game, turnamen, dan
rekognisi tim.
1.5.3 Kemampuan berpikir kritis adalah kegiatan yang menganalisis informasi
dan ide secara hati-hati dan logis yang digunakan sebagai penilaian untuk
tujuan tertentu untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan dari
bukti tertentu.
1.5.4 Kemampuan mengeksplanasi adalah kemampuan seseorang untuk
menyatakan masalah, menjelaskan dan memberikan suatu alasan dari hasil
pemikiran sendiri maupun orang lain tentang suatu konsep, metode,
kriteria dan konteks yang digunakan dalam menarik kesimpulan
1.5.5 Kemampuan meregulasi diri adalah kemampuan yang secara sadar
memonitor aktivitas kognitifnya sendiri, unsur-unsur yang digunakan
dalam aktivitas tersebut, dan hasil-hasilnya dengan menganalisis dan
mengevaluasi proses kognitif yang terjadi sehingga dapat
mempertanyakan, menegaskan, atau mengoreksi cara berpikirnya sendiri
1.5.6 Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah mata pelajaran yang digunakan
9
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab II berisi kajian pustaka, hasil penelitian yang relevan, kerangka
berpikir, dan hipotesis penelitian. Kajian pustaka membahas teori-teori yang
mendukung dalam pelaksanaan penelitian dan hasil penelitian sebelumnya yang
berisi pengalaman penelitian yang pernah ada. Selanjutnya dirumuskan kerangka
berpikir dan hipotesis penelitian yang berisi dugaan sementara atau jawaban
sementara dari rumusan masalah penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Teori yang Mendukung
Teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah teori
perkembangan anak dari Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini merupakan tokoh
konstruktivisme. Teori konstruktivisme menjelaskan bahwa pengetahuan
seseorang adalah bentukan (konstruksi) orang itu sendiri (Suparno, 2001: 122)
Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan
informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain. Teori Piaget ini diambil karena
mengingat perkembangan kognitif anak SD yang berada tahap operasional
konkret. Sementara teori Vygotsky diambil karena pada tahap perkembangan anak
tentunya memiliki pengaruh sosial khusunya pengajaran pada perkembangan
kognitif anak tercermin pada konsep zona perkembangan proksimal.
2.1.1.1 Perkembangan Anak
Manusia pada umumnya mengalami perkembangan. Perkembangan adalah
pola pergerakan atau perubahan yang dimulai sejak masa pembuahan dan terus
berlangsung selama masa hidup manusia. Pola tersebut bersifat kompleks karena
merupakan hasil dari proses biologis, kognitif dan sosioemosi. Proses biologis
menghasilkan perubahan yang berkaitan dengan sifat dasar fisik individu.
Gen-gen yang diwariskan orang tua, perkembangan otak, tinggi dan berat badan
mencerminkan pengaruh dari proses biologis terhadap perkembangan. Proses
kognitif merujuk pada perubahan pemikiran, inteligensi dan bahasa dari individu.
10 orang lain, perubahan emosi, dan perubahan kepribadian. Proses biologis, kognitif
dan sosioemosi saling terkait dan membentuk suatu jalinan (Santrock, 2012: 16).
Setiap anak mengalami perkembangan. Dalam hidupnya anak akan mengalami
perkembangan yang dialami setiap anak secara berbeda-beda. Salah satu teori
yang membahas mengenai perkembangan khusunya perkembangan kognitif anak
adalah Piaget. Tokoh lain yang membahas perkembangan anak berdasarkan
sosiohistorisnya adalah Vygotsky.
1. Teori perkembangan kognitif
Jean Piaget (1896-1980) lahir di Neuchatel, Swiss. Ayahnya seorang
sejarawan spesialisai sejarah abad pertengahan (Crain, 2007: 167). Sejak kecil
Piaget sangat tertarik pada alam. Ia gemar mengamati burung-burung, ikan-ikan,
dan hewan lainnya. Itu sebabnya, ia sangat tertarik pada pelajaran biologi. Pada
usia 10 tahun, ia sudah menerbitkan artikel tentang burung albino dalam majalah
Ilmu Pengetahuan Alam. Pada 1916, Piaget menyelesaikan pendidikan sarjana
bidang biologi di Universitas Neuchatel. Selang dua tahun, ia menyelesaikan
pendidikan dan memperoleh gelar doktor filsafat. Usai menempuh pendidikan, ia
memutuskan untuk mendalami psikologi.
Pada 1920 Piaget bekerja bersama Dr. Theophile Simon di Laboratorium
Binet, Paris dengan tugas mengembangkan tes penalaran. Dari pengalamannya
itu, Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak yang lebih dewasa berbeda
dengan anak yang lebih muda. Dengan kata lain cara berpikir anak berbeda
dengan orang dewasa. Hal tersebut memacu Piaget untuk meneliti kedua anaknya.
Hasilnya, Piaget mengelompokkan perkembangan kognitif menjadi empat tahap
yaitu, tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasional konkret, dan
tahap operasional formal (Suparno, 2001: 11). Selain mengelompokkan
perkembangan kognitif menjadi empat tahap, Piaget juga menekankan bahwa
perkembangan kognitif anak mengalami skema, asimilasi, akomodasi,
ekuilibrium, dan disekuilibrium.
Skema adalah pola hubungan tindakan dan perilaku yang dapat
digeneralisasikan dan digunakan oleh anak dalam situasi yang berbeda-beda
(Meggit, 2013: 223). Setelah itu, asimilasi ialah penyatuan (pengintegrasian)
11 benak seseorang (Sanjaya, 2010: 132). Dalam proses asimilasi anak
menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menghadapi
masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya (Wilis, 2011: 135).Setelah
mengalami proses asimilasi, anak mengalami proses akomodasi. Akomodasi ialah
individu mengubah dirinya agar bersesuaian dengan apa yang diterima dari
lingkungannya (Surya, 2003: 56). Sebagai proses penyesuaian atau penyusunan
kembali skema ke dalam situasi yang baru (Yatim, 2009: 123).
Proses penyerapan ini saling berkaitan. Sebagai contoh ketika seorang anak
belum mengetahui atau mengenal api, suatu hari anak merasa sakit karena terkena
percikan api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk struktur penyesuaian
skema pada struktur kognitif anak tentang “api” bahwa api adalah sesuatu yang
membahayakan oleh karena itu harus dihindari, ini dinamakan adaptasi. Dengan
demikian, ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin anak
dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya
memasak memakai api, ketika anak melihat bapaknya merokok menggunakan api,
maka skema yang telah terbentuk semakin sempurna, bahwa api bukan harus
dihindari tetapi dapat dimanfaatkan. Proses penyesuaian skema tentang api yang
dilakukan oleh anak itu dinamakan asimilasi. Semakin anak dewasa, pengalaman
itu semakin bertambah pula. Ketika anak melihat bahwa pabrik-pabrik
memerlukan api, setiap kendaraan memerlukan api, dan lain sebagainya, maka
terbentuklah skema baru tentang api. Bahwa api bukan harus dihindari dan juga
bukan hanya sekedar dapat dimanfaatkan, akan tetapi api sangat dibutuhkan untuk
kehidupan manusia. Proses penyempurnaan skema itu dinamakan proses
akomodasi (Sanjaya, 2010: 132).
Setelah penyempurnaan skema tersebut anak mengalami yang dinamakan
ekuilibrasi. Pengaturan sendiri atau ekuilibrasi adalah kemampuan untuk
mencapai kembali keseimbangan (equilibrium) selama periode
ketidakseimbangan (disequlibrium). Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk
mencapai tingkat-tingkat berfungsi kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi
dan akomodasi tingkat demi tingkat (Jarvis, 2011: 143). Jika pengaturan sendiri
sudah dimiliki anak, ia mampu menjelaskan hal-hal yang dirasakan anak dari
12 situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pengaturan diri yang sudah ada,
anak mengalami sensasi disequlibrium yang tidak menyenangkan. Secara
naluriah, kita disarankan untuk memperoleh pemahaman tentang dunia dan
menghindari disequlibrium (Jarvis, 2011: 142). Berikut merupakan bagan tahapan
perkembangan kognitif menurut Piaget :
(Sumber : https://www.slideshare.net/satyayoga96/belajar-dan-pembelajaran-kognitif-dan-konstruktivisme-59658784)
Gambar 2. 1Bagan Tahapan Perkembangan Kognitif
Piaget menemukan bahwa anak-anak melewati tahapan-tahapan dengan
kecepatan yang berbeda-beda. Piaget membedakan perkembangan kognitif
menjadi empat tahap yaitu, tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap
operasional konkret, dan tahap operasional formal. Anak-anak selalu melewati
tahapan-tahapan tersebut dengan urutan yang tidak pernah berubah atau dengan
keteraturan yang sama. Piaget meyakini tahapan urutan perkembangan sudah
diatur oleh gen-gen dan bahwa pentahapan itu berjalan menurut rancangan waktu
batiniah anak-anak (Crain, 2007: 171).
a. Tahap sensorimotor (0-2 tahun)
Tahap sensorimotor berlangsung mulai dari lahir hingga usia sekitar 2
tahun adalah tahap pertama menurut Piaget. Pada tahap ini bayi
membangun pemahaman mengenai dunianya dengan mengoordinasikan
pengalaman-pengalaman secara sensori (Santrock, 2012: 28). Masa ini
adalah ketika di mana bayi mulai mempergunakan sistem pengindraan dan
aktivitas-aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya mengenal
13 dan tidak berdaya, tetapi sebagian alat-alat inderanya sudah langsung bisa
berfungsi (Suparno, 2001: 26).
Pada tahap sensorimotor dibagi menjadi beberapa sub-tahap. Sub
tahap pertama (lahir-1 bulan) anak memang belum mengetahui apa yang
dilakukan dan apa yang di sekelilingnya tetapi anak melakukan sesuatu hal
yang biasanya disebabkan oleh refleks-refleks bawaan. Refleks yang
paling jelas anak bisa otomatis menghisap kapanpun bibir mereka di
sentuh. Kemudian di sub tahap kedua (1-4 bulan), di mana pada sub tahap
ini rekasi terjadi ketika anak menghadapi sebuah pengalaman baru dan
berusaha mengulanginya. Sub tahap ketiga (4-10 bulan) dan keempat
(10-12 bulan) merupakan sub tahap dimana anak mulai mengetahui dan
mencari apa yang ingin di cari, anak sudah mampu menemukan barang
yang sengaja mereka sembunyikan. Sementara, pada sub tahap kelima
(12-18 bulan) anak mulai dapat berekperimen dengan tindakan-tindakan yang
berbeda untuk mengamati hasil yang berbeda-beda. Di tahap keenam (18
bulan-2 tahun) anak anak yang sudah mulai bereksperimen dengan
tindakannya, anak kelihatannya mulai bervariasi dari tindakannya (Crain,
2007: 173).
b. Tahap pra-operasional (2-7 tahun)
Tahap praoperasional berlangsung kurang lebih usia 2 hingga 7 tahun.
Dalam tahap ini anak mulai merepresentasikan dunia dengan
menggunakan kata-kata, bayangan, dan gambar. Anak-anak membentuk
konsep yang stabil dan mudah bernalar. Pada saat egosentrisme dan
keyakinan magis mendominasi dunia anak. Tahap ini diapat dibagi ke
dalam dua subtahapan yaitu sub tahapan fungsi simbolik dan subtahapan
pemikiran intuitif.
Pada sub tahapan fungsi simbolik merupakan subtahapan pertama
yang terjadi pada usia 2-4 tahun. Pada sub tahap ini anak memperoleh
kemampuan untuk membayangkan penampilan objek yang tidak hadir
secara fisik. Meskipun dalam sub tahap ini anak sudah memiliki kemajuan
yang berarti tetapi pemikiran mereka masih terbatas, dua
14 adalah ketidakmampuan membedakan antara perspektifnya sendiri dan
perspektif oranglain. Sedangkan animisme adalah keyakinan bahwa
benda-benda mati memiliki kualitas seolah-olah hidup. Pada subtahapan
kedua adalah berpikir intuitif yang terjadi sekitar usia 4 sampai 7 tahun.
Pada tahap ini anak mulai menggunakan penalaran primitive dan ingin
mengetahui jawaban terhadap segala jenis pertanyaan (Santrock, 2012:
248).
c. Tahap operasional konkret (7-11 tahun)
Pada tahap ini, anak sudah dapat memandang dunia secara objektif,
mulai berpikir secara operasional, mempergunakan cara berpikir
operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, membentuk dan
mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana,
serta mempergunakan hubungan sebab akibat dapat memahami suatu
konsep (Suparno, 2001: 69). Oprasional konkret adalah tindakan mental
anak yang bisa bolak balik dan berkaitan dengan objek yang nyata dan
konkret. Operasional konkret memungkinkan anak untuk mengkoordinasi
beberapa karakteristik daripada berfokus pada suatu sifat benda (Santrock,
2009: 55).
d. Tahap oprasional formal (11-dewasa)
Tahap oprasional formal terjadi pada usia anak 11 tahun sampai
dewasa. Pada tahap ini, pemikiran oprasional formal lebih bersifat abstrak
dibandingkan pemikiran oprasional konkret. Pemahaman remaja tidak lagi
terbatas pada pengalaman yang konkret. Mereka mampu merekayasa
menjadi seakan-akan benar-benar terjadi terhadap berbagai situasi atau
peristiwa. Selain berpikir abstrak dan idealistik, anak cenderung
memecahkan masalah melalui trial and error, anak juga mulai berpikir
sebagaimana ilmuan berpikir, membuat rencana untuk memecahkan
masalah (Santrock, 2012: 423).
Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget, siswa kelas V
SD berada di tahap ke 3 yaitu pada tahap operasional konkret yang terletak pada
15 mengembangkan sistem pemikiran logis yang dapat diterapkan dalam
memecahkan persoalan-persoalan konkret (Suparno, 2001: 69).
2. Teori pembelajaran sosiohistoris Vygotsky
Perkembangan anak bukan hanya melalui aspek kognitif saja melainkan juga
melalui aspek sosial. Lev Semyonovich Vygotsky (1896-1934) merupakan
pemikir Rusia. Vygotsky tumbuh besar di Gomel, Rusia. Ayahnya adalah seorang
eksklusif bank dan ibunya adalah seorang guru. Vygotsky sejak kecil sudah suka
membaca mengenai sejarah, karya sastra dan puisi. Semakin dewasa pada tahun
1924 Vygotsky melakukan perjalan ke Leningrad untuk memberikan kuliah
terbuka tentang psikologi. Vygotsky memahami manusia dalam konteks
lingkungan sosial histori di mana Vygotsky memadukan dua garis utama
perkembangan yaitu garis alamiah yang muncul dari dalam diri manusia dan garis
sosial historis yang mempengaruhi manusia sejak kecil tanpa bisa dihindari
(Crain, 2007: 224).
Vygotsky menyatakan bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep
yang lebih sistematis, logis, rasional yang merupakan hasil dari dialog bersama
orang lain. Vygotsky menyatakan orang lain dan bahasa memainkan peran kunci
dalam perkembangan kognitif seorang anak. Keyakinan Vygotskty mengenai
pentingnya pengaruh sosial khususnya pengajaran pada perkembangan kognitif
anak tercermin pada konsep zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan
proksimal adalah istilah Vygotsky untuk kiasan tugas-tugas yang sulit saat sang
anak melakukannya sendiri, tetapi dapat dipelajari dengan bimbingan dan bantuan
dari orang dewasa. Selain itu, Vygotsky berpendapat bahwa individu memiliki
dua tingkat perkembangan yang berbeda yaitu tingkat perkembangan aktual (batas
bawah) dan tingkat perkembangan potensial (batas atas). Batas bawah adalah
tingkat keterampilan yang dapat diraih oleh anak yang dilakukan secara mandiri.
Sementara, batas atas adalah tanggung jawab tambahan yang dapat diterima anak
dengan bantuan pengajar yang kompeten (Santrock, 2009: 62)
Zona yang terletak di antara kedua tingkat tersebut dinamakan dengan zona
perkembangan proksimal (Zone of Proximal Development). Dalam zona ini anak
berada dalam proses perkembangan dalam proses perkembangan mereka perlu
16 tersebut (Santrock, 2014: 57). Dalam zona ini, pembelajaran terjadi dengan
optimal jika didukung dengan suatu perancah (scaffolding). Perancah (scaffolding)
sendiri ialah teknik yang digunakan oleh pendidik untuk membangun sebuah
jembatan bantuan sementara yang diberikan kepada anak antara hal yang sudah
diketahui anak dengan apa yang seharusnya anak ketahui. Scaffolding dapat
dilakukan dengan melibatkan aktivitas sosial atau kelompok sehingga mampu
memberikan rangsangan sosial bagi anak yang dapat memungkinkan terjadinya
perkembangan (Salkind, 2009: 381). Berikut ini adalah gambar zona
perkembangan menurut Vygotsky adalah sebagai berikut.
(Sumber : http://zakysa.blogspot.com/2013/03/bingung-sedihdan-hilang-semangat.html) Gambar 2. 2Zona Perkembangan Kognitif
2.1.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang
mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang
mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademik (Davidson &
Warsham, dalam Isjoni, 2013: 28). Pembelajaran kooperatif adalah model
pembelajaran kelompok yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar di mana
siswa sentris, humanistik, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan
siswa dan lingkungan belajarnya (Djahri, dalam Wahyuni, 2016:38). Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut, dapat ditegaskan bahwa model pembelajaran
kooperatif merupakan pengajaran kepada siswa di mana guru menetapkan tugas
dan pertanyaan serta bahan informasi yang direncanakan oleh siswa yang bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya
17 Model pembelajaran kooperatif memiliki banyak tipe diantaranya Jigsaw,
Student Teams Achievement Division (STAD), Group Investigation (GI), Teams
Games Tournamnet (TGT), Numbered Head Together (NHT), Think Pair Share
(TPS), dan sebagainya (Trianto, 2007: 49).
1. Perspektif teoretis model pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran kooperatif memiliki perspektif teoretis yang mendasari
model pembelajaran kooperatif ini. Perspektif teoretis tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Perspektif motivasional (motivational perspective)
Perspektif motivasional berasumsi bahwa usaha-usaha kooperatif
harus berdasarkan pada penghargaan kelompok (group reward) dan
struktur tujuan (goal structure). Menurut perspektif motivasional, aktivitas
model pembelajaran kooperatif dapat menciptakan kondisi di setiap
anggota kelompok yang berkeyakinan bahwa semua anggota kelompok
tersebut bisa sukses mencapai tujuan kelompoknya hanya jika
teman-teman yang lain juga sukses mencapai tujuan tersebut. Asumsi semacam
ini tentu akan memotivasi anggota kelompok lain demi mencapai tujuan
mereka bersama-sama. Bahkan mereka dapat mendorong temannya untuk
memberikan usaha maksimal untuk mencapai tujuan tersebut (Huda, 2012:
34).
b. Perspektif kohesi sosial (social cohesion perspective)
Perspektif lain yang berhubungan dengan perspektif motivasional
adalah perspektif kohesi sosial. Perspektif ini menegaskan bahwa model
pembelajaran kooperatif hanya akan berpengaruh terhadap prestasi belajar
siswa jika dalam kelompok kooperatif terjalin suatu kohevisitas antar
anggota di dalamnya. Kohevisitas ini dapat dimaknai sebagai suatu kondisi
di mana setiap anggota kelompok saling membantu satu sama lain karena
mereka merasa peduli pada yang lain dan ingin sama-sama sukses.
Perspektif ini mirip dengan perspektif motivasional. Akan tetapi dalam
perspektif motivasional siswa tidak sepenuhnya membantu pembelajaran
teman-teman satu kelompoknya karena mereka menyadari bahwa diri
18 Sebaliknya dalam perspektif sosial siswa sepenuhnya membantu
pembelajaran tema-temannya karena mereka merasa peduli pada
kesuksesan kelompoknya (Huda, 2012: 37).
c. Perspektif kognitif (Cognitive perspective)
Perspektif kognitif berpandangan bahwa interaksi antar siswa akan
meningkatkan prestasi belajar mereka selama mereka mampu memproses
informasi secara pikiran daripada secara motivasional.
2. Unsur pembelajaran model kooperatif
Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok
bisa dianggap pembelajaran model kooperatif. Terdapat lima unsur dalam model
pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan. Lima unsur tersebut yaitu 1)
positive interdependence atau saling ketergantungan positif yang menunjukkan
bahwa dalam model pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban
kelompok. Pertama mempelajari bahan yang ditugaskan dan kedua menjamin
semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan. 2)
personal responsibility atau tanggung jawab perseorangan yang berarti kunci
untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. 3)
face to face promotion atau berarti interaksi promotif. Hal ini berarti salah satu
unsur penting karena menghasilkan saling ketergantungan positif yang memiliki
ciri saling membantu secara efektif dan efisien 4) keterampilan sosial digunakan
untuk mengoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan, 5)
pemrosesan kelompok merupakan tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan
anggota kelompok yang mana siapa diantara anggota kelompok yang sangat
membantu dan siapa yang tidak membantu (Suprijono, 2009: 58).
Adapun unsur-unsur dasar model pembelajaran kooperatif yang lain yaitu 1)
siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup
sepenanggungan bersama, 2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di
dalam kelompoknya, 3) siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam
kelompoknya memiliki tujuan yang sama, 4) siswa haruslah membagi tugas dan
tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompok, 5) siswa akan dikenakan
evaluasi atau diberikan penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua
19 keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, dan 7) siswa
diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam
kelompok kooperatif (Rusman, 2017: 300).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka unsur dalam model
pembelajaran kooperatif yaitu siswa memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri
sendiri dan juga orang lain, siswa memiliki tujuan yang sama dalam anggota
kelompoknya, siswa diberikan evaluasi atau penghargaan yang juga diberikan
untuk semua anggota, siswa memiliki keterampilan sosial untuk belajar bersama
mencapai tujuannya.
3. Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif
Ciri-ciri model model pembelajaran kooperatif adalah 1) pembelajaran secara
tim, 2) manajemen kooperatif, 3) kemauan untuk bekerja sama, 4) keterampilan
bekerja sama (Rusman, 2017: 207). Sedangkan Taniredja, dkk (2014: 59),
mengatakan ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah 1) belajar bersama
teman, 2) selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, 3) saling
mendengarkan pendapat diantara anggota kelompok, 4) belajar dari teman sendiri
dalam kelompok, 5) belajar dalam kelompok kecil, 6) produktif berbicara atau
saling mengemukakan pendapat, 7) keputusan tergantung pada siswa sendiri, dan
8) siswa menjadi aktif.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dilihat bahwa ciri-ciri model
model pembelajaran kooperatif adalah 1) pembelajaran di lakukan dalam
kelompok, 2) kelompok dibentuk dari peserta didik yang memiliki kemampuan
tinggi, sedang, dan rendah, 3) apabila memungkinkan, kelompok berasal dari ras,
budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda.
4. Manfaat model pembelajaran kooperatif
Model pembelajaran kooperatif memiliki berbagai manfaat, yaitu
meningkatkan keterampilan kognitif dan afektif siswa. Selain itu mereka juga
menjabarkan manfaat model pembelajaran kooperatif sebagai berikut. 1) siswa
akan memperoleh hasil yang maksimal, 2) siswa akan memiliki sikap harga diri
yang lebih tinggi dan memiliki motivasi yang lebih besar untuk belajar, 3) siswa
menjadi lebih peduli kepada teman-temannya, dan akan terbangun sikap
20 siswa yang memiliki latar belakang, ras, dan etnis yang berbeda (Sadker
bersaudara, dalam Huda, 2012: 66).
Manfaat model pembelajaran kooperatif diantaranya adalah 1) meningkatkan
kepekaan dan kesetiakawanan sosial, 2) memungkinkan para siswa saling belajar
mengenai sikap, keterampilan, informasi, perilaku sosial, dan
pandangan-pandangan, 3) memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial, 4)
memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen, 5)
menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri, 6) membangun persahabatan
yang dapat berlanjut hingga masa dewasa, 7) mengajarkan berbagai keterampilan
sosial untuk memelihara hubungan saling membutuhkan, 8) meningkatkan rasa
saling percaya kepada sesama, 9) meningkatkan kemampuan memandang masalah
dan situasi dari berbagai perspektif, 10) meningkatkan kesediaan menggunakan
ide orang lain yang dirasakan lebih baik, dan 11) meningkatkan kegemaran
berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis kelamin, etnis, kelas
sosial, agama, dan orientasi tugas (Sugiyanto, 2009: 43). Selain itu, menurut
Daryanto & Muljo (2012: 242) mengatakan bahwa manfaat model pembelajaran
kooperatif adalah 1) meningkatkan hasil belajar siswa, 2) dapat menerima
berbagai macam keberagaman dari teman-temannya, serta 3) pengembangan
keterampilan.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat ditegaskan bahwa model
pembelajaran kooperatif memberikan berbagai manfaat yaitu 1) meningkatkan
kemampuan kognitif siswa, 2) meningkatkan rasa persaudaraan diantara siswa dan
teman-temannya, dan 3) mengembangkan keterampilan dalam diri siswa.
2.1.1.3 Tipe Teams Games Tournament (TGT)
Teams Games Tournament (TGT) memiliki banyak kesamaan dinamika
dengan STAD tetapi menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari
penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam
mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan
menjelaskan masalah satu sama lain, tetapi waktu siswa sedang bermain dalam
game temannya tidak boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggungjawab
21 dalam TGT. Sebagian guru lebih memilih TGT karena faktor menyenangkan dan
kegiatannya, sementara yang lain memilih yang murni bersifat kooperatif saja
yaitu STAD, dan banyak juga yang mengkombinasi keduanya (Slavin, 2008 : 14).
1. Pengertian teams games tournament(TGT)
Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe model pembelajaran
kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang
beranggotakan lima sampai enam orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis
kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda (Rusman, 2017: 224).
2. Langkah-langkah tahapan model pembelajaran kooperatif tipe teams games
tournament
Dua bentuk model pembelajaran kooperatif yang paling tua dan paling
banyak diteliti adalah STAD dan TGT. STAD dan TGT memang memiliki
kemiripan, satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah STAD mengunakan
kuis-kuis individual pada akhir pelajaran sementara TGT menggunakan
game-game akademik (Slavin, 2008: 143). Berikut ini merupakan langkah-langkah
dalam teams games tournament adalah sebagai berikut :
a. Presentasi di kelas (Class presentation)
Materi diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan
pelajaran langsung atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi
bisa juga memasukkan presentasi audiovisual (Slavin, 2008: 143).
Presentasi di kelas merupakan pembelajaran langsung yang dipimpin oleh
guru. Presentasi ini dilakukan untuk menerangkan materi pelajaran yang
akan diajarkan kepada siswa oleh guru.
b. Tim (Teams)
Tim terdiri atas empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari
kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Setelah
guru selesai menyampaikan materi, tim berkumpul untuk mempelajari
lembar kegiatan atau materi lainnya. Tim ini berfungsi untuk memastikan
semua anggota tim benar-benar belajar, khususnya untuk mempersiapkan