• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) Di Kalangan Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) Di Kalangan Remaja"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLA INTERAKSI DENGAN MOTIF

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN

ZAT ADIKTIF (NAPZA) DI KALANGAN REMAJA

QANITA WINDYANGGIVA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) di Kalangan Remaja adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Qanita Windyanggiva

(3)

ABSTRAK

QANITA WINDYANGGIVA. Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) di Kalangan Remaja. Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS.

Indonesia memiliki histori cukup panjang mengenai persoalan kenakalan anak dan remaja yang kini telah memasuki titik rawan. Salah satu masalah yang mengkhawatirkan adalah kasus penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik individu dan karakteristik keluarga, pola interaksi remaja penyalahguna Napza, menganalisis motif penyalahgunaan Napza, serta menganalisis hubungan pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza. Penelitian ini menguji dua pola interaksi yang dimiliki penyalahguna Napza, yaitu pola interaksi keluarga dan pola interaksi pertemanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pola interaksi keluarga maupun pola interaksi pertemanan memiliki hubungan dengan motif penyalahgunaan Napza.

Kata kunci: Napza, pola interaksi, motif penyalahgunaan Napza

ABSTRACT

QANITA WINDYANGGIVA The Relationship between The Pattern of Interaction with The Motives of Drug Abuse among Adolescents. Supervised by DJUARA P. LUBIS.

Indonesia has a fairly long history on the issue of child and adolescent delinquency that has now entered the critical points. One of the worrying problem is the case of drug abuse (narcotics, psychotropic and addictive substances). This study aimed to describe the individual characteristics and family characteristics, patterns of interaction adolescent drug abusers, analyze motives drug abuse, as well as analyzing the interaction patterns of relationship with drug abuse patterns. This study examines two patterns of adolescent drug abusers, there are the family interaction patterns and friendship interaction pattern. The results showed that both family interaction patterns and interaction patterns of friendship has a relationship with drug abuse patterns.

(4)

HUBUNGAN POLA INTERAKSI DENGAN MOTIF

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN

ZAT ADIKTIF (NAPZA) DI KALANGAN REMAJA

QANITA WINDYANGGIVA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) Di Kalangan Remaja

Nama : Qanita Windyanggiva NIM : I34100042

Disetujui oleh

Dr Ir Djuara P. Lubis, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan anugerah-Nya serta kesempatan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya. Skripsi yang berjudul “Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) di Kalangan Remaja” ini mengupas tentang hubungan pola interaksi yang terjalin di kalangan remaja dengan motif remaja tersebut manyalahgunakan Napza.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Djuara P. Lubis, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian Skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada Ibu Novarita Dwi Suryani dan Bapak Dwi Windu Suryono selaku orangtua tercinta serta Akhmad Steivano dan Rury Narulita Septari selaku kakak tersayang, yang selalu memberikan saran, masukan, dukungan dan doa yang sangat bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman suka duka dan seperjuangan, Aufa, Chaca, Debby, Echa, Fifi, Jihan, Mutia, Raissa, dan Uty yang telah memberikan dukungan, saran, dan ide-ide sehingga memberikan pencerahan kepada penulis dalam penulisan Skripsi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ghulam Halim Furqoni yang selalu menyuguhkan waktunya untuk membantu penulis, Andika Sefri Mulya, Ka Jabbar, Ka Ochi, Eben, Ka Herna, dan Ijal yang selalu memberikan support dalam penulisan Skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada mahasiswa Departemen SKPM seluruh angkatan, khususnya SKPM 47, yang selalu menemani dalam proses perkuliahan selama beberapa tahun ini dan memberikan pelajaran bermakna kepada penulis. Tidak lupa terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman HIMASIERA, khususnya divisi Broadcast, teman-teman UKM MAX!! IPB, dan komunitas Stand Up Indo Bogor yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2014

(7)

DAFTAR ISI

Penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) 6

Pola Interaksi 8

Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Keluarga 8 Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Lingkungan Pertemanan 9

Motif 12

Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza 13

Kerangka Pemikiran 15

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 19

Teknik Pengumpulan Data 20

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 20

GAMBARAN UMUM 23

Profil Rumah Singgah PEKA 23

Program Rumah Singgah PEKA 24

Struktur Organisasi 26

POLA INTERAKSI PENYALAHGUNA NAPZA DAN HUBUNGANNYA

DENGAN KARAKTERISTIK INTERNAL 33

Pola Interaksi 34

Pola Interaksi Keluarga 34

Hubungan Karakteristik Individu dan Karakteristik Keluarga dengan Pola

Interaksi Keluarga 35

(8)

Hubungan Status Pernikahan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga 42 Hubungan Tingkat Pendidikan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga 43 Hubungan Tingkat Penerimaan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga 45

Pola Interaksi Pertemanan 46

Hubungan Karakteristik Individu dan Karakteristik Keluarga dengan Pola

Interaksi Pertemanan 47

Hubungan Usia dengan Pola Interaksi Pertemanan 48 Hubungan Jenis Kelamin dengan Pola Interaksi Pertemanan 49 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pola Interaksi Pertemanan 50 Hubungan Status Pekerjaan dengan Pola Interaksi Pertemanan 51 Hubungan Tingkat Penerimaan dengan Pola Interaksi Pertemanan 52 Hubungan Status Pernikahan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan 53 Hubungan Tingkat Pendidikan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan 54 Hubungan Tingkat Penerimaan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan 56 MOTIF PENYALAHGUNAAN NAPZA DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA

INTERAKSI 58

Motif Penyalahgunaan Napza 58

Motif Organismis Penyalahgunaan Napza 58

Motif Sosial Penyalahgunaan Napza 59

Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza 60 Hubungan Pola Interaksi Keluarga dengan Motif Organismis Penyalahgunaan

Napza 61

Hubungan Pola Interaksi Keluarga dengan Motif Sosial Penyalahgunaan Napza 63 Hubungan Pola Interaksi Pertemanan dengan Motif Organismis Penyalahgunaan

Napza 64

Hubungan Pola Interaksi Pertemanan dengan Motif Sosial Penyalahgunaan Napza 66

PENUTUP 68

Simpulan 68

Saran 69

DAFTAR PUSTAKA 70

LAMPIRAN 72

(9)

DAFTAR TABEL

1 Pola interaksi dan motif penyalahgunaan Napza 13 2 Kriteria pengukuran korelasi 21 3 Karakteristik individu dan karakteristik keluarga responden

penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

28

4 Jumlah dan persentase responden menurut pola interaksi keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

33

5 Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil pengujian korelasi antara karakteristik internal dengan pola interaksi keluarga responden penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

34

6 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut usia responden penyalahguna Napza di di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

35

7 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut jenis kelamin penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

37

8 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat pendidikan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

37

9 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut status pekerjaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

38

10 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat penerimaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

39

11 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut status pernikahan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

41

12 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat pendidikan ayah penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

42

13 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat pendidikan ibu penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

43

14 Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat penerimaan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

44

15 Jumlah dan persentase responden menurut pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

45

16 Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil pengujian korelasi antara karakteristik internal dengan pola interaksi pertemaanan responden penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

46

17 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut usia responden, Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

47

18 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut jenis kelamin penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

48

19 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat pendidikan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

49

20 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut status pekerjaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

(10)

penerimaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 22 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut status

pernikahan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

52

23 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat pendidikan ayah penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

53

24 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat pendidikan ibu penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

54

25 Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat penerimaan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

55

26 Jumlah dan persentase responden menurut motif organismis Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

57

27 Jumlah dan persentase responden menurut motif sosial, Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

58

28 Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil pengujian korelasi antara pola interaksi penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

60

29 Jumlah dan persentase motif organismis menurut pola interaksi keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

61

30 Jumlah dan persentase motif sosial menurut pola interaksi keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

62

31 Jumlah dan persentase motif organismis menurut pola interaksi

pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013 63

32 Jumlah dan persentase motif sosial menurut pola interaksi pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

65

DAFTAR LAMPIRAN

(11)
(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Globalisasi bukan hanya membawa dampak positif, namun juga dampak negatif berupa munculnya masalah-masalah sosial. Berbagai masalah sosial yang melanda masyarakat Indonesia sejak abad 20 hingga saat ini berdampak pada munculnya krisis pada semua aspek kehidupan manusia. Lesile dalam Hurlock (1980) mengemukakan batasan mengenai masalah sosial sebagai suatu kondisi yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat sebagai sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai.

Nasution dan Nashori (2007) mengkategorikan masalah-masalah sosial ke dalam beberapa kategori, yaitu (a) problema ekonomis berupa kemiskinan dan pengangguran, (b) problema biologis berupa timbulnya berbagai penyakit, (c) problema biopsikologis seperti kegilaan, stres, bunuh diri, dan penyakit saraf, serta (d) problema kebudayaan antara lain perceraian, kejahatan dan kenakalan anak dan remaja. Stark dalam Santrock (2012) membagi masalah sosial menjadi tiga macam, yaitu konflik dan kesenjangan, perilaku menyimpang, serta perkembangan manusia. Sarwono (2002) mengungkapkan perilaku menyimpang (deviation) adalah semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga, dan lain-lain), namun jika penyimpangan itu terjadi terhadap norma-norma hukum pidana hal ini dapat disebut sebagai kenakalan (deliquent).

Di Indonesia persoalan kenakalan anak dan remaja telah memasuki titik rawan. Selain intensitasnya meningkat, kenakalan anak dan remaja sudah mengarah ke kenakalan yang bersinggungan dengan perbuatan kriminal. Anak dan remaja usia belasan tahun telah terlibat tidak hanya dalam kasus-kasus perkelahian dan minum-minuman keras, tetapi juga kasus pencurian, perampokan, perusakan atau pembakaran, seks bebas, bahkan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif berbahaya atau Napza.

(13)

Menurut Convention on the Rights of the Child (CRC) yang juga disepakati Indonesia pada tahun 1989, setiap anak berhak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi, termasuk HIV/AIDS dan Napza serta dilindungi secara fisik maupun mental. Realita yang terjadi saat ini bertentangan dengan kesepakatan tersebut, karena telah ditemukannya anak usia tujuh tahun yang mengonsumsi Napza jenis inhalan (uap yang dihirup). Anak usia delapan tahun sudah memakai ganja. Kemudian, di usia sepuluh tahun anak-anak menggunakan Napza dari beragam jenis, seperti inhalan, ganja, heroin, morfin, ekstasi, dan sebagainya.

Masyarakat di sejumlah kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Bogor, harus meningkatkan kewaspadaannya terhadap ancaman penyalahgunaan Napza. Berdasarkan data Polisi Resort Kota (Polresta) Bogor pada tahun 2007 penyalahgunaan Napza di Kota Bogor tercatat sebanyak 133 kasus dan meningkat di tahun 2008 menjadi 144 kasus. Adapun jenis penyalahgunaan Napza yang terbesar adalah narkotika jenis heroin/putaw dan cara penggunaannya banyak yang disuntikkan ke dalam intravena. Jumlah pengguna Napza suntik di Kota Bogor, hingga Januari 2009 mencapai 4590 orang. Namun ternyata tidak hanya masyarakat di kota-kota besar yang harus mewaspadai ancaman penyalahgunaan Napza, Badan Narkotika Nasional pada tahun 2008 mencatatat bahwa Napza sudah memasuki wilayah pedesaan sehingga diperlukan upaya penyalahgunaan Napza.

Mayoritas para pencandu Napza berusia antara 11 sampai 24 tahun. Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau usia pelajar. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus pemakaian Napza oleh pelaku dengan tingkat pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.305. Penyebaran Napza menjadi semakin mudah karena anak-anak usia SD juga sudah mulai mencoba mengisap rokok. Tidak jarang para pengedar Napza menyusupkan zat-zat adiktif (zat yang menimbulkan efek kecanduan) ke dalam lintingan tembakaunya.

Menurut hasil penelitian Siregar (2004), penyalahgunaan Napza di usia produktif atau remaja diduga dipengaruhi oleh karakteristik individu dan lingkungan sekitar, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan pertemanannya. Jensen dalam Sarwono (2002) menerangkan asal mula kenakalan remaja dengan menggolongkannya ke dalam teori sosiogenik, yaitu teori yang mencoba mencari sumber penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Usia relatif muda para pecandu Napza (remaja) yang merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang dan kenakalan ini membuatnya mudah terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Pada umumnya remaja-remaja saat ini lebih mengedepankan hubungan pertemanan dibandingkan hubungan dalam keluarga. Hal tersebut kemudian mempengaruhi pola interaksi yang tercipta, baik pola interaksi dengan keluarganya maupun pola interaksi dengan teman sepermainannya.

(14)

positif, kasih sayang yang memadai dan kedekatan emosional yang positif. Semua dukungan positif tersebut akan membentuk harga diri anak menjadi positif juga.

Semakin meningkatnya jumlah penyalahguna Napza melahirkan Rumah Singgah PEKA yang berdiri untuk menyelesaikan segala problematika dari penyalahgunaan Napza, baik mengenai masalah ketergantungan Napza hingga masalah-masalah psikologis dan sosial yang dirasakan penyalahgunanya. Rumah Singgah PEKA Bogor memilih berdiri sebagai rumah rehabilitasi non profit berbasis komunitas anti Napza. Rumah rehabilitasi non profit ditujukan untuk penyalahguna Napza yang ingin sembuh namun tidak memiliki biaya atau berada dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah dari berbagai daerah bahkan daerah pelosok negeri ini. Basis komunitas anti Napza membuat siapapun yang masuk ke dalamnya menjadi lebih dekat dan memiliki visi misi yang sama. Berdasarkan uraian di atas, hubungan pola interaksi, baik dalam lingkungan keluarga maupun pertemanan, dengan motif dari penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif khususnya di kalangan remaja dirasa relevan untuk dikaji dalam penelitian ini dengan memilih Rumah Singgah PEKA sebagai tempat dilakukannya studi kasus.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dibangun beberapa masalah penelitian yang dapat dirumuskan oleh pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Bagaimana karakteristik individu dan karakteristik keluarga penyalahguna Napza?

2. Bagaimana pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna Napza?

3. Bagaimana hubungan karakteristik individu dan karakteristik keluarga dengan pola interaksi remaja penyalahguna Napza di kalangan remaja? 4. Apa motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja?

5. Bagaimana hubungan pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan karakteristik individu dan karakteristik keluarga penyalahguna Napza.

2. Mendeskripsikan pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna Napza.

3. Menganalisis hubungan karakteristik individu dan karakteristik keluarga dengan pola interaksi remaja penyalahguna Napza.

4. Menganalisis motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja.

(15)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna Napza dan melihat hubungan antara pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja. Secara lebih khusus, penelitian ini akan bermanfaat bagi beberapa pihak, yakni:

1. Bagi akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang sejenis. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan dari penelitian ini.

2. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mengetahui pola interaksi yang berkembang di kalangan remaja saat ini dan motif-motif penyalahgunaan Napza pada remaja serta hubungan diantara keduanya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebuah penilaian masyarakat mengenai kemungkinan penyalahgunaan Napza pada remaja dan motif yang melatarbelakanginya, khususnya pada remaja Bogor sehingga masyarakat dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengarah kepada tindakan penyalahgunaan Napza.

3. Bagi instansi terkait

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari bahasa latin “adolescere” (kata bendanya, adolescence yang berarti remaja) yang berarti

“tumbuh menjadi dewasa”. WHO memberikan definisi mengenai remaja yang

lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Secara lengkap definisi remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual, masa dimana individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identidikasi dari anak-anak menjadi dewasa, serta masa dimana terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Sarwono (2002) menyatakan batasan remaja di Indonesia yang mendekati batasan PBB tentang pemuda yaitu dalam kurun usia 15-24 tahun. Hurlock (1980) membagi periode masa remaja ke dalam tiga bagian, yaitu masa remaja awal pada umur 10 atau 12 tahun sampai 14 tahun, masa remaja tengah umur 13 atau 14 tahun sampai 17 tahun, dan masa remaja akhir pada umur 17-21 tahun. Menurut Santrock (2012), sebagian besar ahli mengklasifikasikan remaja menjadi dua tahapan, yaitu remaja awal dan remaja akhir. Remaja awal merupakan mereka yang tergolong dalam kategori usia 15-19 tahun, sedangkan remaja akhir 20-24 tahun.

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mengandung perubahan besar baik fisik, kognitif, dan psikososial yang saling bertautan dalam semua ranah perkembangan. Pada fase ini, remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberikan dampak, baik pada bentuk fisik maupun psikis (Hurlock 1980).

Menurut Erick Erickson (2007) yang dikutip oleh Santrock, masa remaja adalah masa terjadinya kritis identitas atau pencarian identitas diri. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Hurlock (1980) mengemukakan masa

storm and stress dialami remaja pada umumnya, dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan psikis yang bervariasi.

Perilaku Menyimpang

(17)

label kenakalan remaja (juvenille delinquent), yaitu remaja yang melanggar hukum atau terlibat dalam perilaku yang dianggap ilegal.

Anggara (2012) mengemukakan jenis perilaku menyimpang terbagi menjadi penyimpangan primer dan sekunder. Penyimpangan primer adalah suatu pelanggaran atau penyimpangan yang bersifat sementara (temporer), sehingga individu yang melakukan penyimpangan tersebut masih dapat diterima oleh kelompok sosialnya, sebab pelanggaran terhadap norma-norma umum tidak berlangsung secara terus-menerus. Sementara penyimpangan sekunder adalah penyimpangan sosial yang nyata dan sering dilakukan sehingga menimbulkan akibat yang cukup parah dan mengganggu orang lain.

Merton yang dikutip oleh Anggara (2012) menyebutkan bahwa penyimpangan terjadi melalui struktur sosial. Menurut Merton struktur sosial dapat menghasilkan perilaku yang konformis (sesuai dengan norma) dan sekaligus perilaku yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan. Merton berpendapat bahwa struktur sosial menghasilkan tekanan kearah anomie dan perilaku menyimpang karena adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Sarwono (2010), perilaku menyimpang dikatagorikan ke dalam beberapa sektor yaitu DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder), Psikopat, Penyalahgunaan Napza, Gangguan seksual, dan Psikoterapi.

Penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif)

Istilah “Narkotika” berasal dari kata Yunani “narkoosis” yang

dikemukakan oleh Bapak Ilmu Kedokteran, Hipokrates, untuk zat-zat yang menimbulkan mati rasa atau rasa lumpuh. Penyalahgunaan Napza dapat menyebabkan ketergantungan dan kecanduan. Ketergantungan menurut Sarwono (2009) adalah jika ambang toleransi orang yang bersangkutan terhadap zat-zat berbahaya tersebut semakin tinggi, sehingga kebutuhan pemakaiannya semakin besar, dan orang tersebut tidak dapat dengan mudah menghentikan pemakaian zat tersebut dengan tiba-tiba, tetapi masih bisa dihentikan dengan cara-cara tertentu atau bertahap. Contohnya seperti ketergantungan pada rokok atau tembakau. Sementara Adiksi adalah jika zat-zat berbahaya mempengaruhi tubuh sedemikian rupa sehingga tanpa zat tersebut tubuh tidak dapat berfungsi normal, bahkan timbul rasa sakit yang luar biasa (sakau). Selain itu alcoholism (kecanduan alkohol juga termasuk dalam penyalahgunaan Napza. Menurut Sarwono (2009) kecanduan alkohol dapat menyebabkan kebangkrutan ekonomi dan sosial, seperti rumah tangga hancur, di PHK, terlibat Kriminal, dan sebagainya.

Sarwono (2002) dan Anggara (2012) menyebutkan beberapa nama dan jenis Napza yang populer bagi para penguna Napza, antara lain yaitu:

1. Tembakau

Didalam tembakau terdapat racun nikotin keras yang dapat merangsang susunan saraf sehingga menimbulkan ketagihan. Selain nikotin, dalam tembakau juga terdapat tar yaitu zat yang dapat mengakibatkan penyakit kanker paru-paru.

2. Candu/madat atau Opium

(18)

Selatan. Buahnya memiliki getah dan getah tersebut yang kemudian dihisap dan dijadikan sebagai candu. Narkotika jenis ini dinikmati menggunakan pipa hisapan.

3. Morfin

Morfin adalah zat yang didapat dari candu. Morfin ditemukan oleh Setumur berkewarganegaraan Jerman pada tahun 1805. Melalui proses kimia, morfin dijadikan sebagai zat yang berfungsi menenangkan sistem urat saraf. Morfin yang berbentuk tepung licin dan halus keputih-putihan atau kuning ini sangat berbahaya karena dapat melemahkan denyut jantung dan tubuh.

4. LSD (Lusergic Acid Diethylamide)

LSD ditemukan oleh dokter berkewarganegaraan Jerman yang bernama Dr. Albert Hoffman. LSD dapat menimbulkan halusinasi atau bayangan dengan berbagai macam khayalan.

5. Alkohol

Alkohol apabila diminum pada awalnya menimbulkan perasaan riang gembira dan banyak berbicara, namun lama-kelamaan tingkat kesadaran menjadi menurun dan keseimbangan badan terganggu hingga mabuk. Pemakaian alkohol secara berlebihan dapat menyebabkan kelumpuhan karena radang saraf yang diakibatkan oleh pemakaian alkohol bersifat menimbulkan gangguan susunan saraf.

6. Ganja atau Mariyuana

Ganja berasal dari tanaman bernama Canabis sativa. Tumbuhan tersebut banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis dan tergolong tumbuhan semak. Pemakaian ganja dilakukan dengan mengambil daun yang diiris-iris dan dikeringkan seperti tembakau.

7. Shabu shabu

Shabu shabu adalah heroin kelas 2 yang dihisap dengan menggunakan suatu alat khusus.

8. Ecstasy/Metamphenis

Ecstasy/Metamphenis adalah salah satu jenis Napza dalam bentuk pil yang mengakibatkan kondisi tubuh memburuk dan tekanan darah semakin tinggi. Gejalanya adalah suka bicara, rasa cemas dan gelisah, tak dapat duduk dengan tenang, denyut nadi terasa cepat, kulit panas dan bibir hitam, tak dapat tidur, bernapas dengan cepat, serta tangan dan jari selalu bergetar.

9. Putaw

Putau termasuk dalam heroin kelas 5 atau 6 yang merupakan ampas heroin. Pemakaian putaw adalah dengan cara dibakar dan dihisap asapnya.

10. Kokain

Kokain berasal dari tumbuhan Erythroxylon coca. Dan termasuk golongan semak dengan ketinggian 2 meter. Serbuk kokain berwarna putih dengan rasa pahit yang berfungsi sebagai obat pembius sehingga sering digunakan pada proses pembedahan (operasi).

(19)

juga dikarenakan penggunaan ganja yang tidak terlalu berbahaya bagi jiwa dan syaraf pemakai.

Pola Interaksi

Steward dalam Fisher (1986) menungkapkan bahwa interaksi digunakan untuk menyatakan komunikasi “dua-arah”. Sementara itu, Sarwono (2009) menyebutkan hubungan manusia dengan manusia lainnya, atau hubungan manusia dengan kelompok, atau hubungan kelompok dengan kelompok merupakan interaksi sosial. Interaksi sebagai komunikasi dua arah mempunyai sistem umpan balik yang tetap (built-in system of feed back), yang memungkinkan komunikator mendapat umpan-balik atas pesan yang disampaikan.

Bungin yang dikutip oleh Harahap (2008) mengungkapkan proses interaksi terjadi apabila ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respon balik terhadap pesan dari pengirim. Prosesnya bisa berlangsung dua arah (two-way) maupun proses peredaran atau perputaran arah (cyclical process). Dalam proses interaksi setiap partisipasi memiliki peran ganda, dimana dalam satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain bertindak sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya. Menurut Tunner dkk (1982) dalam Fisher (1986) orang-orang yang saling berinteraksi akan mengembangkan aneka ragam hubungan peran yang kemudian memunculkan corak yang tetap dalam interaksi sosial, hal inilah yang kemudian membentuk pola interaksi.

Pola interaksi dapat diamati dengan melihat bagaimana interaksi individu di dalam keluarganya maupun di dalam lingkungan pertemanannya. Pola interaksi yang terbentuk pun akan bermacam-macam. Pola interaksi dapat digolongkan ke dalam kategori rendah dan tinggi dilihat dari frekuensi interaksi dan isi interaksi di dalamnya. Frekuensi menyatakan seberapa sering seseorang berinteraksi baik dengan keluarganya maupun dalam lingkungan pertemanannya. Jenis komunikasi pun berpengaruh dalam pola interaksi yang terbagi menjadi komunikasi langsung (tatap muka) dan komunikasi tidak langsung.

Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Keluarga

(20)

Menurut Mc Leod yang dikutip oleh Yuli (1995), pola interaksi dalam keluarga terbagi menjadi empat, yaitu pola interaksi demokratis, pola interaksi

protektif, pola interaksi laissez faire, dan pola interaksi otoriter. Pola interaksi

demokratis adalah keadaan dimana di dalam pola ini baik anak maupun orang tua mempunyai pengertian yang sama tentang peran yang diharapkan dari masing-masing pihak dalam kehidupan keluarga. Figur orang tua dalam pola interaksi ini menjadi model peran maupun panutan bagi anak. Pola berikutnya adalah pola interaksi protektif, pada pola ini orang tua cenderung melihat anak sebagai pribadi yang harus dilindungi dan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa campur tangan orangtuanya. Akibatnya anak menjadi tidak berkembang kemandiriannya dan selalu bergantung pada dukungan orang tua. Pola interaksi laissez faire

menunjukkan baik anak maupun orang tua tidak peduli akan apa yang dilakukan masing-masing sejauh kepentingan mereka tidak saling berbenturan. Di mata anak, orang tua semacam ini adalah figur fisik yang melahirkan namun bukan figur psikologis yang memberi kehangatan. Pola interaksi yang terakhir adalah pola interaksi otoriter, dalam pola ini anak dianggap orang tua sebagai pihak yang harus tunduk kepada perintah orang tua. Keterikatan orang tua dan anak tidak didasari rasa hormat atau menghargai tetapi rasa takut karena orang tua dianggap sebagai figur yang menumbuhkan rasa takut bukan rasa aman.

Pola interaksi yang digolongkan ke dala empat kategori tersebut kemudian dapat dianalisis dengan menghubungkannya dengan hasil penelitiam Siregar (2004), Septiart (2002), Sugiharto (2008), dan Mardiah (1999). Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan kecenderungan pola interaksi keluarga yang tingi terdapat pada jenis pola interaksi keluarga demokratis. Sementara untuk jenis pola interaksi kelurga protektif, laissez faire, dan otoriter yang tinggi memiliki kecenderungan menghasilkan pola interaksi keluarga yang rendah.

Hasil penelitian Harahap (2008) menyimpulkan bahwa pola komunikasi dan sistem keluarga sangat mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap penyalahgunaan Napza. Sistem keluarga dewasa ini lebih condong ke dalam keluarga yang enmeshed (kaku), separated (terpisah), disangeged (tercerai berai) sehingga menimbulkan keinginan seseorang mencari tempat dan kelompok baru yang dapat memenuhi kebutuhan dirinya, khususnya kebutuhan psikologis dan sosialnya. Hal ini juga menunjukkan pola komunikasi keluarga yang rendah atau kurang baik dapat memicu penyalahgunaan Napza pada remaja. Siregar (2004) dalam penelitiannya mengungkapkan penyebab penyalahgunaan Napza antara lain adalah sebagai tindakan menentang orang tua. Kondisi sebagian besar keluarga responden penelitian ini dirasa masih kurang mampu mendidik anaknya dengan baik terlihat dari beberapa sifat orang tua responden yang sering bersuara keras, emosi, kurang sabar, dingin dan acuh tak acuh. Hasil penelitian ini merujuk pada keluarga dengan pola interaksi otoriter.

Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Lingkungan Pertemanan

(21)

Memiliki relasi positif di masa kanak-kanak pertengahan dan akhir tidak hanya memberikan hasil yang positif di masa itu tetapi juga terkait dengan relasi yang positif di masa remaja dan dewasa. Relasi positif ini didapat melalui pola interaksi yang positif pula. Namun kenyataannya di era globalisasi saat ini kebanyakan relasi yang terbentuk di dalam interaksi dengan teman sepermainan adalah relasi negatif. Terlihat dari munculnya perkelahian antar siswa, munculnya kelompok pertemanan yang bersama-sama mencoba minuman beralkohol, mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya.

Menurut hasil penelitian Rubin, Bukowski, dan Parker dalam Santrock (2012) semakin bertambah usia seseorang, ukuran kelompoknya menjadi bertambah besar dan pemantauan dari orang dewasa terhadap teman sepermainan berkurang. Seperti yang terlihat dalam penelitian Indiyah (2005) yang menyatakan bahwa kelompok teman bermain dianggap paling penting dibanding apapun. Pembuktian diri pun terjadi dalam kelompok ini. Menurut hasil penelitian Puspitawati (2006), solidaritas sangat dijunjung tinggi oleh kelompok teman bermain. Apapun akan dilakukan demi menjaga kelompok ini dan anggota kelompok biasanya sangat mempertahankan posisinya di dalam kelompok bermainnya.

Para ahli perkembangan Wentzel dan Asher dalam Santrock (2012) membedakan lima status kawan sebaya yang dihasilkan dari interaksi dengan teman sepermainannya, yaitu:

1. Anak-anak yang populer (popular children)

Merupakan kawan yang sering dipilih sebagai sahabat dan jarang tidak disukai oleh kawan sebayanya.

2. Anak yang rata-rata (avarage children)

Anak-anak yang memperoleh angka rata-rata untuk dipilih secara positif maupun negatif oleh kawan-kawannya.

3. Anak yang diabaikan (neglected children)

Anak-anak yang jarang dipilih sebagai sahabat namun bukan karena tidak disukai oleh kawan sebayanya.

4. Anak yang ditolak (rejected children)

Anak-anak yang dipilih sebagai kawan terbaik atau sahabat oleh seseorang dan secara aktif tidak disukai oleh kawan-kawannya.

5. Anak yang kontroversial

Anak yang sering dipilih sebagai kawan terbaik seseorang namun umumnya tidak disukai oleh kawan sebayanya.

(22)

Coie dalam Santrock (2012) mengungkapkan alasan mengapa anak yang agresif dan ditolak kawan sebayanya memiliki masalah dalam relasi sosialnya. Pertama, anak yang ditolak dan agresif cenderung lebih impulsif dan memiliki masalah dalam mempertahankan atensi dan akibatnya mereka cenderung mengganggu aktivitas yang sedang berlangsung di kelas dan dalam kegiatan berkelompok. Kedua, anak yang ditolak dan agresif cenderung lebih reaktif secara emosi. Mereka lebih mudah marah dan mungkin lebih sukar tenang sesudahnya, kemudian mereka menjadi lebih mudah marah dan melakukan penyerangan baik secara fisik maupun verbal. Ketiga, anak-anak yang ditolak kurang memiliki keterampilan sosial yang diperlukan untuk berkawan dan mempertahankan relasi yang positif dengan kawan sebaya. Ketiga alasan ini terbukti benar dan diperkuat oleh hasil penelitian Indiyah (2005) yang mengungkapkan bahwa seseorang melakukan penyalahgunaan Napza akibat hubungan dalam lingkungan masyarakatnya kurang harmonis. Hal ini ditunjukkan dengan sikap masyarakat di sekitarnya yang kurang bersahabat.

Menurut Hurlock (1980) ketika seseorang memasuki usia remaja, ia akan menghabiskan lebih banyak waktunya bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, sehingga dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui apabila ingin diterima di suatu kelompok maka ia harus melakukan apa yang biasa dilakukan oleh anggota kelompok tersebut, termasuk dalam mencoba mengkonsumsi minuman beralkohol, obat-obatan terlarang atau rokok. Remaja cenderung mengikuti kebiasaan kelompoknya tersebut tanpa mempedulikan perasaan mereka sendiri. Hal ini kemudian memunculkan minat sosial. Minat sosial yang muncul pada remaja bergantung pada kesempatan yang diperoleh remaja tersebut untuk mengembangkan minatnya dalam kelompok.

Menurut Berk dalam Ruhidawati (2005), kelompok teman sebaya merupakan bentuk-bentuk kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai uik dan memiliki standar perilaku dengan struktur sosial serta terdapat pemimpin dan yang dipimpin. Bentuk-bentuk teman sebaya menurut Martin dan Stendler dalam Ruhidawati (2005) yaitu:

1. Bentuk Good Kid atau dikenal dengan sebutan remaja kutu buku, remaja yang termasuk kepada kelompok ini adalah remaja yang datang ke sekolah hanya untuk belajar.

2. Bentuk Elite, merupakan bentuk kelompok teman sebaya yang dipimpin oleh orang dewasa. Pada kelompok ini, selain melakukan kegiatan sekolah, remaja juga melakukan kegiatan di luar sekolah.

3. Bentuk Gank, merupakan bentuk kelompok teman sebaya yang dibentuk dan dipimpin oleh remaja itu sendiri, biasanya pada kelompok ini remaja tidak menyenangi aktivitas yang berkaitan dengan sekolah sehingga mereka terkadang melakukan aktivitas yang bertentangan dengan kepentingan umum/sosial.

(23)

Merujuk pada penelitian Indiyah (2005) pada umumnya faktor penyebab subjek melakukan penyalahgunaan narkoba cenderung positif disebabkan faktor individu sebagai anggota gang dan identitas remaja. Yaitu, adanya kecenderungan subjek memegang peran dalam kelompok bergaul, kecenderungan subjek berkorban untuk kelompoknya, kecenderungan subjek ingin terpandang dalam kelompoknya, kecenderungan subjek takut dikeluarkan dari anggota kelompok, dan kecenderungan subjek menggunakan narkoba dibenarkan kelompoknya. Hasil penelitian Jaji (2009) mengungkapkan pengaruh teman sebaya terhadap penyalahgunaan Napza, pada umumnya penyalahgunaan ini karena dikenalkan oleh teman, dan mengonsumsinya pun bersama-sama antara 3-5 orang. Perilaku penyalahgunaan Napza pada remaja juga akibat sosialisasi atau interaksi remaja dengan lingkungannya.

Motif

Motif, atau dalam bahasa Inggris “motive”, berasal dari kata movere atau

motion, yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Motif dalam psikologi berarti juga rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu perbuatan (action) atau perilaku (behavior). Menurut Sarwono (2009) motif adalah instansi terakhir bagi terjadinya perilaku. Meskipun ada kebutuhan misalnya, tetapi kebutuhan tersebut tidak menciptakan motif, maka tidak akan terjadi perilaku. Hal ini disebabkan karena motif tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor diri individu, seperti faktor-faktor biologis, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan kebudayaan. Rakhmat (2001) menyebutkan terdapat motif sosiogenis yang sering juga disebut motif sekunder sebagai lawan dari motif primer (motif biologis). Peranan motif sosiogenis dalam membentuk perilaku sosial sangat menentukan, sehingga muncul berbagai klasifikasi dari motif sosiogenis, salah satunya klasifikasi motif sosiogenis menurut Melvin H. Marx.

Marx dalam Rakhmat (2001) mengklasifikasi motif sosiogenis menjadi sebagai berikut:

1. Motif-motif Organismis - Motif ingin tahu (curiosity)

Motif ini mengacu pada keinginan untuk mengerti, menata, dan menduga. Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya. Seseorang memerlukan kerangka rujukan (frame of reference) untuk mengevaluasi situasi baru dan mengarahkan tindakan yang sesuai.

- Motif kompetensi (competence)

Motif ini mengacu kepada keinginan setiap orang untuk membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apapun. Perasaan mampu amat bergantung pada perkembangan intelektual, sosial, dan emosional. - Motif prestasi (achievement)

Motif ini menjelaskan bahwa seseorang tidak hanya mempertahankan kehidupan, namun juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan dan juga ingin memenuhi potensi-potensi dirinya.

2. Motif-motif Sosial

- Motif kasih sayang (affiliation)

(24)

anggota sukarela. Kehangatan persahabatan, ketulusan kasih sayang, penerimaan orang lain yang hangat amat dibutuhkan manusia.

- Motif kekuasaan (power)

Motif ini menjelaskan tentang keinginan seseorang untuk mendominasi orang lain. Keinginan mendominasi ini berkaitan dengan keinginan diakui di lingkungan sosialnya.

- Motif kebebasan (independence)

Motif ini menjelaskan keinginan seseorang untuk lepas dari keadaan dimana dirinya diatur atau keadaan yang mengganggunya.

Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza

Tabel 1 Pola interaksi dan motif penyalahgunaan Napza

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata pola interaksi keluarga yang terbentuk dalam keluarga penyalahguna Napza adalah pola interaksi Otoriter dan Laissez Faire. Pola interaksi keluarga Otoriter dikemukakan dalam penelitian Siregar (2004), Indiyah (2005), dan Mardiah (1999). Berdasarkan hasil

penelitian-No Peneliti/ Tahun

Pola Interaksi

Penyalahguna Napza Motif Penyalahgunaan Napza

(25)

penelitian tersebut sebagian besar orang tua masih suka bersuara keras, emosi, kurang sabar, dan dingin terhadap anak-anaknya. Berdasarkan hasil penelitian Septiart (2002) pola interaksi keluarga yang ditemukan adalah pola interaksi Laissez Faire. Keluarga cenderung acuh tak acuh dan kurang peduli terhadap anggota keluarga lainnya ditunjukkan dengan orang tua yang tidak menjalankan fungsi kontrol terhadap anak-anaknya. Gabungan pola interaksi Otoriter dan Laissez Faire juga ditemukan dalam penelitian Puspitawati (2006), Harahap (2008), Sulistyorini (2008), dan Mahali (2004). Sementara pola interaksi pertemanan dalam Tabel 1 menunjukkan sebagian besar pola yang terbentuk pada penyalahguna Napza adalah hubungan dalam kelompok yang menyebabkan anggota kelompoknya mudah terpengaruh pada ajakan-ajakan temannya. Individu cenderung merupakan anggota kelompok (gang) yang mengedepankan solidaritas pertemanan.

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa rata-rata motif penyalahgunaan Napza adalah motif kasih sayang. Hal ini dikarenakan para pengguna Napza merasakan kesepian dan kurang mendapatkan perhatian dari keluarga serta orang-orang terdekatnya, sehingga Ia akan mencari kelompok baru yang dapat memberikan perhatian serta kasih sayang yang diinginkannya. Namun pada kenyataannya kelompok baru tersebut memiliki kebiasaan-kebiasaan yang negatif, contoh seperti mabuk-mabukan, melakukan pesta narkoba, dll. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian Indiyah (2005), seseorang rela melakukan apapun agar dapat diterima dengan baik di dalam kelompoknya dan diakui kehadirannya di dalam kelompok tersebut.

Motif ingin tahu dan motif kompetensi juga merupakan motif penyalahgunaan Napza. Motif ingin tahu ditunjukkan melalui hasil penelitian Siregar (2004), Jaji (2009) dan Sulistyorini (2008) yang menyebutkan hampir seluruh responden penelitiannya mengaku bahwa mereka menggunakan obat-obatan terlarang pertama-tama akibat rasa ingin tahu dan keinginan untuk mencoba. Sementara motif kompetensi ditunjukkan melalui hasil penelitian Siregar (2004), Puspitawati (2006) dan Sulistyorini (2008) yang menyebutkan penyalahgunaan Napza di kalangan remaja antara lain untuk membuktikan keberanian melakukan tindakan berbahaya sehingga kemudian dapat diakui keberadaannya dan eksistensinya di dalam kelompok tersebut. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Indiyah (2005) seseorang melakukan penyalahgunaan Napza akibat ia memegang peran di dalam kelompok bermainnya. Hal ini menunjukkan adanya motif kekuasaan yang tertanam dalam diri remaja tersebut.

(26)

KARAKTERISTIK KELUARGA

Kerangka pemikiran ini menjelaskan korelasi antar variabel penelitian. Penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang yang sangat erat kaitannya dengan keadaan di sekitar penyalahguna Napza. Karakteristik responden dapat memperlihatkan keadaan penyalahguna Napza sebelum dan saat pertama kali menggunakan Napza. Karakteristik responden dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu karakteristik individu dan karakteristik keluarga. Karakteristik individu responden penyalahguna Napza terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan tingkat penerimaan. Sementara itu, karakteristik keluarga responden penyalahguna Napza meliputi status pernikahan orangtua, tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, tingkat penerimaan orangtua, dan usia orangtua. Karakteristik individu dan karakteristik keluarga mempengaruhi pola interaksi yang terbentuk pada diri seseorang, baik pola interaksi di dalam keluarga maupun lingkungan sosial dan pertemanannya. Pola interaksi yang terbentuk kemudian berhubungan dengan munculnya motif-motif pada diri seseorang atas perilakunya. Hubungan antara pola interaksi dengan motif-motif yang terbentuk akan menunjukkan seberapa luas perilaku yang tercipta. Perilaku yang ada dalam diri seseorang tentu berbeda-beda, namun yang perlu diperhatikan adalah terbentuknya perilaku menyimpang, khususnya dalam perilaku penyalahgunaan Napza.

Keterangan:

: Berhubungan

(27)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka analisis di atas, maka dapat disimpulkan hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan atara karakteristik individu dan karakteristik keluarga dengan pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna Napza. 2. Terdapat hubungan antara pola interaksi keluarga dengan motif

penyalahgunaan Napza di kalangan remaja.

3. Terdapat hubungan antara pola interaksi pertemanan dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja.

Definisi Operasional

Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut: 1. Karakteristik Internal diukur dari

a. Usia merupakan lamanya seseorang hidup yang dihitung semenjak ia lahir hingga pertama kali ia menggunakan Napza, diukur dalam satuan tahun. Usia remaja dibagi menjadi dua mengikuti skala ordinal yaitu:

1. Remaja awal (< 15 tahun) 2. Remaja (15 – 19 tahun) 3. Remaja akhir (20-24 tahun)

b. Jenis kelamin merupakan status biologis yang tercatat dalam tAnda pengenal. Pernyataan responden tentang jenis kelamin dikategorikan dengan skala nominal, menjadi dua kategori yaitu:

1. Laki-laki 2. Perempuan

c. Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh dan telah memperoleh kelulusan saat pertama kali menggunakan Napza. Pernyataan responden berkaitan dengan jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh, dikategorikan dengan skala ordinal ke dalam lima kategori yaitu:

1. Tidak tamat SD; maka diberi skor 1 2. SD/Sederajat; maka diberi skor 2 3. SMP/ Sederajat; maka diberi skor 3 4. SMA/Sederajat; maka diberi skor 4 5. Perguruan Tinggi; maka diberi skor 5

d. Tingkat penerimaan adalah jumlah uang yang diperoleh responden untuk melakukan aktivitas sehari-hari dalam kurun waktu satu bulan saat pertama kali menggunakan Napza, dapat diperoleh dari orang tua dan pekerjaan. Tingkat penerimaan dikategorikan dengan skala ordinal ke dalam tiga kategori yaitu:

1. Rendah (penerimaan per bulan ≤ Rp 250.000,-); maka diberi skor 1 2. Sedang (penerimaan per bulan Rp 250.000,- – Rp 500.000,-); maka

diberi skor 2

(28)

e. Status pernikahan orang tua adalah status pernikahan dari orang tua responden saat pertama kali menggunakan Napza yang diukur mengikuti skala ordinal yaitu:

1. Menikah; diberi skor 2

2. Janda/Duda karena bercerai/pasangan meninggal dunia; diberi skor 1 f. Pendidikan orang tua merupakan jenjang pendidikan formal terakhir yang

pernah ditempuh oleh orang tua dan telah memperoleh kelulusan saat responden pertama kali menggunakan Napza. Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh orang tua responden, dikategorikan dengan skala ordinal ke dalam lima kategori yaitu:

1. Tidak tamat SD; maka diberi skor 1 2. SD/Sederajat; maka diberi skor 2 3. SMP/ Sederajat; maka diberi skor 3 4. SMA/Sederajat; maka diberi skor 4 5. Perguruan Tinggi; maka diberi skor 5

g. Pekerjaan orangtua adalah macam usaha yang dilakukan atau dijalankan ayah/ibu yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga saat responden pertama kali menggunakan Napza dan diukur menggunakan skala nominal

1. Buruh

h. Tingkat penerimaan orangtua adalah sejumlah uang yang dihasilkan ayah/ibu dari pekerjaannya setiap bulan saat responden pertama kali menggunakan Napza. Tingkat penerimaan orangtua diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori sebagai berikut:

1. Rendah (pendapatan orangtua < Rp 2.000.000,- perbulan); diberi skor 1 2. Sedang (pendapatan orangtua Rp 2.000.000,--Rp 4.000.000,- perbulan);

diberi skor 2

3. Tinggi (pendapatan orangtua > Rp 4.000.000,- perbulan); diberi skor 3 i. Usia orangtua adalah lamanya orangtua responden hidup yang dihitung

semenjak ia lahir hingga saat pertama kali responden menggunakan Napza diukur dalam satuan tahun. Usia orangtua dibagi menjadi tiga mengikuti skala ordinal yaitu:

1. Usia ≤ 30 tahun, maka diberi skor 1

2. Usia 31 – 40 tahun, maka diberi skor 2 3. Usia > 40 tahun, maka diberi skor 3 2. Pola Interaksi diukur berdasarkan

a. Pola interaksi keluarga

(29)

 Tidak Pernah diberi skor 1 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 4 untuk pertanyaan negatif

 Jarang diberi skor 2 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 3 untuk pertanyaan negatif

 Sering diberi skor 3 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 2 untuk pertanyaan negatif

 Selalu diberi skor 4 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 1 untuk pertanyaan negatif

b. Pola interaksi pertemanan

Pola interaksi pertemanan responden adalah penilaian yang diberikan oleh penyalahguna Napza mengenai pola interaksi yang terbentuk di dalam lingkungan pertemanannya saat responden pertama kali menggunakan Napza. Indikator pada variabel ini dibagi menjadi 4 kategori. Diukur dengan skala ordinal. Jumlah pertanyaan pada variabel ini adalah 18 pertanyaan. Akumulasi skor menggunakan perhitungan skala Likert dikategorikan menjadi, rendah diberi skor 18-36, sedang diberi skor 37-54, dan tinggi diberi skor 55-72. Pemberian skor pada setiap pertanyaan tergantung pada jenis pertanyaan yang diungkapkan, yaitu pertanyaan negatif dan positif.

 Tidak pernah diberi skor 1 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 4 untuk pertanyaan negatif

 Jarang diberi skor 2 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 3 untuk pertanyaan negatif

 Sering diberi skor 3 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 2 untuk pertanyaan negatif

 Selalu diberi skor 4 untuk pertanyaan positif, dan diberi skor 1 untuk pertanyaan negatif

3. Motif Penyalahgunaan Napza a. Motif Organismis

Motif organismis diukur berdasarkan motif ingin tahu, motif kompetensi, dan motif prestasi. Indikator pada variabel ini dibagi menjadi 2 kategori. Diukur dengan skala ordinal. Jumlah pertanyaan pada variabel ini adalah 5 pertanyaan. Akumulasi skor menggunakan perhitungan skala Likert dikategorikan menjadi, rendah diberi skor 5-6, sedang diberi skor 7-8, dan tinggi diberi skor 9-10. Skor untuk masing-masing pertanyaan adalah sebagai berikut:

 Ya diberi skor 2

 Tidak diberi skor 1 b. Motif Sosial

Motif sosial diukur berdasarkan motif kasih saying, motif kekuasaan, dan motif kebebasan. Indikator pada variabel ini dibagi menjadi 2 kategori. Diukur dengan skala ordinal. Jumlah pertanyaan pada variabel ini adalah 5 pertanyaan. Akumulasi skor menggunakan perhitungan skala Likert dikategorikan menjadi, rendah diberi skor 5-6, sedang diberi skor 7-8, dan tinggi diberi skor 9-10. Skor untuk masing-masing pertanyaan adalah sebagai berikut:

 Ya diberi skor 2

(30)

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung data kualitatif untuk memperkaya analisis. Data kualitatif didapat melalui wawancara mendalam dengan informan dan observasi. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survai kepada responden dengan pemberian kuisioner. Menurut Singarimbun dan Effendi (2008), penelitian survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data primer. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif dikombinasikan dalam upaya memperkaya data agar lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Apabila informasi kuantitatif yang diperoleh dalam bentuk tabel lalu ditambahkan dengan informasi kualitatif, maka gambaran tentang fenomena sosial yang disajikan dalam tabel tersebut menjadi semakin jelas dan semakin hidup, dan nuansa-nuansa fenomena sosial dapat ditampilkan.

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Rumah Singgah PEKA Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja sesuai dengan kebutuhan penelitian. Lokasi penelitian ini dipilih dengan alasan bahwa Rumah Singgah PEKA merupakan salah satu organisasi non profit yang melayani para penyalahguna Napza untuk keluar dan sembuh dari kecanduannya, khususnya para pecandu dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Rumah Singgah PEKA didirikan untuk membantu memberikan layanan yang sesuai kepada mereka yang paling membutuhkan. Di Rumah Singgah PEKA juga dapat ditemukan berbagai macam karakteristik pecandu Napza sehingga dirasa sangat sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain itu Rumah Singgah PEKA juga memiliki staf ahli yang dapat membantu proses pengumpulan data.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2013 sampai dengan Januari 2014. Kegiatan dalam penelitian ini meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal skripsi, pengambilan data lapang, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi.

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

(31)

Rumah Singgah PEKA wilayah Bogor. Informan dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang bekerja atau terlibat dalam proses komunikasi dan penyembuhan klien Rumah Singgah PEKA. Jumlah klien Rumah Singgah PEKA yang diperoleh dari data sekunder Rumah Singgah PEKA sebanyak kurang lebih 300 orang dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 50 responden.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui kuisioner dan wawancara dengan pihak Rumah Singgah PEKA. Kuisioner tersebut dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden serta ditujukan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian. Selain wawancara terstruktur menggunakan kuisioner, pengumpulan data penelitian ini juga menggunakan wawancara mendalam dengan para responden dan pihak Rumah Singgah PEKA untuk mengkaji lebih dalam motif yang melatarbelakangi penyalahgunaan Napza dan pola-pola interaksi yang terbentuk di kalangan penyalahguna Napza. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen Rumah Singgah PEKA, serta berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, yaitu buku, jurnal penelitian, skripsi, dan internet.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian mengenai hubungan pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja merupakan penelitian survai dengan tujuan explanatory. Data kuantitatif berupa data primer yang terlebih dahulu diolah dan ditabulasikan. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS

for Windows versi2.0 agar lebih cepat, tepat, dan hasil pemrosesan data pun lebih terpercaya. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antar dua variabel yang berskala ordinal dan tidak menentukan prasyarat data terdistribusi normal. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel bebas dan variabel terikat yang berskala ordinal. Rumus Rank Spearman sebagai berikut:

Keterangan:

rs = Nilai Koefisien Rank Spearman

d = jumlah selisih antara peringkat bagi x dan y

(32)

Koefisien korelasi Rank Spearman (rxy) menunjukkan kuat tidaknya antara indikator x terhadap variabel X dengan indikator y terhadap variabel Y maupun variabel X terhadap variabel Y sehingga digunakan batasan koefisien korelasi untuk mengkategorikan nilai r. kriteria pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kriteria pengukuran korelasi

Kisaran Kriteria

0 – 0.249 Menunjukkan tidak adanya hubungan atau lemah sekali 0.250 – 0.499 Menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah 0.500 – 0.749 Menunjukkan hubungan yang erat atau tinggi

0.750 – 1 Menunjukkan hubungan yang sangat erat atau sangat kuat sekali dan dapat diandalkan

Sumber: Tarigan (2010)

(33)
(34)

GAMBARAN UMUM

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Singgah PEKA yang terletak di Sindang Barang Jero, Bogor. Rumah Singgah PEKA merupakan unit rehabilitasi berbasis komunitas di bidang penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif berbahaya lainnya. Lebih jelasnya gambaran umum mengenai lokasi penelitian dapat dijabarkan menjadi profil singkat Rumah Singgah PEKA, program Rumah Singgah PEKA, dan Struktur Organisasi Rumah Singgah PEKA.

Profil Rumah Singgah PEKA

Rumah Singgah PEKA adalah sebuah perkumpulan komunitas pemulihan adiksi berupa organisasi non-profit yang didirikan pada November 2010 di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Rumah singgah PEKA bertujuan mengurangi resiko penggunaan Napza, membantu penggunanya terbebas dari Napza, dan mengembalikan fungsi sosial di tengah masyarakat. Wadah ini berawal dari orang-orang yang memliki latar belakang ketergantungan Napza dan telah lepas dari ketergantungannya. Dari pengalaman ini dan dibantu oleh psikolog profesional, Rumah Singgah PEKA ingin membantu rekan-rekan senasib untuk dapat lepas dari ketergantungan Napzanya dan dapat memberikan bantuan kepada mereka yang belum mendapatkan kesempatan yang serupa. Selain itu, bekerja di area pemulihan ketergantungan Napza dan paska rawat bertujuan untuk pengurangan angka kemiskinan, angka kejahatan dan peningkatan produktifitas komunitas marginal.

(35)

Program Rumah Singgah PEKA

Rumah Singgah PEKA memiliki beberapa program yang disusun untuk mencapai tujuannya. Terdapat lima program yang rutin dilaksanakan di Rumah Singgah PEKA. Program-program tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Harm Reduction

Harm Reduction adalah suatu upaya pengurangan dampak buruk terhadap pengguna Napza dan masyarakat luas yang dikenal sebagai cara mendasar untuk menghentikan penyebaran HIV. Program ini menyadari realita bahwa sebagian besar penyalahguna Napza sulit untuk menghentikan penggunaannya meskipun resiko akan HIV/AIDS dan virus lain yang ditularkan lewat darah besar. Rumah Singgah PEKA melakukan Harm Reduction melalui program pemberian alat suntik steril, kondom dan

lubricant (diberikan dalam satu paket), konseling (oleh konselor adiksi dan psikolog) dan juga informasi mengenai layanan kesehatan. Dengan program ini Rumah Singgah PEKA mencoba membantu korban Napza agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya baik dari kesehatan maupun ekonomi dengan membantu merujuk sekaligus mendampingi klien yang membutuhkan layanan kesehatan meningkatkan kualitas hidup korban Napza.

Rumah Singgah PEKA memulai program penjangkauan dan pendampingan Harm Reduction di Kota dan Kabupaten Bogor pada bulan April 2011. Dalam hal ekonomi Rumah Singgah PEKA memberikan kesempatan kepada klien yang membutuhkan untuk bekerja di Rumah Singgah PEKA dan memberikan pinjaman lunak dana usaha bagi korban Napza yang ingin berkehidupan lebih layak. Hal ini cukup mendapatkan tanggapan yang baik dari korban Napza di I Kota dan Kabupaten Bogor. Data output dari program Harm Reduction yang telah dilaksanakan Rumah Singgah PEKA pada tahun 2011 dan 2012 dapat dilihat pada lampiran.

2. Posko Cibinong

Program Posko Cibinong ini ditujukan untuk mensiasati letak geografis Bogor yang sangat luas. Rumah Singgah PEKA telah mendirikan posko layanan pendamping di Cibinong Kabupaten Bogor. Pada posko pelayanan ini masyarakat yang membutuhkan bantuan dan berdomisili di daerah Kabupaten Bogor dapat dengan mudah menjangkau posko Rumah Singgah PEKA.

3. Program Lapas

Pada tahun 2011, Rumah Singgah PEKA memulai Program Lapas di Lembaga Pemasyarakatan Paledang Bogor. Pada awalnya Rumah Singgah PEKA hanya mensosialisasikan mengenai program yang ada di Rumah Singgah PEKA tetapi melihat kebutuhan WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) yang memerlukan informasi tentang adiksi, kesehatan dasar,

life skill, problem solving, dll. Sehingga pada tahun 2012 Rumah Singgah PEKA memulai dengan program seminar untuk WBP wanita dan program

(36)

Berdasarkan pengalaman yang sama Rumah Singgah PEKA juga akhirnya mengembangkan Program Lapas di wilayah kabupaten yaitu Lapas Pondok Rajeg pada tahun 2012. Saat ini Rumah Singgah PEKA menjalankan program penyuluhan untuk anak dibawah umur (kurang dari 18 tahun), seminar kepada WBP dan juga membentuk peer educator. Sudah ada 13 orang WBP dan 5 orang anak di bawah umur yang dilatih untuk menjadi peer educator. Jadwal seminar Rumah Singgah PEKA di Lapas Pondok Rajeg diadakan setiap hari senin dan Jumat. Rumah Singgah PEKA juga mempunyai rencana untuk menjalankan program serupa di Lapas Gunung Sindur yang kemungkinan baru akan dijalankan pada tahun 2014.

4. Treatment dan conseling

Program treatment dan conseling ini merupakan program yang bertujuan membawa perubahan yang lebih baik kepada para klien. Treatment diberikan oleh staf yang telah berpengalaman dan dibimbing oleh psikologi professional. Untuk conseling setiap klien diberikan kesempatan untuk berhubungan langsung dengan psikolog professional. Rumah Singgah PEKA memiliki data perkembangan klien berdasarkan WHO-QOL (skoring penilaian menggunakan SPSS 19). Pada penilaian ini Rumah Singgah PEKA membandingkan antara WHO-QOL I dengan WHO-QOL II (dilakukan diakhir program). Berdasarkan uji statistik dari pre-post test klien menggunakan WHO-QOL maka didapatkan hasil semua domain (domain fisik, domain psikologis, domain sosial, domain lingkungan) pada WHO-QOL mengalami perubahan secara signifikan. Data yang dihasilkan berdasarkan uji yang telah dilakukan oleh Rumah Singgah PEKA beserta diagram perkembangan klien berdasarkan WHO-QOL dapat dilihat pada lampiran.

5. Program Vocational

Rumah Singgah PEKA memiliki Program Vocational yang bertujuan untuk membantu para klien mengisi kegiatan, sekaligus belajar untuk mengembangkan bisnis. Program vocational ini mulai dijalankan pada Desember 2011, diawali dengan berternak lele, membuka bengkel, membuka warung ayam bakar, menerima permintaan sablon, membuka warnet dan beternak ayam. Beberapa kendala dalam melaksanakan program ini beberapa kali dirasakan oleh Rumah Singgah PEKA, apalagi vocational tersebut dijalankan langsung oleh para klien yang berminat dan dianggap sudah bisa mendapatkan reward/privilledge. Kendala yang sering dialami adalah konsistensi para klien dalam menjalankan dan menjaga keberlangsungan

vocational tersebut. Setelah 2 tahun berjalan vocational yang saat ini masih berjalan adalah warung ayam bakar, green house, warnet, bengkel, sablon, produksi kue, dan laundry.

Dengan adanya vocational diharapkan memberikan aktivitas yang menimbulkan munculnya kebersamaan, pembelajaran, komitmen dan disiplin kerja serta tanggung jawab dalam proses pelaksanaannya. Dengan tujuan akhir memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam vocational dengan harapan terciptanya mental kerja apabila kembali ke masyarakat. Sampai sejauh ini diharapkan sudah mulai timbul semangat kerja tim masing-masing

(37)

Selama berjalannya vocational di Rumah Singgah PEKA sudah ada dua Klien Rumah Singgah PEKA yang mendapatkan bantuan dari Kemensos untuk mengelola dan melaksanakan operasional vocational atas nama mereka pribadi, walaupun tetap dalam monitoring dan evaluasi dari menejemen Rumah Singgah Peka. Terealisasinya hal tersebut adalah salah satu bukti bahwa untuk area vocational bukan hanya menciptakan mental kerja untuk para penyalahguna Napza tetapi juga mampu untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Program vocational juga merupakan simulasi untuk membangun motivasi dan konsistensi bersama-sama. Semua sarana dan prasarana serta menejemen operasional yang ada dibangun berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan untuk menciptakan kepercayaan diri klien dalam bekerjasama.

Pada saat ini, semua vocational yang ada di Rumah Singgah PEKA sedang mendapatkan pelatihan dalam hal manajemen keuangan, operasional, dsb dari ILO (International Labour Organization). Pelatihan yang biasa dibawakan oleh Mbak Oline dari ILO ini dimulai pada akhir Juni 2013 dengan frekuensi seminggu sekali.

Struktur Organisasi

Struktur organisasi Rumah Singgah PEKA terdiri atas Dewan Eksekutif,

Senior Management dan staf. Di dalam Dewan Eksekutif terdapat tiga jabatan, yaitu Direktur Eksekutif yang dipegang oleh Sam Nugraha seorang konselor dan anggota dari UNODC Indonesia, Sekretaris Eksekutif yang dipegang oleh Intan Asri Nuraeni seorang perawat yang concern dalam bidang pencegahan penyalahgunaan Napza, dan Bendahara Eksekutif yang dipegang oleh Paul Nebri Anmahdi seorang kepala konsultan training di IFR Consulting.

Bagian Senior Management diisi oleh Patrician Gregorius yang berperan sebagai General Manager, Lucky Pramitasari sebagai Program Manager, Boyke Setiawan sebagai Operational Manager, dan Ratu Tatiek sebagai Finance Manager. Selain dewan eksekutif dan senior management, terdapat staf yang turut membantu berjalannya Rumah Singgah PEKA. Staf Rumah Singgah PEKA tersebut antara lain Bonni Sofianto sebagai Staff Reguler, Denny Subhan sebagai

Gambar

Gambar 1 Kerangka Analisis
Tabel 2.
Tabel 3 Karakteristik
Tabel 23 menunjukkan bahwa jumlah dan persentase tingkat pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Objek form untuk menggambar tampilan yang kita inginkan dengan memasukkan objek command button untuk proses memilih status dan keluaran dari program. Untuk memudahkan kita

Art inya warga negara dan aparat ur negara harus berpikir, bert indak, bersikap unt uk kepent ingan bangsa, t erm asuk produk hukum yang dihasilkan oleh lem baga negara dan lem baga

Pada perlakuan H5 umur 120 hari setelah tanam daya berkecambah benih dengan hasil purata 80,40% menunjukkan benih sudah sesuai standar mutu oleh FAO adalah minimal

Pada tahap ini tidak dilakukan penentuan zona kesesuaian seperti pada tahap r egional, akan tetapi tahap ini dilakukan penentuan zona kelayakan yang nantinya akan

Kadang, Anda butuh pendapat dari orang lain untuk memahami diri Anda sendiri. Tak masalah, Anda bisa mencoba bertanya pada orang-orang terdekat soal pandangan

Namun dengan instalasi nirkabel ini, yang menarik untuk diteliti adalah seberapa handal sistem nirkabel ini dalam melakukan fungsi pengiriman notifikasinya, seberapa layak

[r]

Rendahnya kecernaan lemak kasar kelinci yang diberi perlakuan R1, R2 dan R4 disebabkan oleh kandungan lemak kasar pada ransum R1, R2 dan R4 lebih rendah