• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN RUMPUT LAUT EUCHEMA COTONII

SEBAGAI SUMBER SERAT ALTERNATIF

MINUMAN CENDOL INSTAN

UBAEDILLAH

s

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : “Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan” adalah karya saya sendiri dengan pengarahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Hasil penelitian atau gambar boleh dikutip untuk kepentingan non komersial dengan menyebutkan sumbernya.

Bogor, Februari 2008

(3)

RINGKASAN

UBAEDILLAH. Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan. Dibimbing oleh USMAN AHMAD dan SANTOSO.

Serat pangan (Dietary fiber) seringkali identik dengan produk sayuran yang segar. Manfaat serat dapat diperoleh juga melalui produk olahan yang mengandung bahan dasar rumput laut. Dalam produk makanan, rumput laut seringkali digunakan sebagai alternatif bahan yang menguntungkan dan dapat meningkatkan nilai gizi. Penambahan rumput laut sebagai sumber serat akan mampu meningkatkan nilai jual es cendol yang telah dikenal masyarakat dari sisi cita rasa dan pada kandungan seratnya juga sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan (dietary fiber) alternatif.

Rumput laut Euchemacotonii yang digunakan dalam penelitian ini memiliki komposisi kimia; kadar air 96,12%, kadar lemak 1,55%, protein 20,10%, abu 6,96%, karbohidrat 71,39%, serat pangan larut 15,46%, serat pangan tak larut 38,96%, serat pangan total 54,38%, dan iodium 55,46 µg/g. Dengan demikian, rumput laut Euchema cotonii dapat digunakan sebagai sumber serat dalam cendol instan. Selain sebagai sumber serat, Euchema cotonii dapat juga digunakan sebagai sumber iodium.

Komposisi rumput laut Euchema cotonii dalam cendol paling disukai pada taraf 20% (formula C). Komposisi formula C dalam 100 gram bahan cendol yaitu rumput laut 20 gram, tepung hunkwee 53,4 gram, tepung beras 26,7 gram, dan larutan daun suji 70 ml. Berdasarkan uji kesukaan, komposisi tersebut paling disukai oleh panelis sehingga diharapkan sesuai juga dengan selera konsumen.

Kadar serat pangan total cendol formula B yaitu 17,40%, sedangkan serat pangan total formula C yaitu 18,68%. Jika dalam satu takaran saji cendol instan adalah sebanyak 20 gram maka jumlah serat yang dikonsumsi untuk cendol formula B adalah 3,48 gram dan untuk formula C adalah 3,74 gram. Apabila dalam satu hari diasumsikan diminum sebanyak tiga kali maka jumlah asupan serat pangannya adalah 10,44 gram per hari untuk formula B dan 11,22 gram per hari untuk formula C. Dengan mengkonsumsi cendol instan setiap hari diharapkan dapat memenuhi sebagian kebutuhan serat pangan setiap hari.

Kandungan iodium cendol rumput laut formula B cukup tinggi yaitu 9,01 µg/g dan untuk formula C yaitu 9,31 µg/g. Untuk anak-anak usia 4-6 tahun membutuhkan iodium 100 µg perhari, dianjurkan untuk mengkonsumsi cendol rumput laut formula B sebanyak 11 gram per hari atau 10 gram untuk cendol formula C. Untuk orang dewasa (10-<60 tahun) dengan kebutuhan iodium 150 µg per hari, dianjurkan untuk mengkonsumsi sebanyak 17 gram cendol rumput laut formula B atau 16 gram formula C. Selain sebagai sumber serat, cendol instan ini dapat dijadikan sebagai sumber iodium untuk mencegah GAKI.

(4)

ABSTRACT

UBAEDILLAH. Study on Seaweed Euchema cotonii as Alternatif Sources of Dietary Fiber on Instant Cendol. Under the Supervision of USMAN AHMAD and SANTOSO.

Dietary fiber have fungsional effect to human health, for example it can be used to decrease cholesteroleomic, to prevent constipation and diverticulosis,as well as to prevent degeneratif desease. Dietary fiber from seaweed (Euchema cotonii) are usually consumed as food product (processed), for instant seaweed tangkue, noodles, putu ayu, donut, and other products with seaweed added. The objectives of this research were to study the advantage of seaweed as sources of dietary fiber, to obtain the optimum composition for instant cendol, and to observe the product instant cendol. This researh was began with blending of seaweed, formulation of cendol (A, B, C, D, E, and F with 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, and 50% seaweed respectively), freeze drying, analyze for chemical and physical characterictic of instant cendol, organoleptic analyze (hedonic and pairs). The result showed that porridge of seaweed have total dietary fiber 54,38% (db), iodium 55,46 µg/g (db). Organoleptic score significantly different for formula B on colour 7,7 and for formula C 6,65 on texture. Formula C seaweed cendol has a total dietary fiber higher than formula B and control. Total dietary fiber for formula C was 18,68%, for formula B 17,40%, and for control 15,04%. If compared with comercial cendol,colour of instant cendol showed better result than commercial one, but odour, taste, and texture were inferior than commercial one.

(5)

KAJIAN RUMPUT LAUT EUCHEMA COTONII

SEBAGAI SUMBER SERAT ALTERNATIF

MINUMAN CENDOL INSTAN

UBAEDILLAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan

Nama : Ubaedillah

NRP : F051050031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr. Ir. Santoso, MPhill. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. Wayan Budiastra, MAgr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(7)

PRAKATA

Puji sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan karya ilimiah ini. Karya ilmiah ini merupakan sebagian kecil dari nikmat dan kasih sayang-Nya yang diberikan kepada penulis. Judul yang dipilih karya ilimiah ini adalah “Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan”.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda Abdul Muttholib, Ibunda Daro’ah, Kang Toni, Aisyah, Munji, Imah yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan do’a. Ade Iis, Himah, Alif, dan Inu membuat penulis ter-support untuk menyelesaikan kuliah dan karya ilmiah ini dengan sebaik-baiknya.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr dan Ir. Santoso, Mphill yang telah bersedia memberikan bimbingan dan arahan yang sangat bermanfaat untuk pengembangan wawasan penulis Dr. Ir. Rohani Hasbullah, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bu Rina dan Balai Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BP2HP) Jakarta atas proyek penelitian yang diberikan. Mba Yulia yang selalu memberi dukungan dari awal studi dan pendapatnya yang berarti, Pa Yaden yang selalu sabar, Pa Joko, Bu Pia, rekan-rekan seperjuangan di Teknologi Pascapanen; Tika, Eci, Nuni, Faidah, mba Dewi, Bayu, Adnan, Kemala, Eni, Deva (klito), Venty, dan Etha. Tak lupa juga penulis menghargai semua dukungan dari Dias Marchi dan rekan-rekan pengajar di SMAIPB-Soedirman, Cijantung, Neng Ima, Dul Majid, dan Dol Cebannya sebagai jalan rezeki.

Dengan kerendahan hati, semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2008

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Indramayu pada Tanggal 16 Agustus 1982. Anak ke lima dari sembilan bersudara dari ayahanda Abdul muttholib dan ibunda Daro’ah. Penulis merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara.

(9)

DAFTAR ISI

halaman

Ringkasan ... iii

Abstract ... iv

Kata Pengantar ... vii

Prakata ... vii

Daftara Isi ... ix

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

Daftar Lampiran ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Cendol ... 4

Rumput Laut ... 5

Komposisi Kimia Euchema cotonii ... 7

Serat Pangan (Dietary fiber) ... 8

Tepung Beras ... 11

Tepung Hunkwee ... 12

Pengeringan Beku (Freeze Drying) ... 14

METODE PENELITIAN ... 17

Waktu Penelitian ... 17

Bahan dan Alat ... 17

Metode Penelitian ... 18

Analisis Data ... 20

Analisis Daya Serap Air ... 23

(10)

Total Mikroba ... 29

Uji Organoleptik ... 30

Analisis Ekonomi ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

Pembuatan Bubur Rumput Laut ... 34

Formulasi Cendol Rumput Laut ... 37

Pengeringan Beku (Freeze drying) Cendol Rumput Laut ... 46

Pembekuan Cendol rumput Laut ... 47

Pengeringan Cendol rumput Laut ... 49

Analisis Cendol Rumput Laut Instan ... 50

Analisis Proksimat ... 52

Serat Pangan (dietary fiber) ... 57

Iodium ... 59

Analisis Daya Serap Air ... 62

Analisis Mikrobiologi (Total Plate Count) ... 64

Uji Organoleptik (Perbandingan Pasangan) ... 65

Analisis Ekonomi ... 70

SIMPULAN DAN SARAN ... 72

Simpulan ... 72

Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(11)

DAFTAR TABEL

No halaman

1. Produksi rumput laut di Indonesia Tahun 2000-2004 ... 1

2. Komposisi kimia Euchema cotonii ... 8

3. Komposisi kimia tepung beras ... 11

4. Kandungan gizi dan kecambah kacang hijau ... 13

5. Komposisi tepung hunkwee ... 13

6. Perbedaan metode dan mutu produk antara pengeringan beku dan pengeringan konvensional ... 16

7. Kriteria Uji Kesukaan ... 30

8. Kriteria Uji Perbandingan Pasangan ... 31

9. Komposisi kimia Bubur Rumput Laut Euchema cotonii ... 36

10. Komposisi Kimia Rumput Laut Euchema cotonii Segar ... 37

11. Komposisi Formulasi Cendol Rumput Laut ... 39

12. Komposisi Gizi Cendol Rumput Laut Kering (bk) ... 52

13. Kebutuhan Iodium Menurut Kelompok Umur ... 61

(12)

DAFTAR GAMBAR

No halaman

1. Klasifikasi Rumput Laut dan Hasil Produksinya ... 5

2. Keterkaitan Antara Dinding Sel Tanaman dan Serat Pangan ... 8

3. Diagram Fase Air ... 16

4. Freeze Dryer Skala Laboratorium ... 17

5. Alur Pembuatan Cendol Instant ... 21

6. Diagram Alir Penelitian ... 22

7. Alur Penghilangan Bau Amis dan Pembuatan Bubur Rumput Laut ... 23

8. Rumput Laut Euchema cotonii Kering ... 34

9. Bubur Rumput Laut Euchemaa cotonii ... 36

10. Pencetakan Cendol Rumput Laut ... 38

11. Penampilan Enam Jenis Formulasi Cendol Rumput Laut ... 40

12. Histogram Nilai Organoleptik Cendol Rumput Laut ... 40

13. Histogram Hasil Uji Warna Formula Cendol Rumput Laut ... 41

14. Histogram Hasil Uji Aroma Formula Cendol Rumput Laut ... 43

15. Hasil Uji Rasa Formula Cendol Rumput Laut ... 44

16. Hasil Uji Tekstur Formula Cendol Rumput Laut ... 45

17. Cendol Rumput Laut Beku ... 48

18. Grafik Pergerakan Fraksi Air Pengeringan Beku Buah Durian ... 50

19. Penampakan Cendol Rumput Laut Setelah Freeze Dry ... 51

20. Kadar Air Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol. .. 53

21. Kadar Protein (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 54

22. Kadar Lemak (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 55

23. Kadar Abu (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 55

24. Kadar Karbohidrat (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 57

25. Kadar Serat Pangan (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 58

(13)

27. Penampakan Rongga-Rongga Cendol Rumput Laut Kering ... 64 28. Cendol Rumput Laut Formula B (kiri), Cendol Komersil (tengah),

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No halaman

1. Score Sheet Cendol Rumput Laut Euchema cotonii ... 79

2. Lembar Isian Uji Perbandingan Pasangan ... 81

3. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Warna Cendol Rumput Laut ... 82

4. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Aroma Cendol Rumput Laut ... 82

5. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Rasa Cendol Rumput Laut ... 83

6. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tekstur Cendol Rumput Laut ... 83

7. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Kadar Air Cendol Rumput Laut ... 84

8. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Lemak Cendol Rumput Laut ... 84

9. Analisis Ragam Protein Cendol Rumput Laut ... 84

10. Analisis Ragam Abu Cendol Rumput Laut ... 84

11. Analisis Ragam Karbohidrat Cendol Rumput Laut ... 85

12. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan Larut Cendol Rumput Laut ... 85

13. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan tak Larut Cendol Rumput Laut ... 85

14. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan Total Cendol Rumput Laut ... 86

15. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Iodium Cendol Rumput Laut ... 86

16. Asumsi Dasar Analisis Ekonomi Usaha Cendol Instan ... 87

17. Biaya Variabel Usaha Cendol Instan ... 88

18. Uraian Pemakaian Biaya Listrik ... 88

19. Biaya Tetap Usaha Cendol Instan ... 89

20. Cash Flow Usaha Cendol Instan ... 90

(15)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Di Indonesia, rumput laut secara luas dimanfaatkan dalam industri kembang

gula, kosmetik, es krim, media cita rasa, roti, saus, sutera, pengalengan ikan dan

daging, obat-obatan dan lainnya (Winarno, 1990). Komposisi utama rumput laut

yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat, abu, serat pangan,

dan sebagian kecil lemak dan protein. Hasil penelitian Chaidir (2007) menunjukkan

kadar karbohidrat pada rumput laut Euchema cotonii yang direndam dalam air tawar

selama 9 jam adalah 75,36% bk, abu 18% bk, lemak 3,39% bk, protein 0,43% bk dan

serat pangan total 9,62% bb. Serat pangan (dietary fiber) adalah suatau karbohidrat

kompleks di dalam bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim

pencernaan manusia. Dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman

tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat

tersebut banyak berasal dari dinding sel sayuran dan buah-buahan. Secara kimia

dinding sel tersebut tersusun dari beberapa karbohidrat, seperti selulosa,

hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gumi, dan

mucilage (Astawan et al., 2004).

Tabel 1. Produksi Rumput Laut di Indonesia Tahun 1999-2004

Tahun Volume (ton) Sumber : Biro Pusat Statistik, 2005.

Serat pangan (dietary fiber) memiliki efek fungsional yang menguntungkan

bagi kesehatan manusia, diantaranya dapat menurunkan kolesterol darah,

memperbaiki fungsi-fungsi pencernaan, dan mencegah berbagai penyakit degeneratif

(Astawan et al., 2004). Selain serat, rumput laut juga mengandung iodium yang merupakan elemen penting dalam pencegahan penyakit gondok. Di Jepang, satu dari

satu juta penduduk yang terkena penyakit gondok, sedangkan di Indonesia sebanyak

(16)

kasus gondok di Jepang mungkin disebabkan oleh kegemaran masyarakat Jepang

mengkonsumsi rumput laut, terutama kombu (Laminaria aparuca) dan L. religosa.

Penelitian Hunninghake et al., (1994), pasien yang menderita

hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20 gram/hari, total kolesterol, LDL,

serta rasio LDL-HDL plasmanya menunjukkan penurunan masing-masing 6%, 8%,

dan 8%. Komponen LDL merupakan kolesterol yang berpotensi menimbulkan

penyakit jantung koroner.

Serat pangan (dietary fiber) memberikan efek fisiologis dan metabolis karena

sifatnya mampu larut dalam air, kemampuan mengikat air (water holding capacity),

viskositas, kemampuan mengikat molekul organik dan inorganik, dan daya cerna

atau daya fermentasinya oleh bakteri (Groff dan Gropper, 1999). Karena sifat-sifat

tersebut serat pangan dapat memperlambat penurunan makanan dalam pencernaan,

mengurangi pencampuran nutrisi makanan dengan enzim pencernaan dan

menurunkan aktifitas enzim dalam mencerna makanan.

Dietary fiber seringkali identik dengan produk sayuran yang segar. Manfaat serat dapat diperoleh juga melalui produk olahan yang mengandung bahan dasar

rumput laut. Dalam produk makanan, rumput laut seringkali digunakan sebagai

alternatif bahan yang menguntungkan dan dapat meningkatkan nilai gizi. Penelitian

Astawan et al., (2004) menunjukkan bahwa penambahan 30% rumput laut pada kue putu ayu, 30% pada kue centik manis, 30% pada kue lumpur, dan 40% pada kue

donat masih dapat diterima oleh panelis, baik dari rasa, tekstur, warna, dan aroma.

Selain serat, kandungan iodium dalam rumput laut terbukti dapat meningkatkan

jumlah sel neuron otak kiri anak sehingga dapat meningkatkan kemampuan belajar

(kecerdasan).

Selain dalam bentuk makanan, serat pangan banyak dijumpai juga dalam

bentuk cair (minuman) yang banyak dijual dalam berbagai merk dengan sumber serat

yang bermacam-macam. Chaidir (2007) telah melakukan penelitian terhadap

minuman berserat dengan sumber serat berasal dari rumput laut. Penambahan tepung

rumput laut Euchema cotonii 48,7% dalam bahan minuman berserat, dapat

meningkatkan kadar serat pangan (total dietary fiber) menjadi 41,8% yang terdiri

dari serat pangan larut 36,1% dan serat pangan tidak larut 5,7%, yang berarti bahwa

(17)

Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi serat memacu industri

makanan dan minuman untuk melakukan diversifikasi produk dengan produk intinya

berupa serat pangan (dietary fiber) dalam bentuk instan. Produk instan merupakan

tuntutan konsumen masa kini yang dituntut serba cepat dan tidak merepotkan. Salah

satu upaya yang dapat dilakukan untuk diversifikasi produk minuman berserat adalah

melalui produk cendol instant. Cendol rumput laut merupakan minuman yang

disajikan dengan komposisi tertentu rumput laut sebagai sumber serat (dietary fiber)

dilengkapi cairan pati dan gula merah.

Cendol yang ada saat ini umumnya berbahan dasar dari tepung beras, tepung

hunkwee, atau tepung sagu. Produk ini hampir selalu ada di seluruh Wilayah

Indonesia, bahkan di Malaysia karena rasanya yang enak dan teksturnya yang lembut

sehingga disukai oleh berbagai lapisan masyarakat. Penambahan rumput laut sebagai

sumber serat diharapkan akan mampu meningkatkan nilai jual cendol yang dikenal

masyarakat dari sisi cita rasa dan pada kandungan seratnya sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan (dietary fiber) alternatif.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan rumput laut sebagai

sumber serat pada minuman cendol instan.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menemukan komposisi optimum

rumput laut Euchema cotonii dan bahan-bahan lainnya dalam pembuatan minuman

berserat cendol instan dan mengkaji minuman berserat yang dihasilkan.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cendol

Cendol merupakan salah satu makanan tradisional dengan bahan baku berasal

dari sumber lokal, diolah menurut resep setempat dan sesuai dengan selera

masyarakat. Menurut Rungkat et al., (2001), pengertian pangan tradisional meliputi

bahan baku dan produk pangan serta minuman yang dibuat dari bahan yang tersedia

di Indonesia dan sudah dikenal dan digunakan semenjak dahulu. Berbagai jenis

pangan tradisional diketahui secara empiris mempunyai khasiat terhadap kesehatan

baik sebagai pencegah penyakit maupun sebagai penyembuh atau sebagai pangan

fungsional. Potensi makanan tradisional digunakan sebagai pangan fungsional cukup

besar karena berbagai hasil penelitian mulai menghasilkan data ilmiah mengenai

khasiat makanan tradisonal, baik khasiat bahan-bahan baku maupun produk-produk

jadi. Bahan-bahan baku yang telah diteliti khasitanya meliputi rempah-rempah,

sayuran, buah-buahan, rumput laut, kacang-kacangan, dan sebagainya.

Menurut Candraningsih (1997), cendol merupakan salah satu jenis makanan

tradisonal Indonesia yang bahan baku utamanya berupa padi-padian dan

kacang-kacangan, yang sudah dikenal dan digemari secara luas di Indonesia. Cendol

memiliki tekstur yang kenyal dan umumnya berwarna hijau. Cendol terbentuk

sebagai akibat dari proses gelatinisasi pati. Dalam 100 gram cendol yang terbuat dari

dari campuran tepung beras dan tepung tapioka mengandung energi 95,08 Kkal,

karbohidrat 8,25 gr, protein 1,21 gr, dan lemak 6,44 gr (Anonymousa, 2001).

Menurut Santoso (2000), dalam proses pembuatan cendol, tepung hunkwe atau

tepung beras ditambah dengan pewarna hijau dan air, dimasak sampai kekentalan

tertentu kemudian dicetak dengan cetakan cendol.

Terdapat dua jenis cendol siap pakai yang ada dipasaran yaitu cendol tepung

hunkwee dan cendol tepung beras. Cendol tepung hunkwee berwarna hijau terang

dan kenyal, sedangkan cendol tepung beras berwarna hijau gelap dan empuk. Cendol

siap pakai dijual dalam kemasan plastik dan direndam dalam air agar setiap butiran

tidak lengket satu sama lainnya. Cendol pada umumnya memiliki aroma segar yang

(19)

2.2. Rumput Laut

Rumput laut merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki

perbedaaan susunan kerangka akar, batang, dan daun. Meskipun wujudnya tampak

seperti ada perbedaan, bentuk yang sesungguhnya hanya berupa thalus. Rumput laut

termasuk ke dalam jenis alga. Secara umum, alga dikelompokkan dalam empat kelas

yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga hijau-biru (Cyanophyceae), alga coklat

(Phaecophyceae), dan alga merah (Rhodophyceae). Alga coklat dan alga merah

memiliki habitat di laut dan lebih banyak dikenal sebagai rumput laut atau seaweed.

Klasisfikasi rumput laut dan hasil produksinya dapat dilihat pada Gambar 1

(Winarno, 1990).

Gambar 1. Klasifikasi Rumput Laut dan Hasil Produksinya (Winarno, 1985 dalam Winarno 1990).

Rumput laut

Gracilaria Gelidium

Ascophyllum laminaria Macrocystis

Rhodophyceae (Alga merah)

Phaecophyceae (Alga coklat) Cyanophyceae (Alga hijau-biru) Chlorophyceae

(Alga hijau) Kelas :

Genus :

Chondrus Euchema Gigartina

Furcellaria

(20)

Rumput laut tumbuh dengan menempel baik pada karang mati, atau cangkang

moluska agar dapat tahan terhadap terpaan ombak. Selain memerlukan tempat

menempel, rumput laut juga memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis.

Sinar matahari yang masuk dan diserap tergantung kejernihan air laut. Jenis

Chlorophyceae umumnya tumbuh lebih dekat dengan pantai, lebih ke tengah lagi

Phaecophyceae, dan jenis Rhodophyceae hidup di laut yang lebih dalam (Indriani

dan Sumiarsih, 1991).

Proses fotosintesis rumput laut tidak hanya dibantu oleh sinar matahari, tetapi

juga dipengaruhi oleh ketersediaan zat hara dalam air sekelilingnya. Zat hara yang

ada di laut masih mencukupi untuk kehidupan rumput laut karena adanya sirkulasi

yang baik, run-off dari darat, dan gerakan air. Namun demikian, hal yang perlu

diperhatikan dalam budidaya rumput laut adalah kondisi cemaran air laut. Rumput

laut dapat meneyerap logam berat seperti Pb dan Hg yang berbahaya bagi kesehatan

manusia. Zat hara yang tersedia diserap melalui seluruh bagian tanaman. Selain

menyediakan zat hara, gerakan air laut juga membantu memudahkan rumput laut

membersihkan kotoran yang menempel, dan melangsungkan proses pertukaran CO2

dengan O2, sehingga kebutuhan oksigen dapat terpenuhi. Arus yang baik untuk

pertumbuhan rumput laut adalah antara 20-40 cm/detik atau jika bergelombang

tingginya tidak lebih dari 30 cm (Indriani dan Sumiarsih, 1991).

Selain faktor zat hara dan sinar matahari, pertumbuhan rumput laut juga

dipengaruhi oleh salinitas (kadar garam) dan temperatur. Berdasarkan salinitasnya,

terdapat dua golongan rumput laut yaitu stenohalin yang dapat tumbuh dan

berkembang biak pada perairan dengan kisaran salinitas yang sempit, dan euryhalin

yang dapat tumbuh dan berkembang biak di perairan dengan kisaran salinitas yang

luas. Temperatur yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara 20-28oC.

Walaupun demikian, ada beberapa jenis rumput laut yang dapat hidup di luar kisaran

tersebut, seperti Phorphyra, Furcellaran, Chondrus, dan Laminaria (Indriani dan Sumiarsih, 1991).

Terdapat dua kelompok rumput laut yang telah menjadi komoditas budidaya

bernilai ekonomi, yaitu Gracilaria spp. dan Eucheuma spp. Kedua rumpun ini telah

berhasil dibudidayakan dan telah diperdagangkan secara luas karena dibutuhkan

(21)

beberapa jenis rumput laut di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis sesuai dengan

hasil ekstraksinya, antara lain Gracilaria Sp, Gelidium, Gelidiopsis, dan Hypnea

yang merupakan rumput laut penghasil agar-agar (agarophyte), Euchema spinosum,

E. cotonii, dan E. striatum merupakan rumput laut penghasil karagenan (Carragenophyt), Sargassum, Marcocystis, dan Lessonia merupakan rumput laut

penghasil algin.

Rumput laut jenis Euchema cotonii yang merupakan bagian dari ganggang

merah, merupakan jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia.

Euchema cotonii tumbuh di berbagai wilayah, antara lain Teluk Banten, Kepulauan Seribu, perairan Sulawesi, perairan Nusa Penida, Bali, dan perairan Pelabuhan Ratu

(Atmaja et al., 1995). Atmaja et al., (1995) menambahkan, rumput laut jenis ini umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun

internasional, sebagai komoditas ekspor dan bahan baku industri penghasil

karagenan. Karagenan yang dihasilkan adalah tipe kappa karagenan. Oleh karena itu

jenis ini secara taknsonomi diubah namanya dari Euchema alvarezii menjadi

Kappaphycus alvarezii.

2.3. Komposisi Kimia Euchema cotonii

Kandungan rumput laut umumnya adalah mineral esensial (besi, iodin,

aluminum, mangan, calsium, nitrogen dapat larut, phosphor, sulfur, chlor. silicon, rubidium, strontium, barium, titanium, cobalt, boron, copper, kalium, dan unsur-unsur lainnya yang dapat dilacak), protein, tepung, gula dan vitamin A, B, C, D.

Persentase kandungan zat-zat tersebut bervariasi tergantung dari jenisnya

(Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2003).

Hasil penelitian Chaidir (2007) menunjukkan bahwa air merupakan

komponen yang dominan pada Euchema cotonii segar yaitu 93,1%, diikuti oleh

kandungan karbohidrat 75,36% bk. Komposisi lengkap Euchema cotonii disajikan

pada Tabel 2 dan disajikan pula komposisi kimia Euchema cotonii menurut Astawan

(22)

Tabel 2. Komposisi Kimia Euchema cotonii

Komponen Satuan Astawan et al., (2004) Chaidir (2007) Kadar abu

Kadar lemak Kadar protein Karbohidrat Serat pangan larut Serat pangan tak larut Serat pangan total

2.4. Serat Pangan (dietary fiber)

Menurut Trowell (1976), serat pangan dalam arti fisiologi yaitu polisakarida

tumbuhan dan lignin yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan manusia.

Sedangkan secara kimia serat pangan diartikan sebagai polisakarida bukan pati (non

starch polysaccharides/NSP) dari tumbuhan dan lignin (Gallaher dan Schneeman, 1996). Definisi serat pangan berasal dari sel tanaman. Sel tanaman mengandung

lebih dari 95% komponen serat pangan, yaitu selulose, hemiselulose, lignin, pektin,

dan juga termasuk polisakarida bukan pati (Groff dan Gropper, 1999). Keterkaitan

antara dinding sel tanaman dan serat pangan dapat diuraikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Keterkaitan Antara Dinding Sel Tanaman dan Serat Pangan (Groff dan Gropper, 1999).

Serat pangan secara prinsip berbeda dengan serat kasar. Serat kasar adalah

bagian tanaman pangan yang tersisa atau tidak dapat dihidrolisis kembali oleh larutan Komponen dinding

sel tanaman

ƒ Gum ƒ Mucilages

ƒ Algal polysaccharides ƒ Suberin

ƒ Komponen inorganik ƒ Lignin

(23)

asam sulfat (H2SO4) atau larutan natrium hidroksida (NaOH) dalam analisis

proksimat bahan pangan. Kandungan tersebut belum menunjukkan kandungan serat

total dalam makanan. Oleh karena larutan asam sulfat dan natrium hidroksida

berkadar 1,25% masih mampu menghidrolisis komponen-komponen makanan dalam

jumlah yang lebih besar. Berbeda dengan kemampuan enzim-enzim pencernaan yang

dihasilkan tubuh. Bila dibandingkan dengan serat pangan, nilai serat kasar lebih kecil

1/3 – 1/2 dari nilai serat pangan (Soelistijani, 2002).

Dihubungkan dengan sifat kolesterolemik, terdapat tiga komponen penting

yang dikandung oleh rumput laut yaitu agar, karagenan, dan asam alginat. Menurut

Hallgren (1981) pengaruh fisiologis pemberian serat adalah meningkatkan berat dan

volume feses, menurunkan transit time, mengikat asam empedu, menurunkan

kolesterol darah dan penyerapan mineral.

Studi tentang kemampuan agar, alginat, dan karagenan telah banyak

dilakukan oleh para peneliti di bidang pangan dan medis. Penelitian yang dilakukan

oleh Alan et al., (1976) terhadap tikus percobaan menunjukkan bahwa penambahan

agar sebanyak 7% dalam ransum menurunkan kadar kolesterol dalam serum. Pada

tikus kontrol (ransum tanpa penambahan serat) kadar kolesterol serum 78 mg/100

ml, sedangkan yang diberi agar 7% adalah 72 mg/100 ml. Demikian juga yang

dilaporkan oleh Kelley dan Tsai (1978) pada tikus yang ditambahkan agar 5% dalam

ransum, kandungan kolesterol dalam serumnya menurun. Serum tikus yang berperan

sebagai kontrol mengandung kolesterol 110 mg/dl, sedangkan yang diberi perlakuan

agar 5% kolesterol serumnya 108 mg/dl.

Penelitian pada manusia juga telah dilakukan oleh Hunninghake et al., (1994)

yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kolesterol plasma akibat pengaruh serat

pangan. Pasien yang menderita hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20

gram/hari ternyata total kolesterol, LDL, serta rasio LDL-HDL plasmanya

mengalami penurunan masing-masing 6%, 8%, dan 8%. Mereka menyimpulkan

bahwa kandungan serat dalam makanan merupakan terapi konvensional bagi

penderita hiperkolesterolemia.

Berdasarkan kelarutannya, serat pangan dapat dikelompokkan menjadi serat

pangan larut dan tidak larut. Adapun serat larut adalah serat yang dapat terdispersi di

(24)

serat yang tidak dapat terdispersi di dalam air (Gallaher dan Schneeman, 1996). Sifat

kelarutan ini berpengaruh pada fisiologis serat pada proses-proses di dalam

pencernaan dan metabolisme zat gizi. Serat larut air terdiri dari pektin, musilase, dan

gum, sedangkan serat yang tidak larut air terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan

lignin (Soelistijani, 2002).

Serat yang bersifat larut dalam air (soulble dietary fiber) memiliki peranan

fisiologis penting dalam menurunkan kadar kolesterol dan glukosa serum, serta

mencegah penyakit jantung dan hipertensi (Astawan, 1998 dalam Astawan, 1999).

Fungsi serat pangan dalam hal ini melibatkan asam empedu (bile acid). Pasien

dengan konsumsi serat yang tinggi dapat mengekskresikan asam empedu, sterol, dan

lemak lebih banyak melalui feses. Serat-serat tersebut mencegah terjadinya

penyerapan kembali asam empedu, kolesterol, dan lemak.

Serat tidak larut (insoluble dietary fiber) merupakan bulking agent yang dapat

berperan dalam pencegahan penyakit kanker usus besar, divertikulosis, konstipasi,

dan hemmorhoid (Astawan, 2004). Menurut Winarno (1997), penyakit divertikulosis

merupakan panyakit yang disebabkan oleh terjadinya pembengkakan keluar pada

usus besar, terutama pada bagian depan (bagian ascending dan menyilang). Bagian

usus besar tersebut dapat menggembung dan pecah sehingga terjadi infeksi. Hasil

penelitian secara klinis diperoleh bahwa serat pangan khususnya dari serealia sangat

efektif dalam menanggulangi penyakit divertikulosis. Dengan konsumsi serat yang

tinggi maka feses lebih mudah menyerap air, menjadi lebih empuk, halus, dan mudah

didorong keluar sehingga mengurangi kesakitan penderita penyakit ini.

Menurut Soelistijani (2002), konstipasi merupakan kesulitan dalam

pengeluaran sisa pencernaan karena volume feces terlalu kecil, sehingga penderita

jarang buang air besar. Gangguan ini dapat dihindari dengan mengkonsumsi

makanan berserat tinggi yang tidak larut air, misal selulosa dan hemiselulosa.

Serat-serat tersebut di dalam kolon mampu berikatan menyerap air. Keadaan ini akan

menyebabkan volume feses menjadi besar dan lunak. Untuk mencegah diare,

sebaiknya secara teratur mengkonsumsi serat larut air. Serat ini mudah membentuk

gel sehingga memperlambat waktu transit zat-zat makanan di dalam usus.

(25)

untuk menghindari kelebihan lemak jenuh, kolesterol, gula, natrium, serta membantu

mengontrol berat badan. American Dietetic Association (ADA), National Center Institute, dan American Cancer Society merekomendasikan konsumsi serat antara 25 hingga 35 gram setiap hari atau 10 hingga 13 gram serat per 1000 Kcal setiap harinya

untuk orang dewasa dan manula. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20

tahun), ADA merekomendasikan konsumsi serat sama dengan umur (dalam tahun)

ditambah 5 gram setiap hari. Sebagai contoh, anak berusia 5 tahun, maka kebutuhan

seratnya adalah 10 gram per hari, sedangkan pada usia 20 tahun kebutuhan seratnya

adalah 25 gram per hari (Anonymousb, 2007).

2.5. Tepung Beras

Beras terdiri dari bagian kariopsis dan struktur pembungkus yaitu sekam.

Bagian sekam terdiri dari 18-20% berat gabah. Kariopsis merupakan biji tunggal

yang dilapisi dengan dinding ovari matang atau perikarp membentuk biji (Juliano,

1972). Tepung beras dibuat melalui tahapan seperti pembersihan bahan, pengeringan

sampai kadar air 14% dan kemudian digiling kasar untuk memisahkan lembaga dan

endospermnya. Hasil gilingan itu dikeringkan kembali hingga mencapai kadar air

12-14%, kemudian dilakukan penggilingan halus dengan alat penggilas. Hasil gilingan

tersebut selanjutnya diayak dengan pengayak bertingkat untuk mendapatkan berbagai

tingkatan hasil giling, misal < 10 mesh (butir kasar), < 40 mesh (tepung kasar atau

bubuk), 65-80 mesh (tepung agak halus), dan > 100 mesh (tepung halus) (Hubeis,

1984). Komposisi kimia tepung beras dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Beras per 100 Gram

Komponen Satuan Nilai

(26)

Kandungan amilosa dan amilopektin banyak menentukan tekstur pada

makanan yang banyak mengandung pati. Menurut Graham (1977), kandungan

amilosa pada beras sebanyak 16-17% dari berat total dan kandungan amilopektin

beras menurut Winarno (1992) sebanyak 4-5% dari berat total. Amilosa

menyebabkan terbentuknya gel yang keras dan berwarna keruh setelah dimasak

sedangkan amilopektin berperan penting terhadap sifat konsistensi gel dan viskositas

gel sehingga menyebabkan makanan menjadi lengket (Cagampang et al., 1973).

Pati tidak larut dalam air dingin, tetapi bila pati dipanaskan dalam air maka

akan terjadi perubahan yang nyata pada saat mencapai suhu gelatinisasi, dimana

butir-butir pati akan mengembang (Kulp, 1975). Suhu gelatinisasi adalah suhu pada

saat granula pati mengembang dan tidak kembali lagi ke bentuk semula

(irreversible). Menurut Winarno (1980) bila pemanasan diteruskan, pengembangan

akan mencapai titik maksimum dan granula pati akan pecah sehingga kekentalan dari

suspensi akan naik.

2.6. Tepung Hunkwee

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung hunkwee adalah biji

kacang haijau. Biji kacang hiaju secara umum terbagi dalam dua bagian yaitu kulit

biji, endosperm, dan lembaga. Kulit biji berfungsi untuk melindungi biji dari

kekeringan, kerusakan fisik, mekanik, serangan kapang dan serangga. Endosperm

merupakan biji yang mengandung cadangan makanan untuk pertumbuhan lembaga.

Lembaga ini akan membesar selama pertumbuhan biji tersebut (Soeprapto dan

Sutarman, 1990)

Kacang hijau merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup

penting karena kacang ini banyak mengandung protein, vitamin, dan mineral. Setiap

100 gram biji kacang hijau mengandung 150-400 IU (International Unit) vitamin A,

dan beberapa jenis vitamin lainnya. Bila biji kacang hijau dikecambahkan, maka

kecambah yang tumbuh menjadi kaya akan vitamin E (Soeprapto, 1998). Nilai gizi

kacang hijau dan taoge dapat dilihat pada Tabel 4.

Kadar vitamin kacang hijau tergantung pada bentuk olahannya. Dalam bentuk

(27)

bersisa bila dalam bentuk tepung. Hal ini disebabkan karena vitamin yang

terkandung mudah larut dalam air, terutama vitamin B1 sehingga vitamin banyak

yang terbawa bersama air (Soeprapto, 1998).

Tabel 4. Kandungan Gizi Biji dan Kecambah Kacang Hijau per 100 Gram (Soeprapto, 1998)

Komposisi Satuan Biji Kecambah (Taoge)

Kalori Kkal 345,0 23,0

Salah satu pemanfaatan kacang hijau dalam industri pangan di Indonesia

yang porsinya cukup besar adalah sebagai bahan baku pabrik tepung hunkwee.

Tepung hunkwee adalah pati kacang hijau yang diekstrak dengan air. Kandungan

utama tepung hunkwee adalah karbohidrat (83,5%), sedangkan protein 4,5%.

Komposisi kimia tepung hunkwee disajikan pada Tabel 5 (Direktorat Gizi,

Departemen Kesehatan RI, 1979).

Tabel 5. Komposisi Tepung Hunkwee (100 gram)

Komposisi Satuan Nilai

Kalori Kal 364,0

Protein gr 4,5

Lemak gr 1,0

Karbohidrat gr 83,5

Kalsium mg 50,0

(28)

Dari kacang hijau dapat diperoleh 15,20% tepung hunkwee. Proses

pembuatan tepung hunkwee secara tradisional adalah dengan cara menggiling pecah

biji kacang hijau menjadi dua bagian. Bagian pertama berupa kulit luar dan bagian

kedua berupa kulit halus dan dedak. Bagian kulit halus dan dedak kemudian

direndam selama 3-4 jam dan dicuci dengan air. Kulit halus dan dedak digiling

dalam kondisi basah, kemudian dilakukan penyaringan untuk mendapatkan larutan

patinya. Larutan pati diendapkan, dicuci, dan diendapkan kembali selama 3 jam

sebanyak 3 kali. Endapan berupa tepung halus digiling dan dikeringkan selama 1-2

hari, kemudian ditambah dengan vanili dan zat pewarna (Departemen Pertanian,

Balai Informasi Pertanian Daerah Istimewa Aceh, 1987).

2.7. Pengeringan Beku (Freeze Drying)

Pengeringan secara umum bertujuan untuk menghilangkan air atau hilangnya

pelarut organik. Hilangnya air menjamin stabilitas dan pengawetan yang efektif

(Voight, 1994). Dengan pengeringan beku produk akhir diharapkan memiliki

karakteristik tidak keriput (bentuk tetap), bau, warna, dan cita rasa tidak berubah

serta proses rehidrasi lebih cepat.

Proses pengeringan pada pengeringan beku berlangsung pada saat bahan

dalam kondisi beku, sehingga proses yang terjadi adalah sublimasi. Proses sublimasi

terjadi pada suhu dan tekanan rendah, di bawah titik triple air. Mula-mula bahan

dalam keadaan beku dimasukkan ke dalam ruang pengering yang hampa udara,

panas sublimasi akan diberikan dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam

ruang pengering, dan panas akan diradiasikan dari lempeng pemanas ke permukaan

(Rachdiani, 2001).

Menurut Liapis dan Bruttini (1995) proses pengeringan beku berlangsung

dalam tiga tahap, yaitu a) tahap pembekuan, dimana seluruh bahan didinginkan

hingga menjadi beku; b) tahap pengeringan primer, dimana air dan pelarut

dikeluarkan dalam keadaan beku secara sublimasi; c) tahap pengeringan sekunder,

mencakup pengeluaran uap air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan

sekunder dimulai setelah tahap pengeringan primer berakhir.

Menurut Desrosier (1988) bahan pangan dengan kandungan air yang tinggi

(29)

pembekuan, suhu bahan tersebut relatif tetap sampai sebagian besar dari bahan

pangan tersebut membeku, dan setelah beberapa waktu, suhu akan mendekati

medium pembeku. Pembekuan cepat didefinisikan sebagai proses di mana suhu

bahan pangan tersebut melampaui zona pembekuan kristal maksimum dalam waktu

kurang dari 30 menit.

Menurut teori kerusakan kristal, pertumbuhan kristal es pada umumnya

merusakkan kualitas bahan pangan. Pembekuan lambat memberi kesempatan

pertumbuhan kristal es yang besar. Sel-sel daging unggas, ikan, kerang,

buah-buahan, dan sayuran semuanya mengandung protoplasma yang menyerupai selai.

Maka untuk membuat massa yang tetap menyerupai selai, besarnya kecepatan

pembekuan harus sedemikian rupa sehingga terbentuk kristal kecil yang seragam ke

seluruh jaringan. Jaringan yang dibekukan dengan cepat jika dicairkan kembali maka

air akan diserap kembali ke dalam jaringan ketika kristal-kristal es tersebut mencair,

sedangkan pada pembekuan lambat atau kondisi suhu pembekuan yang berfluktuasi

akan terbentuk kristal es yang besar sehingga sel-sel menjadi rusak dan jaringan yang

dicairkan tidak dapat kembali seperti pada keadaan awal selai. Sebagian cairan yang

dihasilkan dari pencairan tidak dapat diserap kembali dan nampak seperti air bebas

(Desrosier, 1988).

Untuk merubah fase es pada bahan menjadi fase uap diperlukan panas sebesar

panas laten sublimasi, yaitu sebesar 666 kalori/gram es. Panas ini dapat diperoleh

dari suhu lingkungan atau dari sumber panas yang ada di luar bahan. Secara

komersial, panas untuk sublimasi pengeringan beku diperoleh dengan menempatkan

lempeng pemanas di dalam ruang pengering dan uap air yang terbentuk ditarik

dengan pompa vakum yang dilengkapi dengan kondensor untuk menangkap uap air

proses sublimasi (Harper et al., 1962).

Pergerakan fraksi air selama proses pengeringan beku akan semakin

menurun. Pada tahap awal pergerakan fraksi air menurun dengan tajam dan

menjelang akhir proses pengeringan gradien pergerakan fraksi air mulai melandai.

Melandainya gradien pergerakan fraksi air, menunjukkan semakin sedikitnya

kandungan air dalam bahan yang harus diuapkan sehingga tidak terjadi lagi

(30)

Gambar 3. Diagram Fase Air (Karel, 1975 dalam Wenur, 1997).

Selama proses pengeringan beku, kandungan air bahan tidak dalam fase cair

sehingga dapat mencegah terjadinya perpindahan zat-zat yang larut dalam air dan

memperkecil terjadinya reaksi degradasi (King, 1971). Keunggulan lain proses

pengeringan beku dibandingkan dengan pengeringan konvensional dapat dilihat pada

Tabel 6.

Tabel 6. Perbedaan Metode dan Mutu Produk antara Pengeringan Beku dan Pengeringan konvensional (Tischer dan Brockman dalam Desrosier, 1988)

Variabel Pengeringan Konvensional Pengeringan Beku ƒ Suhu proses

(31)

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Bulan April sampai September 2007 di

Laboratorium Pengolahan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil

Perikanan, Jakarta. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Kimia,

Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Organoleptik Balai Besar Pengembangan

dan Pengendalian Hasil Perikanan, Jakarta, Laboratorium Pascapanen Pertanian,

Bogor, Laboratorium Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor, dan Laboratorium

Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut kering jenis

Euchema cotonii, tepung beras, tepung hunkwee, air, daun suji (Pleomele angustifolia), dan bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis di laboratorium. Alat yang digunakan yaitu cetakan cendol, saringan, freeze dryer skala

laboratorium Merk Labconco Freeze Dry system, mikroskop, kamera digital Merk

Canon, blender, mixer, jangka sorong, wadah, peralatan gelas, serta peralatan

laboratorium untuk pengujian kimia dan organoleptik sesuai dengan parameter yang

sudah ditentukan.

(32)

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini melalui beberapa tahapan yang sistematis, yaitu pembuatan

bubur rumput laut termasuk didalamnya proses perendaman rumput laut yang

bertujuan untuk menghilangkan bau amisnya, formulasi cendol rumput laut,

pengeringan beku (freeze drying), uji organoleptik (uji kesukaan dan perbandingan

pasangan), dan analisis ekonomi cendol rumput laut instant. Alur pembuatan cendol

instan dapat dilihat pada Gambar 5 dan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

a. Pembuatan bubur rumput laut Euchema cotonii

Sebelum rumput laut Euchema cotonii dibuat bubur, rumput laut tersebut

lebih dahulu dilakukan perendaman untuk menghilangkan bau amisnya.

Penghilangan bau amis pada rumput laut segar dapat dilakukan dengan merendam

rumput laut selama empat hari dengan perbandingan air dan rumput laut 1 : 0.5, air

perendam diganti setiap 24 jam (Astawan et al., 2004). Sedangkan untuk rumput laut

kering, penghilangan bau amis dapat dilakukan dengan perendaman dalam air tawar

selama 9 jam (Chaidir, 2007). Selain untuk menghilangkan bau amis, perendaman

juga bertujuan untuk mendapatkan rumput laut dengan kenampakan (warna) putih

dan tekstur yang tidak lembek.

Rumput laut yang telah direndam selanjutnya dipotong-potong sehingga

menghasilkan ukuran yang lebih kecil. Pemotongan rumput laut bertujuan untuk

memudahkan dalam proses peghancuran (diblender) dan proses blender menjadi

lebih singkat. Rumput laut tersebut diblender selama 3 menit.

Bubur rumput laut yang telah dibuat selanjutnya dilakukan analisis proksimat

(kadar air, abu, protein, dan karbohidrat), kadar serat pangan (serat pangan larut,

serat pangan tidak larut, dan serat pangan total), dan Iodium. Diagram alir pembuatan

bubur rumput laut dapat dilihat pada Gambar 7.

b. Formulasi Cendol Rumput Laut

Formulasi cendol rumput laut bertujuan untuk mendapatkan komposisi

cendol yang paling baik. Cendol rumput laut dibuat dengan menambahkan bubur

rumput laut ke dalam adonan formula resep, dengan konsentrasi 0% (formula A),

10% (formula B), 20% (formula C), 30% (formula D), 40% (formula E), dan 50%

(33)

gram dan jumlah rumput laut yang akan ditambahkan adalah 20% maka bubur

rumput laut yang akan ditambahkan adalah 20 gram dalam 100 gram bahan adonan.

Bahan pewarna dalam cendol penelitian ini digunakan pewarna alami, yaitu

daun suji (Pleomele angustifolia). Larutan daun suji dibuat dengan cara

mencampurkan air ke dalam daun suji yang telah diblender dengan perbandingan

daun suji dan air 1:5 (Anggraeni, 2002). Misalkan daun suji yang digunakan adalah

100 gram, maka air yang ditambahkan adalah 500 ml. Daun suji dan air tersebut

diblender selama 3 menit, dan disaring. Hasil saringan tersebut siap digunakan

sebagai bahan pewarna cendol rumput laut.

c. Pengeringan Beku Cendol Rumput Laut

Cendol rumput laut dari formula terpilih selanjutnya dilakukan pengeringan.

Pengeringan secara umum bertujuan untuk menghilangkan air atau hilangnya pelarut

organik. Hilangnya air menjamin stabilitas dan pengawetan yang efektif (Voight,

1994). Dengan pengeringan beku produk akhir diharapkan memiliki karakteristik

tidak keriput (bentuk tetap), bau, warna, dan cita rasa tidak berubah serta proses

rehidrasi lebih cepat.

Proses pengeringan pada pengeringan beku berlangsung pada saat bahan

dalam kondisi beku, sehingga proses yang terjadi adalah sublimasi. Proses sublimasi

terjadi pada suhu dan tekanan rendah, di bawah titik triple air. Mula-mula bahan

dalam keadaan beku dimasukkan ke dalam ruang pengering yang hampa udara,

panas sublimasi akan diberikan dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam

ruang pengering, dan panas akan diradiasikan dari lempeng pemanas ke permukaan

(Rachdiani, 2001).

Menurut Liapis dan Bruttini (1995) proses pengeringan beku berlangsung

dalam tiga tahap, yaitu a) tahap pembekuan, dimana seluruh bahan didinginkan

hingga menjadi beku; b) tahap pengeringan primer, dimana air dan pelarut

dikeluarkan dalam keadaan beku secara sublimasi; c) tahap pengeringan sekunder,

mencakup pengeluaran uap air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan

(34)

Tahap pengeringan beku cendol rumput laut dapat dibagi menjadi dua proses

utama yaitu pembekuan dan pengeringan. Prosedur yang dilakukan pada proses

pembekuan adalah ;

a. Cendol rumput laut yang telah terpilih dimasukkan ke dalam wadah contoh.

b. Cendol rumput laut dan wadah contoh dibekukan pada plat pembeku yang

terdapat pada alat pengering beku pada suhu -30 0C selama 8 jam.

c. Proses pembekuan dihentikan sampai suhu bahan hampir seragam.

Prosedur pengeringan dalam pengeringan beku yaitu ;

a. Cendol rumput laut yang telah beku selanjutnya dikeringkan menggunakan

freeze drier padasuhu 30 0C dengan lama pengeringan 36 jam.

b. Proses pengeringan dihentikan setelah kekeringan akhir bahan hampir

seragam.

3.4. Analisis Data

Penelitian uji penambahan rumput laut dan uji pengeringan beku dilakukan

dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor yang berpengaruh

pada formulasi cendol rumput laut adalah komposisi (persentase) rumput laut yang

ditambahkan pada bahan cendol (0, 10, 20, 30, 40, dan 50%). Data yang didapat

selanjutnya dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) untuk mengetahui

pengaruh dari perlakuan. Bila ada perbedaan dilanjutkan dengan uji Less Significant

Difference (LSD). Model yang digunakan adalah :

Yij = µ + αi + εij

Dimana :

Yij : Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i, pada ulangan ke-j

µ : Nilai rata-rata tengah umum

αi : Pengaruh perlakuan ke-i

(35)

Gambar 5. Alur Pembuatan Cendol Rumput Laut Instant.

Air daun suji (Pleomele angustifolia)

Penambahan bubur rumput laut (0,10,20,30,40,50% dari formula resep)

Campuran tepung hunkwee, tepung beras, dan rumput laut dimasak ke

dalam air mendidih

Air dimasak hingga mendidih

Pengadukan

Pengeringan beku

Cendol instant Pencetakan

Penirisan

Tepung hunkwee & tepung beras (Rasio 2:1)

Penimbangan

(36)

Gambar 6. Diagram Alir Penelitian.

Pencampuran hingga merata

Penambahan bubur rumput laut (0, 10, 20, 30, 40, dan 50% dari tawar selama 9 jam

Analisis :

(37)

Gambar 7. Alur Penghilangan Bau Amis dan Pembuatan Bubur Rumput Laut.

3.5. Analisis Daya Serap Air (DSA) (Rasper dan J.M de Man, 1980)

Sebanyak 10 gram cendol direndam dalam air 100 ml. Setelah mencapai

waktu optimum (seluruh bagian cendol sudah mengembang), cendol ditiriskan

selama 5 menit. Cendol kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105 0C

sampai bobotnya konstan kemudian ditimbang kembali.

DSA = 100%

A = Berat cendol setelah direhidrasi

B = Berat cendol awal sebelum direhidrasi Euchema cotonii kering

Pencucian dengan air mengalir

Penirisan

Perendaman dalam air tawar selama 9 jam

Pemotongan dengan panjang 2 cm

Penghalusan selama 3 menit

(38)

3.6. Sifat Kimia Cendol Rumput Laut Euchema cotonii a. Kadar air (Apriyantono et al., 1989)

Kadar air diukur dengan metode oven. Sebanyak 5 gram contoh dikeringkan

dalam oven pada suhu 105 0C selama 16-24 jam sehingga diperoleh bobot yang

konstan.

B = bobot wadah setelah dikeringkan (gr)

C = bobot bahan

b. Kadar abu (Apriyantono et al., 1989) Cara penentuan kadar abu yaitu ;

- cawan pengabuan dibakar dalam tanur

- didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya

- sampel ditimbang 3-5 gram dalam cawan

- sampel pangabuan didinginkan dan ditimbang

Kadar abu (%) = 100%

c. Kadar lemak (Apriyantono et al., 1989)

Penentuan kadar lemak dengan metode soxhlet. Labu lemak dikeringkan

dalam oven, didinginkan dalam desikator. Sejumlah kecil (3-5 gram) sampel

dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet,

kemudian kondensor diletakkan diatasnya dan labu lemak di bawahnya. Setelah

pelarut dietil eter atau petroluem eter dituangkan dalam labu lemak, maka dilakukan

refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun ke labuh lemak kembali

berwarna jernih. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipisahkan

dalam dalam oven pada suhu 105 0C. Setelah dikeringkan sampai berat konstan dan

(39)

Kadar lemak (%) = 100%

d. Kadar protein (Apriyantono et al., 1989)

Analisis kadar protein pada penelitian ini menggunakan metode

mikrokjeldahl. Prinsip kerjanya adalah sejumlah sampel ditimbang, lalu dimasukkan

ke dalam tabung kjeldahl 30 ml. Kedalammnya ditambahakan 1,9 gram K2SO4, 40

mg HgO dan 20 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg kemudian di tambahkan 0,1

ml H2SO4 untuk setip 10 mg bahan organik. Selanjutnya sampel di didihkan selama

1-1,5 jam sampai cairan jernih dan di dinginkan.

Isi labu kjeldahl di pindah kan dalam alat destilasi.labu di cuci dan dibilas 1-5

kali dengan 1-2 ml air.Air cucian di masukan dalam alat destilasi kemudian di

tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Erlemeyer 125 ml yang berisi 5 ml

H3BO3 dan 2-4 tetes indikator di letakan di bawah kondensor. Ujung tabung

kodensor harus terendam di bawah larutan H3BO3.setelah itu di lakukan destasi

sampai di peroleh kira kira 15 ml destilasi dalam erlenmeyer.

Tabung kondensor dibilas air dan bilasanya di tampung dalam erlenmeyer

yang sama. Isi erlenmeyer di encerkan sampai 50 ml kemudian dititrasi dengan HCI

0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal ini di lakukan terhadap

blanko.

A : Volume (ml) HCl untuk mentitirasi larutan dalam contoh

B : Volume (ml) HCl larutan blanko

N : Normalitas HCl standar yang digunakan

14,007 : Berat atom Nitrogen

(40)

e. Kadar karbohidrat (by different)

Kadar karbohidrat dihitung setelah nilai kadar protein, kadar lemak, kadar

abu, dan kadar air diperoleh. Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :

Kadar karbohidrat (%) = 100% - (kadar air + kadar protein + kadar lemak + kadarabu)

f. Kadar serat pangan (Asp et al., 1983)

Contoh kering homogen diekstraksi lemaknya dengan petroleum eter selama

15 menit pada suhu kamar. Kemudian diambil 1 gram dan dimasukkan ke dalam labu

erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml 0,1 M buffer Natrium fosfat pH 6,0 dan

dicampur secara merata. Setelah itu ditambahkan 0,1 ml alfa amilase (termamyl 120

L) dan labu ditutup dengan aluminium foil, kemudian diinkubasi selama 15 menit

dalam penangas air panas bergoyang pada suhu 80 0C. Selanjutnya didinginkan lalu

ditambahkan 20 ml air destilata, pH diatur menjadi 1,5 dengan HCl 0,1 N dan

elektroda dibersihkan dengan air. Kemudian ditambahakan pepsin 0,1 gram, ditutup

dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40

0C selama 1 jam. lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6,8

dengan NaOH, elektroda dibersihkan dengan 5 ml air. Selanjutnya ditambahkan 0,1

gram pankreatin, kemudian labu ditutup dengan alumunium foil dan didinkubasi

dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 0C selama 1 jam, pH diatur menjadi 4,5

dengan HCl 0,1 N. Kemudian disaring dengan crucible, dicuci dengan 2 x 10 ml air

destilata.

Serat pangan tidak larut (Residu / insoluble dietary fiber)

Residu dalam crucible dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 90% dan 2 x 10 ml

aseton. Crucible dikeringkan pada suhu 105 0C sampai bobot tetap dan ditimbang

setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan pada suhu 550 0C

selama kurang lebih 5 jam, serta ditimbang setelah pendinginan dalam desikator (I1).

Serat pangan larut (Filtrat/soluble dietary fiber)

Volume filtrat diatur dan dicuci dengan air sampai 100 ml kemudian

(41)

60 menit. Lalu disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang menngandung 0,5

gram celite, selanjutnya dicuci berturut dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml

aseton. Setelah itu filter gelas dikeringkan dalam oven suhu 105 0C sampai beratnya

konstan dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2), dan diabukan pada

suhu 550 0C selama kurang lebih 5 jam serta ditimbang setelah pendinginan dalam

desikator (I2).

Dilakukan juga perhitungan serat blanko dengan mengunakan prosedur

seperti di atas, tetapi tidak digunakan sampel. Nilai blanko ini harus diperiksa secara

berkala dan bila enzim yang digunakan berasal dari batch baru.

Perhitungan :

D = berat setelah peneringan (gram)

I = berat setelah pengabuan (gram)

B = blanko bebas serat (gram)

g. Kadar Iodium

Salah satu cara penetapan kuantitatif untuk menetapkan kadar iodium dalam

bahan makanan adalah berdasarkan reduksi katalis ion Ce4+ (kuning) menjadi Ce3+

(tidak berwarna). Metode ini terdiri dari 4 bagian, yaitu pembuatan larutan pereaksi,

pembuatan kurva standar, persiapan contoh, dan perhitungan kadar iodium.

Pembuatan larutan pereaksi

1. Asam arsenit 0,02 N : sebanyak 0,986 gram arsen trioksida (As2O3)

dilarutkan dalam 10 ml NaOH 0,5 N dalam sebuah gelas piala dan dipanaskan.

Selanjutnya dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 1 liter,

diencerkan dengan 850 air suling dan ditambahkan 20 ml asam klorida pekat

dan 20,6 ml asam sulfat pekat, kemudian ditepatkan dengan air suling

(42)

2. seri ammonium sulfat 0,03 N : 48,6 ml asam sulfat pekat ditambahkan ke

dalam air suling dalam labu takar 1 liter. Kemudian tambahkan 20 gram seri

ammonium sulfat dan dilarutkan, volume ditepatkan hingga 1 liter.

3. larutan pengabuan : sebanyak 212 gram natrium karbonat anhydrous dan 20

gram kalium hipoklorida dilarutkan dalam 1 liter air suling.

4. larutan standar indul iodium 4 µg/ml dibuat dengan melarutkan standar kalium

iodide ke dlam air suling

5. standar kerja ioduim : larutan standar iodium dipipet ke dalam tabung takar

100 ml masing-masing 1, 2, 3, dan 4 ml dan ditepatkan hingga tanda garis.

Larutan ini mengandung 0,04; 0,08; 0,12; dan 0,16 µg iodium/ml.

Pembuatan kurva standar

Sebanyak 5 ml masing-masing larutan standar kerja iodium 0; 0,04; 0,08;

0,12; dan 0,16 µg iodium/ml dipipet ke dalam tabung pereaksi atau kuvet dan

direndam dalam penangas air bersuhu 37 0C. Setelah suhu 37 0C tercapai,

ditambahkan dengan 0,1 ml larutan seri ammonium sulfat ke dalam tabung. Setelah

20 menit, reduksi seri ammonium kepada sero diukur dengan spektrofotometer

dengan panjang gelombang 420 nm. Dilakukan juga blanko tanpa sampel atau

standar. Selanjutnya dibuat kurva hubungan konsentrasi (µg iodium/ml) versus

serapan masing-masing larutan standar.

Persiapan contoh

Sebanyak 5 gram contoh (mengandung 0,04-0,08 µg iodium) ditimbang ke

dalam tabung pyrex 22 x 220 mm (15 x 125 mm) dan ditambahkan larutan pembantu

pengabuan 0,5 ml. Kemudian campuran tersbut dikeringkan dalam oven pada suhu

105-110 0C selama ± 2 jam. Selanjutnya tabung dipindahkan ke dalam tanur lalu

suhu dinaikkan perlahan-lahan dan contoh diabukan pada suhu 500 0C selama 4 – 6

jam. Tabung didinginkan, kemudian abu dikestrak dengan menambahkan 10 ml

larutan asam arsenit dan didiamkan selama ± 15 menit. Campuran diputarkan pada

200 rpm selama 20 menit dan sebanyak 5 ml supernatan dipipet ke dalam tabung

reaksi atau kuvet dan direndam dalam penangas air bersuhu 37 0C. Setelah suhu 37

0

(43)

tabung tepat setelah 20 menit, reduksi seri kepada sero diukur dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.

Perhitungan :

Iodium (µg/100 gram) =

B x V x

C 100

Keterangan :

C = konsentrasi larutan sampel yang terbaca dari kurva standar

(µg iodium/ml).

V = volume ekstrak sampel dalam ml (10 ml)

B = berat sampel (gram)

3.7. Total Mikroba (Fardiaz, 1989)

Sebanyak 10 g sampel dimasukkan ke dalam plastik tahan panas yang telah

disterilkan yang berisi 90 ml larutan pengencer steril. Sampel tersebut kemudian

dihancurkan dengan menggunakan alat stomacher selama 60 detik, dan dihasilkan

sampel dengan pengenceran 1:10. Campuran dikocok, diambil 1 ml kemudian

dimasukkan ke dalam tabung reaksi 9 ml larutan pengencer steril (10-2). Dengan cara

yang sama diperoleh pengenceran 10-3,10-4, dan seterusnya.

Dari tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml suspensi sampel dan

dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya ditambahkan 15-20 ml medium

PCA steril pada suhu 47-50oC (duplo). Setelah medium membeku, cawan petri

diinkubasi dengan posisi terbalik pada inkubator suhu 37oC selama 2-3 hari.

Perhitungan total mikroba menggunakan metode Standar Plate Count (SPC), dengan

rumus;

Faktor pengenceran = pengenceran awal x pengenceran selanjutnya x Σ yang ditumbuhkan

Koloni per ml/gr = Σ koloni x

n pengencera faktor

(44)

3.8. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan terhadap cendol rumput laut yang masih basah

(belum dilakukan proses pengeringan beku) dan cendol kering yang telah direhidrasi.

Untuk cendol yang basah dilakukan uji kesukaan (hedonik), sedangkan untuk cendol

kering dilakukan uji perbandingan berpasangan dengan produk cendol komersial.

a. Uji kesukaan (hedonik)

Uji kesukaan (hedonik) meliputi parameter warna, aroma, rasa, dan tekstur.

Uji kesukaan dilakukan oleh 20 orang panelis dengan menggunakan score sheet

dengan skala 1-9 yang mendeskripsikan sampel cendol yang diujikan. Dalam uji ini,

cendol yang disajikan dalam bentuk segar dan tidak dicampur dengan larutan gula

kelapa dan larutan santan kelapa. Uji hedonik menggunakan angka 9 untuk nilai

tertinggi (amat sangat suka) dan angka 1 untuk nilai terendah (amat sangat tidak

suka). Kriteria penilaian uji kesukaan seperti pada Tabel 7 dan score sheet kriteria uji

kesukaan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 7. Kriteria Uji Kesukaan

Skala hedonik Nilai

Sangat suka 9

Suka 7

Agak suka 6

Netral 5

Agak tidak suka 4

Tidak suka 3

Sangat tidak suka 1

b. Uji perbandingan pasangan (Rahayu, 2001)

Formula terpilih selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan dengan

produk komersial. Pada uji perbandingan pasangan, cendol yang diuji disajikan

dalam kondisi siap saji sebagaimana cendol komersil disajikan, yaitu dengan

penambahan larutan gula kelapa 40 ml dan larutan santan kelapa 30 ml. Menurut

Anggraeni (2002), dalam pembuatan larutan gula kelapa, perbandingan antara gula

kelapa dan air yang paling baik adalah 1 : 2,5, sedangkan untuk larutan santan

kelapa perbandingan yang paling baik antara santan kelapa dan air adalah 2 : 5.

Panelis melakukan penilaian berdasarkan formulir isian (Lampiran 2) dengan

(45)

Angka 3 untuk penilaian sangat lebih baik, sedangkan angka -3 untuk penilaian

sangat lebih buruk. Kriteria uji perbandingan berpasangan seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Kriteria Uji Perbandingan Pasangan

Skala perbandingan Nilai

Sangat lebih baik 3

Lebih baik 2

Agak lebih baik 1

Tidak berbeda 0

Agak lebih buruk -1

Lebih buruk -2

Sangat lebih buruk -3

3.9. Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi dilakukan untuk menilai kelayakan suatu usaha

berdasarkan biaya-biaya yang dikkeluarkan selama proses produksi dengan jangka

waktu tertentu. Dalam penelitian ini, penilaian kelayakan dititik beratkan pada

kelayakan usaha cendol instan yang dikeringkan dengan mesin pengering beku

(Freeze dryer) yang notabene menggunakan energi yang tinggi terutama energi listrik

dalam prosesnya.

Hal pertama yang harus dilakukan dalam analisis kelayakan usaha cendol

instan ini adalah menggolongkan biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses

produksi. Berdasarkana perilakunya terhadap perubahan volume produksi, biaya

dalam usaha cendol instan dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan

biaya variabel (variable cost) (Garrison, 1997). Biaya tetap adalah jenis-jenis biaya

yang selama periode kerja pengoperasian usaha tetap dan tidak tergantung pada

jumlah produk yang dihasilkan, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang berubah

sesuai dengan pertambahan jumlah produksi.

a. Keuntungan usaha (profit)

Keuntungan usaha digunakan untuk melihat keuntungan dari suatu usaha

berdasarkan perhitungan finansial. Perhitungan besarnya keuntungan diperoleh

dengan persamaan :

(46)

Dimana : TR = Total Revenue (Penerimaan total) TC = Total Cost (Biaya total)

Kriteria : TR > TC = usaha menguntungkan TR < TC = usaha rugi

TR = TC = impas

b. Benefit/cost ratio (B/C Ratio)

Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh

dari usaha tertentu cukup menguntungkan dengan membandingkan antara

penerimaan dengan biaya. Perhitungan B/C Ratio dihitung dengan persamaan :

B/C = Cj Pj

Dimana : Pj = NPV dari aliran uang tunai proyek mulai pada periode t=0 Cj = NPV dari biaya yang dikeluarkan mulai pada periode t= 1 Kriteria : B/C > 1 = usaha menguntungkan

B/C < 1 = usaha rugi B/C = 1 = usaha impas

c. Net Present Value (NPV)

NPV adalah selisih harga sekarang antara penerimaan dan pengeluaran pada

tingkat suku bunga tertentu. NPV merupakan salah satu metode menghitung selisih

nilai sekarang investasi dengan penerimaan kas di masa yang akan datang. NPV

dirumuskan dalam persamaan berikut :

NPV =

NPV < 0 = usaha tidak layak dilaksanakan

d. Internal Rate of Return (IRR)

Usaha cendol instan layak dilaksanakan jika dioperasikan pada tingkat suku

(47)

tingkat suku bunga yang berlaku. Untuk mendapatkan nilai IRRdirumuskan dengan NPV’’ = NPV dari ulangan ii’ yang bernilai negatif

i’ = tingkat suku bunga yang memberikan NPV positif i’’ = tingkat suku bunga yang memberikan NPV negatif

e. Break even Point (BEP)

Break even point atau titik impas merupakan titik dimana usaha yang

dijalankan tidak memperoleh keuntungan maupun kerugian. Titik impas bisa dalam

satuan jumlah produk atau dalam jumlah nilai penjualan. Titik impas dirumuskan

dengan persamaan (Riyanto, 1996) :

BEP (Q) =

Pay back periode atau waktu pengembalian investasi adalah waktu yang

dibutuhkan untuk mengembalikan seluruh investasi selama periode operasi.

Pengembalian investasi dilakukan dengan pembayaran laba bersih ditambah dengan

penyusutan (Madani, 2002). PBP dirumuskan sebagai berikut :

(48)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembuatan Bubur Rumput Laut

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut kering

tawar jenis Euchema cotonii yang diperoleh dari petani rumput laut di Kepulauan

Seribu. Rumput laut ini sebelumnya sudah mengalami perlakuan sehingga didapat

rumput laut Euchema cotonii kering tawar dengan warna kuning pucat. Rumput laut

ini mendapat perlakuan khusus setelah dipanen, yaitu direndam dalam air tawar

selama 2-3 hari dalam bak tertutup atau air mengalir. Rumput laut dijemur di bawah

sinar matahari selama 2-3 hari hingga kering. Rumput laut kering memiliki

karakteristik warna kuning pucat, aroma sedikit amis, dan thallus agak keras.

Rumput laut Euchema cotonii kering dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Rumput Laut Euchema cotonii Kering.

Bubur rumput laut (BRL) merupakan hasil olahan dari rumput laut yang telah

dihaluskan secara mekanis dengan menggunakan mesin penghalus blender sehingga

memudahkan dalam proses pembuatan adonan cendol rumput laut. Bubur rumput

laut memiliki beberapa keunggulan antara lain volume lebih kecil sehingga tidak

membutuhkan ruang yang luas dan lebih efektif aplikasinya dalam pembuatan

adonan karena ukurannya yang sudah halus dan tidak memerlukan biaya tinggi untuk

pembuatannya. Selain itu, proses pembuatan bubur yang tidak menggunakan suhu

tinggi diharapkan dapat mempertahankan kandungan gizinya terutama iodium yang

sensitif terhadap panas. Berbeda dengan pembuatan tepung rumput laut yang

berpotensi mengalami penurunan nilai gizi rumput laut tersebut sebagai akibat dari

Gambar

Gambar 3. Diagram Fase Air (Karel, 1975 dalam Wenur, 1997).
Gambar 5. Alur Pembuatan Cendol Rumput Laut Instant.
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian.
Gambar 7. Alur Penghilangan Bau Amis dan Pembuatan Bubur Rumput Laut.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rumput laut ( Eucheuma spinosum ) mengandung serat pangan yang tinggi yang terdiri dari selulosa, dapat digunakan sebagai bahan makanan.. Tujuan dari penelitian ini

Penambahan rumput laut dalam produk bakso menyebabkan kandungan serat pangan yang cukup tinggi, hal ini didukung oleh hasil penelitian Hasanah (2007) yang menunjukkan penambahan

Tujuan dari peinbahasan ini adalah ingin mengetahui sumber dan kandungan vitamin A yang terdapat pada rumput laut, ingin mengetahui manfaat vitamin A topikal untuk

Rata-rata skor penilaian kesukaan terhadap rasa pada cake rumput laut berkisar antara 3,4 sampai 3,75 (agak tidak suka sampai suka) dan sko r tertinggi pada cake rumput laut 0%, hal

Rata- rata rasa nori pada penyaringan rumput laut 90% adalah 5,9 dengan rasa hampir sama dengan penyaringan 100% yaitu rasa yang tidak terasa asin dan agak

Kadar iodium cendol rumput laut formula C dan formula B ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kadar iodium mi instan hasil penelitian Astawan et al., (2004), dengan

Hasil Kandungan Zat Gizi dan Organoleptik dari Perlakuan Terbaik Unsur Zat Gizi dan Organoleptik Jumlah Serat 2,95 gram/100 gram Kekuatan gel 0,22 N Sineresis 3,98% Rasa

Diagram pemrosesan rumput laut segar menjadi bubuk/tepung rumput laut Penambahan bubuk Eucheuma cottonii pada makanan dapat meningkatkan dan melengkapi serat pangan dan kandungan