• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat (studi kasus tiga lembaga zakat di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat (studi kasus tiga lembaga zakat di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat)"

Copied!
725
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT

Studi Kasus Tiga Lembaga Zakat di Provinsi Jambi dan Sumatera

Barat

Oleh

ABD. MALIK

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat : Studi Kasus Tiga Lembaga Zakat di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat adalah merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2010

(3)

ABSTRACT

ABD. MALIK. Social Construction of Zakat Power Knowledge (Case Study on three system of the Zakat Institution in Jambi and West Sumatra Provinces). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN, TITIK SUMARTI, DAMSAR.

The tradition of zakat (almsgiving) and its governance are interesting social phenomena among Muslim societies. Being one of traditions and compulsory to Muslim community, the almsgiving is closely related to the power of the social construction of zakat knowledge. It is closely related to the social conditions underlying it. The knowledge, rationality and the interests of many people involved in it existing in everywhere and coming from many directions are directing, limiting and shaping power of the zakat tradition. The changes of social construction happen simultaneously and continuously trough the objective and subjective dimensions of individuals in the dialectical condition.

This study uses the paradigm of constructivism, qualitative methods with case study design. The research will be held in the Provinces of Jambi and West Sumatra, with the consideration that there are found the dynamics of governance of the zakat. Besides, it has been the basis of the doctrine development of the zakat

for a very long time. Data collected trough Triangulation techniques, in-depth interviews, documentation, observation and secondary data. Sources of data obtained from the ulama as an actor of the zakat governance, those under obligatory of the zakat (muzakki) and the recipient of the zakat (mustahik). The unit of analysis is the actor of governance institutions of the zakat, academics and government officials and the people of the zakat (muzakki and mustahik). Processing and data analysis followed by the stages of data reduction and classification based on the categories established by the concept, and the relations between concepts.

It is found that the rationality of actors in the zakat governance work under asceticism and altruism in LAZ community, with the dominance of religious knowledge. The rationality of Bazda Jambi is developmentalism dominated by the political science, while the rationality of private LAZ is maximize utility or maximize profit, which is dominated by economic industrial science. Dominance of rationality of the zakat and its governance are established on three moments which by Berger and Luchmann model (1990), are named: Objectivation, internalization and externalization working simultaneously and dialectically.

In the dynamics of actors‘ interests in the zakat governance it is found that; the LAZ community focused on the interests of individual piety building or social piety building, economic and social security. In Jambi BAZDA it is focused on the strengthening of power and capital accumulation for development, whereas in private LAZ it is focused on economic of industrial and investment security.

(4)

RINGKASAN

ABD. MALIK. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat: Studi Kasus Tiga Lembaga Zakat Provinsi Jambi dan Sumatera Barat. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN, TITIK SUMARTI dan DAMSAR.

Tradisi berzakat dan tatakelolanya, merupakan fenomena sosial yang menarik dalam masyarakat muslim. Zakat sebagai suatu tradisi dan kewajiban bagi penganut Islam, tidak terlepas dari kondisi-kondisi sosial yang mendasarinya, berlangsung dengan segenap faktor pengaruh dan berkembang secara dinamis. Pengetahuan, Rasionalitas dan Kepentingan yang ada dimana-mana dan datang dari berbagai arah, merupakan kekuatan yang mengarahkan, membatasi dan membentuk tradisi berzakat. Perubahan terjadi secara simultan, melintasi dimensi objektif dan subjektif individu-individu tanpa pernah berhenti dalam kondisi yang dialektik.

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme, dengan metode kualitatif. Provinsi Jambi dan Sumatera Barat dipilih sebagai wilayah penelitian karena selain ditemukan dinamika ketatakelolaan zakat, disana juga merupakan basis perkembangan ajaran zakat sejak zaman penjajahan. Data dikumpulkan dengan teknik trianggulasi melalui wawancara mendalam, dokumentasi, observasi dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari agamawan sebagai pengelola zakat, wajib zakat (muzakki) dan penerima zakat (mustahik). Unit analisis adalah aktor lembaga tatakelola zakat yang terdiri dari agamawan, akademisi dan aparat pemerintah serta masyarakat zakat (muzakki dan mustahik). Pengolahan dan analisis data mengikuti tahapan reduksi data dan klasifikasi berdasarkan kategori yang dibangun dari konsep-konsep, dan kemudian dibuat hubungan antar konsep.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi pengetahuan zakat yang terbangun pada tiga model lembaga tatakelola zakat yang diteliti, merupakan hasil dari persentuhan pengetahuan agama, pengetahuan lokal dan sain modern (politik dan ekonomi). Pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) komunitas, ditemukan bahwa pertemuan pengetahuan agama dan pengetahuan lokal (local knowledge) menunjukkan adanya dominasi pengetahauan agama. Pada Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) ditemukan terjadi pertemuan pengetahuan agama dan sain politik modern dan menunjukkan adanya dominasi sain politik modern. Sementara pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) Swasta ditemukan pertemuan pengetahuan agama dan sain ekonomi modern dan menunjukkan adanya dominasi sain ekonomi modern.

Dominasi pengetahuan agama pada LAZ komunitas, bekerja di bawah rasionalitas asketicism dan altruism, dan dominasi sain politik pada Bazda Jambi bekerja di bawah rasionlitas developmentalism, sedangkan pada LAZ Swasta, sain ekonomi modern lebih mendominasi di bawah rasionalitas utility maximization atau

(5)

Dominasi sebuah rasionalitas merupakan fenomena kuatnya sebuah gagasan menguasai ruang kognitif infividu-individu dimana rasionalitas tersebut bekerja dan ini terbangun melalui tiga momen proses konstruksi sosial atas realitas ala Berger dan Luchmann (1990), yaitu : Objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi yang berjalan secara simultan. Tiga momen tersebut merupakan fenomena konstruksi dan rekonstruksi rasionalitas. Konstruksi rasionalitas aktor pada tiga model tatakelola zakat yang diteliti, warnanya sangat ditentukan oleh kuatnya rajutan antara pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja, dan intensifnya proses saling membangun antara keduanya (pengetahuan dan kekuasaan).

Proses tiga momen proses konstruksi sosial atas realitas ala Berger dan Luchmann tersebut merupakan fenomena dibangun, menguat dan runtuhnya sebuah rezim pengetahuan dan kekuasaan. Ketika tiga momen tersebut tidak berjalan atau terhenti, maka pengetahuan dan kekuasaan tersebut akan mandek dan menjadi pengetahuan normal ala Kuhn. Namun manakala proses terus menerus terjadi, maka konstruksi sosial pengetahuan dan kekuasaan yang baru akan terus lahir, sebagai hasil dialektika konstruksi dan rekonstruksi dari tiga momen konstruksi sosial atas realitas ala Berger. Tiga momen konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat menjadi bagian penting dalam membangun konstruksi dan rekonstruksi sosial zakat dan tatakelolanya. Karena pada proses inilah sebuah rezim pengetahuan secara terus menerus mengalami dialektika.

Dinamika kepentingan tatakelola zakat, dalam penelitian ini menemukan kepentingan yang berbeda antara model lembaga tatakelola zakat yang diteliti. Namun dibalik perbedaan kepentingan tersebut bermuara pada kepentingan penguatan kekuasaan berbasis pengetahuan. Kepentingan-kepentingan melekat pada setiap proses konstruksi dan rekonstruksi atas realitas ala Bergerian. Pada momen objektivasi, melekat pada kekuasaan membentuk objek (lembaga tatakelola zakat), pada momen internalisasi bekerja pada konstruksi dan rekonstruksi gagasan (wacana tatakelola zakat), sedangkan pada momen eksternalisasi kembali bekerja membentuk gagasan dan pemahaman dalam wujud yang baru, yang kesemuanya dengan kekuasaan dan pengetahuan diarahkan pada bentuk, gagasan dan tindakan yang diinginkan oleh siapa yang mendominasi dan dengan pengetahuan apa.

Kekuasaan dan pengetahuan oleh Foucault dipandang sebagai dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dan saling menciptakan. Ada dimana-mana dan datang dari segala arah. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa berhubungan dengan wilayah pengetahuan. Pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki relasi pengetahuan dan pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kekuasaan itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penjelasan mengenai proses produksi dan reproduksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu.

(6)

dialektis, membantu menjelaskan bagaimana kekuasaan dan pengetahuan terbangun dan saling melahirkan.

Pada momen objektivasi, pengetahuan dan kekuasaan bekerja secara bersamaan, pengetahuan bekerja pada aras subjektif membangun gagasan dalam ruang kognitif dan kekuasaan bekerja menciptakan realitas pada aras objektif dalam dunia nyata. Dunia nyata kemudian ditafsirkan oleh individu-individu melalui aras subjektif dan disini pengetahuan kembali bekerja dan diarahkan oleh kekuasaan disiplin dan norma serta institusinya. Pengetahuan dan Kekuasaan ala Foucault secara bersama-sama mempengaruhi dan mengarahkan momen internalisasi, hingga pada momen eksternalisasi kekuasaan dan pengetahuan direproduksi dan di rekonstruksi. Proses ini berlangsung terus menerus tanpa henti sebagai proses terjadi perubahan sosial. Perubahan tidak linier, tapi memungkinkan dalam berbagai model, tergantung kekuatan pengetahuan dan kekuasaan membatasi, mengarahkan, dan membentuk perubahan itu. Dengan demikian maka, penelitian ini menyimpulkan bahwa konstrusksi sosial kuasa tatakelola zakat diarahkan oleh rezim pengetahuan dan kekuasan dominan yang berkeja dalam tiga momen, yaitu : momen objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi kosntruksi sosial atas kuasa zakat. Proses ini berlansung tanpa henti sejalan dengan perubahan pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan aktor yang terlibat serta siapa aktor yang memangku kuasa atas pengetahuan dominan.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)
(9)

DISERTASI

KONSTRUKSI SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT

Studi Kasus Tiga Lembaga Zakat di Propinsi Jambi dan Sumatera

Barat

Oleh

ABD. MALIK

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA

(10)

Penguji Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS 2. Dr. Saharuddin, M.Si

(11)

Judul Disertasi : Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat (Studi Kasus Tiga Lembaga Zakat di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat)

Nama : Abd. Malik NRP : A162050011

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Titik Sumarti, MS Prof. Dr. Damsar, M.A.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan (SPD)

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh S.W.T. Yuhan Yang Maha

Esa karena berkat Rachmad dan KaruniaNya, draf disertasi ini dapat

diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak April 2007 hingga akhir tahun

2008. Proses penelitian ini relatif berlangsung lama dan merupakan penelitian

kasus lembaga pengelolaan zakat yang menggunakan pendekatan konstruktivis.

Oleh karena itu untuk mendapatkan data yang komprehensif dari perspektif emik

diperlukan waktu relatif lama.

Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan

yang tinggi penulis sampaikan pertama-tama kepada komisi pembimbing Dr. Ir.

Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, sebagai ketua dan masing-masing kepada Dr. Ir.

Titik Sumarti, MS dan Prof. Dr. Damsar, MA sebagai anggota atas bimbingannya

sejak menyusun proposal hingga selesainya penyusunan desertasi ini. Bahkan

lebih dari itu, beliau semua bukan sekedar sebagai pembimbing tetapi juga

sangat peduli pada persoalan pribadi mahasiswa dan terbuka untuk berdiskusi,

sehingga memberikan semangat dan kenyamanan suasana akademis bagi

penulis. Semoga amal kebaikan beliau semua diterima oleh Tuhan Yang Maha

Esa dan mendapatkan imbalan yang setimpal.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu dan Bapak dosen di

Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB, Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS., Prof. Dr.

Endriatmo Soetarto, MS, Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS. DEA., Dr. Ir. Ekawati Sri

Wahyuni, MS., Dr. Ir. Felix Sitorus, MS., Dr. Djuara P. Lubis, MS., dan Dr. Ir.

Soeryo Adiwibowo, MS. Penghargaan penulis sampaikan kepada beliau semua

atas tambahan bekal ilmu dan pengembangan tradisi berfikir kritis yang

diberikan, sehingga penulis menjadi tertantang dan tetap bersemangat dalam

menyelesaikan studi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan Pemerintah Daerah Provinsi

Jambi dan Sumatera Barat, Pengurus Badan Amil Zakat (Bazda) Provinsi Jambi,

Pengelola Lembaga Amil Zakat Desa Simburnaik, dan Pengurus Yayasan

Lembaga Amil Zakat PT. Semen Padang. Mereka semua memberi dukungan

(13)

yang tak ternilai harganya demi lancarnya penelitian dan penulisan disertasi ini.

Mereka juga tidak merasa keberatan untuk terus-menerus menambah informasi

meskipun tidak langsung (melalui telephon dan handphon, dan Email). Penulis

memberikan penghargaan yang tinggi kepada semuanya dan semoga amal

baiknya mendapatkan imbalan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selama di pendidikan di Institut Pertanian Bogor, khususnya di Program

Studi Sosiologi Pedesaan (SPD), penulis berkesempatan berinteraksi dengan

kawan-kawan yang kritis konstruktif dan bersemangat. Kepada semua teman

angkatan 2005, angkatan di atasnya dan di bawahnya saya mengucapkan

banyak terima kasih atas kebersamaan dan diskusi-diskusinya kritisnya, semoga

kedepan masih banyak banyak waktu untuk melanjutkan diskusi yang kosntruktif.

Semangat untuk segera menyelesaikan disertasi ini juga tidak terlepas dari

dukungan teman-teman di almamater IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor IAIN

STS Jambi, Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN STS Jambi, dan segenap kawan

dosen. Lebih khusus kepada kawan-kawan yang membantu pengumpulan data

lapangan yang dikoordinir oleh Phoppy dan Tarmuzi di Jambi dan Muhammad

Ihsan di PT. Semen Padang, serta Drs. Sahran Jaelani, M.Pd dan Drs.

Khusmaini, M.Pd penulis memberikan penghargaan yang tinggi dan ucapkan

terima kasih tak terhingga atas segala daya dan upayanya untuk membantu

kelancaran penelitian ini dengan sepenuh hati. Ucapan terima kasih juga buat

buat adek LESQAF yang selalu setia menemani penulis dalam peruses

penulisan awal hingga tahap penyempurnaan disertasi khusus untuk Arifuddin,

Jahid al-Muhratam dan Didik Suharyono yang selalu menemani meniti malam

sambil diskusi panjang.

Terakhir, rasa syukur, terima kasih, penghargaan, dan kebanggaan penulis

sampaikan kepada ayahanda H. Mhd. Rafik dan Ibunda Hj. Hafsah, istri tercinta

Marwati, S.Ag dan anak kami Maulana Akmal atas semua do‘a, dukungan,

keikhlasan, dan pengorbanannya. Oleh kareana itu saya persembahkan karya ini

untuk semua. Tak lupa terima kasih buat adik-adik tercinta Sudirman, SE.

Rukaiyah Rafik, S. Ag. Fitriani, S.Pd dan Muhd Taufik, S.Pl, Tanpa dukungan

mereka rasanya disertasi ini tidak akan pernah terwujud.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan

(14)

segala saran, kritik dan masukan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan

disertasi ini. Atas segala doa, dukungan dan perhatian semua pihak, penulis

hanya bisa mengucapkan terima kasih dan menghaturkan penghargaan

setinggi-tingginya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan Bapak,

Ibu dan Saudara semuanya.

Bogor, Juni 2010

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Abd. Malik dilahirkan di Pemusiran Kabupaten Tanjung Jabung

Timur Provinsi Jambi pada tanggal 6 April 1971 dari orang tua Hj. Hafsah dan

Bapak H. Rafik. Sekolah Dasar (SD) di Madrasah Ibtidaiyah Yayasan Pendidikan

Islam Kuala Enok Riau, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Sungai

Guntung Riau. Pendidikan Sarjana di tempuh di Jurusan Peradilan Agama

Institut Agama Islam (IAIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, tamat tahun 1995.

Pada tahun 1995-1997 menempuh program Master pada Jurusan Sosiologi

Universitas Gadjah Mada (UGM). Kemudian sejak tahun 2005 melanjutkan

pendidikan program doktor di Program Studi Sosiologi Pedesaan Institut

Pertanian Bogor.

Sejak 2000 hingga sekarang penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan

Tadris pada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha

Saifuddin Jambi. Mata kuliah yang pernah diampu adalah Ilmu Sosial Dasar,

Sosiologi Pendidikan, Metodologi Penelitian, dan Pengantar Filsafat Pendidikan.

Selama mengikuti program doktor beberapa tulisan pernah dihasilkan,

antara lain Illegal Loging, dalam buku Menggugat Kebijakan Agraria (Pustaka

Wirausaha Muda, Bogor 2006).

Pada tahun 2000 penulis menikah dengan Marwati, S.Ag dan dikaruniai

(16)

DAFTAR ISI

1.1. 1. Zakat dalam Perspektif Pembangunan ... 4

1.1. 2. Zakat dan Pembangunan Pedesaan ... 8

1.1. 3. Zakat dalam Arena Kekuasaan ... 9

1.2. Perumusan Masalah ... 12

1.2.1. Isu-Isu Kritikal Tatakelola Zakat di Indonesia ... 12

1.2.2. Tatakelola Zakat : Antara Dominasi Negara dan Komunitas ... 15

1.2.3. Partisipasi Masyarakat Tidak Berkembang ... 15

1.2.4. Konstruksi Sosial Kuasa Tatakelola Zakat Masyarakat ... 16

1.2.5. Dimensi Politik Tatakelola Zakat ... 16

1.3. Tujuan Penelitian ... 17

3.4. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 74

3.5. Sumber Data ... 74

3.6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ... 75

3.7. Daerah Penelitian ... 75

3.8. Unit Analisis ... 75

3.9. Pengalaman Lapang ... 76

IV. PROFIL TIGA LEMBAGA LEMBAGA ZAKAT DI JAMBI DAN SUMATERA BARAT ... 78

4.1. Sejarah Sosial Lembaga Tatakelola Zakat di Indonesia ... 78

4.2. Lembaga Amil Zakat Komunitas Desa SBN Provinsi Jambi ... 89

4.3. Badan Amil Zakat Daerah Jambi ... 98

4.4. Lembaga Amil Zakat PT. SP ... 108

V. KONSTRUKSI SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT ... 114

5.1. Pendahuluan ... 114

5.2. Struktur Kuasa Pengetahuan Zakat ... 119

5.2.1. Kuasa Pengetahuan Zakat dalam LAZ Komunitas ... 120

5.2.2. Kuasa Pengetahuan Zakat dalam BAZDA Jambi ... 130

5.2.3. Kuasa Pengetahuan dalam LAZ-SP ... 138

(17)

5.3.1. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat LAZ Komunitas ... 144

5.3.2. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat BAZDA Jambi ... 159

5.3.3. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat LAZ-SP ... 174

VI. DINAMIKA RASIONALITAS TATAKELOLA ZAKAT ... 181

6.1. Pendahuluan ... 181

6.2. Problematika Tatakelola Zakat ... 183

6.3. Konstalasi Ideologi Aktor Tatakelola Zakat ... 184

6.4. Sustainability dan Acceptability LembagaTatakelola Zakat ... 188

6.5. Peta Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakelola Zakat ... 200

6.5.1. Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas Propinsi Jambi ... 200

6.5.2. Rasionalitas Aktor Badan Amil Zakat Jambi ... 216

6.5.3. Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakekola Zakat SP ... 231

6.6. Ikhtisar ... 243

VII. DINAMIKA KEPENTINGAN TIGA LEMBAGA TATAKELOLA ZAKAT ... 246

7.1. Pendahuluan ... 246

7.2. Peta Kepentingan dalam Tatakelola Zakat ... 251

7.2.1. Peta Kepentingan dalam LAZ Komunitas Propinsi Jambi ... 252

7.2.2. Peta Kepentingan dalam BAZDA Jambi ... 263

7.2.3. Peta Kepentingan dalam LAZ Swasta ... 277

7.3. Dimanika Relasional dalam Lembaga Tatakelola Zakat ... 286

7.3.1. Analisis Ekonomi Politik Zakat ... 292

7.3.2. Analisis CSR Terselubung ‖Zakat‖ ... 294

7.3.3. Dinamika Relasi dalam LAZ Komunitas ... 296

7.3.4. Dinamika Relasi dalam BAZDA Jambi ... 300

7.3.5. Dinamika Relasi Dalam LAZ Swasta ... 303

7.3.6. Dimanika Kooptasi Antar Lembaga Tatakelola Zakat ... 306

7.4. Dinamika Kooptasi Aktor dalam LembagaTatakelola Zakat ... 309

7.4.1. Kooptasi Agamawan dalam LAZ Komunitas ... 309

7.4.2. Kooptasi Birokrat dalam BAZDA Jambi... 311

7.4.3. Kooptasi Pengusaha dalam LAZ Swasta ... 313

7.5. Konseptualisasi Ketatakelolaan Zakat ... 316

7.5.1. Tatakelola Zakat Oleh Negara : Politisasi Zakat dan Kemiskinan ... 316

7.5.2. Tatakelola Oleh Industri : Komodifikasi Zakat dan Kemiskinan ... 318

7.5.3. Civil Society: Kemandirian dan Pemberdayaan ... 322

7.5.4. Tatakelola Zakat : Peraktek Politisasi Moral ... 324

(18)

DAFTAR TABEL Penelitian (Thesis) Tentang Wacana Zakat Bias Negara dan Civil

Society………..…..

Pertemuan Negara, Swasta dan Civil Society dalam Wacana Tatakelola

Zakat ………...….

14 24

25

48 5 Penerimaan dan Penyaluran Dana Zakat LAZ. SP, Tahun

1995-2007………...……….…. 111

6 Relasi Aktor dengan Pengetahuan Zakat dalam LAZ Komunitas... 125

7 Relasi antar Pengetahuan dalam LAZ Komunitas... 129

8 Relasi Aktor dan Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah... 134

9 Relasi Antar Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah... 136

10 Pertemuan Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah... 137

11 Relasi Aktor dan Pengetahuan Dalam Tatakelola Zakat Swasta... 141 12

13

Relasi antar Pengetahuan dalam Tatakelola Zakat Swasta ……... Tipologi Tiga Lembaga Tatakelola Zakat ……….…...… Basisi etika-moral Aktor dalam Lembaga Tatakelola Zakat

Komunitas... Basis Etika-Moral Aktor Badan Amil Zakat Daerah Jambi ... Peta Rasionalitas Aktor Badan Amil Zakat Daerah Jambi.………..…...… Basis Etika-Moral Aktor Lembaga Tatakelola Zakat Swasta ... Peta Rasionalitas Aktor Lembaga Tatakelola Zakat Swasta... Pengetahuan, Rasionalitas, dan Kepentingan dalam Tiga Lembaga Tatakelola Zakat... Karaketristik Tiga Lembaga Tatakelola Zakat ……….……...…. Ragam Kepentingan dalam Lembaga Tatakelola Zakat ..………....…. Ragam Kepentingan dalam Lembaga Tatakelola Zakat Komunitas. ...…. Ragam Kepentingan dalam Badan Amil Zakat Daerah ……….………...… Ragam Kepentingan dalam Lembaga Tatakelola Zakat Swasta ..…...….. Peta Konflik dalam Lembaga Tatakelola Zakat... Peta Konflik antar Aktor pada Ragam Lembaga Tatakelola Zakat……...

Relasi Struktural-Fungsional antar Aktor dalam Tatakelola Zakat

Komunitas... Relasi Struktural-Fungsional antar Aktor dalam Badan Amil Zakat

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

2

3

4

5

6

Inisiasi Perkembangan Kelembagaan danTatakelola Zakat...

Pertemuan Theologisme dan Sekularisme ...

Model Jaringan Intergratif Ronald Burt ...

Skema Hakikat Asumsi Ilmu Sosial Burrell... Perkembangan Wacana Ketatakelolaan Zakat di Indonesia…………...… Penerimaan dan Penyaluran Dana LAZ-SP Priode 1995-2007…...

6

27

55

69

84

112

(20)

Glossary

Aktor : adalah individu atau kelompok yang secara sosial berperan sebagai anggota atau bagian dari sebuah lembaga, yang dalam tindakan sosialnya secara sistemik terkait dengan lembaga dimana ia menjadi bagian atau anggota. Aktor sebagai anggota lembaga dalam kehidupan sosial, secara individu atau kelompok memberikan pengaruh pada lembaganya, sehingga lembaga dimana ia menjadi bagian atau anggota bergerak sejalan dengan pengetahuan, rasionalitas dan kepentngan sang aktor, dan pada saat tertentu sang aktor juga bertindak dipengaruhi oleh lembaga dimana ia menjadi bagian atau anggota atau bertindak sebagai representasi dari lembaga. Antara aktor dan lembaga merupakan bagian yang tak terpisahkan dan saling mempengaruhi dan masing-masing merepresentasikan yang lainnya.

Amil : adalah orang atau panitia atau organisasi yang mengurus zakat, baik mengumpul, membagi, atau mendayagunakan. Amil Zakat ialah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan pengumpulan dan pendayagunaan zakat, termasuk administrasi pengelolaan mulai dari merencanakan pengumpulan, mencatat, meneliti, menghitung, menyetor dan menyalurkan kepada yang berhak. Awalnya zakat dikelola oleh Nabi Muhammad. SAW, kemudian oleh para Khalifah atau yang tunjuk oleh khalifah. Pada masa kehkalifahan, zakat dikelola dibawah kuasa negara Islam, namun karena memudarnya kepercayaan ummat oleh persoalan politik, membuat zakat dikelola oleh ummat dibawah kuasa agamawan, dan ini awal zakat dikelola oleh komunitas. Amil komunitas selalu dari kelompok yang dianggap banyak memahami pengetahuan agama dan mentaati ajaran agama (agamawan), namun belakangan sudah sedemikian termoderenisasi sehingga amil dewasa ini mulai kembali kelola oleh negara melalui aparat yang ditunjuk oleh negara dengan pengaturan Undang-undang atau karyawan perusahaan yang diberikan tugas untuk mengelola dana zakat dengan pengaturan Undang-undang dan kebijakan perusahaan. Dalam UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada pasal 3 menyatakan bahwa : Yang dimaksud dengan amil zakat adalah pengeola zakat yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga.Konsep Amil menunjukkan kesemua orang yang terlibat dalam lembaga tatakelola zakat sebagai petugas atau aparat yang menerima atau memungut dana zakat untuk kemudian dimanfaatakan atau didistribusikan kepada yang berhak. Pada pasal 6 menyatakan bahwa Badan amil zakat dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan danmendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Pada pasa 13 dinyatakan bahwa : Badan amil zakat dapat menerima harta selain zakat seperti infaq, shadaqah, wasiat waris dan kafarat.

(21)

Pengelolaan Zakat. Pengurus BAZ terdiri dari unsur Pemerintah dan masyarakat (Anonim. 2007). Unsur pemerintah yang dimaksud adalah Departemen Agama dan Pemerintah Daerah dan unsur masyarakat adalah mencakup tokoh masyarakat, ulama, cendikiawan dan sebagainya. BAZ dibentuk sesuai dengan tingkatan wilayah pemerintahan negara (tingkat nasional berupa BAZNAS, tingkat provinsi, kabupaten/kota berupa BAZDA hingga pada tingkat kecamatan).

Dialektika : Pada mulanya menunjukkan pada debat dengan tujuan utama menolak argumen lawan atau membawa lawan kepada kontradiksi, dilema, atau paradoks. Dapat diartikan sebagai seni mengajukan dan menjawab pertanyaan yang tepat pada sebuah diskusi dalam waktu dan dengan cara yang tepat; seni mendapatkan pengetahuan yang benar tentang sebuah topik dengan penggunaan proses penalaran formal; istilah yang kadang digunakan untuk menamakan cabang logika, yang menemuikakan atruana-aturan dan cara-cara penalaran dengan tepat atau susatu proses untuk mencapai suatu posisi atau kondisi melalui tahap: tesis, antitesis dan sintesis.

Eksternalisasi : adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik. Momen ini bersifat kodrati manusia. Ia selalu mencurahkan diri ke tempat di mana ia berada. Ia ingin menemukan dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas. Dan, inilah yang membedakannya dengan binatang. Sejak lahir, bahkan sejak masa foetal, binatang ―sudah menyelesaikan‖ masa perkembangannya. Tetapi, perkembangan manusia, supaya bisa disebut ―manusia‖, ―belum selesai‖ pada waktu dilahirkan. Ia perlu berproses dengan cara berinteraksi dengan lingkungan dan mereaksinya terus-menerus baik fisik maupun nonfisik, sampai ia remaja, dewasa, tua, dan mati. Artinya, selama hidup manusia selalu menemukan dirinya dengan jalan mencurahkan dirinya dalam dunia. Sifat ―belum selesai‖ ini dilakukan terus-menerus dalam rangka menemukan dan membentuk eksistensi diri (Mursanto, 1993).

Garim : adalah orang yang mempunyai hutang karena suatu kepentingan yang bukan untuk maksiat dan lebih ditekankan bagi mereka yang mengurusi agama dan tidak mampu melunasinya. Zakat di sini menjadi solusi untuk memberikan bantuan meringankan beban dan bahkan melunasi hutang mereka yang berhutang karena berjuang di jalan Allah(Anonim. 2007).

(22)

individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, dan sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi ini, manusia menjadi produk masyarakat. Salah satu wujud internalisasi adalah sosialisasi. Bagaimana suatu generasi menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial (termasuk budaya) yang ada kepada generasi berikutnya. Generasi berikut diajar (lewat berbagai kesempatan dan cara) untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai budaya yang mewarnai struktur masyaraklatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang telah diobjektivikasikan. Generasi baru mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai tersebut. Mereka tidak hanya mengenalnya tetapi juga mempraktikkannya dalam segala gerak kehidupannya (Eriyanto, 2002).

Kehangatan Sosial : adalah situasi dalam sebuah relasi sosial (baik personala maupun kelompok) yang didalamnya tercipta suasana yang nyaman, didasari dengan nilai-nilai kemanusiaan, kepedulian sosial, kesetaraan dan bebas dari kepentingan yang bersifat pragmatis.

Kekuasaan : adalah ―totalitas struktur tindakan‖ untuk mengarahkan tindakan dari individu-individu yang merdeka (Latif, 2005). Kekuasaan meliputi seluruh tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan mencakup semua hal dan datang dari mana-mana. Kekuasaan dapat diartikan sebagai upaya seseorang ataupun kelompok untuk menguasai orang lain dalam berbagai bentuk, yang karenanya terjadi pertentangan antara keduanya, hingg salah satunya dapat menguasai yang lain sehingga terjadi dominasi pada pihak lain. Kekuasaan bekerja mempengaruhi pilihan-pilihan atas beberapa kemungkinan pilihan. Wujud bekerjanya kuasa berupa pemunculan dan pelibatan ―permainan-permainan strategis‖ di antara pihak-pihak yang memiliki kebebasan memilih (strategi games between libraries) (Foucault, 1980; Hindess, 1996). Permainan-permainan strategi oleh kuasa (power) menyebar di mana-mana, dijalankan oleh siapapun dan tumbuh dalam segala level, sehingga hampir tidak ada ruang sosial yang bebas dari bekerjanya kuasa dan permainan-permainan strategis. Oleh karena itu relasi kuasa sering kali bersifat tak stabil, ambigu, dan timbal balik (Hindess, 1996). Ketika kuasa terkonsolidasi menjadi ―dominasi‖, dan merujuk pada relasi kuasa yang bersifat

asimetris yang di dalamnya ada orang-orang yang tersubordinasi, memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena ―ruang kebebasan mereka untuk bertindak sangat terbatas‖ sebagai efek dari kuasa (Foucault, 1988).

(23)

melindungi dan mengawasi LAZ yang telah dikukuhkan (Anonim. 2007).

Masjid : Masjid atau surau adalah suatu tempat yang dikenal dalam budaya islam sebagai tempat yang dimuliakan. Tempat ini merupakan tempat untuk mengalang kegiatan keagamaan dan syiar agama, meski kemudian di ndonesia lebih dikenal sebagai tempat untuk sembahyang (sholat). Institusi masjid dan surau dipandang cukup mulia dikalangan masyarakat Islam di negara ini. Institusi-institusi ini menjadi wadah atau platform yang digunakan masyarakat sebagai 'turning point' kearah pengislahan. Kedudukan yang tinggi pada pandangan masyarakat ini menjadikan ia sebagai satu bentuk penghargaan dan penghormatan yang mulia kepada institusi masjid dan surau.

Miskin : adalah oran-orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, meskipun mereka mempunyai pekerjaan atay usaha tetap, tapi hasil usaha itu belum dapat mencukupi kebutuhannya, dan orang yang menanggung atau menjaminnya tidak ada.

Muallaf : yaitu orang yang masih lemah imannya, karena baru memeluk Islam tetapi masi lemah (ragu-ragu) kemauannya. Zakat di sini bermanfaat untu memberikan perlindungan, memotivasi dan menjamin kebutuhannya, karena seringkali orang yang berpindah agama selalu terasing atau dikucilkan dari komunitasnya sehingga ia terkadang menghadapi tantangan sosial hingga persoalan ekonomi. Oleh itu di sini zakat berfungsi pengamanan dan perlindungan serta motivasi.

(24)

usaha dan kegiatan perorangan atau badan yang bertujuan untuk menegakkan kepentingan agama atau kemaslahatan umat; 8. Ibnusabil ialah orang lain untuk melintasi dari satu daerah ke daerah lain untuk melakukan perjalanan yang kehabisan bekalnya bukan untuk maksud maksiat tetapi demi kemaslahatan umum yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan agama Islam.

Muzakki : Sekelompok orang dalam agama Islam dikenakan kewajiban untuk mengeluarkan sebahagian hartanya agar diserahkan kepada orang lemah, dengan syarat-syarat tertentu, yang diatur oleh agama. Dalam UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada pasal 1 atay 4 menyatakan bahwa : Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Muzakki dikenakan kenakan kewajiban sekali satu tahun dengan dari harta wajib zakat yang dimiliki. Muzakki dikenakan zakat wajib zakat karena memenuhi prasyarat haul (harta dimiliki genap satu tahun) dan nisab (mencukupi jumlah minimal 85 grm emas dan perak 643 gram). Muzakki sebagai lawan mustahik. Nishab adalah jumlah minimal harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kadar zakat adalah besarnya perhitungan atau presentase zakat yang harus dikeluarkan. Waktu zakat dapat terdiri atas haul atau masa pemilikan harta kekayaan selama dua belas bulan Qomariah, tahun Qomariah, panen.

(25)

telah memiliki makna intersubyektif, walaupun terkadang tidak ada batas yang jelas antara signifikasi dan obyektivasi. Sistem tanda meliputi sistem tanda tangan, sistem gerak-gerik badan yang berpola, sistem berbagai perangkat artefak material, dan sebagainya. Bahasa, sebagai sistem tanda-tanda suara, merupakan sistem tanda yang paling penting. Signifikasi tingkat kedua ini merupakan sarana untuk memelihara realitas obyektif. Dengan bahasa realitas obyektif masa lalu dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan berlanjut ke masa depan. Bahasa memungkinkan menghadirkan obyek tersebut ke dalam situasi tatap muka

Politisasi Moral : adalah tindakan sosial yang berorientasi pada upaya membangunan simbol-simbol moral dan melekatkan simbol-simbol tersebut pada realitas diri dan kelompo dengan tujuan menjadikan simbol-simbol moral ersebut sebagai kekuatan dan modal untuk memperoleh sesuatu yang bersifat materi maupun non materi. Misalnya berzakat agar dianggap sebagai orang yang budiman dan pengakuan budiman yang melekat pada dirinya dimanfaatkan memperoleh keinginannya yang bisa dicaspai dengan mudah dengan terbangunnya simbol tersebut. Politisasi moral cenderung memiliki keterkaitan dengan politik pencitraan. Membangun konstruksi sosial orang tentang diri atau kelompok sebagai yang baik dan pantas memperoleh yang diinginkan. Dalam peraktek politisasi moral ini tindakan sangat sarat dengan peraktek manipulasi dan pemanfaatan momen-momen potensial dan strategis.

Rasionalitas : Pemikiran pencerahan bahwa pemikiran manusia dan masyarakat manusia dengan cara kerja alam dan sama-sama didukung oleh nalar ilmiah. Definisi rasionalitas atau nalar (akal) merupakan bagian dari debat ini. Ada tiga pengertian berbeda mengenai padangan ‖rasionalitas‖ : Pertama, pengertian mengandung pandangan bahwa alam adalah sistem sebab akibat yang masuk akal dan dapat ditemukan dengan metode ilmiah (nalar). Pendapat ini mengabaikan soal kebetulan meski ada sedikir ruang untuk teori probabilitas yang mengakui suatu keadaan yang tidak bisa diprediksi. Kedua, rasionalitas melihat hukum sebab akibat sebagai kekuatan tersembunyi dan sebagai keharusan. Nalar adalah kekuatan pemikiran yang menembus selubung persepsi. Ketiga, rasionalitas atau rasionalisme didasarkan pada asumsi bahwa manusia dalam betindak adalah rasional. Aktor dan agen adalah rasional dan selalu memperhitungkan cara paling efektif untuk menentukan preferensi mereka. Mansia adalah pemaksimal utilitas dan selalu memilih suatu tindakan karena alasan rasional sebagaimana dalan teori pilihan rasional, teori keputusan dan teori permainan. Aktor dan agen mengejar tujuan dengan sendirinya dengan memaksimalisasi secara sistematis untuk kepenetingan sendiri atau tidak. Pelaku manusia juga dianggap rasional dalam menyesaikan diri dengan aturan dan prosedur institusional.

(26)

alasan dan alasan itu selalu berubah-ubah tergantung oleh waktu, tempat dan bahkan oleh kepentingan. Rasionalitas seseorang sangat tergantung dengan rezim pengetahuan yang mengarahkannya dan kepentingan yang dibawanya. Tindakan sosial yang sama untuk hari ini dan esok tidak selamanya dilandasi oleh pertimbangan dan kepentingan yang sama. Sehinggan berzakat masa lalu, hari ini dan akan datang motivasinya tidak selamanya akan sama, namun akan bergeser dari waktu ke waktu secara simultan dan dialektis.

Social Responsibility : adalah kepedulian terhadap sesuatu yang secara sosial dikonstruksi sebagai sebuah tanggungjawab dari sebuah keadaan atau kondisi yang terjadi dari sebuah proses yang dilakukan sebelumnya. Sosial Responsibility, lahir dari kesadaran diri atau kelompok atas sebua kondisi sosial yang terjadi, yang disadari sebagai akibat dari tindakan atau status sosial yang dicapai. Social Resposibility selalu datang dari individu atau kelompok yang secara sosial berada pada posisi lebih baik kepada individu atau kelompok yang bernasib kurang baik.

(27)

I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara historis, konsep zakat1 muncul dari wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Wahyu ditafsirkan oleh Muhammad

SAW, sebagai manusia yang dipercaya dalam tuntunan kenabian, sehingga zakat

yang dipahami oleh beliau, dipercaya kebenarannya. Ketika zakat dikonstruksi

dalam satu pemahaman di bawah kontrol kuasa Muhammad SAW sebagai nabi,

pengetahuan zakat disosialisasikan dan diterima serta dipahami secara seragam

oleh umat. Namun belakangan dalam diskursus tentang zakat muncul konstruksi

pemahaman yang berbeda-beda. Apalagi ketika wacana zakat disuarakan dalam

ruang civil society, negara dan swasta. Zakat dalam konteks civil society,

disuarakan dalam wacana keshalehan, kedermawanan, dan kepedulian sosial.

Zakat dalam konteks negara disuarakan dalam wacana pembangunan dan

pengentasan kemiskinan. Sementara zakat dalam konteks industri (swasta)

disuarakan dalam wacana pemberdayaan dan social responsibility.

Lahirnya sebuah warna yang menafsirkan fenomena dalam perspektif

sosiologis, oleh Foucault diasumsikan sangat terkait dengan kekuatan

pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja dalam masyarakat. Mengaitkan

wacana zakat dengan pemikiran Foucault tentang Pengetahuan dan Kekuasaan

(Foucault, 1984 dan Mills, 2007), maka pemahaman zakat yang berbeda dalam

ruang civil society, negara dan industri/swasta, menunjukkan adanya perbedaan pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja membentuk, mewarnai dan

mengarahkan pemahaman zakat dalam tiga ruang sosial tersebut.

Bekerjanya pengetahuan oleh Foucault (1985) dilihat sebagai proses yang

menghasilkan kekuasaan, dan kemudian kekuasaan secara bersamaan akan

1

(28)

membentuk pengetahuan. Pengetahuan dan kekuasaan menurut Foucault saling

melahirkan, dan tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan, begitu pula sebaliknya

(Mills, 2007). Kekuasaan selalu menyertai pengetahuan dan terkadang

merupakan hasil reproduksi dari pengetahuan. Selanjutnya penguatan kekuasaan

ditopang dan diperkokoh oleh dukungan pengetahuan sebagai legitimasi dan

justifikasi ilmiah.

Perluasan apapun dari satu pengetahuan sistematis, selalu melibatkan

perluasan relasi kekuasan dalam masyarakat, dan terlihat dalam bentuk kontrol

sosial. Bagi Foucault, pertumbuhan satu pengetahuan berkorespondensi dengan

peningkatan kontrol sosial dan politik terhadap kumpulan massa yang tertawan

dalam ruang sebuah rezim pengetahuan (Turner, 1983). Sebuah pengetahuan

akan melahirkan kategori-kategori yang membedakan dan membatasi satu

dengan yang lainnya, dan membuat yang satu terbatasi, terkuasai dan terarahkan

oleh yang lainnya. Pengetahuan sistematis bisa dipandang sebagai rancangan

kerja, penelaahan, taksonomi dan tipologi yang meletakkan individu dalam

ruang-ruang teoritis, sebagaimana dinyatakan Foucault bahwa: Psikiatri ilmiah

berkoresponden dengan asylum (Foucault, 1967), pengobatan klinis dengan rumah sakit (Foucault, 1973), penologi dengan penjara (Foucault, 1977), dan

diskursus seks dengan pengakuan dosa (Foucault, 1985).

Pengetahuan terkait dengan kekuasaan, tidak hanya menganggap otoritas ―kebenaran‖, tetapi memiliki kekuatan untuk membuat dirinya benar. Semua pengetahuan, sekali diterapkan di dunia nyata, memiliki efek, paling tidak ―menjadi benar‖. Pengetahuan digunakan untuk mengatur perilaku orang lain, menjadi peraturan dan praktek pendisiplinan yang mengandung hubungan

kekuasaan. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa konstitusi korelatif dari bidang

ilmu pengetahuan, atau pengetahuan apapun selalu mengandaikan dan

merupakan relasi kekuasaan (Foucault, 1977).

Senada dengan Foucault, maka warna wacana zakat dalam ruang civil society, negara, dan industri swasta, merupakan fenomena di mana pengetahuan dan kekuasaan dalam masing-masing ruang tersebut telah bekerja, membentuk

dan mewarnai bagaimana zakat dipahami dan pemahaman itu dibangun dalam

ruang kuasa pengetahuan siapa. Kemudian terwujud dalam bentuk tindakan

zakat yang diarahkan oleh satu sistem pengetahuan dan kekuasaan, menjadi

(29)

yang di dalamnya sarat dengan kepentingan. Pada civil society, zakat terkait erat dengan agamawan, pada negara, zakat terkat dengan aparat, dan pada industri,

zakat terkait dengan pengusaha. Artinya bagaimana pengetahuan dikonstruksi

dan dimainkan dalam memproduksi kekuasaan atau sebaliknya kekuasaan

memproduksi pengetahuan dalam ruang-ruang sosial yang memberikan warna

terhadap konstruksi pengetahuan dan kuasa zakat, begitu terkait dengan rezim

pengatahauan apa, oleh siapa dan untuk apa?

Memahami zakat sebagai praktek distribusi kesejahteraan (shared prosperity), maka seketika zakat mempertemukan tiga kelompok orang yang terlibat dalam peraktek zakat dengan konstruksi pengetahuan zakat yang

berbeda. Amil2 dengan tuntutan kewajiban sebagai sebagai pengelola zakat,

muzakki3 dengan kewajiban membayar zakat dan mustahik4 dengan haknya untuk menerima zakat, kesemuanya terkadang memandang zakat dalam ranah

pengetahuan dan konstruksi yang berbeda. Tujuan perintah zakat memang sama

dipahami sebagai ibadah untuk menjalin relasi antar struktur yang secara sosial,

ekonomi, dan politik selalu berada pada sisi yang berbeda dan berlawanan

(Kuntowijoyo, 1991). Namun ketiga kelompok tersebut dalam memandang zakat

selalu terkait dan dipengaruhi dengan realitas diri dan perbendaharaan

pengetahuan mereka, sehingga zakat difahami dan dikonstruksi secara berbeda.

Memaknai zakat sebagai wujud solidaritas sosial, merupakan pemaknaan

yang menonjol dalam wacana zakat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan.

Memberikan sebagian harta bagi muzakki karena memiliki harta yang lebih

2

Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Dalam UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat pada pasal 3 menyatakan bahwa : Yang dimaksud dengan amil zakat adalah pengeola zakat yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga

3

Muzakki : Orang dikenai kewajiban membayar zakat dengan syarat hartanya memenuhi nisab dan haul, atau orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat (pasal 1 ayat 3 UU. No. 38, tahun 1999.

4

(30)

kepada mustahik karena kondisi ekonomi yang kekurangan, dimaknai sebagai satu bentuk kepedulian sosial orang kaya terhadap orang miskin yang dimulai

dari perintah yang wajib untuk berzakat. Di sini ditanamkan semangat

bertangungjawab terhadap fenomena kemiskinan, penderitaan sesama dari

mereka yang memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Terbangunnya

makna bahwa kemiskinan sebagai akibat dari adanya orang yang memiliki tingkat

kesejahteraan berlebih, sehingga mereka yang sejahtera wajib memperhatikan

saudaranya yang miskin.

Konseptualisasi keadilan sosial (social equality) dalam wacana zakat, selalu dikaitkan dengan konsep Rowls (1999), yang menyarankan bahwa

keadilan sosial bukan berada pada individu-individu melainkan pada

pranata-pranata sosial yang diterima, disepakati dan kemudian bekerja dalam semua

lapisan (Rowls, 1999). Pranata tersebut bertanggungjawab atas distribusi tiga ‖maslahat utama‖ (primary goods) secara adil yang meliputi ‖kebebasan dan

kesempatan‖ (liberty and opportunity), ‖pendapatan dan kekayaan‖ (income and wealth), dan basis sosial harga diri (social basic of self respect). Manakala distribusi tidak adil, maka harus ada kompensasi untuk orang banyak terutama

untuk kelompok yang tidak berdaya.

Terbangunnya sebuah pemahaman zakat, jika dipahami dalam pandangan

Berger (1967 dan 1990) digerakkan melalui tiga momen, yaitu: momen

objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi, yang prosesnya terjadi secara terus

menerus dan berdialektika dalam pemahaman, keyakinan dan tindakan yang

dipengaruhi oleh pengetahuan dan kekuasaan yang bekerja pada aras kognitif.

Jika Foucault (2002) tentang pengetahuan dan kekuasaan dipertemukan dengan

teori konstruksi sosial ala Berger (1967), maka akan memunculkan pertanyaan

tentang: bagaimana pengetahuan dan kekuasaan dikonstruksi? Pengetahuan apa

dan dikuasai oleh siapa? Atas kepentingan siapa dan untuk apa?

1.1.1. Zakat dalam Perspektif Pembangunan

Wacana tatakelola zakat di Indonesia, dari waktu ke waktu menunjukkan

ada pergeseran dinamis dan bersinergis dengan pengetahuan dan kekuasaan

uang membangun pemaknaan terhadap kewajiban dan potensi zakat. Pada masa

penjajahan, zakat dianggap sebagai potensi ancaman bagi penjajah karena bisa

(31)

tatakelola zakat kala itu diintervensi, dibatasi dan dikooptasi oleh penjajah untuk

mengebiri dan melumpuhkan agamawan dan mengalihkan kekuatan itu pada

penghulu tanpa gaji (Anshori, 2006).Di sini awal tatakelola zakat dintervensi oleh

kekuasaan di luar kelembagaan lokal dan bersentuhan dengan pengetahuan

sekuler. Tatakelola zakat di sini masuk dalam ruang sistem kuasa dan kontrol

manajemen pemerintah kolonial berbasis sains dan membatasi ruang agamawan

dan mengenyampingkan budaya lokal.

Tatakelola zakat pada awal kemerdekaan, kembali ke pangkuan kuasa

agamawan berbasis pengetahan lokal dan hasilnya menjadi sumber pendanaan

bagi penyiaran agama, membantu kaum lemah dalam skala lokal dan menjadi

sumber pembiayaan pembangunan fasilitas ibadah dan pendidikan agama. Di sini

agamawan (kiyai) memegang kuasa penuh dalam tata kelola zakat tanpa adanya

campur tangan pemerintah. Agamawan mengemban kuasa secara individu

melekat dalam perannya sebagai imam atau guru agama. Oleh agamawan pengetahuan zakat masyarakat dibangun, diarahkan, dan dikontrol dalam ruang

kuasa pengatahuan agama melalui masjid dan madrasah. Pengetahuan zakat

kala ini berorietasi nilai, sehingga zakat lebih dipahami sebagai fenomena asketik

dan altruis.

Wacana tatakelola zakat kembali berubah tahun 1950-an, yang ditandai

dengan munculnya ide tatakelola zakat negara, dengan mewacanakan zakat

sebagai salah satu sumber keuangan negara (Ali, 1988). Untuk pertama kalinya,

wacana dimunculkan dalam majalah al-Hikmah oleh Mr. Jusuf Wibisono, yang

pada saat itu menjabat menteri keuangan. Ketika ini zakat dilihat sebagai

fenomena agama yang memiliki potensi ekonomi bagi pemerintah. Wacana

memasukkan tatakelola zakat dalam ruang negara di sini, terkait erat dengan

wacana membangun negara Islam Indonesia. Namun karena dalam ruang politik

negara, kekuatan Islam yang memperjuangakan zakat, selalu berhadapan

dengan kelompok partai komunis dan nasionalis liberal yang tidak menginginkan

Indonesia menjadi negara Islam. Akibatnya tatakelola zakat tetap berada dalam

ruang kuasa agamawan lokal berbasis budaya masjid dan pesantren/madrasah.

Perubahan signifikan tatakelola zakat, dimulai ketika dibentuknya Yayasan

Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) pada tahun 1982, menjadi lembaga

pengelola infak dan shadaqah dari para PNS, ABRI-Polri di bawah kepemimpinan

(32)

infak dan shadaqah berskala nasional yang pertama di tanah air dan menjadi

cikap bakal lahirnya wacana tatakelola zakat negara. Pengelolaan Infak dan

shadaqah di sini sangat berbeda dengan pola pengelolaan sebelumnya, di sini

kuasa tidak lagi ditekankan pada kuasa personal seperti pada agamawan, namun

telah beralih dalam sistem administrasi kelembagaan modern. Mekanisme pun

berubah, kalau sebelumnya pemanfaatan dana melalui mekanisme langsung

dengan sang agamawan secara personal, Tapi pada lembaga YABMP, proses

lebih diwarnai oleh mekanisme administrasi dan birokrasi modern yang melekat

dengan sistem pemerintahan.

Pada gambar 1 terlihat bahwa ada tiga model lembaga tatakekola zakat

yang jika dipetakan mengerucut pada dua aliran besar yang posisinya berada

pada dua sisi yang berbeda, yaitu Naturalism dan Technoratism. Sisi kiri yang beraliran naturalism dengan berbasis pengetahuan lokal dengan mengetengahkan kearifan lokal, rasionalitas nilai dengan menonjolkan nilai

agama dan norma budaya, kepentingan asketik dengan penekanan pada

orientasi ibadah kepada Tuhan, keadilan dan kebersamaan dalam komunitas.

Aliran naturalism ditandai oleh hadirnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbasis komunitas. Pada sisi kanan beraliran Technoratism dengan dengan basis pengetahuan modern dengan mengetengahkan sains modern, rasionalitas

instrumental dengan menonjolkan logika politik, kepentingan asketik dengan

penekanan pada aspek pembangunan dengan orientasi kekuasaan dan

keamanan negara, yang ditandai dengan kehadiran Badan Amil Zakat (BAZ)

berbasis Negara. Pada posisi kanan tengah muncul LAZ Swasta dengan basis

pengetahuan modern yang mengetengahkan sains modern, rasionalitas

instrumental dengan menonjolkan logika ekonomi, dengan kepentingan asketik

yang penekanannya pada pemberdayaan dengan orientasi profit atau utility maximization.

Naturalism Technocratism

LAZ

Komunitas BAZ Negara

Gambar 1 : Inisiasi Perkembangan Kelembagaan Zakat dan Tatakelola Zakat LAZ

(33)

Lembaga Amil Zakat (LAZ) komunitas, merupakan wujud tatakelola zakat

warisan sejarah, yang menerapkan pengelolaan zakat dalam komunitas dengan

basis budaya lokal di bawah kuasa kelembagaan lokal berupa masjid dan

madrasah. Di sini zakat dipercaya mengandung nilai sakral dan murni ritual

beragama. Kehangatan sosial (social warmness) dalam relasi muzakki, amil dan

mustahik, mewarnai peratek ritual tatakelola zakat komunitas yang muncul dari kepentingan ibadah, keadilan dan kebersamaan yang muaranya pada

kenyamanan hidup bersama. Sedangkan pada LAZ swasta dan BAZ negara,

merupakan perkembangan kelembagaan tatakelola zakat terakhir berbasis sains

modern, di bawah kuasa kelembagaan modern (negara dan swasta). Zakat di sini

dipandang sebagai ajaran agama yang memiliki potensi politik dan ekonomi.

Relasi sistemik yang diwarnai dengan hubungan birokrasi antara muzakki, amil

dan mustahik, mewarnai praktek tatakelola zakat negara dan swasta, hal ini muncul dari kepentingan pembangunan dan pemberdayaan ekonomi yang

muaranya pada penguatan kekuasaan.

Terjadi pergeseran sistem tatakelola dari sistem kerja lembaga lokal yang

menonjolkan kepercayaan secara personal ke sistem kerja lembaga modern yang

menonjolkan administasi dan birokrasi. Legitimasi yang dibangun di atas

bangunan kepercayaan masyarakat luas di bawah pengawasan bersama, beralih

dan dirampas oleh sistem administrasi dan birokrasi kelembagaan formal. Zakat

yang tadinya sebagai instrumen pengamanan konsumsi (ekonomi survival) begeser menjadi instrumen pengamanan politik, pertanggungjawaban sosial dan

kesejahteraan. Makanya kemudian dalam literatur Barat seringkali konsep zakat

disandingkan dengan konsep charity atau dikategorikan sebagai philantrophy. Perkembangan wacana tatakelola zakat paling signifikan adalah lahirnya

UU No. 38 tentang pengelolaan zakat, yang disertai munculnya berbagai macam

institusi tatakelola dan gerakan sadar zakat (Bamualim, 2006). Mulai dari negara,

industri swasta, LSM, hingga gerakan zakat di masjid atau zakat komunitas.

Keragaman institusi ini merupakan satu perwajahan bahwa gerakan zakat telah

begitu berkembang dan dianggap memiliki potensi luar biasa (ekonomi, politik

dan sosial). Potensi-potensi tersebut mucul dari logika ragam rezim pengetahuan

dalam wacana zakat. Akibatnya wacana zakat digerakan oleh ragam basis

(34)

1.1.2. Zakat dan Pembangunan Pedesaan

Relevansi zakat dan pembangunan pedesaan terkait erat dalam ruh zakat

dan sasarannya, yaitu: Pertama, zakat didistribusikan untuk memberdayakan orang miskin (al-masaakin). Masalah al-masaakin merupakan fenomena yang berhubungan dengan masyarakat petani di desa. Kedua, dengan menggunakan kerangka berfikir Iris Young (Mullaly, 2002) bahwa: petani Indonesia adalah

orang yang tertindas dan terpinggirkan di negeri ini. Kondisi ini mencerminkan

para petani sebagai budak dalam bangunan sistem sosial (fi al-riqâb). Al-Qur'an (9: 60) menyebutkan bahwa budak sebagai salah satu dari delapan penerima

zakat, bukan sebaliknya. Ketiga, kaum tani Indonesia diperlakukan tidak adil dalam sistem ekonomi. Zakat diatur untuk membangun keadilan

sosial-ekonomi dan pembagian yang adil atas kekayaan dalam masyarakat. Instrumen

ekonomi Islam menentang konsentrasi modal dan kekayaan serta kesejahteraan

dalam masyarakat. Dengan demikian maka posisi petani dan masyarakat

pedesaan merupakan sasaran yang paling tepat bagi pemanfaatan dana zakat.

Zakat dalam sejarah perjuangan civil society, telah mengukir prestasi yang mengagumkan dan telah membuktikan bahwa zakat telah menjadi sumber

penguatan komunitas. Di pedesaan masa lampau, zakat sebagai praktek ibadah

benuansa sosial ekonomi, ternyata telah mampu menjadi perekat relasi antara

masyarakat kaya dan miskin serta dengan para elit. Di pedesaan masa lalu, zakat

menjadi sumber pembiayaan bagi penyediaan fasilitas sosial agama dan

pendidikan, yang terbukti dengan banyaknya rumah-rumah ibadah dan pondok

pesantren yang terbangun dengan menggunakan dana zakat (Abdallah, 2005). Di

samping itu zakat memang tidak nyata telah memberikan sumbangan bagi

pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan, namun setidaknya di sana zakat

telah menjadi bagian dari social security system dalam masyarakat pedesaan dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar (subsisten) masyarakat miskin.

Zakat adalah ide tentang kepedulian terhadap fakir miskin; gagasan untuk

mempromosikan martabat kaum dhuafa agar kodrat kemanusiaannya tidak ternodai. Karenanya redistribusi kekayaan kepada golongan lemah ini hendaknya

dilakukan dengan komitmen moral, bertanggungjawab dan profesional. Distribusi

(35)

mensubordinasi kaum lemah, karena yang terpenting adalah melindungi

martabat si penerima zakat serta mencegah langgengnya relasi kuasa antara si

kaya-si miskin sebagai tema sentral zakat. Dengan demikian, keikhlasan kaum

dermawan serta kemurnian imannya terpelihara dengan baik, sebagai wujud

terbangunnya relasi sosial yang suci, hangat dan egaliter antara kaum kaya dan

kelompok miskin.

1.1.3. Zakat dalam Arena Kekuasaan

Mas'udi (1991 dan 1993) pernah menyatakan bahwa: ada perbedaan

mendasar tatakelola zakat di tangan kaum tradisionalis dengan kaum modernis.

Kalau kelompok tradisionalis memberikan kepatuhannya pada "ajaran" melalui

perantara otoritas personal yang melekat pada tokoh ulama atau kiyai. Kelompok

modernis menyalurkan kepatuhannya kepada "ajaran" melalui perantara berupa

otoritas impersonal yang ada pada institusi atau organisasi.

Kalangan tradisionalis memanfaatkan zakat umumnya untuk membangun

sarana-sarana formalisme keagamaan seperti: tempat ibadah, pusat penyebaran,

pewarisan ajaran dan upacara-upacara keagamaan. Sementara kaum modernis

untuk membangun sarana fisik yang relatif lebih megah seperti : perkantoran,

masjid, sekolahan, rumah sakit dan asrama-asrama panti. Sarana-sarana

tersebut cenderung untuk dikomersilkan dalam melayani kepentingan kelas

menengah ke atas, ketimbang masyarakat lapisan bawah (Masudi, 1991 dan

Miftah, 2005). Keduanya menunjukkan adanya perbedaan kepentingan dan

memberikan keuntuangan yang pada kelompok berbeda.

Banyak kajian zakat yang memperlihatkan besarnya potensi zakat, seperti

Hafidhuddin (2001 dan 2005), degan potensi ekonomi mencapai Rp. 19 triliun

pertahun. Pusat Studi Budaya dan Bahasa (PBB) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, menyatakan potensi zakat mencapai angka Rp 19,3 triliun per tahunnya

(Anonim, 2005) dan Elfindri (2002), potensi zakat sektor perikanan laut di

Indonesia dari data BPS 2001 minimal Rp. 1,05 triliun per tahunnya (Anonim,

2007). Besarnya potensi zakat tersebut, memicu munculnya wacana

pemberdayaan berbasis zakat dan membidani lahirnya ragam lembaga

penggalangan dana zakat secara modern dan inovatif, sebagaimana layaknya

(36)

Dhuafa Jakarta, Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Surabaya, Yayasan Daar

al-Tauhid (DT) Bandung, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) Jakarta, dan Dompet

Sosial Umul Quro (DSUQ) Bandung. Badan usaha bisinis tak ketinggalan

melakukan penggalangan zakat, seperti : PT. Garuda, PT. Pertamina, dan PT.

Semen Padang.

Menjamurnya LAZ (Lembaga Amil Zakat) pada satuan ruang negara,

korporasi dan masyarakat, jika dipetakan akan memperlihatkan tiga model

lembaga amil zakat yang bermain dan berjuang memperebutkan legitimasi dari

umat (masyarakat zakat), yaitu : negara, industri dan komunitas. Kehadiran

negara di sini erat kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam dan relasinya

dengan negara yang secara historis memang menempatkan kekuasaan

tatakelola zakat di tangan khalifah (negara) (Idris, 1997).

Negara dengan logika kekuasaan (politik), mengembangkan wacana

bahwa zakat sebagai hak kuasa negara dan membangun logika bahwa zakat

hanya bisa berjalan optimal dengan campur tangan negara, karena negara

memiliki berbagai perangkat kekuasaan yang bisa mengkondisikan ruang dengan

efektif. Landasan negara di sini diwarnai etika politik. Tatakelola zakat kemudian

oleh negara di sini dipandang sebagai fenomena tindakan rakyat yang harus di

bentuk, arahkan, dikondisikan dengan perangkat kekuasaan. Akibatnya praktek

zakat menjadi bagian dari praktek bernegara di samping praktek beragama.

Konsep kewajiban ajaran berzakat serta merta menjadi konsep yang legal dalam

sistem negara, untuk memaksakan kehendak dengan alasan optimalisasi zakat.

Memasukkan tatakelola zakat dalam ruang negara, menjadikan negara

sebagai penguasa ruang tatakelola zakat, dengan mekanisme politik melalui

kekuatan administrasi dan birokrasi negara. Di sini kemudian negara memiliki

legalitas menentukan legal dan tidaknya sebuah sistem tatakelola zakat. Pada

saat yang bersamaan negara juga seketika mendapatkan legalitas kuasa

tatakelola dengan menggunakan instrumen hukum formal sebagai yang

berkuasa, dan layak dipatuhi demi azas legalitas hukum dan politik.

Kehadiran civil society dalam wacana zakat, merupakan hasil dari diskursus tentang relasi agama dan negara dalam konteks negara nasional modern dan

diskursus demokratisasi bias Barat yang menonjolkan penguatan masyarakat dan

komunitas (Culla, 2006). Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbasis civil society

(37)

luar struktur negara, berbasis pengetahuan lokal dengan dukungan komunitas

dan legitimasi kelembagaan lokal. Zakat melebur dalam masyarakat sebagai tindakan kolektif dan sebagai salah satu kekuatan civil society, yang telah terbukti mampu menjaga netralitas, peran dan eksistensinya dalam membantu

(bahkan mengambil) beberapa peran negara dalam merealisasikan kemakmuran

warga negara (Sadili, 2006). Out put-nya pun mampu menciptakan kemandirian umat, karena tatakelola zakat yang dilakukan tidak tergantung pada peran

pemerintah.

Ketika zakat berada dalam ruang komunitas, kelembagan zakat merupakan

instrumen penguatan masyarakat milik bersama (public good) dan menjadi media penciptaan suasana sosial yang hangat antara struktur ekonomi atas dan bawah.

Zakat dipratekkan sebagai tindakan kolektif, yang terumuskan dalam kepentingan

beberapa aktor secara rasional, untuk mencapai suatu common interest. Namun keadaan ini hanya tercipta dalam suatu situasi dan kondisi yang sangat

tergantung pada kekuatan aktor, insentif, dan unsur paksaan. Terbangunnya

kepentingan bersama akan memunculkan motivasi bertindak secara kolektif untuk

mencapai kepentingan bersama. Namun yang paling mengkhawatirkan di sini

adalah kemungkinan munculnya kelompok mayoritas yang akan merajalela dan

mengeksploitasi kelompok minoritas. Karena tindakan kolektif selalu lebih efektif

jika dilakukan dalam kelompok relatif kecil dan homogen, dari pada kelompok

yang besar dan beragam (Olson, 1971).

Tatakelola zakat komunitas mampu menjadi praktek tindakan kolektif ketika

ada usaha dari dua individu atau lebih untuk memperjuangkan hasil yang

diinginkan. Konsep global collective action timbul dari adanya kebutuhan untuk merealisasikan kebutuhan bersama, yang sering disebut sebagai human security, dengan pemahaman bahwa mengatasi bahaya dan ancaman bukan hanya

dominasi negara, tapi juga menjadi kewajiban seluruh umat manusia (people-centered view). Dominasi tatakelola zakat dalam konteks ini bukan hanya dalam artian politik, tapi juga kesejahteraan, kemiskinan, dan lingkungan.

Kehadiran industri (swasta/pasar) merupakan respon atas tuntutan pasar

yang memunculkan moralitas lingkungan dan kemanusiaan sebagai bagian dari

tuntutan pasar, ketimbang tujuan pemberdayaan masyarakat lemah.

Industri/kapitalis swasta berbasis pengetahuan modern dengan rasionalitas

Gambar

Tabel  2 : Penelitian (Disertasi) tentang Wacana Zakat
Tabel 3: Penelitian (Thesis)  Tentang Wacana Zakat  Bias Negara dan Civil Society
Gambar 2 : Pertemuan Teologisme dan Sekularisme
Gambar 5 :  Perkembangan Wacana Ketetakelolaan Zakat di Indonesia.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kontribusi dari sektor lain terhadap nilai total PDRB Kabupaten Karo dan nilai total PDRB propinsi Sumatera Utara, walaupun

Penggunaan ungkapan kashite itadakemasenka menurut konsep wakimae adalah pemilihan ungkapan ini berdasarkan faktor dominan jarak status sosial yang dirasakan oleh

Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemahaman konsep matematis siswapada pembelajaran modelAudiotory Intellectualy Repetition berbantuan

Berdasarkan proses-proses yang telah dilakukan dalam pengerjaan tugas akhir dengan judul “Rancang Bangun Perangkat Lunak Teenstagram untuk Mengelompokkan Topik Caption

Berkaitan dengan hal itu, mangan ahai fallo dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang didapat, pelaksanaan upacara tersebut selalu

Insidensi tumor pada kelompok perlakuan ekstrak dosis 250 mg/kg BB mencapai 4/10 dalam waktu 16 minggu, artinya hanya 4 ekor tikus yang terkena tumor mamae (n=10).. Adapun

Dalam hal ini adalah peneliti dapat mengetahui secara mendalam mengenai sistem informasi akuntansi dan pengendalian intern atas penjualan jasa sewa kamar dan restaurant