• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN TEORITIS

dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki

2.3. Pandangan Teoritis

2.3.1. Konstruksi Sosial ( Social Construction ) atas Realitas

Peter L Berger adalah salah seorang sosiolog yang konsen bicara tentang konstruksi sosial atas realitas. Gagasan Berger terlihat humanis (mengikuti Weber dan Schutz) mudah diterima, mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger cenderung tidak melibatkan pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada historisitas. Benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus berdialektika (Marx).

Berger dan Luchmann (1990) dalam bukunya yang berjudul; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik.

Hal ini senada dengan Poloma (1994) yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Tetapi Berger dan Luchmann tidak menolak kekuatan struktur terhadap aktivitas manusia. Oleh karena itu Berger dan Luchmann dianggap oleh Douglas dan Johnson sebagai Durkheimian dan memberikan justifikasi pada gagasan (Samuel, 1993).

Beberapa tokoh yang mewarnai pemikiran sosiologi Berger adalah Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya tentang makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala kemanusiaan. Dalam hubungan dialektik antara masyarakat dan individu, Berger meminjam gagasan Marx. Sedangkan masyarakat sebagai realitas obyektif–yang mempunyai kekuatan memaksa,

sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim. Schutz lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, Mead menjadi rujukan Berger (Poloma, 1994).

Teori Berger mendefinisi ulang hakekat dan peranan sosiologi pengetahuan, dengan mendefinisikan kembali pengertian ―kenyataan‖ dan ―pengetahuan‖ dalam konteks sosial. Sosiologi menurutnya, harus mampu menjelaskan dan memahami bagaimana kehidupan masyarakat itu terbentuk dalam proses-proses yang terus-menerus, yang ditemukan dalam pengalaman bermasyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, maka perhatian terarah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, psikomotoris, emosional dan intuitif). Kenyataan sosial tersirat dalam pergaulan sosial, yang diungkapkan secara sosial lewat berbagai tindakan sosial seperti berkomunikasi lewat bahasa, dan bekerja sama lewat bentuk-bentuk organisasi sosial. Kenyataan sosial, ditemukan dalam pengalaman intersubjektif (intersubjektivitas).

Lewat intersubjektivitas itu dapat dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat tertentu dibentuk secara terus-menerus. Konsep intersubjektivitas menunjuk pada dimensi struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam suatu kelompok khusus yang sedang saling berintegrasi dan berinteraksi. Berger dan Luchmann (1990) memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan yaitu: eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi, serta masalah legitimasi yang berdimensi kognitif dan normatif. Kenyataan sosial oleh Berger dan Luchmann, merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam ke masa kini dan menuju masa depan.

Kehidupan sehari-hari menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas objektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subjektif. Pada sisi yang lain, kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang bersumber dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dipelihara sebagai suatu ‘yang nyata‘ oleh pikiran dan tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui pelembagaan (objektivasi) dari proses-proses membangun makna-makna subjektif dan

34

membentuk dunia akal-sehat intersubjektif (Berger dan Luckmann, 1990: 29). Pengetahuan akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal dalam kehidupan sehari-hari.

Manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia menciptakan konstruksi sosial. Konstruksi sosial merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus, sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis manusia. Konstruksi sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya (Berger dan Luchmann, 1990).

Masyarakat sebagai realitas objektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh momen eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang, yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Di sinilah terdapat peranan di dalam konstruksi kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Peranan mempresentasikan konstruksi kelembagaan; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri. Pentradisian sengaja dihadirkan, diformat, diinstitusionalisasikan, diritualkan, dan dikonstruksi kembali untuk kepentingan tertentu sebagai bagian dari pelegitimasian suatu perilaku sosial. Karena, masyarakat sebagai realitas objektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan objektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif, karena tidak hanya menyangkut penjelasan, tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat objektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subjektif.

Masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan bahwa realitas objektif ditafsir secara subjektif oleh individu. Dalam proses menafsir itulah berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ―mengambil alih‖ dunia yang sedang dihuni sesamanya. Internalisasi berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder.

Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bukan hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.

Menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan perlu ada sebuah universum simbolik. Universum simbolik ini menduduki hierarki yang tinggi, menunjukkan bahwa semua realitas memiliki makna bagi individu dan individu bertindak sesuai dengan makna. Agar individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan sebagai pemelihara universum simbolik. Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum simbolik. Di sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi sosial membangun

universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses ‖legitimasi lembaga sosial‖ menuju ‖lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi‖ terus berlangsung secara dialektik dan ini berdampak pada perubahan sosial.