• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

KONSTRUKSI 11 SOSIAL KUASA PENGETAHUAN ZAKAT 5.1. Pendahuluan

5.2. Struktur Kuasa Pengetahuan Zakat

Mengamati struktur kuasa pengetahuan zakat pada tiga sistem tatakelola zakat (berbasis komunitas, negara dan industri swasta) ditemukan bahwa pada tiga sistem tatakelola tersebut ditemukan struktur kuasa pengetahuan yang berbeda. Pada sistem tatakelola berbasis komunitas struktur kuasa pengetahuan berada pada tiga level, yaitu : Level pertama adalah kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran agama berada dalam pangkuan agamawan dan berpusat pada masjid, dan madrasah. Level kedua, kuasa pengetahuan ketatakelolaan yang diletakkan pada amil yang juga terkadang berada ditangan agamawan atau sekelompok orang yang ditunjuk oleh agamawan. Pada level ketiga adalah kuasa pengetahuan tentang distribusi berada dalam kuasa agamawan, amil atau muzakki secara individu yang diakui berhak atas memilih menyalurkan sendiri atau menyalurkan lewat amil zakat komunitas. Meski teridentifikasi struktur kuasa memiliki tiga level, namun sesungguhnya sentralnya ada pada satu titik yaitu kuasa agamawan lokal sebagai pemangku kuasa pengetahuan tertinggi.

Sementara pada sistem tatakelola berbasis negara, struktur kuasa pengetahuan berada pada dua level, yaitu: level pertama adalah kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran yang diletakkan pada kuasa agamawan negara. Pada level kedua adalah kuasa pengetahuan tatakelola yang diletakkan pada kuasa aparatur negara yang ditugaskan dalam Badan Amil Zakat Daerah

120

untuk Provinsi Jambi. Muzakki dan mustahik berada pada level yang tidak memiliki kuasa kecuali hanya mematuhi agamawan negara dan aparat BAZDA. Kuasa tertinggi disini berada pada kuasa aparatur negara sebagai aparat BAZDA yang diakui oleh pemerintah. Agamawan diluar pemerintah hampir tidak diberikan hak kuasa dalam berbicara tentang zakat.

Hal yang sama juga ditemukan pada sistem tatakelola zakat berbasis swasta pada LAZ-SP. Kuasa pengetahuan berada pada dua level kuasa, yaitu: pada level pertama sabagai pemangku kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran agama berada agamawan perusahaan atau agamawan negara (MUI) sebagai penguasa fatwa zakat. Sedangkan pada level kedua adalah pemangku kuasa tatakelola yang dipangku oleh pihak manajemen perusahaan yang ditempatkan sebagai pengurus LAZ-SP. Karyawan sebagai muzakki dan masyarakat miskin sekitar perusahaan sebagai mustahik hampir tidak memiliki kekuasan dalam wacana dan tatakelola zakat di sana.

Kuasa agamawan lokal pada sistem tatakelola zakat komunitas, kuasa agamawan negara pada BAZDA dan agamawan perusahaan pada LAZ-SP memang merupakan pemangku kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran agama, namun kuasa agamawan lokal pada LAZ komunitas jauh lebih luas dibanding kuasa agamawan negara pada BAZDA dan agamawan perusahaan pada LAZ-SP. Agamawan lokal pada LAZ komunitas menjangkau hingga pada pengetahuan tentang tatakelola, sementara pada BAZDA dan LAZ-SP, kuasa agamawan hanya terbatas pada kuasa pengetahuan zakat sebagai ajaran agama dan berperan menfatwakan zakat dalam koridor ajaran agama saja. Sementara kuasa pengetahuan manajemen tatakelola berada dalam kuasa aparat negara pada BAZDA dan manajeman perusahaan pada LAZ-SP.

5.2.1. Kuasa Pengetahuan Zakat dalam LAZ Komunitas

Kuasa pengetahuan zakat komunitas di Kabupaten Tanjung Jabung Timur khususnya di Desa Simburnaik, ditemukan dalam kelembagaan kiyai dan masjid. Pada wawancara mendalam dengan beberapa informan di lokasi ditemukan informasi yang menunjukkan bahwa di sana kuasa pengetahuan agama dan pengetahuan lokal saling bersentuhan dan bekerja membentuk konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat. Informasi persentuhan kuasa pengetahuan diperoleh dalam beberapa wawancara dipetik pada box 5.2.1.

Box 5.2.1 Kuasa Sosialisasi Pengetahuan Zakat Dalam Komunitas Desa SBN salah satu desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi yang telah melakukan pengelolaan zakat berbasis komunitas sejak lama. Zakat di desa ini dikelola di masjid oleh imam masjid, bersama dengan kepala desa dan pemuka masyarakat. Imam yang dikenal dengan panrita atau puang imang (bugis), tuan guru, Imam atau Buya (Melayu) dan Kiyai (Jawa) sebagai pemangku kuasa pengetahuan agama dan berhak menerima, mengelola dan menyalurkan zakat kepada muzakki dengan berpedoman pada kitab-kitab fiqh. Imam dibantu oleh guru agama atau guru ngaji dan anak mengaji atau Remaja Masjid. Bagaimana mengelola mengikuti tatacara masa lalu yang telah menjadi tradisi. Terlihat dengan munculnya sanro (tabib/ dukun bayi) sebagai penerima zakat yang tidak ada dalam ajaran agama.

Kepala desa yang juga dikenal dengan istilah Datuk, atau Pangulu, membantu imam dengan cara memberikan dukungan dan kepercayaan penuh untuk mengelola zakat. Kepala desa juga membantu menghimbau masyarakat untuk berzakat di masjid dan memberikan data-data orang miskin di desa untuk dijadikan mustahik yang biasanya terlebih dahulu disesuaikan dengan informasi dari Ketua RT atau adakalanya imam meminta bantuan para ketua RT untuk mendata orang-orang miskin di lingkungannya untuk dimasukkan dalam data mustahik.

Pemuka masyarakat atau pemuka adat yang biasanya disebut dengan tau matoa, orang tuo, orang adat, atau tuo-tuo tengganai (biasanya terdiri dari tokoh kharismatik dan orang kaya desa) juga terlibat dalam pengelolaan zakat di desa. Tokoh kharismatik terlibat selalu sebagai pendamping imam masjid yang biasanya selalu berkomunikasi dengan imam dalam hal mencari cara yang baik, yang cocok dan sesuai dengan budaya kampung. imam dan tuo-tuo tengganai selalu berkomunikasi dengan imam masjid tentang cara mengumpulkan, menyalurkan dan kemana saja zakat digunakan. Orang kaya desa, selalu membantu imam dengan menjadi muzakki dan mempengaruhi yang lainnya untuk berzakat di masjid.

Masjid dikonstruksi sebagai lembaga yang disucikan dengan struktur kuasa ruang di bawah pangkuan agamawan. Di masjid agamawan dikenal sebagai

panrita (ulama), puang imang (imam), tuan guru (guru agama), buya, atau kiyai,

didaulat sebagai yang suci, yang mulia, dipercaya memiliki kedekatan hubungan dengan Allah SWT dan dipercaya memiliki kemampuan luar biasa untuk menyelamatkan ummat dengan ritual doa, sehingga tak jarang dilekatkan peran tabib padanya sebagai perwujudan seorang wali (Beatty and Middleton, 1969).

Seorang imam15 atau agamawan di masjid memiliki legitimasi publik sebagai sosok yang diberikan hak kuasa sepenuhnya oleh ummat dalam ruang agama hingga ruang sosial. Masjid dikonstruksi sebagai lembaga yang mengatur ruang sosial beragama, dan menempatkan sang imam pada struktur yang berkuasa dalam pengetahuan agama dan ritual ibadah. Melalui masjid sang imam diberi kuasa sebagai memimpin ritual, membentuk dan mengarahkan prilaku sosial dan beragama masyarakat. Kuasa pengetahuan diletakkan pada hak kuasa menggunakan mimbar masjid untuk menyuarakan wacana agama dan keberagamaan. Mimbar sebagai simbol kuasa pengetahuan agama dan menjadi

15

Imâm berarti orang yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkara. Selain itu, ia juga bisa berarti Al-Qur‘an, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, pemipin agama, ulama dan sebagainya. Imam juga bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanah, dan kepemimpinan (Mubarok, 2009) http://mubarok-institute.blogspot.com.

122

tempat di mana pengetahuan agama disosialisasikan, dan yang mempunyai hak kuasa mimbar hanyalah orang yakini memiliki pengetahuan agama.

Wacana zakat disini oleh agamawan disalurkan melalui mimbar masjid dan majelis taklim, sebagai ajaran agama yang diwajibkan dengan mengatasnamakan wahyu suci dari Allah SWT. Agamawan disini menyatakan dirinya hanya sebagai penyampai pesan-pesan suci dari wahyu Allah karena memikul tanggungjawab suci sebagai pewaris kenabian. Statemen-statemen yang terlontar menggunakan konsep wahyu, tanggungjawab suci, dan sebagai pewaris kenabian, memiliki kekuatan dan memberikan justifikasi pada agamawan sebagai orang yang benar dan layak dipatuhi. Pada mimbar ini juga wacana zakat disuarakan dan digambarkan sebagai perintah wajib yang dikaitkan dengan konsekwensi-konsekwensi logis kepatuhan dan penolakan dengan statemen: dosa dan pahala, kekufuran dan kepatuhan, wujud syukur dan kesombongan. Semua statemen-statemen tersebut memiliki kekuatan mengarahkan dan menundukkan ummat, sehingga agamawan dihormati dan dipatuhi karena kepiawaiannya menuturkan wahyu sehingga dikonstruksi sebagai sosok yang memiliki pengetahuan zakat (agama) yang luas (agamawan) serta sebagai sosok yang suci dan memiliki kedekatan relasi dengan Allah karena sebagai pewaris kenabian.

Proses terbangunnya kuasa agamawan dalam ruang wacana zakat, berawal dari bangunan logika bahwa zakat adalah ajaran agama, maka sebagai ajaran agama, selayaknya kuasa atas wacana zakat dan kelembagaanya berada dalam ruang kuasa agamawan. Kekuasaan agamawan tersebut terbangun melalui proses seleksi sosial yang ketat dan melalui adaptasi terhadap norma-norma sosial yang menjadi batasan moral masyarakat. Disini seorang agamawan mengikuti tuntutan-tuntutan nilai, norma dan membangun simbol-simbol moralitas sebagai sosok yang suci, berpengetahuan luas dan memiliki integritas moral yang baik dan mulia. Membangun kuasa, agamawan selalu bercirikan jubah gamis atau sarung, kopiah putih, sorban dan tasbih sebagai simbol keshalehan membangun kesucian. Dekat dengan masjid, mengajar mengaji dan membaca kitab kuning,16 selalu memberikan ceramah-ceramah

16

Kitab kuning : kitab kelasih dalam bahasa arab yang dikarang oleh ulama terdahulu dengan ciri tanpa baca yang sangat terbatas.

agama melalui mimbar masjid atau pengajian-pengajian di luar masjid sebagai simbol ketaatan dan luasnya pengetahuan agama.

Struktur kuasa zakat, terkonstruksi dalam tiga level kuasa, yaitu: amil sebagai penguasa tatakelola, muzakki sebagai pemegang sumberdaya zakat dan mustahik sebagai penguasa hasil zakat. Amil oleh komunitas dikonstruksi sebagai sosok yang mendapatkan hak kuasa atas tatakelola zakat melalui pesan-pesan wahyu. Karena zakat dipercaya sebagai ajaran murni agama yang bersumber dari wahyu, yang awalnya berada dalam hak kuasa Nabi Muhammad. SAW, maka hak tatakelola zakat di serahkan pada agamawan yang sebelumnya telah dikonstruksi sebagai pewaris kenabian. Zakat oleh agamawan dibawa ke masjid sebagai ruang pembatas terhadap sentuhan kuasa dari luar struktur masjid. Menjadikan masjid sebagai ruang, di mana lembaga zakat dipusatkan dalam komunitas, adalah bentuk penguatan kuasa agamawan dan menjadi justifikasi atas suci dan murninya misi kelembagaan zakat ditangan amil komunitas. Fenomena zakat berbasis masjid di bawah kuasa agamawan sebagai amil, bagi anggota komunitas dibaca sebagai satu sistem sosial keberagamaan yang tak terpisahkan. Agamawan, zakat, dan masjid dikonstruksi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan karena ketiganya saling melengkapi. Agamawan sebagai pemimpin agama, zakat sebagai sumber dana penguatan ajaran agama dan masjid sebagai arena netral di mana agama dibangun, dikokohkan dan kembangkan.

Masjid menjadi tempat pengelolaan zakat, berproses dengan melalui tiga momen penting konstruksi sosial kuasa zakat. Momen objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi secara simultan (Berger, 1990). Berawal dari masjid zakat terlembaga dan menjadi fenomena interaksi sosial secara intersubjektif amil, muzakki dan mustahik serta masyarakat luas dan terinstitusionalisasikan dalam dunia sosial zakat. Dalam struktur masjid pulalah momen internalisasi berlangsung ketika anggota komunitas mengidentifikasi diri dengan lembaga zakat komunitas dan memahami atau menafsirkan, hingga kemudian momen eksternalisasi sebagai proses penyesuaian diri dengan lembaga zakat sesuai yang ia tafsirkan sebagai dunia sosial kultural yang diproduksinya bersama komunitas tersebut. Agamawan di masjid dikonstruksi sebagai pemangku kuasa tunggal dalam agama termasuk kuasa pengetahuan zakat. Agamawan memiliki

124

hak kuasa penuh dalam membangun dan membentuk pengetahuan zakat, hingga mengarahkan dan menilai tindakan zakat masyarakat komunitas.

Muzakki merupakan bagian dari struktur kelembagaan zakat, yang mengkonstruksi diri dan dikonstruksi sebagai kelompok orang dikenali berkewajiban untuk berzakat, karena kesejahteraannya yang lebih baik. Konstruksi tentang muzakki dibangun oleh agamawan dalam masyarakat komunitas melalui proses internalisasi ketika dakwah disuarakan. Seruan agamawan di cerna dan kemudian di tafsirkan dalam proses reflektif dalam momen eksternalisasi hingga kemudian melalui momen objektivasi dalam wujud tindakan berzakat yang melembaga dalam komunitas. Fenomena zakat terbangun dalam sedemikian rupa dalam konstruksi sosial sebagai satu fenomena objektif yang terus akan mengalami perkembangan penafsiran dalam proses internanalisasi dan eksternalisasi. Fenomena zakat akan mengalami perubahan ketika terjadi proses eksternalisasi (penafsiran) ummat yang mempertanyakan tradisi berzakat dan penafsiran zakat yang sudah mapan, ingin digantikan dengan tradisi dan penafsiran zakat yang baru sebagai rekonstruksi.

Proses eksternalisasi sebagai momen yang selalu melahirkan perubahan, sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang melekat dalam gagasan atau membatasi ruang gerak anggota masyarakat. Negara sebagai kekuatan yang mengatur anggota masyarakat secara inividual memiliki pengaruh yang paling dominan dalam proses eksternalisasi pemahaman dan pandangan terhadap zakat. Menggunakan pandangan Berger (1990) dalam memandang zakat dan konstruksi sosial pengetahuan zakat, maka zakat dalam tindakan tidak pernah menjadi produk akhir karena melembaganya zakat sebagai satu fenomena objektif menuju satu bentuk baru melalui momem internalisasi yang akan melahirkan satu yang baru melalui proses eksternalisasi, dan ini tak akan pernah terhenti dari aras individu yang selanjutnya akan melebar ke aras struktur secara terus-menerus. Artinya melembaganya zakat sebagai praktek sosial akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perubahan aras gagasan dan penafsiran yang dipengaruhi oleh dinamika pengetahuan dan ini berlanjut tanpa henti.

Relasi antara aktor dan pengetahuan dalam proses membangun konstruksi berfikir tentang zakat dalam komunitas terlihat dalam tabel 6 yang menggambarkan bagaimana relasi antara pengetahuan agama, sains modern

dan pengetahuan lokal dengan agamawan, birokrat desa dan pemuka adat komunitas.

Tabel 6 : Relasi Aktor dengan Pengetahuan Zakat dalam LAZ Komunitas

Pengetahuan

Aktor Agama Sain Modern Pengetahuan lokal

Agamawan Basis Utama Tantangan Sinergis

Birokrat Desa Basis Moral Basis Utama Sinergis

Pemuka Adat Basis Moral Tantangan Basis Utama

Sumber : Data Lapang, 2008 (diolah)

Pengetahuan agama, merupakan pengetahuan yang diakui dan difahami oleh komunitas sebagai pengetahuan yang bersumber dari wahyu yang di turunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya dan kemudian menjadi basis utama pengetahuan bagi ulama. Nabi disini dikonstruksi sebagai pemangku kuasa ruang pengetahuan tertinggi, yang kemudian didelegasikan kepada ulama sebagai pewaris tunggal yang sekaligus dikonstruksi mewarisi beberapa kemuliaan kenabian. Dari sini ulama dipercaya ummat memiliki hak penuh untuk menjelaskan, mengembangkan dan mengarahkan serta mengontrol ruang pengetahuan dan prilaku ummat dalam beragama. Ulama kemudian menjadi sosok yang dipatuhi dan dikonstruksi ummat sebagai sosok yang selalu suci, mulia dan benar, dan sabdanya mewakili suara Tuhan. Pengetahuan modern oleh ulama dianggap sebagai tantangan dan harus dijinakkan dalam kerangka nilai agama, sementara pengetahuan lokal selalu disinergiskan dengan pengetahuan agama.

Birokrat desa yang dipimpin oleh kepala desa dan dikenal sebagai Datuk, atau Penghulu, merupakan sosok elit desa yang menjadi pemangku kuasa administrasi dan birokrasi desa. Mereka ini menjadi pengetahuan agama sebagai basis moral, pengetahuan modern sebagai basis utama dan mensinergiskan pengetahuan lokal dengan kedua pengetahuan sebelumnya. Sang datuk atau penghulu di masjid merupakan struktur yang memberikan legalitas formal atas kekuasa sang imam dari luar masjid. Di sana seorang datuk tunduk pada kuasa sang imam dalam ruang kuasa pengetahuan zakat. Legalitas kuasa sang datuk terhadap kuasa sang imam memperkokoh kedudukan sang imam di masjid dan terhadap zakat, dan sebaliknya sang datuk sebagai pemimpin desa karena kedekatannya dengan sang imam secara bersamaan juga mendapatkan

126

legitimasi moral. Akibatnya sang datuk dikonstruksi sebagai pemimpin desa yang agamis dan mendapatkan legitimasi sang imam sebagai pemimpin yang baik dan taat. Legitimasi sang imam terhadap kuasa adminsitrasi dari sang datuk tidak memberikan ruang kuasa bagi sang datuk pada struktur kuasa masjid dalam kaitannya dengan zakat, karena terbatasi oleh kuasa pengetahuan agama yang hanya berada dalam kuasa agamawan.

Pengetahuan modern (science), dianggap sebagai pengetahuan duniawi sebagai hasil kreasi manusia dan menjadi panduan duniawi. Pengetahuan ini dalam tatakekola zakat menjadi basis utama bagi birokrat desa. Pengetahuan ini oleh birokrat desa dijadikan basis pengetahuan utama pada ruang birokrasi pemerintahan desa hadir sebagai pengetahuan yang dititipkan/disalurkan lewat sistem pemerintahan dari pusat sampai ke desa. Sang datuk sebagai pemimpin desa memangku ruang kuasa administrasi dan birokrasi desa dengan dukungan legalitas formal di bawah legitimasi negara. Disini sains menundukkan dan mengarahkan masyarakat melalui sistem administrasi dan birokrasi desa. Oleh karena itu persentuhan kuasa sang datuk dan kuasa sang imam dalam tatakelola zakat selalu pada wilayah administrasi muzakki dan mustahik.

Persentuhan sang imam dan sang datuk disini tak jarang ada tarik menarik dalam menentukan muzakki dan mustahik. Sang datuk dengan logika administrasi pemerintahan dan sang imam dengan logika ajaran agama. Namun karena konstruksi pengetahuan zakat komunitas cenderung lebih menilai ruang kuasa tatakelola zakat merupakan bagian dari ruang kuasa pengetahuan agama dan imam lebih berkuasa di sana sehingga imam selalu menjadi pemenang. Akhir dari tarik menarik antara kedua elit desa tersebut, sang datuk memilih mendukung sang imam dan memberikan ruang kuasa yang luas. Sang datuk memilih menghindari berbenturan dengan sang imam karena tidak ingin berhadapan dengan ummat atau jama‘ah masjid yang memiliki kepatuhan dan kesetiaan yang kental terhadap sang imam. Relasi simbiosis mutualis antara imam dan datuk bisa muncul dan saling meligitimasi. Imam sebagai pemangku kuasa pengetahuan zakat memberikan legitimasi moral atas kuasa datuk dalam ruang pengetahuan administrasi dan birokrasi pemerintahan, begitu pula sebaliknya.

Pengetahuan lokal (Local Knowledge) oleh komunitas lebih dikenal sebagai adat istiadat atau Adê. Pengetahuan ini difahami pemandu kehidupan sosial

secara umum dalam konteks hidup bermasyarakat dalam satu komunitas. Pemangku kuasa pengetahuan ini adalah elit adat desa (tuo-tuo tengganai). Elit adat dengan pengetahuan lokal menguasai ruang kehidupan sosial sebagai pengontrol moral masyarakat bersama dan di bawah kuasa ulama (agamawan). Penundukan ini merupakan hasil dari penundukan agama terhadap adat. Antara agama dan adat selalu harus bersinergi namun adat tunduk di bawah kuasa agama. Pepatah adat Jambi yang menyatakan bahwa Adat bersendi Syara‟, Syara‟ bersendi kitabullah (adat berpedoman dengan agama dan agama berpedoman dengan Kitab Suci).

Pemuka masyarakat atau pemuka adat disebut dengan tau matoa, orang tuo, orang adat, atau tuo-tuo tengganai, dalam ruang tatakelola zakat menjadi pendamping sang imam sebagai tokoh kharismatik desa. Tuo-tuo tengganai yang menguasai ruang pengetahuan lokal sebagai pengawal adat desa, terlibat dalam ruang tatakelola zakat komunitas dan mengarahkan prilaku berzakat dalam kaitannya dengan adat dan budaya lokal. Disini tradisi selalu muncul dengan ciri khas yang berbeda, dan tak jarang tidak dikenal dalam wacana pengetahuan agama, misalnya memunculkan dukun bayi dan tabib desa sebagai orang berhak menerima zakat. Pengetahuan agama dan pengetahuan lokal bersinergis disini melalui proses sintesis.

Pemuka adat (tuo-tuo tengganai) memandang pengetahuan agama sebagai landasan moral tertinggi dalam bertindak dan berperilaku, sehingga budaya selayaknya menyesuaikan diri dan tunduk dengan agama. Sementara itu pengetahuan modern dilihat sebagai pengetahuan baru untuk menunjang pengetahuan agama dan adat khususnya yang terkait dengan materi, namun harus tunduk di bawah kontrol adat dan agama, dan dianggap bisa mengancam nilai dan norma sosial. Oleh sebab itu, haruslah disaring agar dijinakkan dan ditundukkan dalam ruang adat dan agama.

Bagi ulama, sains merupakan pengetahuan baru yang dilihat sebagai tantangan dan sering sebut sebagai ilmu duniawi sebagai lawan ilmu ukhrawi yang dipakai untuk menamai ilmu agama. Sain dianggap sebagai tantangan bagi eksistensi pengetahuan agama. Sains dilihat sebagai pengetahuan yang berorientasi duniawi dan mengabaikan ukrawi, membiarkan sains menjadi landasan utama hidup manusia, membuat manusia akan tersesat dan mengabaikan dimensi ukhrawi. Oleh sebab itu maka ilmu agama menjadi filter

128

atas sains atau perlu internalisasi nilai agama agar bersinergis dengan agama. Sementara adat dan budaya (pengetahuan lokal), merupakan pengetahuan yang mengakar dalam kehidupan masyarakat sebagai adat istiadat yang diperoleh secara turun temurun dan dijadikan pedoman hidup. Oleh ulama, pengetahuan ini disinergiskan dengan agama, dan diakui sebagai uruf, diterima sepenuhnya manakala tidak bertentangan dengan agama.

Pengetahuan agama bagi birokrat desa merupakan pengetahuan yang menjadi pedoman hidup beragama dan menjadi batasan nilai dalam ruang yang luas, sehingga nilai agama menjadi pedoman nilai dalam bertindak. Sementara pengetahuan lokal (local knowledge) dianggap sebagai warisan leluhur yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Adat dan budaya bagi birokrat desa merupakan basis normatif dan bersama agama dalam kehidupan sosial. Bertemunya tiga pengetahuan dan pemangku kuasanya dalam tatakelola zakat komunitas melahirkan tiga konstruksi sosial atas kuasa pengetahuan zakat yang berbeda, yaitu: pertama, konstruksi pengetahuan zakat bangunan ulama, yang memandang bahwa zakat dan tatakelolanya harus tunduk dalam pengetahuan atau ajaran agama, berada dalam kekuasaan agamawan, hasilnya untuk penguatan ajaran dan pembiayaan syiar agama dan pengelolaannya berpusat pada masjid/surau/langgar dan madrasah atau secara perorangan oleh amil dari ulama. kedua, konstruksi pengetahuan zakat bangunan birokrat desa, yang memandang bahwa zakat merupakan praktek beragama yang erat kaitannya dengan kemiskinan dan pemberdayaan komunitas, makanya tatakelola zakat sebaiknya bersinegis dengan pemerintahan desa. Ketiga, konstruksi pengetahuan yang dibangun oleh elit adat bahwa pengelolaan zakat harusnya