• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

Tabe 9 : Relasi Antar Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah

5.3. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat

5.3.2. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat BAZDA Jambi

5.3.2.2. Optimalisasi Zakat Membutuhkan Aturan Negara

Wacana optimalisasi zakat digagas dalam kerangka berfikir politik dan ekonomi. Patameter optimal diletakkan pada ukuran sejauh mana kelembagaan zakat menjadi fenomena sosial dalam masyarakat dengan tingkat mobilitas berzakat yang tinggi dan akumulasi pengumpulan dana zakat yang signifikan. Memberlakukan zakat secara positif-legal, sebagai salah satu tata hukum yang berlaku di Indonesia, yang secara khusus ditujukan bagi ummat Islam, merupakan gagasan menuju optimalisasi zakat. Zakat diharapkan tidak hanya sekedar sebagai suatu hukum yang dicita-citakan (Ius constituendum), namun menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia (Ius constitum). Zakat diharapkan tidak hanya berdayaguna bagi ummat Islam dalam konteks lokal dan komunitas, namun lebih jauh bisa menyentuh seluruh rakyat lemah Indonesia.

Keterangan informan terkait dengan optimalisasi zakat ditemukan dalam beberapa wawancana di lapangan yang menggambarkan bahwa zakat dalam konteks negara dipandang perlu adanya kebijakan-kebijakan negara yang mempu mendukung upaya optimalisasi zakat, dan hal tersebut dapat dilihat pada petikan wawancara dalam box 5.3.2.2 berikut ini.

Box 5.3.2.2 : Negara Perlu Mengatur Zakat

AA. M (37 tahun) ... untuk bisa mengoptimalkan manfaat zakat dan menjadikan menjadikan zakat sebagai sistem ekonomi pemberdayaan, maka diperlukan pengaturan secara tegas berupa hukum negara yang memuat aturan tegas terhadap mereka yang enggan berzakat. .. zakat tidak bisa optimal mencapai tujuan pemberdayaan jika tanpa campur tangan kekuasaan pemerintah

Rendahnya kesadaran berzakat pada harta di kalangan ummat Islam menurut ISHK (2008) ,

‖...dikarenakan tidak adanya sanksi yang nyata terhadap mereka yang enggan membayar zakat hartanya.

Makanya dibutuhkan hukum atau Undang-undang Negara yang memiliki kekuatan memaksa dengan

ancaman sanksi yang jelas bagi meraka yang ingkar menunaikan zakat.‖

Pemikiran tentang harusnya ada hukum negara disamping hukum agama, yang mengatur pelaksanaan zakat sebagaimana yang difikirkan oleh AA. M (37 tahun) juga diungkapkan oleh para pengurus BAZDA Kota Jambi. Keterangan ISHK (2008) selaku ketua I BAZDA Kota Jambi menyatakan bahwa, Ummat Islam memang telah menyakini sepenuhnya wajibnya zakat, namun kepatuhan berzakat secara konsisten mengikuti perintah agama hanyalah pada zakat Fitrah, sementara pada zakat maal (harta) masih sangat rendah.

MHD (40 tahun) Kepala Biro Kesos Pemda selaku sekretaris BAZDA Provinsi menyatakan bahwa :‖

kalau pemahaman tentang pengaturan zakat tetap hanya merujuk sepenuhnya dengan aturan fiqh yang ada, maka upaya mengoptimalkan kesadaran berzakat dan peningkatan manfaat dana zakat, akan mengalami kesulitan karena aturan agama tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang nyata, makanya dibutuhkan adanya pemahaman baru bahwa kebijakan pemerintah dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kesadaran berzakat dengan kekuatan hukum yang jelas dan mengikat‖.

Gagasan Masdar (1991), untuk menyetarakan zakat dengan ”pajak”, merupakan satu pemahaman bahwa ‖pajak” sebagai manifestasi modern dari ‖zakat”. Gagasan ini searah dengan lahirnya ide bahwa zakat membutuhkan negara dan bahkan zakat adalah hak negara. Ide Masdar (1991) tersebut

168

mendapat respon dari Departemen Agama dan kelompok pencetus lembaga Badan Amil Zakat, Infaq dan Shodaqah (BAZIS). Terbangun pemahaman bahwa ketatakelolaan dengan campur-tangan negara dengan menggunakan aparat pemerintah dan masyarakat, melalui kekuatan birokrasi dan politik, maka pengelolaan zakat bisa meningkatkan angka perolehan dana zakat, dan distribusinya akan lebih efektif dan tepat sasaran, sehingga tujuan zakat sebagai istrumen kemakmuran ummat lebih memungkinkan tercapai. Pemikiran ini berasumsi bahwa negara bisa dipercaya untuk mewujudkan good life bagi immat Islam, sehingga kebaikan bagi ummat Islam ‖disubkontrakkan” pada negara. Tapi bagaimana ketika negara tidak mempu membangun kepercayaan, apalagi jika tidak mampu mewujudkan tuntutan dan harapan masyarakat atas kepercayaan yang ada?

Menuju optimalisasi zakat dalam pandangan negara dan perangkatnya, membangun pemahaman bahwa zakat merupakan hak kuasa negara. Pemahaman ini dibangun dengan landasan etik itegratif, dengan alasan bahwa: perilaku berzakat merupakan praktek ibadah dalam beragama oleh masyarakat Indonesia, yang melibatkan banyak orang/elemen masyarakat sehingga membutuhkan pengaturan negara. Dalam praktek zakat terlibat elite ekonomi dan ekonomi lemah yang dinilai sebagai dua sisi yang berjarak secara sosial dan saling berlawanan, sehingga keliru jika dalam mempertemukan dua elemen masyarakah tersebut dapat memicu munculnya konflik vertikal (kaya-miskin) dan akan merugikan elemen masyarakat ekonomi pinggiran. Zakat yang tadinya berada dalam ruang agama terlihat digiring masuk dalam ruang negara, pemangku kuasa pengetahuan zakat yang berada dalam ruang kelembagaan kiyai yang mendapatkan legalitas dan kepercayaan masyarakat, perlahan dirubah dan diletakkannya BAZDA sebagai penguasa pengetahuan tunggal dengan kekuatan legalitas dari negara. Disini kekuatan rakyat yang memberikan legalitas pada hak kuasa kontrol dan pengelolaan zakat dicabut dan ambil alih oleh negara.

Konstruksi pengetahuan zakat BAZDA, memandang zakat dalam perspektif politik sehingga zakat dikonstruksi sebagai satu fenomena yang memiliki potensi politik yang jika dibiarkan dalam pengelolaan Ummat berbasis masjid dengan pemahaman dan sistem yang bervariasi sangat berpotensi melahirkan konflik. Zakat disini dipandang sebagai praktek beragama yang mampu memobilisir

masyarakat, tidak hanya dalam lingkup praktek individu, namun sebagai praktek sosial yang bisa berimplikasi politik. Pemahaman ini memiliki implikasi politik di mana posisi negara sebagai kekuatan sosial politik, semakin menguat dan yang memarjinalkan kelembagaan masjid sehingga merampas dan mengkebiri kekuatan kelembagaan kiyai sebagai pemangku kuasa ajaran agama tertinggi. Kekuatan masyarakat civil (civil society) semakin melemah dan negara semakin menguat. Zakat sebagai ajaran agama yang dilihat sebagai ibadah atau kepatuhan pada ajaran untuk membangun kebersaman dan solidaritas sosial, perlahan berubah menjadi zakat yang difahami sebagai kepatuhan warga negara dan terhadap sistem bernegara untuk tujuan pembanguan.

Rendahnya kesadaran masyarakat Muslim mengeluarkan zakat harta, dipandang oleh BAZDA Provinsi Jambi sebagai bukti nyata bahwa dengan mengandalkan hukum agama (fiqh) sudah tidak cukup dalam memotivasi ummat untuk melaksanakan perintah zakat, sebagaimana efektifnya hukum agama memotivasi ummat untuk menjalankan sholat, puasa dan haji (Miftah, 2008). Secara historis tingginya kesadaran berzakat ummat pada masa pemerintah Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah-Khalifah lain setelahnya, memang dimotivasi oleh ajaran agama, namun pada masa itu keterlibatan kekuatan politik pemerintah untuk memaksa dan memberikan teguran hingga sanksi cukup memberikan pengaruh yang kuat (Miftah, 2008).

Belajar dari sejarah, menurut Miftah (2008) selaku Anggota Dewan Pertimbangan BAZDA Provinsi Jambi, untuk memicu kesadaran berzakat tidaklah cukup hanya dengan himbauan, dan kampanye zakat dengan bermodalkan pengetahuan zakat yang bersumber dari ajaran agama saja. Dibutuhkan perangkat hukum negara (diyani24) sebagai kekuatan politik yang bisa memaksa secara nyata kepada ummat untuk melaksanakan ibadah zakat. Oleh karena itu dibutuhkan UU yang mengatur tentang zakat yang disertai dengan sanksi-sanksi yang tegas bagi ummat yang enggan melaksanakan zakat. Muncul anggapan bahwa agama seakan tidak lagi mampu memberikan motivasi yang kuat bagi lahirnya kesadaran zakat, dan merupakan fenomena melemahkan kepercayaan pada ajaran agama untuk mengatasi persoalan sosial

24

Diyani adalah hukum diyani yang dapat ditangani secara profesional oleh mufti melalui fatwa, sedangkan yang bersifat Qadhai dilakukan oleh hakin melaui peradilan. Namun kategori suatu perbuatan termasuk qadhai atau diyani sesungguhnya akan senantiasa berkembangan sesuai dengan tingkat dinamika masyarakat.

170

ummat di era modern. Sebagai solusi yang ditawarkan adalah hukum negara dianggap lebih mampu memobilisir ummat dalam beragama ketimbang hukum agama. Kekuatan ajaran Allah dalam bentuk agama yang di dalamnya mengatur manusia dengan janji pahala dan ancaman dosa pada akhir zaman kelak, ternyata dianggap tidak cukup kuat untuk membuat manusia patuh, sehingga dibutuhkan aturan duniawi dengan kekuatan negara. Allah seakan dianggap tidak berdaya mengatur hamba-Nya. Negara terlihat dianggap lebih mampu dengan kekuatannya untuk memaksakan orang patuh kepada Allah melalu kepatuhan terhadap negaranya.

Proses membangun keyakinan bahwa optimalisasi zakat hanya bisa dengan kekuatan negara, dilakukan melalui kekuatan pengetahuan dan kekuasaan yang membangun pemahaman bahwa zakat merupakan fenomena ekonomi, politik dan sosial budaya. Pemahaman zakat dibangun dalam kerangka berfikir ekonomi dan politik, ketika wacana zakat bicara tentang zakat sebagai potensi ekonomi. Menyuarakan tata-aturan berbasis negara, dan menajemen modern, merupakan upaya membangun konstruksi pengetahuan zakat bahwa zakat merupakan fenomena politik yang terkait dengan logika kekinian. Berbasis pengetahuan politik modern memandang zakat sebagai satu sumberdaya politik dan instrumen kepatuhan dan penundukan pada negara dengan menggunakan kekuatan hukum berbasis negara, dan berbasis pengetahuan ekonomi memandang zakat sebagai sumberdaya ekonomi yang besar untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Zakat disini terobjektivasi sebagai fenomena pengentasan dalam bentuk lembaga zakat dan Undang-undang zakat. Wacana zakat negara dan penerapan UU zakat merupakan proses internalisasi gagasan zakat sebagai instrumen pembangunan dan untuk optimalnya didukung oleh UU negara.

Desakan kekuatan kekuasaan politik dengan menggunakan instrumen kekuasaan objektif negara (instansi dan hukum), dan instrumen kekuasaan subjektif pada aras gagasan (pengetahaun) yang menjamah ruang kognisi ummat melalui wacana zakat yang membaur dengan logika ekonomi dan politik membuat warga tertaklukkan, menerima dan mematuhi gagasan zakat berbasis negara sebagai wujud hasil dari proses internalisasi ke eksternalisasi berupa pengakuan, penundukan dan kepatuhan berzakat pada tatakelola zakat negara.