• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN TEORITIS

dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki

2.2. Pandangan Filosofis

Secara filosofis, zakat memiliki dua dimensi (As-Shiddiqie, 1991), yaitu:

pertama, sebagai ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT sebagai konsekuensi logis atas makhluk yang percaya kepada Allah dan menganut agama Islam. Maka zakat di sini menjelma dalam tindakan sebagai kepatuhan, penyerahan, dan pengabdian kepada Allah SWT sebagai pencipta (tindakan asketik), tanpa dicampuri oleh pertimbangan-pertimbangan dan pilihan-pilihan yang bersifat duniawi (Idris, 1997). Pemahaman kedua, sebagai ajaran menuju lahirnya kepedulian kepada sesama (khususnya kepada yang lemah/mustahiqin), menjalin hubungan saling membantu dan melindungi secara sosial, ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, maka zakat dipahami sebagai ibadah sosial dalam wujud tindakan kemanusiaan yang oleh Idris (1997) diistilahkan dengan paradigma trasformatif.

Zakat sebagai perintah agama melembaga karena religious ethics dan kemanusiaan yang di dalamnya bekerja sistem rasionalitas. Dalam pandangan ini kelembagaan zakat menjadi dinamis dan sarat dengan pertimbangan ilmiah dengan dimensi-dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi (Syâtibi, tt).

Pemahaman pertama (dimensi spiritual) (Syâtibi, tt) atau dimensi normatif merupakan perwujudan pemahaman zakat dalam ranah teologi atau epistemogi teologisme dengan basis etik teosentrisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang harus tunduk kepada ajaran agama. Sementara pemahaman kedua (dimensi etika-moral, sosial, politik, dan ekonomi) merupakan perwujudan

Ruang Diskursus

28

pemahaman berbasis epistemologi sekularisme yang melihat manusia sebagai makhluk yang cerdas dan ivonatif. Paham ini berbasis etika Antroposentrisme.

Pemahaman pertama melihat zakat sebagai ajaran agama yang harus dalam kemurnian sebagaimana diterjemahkan nabi atas firman Tuhan, yang disabdakan kepada umat manusia dalam konteks ukhrawi. Pemahaman kedua, melihat zakat sebagai fenomena duniawi yang sarat dengan dimensi kemanusiaan dan pembebasan. Pemahaman kedua ini kemudian berkembang sehingga zakat yang tadinya berwawasan normatif, bergeser menjadi berwawasan ilmiah (Idris, 1997) yang terbuka dengan wacana pembangunan, kemanusian, dan keadilan (Mas‘udi, 1993).

Zakat sebagai ajaran agama Islam, dalam konteks ibadah ke-Tuhan-an (ilahiyah) merupakan perintah tetap dan menyejarah, namun dalam konteks kemanusiaan (muamalah), zakat dipandang sebagai fenomena pembebasan dan instrumen keadilan. Di sini pemahaman zakat sangat dinamis dan terbuka terhadap perubahan dan perkembangan untuk kepentingan perwujudan keadilan dan pembebasan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan dan ketidak berdayaan (Qadir, 1998).

Berawal dari pemahaman zakat sebagai ibadah yang memiliki misi kemanusiaan dan pembebasan, maka lahir pemikiran tentang transformasi zakat pada ranah pengetahuan (Kontowijoyo, 1991, Mas‘ud, 1991 dan Idris, 1997). Kelembagaan zakat tak lepas dari bagaimana sistem pengetahuan dan rasionalitas bekerja membentuk konstruksi sosial zakat dan melembagakan dalam praktek sosial. Zakat digerakkan oleh semangat spiritualitas dan humanitas dan amat erat kaitannya dengan budaya berderma, makanya zakat selain sebagai ibadah berdimensi teosentrisme di sana juga terkandung dimensi antroposentrisme,sehingga sinergis antara pengetahuan berbasis teologisme dan pengetahuan berbasis sekularisme terbuka untuk saling merajut dalam wacana tatakelola zakat.

Melembaganya zakat dalam praktek kehidupan sosial, secara politis dan ekonomi merupakan potensi yang besar bagi berbagai kalangan, dan melihat zakat sebagai instrumen pembangunan dan pemberdayaan. Potensi tersebut merupakan salah satu pendorong munculnya wacana pemberdayaan berbasis zakat dari berbagai kalangan: mulai dari akademisi, politis hingga pengusaha. Mereka mencoba ikut bicara dan menawarkan formula masing-masing, hingga

kemudian mengerucut pada wacana zakat berbasis negara, berbasis industri dan berbasis komunitas dan memunculkan zakat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi, politik dan sosial.

Persoalan kemudian adalah bahwa manusia memang makhluk sosial yang butuh interaksi, makhluk ekonomi yang tergantung dengan orang lain, namun pada saat yang bersamaan juga sebagai makhluk penuh konflik (Ritzer, 2005), haus kekuasaan dan tindakannya penuh persaingan (Weber) dan pertarungan (Marx). Oleh sebab itu, maka ragamnya wacana zakat membuka peluang lahirnya konflik antar-aktor, apalagi ketika zakat dilihat sebagai sumber daya potensial secara politik dan ekonomi. Wacana zakat bisa terjebak dalam arena kontestasi dan pertarungan untuk saling menguasai dan mendominasi antara satu dengan lainnya, atau paling tidak saling berupaya mencapai kepentingan masing-masing dan menegasikan yang lain. Akibatnya zakat akan lebih dipandang sebagai sumber daya dalam konteks perwujudan tujuan sepihak, ketimbang sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan umat.

Zakat sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan berbasis agama, memandang kaum lemah pada posisi yang harus diperhatikan, hal ini memiliki kemiripan dengan teori pembangunan alternatif yang menyuarakan elit tradisional yang terancam terasing oleh industrialisasi (ideologi Marxisme) (Hettne, 2001: 27). Pandangan ini menekankan implikasi etis dan estetis yang negatif dari sebuah perubahan sosial yang sedang berlangsung dan meminggirkan masyarakat tertentu. Marx pada karya awalnya menggambarkan bahaya keterasingan sebagai akibat dari cara produksi kapitalis, dan Weber menyatakan bahwa rasionalisasi masyarakat modern yang tidak dapat diubah, membuat masyarakat itu menjemukan karena kehilangan pesona (entzauberung) (Weber, dalam Albrow, 2005). Hal yang sama dinyatakan oleh Nisbet (1980) bahwa keyakinan terhadap kemajuan sulit diharapkan dalam suatu peradaban, karena di sana semakin banyak kelompok yang mengalami kebosanan terhadap dunia, negara, masyarakat dan bahkan terhadap diri sendiri (Nisbet, 1980).

Escobar (1992) melihat pentingnya refleksi pembangunan dengan menekankan pada pendekatan grass root dan pendekatan politik alternatif untuk dunia ketiga. Pendekatan model pembangunan yang menekankan pada pembelaan, perlindungan dan pemberdayaan komunitas lokal (Pieterse, 1998), untuk membangun diri sendiri berdasarkan kemampuan dan karakteristik budaya

30

lokal, yang sebelumnya dianggap oleh kaum kelompok modernis sebagai hal yang tidak penting dan bahkan diangggap sebagai penghambat pembangunan. Maka dalam upaya memberdayakan dan melindung masyarakat lokal muncul teori pembangunan berwawasan lingkungan (eco-development), berwawasan etnis (etno-development), berwawasan budaya (culture-development), dan berwawasan agama (religion-development).

Perkembangan pemahaman tentang sosok agama, sains dan negara senantiasa berkembang. Muatan dan spirit keberagamaan yang lahir belasan abad lalu mengalami perkembangan karena zaman berubah, meski semula agama diyakini sebagai firman Tuhan yang menyejarah, namun pada urutannya lembaga-lembaga agama berkembang otonom di bawah kekuasaan tokoh-tokohnya (Hidayat, 2006) dan mengalami persentuhan dengan sains modern. Persentuhan antara agama dan sains terus berlanjut sebagai wujud kebutuhan manusia terhadap dunia spiritual dan material secara bersamaan. Ini merupakan upaya pencarian untuk menemukan format yang tepat bagi pembangunan yang bisa memposisikan kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan dalam usaha mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bebas dominasi.

Proses konstruksi sosial manusia terhadap agama, terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan pengetahuannya. Agama yang semula hanya dicerna dalam kerangka teologisme, perlahan bergeser dan dicerna dalam kerangka sekularisme. Agama yang tadinya hanya dilihat sebagai ajaran wahyu yang statis dan lebih diwarnai dengan orientasi ketuhanan, belakangan banyak diwarnai dengan orientasi kemanusiaan. Hal ini terlihat dalam konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat dalam masyarakat, yang memunculkan wacana tatakelola zakat yang didominasi gagasan meningkatkan kesadaran berzakat menuju pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan satu gejala yang menunjukkan bahwa, benturan-benturan antara agama dan sains yang pernah ada dalam sejarah perlahan melunak dan semakin cair. Namun perlu disadari bahwa untuk Indonesia, masyarakat muslim berasal dari ragam budaya dengan ragam kearifan lokal, yang tentunya di sana ada banyak sistem pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja. Akibatnya zakat sebagai ajaran agama, dikonstruksi oleh umat secara berbeda berdasarkan rezim pengetahuan dan sistem rasionalitas yang bekerja pada aras gagasan dengan kepentingan yang berbeda. Maka upaya untuk mewujudkan

kehidupan bertuhan, beragama dan bernegara dalam satu gagasan pada konteks zakat, agaknya perlu diperhatikan keragaman sistem pengetahuan dan rasionalitas termasuk di dalamnya keragaman kepentingan terhadap zakat.

Memandang zakat sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi pemberdayaan masyarakat, hendaklah dalam konteks keragaman budaya (pengetahuan, dan sistem rasionalitas). Memaksakan satu gagasan utuh terhadap suatu komunitas sama halnya meniadakan komunitas itu, apalagi kalau kemudian disertai dengan justifikasi dan menyalahkan yang lain. Agaknya ini merupakan keangkuhan, karena manusia hanya mencari kebenaran dan kebenaran yang ditemukan tidaklah pernah ditemukan secara sempurna, kebenaran sempurna hanya ada pada Tuhan dan manusia hanya berusaha untuk benar dan belum tentu benar. Oleh sebab itu, maka biarkanlah umat beragama dan berzakat sesuai dengan konstruksi yang mereka bangun dalam gagasan, dan biarlah zakat dikelola sesuai dengan konstruksi sosial dan pengetahuan serta budaya dengan kearifan-lokal (local-wisdom) masing-masing. Bagaimanapun mekanisme yang penting adalah kesadaran dan pemahaman bahwa zakat merupakan mekanisme distribusi kesejahteraan masyarakat yang bertujuan mendekatkan hubungan kaum kaya dan miskin dalam relasi yang saling memanusiakan dengan penuh kehangatan. Sehingga kebertuhanan, keberagamaan, dan kebernegaraan mewujudkan kehidupan damai, sejahtera dan bebas dari dominasi.