• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

PROFIL TIGA LEMBAGA ZAKAT DI JAMBI DAN SUMATERA BARAT

4.1.1. Sejarah Ringkas Tatakelola Zakat di Indonesia

Perkembangan tatakelola zakat di Indonesia telah mengalami perjalanan yang panjang sejak masuknya Islam ke wilayah nusantara. Sejak awal, zakat telah menghubungkan tiga elemen sosial dalam masyarakat muslim yaitu : agamawan, ekonomi kuat dan ekonomi lemah. Zakat juga telah menjadi bagian penting dalam membangun relasi antar struktur dalam masyarakat muslim yaitu : Muazakki, Mustahik dan Amil serta masyarakat luas. Pada masa kolonialisasi

80

Barat, zakat menjadi bagian penting bagi perjuangan kemerdekaan dan menjadi penopang dana perjuangan melawan penjajahan, sebagai satu wujud nyata konstruksi sosial masyarakat terhadap tradisi berzakat dan potensi zakat dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat dalam ruang yang lebih luas.

Pada tahun 1892, Belanda mengatur ketatakelolaan zakat yang ditandai dengan keluarnya Bijbled No. 1892 tanggal 4 Agustus 1892, tentang kebijakan zakat yang mengatur tatakelola zakat sebagai proses pelemahan kekuatan elit agama dengan tidak diberi gaji untuk membiayai hidup, kesehatan dan kesejahteraan bagi pengelola zakat (Ali, 1988). Ketika ini terjadi pelarangan bagi pegawai pemerintah dan priyayi pribumi untuk membantu pengelolaan zakat yang diatur dalam Bijblad No. 6200 tanggal 28 Februari 1905, yang berlaku di semua wilayah jajahan dan khususnya bagi para priyayi pribumi Aceh. Pelarangan ini terjadi karena kala itu dukungan rakyat terhadap penjuang kemerdekaan dari agamawan begitu besar dan zakat dipungut untuk mendukung pejuang. Kebijakan tatakelola zakat tersebut akhirnya melemahkan kekuatan dana penjuang Aceh yang bersumber dari Zakat (Ali dan Habibah Daud, 1995). Zakat oleh penjajah di sini dipandang sebagai sumber kekuatan pejuang muslim Aceh dalam melawan penjajah dengan munculnya wacana jihad yang berkorespondesi dengan ruh zakat yang difahami untuk syiar dan penguatan agama. Fenomena ini bisa dikatakan sebagai awal masuknya zakat dalam wacana politik yang mulai oleh penjajah.

Pasca proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1950 banyak desakan dari elit muslim agar tatakelola zakat menjadi salah satu komponen sistem perekonomian keuangan Negara dan diatur dengan perundang-undangan (Ali, 1988). Gagasan ini masih merupakan kelanjutan dari upaya memasukkan agama jadi bagian dalam sistem bernegara, namun karena ada sikap curiga terhadap kekuatan agama yang selalu berbenturan dengan kelompok partai komunis saat itu, maka pemerintah melalui Kementerian Agama pada tanggal 8 Desember 1951, yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mencampuri rakyat yang beragama Islam dalam mengumpulkan dan mengelola zakat fitrah. Artinya bahwa pada masa ini ada upaya elit agama untuk memasukkan zakat dalam ruang negara yang dilakukan dengan membangun wacana zakat sebagai sumber perekonomian negara, namun pada sisi yang lain pemerintah tidak memberi ruang yang cukup dan bahkan melepaskan diri dari urusan agama rakyat.

Perjuangan memasukkan tatakelola zakat dalam ruang negara berjalan cukup alot hingga pada tahun 1964, Kementerian Agama menyusun RUU zakat dan Recana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian serta Pembentukan bait al-mal, namun kembali mengalami penolakan. Pada tahun 1967 kembali dilakukan upaya namun tetap gagal dan kegagalan ini menunjukkan kalau dalam tubuh pemerintahan kala itu ada konflik internal dari kubu Islam dan kubu pendukung Partai Komunitas bersama Partai Nasionalis sekuler. Penolakan merupakan wujud dari rasa curiga terhadap kekompok Islam yang selalu dilihat sebagai upaya mendirikan Negara Islam di Indonesia. Kegagalan tersebut menggambarkan betapa Islam kala itu tidak bisa diterima dalam struktur politik negara, dan wacana tatakelola zakat menjadi ujung tombak benturan wacana pertemuan Agama dan Negara di republik ini.

Pada tahun 1968 diterbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 4 tahun 1968 tentang pembentukan Badan Amil zakat, yang kemudian diikuti PMA No. 5 tahun 1968 tentang pembentukan bait al-mal yang statusnya semi resmi dalam bentuk yayasan, dan kemudian diperkuat oleh Presiden Soeharto dalam pidatonya10 pada malam peringatan Isra Mi‘raj Nabi Muhammad SAW pada tanggal 22 Oktober 1968 dan beliau mengeluarkan anjuran untuk mengumpulkan zakat secara sistematis dan terorganisir. Fenomena ini kembali menunjukkan bahwa dalam struktur Negara terjadi konflik kepentingan yang terkait dengan tatakelola zakat. Hal ini terlihat dengan telah adanya PMA no. 4 tahun 1968 tentang Badan Amil Zakat dan PMA No. 5 1968 tentang bait al-mal, yang telah memberi ruang bagi tatakelola zakat, namun pada saat yang sama Presiden Soeharto juga memberikan anjuran untuk pengelolaan zakat dan menyatakan diri siap menjadi ketua pengelola. Kejadian ini bisa lebih merupakan kooptasi terhadap ketatakelolaan zakat dan kekuatan Islam ketimbangan sebagai sebuah sikap akomodatif. Apalagi setelah diterbitkannya Kepres No. 44 tahun 1969 tanggal 21 Mei 1969, tentang Pembentukan Panitia Pengumpulan Uang Zakat yang uangnya dikirim kepada Presiden Soeharto.

10

Anjuran Presiden tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Presiden No. 07/PRIN/10/10/1968, tanggal 31 Oktober 1968. Dalam surat tersebut Presiden memberikan tugas kepada Mayjen TNI Alamsyah Ratu Prawiranegara, Kol. H. Drs. Azwar Hamid dan Kol. Ali Affandi agar membantu pelaksanaan pengumpulan zakat. Seruan tersebut ditegaskan kembali oleh Presiden Soeharto pada sambutan Sholat Idul Fitri tanggal 2 Desember 1968, di halaman Istana Negara.

82

Empat belas tahun kemudian Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YABMP) didirikan oleh Presiden Soeharto tanggal 17 Februari 1982 dengan tujuan pembiayaan rumah Ibadah di daerah-daerah terpencil dan lingkungan miskin. Yayasan tersebut mengumpulkan dana dari sumbangan Instansi Pemerintah yang ditarik dari potongan gaji pegawai negeri sipil dan ABRI-POLRIi yang muslim (Thaba, 1996), Badan Usaha Negara dan Swasta, amal jariah, shadaqah dan hibah. Sejak ini dimulai cikal bakal zakat menjadi bagian dari Negara yang menjadi instrumen akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan. Sumbangan dari Pegawai Negari Sipil, ABRI dan POLRI disini tidak pernah tahu kemana dan untuk apa tepatnya sumbangan yang telah dibayarkan. Penerima bantuan bukan diletakan pada perorangan sebagai orang fakir atau miskin, namun lebih pada komunitas miskin dan desa terpencil. Yang terlihat pemanfaatan dana tersebut terkonsentrasi pada pembangunan Masjid yang dikenal dengan Masjid Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.

Memunculkan nama Yayasan Amal Bhakti Pancasila, mengandung tujuan untuk mendekatkan hubungan antara Ideologi Islam dan Ideologi Negara. Dalam konsep Muslim dan Pancasila. Merupakan kosep yang memang ketika itu selalu dipertentangkan antara idologi Negara Pancasila dengan ideologi Negara Agama. Muslim sebagai bentuk lahiriyah agama dan hadirnya agama dalam ruang sosial politik negara, sementara pancasila merupakan wujud nyata dari ideologi negara yang bekerja sebagai prisnsip-prinsip dasar bernegara. Maka mensejalankan realitas muslim dan realitas pancasila dalam wujud tatakelola zakat dan upaya pembangunan masyarakat adalah merupakan satu simbol bahwa agama dan negara dalam konteks ini berjalan seiring. Fenomena ini merupakan upaya penjinakan terhadap kelompok muslim yang memperjuangkan negara Islam Indonesia.

Respon pemerintah daerah (Pemda) terhadap gerakan zakat dipelopori oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta dengan mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) pada tahun 1968. Selanjutnya diikuti oleh Pemda-Pemda lainnya Seperti : BAZIS atau BAZ di Kalimantan Timur (1972) Sumatera Barat (1973), Jawa Barat (1974), Aceh dan Lampung (1975), Kalimantan Selantan (1977), Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat (1985) (Rahadjo, 1986). Di Provinsi Aceh, lembaga tersebut bernama Badan Harta Agama (BHA), Lembaga

Harta Agama Islam di Sumatera Utara, dan Yayasan Dana Sosial Islam di Sumatera Barat (Ali, 1988).

Diterimanya tatakelola zakat dalam ruang negara, ternyata tidak memberikan pengaruh positif terhadap motivasi berzakat ummat Islam kepada lembaga yang telah dibentuk dan beroperasi dalam ruang kuasa negara, atau paling tidak oleh aparatur negara. Modernisasi kelembagaan zakat tidak juga memberikan pengaruh bagi perjalanan lembaga zakat masyarakat yang melekat pada sosok Imam, Guru Agama atau Ustad dalam masyarakat melalui kelembagaan masjid dan pesantren. Kelembagaan zakat berbasis birokrasi pemerintah dan adat komunitas, keduanya berjalan dalam waktu yang sama secara bersamaan, meski terkadang ada penolakan dari kalangan masyarakat terhadap lembaga zakat berbasis negara, dengan lebih dipilihnya lembaga zakat Masjid oleh masyarakat umum.

Perkebangan selanjutnya tidak memperlihatkan pergerakan yang berarti kecuali hanya tataran konsep pada tahun 1989. Menteri Agama menerbitkan Instruksi No. 16/1989, tentang Pembinaan Zakat, Infaq dan Shadaqah yang di dalamnya ada Instruksi Menteri Agama kepada semua jajaran Departemen Agama, mulai dari Provinsi (Kantor Wilayah) Kabupaten, Kota Madya (Kantor Departemen Agama), hingga tingkat Kecamatan (Kantor Urusan Agama) agar membantu lembaga-lembaga keagamaan yang menyelenggarakan pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah. Namun instruksi ini tetap saja tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi perilaku atau partisipasi berzakat ummat. Bahkan sejak ini mulai muncul kecenderungan menyerahkan sendiri zakatnya kepada mustahik secara individu. Kecenderungan itu sebagai respon atas penolakan dari ummat kepada campurtangan pemerintah dalam ruang agama. Masyarakat muslim menolak negara mencampuri ruang agama karena negara dilihat sebagai negara sekuler yang tidak memihak pada agama. Campur tangan Negara malah diklihat sebagai upaya melemahkan ummat.

Runtuhnya Orde Baru merupakan awal perjalanan baru tatakelola zakat yang ditandai dengan lahirnya UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Peran lembaga zakat bersama dengan struktur Negara telah menfasilitasi pengaturan zakat dengan lembaga-lembaga khusus yang dilindungi oleh UU. Sejak saat itulah pengelolaan zakat dapat dilakukan secara masif dan terbuka baik oleh lembaga swasta (masyarakat sipil) maupun oleh pemerintah. Namun

84

dengan berdirinya lembaga-lembaga zakat, permasalahan kemudian ditemukan dalam konteks sinergi dan mekansime kerja sama, baik antar lembaga swasta ataupun pemerintah dan swasta (Alfiah, 2006). Lembaga zakat yang dibentuk oleh organisasi masyarakat sipil secara kuantitatif cenderung dominan dan independen. Namun banyak dikeritisi oleh kalangan elit negara dan para cendikiawan, karena pengelolaan zakat seperti ini dianggap lemah. Kelemahan itu ada pada sistem tatakelola yang dianggap tradisional, tidak efektif, tidak efisien dan dianggap tidak akan mencapai tujuan zakat secara optimal.