• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN TEORITIS

dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki

2.3. Pandangan Teoritis

2.4.7. Konsep Zakat

Secara terminologis, para ulama memberikan definisi yang berbeda terhadap zakat. Ulama malikiyyah mendefinisikan zakat dengan pengeluaran bagian tertentu dari harta tertentu yang telah mencapai nisab untuk mustahik jika telah sempurna kepemilikan dan haul kecuali barang tambang dan pertanian tidak ada haulnya. Ulama hanafiyyah mendefinisikan zakat dengan menjadikan hak milik bagian harta tertentu dari harta tertentu untuk orang tertentu yang telah ditentukan oleh syâr‘i karena Allah. Ulama syafi‟iyyah mendefinisikan zakat dengan nama bagi sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan atas jalan tertentu, sedangkan ulama

hanabilah mendefinisikan zakat dengan hak yang wajib dalam harta tertentu bagi kelompok tertentu pada waktu tertentu (az-Zuhaili, 1989: juz II).

Zakat seperti tertulis dalam surat At-Taubah ayat 103 mengandung pengertian bahwa setiap muslim yang mempunyai harta benda yang telah cukup

nisab wajib membersihkan harta bendanya dengan memberikan sebahagian hartanya kepada orang-orang yang berhak. Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 ada delapan golongan umat yang berhak menerima zakat, yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, rikab, ghorimin (orang yang berhutang), fii sabilillah (orang yang berjuang karena Allah) dan ibnu sabil (orang yang dalam perantauan).

Menurut Al-Shawkani (Saud, 1976), zakat secara linguistic memiliki makna ganda yaitu pertumbuhan (growth) dan juga pembersihan (purification). Makna yang pertama mengandung pengertian bahwa zakat akan membawa pertumbuhan

kekayaan (wealth) dan juga membawa pahala (reward) bagi yang melakukannya. Secara singkat zakat tidak akan menurunkan kekayaan, sedangkan makna yang kedua, zakat akan membersihkan jiwa manusia dari keinginan memiliki kekayaan yang berlebihan.

Saud (1976), berpendapat bahwa zakat dikenakan pada semua kekayaan yang memiliki nilai (market value). Menurutnya zakat berfungsi sebagai satu cara untuk mencegah penimbunan (hoarding) harta yang dapat mengakibatkan adanya

idle wealth. Oleh sebab itu dianjurkan untuk menempatkan resources-nya dalam bentuk aset yang produktif yaitu dana yang ditempatkan di bank atau institusi yang dikontrol pemerintah. Kahf (1976), dan Faridi (1976), berpendapat bahwa yang dikenakan zakat adalah harta bersih atau networth atau harta setelah dikurangi kewajiban (aset setelah dikurangi liabilitas). Pada dasarnya kedua ahli tersebut melihat fungsi zakat sama dengan yang diajukan oleh Saud, di mana zakat diharapkan akan meningkatkan investasi atau financial resourses (assets) atau harta produktif. Bila seseorang menabung dalam bentuk perhiasan (precious metal), tabungan ini tidak produktif, maka zakat secara berangsur-angsur akan mengurangi neet saving atau networth yang bersangkutan, sehingga zakat akan men-discourage seseorang untuk menimbun harta yang tidak produktif, namun akan merangsang orang untuk memutarkan hartanya pada kegiatan produktif atau menabung dalam bentuk harta yang produktif. Zakat akan merangsang orang untuk giat bekerja, karena kalau tidak, lambat laun networthnya akan mengecil karena dipergunakan untuk membayar zakat. Dengan giat bekerja dan mengkonsumsi secara bijaksana akan menghasilkan pertumbuhan networth,

sejalan dengan pendapat Al-Shawkani bahwa zakat dapat memiliki arti pertumbuhan.

Merujuk kepada beberapa definisi para ulama di atas, maka konsep zakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan pengeluaran sejumlah harta orang tertentu untuk diberikan kepada hak orang lain, sebagai sebuah pemenuhan kewajiban penganut agama Islam (rukum Islam ke-tiga). Zakat dilihat sebagai mekanisme perpindahan kepemilikan harta dari kelompok tertentu yang dalam hal

66

ini adalah orang kaya kepada kepada kelompok lain yang dianggap pantas dan berhak menerima7.

Konsepsi zakat, secara umum di kalangan ulama dimaknai sebagai

ibadah yang memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Artinya, zakat merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT (vertical) dan sebagai kewajiban kepada sesama manusia (horizontal), atau sebagai ibadah maaliyah ijtihadiyah.

Zakat sebagai salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, ia merupakan salah satu implementasi azas keadilan yang menurut Mannan (1993) mempunyai enam prinsip yaitu: 1). prinsip keyakinan keagamaan; 2). prinsip pemerataan dan keadilan; 3) prinsip produktifitas; 4) prinsip nalar; 5) prinsip kebebasan; 6) prinsip etika dan kewajaran; yaitu zakat tidak dipungut secara semena-mena.

Prinsip keadilan sosial ekonomi merupakan tujuan utama diwajibkannya zakat, dan sekaligus merupakan mekanisme transfer sederhana dari sebagian harta orang-orang kaya untuk dialokasikan kepada si miskin dengan bagian dan ukuran tertentu (Kahf,1999). Selanjutnya Ali (1988), menyatakan bahwa tujuan zakat adalah : (1) mengangkat derajat fakir miskin; (2) membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil dan mustahik lainnya; (3) membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya; (4) menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta; (5) menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin; (6) menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang terutama yang memiliki harta; (8) mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain padanya; (9) sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial (Ali, 1988).

Zakat sebagi bagian dari sistem ekonomi Islam, di dalamnya ditemukan beberapa unsur yang membedakan dengan sistem ekonomi lain, yang terlihat dengan adanya ketentuan yang mengatur unsur-unsur zakat, yaitu: harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, kategori orang yang wajib mengeluarkan zakat, kategori orang yang berhak menerima zakat. Ketiga unsur zakat ini ditetapkan secara tegas dalam al-Qur'an dan al-Haditś. Ketiga unsur tersebut menunjukkan

7

Mereka yang berhak menerima zakat ini diterangkan secara langsung dalam al-Qur'an surat al-Taubat ayat 60, yaitu sebanyak delapan asnaf:: fakir, miskin, amil, mu'allaf, budak, orang yang dililit hutang, fi sabilillah, dan ibn sabil.

bahwa zakat adalah lembaga pengalihan harta kekayaan dari satu pihak (muzakki) kepada pihak lain (mustahiq). Pengalihan harta merupakan keharusan, dan mengeluarkan zakat bagi muzakki merupakan kewajiban mutlak, suka atau tidak suka, setiap orang yang memenuhi unsur muzakki wajib mengeluarkan zakat, dan yang memenuhi unsur mustahik, berhak menerima harta zakat.

Melembaganya zakat dalam masyarakat, menggiring zakat tidak hanya menjadi realitas keagamaan yang berdimensi ibadah ketuhanan semata (asceticism), namun telah menjadi realitas sosial dan budaya yang sangat erat dengan kehidupan bermasyarakat (politik, ekonomi dan budaya). Oleh sebab itu, maka zakat telah menjadi fenomena sosial budaya, ekonomi, dan bahkan politik dan telah hadir dalam diskursus kemandirian, pemberdayaan, dan pembangunan.

III