• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

Tabe 9 : Relasi Antar Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah

5.3. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat

5.3.2. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat BAZDA Jambi

5.3.2.1. Negara Pemangku Kuasa Tatakelola Zakat

Pengelola zakat (amilin) berfungsi, pertama, sebagai pengemban amanah Allah SWT, mewakili Rasulullah SAW dan para umara setelah Rasulullah, yaitu menegakkan agama dan mengatur kehidupan di dunia. Kedua, amilin

mengemban amanat untuk mengorganisasikan (mengelola) zakat, mereka bertindak sebagai niyab al-Rasul (wakil Rasulullah SAW) dalam menegakkan agama dan ketiga, amilin adalah wakil dari tatanan masyarakat zakat yang mengarahkan, mengkondisikan dan menguasai tatakelola zakat serta bertanggungjawab atas tercapainya tujuan zakat (Idris,1997).

Pentingnya peran Amil dan fungsi zakat bagi pemberdayaan masyarakat lemah, serta besarnya potensi ekonomi yang terkandung dalam zakat, membuat banyak orang tertarik mewacanakan zakat sebagai instrumen pemberdayaan hingga pembangunan. Informasi tentang hal tersebut ditemukan di lapangan dari wawancara, sebagaimana cuplikan wawancara pada box berikut :

Box 5.3.2.1 : Negara Berkuasa Atas Hak Tatakelola Zakat

ISH (46 tahun) pengurus BAZDA Kota Jambi. Menyatakan bahwa : ...Dari zaman Rasulullah hingga zaman kekhalifahan, zakat itu dikelola oleh pemerintah. Dan hasil menunjukkan kepada kita jika zakat bisa menjadi sumber biaya untuk mengatasi kemiskinan dan untuk pembangunan ummat.

AA. M (37 tahun) pengurus BAZDA Provinsi Jambi, menyatakan bahwa : ... sejarah pengelolaan zakat yang paling berprestasi adalah masa kehalifahan Umar bin Abdul Azis, zakat waktu itu dikelola oleh pemerintah. Zakat menjadi sumber pendapatan negara dan menjadi sumber dana untuk pembangunan....

HM (60 tahun), pengurus BAZDA Provinsi Jambi menggambarkan bahwa .... kalau mau mengatasi kemiskinan dengan zakat, harus melalui kekuatan negara.... kalau hanya dengan cara tradasional seperti yang dilakukan di masjid-masjid dengan cara musiman tidak akan mampu mewujudkan tujuan zakat mengatasi kemiskinan.... kalau zakat dikelola negara, akan lebih mampu karena bisa dijalankan dengan dukungan kekuasaan negara...

Satu-satunya pijakan kuat atas wacana ketatakelola zakat oleh negara23 (Doa, 2005) adalah praktek yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para khalifah yang mengumpulkan dan mengelola zakat dalam kapasitas sebagai kepala

23

Menurut Matinussen (1996) dalam Luiz (2000 negara dan pemerintah adalah : produk dari berbagai konflik, arena interaksi dan konflik, manifestasi dari struktur yang dirancang dan dimanifestasikan sebagai bentuk mekanisme fungsional (mode of functioning) yang nyata, aktor yang memilikim legitimasi untuk melakukan segala tindakan yang sah secara hukum

164

negara. Meski hal ini tak dapat dijadikan pijakan utama, karena khalifah Utsman bin Affan misalnya mengelola zakat secara partisipatif, dan pernah memberikan peluang pendistribusian zakat oleh para muzakki langsung kepada para mustahiknya (Idris, 1997).

Mengacu pada sejarah pengelolaan zakat masa Khalifah Ummar bin Khattab, sebagai pemimpin pemerintahan beliau memegang kuasa pengelolaan zakat melalui lembaga Baitul Mal (lembaga Amil zakat pada masa Khalifah) dan terbukti mampu mengatasi kemiskinan dan hampir menghapus kemiskinan karena sulit menemukan mustahik pada saat itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Andul Azis yang mampu mengatasi masalah kemiskinan hingga tidak ditemukan lagi orang miskin. Akibatnya pada masa itu zakat dimanfaatkan untuk bantuan sosial hingga bantuan modal usaha bagi ummat (Anshori, 2006).

Mengkaitkan tatakelola zakat dengan negara menunjukkan adanya dialog tetra-anggulasi antara (a) ulama sebagai pemegang kuasa otoritas ajaran agama (fiqh-Syari‘ah, (b) birokrat sebagai pemegang otoritas administrasi dan pembangunan, dan (c) pembayar/wajib zakat (muzakki) yang memegang otoritas atas sumberdaya, serta (d) penerima zakat (muzakki) sebagai pemegang otoritas atas manfaat sumberdaya zakat.

Ulama sebagai pemegang kuasa otoritas ajaran agama yang menempati ruang kuasa pengetahuan agama bebasis legalitas ajaran dan ummat, dan secara kultural diyakini sebagai wakil kuasa ke-Nabian. Birokrat pemerintah sebagai pemegang kuasa administrasi dan pembangunan berbasis legalitas hukum, diyakini sebagai wakil negara, menyediakan fasilitas dan pelayanan bagi rakyat dalam praktek bermasyarakat dalam kerangka negara. Muzakki sebagai pembayar zakat dikonstruksi sebagai modal utama untuk akumulasi dana zakat secara optimal, sehingga relasinya dengan ulama negara dan birokrat sang muzakki dikonstruksi sebagai sumberdaya, dan mustahik sebagai komoditas ketika mereka dijadikan alasan utama dalam pengelolaan zakat dan motivasi berzakat terhadap muzakki. Zakat diwacanakan, dan muzakki dimotivasi dengan alasan penting dan mendesaknya mustahik sebagai kelompok kaum lemah untuk diperhatikan. Mereka dikonstruksikan sebagai persoalan bersama yang harus segera diatasi karena mengancam kehidupan bersama dalam konteks bernegara. Keyakinan dibangun bahwa untuk bisa mengatasi persoalan

kemiskinan dengan efektif melalui zakat, hanya dengan kekuatan negara. LAZ komunitas disini seakan hanya dianggap mampu mensejahterakan satu keluarga, tapi kalau mau mensejahterakan satu desa harus dengan BAZ negara.

Agamawan komunitas menggunakan kekuatan kelembagaan berbasis agama seperti: Masjid/Langgar/Surau dengan basis pengetahuan agama yang disosialisasikan dan memobilisir ummat untuk berzakat melalui ceramah-ceramah, khutbah dan pengajian-pengajian serta pendidikan berbasis ―Pondok Pesantren‖ dengan menggunakan logika lokal, norma-norma tradisi dan kebersamaan untuk penguatan ajaran dan komunitas. Sementara negara melalui aparat pemerintah menggunakan kekuatan kelembagaan berbasis negara: Departemen Agama, Pemerintah Daerah dan melaui lembaga pendidikan formal, dan sarana informasi resmi lainnya, membangun pengetahuan zakat dan memobilisir rakyat berzakat dalam kerangka logika bernegara dengan tujuan utama untuk pembangunan. Agamawan membangun pengetahuan zakat dalam paradigma pengabdian dan kebersamaan, sementara pemerintah dalam paradigma kepatuhan pada negara dan pembangunan.

Kuasa kelembagaan kiyai (agamawan) disini perlahan terbatasi dan mengalami penurunan. Agamawan lebih merupakan alat negara ketimbang menjadi pemangku agama dalam konteks agama publik. Pemahaman agamapun lebih merupakan konstruksi negara, yang digiring oleh kuasa rezim pengetahuan dan kekuasaan negara. Pengetahuan zakat komunitas terus dikonstruksi ulang melalui diskursus yang menempatkan negara (aparat) sebagai penguasa dominan dengan dukungan kekuatan legitimasi negara dan legalitas politik. Proses konstruksi ulang atas pemahaman beragama khususnya berzakat, terus berlanjut secara terus menerus dan dialektis yang melintasi tiga momen, yaitu : objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi (Berger, 1990) yang berlansung secara simultan menyerang agamawan lokal melalui jaringan birokrasi dan administrasi serta lembaga pendidikan formal.

Konstruksi pengetahuan zakat perlahan bergeser dari kontruksi thelogisme mengarah pada konstruksi sekularisme. Zakat yang dulu dipaham lebih sebagai ibadah asceticism dan altruism menuju keshalehan, perlahan difahami sebagai kewajiban warga negara muslim dalam konteks bernegara untuk pembangunan. Penilaian benar, sah, dan efektifitasnya selalu datang dari negara dan hak negara, yang datang dari luar negara selalu dianggap salah, tidak sah dan tidak

166

efektif. Negara mendominasi ruang penilaian, pengaturan dan pengesahan tatakelola zakat. Berbasis logika ekonomi dan politik menilai tatakelola zakat komunitas tidak efektif, tidak efisien dan tidak berkompeten, dan bahkan bisa munculnya ketidak stabilan sosial karena hak-hak masyarakat lemah tidak terlindungi dengan aman (karena tidak dilindungi negara). Menggunakan instrumen politik, negara mengintervensi ruang sosial tatakelola zakat komunitas dan menggiring aktornya masuk ke ruang kuasa sistem tatakelola zakat negara.

Muzakki sebagai sumber utama potensi zakat, dalam tatakelola BAZDA ditempatkan sebagai objek yang harus ditundukkan dan diberikan penyadaran bahwa berzakat adalah kewajiban, dan kewajiban itu hanya sebatas menyerahkan zakatnya, selanjutnya bagaimana dana itu dikelola dikonstruksi sebagai hak negara dan negara yang paling tua, paling tepat dan paling mampu melakukannya untuk mencapai tujuan pemberdayaan dan pembangunan yang merupakan roh perintah berzakat. Muazkki tidak diberi ruang yang luas untuk melakukan preferensi-preferensi dalam berzakat di mana dan dengan cara yang bagaimana. Ruang kebebasan dikaburkan melalui pembentukan konstruksi pengetahuan zakat berparadigma developmentalism yang setiap saat menyerang ruang kognitif masyarakat luas khususnya muzakki dan mustahik dari berbagai ruang. Mereka tidak bisa menghidar karena kuasa pengetahuan negara ada di mana-mana, sementara untuk melawan juga begitu berat karena begitu kuatnya dan dilengkapi dengan berbagai instrumen kuasa berupa aparat dan institusi yang mendapatkan legitimasi dan legalisasi yang kuat.

Melekatkan zakat dengan institusi pemerintah dengan kuasa tatakelola oleh aparat pemerintah, membuat tatakelola zakat bergerak dalam paradigma negara dan memandang zakat sebagai sumberdaya milik negara, tunduk dalam ruang kuasa negara, dikelola oleh aparat negara, dengan lembaga milik negara, dan dikelola dengan mekanisme administrasi dan birokrasi negara dibawah payung pengetahuan sekuler (non agama). Maka membawa zakat dari ruang kuasa ajaran agama ke ruang kuasa sistem administrasi dan birokrasi negara, sama halnya sedang melakukan perombakan besar terhadap konstruksi pengetahuan zakat dan ketatakelolanya.