• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

Tabe 9 : Relasi Antar Pengetahuan dalam Badan Amil Zakat Daerah

5.3. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat

5.3.1. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat LAZ Komunitas

5.3.1.4. Zakat Sumber Pembiayaan Penguatan Agama

Merunut perjalanan Islam, sejak zaman Rasulullah hingga sekarang terbukti bahwa zakat merupakan salah satu sumber pembiyaan bagi pengembangan dan penyiaran agama Islam21. Pada masa Rasulullah SAW, zakat menjadi salah satu sumber dana dalam memperjuangkan agama dan bahkan zaman khalifah, khususnya Umar bin Abdul Asiz dan al-Mansur (Anshori, 2006), zakat telah mampu memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan dan mengatasi kemiskinan ummat hingga pada hasil yang sangat membanggakan khususnya pada masa Bagdad dibawah kepemimpinan Yazid bin Abdurrahman sebagai Gubernur (Anshori, 2006 : 59-60).

Pembacaan atas fenomena historis tersebut agaknya memberikan pengaruh yang besar bagi ummat islam dalam memandang tujuan pemanfaatan potensi ekonomi zakat terkait dengan mustahik. Beberapa petunjuk informan yang peroleh dari lapang, menggambarkan konstruksi ummat terhadap tujuan dan manfaat dana zakat sebagaimana petikan dalam box 5.3.1.4.

Box 5.3.1.4 : Zakat Sumber Pembiayaan Syiar Agama

Oleh H. A.HAS (59 tahun) Tokoh Agama Simburnaik, dinyatakan bahwa : Berzakat pada pada bulan Ramadhan mengandung maksud khusus. Zakat diperlukan untuk membantu ummat yang tidak mampu, supaya juga bisa ikut bergembira menyambut hari raya idul fitri, hari di mana orang menyambut kemenangan dalam melawan nafsu dengan berpusa satu bulan penuh.

H. AMR (47 tahun) seorang Muzakki di Simburnaik, menyatakan bahwa : Ustad atau imam masjid

21

Sejarah mencatat keberhasilan zakat dalam mengentaskan kemiskinan pada pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Zakat dikelola secara transparan dan rapi sejak masa Rasulullah SAW sampai pada masa

Ummayyah, khususnya pada masa Umar bin Abdul Aziz, bahkan pada masa khalifah Al−Manshur, negara

156

berhak menerima zakat, karena mereka itu Amil zakat. Mengurus agama dan masyarakat dan pernah meminta dibayar. Mengajarkan agama dan mengajar anak-anak kampung mengaji, mengurus masjid, bahkan mengurus Madrasah. Karena mengurus agama, mereka kurang waktu untuk bekerja di ladang, untuk meringankan beban mereka dalam membantu agama dan masyarakat makanya diberikan zakat.

Pandangan Ustad AR (51 tahun) Tokoh Agama Kecamatan Nipah Panjang Tanjung Jabung Timur,

menjelaskan bahwa : ‖...hasil dari zakat baik zakat harta maupun zakat fitrah adalah untuk menyantuni kaum mustahik yang ada di daerah para pembayar zakat. Boleh di berikan kepada orang lain dari luar daerah adalah orang yang dalam perjalanan (musafir) yang kehabisan ongkos, atau di daerah itu sudah tidak ada lagi orang yang layak diberikan zakat karena mereka sudah makmur seperti kejadian di zaman khalifah Umar bin Abdul Azis dulu. Karena rakyatnya sudah tidak ada lagi yang miskin, dan masjid sudah Megah, maka zakat dikirim ke daerah lain... kalau pemerintah mengelola zakat dan disalurkan bukan ke daerah asal zakat dipungut, padahal di sana banyak orang yang berhak, rasanya itu salah, saya tidak setuju

itu‖.

Ustad SDD (41 tahun) Amil zakat Masjid Nurul Yaqin, Desa SBN Tanjung Jabung Timur, juga menyatakan bahwa : ....semua hasil dari zakat yang terkumpul disini hak kaum mustahik di tempat ini, jadi tidak boleh dibawa ke tampat lain kalau disini masih ada orang layak menerima zakat. Berbeda dengan pajak yang dimanfaatkan entah di daerah mana, ... beda dengan zakat yang dipungut dikantor-kantor

pemerintah... mungkin disalurkan lain tempat atau bisa juga di makan sendiri‖

Keterangan MAJ (2008), Petugas Amil Zakat Masjid Nurul Iman Simpang Rimbo Kecamatan Kota Baru Kota Jambi, bahwa : ...zakat adalah untuk menyantuni fakir miskin supaya tidak murtad dan menjadi sumber dana pembangunan masjid dan Madrasah..., kalau zakat dan infaq dikelola BAZDA dari mana lagi masjid dan Madrasah bisa di bangun. ...amplop (honor) untuk Khatib dan penceramah agama di ambil dari dana

zakat dan infaq....‖.

Menurut K.H. DM (60 tahun), bahwa kemiskinan dalam pesan-pesan Nabi dinyatakan : kemiskinan bisa membawa orang dalam kekufuran. Jadi zakat bertujuan menguatkan iman agar tidak kufur dan menjaga saudara seiman agar tidak murtad (berpindah agama).

Selain tujuan ibadah, zakat oleh komunitas (amil dan muzakki) juga dimaknai sebagai sumber pembiayaan bagi penyiaran dan penguatan agama. Hal itu difahami dari realitas kelompok yang berhak menerima zakat. Terkaitnya dengan bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang selalu identik dengan musim membayar zakat khususnya zakat Fitrah22, dimaknai sebagai penekanan untuk lahirnya kepedulian sosial atas penderitaan sesama manusia. Ada nilai yang tertanam bahwa tidak layak seorang bergembira dan merayakan kegembiraan di tengah-tengah sesamanya yang menderita. Zakat fitrah diyakini sebagai kewajiban beragama yang bertujuan membersihkan diri dari segala kesombongan dan keangkuhan. Namun ketika berzakat fitrah dikonstruksi sebagai praktek membantu para fakir miskin agar juga bisa merayakan kegembiraan dalam menyambut hari raya idul fitri, maka zakat telah dijadikan instrumen perekat relasi sosial antara kaum lemah dan kaya. Motif ibadah memang terlihat lebih menonjol, namun makna kemanusiaan juga terlihat kental. Membayar zakat fitrah karena Allah dan diberikan untuk membantu kaum lemah merupakan wujud relasi segi tiga antara muzakki, Allah dan mustahik. Kalau boleh dikatakan ini sebagai bentuk social reciprocity, maka ini adalah ciri khas dari bentuk social reciprocity gaya islam yang oleh Kochuyt (2009) dimaknai

22

Berbeda dengan zakat harta yang dipaham untuk ―membersihkan harta‖, zakat fitrah adalah satu-satunya

zakat yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk ―menyucikan jiwa‖. Oleh karena itu, zakat fitrah bukan ganya

wajib bagi yang kaya, tetapi juga bagi mereka yang kurang berkecukupan. Meskipun orang itu ‗miskin‘ menurut

sebagai ―triadic kind of reciprocity‖ yang mengkaitkan keimanan, kesejahteraan dan kemiskinan.

Orang kaya yang beriman (the faithful) memberikan sebagian harta miliknya kepada orang miskin (the poor) karena motivasi nilai atas pahala dan syurga dari Allah kelak, ia tidak berharap akan mendapatkan balasan dari orang yang memanfaatkan pemberiannya kecuali kepada Allah sang muzakki berdoa agar mendapatkan ganjaran yang lebih baik. Mustahik sebagai penerima, berterima kasih atas pemberian muzakki dengan berdoa kepada Allah agar sang muzakki diberkahi dengan rezeki yang lebih baik. Relasi tiga arah antara muzakki, Allah dan mustahik menempatkan Allah sebagai sentral dan melalui praktek zakat termaknai sebagai wujud kemurahan Allah kepada orang yang beriman. Fenomena zakat dengan relasi triadik tersebut menunjukkan betapa keberimanan menjadi begitu penting dalam relasi manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia. Beriman harus taat kepada perintah Allah dan pemurah dengan sesama manusia (khususnya kepada yang lemah)

Ulama sebagai penanggungjawab dan pewaris para Nabi dikonstruksi oleh muzakki sebagai orang selalu ikhlas tanpa pamrih dalam mensyiarkan agama dan mengurusi ummat. Karena keikhlasan itu ia diberikan hak untuk menerima manfaat zakat dalam mengurus agama dan ummat. Bukan sebagai upah tapi lebih sebagai penunjang tugasnya. Zakat sebagai sumber pembiayaan bagi hidup dan kegiatan agamawan memang merupakan tradisi zakat komunitas. Sang imam yang dikonstruksi sebagai orang berpengetahuan agama yang lebih, suci, dan memiliki keikhlasan dalam mengurusi agama dan ummat, kemudian dianggap berhak mendapatkan manfaat dana zakat untuk memudahkan melaksanakan tugas kenabian sebagai pemimpin agama dan ummat.

Kemiskinan oleh komunitas dipandang sebagai masalah yang dapat mengancam kualitas keimanan ummat. Kemiskinan dilihat sebagai ancaman yang besar bagi kekuatan agama. Zakat dan kemiskinan oleh amil zakat komunitas di pandang sebagai dua hal yang terkait erat, dimana berzakat sebagai ibadah sekaligus bertujuan mempererat hubungan persaudaraan ummat. Mereka memandang bahwa kemiskinan merupakan keadaan yang berat dan berpotensi melemahkan iman, bahkan bisa membuat ummat berpindah agama. Zakat disini dimaknai sebagai salah satu cara menjaga ummat miskin agar tidak melemah imannya, karena merasa diperhatikan oleh muzakki dan

158

imam dengan memberikan kepada mereka bantuan mengatasi masalah dalam bentuk zakat, dan sebagai simbol rasa solidaritas seagama dalam konteks komunitas.

Amil zakat komunitas, memaknai zakat sebagai satu praktek beragama yang memiliki tujuan sosial untuk mempererat relasi sosial antara ummat seagama sebagai bentuk perlindungan kepada yang lemah dalam konteks ajaran. Ummat yang lemah dilihat sebagai kelompok orang yang mengalami kesulitan yang bisa membawanya pada kondisi lemahnya iman, frustasi dan bahkan kufur atau murtad (pindah agama), dan ini bisa berakibat pada lemahnya agama. Oleh karena itu, maka kaum kaya sebagai orang yang bernasib lebih baik, diberikan tanggungjawab yang tinggi oleh komunitas untuk meringankan beban dan menyelamatkan kaum miskin dari kesengsaraan kemiskinan demi kemanusiaan dan penguatan agama. Zakat disini terlihat sebagai instrumen membangun hubungan kemanusiaan dalam bentuk solidaritas sosial terhadap kaum lemah yang seagama.

Amil zakat komunitas juga memahami bahwa, dengan berzakat berarti kaum kaya mengakui dan menyadari bahwa keberadaannya sebagai kelompok orang yang memiliki kelebihan ekonomi memiliki tanggungjawab terhadap orang yang lemah. Dia diberikan harta lebih oleh Allah bukan untuk dirinya sendiri, namun di sana ada titipan Allah untuk mereka yang mengalami kekurangan. Pemaknaan ini menunjukkan bahwa zakat merupakan instrumen yang dapat membangun relasi sosial dalam konteks kepedulian sosial atas penderitaan kaum lemah.

Potensi sumberdaya zakat bagi komunitas dilihat sebagai modal bagi pengembangan dan penyiaran agama pada tataran lokal. Dana yang terkumpul dari zakat selalu dimanfaatkan dalam usaha mengembangkan dan menguatkan ajaran agama dilingkungan di mana zakat itu diperoleh. Mereka juga melihat bahwa semua golongan yang termasuk dalam kelompok yang berhak memanfaatkan dan menikmati dana zakat, adalah orang yang menetap dan dekat dengan lingkungan muzakki. Menyalurkan zakat ke daerah lain di luar dari daerah di mana zakat dipungut, dianggap keliru kecuali di daerah itu sudah tidak ada orang layak menerima zakat.

Bangunan pemahaman zakat menyangkut hak-hak atas sumberdaya zakat dan hasilnya bagi lembaga pengelola zakat berbasis komunitas, menempatkan

tatakelola zakat dan pendistribusian sebagai hak kuasa masyarakat lokal dibawah pangkuan agamawan lokal. Tidak ada alasan untuk menyerahkan hak kelola dan memanfaatkan dana zakat ke komunitas luar, termasuk oleh pemerintah. Pemerintah dianggap tidak tepat untuk menjadi pengelola zakat, karena disana ada kecurigaan terhadap pemerintah jika menjadi pengelola zakat, akan menyalahgunakan pemanfaatan dana zakat untuk kepentingan lain selain untuk membangun dan mengembangkan agama. Zakat oleh pemerintah dianggap bisa memanfaatakan dana zakat untuk kepentingan kelompok tertentu, atau malah untuk kepentingan kekuasaan. Negara dipandang tidak netral dan selalu memiliki kepentingan di luar kepentingan ummat dan agama.