• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN TEORITIS

dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki

2.3. Pandangan Teoritis

2.3.4. Negara dan Kekuasaan: Pergulatan Kaum Elit

Relasi segitiga antara negara, civil society dan industri swasta (kapitalis) dalam sejarah menujukkan berbagai model. Marx misalnya cenderung memposisikan negara dan pihak kapitalis pada posisi yang sama dan berlawanan dengan civil society, dan di sana ia menunjukkan bahwa kapitalis bersama-sama negara selalu menduduki posisi superior (borjuis) dan civil society selalu pada posisi inverior (proletar) (Ritzer, 2005).

Weber pada sisi lain melihat antara negara dan kapitalis pada posisi yang berbeda dan masing-masing punya kepentingan. Dengan demikian bahwa tiga entitas sosial (negara, kapitalis dan civil society) selalu pada posisi yang berlawanan. Perlawanan itu secara empiris terlihat nyata, di balik negara dan industri ada aktor-aktor individual yang menjalankan roda organisasi, sehingga kalau melihat fenomena benturan-benturan kepentingan di mana negara dan industri diletakkan pada satu sisi dan pada sisi yang lain ada civil society, maka sebenarnya yang lebih nyata adalah adanya sekelompok aktor yang meng-hegemoni masyarakat untuk menguasai potensi-potensi politik, sosial dan ekonomi yang melekat dalam dunia khalayak.

Negara bagi Weber (dalam Greth dan Mills, 1974) merupakan lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Weber menunjukkan betapa sebuah negara memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur, merubah dan bahkan memaksakan kehendaknya. Plato dan Aristoteles melihat negara memerlukan kekuasaan yang mutlak dan

42

kekuasaan itu untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Pada zaman pertengahan, pandangan negara dan kekuasaan mengalami perubahan, di mana pemikir ketika itu menyatakan bahwa negara harus tunduk dengan Gereja, dan Gereja adalah wakil Tuhan yang menegakkan kehidupan moral dunia (Martin, 1993).

Hobbes (dalam Budiman, 1996), melihat pentingnya kekuasaan negara karena pertimbangan warganya, karena jika tidak, warga akan saling bertarung dan memperjuangkan kepentingan masing-masing. Di sini negara dianggap sebagai wakil dari kepentingan publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompok. Pandangan Hobbes (1588-1679) ini berawal dari kondisi politik yang sedang terlibat perang saudara, sehingga pada saat itu dibutuhkan kekuasaan negara yang sangat besar yang diwakili oleh seorang raja yang berkuasa mutlak dan individu harus rela menyerahkan hak-haknya supaya kepentinganya, keamanannya, dan perdamaian jangka panjang dapat terjamin. Negara yang seperti inilah yang oleh Hobbes dinamai dengan leviathan.

Hegel dalam filsafat dialektikanya, berpendapat bahwa sejarah manusia merupakan proses dari sebuah ide yang universal yang sedang merealisasikan atau mengaktualisasikan dirinya. Ide dasar tersebut dapat disamakan dengan ide Tuhan dalam menciptakan umat manusia yang tidak menjelma dalam waktu singkat. Ide tersebut berperoses dengan apa yang dinamakan sejarah (Heidegger, 1989 dan 2002). Penghujung sebuah proses sejarah adalah menjelmanya ide universal menjadi sebuah kenyataan dengan terbentuknya masyarakat ideal.

Bebeda dengan Hegel, Marx melihat sejarah adalah menuju terciptanya masyarakat sosialis, bukan masyarakat ideal demokratis. Mengikuti Hegel, Marx melihat sejarah manusia sebagai sejarah pertentangan kelas (borjuis dan proletar, yang ditandai dengan hubungan eksploitatif) yang secara tidak langsung mencerminkan dalam pembagian kerja, karena kepentingan antara penguasa dan yang dikuasai. Pembagian kerja selalu diwarnai oleh konflik dan sering menimbulkan perjuangan kelas6. Inilah yang menurut Marx sebagai motor utama penggerak perkembangan sejarah (Giddens, 1987).

Menyangkut keberpihakan negara, Hobbes (dalam Budiman, 1996) melihat bahwa keberpihakan negara berada pada kepentingan warga, dan di sinilah letak perolehan kekuasaan negara mutlak. Oleh sebab itu menurut pandangan kaum

6

Kelas oleh Ferguson (1967) dan Millar digunakan semata-mata untuk membedakan strata sosial (kekayaan dan kedudukan), Adam Smith menujukkan kelas miskin, dan Ricardo dan Ure, Sain Simon dan Fourier, apalagi Marx dan Engel digunakan untuk menyatakan kelompok kaya dan miskin (kelas borjuis dan proletar) (Dahrendorf, 1986: 4).

pluralis, negara itu netral dengan persyaratan demokrasi. Kekuasaan politik menurut kaum pluralis tidak boleh berada di tangan negara, tetapi berada di tangan rakyat. Kekuasaan negara yang mutlak ditolak di sini, maka jika negara ingin kuat dan di dukung oleh rakyat, maka harus memihak pada kepentingan semua kelompok secara sama.

Bagi kaum Marxis, keberpihakan negara selalu berada pada kelas borjuis secara menyeluruh dan mengenyampingkan kelas proletar. Kekuasaan negara diabadikan untuk kepentingan kelas borjuis dan terus memperkuat kekuasaanya dengan mengeksploitasi kaum proletar. Bahkan lebih jauh kaum Marxis menganggap bahwa negara selalu menjadi alat dari kelas yang berkuasa. Sejalan dengan itu, Mills (1974) yang dikutip oleh Budiman (1996:61) menyatakan bahwa meskipun masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang pluralistis, namun kelompok elit penguasa selalu datang dari kelompok masyarakat tertentu. Karena itu, masyarakat akan selalu berusaha menciptakan negara yang kuasai oleh kaum proletar (buruh) untuk membentuk masyarakat komunis.

Antonio Gramsci, Nicos Poulantzas, dan Ralph Miliband, melihat bahwa negara melingkupi aparat-aparat individu dan organsiasi sosial lainnya yang berada di luar negara. Oleh Garamsci (dalam Budiman, 1992) menjelaskan bahwa negara tidak hanya mencakup unsur-unsur lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan aparat pertahanan dan keamanan, namun juga termasuk lembaga non-pemerintah atau organisasi politik, ekonomi, dan kultural yang bisa menjadi sarana negara untuk menghegemoni. Makanya Poulantzas, melihat negara sebagai wilayah berlangsungnya pergulatan politik antara kelas (ekonomi, politik, dan ideologi), termasuk antar pejabat pemerintah. Selain negara sebagai institusi kekuasaan yang mencerminkan relasi sosial yang sangat kompleks, di sana juga tercermin struktur perjuangan kelas yang menghasilkan dominasi kelas tertentu atas kelas lainnya. Negara adalah institusi yang relatif mandiri, baik dalam menjalankan kebijakan maupun ketika mengamankan kepentingannya terhadap tuntutan masyarakat (Culla, 2006).

Ragam teori tentang negara dan kekuasaan serta keberpihakannya, jika dicermati kesemuanya dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: a. Teori yang menekankan negara sebagai lembaga yang mandiri dan punya

kepentingan dan kemauan sendiri. Teori ini dicetuskan oleh Hegel yang kemudian dikenal dengan teori negara organis.

b. Teori yang menyatakan bahwa negara bukan sebuah negara yang mandiri. Kebijakan negara dihasilkan dan ditentukan oleh faktor eksternal. Negara

44

hanya sekedar arena kekuatan-kekuatan sosial tempat orang membangun kekuasaan dan saling bertanding untuk menguasai.

Perkembangan berikut adalah adanya kecenderungan untuk mengebiri kekuasaan yang berada di tangan negara, munculnya kekuatan eksternal berupa kekuatan civil society, yang terus berusaha mengembangkan pemikirannya dan memperjuangkan kekuatan di luar negara sebagai kekuatan penyeimbangan kekuatan negara. Kekuatan civil society ini memperjuangkan hak-hak rakyat secara umum, maupun komunitas dengan berusaha mengurangi kekuasaan negara terhadap rakyat dan komunitas.

Fenomena ragamnya kelembagaan zakat, yang mencuat di permukaan, merupakan salah satu contoh menarik dari perjuangan civil society. Meski memang di sana ada dua kelompok besar yang selalu berbenturan gagasan dan bahkan aksi, yaitu kelompok yang menolak campur tangan negara terhadap hak tata kelola zakat dan berusaha mengelola sendiri dengan kelembagaan kultural berbasis kekuasaan komunitas, berlawanan dengan kelompok yang mendukung dan memperjuangkan agar kelembagaan zakat berada dalam penguasaan dan pengaturan negara.