• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN TEORITIS

dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki

2.3. Pandangan Teoritis

2.3.2. Pengetahuan dan Kekuasaan

Foucault (1980) adalah orang yang paling konsen berbicara tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan, dan menyatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Dalam The Archaeology of Knowledge, konsep discourse

sebagai gambaran bagaimana pengetahuan bekerja sebagai kumpulan pernyataan. Konsep discourse yang dimunculkan oleh Foucault dalam beberapa tulisannya berada pada tema sentral yang disebutnya dengan énconcé (statemen).

Statemen yang dimaksud oleh Foucault, memiliki kemiripan dengan speech act yang pernah dikemukan oleh Jon Austin (1962) dan John Searle (1979). Statmen-statmen yang terlontar pada dasarnya akan memberikan pengaruh sosial dan pada gilirannya akan menjadi sebuah pengetahuan yang tersebar dan membuat orang lain mengikutinya (Dreyfus and Rabinow, 1982).

36

Diskursus sebagai ide pokok dalam pemikiran Foucault, dipahami sebagai penjelasan, pendifinisian, pengklasifikasian dan pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem abstrak pemikiran. Diskursus tidak terlepas dari relasi kekuasaan, dan bertaut dengan pengetahuan. Oleh karenanya, Foucault berfikir dan mengakui kalau kekuasaan tersebar di mana dan datang dari mana-mana. Berbeda dengan Marx yang melihat kekuasaan hanya ada pada negara (Haryatmoko, 2002). Konsep diskursus juga memberikan jalan pemikiran tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bebas dari kungkungan intelektual yang berkaitan dengan ideologi.

Diskursus berarti berbicara tentang aturan-aturan dan praktek-perktek yang menghasilkan pernyataan-penyataan (statemen) yang bermakna pada satu rentang sejarah tertentu. Diskursus juga merupakan sebuah mekanisme pengaturan bekerja yang sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi, dan profesionalisme. Diskursus mengisolasi, mendifinisikan dan memproduksi objek pengetahuan yang sekaligus merupakan sebuah undang-undang sosial yang menetapkan aturan tentang tata cara yang dapat diterima dalam memperbincangkan, menulis, dan bertindak seputar topik tertentu.

Hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menurut Foucault, keduanya saling menyatakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan . Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan modalitas-modalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka (Sutrisno dan Putranto, 2005). Dengan demikian maka pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Foucault, 1980). Untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu.

Kekuasaan (Power) terkait erat dengan kekuatan yang oleh Budimantra (2007) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan rasional (Weber, 1978). Pertimbangan tersebut bisa karena mengejar tujuan, mematuhi nilai, atau karena hal lain. Dengan kekuatan itu orang kemudian mempengaruhi atau dan mengendalikan orang lain, sehingga orang lain memiliki keterbatasan bertindak berdasarkan tujuannya. Kemampuan tersebut oleh Budimantra (2007) dikonseptualisasikan sebagai kekuasaan (power). Konsep kekuasaan yang demikian dimaknai sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan yang dikuasai.

Kekuasaan (power), oleh Adams (1977) dilihat dalam kerangka kemampuan seseorang atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan melalui kendali. Wolf (2001) menambahkan bahwa kekuasaan yang disadari oleh kemampuan pelaku untuk mempengaruhi dan mengendalikan pelaku lain, adalah kekuasaan taktis (tactical power) atau kekuasaan terorganisir (organizational power). Kekuasaan model ini mengakibatkan pelaku lain terbatas untuk bertindak sesuai keadaan yang sudah ditetapkan. Hubungan kekuatan/kekuasaan antar pelaku oleh Adam dan Raymond D. Fagelson (1977) dibedakan menjadi kekuasaan bebas (independent power) dan kekuasaan terikat (dependent power).

Kekuasaan bebas merupakan hubungan dominasi berdasarkan atas kemampuan dan pengendalian secara langsung oleh pelaku, sementara kekuasaan terikat merupakan pelimpahan hak kekuasaan kepada orang untuk membuat keputusan untuknya. Jenis kekuasaan kedua oleh Adam dan Raymond D. Fagelson (1977) dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: Kekuasaan yang dihibahkan (power granting), kekuasaan yang dialokasikan (power allocation), dan pendelegasian kekuasaan (power delegation). Pada tiga jenis kekuasaan terakhir, pelaku yang sedang melakukan kontrol kekuasaan tetap terlibat dalam setiap proses pelaksanaan kekuasaan.

Hubungan-hubungan kekuasaan dalam perspektif Adam (1973), Bourdieu (1979), dan Suparlan (2004), dilihat sebagai kekuasaan yang terjadi antara pelaku, dan ditambah oleh Giddens (1984) dalam setiap ruang dan waktu. Kekuasaan oleh Giddens (1984) merupakan kemampuan untuk mencapai hasil, bersifat dinamis, dan dalam bekerjanya kekuasaan, ada struktur yang mendominasi dalam proses reproduksi sosial. Struktur yang dimaksud Giddens (2003) terwujud dalam tiga gugus yang saling terkait yaitu: pertama, struktur penanda (signification) yang

38

menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Kedua, struktur penguasaan/dominasi (domination), yang menyangkut skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran/legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif yang terungkap dalam hukum.

Menurut Giddens (1984 dan 2003), bahwa dalam ilmu sosial melihat kekuasaan cenderung mencerminkan dualisme subjek dan objek. Makanya kekuasaan seringkali didefinisikan berdasarkan tujuan atau kemauan, yakni sebagai kemampuan mencapai hasil yang diinginkan dan dimaksudkan. Sebaliknya Foucault (1984, 2002), memandang kekuasaan sebagai milik masyarakat atau komunitas, dan tersebar di mana-mana di tengah-tengah masyarakat. Sementara Marx (dalam Giddens, 1993) melihat kekuasaan selalu terkait dengan ekonomi sebagai sebab lahirnya perbedaan kelas (proletar dan borjuis), dan itu terlihat pada ―means of production”. Kekuasan diletakkan pada kepemilikan alat-alat produksi, mulai dari sistem ekonomi feodalisme hingga kapitalisme. Kemudian Weber (dalam (Giddens, 1993), pada sisi yang agak berbeda, melihat kekuasaan tidak hanya ada pada kekuatan ekonomi semata, tapi memasukkan unsur status dan partai (status and party). Jadi kekuasaan menurut Weber bisa karena motif ekonomi dan juga motif lain, yang disebutnya dengan prestise.

Meski pandangan Marx dan Weber berbeda tentang kekuasaan, namun keduanya memiliki kesamaan pandang tentang pentingnya kekuasaan dalam pengaturan kehidupan manusia sekaligus peradaban, sehingga orang selalu terdorong untuk mencari kekuasaan dan memanfaatkan berbagai cara yang paling efektif dan efisien untuk memperoleh kekuasaan. Salah satu cara yang paling menonjol adalah, mengakumulasi potensi atau sumber daya yang dianggap mempu membukakan jalan bagi perolehan kekuasaan. Namun karena terbatasnya sumber daya potensial yang bisa memberikan peluang besar bagi perolehan kekuasaan, menyebabkan seringkali terjadi perebutan, pertikaian hingga pertarungan dalam proses upaya menguasai sumber-sumber potensial.

Kekuasaan bagi Foucault (1980, 2002), merupakan dimensi kehidupan sosial yang fundamental yang tidak dapat dihindari, dan kekuasaan mengalami transformasi sejalan dengan sejarah (Ritzer, 2005), mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam bentuk yang berbeda. Kekuasaan bagi Foucault, bukanlah

sesuatu yang menjadi milik, akan tetapi lebih merupakan strategi, sehingga kekuasaan merupakan praktek yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu yang di dalamnya ada banyak posisi yang terus mengalami pergeseran. Kekuasaan bukan datang dari luar, akan tetapi menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan dari dalam. Kekuasaan selalu bertautan dengan pengetahuan dan memproduksi pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang kemudian membangun kekuasaan. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Pernyataan ini menujukkan bahwa ada korelasi antara pengetahuan dengan kekuasaan, artinya bahwa pengetahuan mengandung kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan mengandung pengetahuan.

Konsep terpenting Foucault terkait dengan kekuasaan adalah the constructive nature of power, bahwa kekuasaan terdapat dalam setiap institusi dan konteks diskursif, yang kemudian meluas hingga ke konsep the concept of govermentality, yang mengarah ada organisasi admisnitratif yang dibentuk untuk mengontrol dan mengatur dengan memberikan perhatian pada wewenang diskursus, teknologi, pengawasan terait dengan birokrasi modern (Sutrisno dan Putranto, 2005). Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi seperti pada fenomena kelembagaan zakat formal dan informal, modern dan tradisional, berbasis negara dan komunitas, yang ujung-ujungnya adalah penguasaan atas wacana. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku dalam pemahaman yang kompleks dan tergambarkan sebagai bentuk restriksi. Dengan demikian, model yang satu menjadi layak untuk mengalahkan dan menguasai yang lainnya dengan alasan-alasan rasionalitas subjektif yang dibangun melalui wacana, mekanisme, prosedur, aturan, tata cara dan sebagainya yang di dominasi oleh kelompok yang mendominasi arena pertarungan.

Strategi kuasa terjelma sebagai aparat, artinya mengasumsikan adanya persoalan manipulasi relasi kekuatan tertentu yang sifatnya membangun ke arah tertentu, memblokir, menstabilkan, memanfaatkan, dan sebagainya. Dengan demikian, aparat selalu berada dalam permainan kekuasaan sekaligus berkaitan dengan koordinat pengetahuan tertentu yang dipermasalahkan darinya, tetapi dalam derajat yang sama. Jadi, inilah isi aparat: strategi-strategi dan relasi-relasi kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh jenis-jenis pengetahuan tertentu (Foucault, 2002).

40

Tujuan kekuasaan adalah memberi struktur-struktur pada kegiatan yang ada dalam masyarakat. Pada titik ini, kekuasaan yang memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat, selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu. Dengan demikian, kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Kekuasaan dilaksanakan bukan pertama-tama melalui perjuangan, pembatasan, atau larangan, tetapi melalui manajemen, dan bangunan wacana. Kegiatan-kegiatan yang di atas-namakan keilmiahan membentuk kriteria yang menjadi ukuran kebenaran. Pada gilirannya kebenaran itu membentuk individu.

Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuan untuk menjadi suatu himpunan konstruksi pemikiran yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajian mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan; Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan dilestarikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan (Eriyanto, 2001).

2.3.3. Wewenang (Authority)

Otoritas atau wewenang erat hubungannya dengan kekuasaan (power), karena dengan wewenang maka orang mempunyai hak untuk melakukan dan menetapkan sesuatu. Wewenang atau otoritas menekankan pada unsur hak, bukan pada kekuasaanya, meskipun kekuasaan dan wewenang tidak dapat dipisahkan. Wewenang merupakan suatu kekuatan yang sah untuk menjalankan kekuasaan. Dalam pandangan Weber (1978), wewenang (authority) dikaitkan dengan legitimasi, yang kemudian membagi otoritas menjadi tiga jenis, yaitu: pertama, otoritas tradisional (traditional authority), jenis otoritas ini bersumber dari budaya (custom) sehingga otoritas lebih merupakan pelimpahan kekuasaan berbasis budaya dan tradisi yang diwariskan dengan legitimasi tradisi. Kedua,

orotiras kharismatik (charismatic authority), jenis ini merupakan otoritas yang bersumber dari pengakuan orang atas keistimewaan seseorang (yang dianggap luar biasa) sehingga ia dipatuhi, dan ini sangat peribadi sifatnya. Ketiga, otoritas

legal rasional (rational-legal authority), merupakan otoritas yang bersumber dari aturan formal (hukum). Jenis otoritas inilah yang dimaksud oleh Weber ketika membahas otoritas birokrasi (bureaucratic authority).

Otoritas rasional atau legal merupakan otoritas yang diperoleh seseorang dengan batasan-batasan hukum formal yang berlaku. Ketika Otoritas tersebut diterima oleh seseorang, maka otoritas tadi melekat dalam diri orang yang menjadi pemimpin atau penguasa dan dengan otoritasnya ia menjalankan kekuasaan. Orang lain mematuhi penguasa atas dasar kekuatan norma-norma hukum. Oleh Weber kemudian dikatakan bahwa kekuasaan itu bisa berbentuk kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik, dan kekuasaan agama atau norma. Makanya kepatuhan orang terhadap kekuasaan dilandasi oleh tujuan yang bisa bersifat ekonomi, politik dan juga agama.