• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

PROFIL TIGA LEMBAGA ZAKAT DI JAMBI DAN SUMATERA BARAT

4.3.1. Sejarah Cikal Bakal Badan Amil Zakat Jambi

Jambi yang merupakan daerah pilihan penelitian ditemukan bahwa Bazis telah lahir sejak tahun 1990-an dan berada di bawah instansi BAPEDA Propinsi. Lembaga ini selain sebagai perwujudan konsekuensi adanya Bazis di pusat pemerintahan, BAZDA juga lahir sebagai upaya untuk mengorganisir pengelolaan zakat masyarakat Propinsi Jambi, yang saat itu dipimpin oleh AS selaku Kepala Daerah dan RJ selaku ketua Bapeda Propinsi dengan ketua Bazis yang pertama adalah HA (52 tahun).

Zakat sebagai ajaran agama yang sudah di kenal lama dan dipraktekkan dalam masyarakat Islam, bagi pemerintah daerah Propinsi Jambi menurut HA (52 tahun) telah dilihat sebagai sebuah potensi yang besar yang bisa menjadi instrumen baru untuk meningkatkan potensi pemerintah dalam upaya mengatasi persoalan kemiskinan, yang semakin hari semakin mencuat sebagai persoalan pokok bangsa. Pemerintah memang telah malakukan berbagai terobosan dalam upaya mengentaskan kemiskinan, mulai dari sektor pertanian, perkebunan hingga sektor perbankan dalam bentuk pinjaman modal usaha, namun sepertinya hal itu belum mampu memberikan jawaban yang menggembirakan

dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Kalau itu terus berlangsung maka kepercayaan rakyat terhadap pemerintah secara politik akan menurun. Dengan landasan ini maka pemerintah daerah mencoba melirik zakat untuk dijadikan sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat berbasis agama dalam bentuk Bazis. Dengan adanya lembaga pengelolaan zakat bentukan pemerintah diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah khususnya bagi para penganut agama Islam yang memang sejak lama telah mengharapkan lahirnya sebuah lembaga yang mempu mendukung pelaksanaan ibadah zakat yang memiliki kekuatan politik dengan dukungan pemerintah.

Ruang kerja Bazis awalnya hanya di bawah lingkungan pemerintah daerah sebagai langkah awal dalam proses pengenalan pada masyarakat. Ini dilakukan untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa pemerintah telah berani memulai menyalurkan zakatnya untuk membantu kaum lemah. Gerakan ini diharapkan mampu memicu kesadaran berzakat dengan pola pengelolaan yang sistematis, yang berbeda dengan pola pengelolaan tradisional yang selama ini dipraktekkan oleh masyarakat di bawah pengelolaan imam mesjid, guru agama dan madrasah. Pengelolaan zakat pola tradisional, lanjut HA (52 tahun), memang telah terbukti mampu mengorganisir pengumpulan dan pemanfaatan dana zakat melalui kelembagaan kiyai, mesjid dan pesantren, pola ini telah membudaya dan telah melalui sejarah yang panjang. Hanya saja pemanfaatannya belum mampu memberikan jawaban bagi persoalan kemiskinan secara signifikan, kecuali sebatas meringankan beban pada batas kebutuhan konsumtif semata. Pola pengelolaan zakat tradisional juga menurutnya, belum terorganisir dengan baik sebagai organisasi yang menjangkau masyarakat secara luas, mereka juga hanya berjalan sendiri tanpa ada koordinasi antar pengelola dari satu masjid/mushalla dan pesantren ke yang lainnya. Akibatnya memungkinkan ada praktek-praktek berzakat dan pengelolaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Perbedaan pemahaman tentang harta yang wajib di zakat dan pemanfaatan dana zakat juga tak jarang ditemui di kalangan ulama hingga masyarakat, perbedaan tersebut bisa menyebabkan munculnya praktek dan pengelolaan zakat yang berbeda di tengah-tengah masyarakat, dan perbedaan tersebut bisa berujung pada lahirnya kebingungan masyarakat dan bahkan berpotensi melahirkan konflik. Oleh karena itu, HA (52 tahun) memandang

100

diperlukan adanya lembaga pengelolaan zakat yang mampu membangun keseragaman pemahaman tentangan zakat, hingga pada pola pengelolaan yang seragam.

Mengarahkan masyarakat untuk menyerahkan zakatnya ke satu lembaga baru seperti Bazis yang kini berwujud Bazda, memang tidak mudah menurut Havis Aima. Bazis kala itu menurutnya melakukan sosialisasi tentang pola pengelolaan zakat dan bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi, Perguruan Tinggi Agama dan para da‘i. Pada tahap awal sosialisasi dilakukan di lingkungan Instansi pemerintah bersama MUI dan IAIN STS Jambi, yang kebetulan Ketua MUI Jambi dan Rektor salah satu Perguruan Tinggi Agama (1994), dijabat oleh orang yang sama, yaitu SA, menghadapi tantangan berupa keritikan keras dari berbagai unsur masyarakat seperti kelompok ulama tradisional dan kalangan sebagian dosen dari Perguruan Tinggi Agama di Jambi.

Kritikan keras berasal dari ulama yang menganut pemikiran tradisional dan berpegang pada kitab-kitab fiqih kelasik. Mereka berkeyakinan bahwa zakat adalah ajaran agama yang jelas dan telah banyak dikupas dalam kitab-kitab klasik. Siapa yang wajib mengeluarkan zakat, dari harta jenis apa, dan siapa yang berhak mengelola, telah terang benderang dalam syar‘i. Kritikan keras selalu terfokus pada hak kelola dan harta yang wajib dizakatkan. Pemerintah menurut kelompok ulama klasik tidak berhak mengelola zakat karena Indonesia bukan negara Islam. Sementara harta yang wajib dizakatkan telah jelas dalam banyak kitab klasik, sehingga masuknya zakat profesi dan zakat hasil usaha belum bisa diterima kala itu. Kerasnya perdebatan dalam perjalanan Bazis menyebabkan Bazis tidak bisa berkembang lebih jauh, sehingga akhirnya hanya menghimpun dana zakat dari gaji para pegawai dalam lingkungan pemerintah daerah ditambah dari beberapa orang dari instansi pemerintah dan beberapa orang dosen dari Perguruan Tinggi Agama di Jambi yang kebetulan menjadi anggota MUI Jambi. Kinerja Bazis stagnan hingga lahirnya lembaga pengelolaan zakat yang baru sebagai hasil dari lahirnya UU. No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.

BAZDA sebagai lembaga pengelolaan zakat berbasis negara yang lahir sebagai amanat dari UU. Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, merupakan wajah terbaru lembaga pengelolaan zakat di negara ini. BAZDA

merupakan lembaga pengelolaan zakat bentukan pemerintah yang terpusat dan melebar hingga ke propinsi, kabupaten, dan kota. Sesuai dengan amanat UU pengelolaan zakat tersebut, maka pemerintah daerah bersama kantor wilayah Departemen Agama Propinsi Jambi untuk pertama kali membentuk Badan Amil Zakat daerah Propinsi dengan SK Gubernur Nomor 70 tahun 2001 yang dicabut dengan SK nomor 266 tahun 2001 junto SK nomor 283 tahun 2002 tanggal 18 Nopember 2002, yang kemudian diikuti oleh pemerintah Kota Jambi dan kabupaten lainnya.

Perjalanan panjang usaha pemerintah untuk membentuk lembaga pengelolaan zakat yang seragam dan merubah model pengelolaan zakat pola tradisional berbasis komunitas, mengandung motif-motif yang terkait dengan kepentingan pemerintah. Penyeragaman model pengelolaan zakat dan pemusatan kuasa pengetahuan zakat pada negara diharapkan pemerintah mampu melahirkan praktek zakat yang seragam sehingga tidak ada perbedaan pengelolaan dan pemahaman dalam masyarakat.

Potensi ekonomi merupakan topik yang paling sering muncul dalam wacana zakat, dan dengan alasan optimalisasi pemanfaatan dana zakat menjadi alasan pemikiran yang menonjol dalam perjalan sejarah lahir lembaga pengelolaan zakat modern yang terkandung dalam pesan UU nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.

Pesoalan kemiskinan yang mencuat dan menjadi persoalan berat di tanah air, juga menjadi motivasi bagi pemerintah mencari rumusan-rumusan baru dalam upaya mencari solusi. Zakat sebagai ajaran agama yang telah mengakar dalam budaya dan dipraktekkan oleh masyarakat muslim, dilihat memiliki potensi yang bisa digunakan untuk membantu mengatasi persoalan kemiskinan. Oleh karena itu kebijakan dimasukkannya zakat dalam ruang negara oleh pemerintah, merupakan satu upaya menjadikan zakat sebagai instrumen dalam pembangunan.