• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBJECTIVE WELL-BEING (SWB) PADA SALIK SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SUBJECTIVE WELL-BEING (SWB) PADA SALIK SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi"

Copied!
429
0
0

Teks penuh

(1)

SUBJECTIVE WELL-BEING (SWB) PADA SALIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

SITI FATIMAH HASIBUAN 141301088

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(2)
(3)
(4)

SUBJECTIVE WELL-BEING (SWB) PADA SALIK Siti Fatimah Hasibuan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkap tentang Subjective Well-Being (SWB) yang dimiliki oleh seorang salik. Salik yang dimaksud adalah seseorang yang sedang menjalankan proses latihan mengosongkan diri dari segala keburukan dan mengisinya dengan kebaikan lalu menjadikan persandingan dengan Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Sedang Subjective Well-Being (SWB) yang dimaksud adalah perasaan yang tercipta dari evaluasi hidup seseorang baik secara kognitif maupun afektif. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif fenomenologi dengan jumlah responden sebanyak 3 orang yang diperoleh berdasarkan kriteria tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek memiliki Subjective Well-Being yang tinggi dan proses perjalanan suluk dapat mengantarkan pelakunya kepada kebahagiaan sejati. Hal ini tampak dari penilaian yang memuaskan dari masing- masing subjek terhadap kehidupan barunya setelah keluar dari rumah suluk dan tingginya afek positif yang dirasakan oleh masing-masing subjek setelah bersuluk.

Ketiga subjek menilai bahwa kehidupan setelah bersuluk menjadi lebih baik dari pada kehidupan sebelumnya. Secara umum, penilaian SWB secara kognitif merupakan kepuasan dan kebahagiaan yang didapat saat para subjek bisa melepaskan diri dari ikatan dunia, ketika secara sadar bisa bersanding dengan Allah, dan telah melaksanakan tugas-tugas sebagai kholifah di bumi. Kemudian secara umum, penilaian SWB secara afektif adalah ketika subjek merasakan cinta atau dicintai oleh Allah, lebih sering merasakan kebahagiaan daripada kesedihan, bersyukur dengan apa yang dimiliki dan tidak terganggu dengan masalah yang ada. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ketiga subjek dalam penelitian ini memiliki masa lalu masing-masing yang tidak disesali serta dievaluasi secara positif. Kemudian ketiga subjek juga memiliki optimisme dalam mewujudkan masa depan mereka masing-masing, mereka selalu percaya bahwa Allah selalu menetapkan yang terbaik dan mereka selalu merasa bersyukur. Ketiga subjek juga sama-sama mempunyai harapan agar tetap bisa berjalan bersama Allah. Bahkan ketiga subjek juga merasakan kepuasan serta kebahagiaan ketika mereka bisa bersanding dengan Allah dan mencintai serta mencintai Allah. Selain itu, temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa ketiga subjek merasakan kejadian tak terduga di luar jangkauan analisa rasional manusia atau kejadian suprarasional ketika melakukan suluk.

Kata Kunci: Subjective Well-Being (SWB), Salik, Suluk.

(5)

SUBJECTIVE WELL-BEING (SWB) OF SALIK Siti Fatimah Hasibuan

ABSTRACT

The aim of this research is to describe and to reveal the Subjective Well-Being (SWB) that owned by saliks. Salik here means someone who’s doing a practice to clear him/ her self from all disrepute and fill it with virtue, and then placing

“God’s Lover” is him/ her last destination. Subjective Well-Being (SWB) here means a feeling that is created from an evaluation of one’s life both cognitive and affective. This research uses a phenomenological qualitative approach with 3 respondents obtained based on certain criteria. The results showed that the three subjects had high Subjective Well-Being and the process of suluk journey could lead the perpetrator to true happiness. This can be seen from the satisfactory assessment of each subject towards his new life after leaving the suluk house and the high positive affect felt by each subject after suluk. The three subjects considered that the life after being salik was better than the previous life. In general, the cognitive assessment of SWB are the satisfaction and happiness that obtained when subjects can break away from the bonds of the world, when they can consciously side with the God, and have carried out their duties as kholifah on earth. Then ini general, the affective SWB assessment are when the subjects feels love or is loved by God, feels happiness more often than sadness, grateful for what is owned and not disturbed by their existing problems. The results also showed that the three subjects in this study had their respective pasts that were not regretted and were evaluated positively. Then the three subjects also have optimism in realizing their respective futures, they always believe that Allah always determines the best and they always feel grateful. The three subjects also share the hope that they can still walk with God. Even the three subjects also felt satisfaction and happiness when they could side with Allah love or is loved by Allah. In addition, the findings generated that in this study also showed that the three subjects felt unexpected events beyond the reach of human rational analysis or suprarational events when performing suluk.

Keywords: Subjective Well-Being (SWB), Salik, Suluk.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya saya diberikan kesehatan dan kemudahan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana Psikologi di Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini berjudul

“Subjective Well-Being (SWB) pada Salik”. Penyusunan skripsi ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Peneliti berharap agar penelitian ini dapat berguna baik dalam menambah ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi khususnya dalam ilmu Psikologi Positif, Psikologi Transpersonal, Psikologi Klinis dan Psikologi Agama yang terkait dengan kebahagiaan-tasawuf- spritualitas.

Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang mendukung dan membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Zulkarnain, Ph.D, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Raras Sutatminingsih, Ph.D, Psikolog selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, usaha, ilmu pengetahuan, dan perhatiannya untuk membimbing dan terus mendorong penulis menyelesaikan penelitian ini.

3. Kedua orang tua, khususnya ibunda tercinta Misrawati Siregar dan keluarga yang telah memberikan kasih sayang, dukungan baik moril

(7)

maupun materil, arahan dan doa yang tak henti-henti untuk penulis agar menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Sahabat terbaik penulis Yaya Bura, Maen Cuya, Nanaz Yeobo, Yenchan, Mimi Bunga, Ziah, Ika, Kak Kiky Kodok, dan Nadnad yang telah meluangkan seluruh waktu, tempat penulis untuk berkeluh kesah, perhatian, pengetahuan, arahan dan dukungan selama proses awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

5. Teman-teman terbaik penulis, Desy, Dira, Febri dan Icha yang telah membantu memberi masukan dan arahan selama di perkuliahan dan dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Teman terbaik di satu dosen pembimbing, Aliyah, Ziah, dan Felix yang telah banyak membantu, memberikan masukan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada para kakak, abang, dan ustadz yang telah bersedia untuk dijadikan subjek dan diwawancarai dalam penelitian ini.

8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU, yang senantiasa memberikan ilmu kepada anak didiknya dalam meraih kesuksesan untuk masa yang akan datang.

9. Teman–teman angkatan 2014 yang selalu saling menyemangati untuk menyiapkan skripsi, semoga kita semua dapat menjadi orang-orang yang berguna bagi nusa dan bangsa kedepannya.

10. Para staf dan pegawai Psikologi USU yang telah memberikan kemudahan untuk para mahasiswa

(8)

11. Dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terimakasih dengan tulus telah membantu baik langsung maupun tidak langsung pada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sebagai orang yang masih belajar, menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan sarannya sebagai masukan kepada penulis untuk menyempurnakan penelitian ini.

Semoga penelitian ini memberikan manfaat untuk masyarakat.

Medan, 25 Mei 2020 Peneliti,

(Siti Fatimah Hasibuan)

(9)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Manfaat Penelitian ... 14

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 14

1.4.2 Manfaat Praktis ... 14

1.5 Sistematika Penulisan ... 14

BAB II Landasan Teori ... 17

2.1 Subjective Well-Being ... 17

2.1.1 Definisi Subjective Well-Being ... 16

2.1.2 Teori SWB ... 19

2.1.3 Aspek-aspek SWB ... 21

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi SWB ... 26

2.2 Suluk ... 29

2.2.1 Tasawuf ... 29

2.2.2 Pengertian Suluk ... 32

2.2.3 Maqamat dan Ahwal ... 33

2.2.4 Kriteria Salik ... 37

2.3 Subjective Well-being (SWB) pada Salik ... 41

2.4 Penelitian Terdahulu ... 43

BAB III Metode Penelitian ... 50

(10)

3.1 Jenis/ Pendekatan Penelitian ... 50

3.2 Responden Penelitian... 51

3.2.1 Karakteristik Responden ... 51

3.2.2 Jumlah Responden ... 51

3.2.3 Teknik Pengambilan Responden ... 52

3.2.4 Lokasi Penelitian ... 53

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 53

3.4 Alat Bantu Pengambilan Data ... 55

3.5 Kredibilitas Penelitian ... 56

3.6 Prosedur Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian ... 57

3.6.1 Tahap Persiapan Penelitian ... 57

3.6.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 59

3.6.3 Tahap Pencatatan Data ... 60

3.7 Teknik dan Prosedur Analisa Data ... 61

BAB IV Analisisi dan Interpretasi Hasil Penelitian ... 63

4.1 Deskripsi Data ... 64

4.2 Analisa Data... 64

4.2.1 Subjek 1 ... 64

4.2.1.1 Identitas Diri ... 64

4.2.1.2 Jadwal Pengumpulan Data ... 66

4.2.1.3 Hasil Allo-anamnesa ... 67

4.2.1.4 Hasil Auto-anamnesa ... 69

4.2.1.5 Rekapitulasi Data Subjective Well-Being (SWB) Subjek 1 ... 82

4.2.2 Subjek 2 ... 83

4.2.2.1 Identitas Diri ... 83

4.2.2.2 Jadwal Pengumpulan Data ... 86

4.2.2.3 Hasil Allo-anamnesa ... 86

4.2.2.4 Hasil Auto-anamnesa ... 88

4.2.2.5 Rekapitulasi Data Subjective Well-Being (SWB) Subjek 2 ... 124

(11)

4.2.3 Subjek 3 ... 125

4.2.3.1 Identitas Diri ... 125

4.2.3.2 Jadwal Pengumpulan Data ... 127

4.2.3.3 Hasil Allo-anamnesa ... 127

4.2.3.4 Hasil Auto-anamnesa ... 129

4.2.3.5 Rekapitulasi Data Subjective Well-Being (SWB) Subjek 3 ... 143

4.3 Rekapitulasi Data ... 144

4.4 Pembahasan ... 146

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 157

5.1 Kesimpulan ... 157

5.2 Saran ... 159

5.2.1 Saran Penelitian Lanjutan ... 159

5.2.2 Saran Praktis ... 159

Daftar Pustaka ... 161

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian ... 64 Tabel 4.2 Analisa Data Kesimpulan SWB Subjek Penelitian ... 144

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Informed Consent ... 165

Lampiran 2: Lembar Pernyataan Persetujuan Partisipasi ... 168

Lampiran 3: Lembar Data Partisipan ... 171

Lampiran 4: Pedoman Wawancara Informan ... 174

Lampiran 5: Pedoman Wawancara Subjek/ Salik ... 177

Lampiran 6: Pedoman Observasi ... 179

Lampiran 7: Tabel Koding dan Pemadatan Fakta ... 180

Lampiran 8: Dokumentasi ... 419

(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Terdapat beberapa agama di Indonesia, seperti Hindu, Budha, Kristen, Islam, dan lainnya. Pada penelitian ini, penulis berfokus pada agama Islam.

Pada agama Islam terdapat istilah “suluk”. Zahri (1997) menjelaskan bahwa kata suluk berasal dari kata bahasa Arab salaka yang bermakna “menempuh (jalan)”. Terdapat pula pada sepenggalan kata dalam kitab suci Al-Quran yakni pada surat An Nahl ayat 69 yang berbunyi: fasluki subula rabbiki dzululan, yang artinya: dan tempuhlah jalan Rabb mu yang telah dimudahkan (bagimu).

Suluk berada di dalam ranah tasawuf. Hal ini dikarenakan proses latihannya dengan cara mengosongkan diri dari keduniawian. Suluk di dalam istilah tasawuf adalah jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah SWT atau cara memperoleh ma'rifat. Istilah ini juga digunakan untuk sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ikhwal (keadaan mental) atau maqam tertentu (Siregar, 2002). Muhammad (Zahri, 1997) mendefenisikan bahwa suluk adalah sebuah proses menempuh jalan ke- Tuhanan dengan cara mengosongkan diri dari sifat buruk dan mengisinya dengan sifat terpuji secara taat lahir batin. Adapun orang yang menjalani suluk dikenal dengan sebutan salik.

Dalam Islam telah dikenal adanya tahapan/ jenjang/ derajat keilmuan dalam menjalankan amaliah agama yakni: tahapan syareat, tahapan hakekat, dan tahapan makrifat (Abdullah, 1997). Pada tahapan syareat,

(15)

pemahaman menjalankan agama sebatas memenuhi kewajiban syareatnya saja (wajib dan sunnah). Orang yang telah mencapai pemahaman hakekat adalah orang yang telah mencapai tingkat kesadaran lahir dan batin dalam menjalankan syareat, dalam beribadah, serta dalam memahami hakekat siapa diri dan untuk apa diri (meluas dari sekedar wajib dan sunnah). Adapun hamba Allah yang tengah mencari atau telah memahami jalan makrifat pada tingkat awal disebut juga dengan salik. Golongan ini akan mengaplikasikan syareat dan hakekat dengan baik, semakin hati-hati dan semakin takut dengan kaidah kaidah syareat dan hakekat. Ketiga jenjang amaliah ini harus diaplikasikan dengan metode yang benar. Ada berbagai sarana jalan untuk mencapainya, seperti bertarekat dengan tarekat organisasi. Dengan bertarekat organisasi maka kita diberi bimbingan oleh seorang guru pembimbing untuk mencapai tujuan tersebut.

Orang yang bersuluk akan beriktikaf di masjid atau surau, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau salafus shaleh. Hal ini juga sering peneliti saksikan di sekitar kehidupan peneliti, baik melalui media maupun menyaksikan langsung, banyak dari sekelompok umat Islam dalam menjalankan ritual keagamaan, mengamalkan amalan ibadah tertentu secara berjama’ah, tampak dengan begitu khidmat saat berdzikir menggeleng- gelengkan kepala dengan ritme spesifik secara dinamis, ke kanan ke kiri, ke atas ke bawah, kemudian seluruh badan dan kepala terselubung rapat oleh kerudung/ kain putih atau berseragam tertentu, seraya tak lepas jari-jemarinya menghitung bulir-bulir tasbih diiringi gemuruh gumam doa dan sholawat

(16)

hingga ribuan kali. Begitu khusyu’ dan berkonsentrasi tinggi tanpa peduli dengan urusan lain.

Seperti yang disebutkan sebelumnya seorang salik selama bersuluk akan mengasingkan diri dari keramaian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari gangguan selama menjalani kegiatan suluk dan melatih diri agar terpisah dari sifat-sifat tercela. Selain itu, amal ibadah seperti solat, berpuasa, berzikir, dan lain-lain akan dilakukan sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, dorongan hawa nafsu seperti makan, tidur, dan berkata-kata akan dikurangi agar hati menjadi tidak lalai dalam mengingat Tuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan subjek wawancara sebagai berikut:

Waktu itu kan dek berdiam diri di Masjid, karena pun lebih baik, tenang gitu kan. Terus banyak-banyak ingat Allah lah dek, kalau kegiatannya seperti biasa dek dibanyakain beribadah misalnya berzikir, baca Al-Qur’an, solat, dengan khusuk.Jadi waktunya juga lebih banyak untuk beribadah..

(Komunikasi personal, 7 Januari 2017) Kemudian wawancara bersama subjek berikut ini juga menunjukkan bahwa bersuluk mempengaruhi kebahagiaan. Pernyataannya adalah sebagai berikut:

Sebenarnya sih memang banyak cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, tapi kakak ingin merasakan hal yang lebih dalam lagi. Jadi iya, memang sangat bahagia dek, karena merasa hati ini sangat tenang. Masalah pengalaman mungkin susah untuk diceritakan tapi yang pasti kita saat itu merasa dekat ke Allah

(Komunikasi personal, 9 Januari 2017) Peristiwa bersuluk juga pernah dilihat peneliti ketika berada di kampung halaman peneliti di Kota Padangsidimpuan. Saat itu peneliti melihat

(17)

banyaknya orang-orang di kampung peneliti, termasuk nenek peneliti yang pergi ke mesjid dan melakukan suluk selama beberapa hari. Peneliti merasa telah berjumpa dengan orang-orang yang memiliki kehidupan berbeda dengan orang pada umumnya, terutama dalam aspek agama dan spiritualitas. Hal ini dikarenakan peneliti melihat di dalam mesjid tersebut mereka kebanyakan berzikir dan beribadah dengan menyedikitkan makan dan tidur. Bahkan sepulangnya dari kegiatan tersebut nenek peneliti tetap menjaga ibadahnya, sedikit tidur, sedikit berbicara, dan rajin berpuasa. Bahkan beliau sangat menjaga apa yang ia makan semasa hidupnya dengan berusaha untuk mengurangi mengkonsumsi daging. Selain itu, peneliti juga mengingat bahwa nenek peneliti terlihat memiliki kedamaian batin. Hal tersebut membuat peneliti bertanya-tanya bagaimana bisa beliau merasakan demikian dengan menyedikitkan makan maupun tidurnya dan waktu yang dihabiskannya hanya berkurung di masjid saja? Sementara bagi peneliti sendiri hal yang justru membuat peneliti merasa puas dan bahagia adalah ketika bisa bisa bebas makan, tidur, dan bepergian ke banyak tempat.

Jika dilihat dalam Kamus Bahasa Indonesia/ KBBI (Sugiono, D. 2008) kedamaian batin atau kesehatan jiwa dapat disebut juga dengan sejahtera atau kesejahteraan. Konsep kesejahteraan (well-being) mempunyai arti yang hampir sama dengan konsep kebahagiaan (happiness). Setiap orang menginginkan kesejahteraan dalam hidupnya, dan kebahagiaan juga menjadi dambaan setiap orang dan biasanya menjadi tujuan hidup dari seseorang. Hal ini dikarenakan kebahagiaan merupakan hal yang penting bagi kehidupan individu dan suatu

(18)

kondisi yang sangat ingin dicapai oleh semua orang dari berbagai usia dan lapisan masyarakat (Argyle, 2001). Kebahagiaan sering disebut dengan Subjective Well-Being (SWB) dan sering digunakan secara bergantian (Diener

& Bisswass, 2008).

SWB sangatlah penting karena dianggap sebagai faktor yang dapat mereduksi keberadaan tekanan mental, dan merupakan salah satu indikator kualitas hidup individu dan masyarakat yang baik (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). Selain itu menurut Park (Nisfiannor, 2004) SWB sudah sejak lama dianggap sebagai komponen inti dari hidup yang baik (good of life). Individu dengan level SWB yang tinggi, pada umumnya memiliki sejumlah kualitas yang mengagumkan (Diener dalam Nisfiannor, 2004). Individu ini akan lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik. Sedangkan individu dengan SWB yang rendah, memandang rendah hidupnya dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal yang tidak menyenangkan dan oleh sebab itu timbul emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan, depresi dan kemarahan (Myers & Diener dalam Nisfiannor, 2004).

Menurut Diener, Oishi, dan Lucas (2002) yang mengenalkan teori evaluasi, SWB ditentukan oleh bagaimana cara individu mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami. Kesejahteraan subjektif ini mencakup evaluasi kognitif dan afektif. Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspek-aspek

(19)

khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan kerja, minat, dan hubungan.

Evaluasi afektif dalam SWB dimaksud adalah evaluasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Hal tersebut yang kemudian oleh Diener dijadikan sebagai komponen-komponen spesifik yang dapat menentukan tingkat kesejahteraan seseorang.

Terdapat dua komponen utama SWB, yaitu afek positif dan afek negatif sebagai komponen afektif serta kepuasan hidup (life satisfaction) sebagai komponen kognitif. Afek positif merupakan perasaan-perasaan positif atau emosi yang menyenangkan yang ada dalam diri individu. Sedangkan, afek negatif merupakan perasaan-perasaan negatif atau emosi yang tidak meyenangkan yang ada dalam diri individu. Kepuasan hidup merupakan penilaian individu terhadap kualitas kehidupannya secara menyeluruh. Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan kerja, minat, dan hubungan (Diener, Lucas, & Oishi, 2005).

Berbagai tinjauan dan literatur secara menyeluruh oleh para ahli menghasilkan kesepakatan mengenai predictor terkuat SWB (Compton, 2005), aspek-aspek SWB tersebut adalah: (1) harga diri positif; (2) kontrol diri; (3) keterbukaan; (4) optimisme; (5) hubungan positif; (6) nilai makna dan tujuan hidup; dan (7) penyelesaian konflik diri. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi SWB yaitu: (1) kepribadian, hasil penelitian Costa & McRae

(20)

(1980 dalam Larsen & Eid, 2008) selaras dengan hasil penelitian Diener bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi SWB adalah kepribadian, terutama kepribadian esktrovert dan neurotis; (2) pendapatan dan kekayaan, pendapatan yang tinggi menghasilkan kebahagiaan yang besar namun hanya pada masyarakat yang menganggap uang sangat berharga (Diener & Oishi, 2000); (3) budaya, Lu & Gilmour (2004) mengungkapkan bahwa budaya memiliki dampak signifikan terhadap konsep kebahagiaan/ SWB; (4) modernisasi, Larsen & Eid (2008) mengatakan bahwa modernisasi cenderung mengubah masyarakat agraris (sosial) menjadi masyarakat industrial (individual); (5) tujuan personal, faktor lain yang mempengaruhi SWB adalah adanya tujuan personal, dan berprogres mewujudkannya (Diener, 2002).

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi subjective well-being adalah melalui agama (Diener dkk, 1999). Secara mendalam Chaplin (1997, dalam Mayasari 2014) mengatakan bahwa religi merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari kepercayaan, keyakinan yang tercermin dalam sikap dan melaksanakan upacara-upacara keagamaan yang dengan maksud untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Abdul Aziz melakukan penelitian (Putra 2016) yang menghubungkan antara agama dan kebahagiaan. Ia mendefinisikan agama sebagai pengalaman dalam diri seseorang tentang ke-Tuhanan disertai keimanan dan peribadatan untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.

Penelitian Tiliouine, Cummins dan Davern (2009) bertujuan mengeskplorasi hubungan religiusitas Islam dan kepuasan hidup dengan 2909 responden di

(21)

Algeria, menunjukkan bahwa religiusitas berhubungan positif yang kuat dengan subjective well-being (SWB).

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat ada keterkaitan antara SWB dengan agama, yaitu agama menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi SWB. Penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa agama memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Nggadas (2013) berjudul “korelasi antara religiusitas dengan kebahagiaan subjektif: suatu studi di Jemaat Gmim Zebaoth Wanea Manado”. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi religiusitas dengan kebahagiaan subjektif, korelasi usia dan jenis kelamin dengan kebahagiaan subjektif, mengetahui dimensi apa saja dalam religiusitas yang mempunyai hubungan paling kuat dengan kebahagiaan subjektif dan menganalisa faktor-faktor dalam religiusitas dan kebahagiaan yang paling mempengaruhi hubungan ini. Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini ialah religiusitas memberikan dampak positif kepada kebahagiaan subjektif anggota jemaat GMIM Zebaoth Wanea Manado meskipun lemah (0.292) dengan syarat signifikansi 0.000 (P<0.05). Dimensi yang paling kuat ialah dimensi intelektual (0.000), ritual (0.025), dan konsekuesional (0.000), dengan syarat signifikansi 0.000 (P<0.05). Faktor dalam religiusitas yang paling mempengaruhi ialah pengetahuan akan iman dan faktor dalam kebahagiaan subjektif yang paling mempengaruhi ialah agama (RI 8.5%), tidak ditemukan adanya hubungan

(22)

antara usia dan kebahagiaan subjektif, pada laki-laki sedangkan pada perempuan ada hubungan yang signifikan.

Penelitian lain oleh Bintari dan Nelma pada tahun 2011 yang meneliti tentang hubungan antara komitmen beragama dengan kesejahteraan psikologis masyarakat Jakarta usia dewasa. Dari proses perolehan data diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara kesejahteraan psikologis dengan komitmen beragama pada masyarakat Jakarta. Hal ini terlihat dari adanya hubungan yang signifikan antara skor total kesejahteraan psikologis dengan skor total komitmen beragama.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan di atas didapatkan adanya perbedaan hasil penelitian. Perbedaan pertama yang dapat dilihat dari penelitian Nggadas (2013) adalah didapatkan hasil yang lemah antara religiusitas dengan kebahagiaan subjektif di Jemaat Gmim Zebaoth Wanea Manado. Pada penelitian ini dimensi yang paling kuat ialah dimensi intelektual, ritual, dan konsekuesional. Sedangkan penelitian kedua oleh Dini Rahma Bintari dan Hapsarini Nelma (2011) didapatkan hasil yang signifikan positif antara kesejahteraan psikologis dengan komitmen beragama pada masyarakat Jakarta. Penelitian ini menemukan hubungan yang signifikan antara skor total kesejahteraan psikologis dengan skor total komitmen beragama.

Sementara itu penelitian mengenai suluk juga telah dilakukan oleh Sutatminingsih (2016) yang mengkaji korelasi antara praktek suluk, kewarakan, efisiensi mengurus Enam Energi Dasar, dengan kesejahteraan

(23)

psikologis antara salik yang mengamalkan suluk di Tarekat Naqsyabandiyah dan orang yang bukan salik. Penelitian ini menggunakan metode campuran antara metode kuantitatif dan kualitatif. Temuan analisis data kuantitatif menunjukkan bahwa praktik suluk berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis dan semua aspeknya. Penemuan kedua menunjukkan bahwa rentang usia sedang memoderasi hubungan antara praktik suluk dan kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, status pekerjaan, frekuensi laten, dan masa suluk terakhir tidak menyederhanakan hubungan antara praktik suluk dan kesejahteraan psikologis. Ketiga, temuan juga menunjukkan bahwa kewarakan menjadi perantara perilaku suluk dengan kesejahteraan psikologis dalam semua aspeknya. Selanjutnya, temuan keempat menunjukkan bahwa efisiensi mengelola enam energi dasar menjadi pengantara dalam hubungan praktik suluk dengan kesejahteraan psikologis dalam aspek otonomi, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan penerimaan diri.

Di sisi lain, efisiensi pengelolaan enam energi dasar tidak mengganggu aspek kontrol lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain dalam hal kesejahteraan psikologis.

Penelitian suluk lainnya yang berjudul “konsepsi happiness bagi salik di Bondowoso” telah dilakukan oleh Putra (2016). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengungkap tentang konsep happiness yang dimiliki oleh seorang salik baik dari sudut pandang agama (Islam) maupun sudut pandang Psikologi. Salik yang dimaksud adalah seorang yang sedang menjalankan proses latihan mengosongkan diri dari segala keburukan dan

(24)

mengisinya dengan kebaikan lalu menjadikan persandingan dengan Tuhan sebagai tujuan akhirnya. Sedang Happiness berdasarkan teori Seligman yang dimaksud adalah munculnya perasaan senang, puas, sejahtera, dengan dilingkupi emosi positif dan aktifitas positif. Penelitian ini menggunakan subjek tunggal, yakni seorang salik yang berkediaman di Bondowoso. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologis.

Berdasarkan penelitian salik terdahulu yang pernah dilakukan di atas didapatkan adanya perbedaan hasil penelitian. Perbedaan pertama dapat dilihat bahwa Sutatminingsih meneliti hubungan antara praktik suluk dan kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being/ PWB) di antara salik yang berlatih suluk di Tarekat Naqsyabandiyah dan yang non-salik yang berusia antara 40 dan 59 tahun dan yang bukan salik. Sementara itu dapat dilihat bahwa Putra meneliti mengenai konsepsi happiness bagi salik di Bondowoso.

Putra mendeskripsikan dan mengungkapkan tentang konsep happiness yang dimiliki oleh seorang salik yang merupakan subjek tunggal baik dari sudut pandang agama (Islam) maupun sudut pandang Psikologi menggunakan teori happiness Seligman.

Temuan dari analisis penelitian oleh Sutatminingsih mengungkapkan bahwa praktik suluk berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis (PWB) dan semua aspeknya. Kemudian ada pula hasilnya yang menunjukkan bahwa semua aspek kesejahteraan psikologis memiliki efek positif pada kelompok salik, tetapi memiliki efek positif dan negatif pada mereka yang bukan salik. Sedangkan temuan penelitian Putra menunjukkan bahwa amaliah-

(25)

amaliah suluk yang dijalani subjek penelitiannya memiliki aspek dimensi yang berbeda dari amaliah yang dijalankan oleh orang pada umumnya. Hasil selanjutnya adalah secara psikologis proses perjalanan suluk dapat mengantarkan pelakunya kepada kebahagiaan sejati, yang mana konsep kebahagiaan bagi subjek terdapat tiga poin yakni ketika mampu melepaskan diri dari ikatan duniawi, ketika mencicipi cinta dan dicintai oleh Tuhan, dan ketika secara sadar bisa bersanding/ muwajjahah bersama Tuhan, dimana ketiganya diraih saat salik telah selesai melaksanakan tanggung jawabnya sebagai kholifah di bumi.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti menemukan adanya perbedaan meskipun aspek yang diteliti memiliki kesamaan. Penelitian pertama menggunakan teori PWB Ryff, sementara penelitian kedua menggunakan teori Happiness Seligman, menurut peneliti untuk memahami konsep PWB akan lebih baik bila memahami SWB terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan Ryff sendiri membangun konsep PWB dengan menganalisis teori-teori kesehatan mental yang pernah ada sebelumnya, termasuk SWB. Selain itu PWB dan Authentic Happiness sama-sama memiliki prinsip eudamonik yaitu seseorang dikatakan sejahtera bila mengisi hidupnya dengan hal-hal yang bermakna, yang bertujuan, yang berguna bagi kesejahteraan orang lain dan pertumbuhan dirinya sendiri. Sedangkan SWB prinsipnya adalah hedonik yaitu mengandung prinsip kesenangan: sejauh mana seseorang merasa hidupnya menyenangkan, bebas stres, bebas dari rasa cemas, tidak depresi, dll yang intinya mengalami perasaan-perasaan menyenangkan dan bebas dari perasaan-perasaan tidak

(26)

menyenangkan. Dengan demikian penelitian suluk/ salik yang berhubungan dengan prinsip eudamonik melalui teori happiness/ authentic happiness dan kesejahteraan psikologis/ psychological well-being telah dilakukan sebelumnya. Maka dari itu peneliti ingin melihat bagaimana pula dengan subjective well-being (SWB) dari individu yang merupakan salik?

Kembali kepada problem statement yang mendasari penelitian terkait fenomena suluk ini. Peneliti ingin mengkaji lebih dalam tentang bagaimana Subejective Well-Being (SWB) pada salik? Termasuk juga di dalamnya mencakup tentang bagaimana aktifitas sehari-hari, bagaimana interaksi dengan lingkungan, apa saja yang dijalani, dan faktor yang mempengaruhi memilih suluk sebagai jalannya menemukan kepuasan hidup serta kebahagiaan sejati?

Berdasarkan penjelasan dan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka peneliti ingin menyusun penelitian yang berkaitan dengan konsep subjective well-being pada salik sebagai tema dalam skripsi ini.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian maka peneliti merumuskan masalah yang menjadi fokus penelitian adalah bagaimana Subjective Well-Being (SWB) pada subjek salik?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Subjective Well-Being (SWB) pada salik.

(27)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin didapatkan dari penelitian ini dikategorikan menjadi dua yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana keilmuan psikologi dan dapat menyumbang informasi khususnya mengenai ilmu Psikologi Positif, Psikologi Transpersonal, dan Psikologi Agama yang terkait dengan subjective well-being, tasawuf, dan sritualitas.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian lanjutan yang dilakukan oleh pihak lain yang tertarik untuk meneliti fenomena dengan topik subjective well-being (SWB) pada subjek salik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai subjective well-being (SWB) pada salik. Jika pembaca menganggap informasi dalam penelitian ini dirasa benar, maka dapat juga mengikuti proses-proses dalam menemukan subjective well-being (SWB).

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(28)

BAB I Pendahuluan

Pada bab ini dijelaskan latar belakang penelitian, permasalahan penelitian perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori

Bab ini berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian.

Adapun teori yang dipakai dalam penelitian ini meliputi kebahagiaan subjective well-being yang meliputi: definisi subjective well-being dan faktor yang mempengaruhi subjective well-being. Selanjutnya penulis juga memakai teori mengenai suluk yang meliputi: tasawuf, pengertian suluk, maqamat dan ahwal, kriteria salik. Pada bab ini juga berisi penelitian terdahulu dan subjective well-being (SWB) pada salik.

BAB III Metode Penelitian

Pada bab ini akan di jelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian, jenis penelitian, responden penelitian, teknik pengumpulan data, alat bantu pengambilan data, dan kredibilitas data.

BAB IVAnalisis dan Interpretasi Hasil Penelitian

Pada bab ini akan di jelaskan mengenai hasil penelitian, pengolahan data dan interpretasi hasil penelitian.

BAB V Kesimpulan dan Saran

(29)

Bab ini berisi kesimpulan yang berusaha menjawab masalah yang dikemukakan berdasarkan hasil penelitian. Berdasarkan kesimpulan, akan diajukan beberapa saran bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Subjective Well-Being

2.1.1 Definisi Subjective Well-Being

Awal mulanya, para ahli membagi definisi kesejahteraan (well-being) menjadi tiga jenis. Pertama, kesejahteraan dicapai apabila seseorang memiliki suatu kualitas tertentu, seperti berwatak baik atau setia pada nilai-nilai moral.

Kedua, kesejahteraan dicapai apabila subjek menilai kehidupannya memuaskan, definisi ini menekankan pada penilaian subjektif individu terhadap kehidupannya. Ketiga, kebahagiaan dicapai apabila seseorang lebih banyak merasakan perasaan positif (senang, bahagia, puas) dibandingkan negatif (sedih, marah, kecewa). Dari ketiga definisi yang ada, Diener (1984) merumuskan bahwa Subjective Well-Being (SWB) merepresentasikan definisi kedua dan ketiga.

Subjective Well-Being (selanjutnya disingkat SWB) seringkali disebut juga dengan kebahagiaan. Menurut Diener (2009) definisi dari SWB dan kebahagiaan dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, SWB bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa keinginan berkualitas yang ingin dimiliki setiap orang. Kedua, SWB merupakan sebuah penilaian secara menyeluruh dari kehidupan seseorang yang merujuk pada berbagai macam kriteria. Arti ketiga dari SWB jika digunakan dalam percakapan sehari- hari yaitu dimana perasaan positif lebih besar daripada perasaan negatif.

Merujuk pada pendapat Campbell (dalam Diener, 2009) bahwa SWB terletak

(31)

pada pengalaman setiap individu yang merupakan pengukuran positif dan secara khas mencakup pada penilaian dari seluruh aspek kehidupan seseorang.

Diener mendifinisikan SWB sebagai penilaian secara positif dan baik terhadap kehidupan. Seseorang dikatakan memiliki SWB yang tinggi apabila mengalami kepuasan hidup dan sering bersuka cita, serta jarang mengalami emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan dan kemarahan (Diener, 2009). Diener dkk (2003) mengatakan bahwa SWB terdiri dari dua komponen yang saling berhubungan: Kepuasan hidup, dan perasaan menyenangkan.

Perasaan menyenangkan ini menunjuk pada mood dan emosi, sedangkan kepuasan hidup menunjuk pada penilaian kognitif pada kepuasan dalam hidup.

Veenhouven (dalam Diener, 2009) menjelaskan bahwa SWB merupakan tingkat di mana seseorang menilai kualitas kehidupannya sebagai sesuatu yang diharapkan dan merasakan emosi-emosi yang menyenangkan.

SWB dapat diartikan sebagai penilaian individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif mengenai kepuasan hidup dan penilaian afektif mengenai mood dan emosi seperti perasaan emosional positif dan negatif (Eddington dan Shuman, 2008). Menurut Shin & Jhonson (dalam Diener, 2009) SWB didefinisikan sebagai penilaian global kualitas hidup individu menurut kriteria yang telah dipilih individu tersebut.

Menurut Compton (2005) SWB merupakan persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan merepresentasikan dalam kesejahteraan psikologis. Compton (2005) menjelaskan bahwa dalam studi mengenai SWB, individu yang memiliki

(32)

kebahagiaan dan kepuasan hidup yang tinggi akan secara langsung ditunjukkan kedalam perilaku dimana individu tersebut akan terlihat lebih bahagia dan lebih puas. Walaupun terdapat banyak kritik mengenai pengukuran SWB, namun pengukuran yang masih diterima adalah dengan report langsung dari individu tersebut terkait dengan kebahagiaan dan kepuasan dalam kehidupan.

Berdasarkan pengertian–pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa SWB adalah penilaian individu mengenai kehidupanya, baik penilaian yang bersifat kognitif maupun penilaian yang bersifat afektif.

2.1.2 Teori SWB

Ada beberapa teori SWB yang dikemukakan oleh para ahli yang berkorelasi dengan hasil penelitian yang dilakukan. Teori yang dikemukakan para ahli yang dikutip dalam Diener (2009) yakni:

a. Telic Theory

Telic Theory menjelaskan bahwa SWB terdiri dari kebahagiaan yang diperoleh dari beberapa keadaan seperti tujuan atau kebutuhan yang telah tercapai. Salah satu postulat teoritis yang ditawarkan Wilson (1960) adalah bahwa “pemenuhan kebutuhan menyebabkan kebahagiaan dan sebaliknya, kebutuhan yang tidak terpenuhi menyebabkan ketidakbahagiaan”. Banyak penelitian mengenai SWB tampaknya didasari pada implicit model yang berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan.

b. Activity Theory

Activity Theory memandang kebahagiaan sebagai hasil samping dari aktifitas individu. Individu memiliki kemampuan tertentu dan kebahagiaan

(33)

akan datang ketika kemampuan tersebut ditunjukan dengan cara yang sangat baik.

c. Bottom-Up vs Top-Down Theories

Bottom-Up Theory memandang bahwa kebahagiaan daan kepuasan hidup yang dirasakan dan dialami individu tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Secara khusus, SWB merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman positif yang terjadi dalam kehidupan individu. Top-Down Theory memandang SWB yang dialami individu tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa dalam sudut pandang yang positif. Perspektif teori ini menganggap individu yang menentukan atau memegang peranan apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan kesejahteraan psikologis bagi diriya. Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan SWB diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian individu.

d. Association Theory

Salah satu pendekatan kognitif terhadap kebahagiaan mempunyai keterkaitan dengan jaringan dalam memori. Penelitian mengenai jaringan memori menunjukan bahwa individu dapat mengembangkan banyak jaringan memori yang positif, dan terbatas, serta terisolasi dari yang negatif. Pada individu tersebut, banyak peristiwa dapat memicu afeksi dan pemikiran positif. Sehingga individu dengan suatu jaringan yang dominan positif akan

(34)

cenderung bereaksi terhadap peristiiwa dengan cara yang lebih positif.

e. Judgement Theory

Teori ini menyatakan kebahagiaan merupakan hasil dari sebagian perbandingan antara beberapa kondisi standard an actual. Jika keadaan actual melebihi standar individu maka individu akan mendapatkan kebahagiaan.

2.1.3 Aspek-aspek SWB

Menurut Diener (2009) Subjective Well-Being terbagi dalam dua komponen utama, yaitu:

a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif merupakan evaluasi terhadap kepuasan hidup.

Kepuasan hidup adalah kondisi subyektif dari keadaan pribadi seseorang sehubungan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan (Caplin, 2011). Hurlock (2003) menyatakan bahwa seorang individu yang dapat menerima diri dan lingkungan secara positif akan merasa puas dengan hidupnya.

Penilaian kepuasan hidup didasarkan pada perbandingan keadaan seseorang saat ini, dengan standart yang baik menurut orang tersebut. Diener (1984) mengungkapkan bahwa penilaian ini dilakukan terhadap kehidupan secara keseluruhan, walaupun secara tidak sadar, subjek seringkali menggunakan standar spesifik (keuangan, percintaan, pertemanan, keluarga, pernikahan, perkuliahan dsb) untuk menilai secara keseluruhan. Diener, Scollon, & Lucas (2003) juga mengatakan bahwa sulit bagi seseorang untuk

(35)

menilai kepuasan hidup secara global. Seseorang harus menimbang setiap aspek dalam kehidupan untuk dapat menilai kepuasan hidup secara keseluruhan, sebagai hasilnya, orang menggunakan “jalan pintas” dalam menilai kepuasan hidup mereka.

Jalan pintas ditempuh dengan menggunakan informasi yang dominan pada saat orang tersebut diminta menilai kepuasan hidupnya. Sebagai contoh, saat seseorang sedang didominasi oleh informasi tentang nilai ujiannya yang kurang baik, secara tidak sadar hal ini dapat digunakan sebagai penilaian secara keseluruhan. Schwarz & Clore (1983, dalam Diener, Scollon & Lucas, 2003) juga mengungkapkan bahwa mood dapat mempengaruhi evaluasi kepuasan hidup. Walaupun seseorang cenderung menggunakan “jalan pintas”

atau hanya informasi-informasi tertentu untuk menilai kepuasan hidup, Diener mengatakan bahwa pengukuran kepuasan hidup tetaplah valid karena informasi yang digunakan seseorang cenderung stabil dan tidak berubah (Diener, Scollon & Lucas, 2003). Diener, Suh, Lucas & Smith (1999) mengatakan bahwa penilaian ini cenderung stabil dan dapat digunakan sebagai informasi kepuasan hidup yang valid. Selain itu, komponen kognitif SWB ini juga mencakup area kepuasan (domain satisfaction) individu di berbagai bidang kehidupannya seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang. Dengan demikian aspek kognitif dari SWB merupakan penilaian kepuasan hidup seseorang secara global, bukan hanya penilaian berdasarkan aspek tertentu dalam hidup.

(36)

b. Aspek Afektif

Selain aspek kognitif, adapula penilaian secara afektif. Komponen dasar dari SWB adalah afek, di mana di dalamnya termasuk mood dan emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Orang bereaksi dengan emosi yang menyenangkan ketika mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, dan bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, karenanya mood dan emosi bukan hanya menyenangkan dan tidak menyenangkan tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan atau tidak. Afek negatif merepresentasikan mood dan emosi yang tidak menyenangkan, dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang mereka alami (Diener, 2009).

Diener, Oishi & Lucas (2003) mengatakan dimensi afektif ini merupakan hal yang sentral untuk SWB. Komponen afektif memiliki peranan dalam mengevaluasi well-being karena memberi kontribusi perasaan menyenangkan dan perasaan tidak menyenangkan. Kedua afek berkaitan dengan evaluasi seseorang karena emosi muncul dari evaluasi yang dibuat oleh orang tersebut. Afek positif meliputi simptom-simptom optimisme, kebahagiaan atau keceriaan dan aktif dalam segala bidang kehidupan.

Sedangkan afek negatif merupakan kehadiran simptom yang menyatakan bahwa hidup tidak menyenangkan ditandai dengan emosi–emosi spesifik seperti sedih, susah, kecewa, gelisah dan khawatir. Komponen afektif ini

(37)

menekankan pada pengalaman emosi menyenangkan baik yang pada saat ini sering dialami oleh seseorang ataupun hanya berdasarkan penilaiannya.

Keseimbangan tingkat afek merujuk kepada banyaknya perasaan positif yang dialami dibandingkan dengan perasaan negatif.

Diener (2009) menyatakan kepuasan hidup dan banyaknya afek positif dapat saling berkaitan, hal ini disebabkan oleh penilaian seseorang terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah, dan kejadian-kejadian dalam hidupnya. Sekalipun kedua hal ini berkaitan, namun keduannya berbeda, kepuasan hidup merupakan penilaian mengenai hidup seseorang secara menyeluruh, sedangkan afek positif terdiri dari reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap kejadian-kejadian yang dialami.

Berbagai tinjauan dan literatur secara menyeluruh oleh para ahli menghasilkan kesepakatan mengenai predictor terkuat SWB (Compton, 2005) sebagai berikut:

a. Harga Diri Positif

Campbell (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa harga diri merupakan prediktor yang menentukan kesejahteraan subjektif. Harga diri yang tinggi membuat individu memiliki beberapa kelebihan termasuk pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Harga diri yang tinggi akan menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai hubungan yang baik dengan orang lain, serta mempunyai kapasitas produktif dalam pekerjaan.

(38)

b. Kontrol Diri

Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa.

Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku dan aktifitas fisik. Dengan kata lain, kontrol diri akan melibatkan proses pengambilan keputusan, mampu mengerti, memahami serta mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut.

c. Keterbukaan

Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal- hal yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Diener dkk (2003) mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang-orang dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain.

d. Optimisme

Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan harapan yang positif tentang masa depan.

Scheneider (Compton, 2005) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis.

(39)

e. Hubungan Positif

Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Hubungan yang di dalamnya ada dukungan dan keintiman akan membuat individu mampu mengembangkan harga diri, meminimalkan masalahmasalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik.

f. Nilai Makna dan Tujuan Hidup

Dalam beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan religi yang besar, memiliki kesejahteraan psikologis yang besar.

g. Penyelesaian Konflik Diri

Individu yang memiliki subjective well-being yang tinggi secara nyata memiliki lebih sedikit konflik psikologi. Kepribadian yang terintegrasi menandakan koordinasi yang baik antara aspek dari diri, dan berhubungan pula dengan toleransi yang baik mengenai aspek-aspek yang berbeda pada individu. Individu mampu menyelesaikan konflik dalam dirinya, mampu bekerja keras dalam mencapai tujuan, dan mempunyai resiliensi yang baik.

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi SWB a. Kepribadian

Hasil penelitian Costa & McRae (1980 dalam Larsen & Eid, 2008) selaras dengan hasil penelitian Diener. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi SWB adalah kepribadian, terutama kepribadian esktrovert dan neurotis. Ekstrovert lebih memungkinkan mempengaruhi SWB karena

(40)

kepribadian ini berhubungan erat dengan perasaan yang lebih positif, dan memiliki ambang batas lebih rendah untuk mengaktifkan afek positif.

Sedangkan kepribadian neurotis, berhubungan erat dengan perasaan negatif, dan memiliki ambang batas lebih rendah untuk mengaktifkan afek negatif.

Sebagai contoh, berdasarkan penelitian Diener dan Seligman (2002, dalam Eid

& Larsen, 2008) 10% siswa paling bahagia, menunjukan bahwa subjek memiliki sifat-sifat kepribadian ekstrovert, mereka cenderung lebih ramah dan menyenangkan, kurang neurotik dan memiliki skor rendah pada tes psikopatologi MMPI. Selain itu, subjek yang paling bahagia ini cenderung terlibat dalam hal-hal spiritual, dan kegiatan-kegiatan bersifat positif. Dari hasil penelitian ini, Diener dan Seligman (2002, dalam Eid & Larsen, 2008) menyimpulkan bahwa faktor lain yang juga penting dalam mempengaruhi SWB adalah relasi sosial yang positif.

b. Pendapatan dan Kekayaan

Pendapatan dan kekayaan memiliki peran tersendiri dalam mempengaruhi SWB. Hubungan antara pendapatan dan SWB berbeda pada negara maju dan berkembang. Hubungan yang rendah antara pendapatan dan SWB ditemukan pada negara maju. Sedangkan pada negara berkembang, hubungan pandapatan dan SWB ditemukan lebih tinggi (Diener, 2002).

Individu yang melaporkan ketidakpuasan terhadap hidup lebih banyak pada mereka yang tergolong miskin. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pendapatan memberikan dampak lebih signifikan pada negara berkembang.

(41)

Dampak pendapatan terhadap SWB semakin menurun saat kebutuhan dasar individu telah terpenuhi.

c. Budaya

Lu & Gilmour (2004) mengungkapkan bahwa budaya memiliki dampak signifikan terhadap konsep kebahagiaan/ SWB. Konsep kebahagiaan pada budaya timur menekankan pada keadaan spiritual dan transendensi.

Sedangkan budaya barat memandang kebahagiaan sebagai keadaan seseorang menikmati kehidupan dan memiliki kontrol penuh terhadap kehidupannya.

d. Modernisasi

Larsen & Eid (2008) mengatakan bahwa modernisasi cenderung mengubah masyarakat agraris (sosial) menjadi masyarakat industrial (individual). Perubahan ini menyebabkan berkurangnya interaksi sosial dalam masyarakat. Sehingga ilmuwan sosiologi memandang perubahan ini sebagai perubahan yang buruk, karena pada dasarnya manusia merupakan mahkluk sosial. Namun Sanderson (1995, dalam Larsen & Eid, 2008) mengkritik pandangan tersebut dengan mengatakan bahwa kecenderung sosial hanyalah karakteristikmasyarakat agragis. Beberapa budaya justru menilai modernisasi sebagai perubahan yang baik dan dapat meningkatkan kesejahteraanmasyarakat.

e. Tujuan Personal

Faktor lain yang mempengaruhi SWB adalah adanya tujuan personal, dan berprogres mewujudkannya (Diener, 2002). Cantor dan Sanderson (dalam Diener dkk, 1999) mengungkapkan bahwa komitmen pada tujuan dapat

(42)

memberikan rasa bermakna dan meningkatkan kesejahteraan personal maupun sosial. Cantor dan Sanderson menambahkan bahwa tujuan yang sesuai dengan kemampuan dan nilai-nilai pribadi dapat meningkatkan SWB secara keseluruhan.

Sehingga dapat disimpulkan adanya berbagai faktor yang dapat mempengaruhi SWB, termasuk kepribadian, kekayaan, budaya dan hal-hal demografis yang mungkin belum disebutkan dalam sub-bab ini. Termasuk diantaranya adalah bagaimana seseorang memiliki sebuah tujuan, dan berprogres memenuhi tujuan tersebut. Setiap dari faktor ini dapat mempengaruhi well-being dengan cara yang berbeda-beda.

Diener (dalam Larsen & Eid, 2008) mengatakan bahwa tidak ada determinan tunggal untuk SWB. SWB yang tinggi, tidak dipengaruhi oleh satu faktor saja. Penelitian Diener telah mengidentifikasi beberapa faktor yang dibutuhkan sebagai syarat kebahagiaan, dan terbukti adanya hubungan dengan kebahagiaan, namun tidak ada kondisi atau faktor tunggal yang dapat menimbulkan kebahagiaan.

2.2 Suluk 2.2.1 Tasawuf

Pembahasan tentang tasawuf merupakan pintu yang tepat untuk bisa memasuki pengkajian tentang suluk lebih dalam, karena pada dasarnya suluk termasuk dalam bagian amaliah kaum sufi (Khalil, 2008). Dikalangan ulama, eksistensi tasawuf masih diperdebatkan sehingga pendefinisiannya pun menjadi kontroversial. Abu Al-Abbas Ahmad Muhammad (Khalil, 2008) dalam

(43)

kitabnya Qawa’id Al-Tasawuf menyebutkan bahwa hingga saat ini sudah terdapat kurang lebih dua ribu definisi tentang makna Tasawuf.

Pada kitab Iqdad Al-Himam, karya Ahmad (Khalil, 2008)terdapat definisi tentang sufi, bahwa sufi adalah orang yang membersihkan dirinya dari kerusakan budi. Para sufi selalu merenungkan apapun saja secara mendalam hingga akhirnya memiliki nilai bahwa budi yang luhur itu lebih mulia daripada tumpukan emas. Totalitas dari hidupnya beserahkan kepada Allah, dan karena berserah kepada Allah inilah maka seorang sufi tidak cinta kepada dunia.

(Khalil, 2008).

Beribu definisi tentang tasawuf dan sufi namun semuanya bisa ditarik satu garis lurus bahwa tasawuf adalah ilmu yang mengajarkan manusia untuk memperbaiki dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan kemudian mengisinya dengan segala hal tentang kebaikan sehingga mengantarkan manusia untuk dapat menempuh perjalanan suci bertemu Allah, menjadikan Allah sebagai satu titik tujuan individu diciptakan bukan memperoleh kekayaan dunia atau popularitas dunia dan lainnya.

Beberapa ulama yang berkecimpung di dalam bidang tasawuf membagi tasawuf ke dalam dua aspek, yakni Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi (Khalil, 2008).

1. Tasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang pola ajarannya merupakan gabungan antara tasawuf dan filsafat, sehingga output nya adalah lebih kepada pemahaman-pemahaman filsafat mengenai dunia, alam semesta beserta isinya,

(44)

Tuhan, dan lain sebagainya. Orang yang memiliki pemeikiran Tasawuf Falsafi biasanya mampu menghasilkan syair-syair yang dikenal dengan syathathat,yaitu syair atau ungkapan yang sulit dipahami, yang seringkali menimbulkan kesalah pahaman bagi pihak non-tasawuf.

2. Tasawuf Amali

Sesuai dengan istilah yang digunakan yakni “amali” yang berasal dari Bahasa Arab ‘amal yang memiliki arti “pekerjaan/perbuatan” maka tasawuf amali adalah segala hal yang berkaitan dengan proses kesempurnaan dan pensucian jiwa yang diformulasikan dalam bentuk perbuatan.

Para sufi percaya bahwa terdapat hijab yang menghalangi manusia dengan eksistensi Tuhannya, maka mereka percaya bahwa dengan berfikir saja tidak akan sanggup untuk melenyapkan hijab itu, maka dibutuhkan perbuatan atau amaliyah. Terdapat tiga rumusan amaliyah yang disusun oleh Ulama Sufi untuk pada akhirnya dapat melenyapkan hijab tersebut yakni takhalli, tahallai, dan tajalli. Dimana takhalli bermakna pengosongan diri dari segala hal yang dirasakan adalah hal yang buruk, tahalli adalah pengisian diri dengan segala hal yang dirasakan adalah hal yang baik, dan terakhir adalah tahap tajalli yakni tahap dimana setelah manusia kosong kemudian diisi dengan kebaikan maka kemudian adalah tersingkapna tabir yang selama ini menjadi penghalang manusia dengan Tuhannya. Dari penjelasan inilah maka dapat disimpulkan bahwa suluk termasuk dalam kategori Tasawuf Amali.

(45)

2.2.2 Pengertian Suluk

Suluk secara bahasa berasal dari Bahasa Arab salaka yang berarti menempuh (jalan), diambil dari sepenggalan ayat dalam Al-Quran surat An- Nahl ayat 69 yang artinya : “....dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)”. Dalam kaitannya dengan Agama Islam dan/atau sufisme maka suluk dimaknai sebagai proses latihan seumur hidup bagi manusia untuk menempuh (jalan) menuju esensi dari eksistensi Allah SWT, yang di dalamnya mencakup proses pensucian diri, pencarian hakekat akan jati diri, pengenalan terhadap substansi alam semesta, menjalankan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah, hingga pada akhirnya proses suluk mengantarkan manusia masuk kepada hakekat dari eksistensi Allah (Zahri, 1997).

Muhammad (Zahri, 1997) mendifinisikan bahwa suluk adalah sebuah proses menempuh jalan ketuhanan yang ditempuh manusia dengan cara mengkosongkan diri dari sifat mazmumah atau sifat buruk seperti tamak, iri, dengki, terikat pada dunia, lupa pada yang kuasa, dll. dan mengisinya dengan sifat yang mahmudah atau terpuji secara taat lahir dan batin, seperti qonaah, ahli dzikir, menjaga makanan, tidak terikat pada dunia, berlaku baik kepada makhluk apapun, selalu bertaubat, dll. Orang yang menjalani suluk dikenal dengan sebutan salik.

Pada dasarnya suluk memiliki makna yang serupa dengan thariq, yaitu jalan, namun seiring dengan perkembangan waktu keduanya mengalamai perubahan arti. Senali (2006) menjelaskan bahwa thariq atau thariqat adalah sebuah jalan menuju kepada Allah, sedangkan jika manusia hendak berjalan di

(46)

jalan itu maka ia harus menempuh laku suluk yang di dalamnya terdapat proses mempelajari kesalahan diri dan dosa-dosa yang diperbuat, melakukan perbaikan disertai meminta ampun kepada Allah. Maka dapat disimpulkan bahwa suluk adalah proses latihan bagi manusia agar ia dapat berjalan di jalan Allah hingga pada akhirnya ia sampai pada titik dimana ia bisa bersanding bersamaNya.

2.2.3 Maqamat dan Ahwal

Dalam ilmu tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah (Zahri, 1997). Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.

Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya, seperti Abu Nasr al-Sarraj dalam kitab Al-Luna’ menyebutkan jumlah maqamat ada tujuh, dan Imam al-Ghazali menyebutkan ada delapan.

Karena munculnya perbedaan dalam jumlah maqamat yang ditempuh ini kemudian para ulama menyepakati bahwa secara garis besar terdapat tujuh tingkatan maqammat yakni al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al- tawakkal, dan al-ridla (Nata, 2011).

(47)

1. Taubat

Taubat menurut Dzun Nun al-Misri (Nata, 2011) dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah, dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin. Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astaghfirullah waatubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.

2. Zuhud

Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhud ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi. Mengenai pengertian zuhd ini terdapat berbagai variasi. Al-Junaidi (Nata, 2011) berkata: “Zuhd ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.” Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di antaranya Q. S. Annisa: 77 yang artinya: katakanlah: kesenangan di dunia ini

(48)

hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.

3. Sabar

Menurut pandangan Dzun Nun al-Misri (Nata, 2011) sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh. Sabar, menurut Al-Ghazali (2007) jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al- badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan

4. Wara’

Pengertian wara‟ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani (Nata, 2011) wara‟ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah (Nata, 2011).

(49)

5. Faqr

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak (Nata, 2011).

6. Tawakkal

Hamdun al-Qashshar (Nata, 2011) mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah. Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah.

Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah (Nata, 2011).

7. Ridha

Menurut Abdullah bin Khafif (Nata, 2011), ridha dibagi menjadi dua macam: (1) ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah, dan (2) ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt (Nata, 2011).

(50)

Setelah membahas tentang maqamat, yang perlu dipahami selanjutnya tentang sufise adalah ahwal. Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, ahwal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut Al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.

Sehubungan dengan ini, Harun Nasution (Nata, 2011) mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.

Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al-hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah (rasa selalu diawasi oleh Allah), al- khauf (rasa takut kepada Allah), ar-raja’ (rasa optimisme kepada Allah), ath- thuma’ninah (rasa tenang), uns (rasa suka cita), al-musyahadah (rasa cinta hingga mampu menyaksikan Allah) (Nata, 2011).

2.2.4 Kriteria Salik

Terdapat sangat banyak hal yang menjadi kriteria para salik untuk melakukan perjalanan suluknya. Pada hakikatnya kriteria-kriteria yang ada hanyalah pengklasifikasian dari amalan takhalli dan tahalli yang telah di jelaskan di atas. Maka dalam tulisan ini peneliti mengambil kriteria para salik

Gambar

TABEL KODING DAN PEMADATAN FAKTA  Informan 1

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah etnis Tionghoa Totok (asli) memiliki sikap etnosentris yang lebih tinggi dibandingkan etnis Tionghoa Peranakan.. Subjek

Penyesuaian diri yang baik dapat membantu karyawan untuk tetap bekerja dan memiliki relasi yang baik dalam masa pra pensiun.. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyesuaian

Dalam teori Maslow, orang yang mengalami transendensi diri memiliki satu pengalaman puncak yang menjadi titik baliknya didalam kehidupan, hal ini pun berlaku

Secara keseluruhan, berdasarkan estimasi validitas berdasarkan bukti konkuren dan reliabilitas untuk data penelitian ini, TKF tidak terbukti memilki kualitas alat

Individu yang memiliki keterampilan sosial yang rendah cenderung memiliki harga diri yang rendah, menilai percakapan biasa sulit untuk dilakukan, tidak nyaman ketika

Begitupun sebaliknya dengan orang yang memiliki harga diri yang rendah akan memiliki kekhawatieran sosial yang tinggi karena mereka tidak mampu mengungkapkan pendapat pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan akan melakukan apa saja yang diminta oleh idola selama hal tersebut tidak keluar dari kaidah agama yang

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya maka peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Gambaran