• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODUL BERORIENTASI DISCOVERY BASED LEARNING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN MODUL BERORIENTASI DISCOVERY BASED LEARNING"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Ditulis Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)

Jurusan Tadris Fisika

Oleh:

RUKIYAH CANIAGO NIM: 15300700025

JURUSAN TADRIS FISIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

BATUSANGKAR 2019

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Rukiyah Caniago. NIM 15 3007 00025, (2019). Judul Skripsi: “Pengembangan Modul Berorientasi Discovery Based Learning untuk Meningkatkan Higher Order Thinking Skills (HOTS) Peserta Didik pada Materi Elastisitas dan Hukum Hooke Kelas XI SMA/MA”. Jurusan Tadris Fisika, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

Pokok permasalahan yang ditemui di SMAN 7 Sijunjung adalah peserta didik belum bisa menjawab soal-soal HOTS karena peserta didik kurang terlatih untuk mengerjakan soal–soal HOTS, keterbatasan bahan ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran. Guru juga belum ada membuat bahan ajar berupa modul, padahal modul merupakan salah satu sumber belajar mandiri yang dapat dimanfaatkan oleh peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang baik. Berdasarkan hal ini dibutuhkan modul yang mampu membangkitkan minat peserta didik dalam belajar dan peserta didik dapat menemukan konsep pembelajaran dan menyelesaikannya sendiri. Penelitian pengembangan ini bertujuan menghasilkan modul fisika berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan HOTS peserta didik pada materi elastisitas dan hukum hooke.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan 4D (define, design, develop, dan disseminate: (1) tahap define, dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi di lapangan, dalam tahap ini dilakukan analisis kurikulum, analisis silabus, analisis sumber belajar, dan meriview literatur tentang modul, (2) tahap design, dilakukan untuk menyiapkan prototipe modul berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills (HOTS) peserta didik, dan (3) tahap pengembangan, hasil dari prototipe yang dirancang dilanjutkan pada uji validitas, praktikalitas, dan efektivitas modul berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills (HOTS) peserta didik. (4) tahap disseminate adalah tahap pengembangan yang tidak dilakukan karena keterbatasan waktu dan biaya.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Modul berorientasi Discovery Based Learning sudah memenuhi kriteria sangat valid dengan hasil validasi yang diperoleh 90,4 %, (2) Modul berorientasi Discovery Based Learning sudah memenuhi kriteria praktis yang telah diuji cobakan kepada 30 orang peserta didik kelas XI MIPA 1 dengan hasil angket respon peserta didik 81,67 % dan angket respon guru 93 %, (3) Modul berorientasi Discovery Based Learning sudah memenuhi kriteria efektif dengan perolehan nilai N-gain sebesar 0,73. Peningkatan HOTS masing-masing indikator memperoleh persentase; 1) indikator menganalisis memperoleh peningkatan dengan Ngain= 0,63; 2) indikator mengevaluasi memperoleh peningkatan dengan

Ngain= 0,84; 3) indikator mencipta memperoleh peningkatan dengan Ngain= 0,73.

Kata Kunci : Modul, Discovery Based Learning, Higher Order Thinking Skills (HOTS), Elastisitas dan Hukum Hooke

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan karunia kepada peneliti sehingga dapat menyusun skripsi dengan judul “Pengembangan Modul Berorientasi Discovery Based Learning untuk Meningkatkan Higher Order Thinking Skills (HOTS) Peserta Didik pada Materi Elastisitas dan Hukum Hooke Kelas XI SMA/MA”. Shalawat serta salam kepada nabi Muhammad Saw. Selaku penutup segala Nabi dan Rasul yang diutus dengan sebaik-sebaik agama, sebagai rahmat untuk seluruh manusia, sebagai personifikasi yang utuh dari ajaran islam dan sebagai tumpuan harapan pemberi syafa’at di akhirat kelak. Penulisan skiripsi ini adalah syarat untuk melengkapi syarat-syarat dan tugas untuk mencapai gelar sarjana pendidikan pada Jurusan Tadris Fisika Program Sarjana (S-1) Institut Agama Islam Negri (IAIN) Batusangkar.

Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini banyak bantuan, motivasi, serta bimbingan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil yang peneliti terima. Dalam konteks ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Venny Haris, M.Si selaku pembimbing 1 dan Ketua Jurusan Tadris Fisika 2. Ibu Novia Lizelwati, M.Pfis selaku pembimbing 2 dari peneliti dan pembimbing

akademik dari peneliti yang telah memberi arahan serta bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Marjoni Imamora M.Sc selaku penguji 1 sekaligus validator yang telah memvalidasi instrument penelitian dari peneliti

4. Ibuk Artha Nesa Chandra, M.Pd selaku penguji 2 dari peneliti 5. Bapak Dr.H. Kasmuri, MA selaku Rektor IAIN Batusangkar

6. Bapak Dr. Sirajul Munir, M.Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

(7)
(8)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN COVER BIODATA

HALAMAN PERSEMBAHAN

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Spesifik Produk yang Diharapkan ... 9

E. Pentingnya Pengembangan ... 10

F. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan ... 11

G. Definisi Operasional... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori ... 14

1. Penelitian dan Pengembangan ... 14

2. Modul ... 14

3. Model Pembelajaran ... 19

4. Discovery Based Learning ... 21

5. Higher Order Thinking Skills (HOTS) ... 26

6. Soal Higher Order Thinking Skills (HOTS) ... 29

7. Modul Berorientasi DBL untuk Meningkatkan HOTS ... 30

8. Materi Ajar ... 32

9. Validitas Praktikalitas dan Efektivitas ... 33

(9)

v BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian... 43

B. Prosedur Penelitian ... 43

C. Subjek Uji Coba ... 50

D. Jenis Data ... 51

E. Instrumen Penelitian... 51

F. Teknik Analisa Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 59

1. Tahap Pendefenisian (Define) ... 59

2. Tahap Perancangan (Design) ... 62

3. Tahap Pengembangan (Develop) ... 77

B. Pembahasan ... 92

1. Tahap Pendefenisian (Define) ... 92

2. Tahap Perancangan (Design) ... 93

3. Tahap Pengembangan (Develop) ... 94

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...99

B. Saran ...99

C. Implikasi ...100 DAFTAR PUSTAKA

(10)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Dimensi Proses Berfikir ... 30

Tabel 2.2 : KI Kelas XI SMA/MA pada Kurikulum 2013 ... 32

Tabel 2.3 : KD Kelas XI SMA/MA pada Kurikulum 2013 ... 32

Tabel 2.4 : Silabus Elastisits dan Hukum Hooke ... 33

Tabel 2.5 : Kategori Validitas Bahan Ajar ... 34

Tabel 2.6 : Kategori Praktikalitas Bahan Ajar ... 35

Tabel 2.7 : Kriteria Gain Ternormalisasi ... 37

Tabel 3.1 : Validasi Modul Berorientasi DBL untuk Mencapai HOTS ... 47

Tabel 3.2 : Validasi RPP ... 48

Tabel 3.3 : Validasi Angket Respon Modul Berorientasi DBL untuk Mencapai HOTS ... 48

Tabel 3.4 : Validasi Soal-Soal HOTS ... 48

Tabel 3.5 : Aspek Praktikalitas Modul Fisik Berorientasi DBL ... 49

Tabel 3.6 : Rancangan Penelitian ... 50

Tabel 3.7 : Indeks Kesukaran Soal ... 55

Tabel 3.8 : Daya Pembeda Soal ... 55

Tabel 3.9 : Kriteria koefisien Korelasi Reliabilitas Soal ... 57

Tabel 3.10 : Kriteria Hasil Validitas ... 58

Tabel 3.11 : Kriteria Ngain ... 58

Tabel 4.1 : Data Hasil analisis validasi RPP ... 78

Tabel 4.2 : Data Hasil Analisis Validasi Modul Fisika Berorientasi DBL . 78 Tabel 4.3 : Hasil Analisis Validasi Angket Respon Peserta Didik ... 83

Tabel 4.4 : Hasil Analisis Validasi Angket Respon Guru ... 84

Tabel 4.5 : Hasil Analisis Validasi Instrumen Soal Hots (Pretest Dan Postest) ... 85

Tabel 4.6 : Materi dan Jadwal Penelitian ... 86

Tabel 4.7 : Data Hasil Analisis Angket Respon Praktikalitas Peserta Didik Terhadap Modul Fisika Berorientasi DBL ... 87

(11)

vii

Tabel 4.8 : Hasil Analisis Angket Respon Praktikalitas Guru ... 89 Tabel 4.9 : Hasil Skor Rata-Rata Pretest Dan Postest ... 91 Tabel 4.10 : Peningkatan HOTS ... 91

(12)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Analisis Hasil UH Siswa ... 4

Gambar 1.2 : Hasil Kuis Awal Peserta Didik ... 5

Gambar 3.1 : Desain Awal Modul ... 46

Gambar 4.1 : Cover Modul Fisika Berorientasi DBL ... 63

Gambar 4.2 : Kata pengantar ... 64

Gambar 4.3 : Daftar isi ... 64

Gambar 4.4 : Petunjuk belajar untuk guru dan peserta didik ... 65

Gambar 4.5 : Kompetensi yang akan dicapai ... 66

Gambar 4.6 : Tahap stimulation ... 67

Gambar 4.7 : Tahap problem statement ... 68

Gambar 4.8 : Tahap data collection ... 69

Gambar 4.9 : Tahap data processing ... 70

Gambar 4.10 : Tahap verification ... 71

Gambar 4.11 : Tahap generalization ... 72

Gambar 4.12 : Materi ajar ... 73

Gambar 4.13 : Lembar kerja siswa ... 74

Gambar 4.14 : kunci jawaban lembar kerja siswa ... 74

Gambar 4.15 : evaluasi ... 75

Gambar 4.16 : kunci jawaban evaluasi ... 76

Gambar 4.17 : Daftar Pustaka ... 77

Gambar 4.18 : Kata Pengantar (a) Sebelum revisi (b) Setelah revisi ... 79

Gambar 4.19 : LKPD (a) Sebelum revisi (b) Setelah revisi ... 81

Gambar 4.20 : Materi ajar (a) sebelum validasi (b) setelah validasi ... 82

(13)

14

maju dan konsep hidup harmonis dengan alam adalah fisika. Fisika mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum, postulat, dan teori serta metodologi keilmuan. Objek yang dipelajari berupa benda-benda serta peristiwa-peristiwa alam menggunakan prosedur baku yang bisa disebut metode/proses ilmiah. Mundilarto dalam Pratama, dkk (2015: 104) menyatakan bahwa “fisika merupakan ilmu yang berusaha memahami aturan-aturan alam yang begitu indah dan rapi yang dapat dideskripsikan secara matematis”.

Koballa & Chiapetta dalam Pratama, dkk (2015: 104) menyatakan bahwa fisika merupakan 1) pengumpulan pengetahuan (a body of knowledge), 2) cara atau jalan berpikir (a way of thinking), 3) cara untuk penyelidikan (a way of investigating), 4) interaksi dengan teknologi dan sosial (it’s interaction with technology and society). Dari beberapa pendapat tentang fisika tersebut disimpulkan bahwa fisika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alam. Fisika disajikan dalam bentuk yang sederhana yang diterjemahkan dalam bahasa matematis dan dapat dipahami serta diperoleh dari hasil penelitian, percobaan, pengukuran, penyajian secara matematis .

Pembelajaran fisika bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik, sehingga mereka tidak hanya mampu dan terampil dalam psikomotorik dan kognitif, melainkan juga mampu menunjang berpikir sistematis, objektif dan kreatif. Proses pembelajaran fisika yang tidak sesuai dengan hakikat pembelajaran fisika kurang memberi kesempatan pada peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses-proses ilmiah, keterampilan proses sains, dan kurang melatih keterampilan Higher Order Thinking Skills (HOTS). Pencapaian tujuan pembelajaran

(14)

IPA bukan ditentukan pada konsep semata, melainkan lebih diarahkan pada efek iringan pembelajaran yang salah satunya adalah HOTS.

Persaingan dalam era globalisasi memerlukan life skills yang memadai. Life skills diperlukan dalam menghadapi permasalahan sehingga ditemukan solusi pemecahannya. Permasalahan dalam kehidupan di era abad 21 ini begitu kompleks. Keterampilan pemecahan masalah dalam hidup berkaitan erat dengan keterampilan berpikir yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi HOTS.

Praktik pembelajaran harus dapat memaksimalkan kerja otak dalam berpikir sehingga keterampilan berpikir terutama berpikir tingkat tinggi pada peserta didik dapat terakomodasi dengan baik. Pembelajaran harus dapat melibatkan keaktifan peserta didik dalam belajar. Konstruksi model pembelajaran maupun bahan ajar yang bermuara pada harapan itu penting untuk dilakukan, mengingat berhasil atau tidaknya proses pendidikan itu tolak ukurnya adalah peserta didik melalui proses evaluasi sehingga perlu upaya untuk merekonstruksi paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma proses pengajaran ke paradigma proses pembelajaran yang mampu menciptakan proses pembelajaran yang interaktif, berpusat pada peserta didik, dan memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru fisika di SMA N 7 Sijunjung, yang dilakukan pada tanggal 18 Juni 2019 didapatkan yaitu guru hanya menggunakan buku ajar, peserta didik jarang/bahkan tidak pernah dilatih untuk mengerjakan soal-soal HOTS karena guru belum terlalu memahami tentang HOTS dan cara mengukurnya. Ketika peneliti melihat isi buku ajar yang dipakai guru, di dalam buku ajar hanya terdapat materi dan beberapa soal latihan. Soal-soal latihan tersebut belum bisa meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik karena tingkatan soal-soal yang ada di dalam buku ajar tersebut hanya mencapai tingkatan C3.

Selain mewawancai guru, peneliti juga sempat mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Guru tidak membawa silabus, RPP

(15)

sebagai acuan proses pembelajaran, yang dibawa hanya sebuah buku pegangan, buku catatan guru, absen serta buku penilaian peserta didik. Ketika proses pembelajaran hanya beberapa peserta didik saja yang memiliki buku pegangan dan peserta didik lain yang tidak mempunyai buku hanya mendengarkan materi dari guru akibatnya proses pembelajaran terlihat membosankan dan ada beberapa peserta didik yang mengantuk bahkan tidur ketika proses pembelajaran berlangsung. Peneliti juga mengetahui sebelum memulai pembelajaran guru tidak memberikan tujuan pembelajaran yang jelas kepada peserta didik dan metode pembelajaran guru yang masih bersifat teacher center.

Guru menjelaskan materi pembelajaran dan kemudian dicacat oleh peserta didik yang nantinya diperiksa oleh guru, guna memastikan apakah peserta didik memperhatikan pelajaran yang diberikan dan memindahkannya dalam catatan atau tidak. Di dalam proses pembelajaran guru juga memberikan contoh soal dan soal-soal latihan yang berkaitan dengan materi. Hanya ada beberapa peserta didik yang benar-benar aktif bertanya pada guru mengenai pembelajaran yang sedang berlangsung, sedangkan yang lainnya hanya mencatat dan mengikuti saja, tanpa tahu apakah mereka mengerti atau tidak mengenai pembelajaran yang dilaksanakan. Akibatnya materi yang disampaikan ini seolah tidak sampai pada tujuan pembelajaran tentunya berimbas pada pencapaian hasil belajar mereka yang rendah.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada guru didapatkan informasi bahwa peserta didik sangat kesulitan menjawab soal yang sifatnya menganalisis. Ketika guru memberikan soal yang sedikit saja berbeda dengan contoh soal yang diberikan sebelumnya, maka peserta didik akan merasa kesulitan dalam menjawab soal tersebut. Untuk mengungkap lebih jelasnya berikut ini data analisis UH materi elastisitas dan hukum hooke peserta didik kelas XI MIPA 1 SMA N 7 Sijunjung Tahun Ajaran 2018/2019. Seperti pada ambar 1.1.

(16)

Gambar 1.1 Analisis Hasil UH Peserta didik Materi Elastisitas dan Hukum Hooke

Selain analisis nilai UH peserta didik, peneliti juga memberikan uji awal berupa kuis kepada peserta didik untuk mengetahui kemampuan berfikir tingkat tinggi peserta didik. Soal yang digunakan berupa soal HOTS pada tingkatan C4. Dari kuis yang dilakukan oleh peneliti dapat dilihat bahwa kemampuan berfikir tingkat tinggi peserta didik belum terpenuhi. Karena hasil kuis peserta didik tersebut masih sangat rendah atau belum memenuhi KKM. Dari jawaban peserta didik dapat dilihat bahwa masih kurang pemahaman peserta didik tentang materi tersebut. Peserta didik belum bisa menganalisis soal tersebut. Seperti untuk mencari tegangan kawat tersebut. Yang diketahui didalam soal adalah diameter. Seharusnya peserta didik tersebut mencari luas permukaan kawat tersebut

(17)

dahulu. Akan tetapi peserta didik tidak melakukan itu dan langsung memberikan nilai luas penempang tersebut dengan diameter kawat tersebut. Seperti pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2 A Gambar 1.2 B

Gambar 1.2 Hasil Kuis Awal peserta didik (A) Nilai Kuis Terendah (B) Nilai Kuis Tertinggi

Dalam proses pembelajaran, salah satu komponen terpenting yang dapat menunjang keberhasilan peserta didik dalam belajar adalah penggunaan bahan ajar yang dipilih dan dikembangkan oleh guru. Bahan ajar yang sesuai dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran atau kompetensi tertentu dengan cara menarik minat peserta didik, menstimulasi peserta didik, dan memotivasi peserta didik untuk lebih aktif dan giat dalam belajar melalui materi yang diberikan.

Mulyasa (2008, 53) mengemukakan bahwa Tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus menjadi fasilisator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (facilitate of

(18)

learning) kepada seluruh peserta didik, agar peserta didik dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas, dan berani mengemukakan pendapat secara terbuka.

Dipertegas lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses yang berbunyi :

“Perencanaan pembelajaran dirancang dalam bentuk silabus dan RPP yang memuat identitas sekolah, identitas mata pelajaran, kelas/semester, materi pokok, alokasi waktu, tujuan pembelajaran, KD dan indikator, materi pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, langkah-langkah pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran”.

Oleh karena itu, dalam perencanaan proses pembelajaran, guru dituntut untuk mampu memilih dan mengembangkan bahan ajar yang termasuk dalam elemen RPP. Salah satu bahan ajar yang bisa dikembangkan oleh guru adalah modul. Modul sebagai bahan ajar memiliki fungsi sebagai media belajar mandiri peserta didik, pengganti fungsi pendidik, alat evaluasi, dan bahan rujukan bagi peserta didik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Winarno, dkk (2015:82) terlihat hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata prestasi belajar kognitif sebelum menggunakan modul 67,4 dan sesudah menggunakan modul 85,3. Hasil komentar guru pada tahap penyebaran adalah modul bagus dan layak digunakan dalam proses pembelajaran.

Adapun model – model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi peserta didik adalah Problem Based Learning, Contekstual Teaching Learning, Project Based Learning, dan Discovery Based Learning. Namun diantara model- model tersebut yang paling cocok digunakan yaitu model Discovery Based Learning. Discovery Based Learning merupakan salah satu strategi belajar mengajar yang menekankan pada peserta didik untuk belajar mencari dan menemukan sendiri.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Galuh Arika Istiana, Agung Nugroho Catur S, dan J S Sukardjo dapat disimpulkan

(19)

bahwa penerapan model Discovery Learning dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar peserta didik pada materi larutan penyangga. Pada siklus I, persentase ketercapaian aktivitas belajar peserta didik sebesar 37% yang kemudian meningkat pada siklus II menjadi 77,78%. Peningkatan prestasi belajar dilihat dari aspek kognitif pada siklus I mencapai 63% dan meningkat pada siklus II menjadi 81%, dari aspek afektif persentase ketuntasan untuk siklus I sebesar 89% dan meningkat pada siklus II menjadi 92,6%. Sedangkan untuk prestasi belajar aspek psikomotorik hanya dilakukan pada siklus I dan memberikan hasil ketuntasan sebesar 81,48%.

Salah satu kompetensi pada mata pelajaran fisika di kelas XI adalah menganalisis sifat elastisitas bahan dalam kehidupan sehari-hari. Dan melakukan percobaan tentang sifat elastisitas suatu bahan berikut presentasi hasil dan makna fisisnya. Berdasarkan kompetensi dasar tersebut dapat dilihat bahwa materi elastisitas ini merupakan salah satu materi yang cocok digunakan untuk strategi discovery. Karena pada kompetensi dasarnya selain menganalisis yang merupakan indikator HOTS kompetensi dasar yang selanjutnya adalah melakukan percobaan yang merupakan salah satu langkah-langkah dari strategi Discovery Based Learning.

Untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan, peneliti tertarik untuk mengembangkan sebuah modul berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang akan mendukung keterlibatan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar, yang akan meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik. Materi yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini adalah “Elastisitas dan Hukum Hooke” dimana dalam kompetensi dasarnya menuntut peserta didik untuk menganalisis, dimana menganalisis merupakan indikator dalam Higher Order Thinking Skill (HOTS) yang termasuk dalam C4. Materi elastisitas dan hukum hooke juga merupakan

(20)

salah satu materi yang konkrit dan penerapannya banyak dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Modul Berorientasi Discovery

Based Learning untuk Meningkatkan Higher Order Thinking Skills

(HOTS) Peserta didik pada Materi Elastisitas dan Hukum Hooke Kelas XI SMA/ MA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana validitas dari Modul berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills (HOTS) materi elastisitas dan hukum hooke kelas XI SMA/MA?

2. Bagaimana praktikalitas dari Modul berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills (HOTS) materi elastisitas dan hukum hooke kelas XI SMA/MA?

3. Bagaimana efektifitas penggunaan Modul berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills (HOTS) materi elastisitas dan hukum hooke kelas XI SMA/MA?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun maka penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan modul berorientasi Discovery Based Learning yang valid, praktis, dan efektif digunakan untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills peserta didik pada materi elastisitas dan hukum hooke kelas XI SMA/ MA.

D. Spesifikasi Produk yang Diharapkan

Penelitian ini menghasilkan produk yaitu modul berorientasi Discovery Based Learning yang valid, praktis dan efektif digunakan dalam proses pembelajaran, dengan spesifikasi/ format sebagai berikut :

(21)

1. Modul disajikan dengan urutan yaitu: cover, kata pengantar, daftar isi, KI, KD, indikator, dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, petunjuk belajar, lembar kegiatan peserta didik, uraian materi, contoh soal dan latihan soal, kunci jawaban, penilaian, daftar pustaka

2. Cover modul didesain sesuai dengan penerapan elastisitas dan hukum hooke, dilengkapi dengan warna dan gambar yang menarik.

3. Modul berorientasi Discovery Based Learning didesain sesuai KI, KD, indikator dan tujuan pembelajaran yang memuat materi pembelajaran fisika pada materi elastisitas dan hukum hooke.

4. Modul ini juga berorientasi Discovery Based Learning. Model Discovery Based Learning tersebut memiliki 6 langkah yaitu: stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification, dan generalization.

5. Pada lembar kerja peserta didik akan dilengkapi dengan langkah-langkah Discovery Based Learning. Langkah yang pertama yaitu stimulation. Pada tahap ini akan disajikan data berupa gambar aplikasi elastisitas dan hukum hooke dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian diberikan pertanyaan seputar aplikasi elastisitas dan hukum hooke tersebut. Selanjutnya pada tahap problem statement peserta didik dituntut untuk memberikan jawaban sementara tentang pertanyaan yang telah diajukan. Pada tahap ketiga data collection, pada tahap ini dibuat sebuah langkah atau prosedur kerja yang akan dilakukan oleh peserta didik untuk mengambil data tentang hukum hooke. Selanjutnya pada tahap data processing ini disediakan tabel dan pertanyaan yang dijawab peserta didik dalam rangka melakukan pengolahan data yang telah didapatkan. Pada tahap verification ini merupakan tahap pembuktian data yang telah didapatkan akan dibandingkan dengan teori yang ada. Selanjutnya pada tahap generalization ini merupakan kesimpulan yang didapatkan selama melakukan percobaan dan setelah dicocokkan dengan teori

(22)

6. Modul memuat materi elastisitas dan hukum hooke yang menuntut peserta didik dapat membangun sendiri pengetahuannya, menemukan konsep melalui diskusi kelompok, dan tanya jawab antar sesama peserta didik.

7. Modul dilengkapi dengan contoh soal dan latihan soal yang bisa menuntun peserta didik dalam menyelesaikan soal latihan secara individu ataupun berkelompok. Pada bagian contoh soal berisi tingkatan pengetahuan C1-C3, sedangkan latihan soal memenuhi tingkatan pengetahuan C4-C6. Pada ranah pengetahuan C4-C6 termasuk tingkat ranah HOTS atau level 3. Tidak semua soal HOTS termasuk soal sulit, tapi soal-soal HOTS membutuhkan kemampuan berfikir tingkat tinggi untuk menyelesaikan soal tersebut.

8. Modul terdiri dari soal-soal yang dapat memancing peserta didik untuk berfikir tingkat tinggi dan mencari tahu apa sebenarnya konsep yang dibahas.

9. Bagian evaluasinya dibuat dalam bentuk soal essay serta kunci jawaban sebagai pedoman peserta didik.

10. Modul dirancang dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. 11. Modul ditulis dengan huruf Times New Roman, ukuran 11-16.

E. Pentingnya Pengembangan

Penelitian ini akan menghasilkan sebuah produk bahan ajar berupa modul yang dapat dijadikan oleh guru sebagai salah satu alternatif bahan ajar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di SMA/MA. Bagi peserta didik untuk meningkatkan aktivitas belajar peserta didik dan untuk meningkatkan variasi dalam belajar.

F. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan 1. Asumsi

Asumsi yang mendasari pengembangan modul fisika berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skill (HOTS) adalah sebagai berikut :

(23)

a. Pembelajaran fisika menjadi lebih menarik dengan menggunakan Modul berorientasi Discovery Based Learning jika modul dipelajari dengan baik oleh peserta didik sehingga Higher Order Thinking Skills (HOTS) peserta didik dapat meningkat.

b. Aktivitas peserta didik akan lebih terarah dalam belajar dengan menggunakan bahan ajar berupa modul fisika berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skill (HOTS).

c. Setelah mempelajari modul fisika berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skill (HOTS) cara berpikir peserta didik dalam memecahkan suatu masalah menjadi lebih kritis

d. Hasil belajar peserta didik akan lebih baik dengan menggunakan modul berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skill (HOTS) sebagai alat bantu belajar.

2. Keterbatasan pengembangan

Pengembangan modul berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills peserta didik ini difokuskan pada valid, praktis, dan efektif penggunaan modul pada materi elastisitas dan hokum hooke.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesulitan dalam memahami penelitian ini maka definisi operasional dalam penelitian ini adalah :

1. Pengembangan adalah cara atau proses ilmiah yang digunakan untuk menghasilkan produk baru atau produk yang telah ada, kemudian disempurnakan sehingga menghasilkan sebuah produk yang dapat dipertanggung jawabkan keefektifan produk tersebut.

2. Modul adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa bimbingan dari guru.

(24)

3. Discovery Based Learning merupakan salah satu strategi belajar mengajar yang menekankan pada peserta didik untuk belajar mencari dan menemukan sendiri. Discovery atau penemuan ialah suatu kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat menemukan konsep– konsep dan prinsip – prinsip melalui proses mentalnya sendiri.

4. HOTS (High Order Thinking Skills) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk kemampuan untuk memecahkan masalah (problem solving), berpikir kreatif (creative thinking), kemampuan berargumen (reasoning), dan mengambil keputusan (decision making) dan kemampuan untuk menyelesaikan soal-soal yang mengandung C4, C5 dan C6.

5. Soal-soal HOTS merupakan instrumen pengukuran kemampuan berfikir tingkat tinggi peserta didik, dimana peserta didik diharapkan dapat menerapkan konsep-konsep pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Soal-soal HOTS berada pada ranah C4-C6 atau level 3.

6. Modul berorientasi Discovery Based Learning untuk meningkatkan Higher Order Thinking Skills yaitu modul yang disusun berdasarkan Discovery Based Learning yang didalamnya terdapat soal-soal yang dapat meningkatkan kemampuan Higher Order Thinking Skills peserta didik.

7. Elastisitas dan hukum hooke adalah materi fisika kelas XI semester ganjil pada KD 3.2. Menganalisis sifat elastisitas bahan dalam kehidupan sehari-hari. KD 4.2 Melakukan percobaan tentang sifat elastisitas suatu bahan berikut presentasi hasil dan makna fisisnya

8. Valid yaitu kriteria mutu (standar) suatu produk dianggap layak sebagai bahan ajar, dalam hal ini adalah modul.

9. Praktis yaitu kemudahan suatu bahan ajar baik dalam mempersiapkan, menggunakan, mengolah maupun mengadministrasikannya, dalam hal ini adalah modul.

(25)

10. Efektif yaitu bahan ajar yang digunakan memberi pengaruh terhadap kompetensi dan karakter peserta didik setelah digunakan, dalam hal ini adalah modul

(26)

14

Secara umum penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2013:3). Menurut Herlanti (2014:16), pengertian penelitian pengembangan adalah upaya untuk mengembangkan suatu produk dan bukan untuk menguji teori. Selain itu juga, pengertian penelitian dan pengembangan menurut Sugiyono (2013:297) menjelaskan penelitian dan pengembangan (R&D) adalah penelitian untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut.

Dari uraian di atas, penelitian dan pengembangan adalah cara atau proses ilmiah yang digunakan untuk menghasilkan produk baru atau produk yang telah ada, kemudian disempurnakan sehingga menghasilkan sebuah produk yang dapat dipertanggung jawabkan keefektifan produk tersebut.

2. Modul

a. Pengertian modul

Modul adalah suatu unit yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas ( Syarifuddin, dkk, 2010: 217). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia modul adalah kegiatan program belajar mengajar yang dapat dipelajari oleh siswa dengan bantuan yang minimal dari guru meliputi perencanaan, tujuan yang akan dicapai secara jelas, penyediaan materi pelajaran, alat yang dibutuhkan dan alat untuk penilai serta keberhasilan siswa dalam penyelesaian pelajaran (Andi Prastowo, 2012:104-105).

(27)

Modul adalah sebuah bahan ajar yang ditulis dengan tujuan agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru (Abdul Majid, 2008: 176). Jadi, modul adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis sehingga siswa dapat belajar secara mandiri tanpa ada bimbingan dari guru.

b. Fungsi, Tujuan dan Kegunaannya

Modul pada dasarnya adalah sebuah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa sesuai dengan tingkat pengetahuan dan usianya agar mereka dapat belajar secara mandiri dengan bantuan atau bimbingan yang minimal dari pendidik.

Modul memiliki setidak-tidaknya empat fungsi, sebagai berikut, pertama, Bahan ajar mandiri, maksudnya penggunaan modul dalam proses pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk belajar sendiri tanpa tergantung kepada kehadiran pendidik. Kedua, Penganti fungsi pendidik, maksudnya modul adalah bahan ajar yang harus mampu menjelaskan materi pembelajaran dengan baik dan mudah dipahami oleh siswa sesuai dengan tingkat pengetahuan dan usianya. Ketiga, Sebagai alat evaluasi, maksudnya modul bisa dituntut dapat mengukur dan menilai sendiri tingkat penguasaannya terhadap materi yang telah dipelajari. Dan keempat, Sebagai bahan rujukan bagi siswa, maksudnya modul mengandung berbagai materi yang harus dipelajari oleh siswa, maka modul juga memiliki fungsi sebagai bahan rujukan bagi siswa (Andi Prastowo, 2012: 107-108)

Penyusunan atau pembuatan modul dalam kegiatan pembelajaran mempunyai lima tujuan, sebagai berikut (Andi Prastowo, 2012: 108-109) : pertama,agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa, atau, dengan bimbingan pendidik. Kedua, agar peran pendidik tidak terlalu dominan dan otoriter dalam kegiatan

(28)

pembelajaran. Ketiga, melatih kejujuran siswa. Keempat, mengakomodasi berbagai tingkat dan kecepatan belajar siswa. Kelima, agar siswa mampu mengukur sendiri tingkat penguasaan materi yang telah dipelajarinya.

Dilihat dari sisi kegunaanya, modul memiliki empat macam kegunaan dalam proses pembelajaran yaitu (Andi Prastowo, 211-212) : pertama, modul sebagai penyedia informasi dasar, karena dalam modul disajikan berbagai materi pokok yang masih bisa dikembangkan lebih lanjut. Kedua, modul sebagai bahan instruksi atau petunjuk bagi siswa. Ketiga, modul sebagai bahan pelengkap dengan ilustrasi dan foto yang komunikatif. Dan keempat, yaitu modul bisa menjadi petunjuk mengajar yang efektif bagi pendidik dan menjadi bahan untuk berlatih siswa dalam melakukan penilaian sendiri (self-assesment).

c. Jenis-Jenis Modul

Menurut penyusunannya, jenis-jenis modul dibedakan menjadi dua macam yaitu (Andi Prastowo, 2011: 111-112):

1) Modul inti

Modul inti merupakan modul yang disusun dari kurikulum dasar, yang merupakan tuntutan dari pendidikan dasar umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara Indonesia (Andi Prastowo, 2012: 212).

2) Modul pengayaan

Modul pengayaan adalah salah satu bentuk modul yang merupakan hasil dari penyusunan unit-unit program pengayaan yang berasal dari program pengayaan yang bersifat memperluas (dimensi horizontal) dan atau bersifat mendalam (dimensi vertikal) program pendidikan dasar yang bersifat umum tersebut. Modul ini disusun sebagai bagian dari usaha untuk mengakomodasi siswa yang telah menyelesaikan dengan baik

(29)

program pendidikan dasarnya mendahului teman-temannya (Andi Prastowo,2012:112).

Jadi dapat disimpulkan bahwa berdasarkan jenis penyusunannya modul itu ada dua macam yaitu modul inti dan modul pengayaan. Modul inti merupakan modul yang disusun dari kurikulum dasar yang dibutuhkan oleh semua orang. Sedangkan modul pengayaan adalah modul yang bersifat memperluas dimensi pengetahuan secara mendalam.

d. Ciri – Ciri Modul

Modul adalah paket pengajaran. Bentuk pengajaran berupa paket mempermudah peserta didik maupun pengajar dalam melaksanakan pengajaran. Sistem paket memungkinkan keseluruhan unit pembelajaran disusun secara konsisten disamping memudahkan penerapan secara efektif prinsip-prinsip pengajaran dengan modul.

Ciri–ciri sistem pengajaran modul menurut Syarifuddin, dkk (2010: 218-220) meliputi: 1) Siswa dapat belajar secara mandiri, 2) Rumusan tujuan bersumber pada perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri siswa, perubahan tingkah laku diharapkan sampai 75% 4) Membuka kesempatan kepada siswa untuk maju berkelanjutan menurut kemampuannya masing – masing. 5) Modul merupakan paket pengajaran yang bersifat self instruction. 6) Memiliki daya informasi yang cukup kuat. 7) Modul memiliki kekuatan ulang yang cukup tinggi. 8) Adanya evaluasi yang kontinu dari setiap paket program”.

Dapat disimpulkan bahwa ciri–ciri pembelajaran dengan modul adalah modul dapat digunakan sendiri, melayani perbedaan individu, memiliki tujuan pengajaran yang spesifik dan jelas, penyajian asosiatif yang sistematis dan bertahap, memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan media komunikasi, menekankan kepada partisipasi aktif peserta didik, dan evaluasi pembelajaran.

(30)

e. Unsur-Unsur Modul

Merancang sebuah modul yang baik, maka satu hal yang penting yang harus kita lakukan adalah mengenali unsur-unsurnya. Modul paling tidak harus berisikan tujuh unsur (Andi Prastowo, 2011 : 112-113), yaitu :1) Judul, meliputi judul cover depan modul dan judul untuk masing-masing bab yang disesuaikan dengan isi materi pokoknya. 2) Petunjuk belajar, berisi cara menggunakan modul. 3) Kompetensi yang akan dicapai, pada bagian ini diharapkan pembaca dapat memperoleh hasil dari proses belajar yang ditempuhnya. 4) Informasi pendukung, memuat informasi awal mengenai materi yang akan dibahas, serta penjelasan singkat tentang materi yang akan dibahas dalam modul. 5) Latihan, latihan yang diberikan kepada peserta didik (pembaca) perlu dinyatakan secara eksplisit (melakukan apa dan bagaimana) dan spesifik. 6) Lembar kerja, berisi tes pada akhir setiap bab atau akhir setiap kegiatan belajar. 7) Evaluasi, bagian ini memberikan saran kepada peserta didik, bagi yang telah menguasai materi untuk mengembangkan pengetahuan yang telah diperolehnya.

Dari uraian komponen modul di atas dapat disimpulkan bahwa, komponen modul setidaknya berisi tujuh komponen meliputi judul, petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, latihan, lembar kerja siswa, serta evaluasi. Semua komponen modul tersebut saling berkaitan satu sama yang lainnya, jadi sebelum siswa mempelajari isi materi dari modul tersebut siswa harus tahu usur atau komponen dari modul tersebut. f. Langkah-langkah penyusunan modul

Dalam menyusun sebuah modul, menurut Andi Prastowo (2012: 118 – 131 ) ada empat tahapan yang mesti kita lalui, yaitu: 1) Analisis kurikulum; 2) Menentukan judul modul 3) Pemberian kode

(31)

modul; 4) Penulisan modul. Lebih jelasnya prosedur penyusunan modul sebagai berikut:

1. Analisis kurikulum, bertujuan untuk menentukan materi-materi mana dari hasil pemetaan kompetensi inti, kompetensi dasar dan indikator serta jaringan tema yang memerlukan modul sebagai bahan ajar. Dalam menentukan materi dianalisis dengan cara melihat inti materi yang diajarkan, kemudian kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa dan hasil belajar kritis yang harus dimiliki siswa (critical learning uotcomes)

2. Menentukan judul modul, harus mengacu kepada kompetensi dasar atau materi pokok yang ada dalam kurikulum.

3. Pemberian kode modul, berupa angka-angka yang diberi makna yang fungsinya sebagai penanda tema dalam kelas, tidak sama dengan kode modul pada kurikulum konvensional.

4. Penulisan modul

Ada lima hal penting yang hendak dijadikan acuan dalam proses penulisan modul, yaitu : a) Perumusan kompetensi dasar yang harus dikuasai, b) Menentukan alat evaluasi atau penilaian, c) Penyusunan materi, d) Urutan pengajaran, e) Struktur bahan ajar modul.

3. Model Pembelajaran

a. Pengertian Model Pembelajaran

Menurut Soekamto, dkk mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah: “Kerangka konseptual yang melukiskan prosesdur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar” (Trianto,2009:22).

Joyce & Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang

(32)

bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain (Rusman,2014:133).

Arends menyatakan “The term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, syntax, environment, and management system”. Istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengolaannya (Trianto, 2009:22).

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum, sedang, dan sesudah pembelajaran yang dilakukan oleh guru serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam proses belajar mengajar.

b. Ciri-Ciri Model Pembelajaran

Model pembelajaran menurut Rusman (2014:136) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. 2) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berfikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berfikir induktif. 3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas. 4) Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan a) langkah-langkah pembelajaran (syntax); b) prinsip-prinsip reaksi; c) system social; dan d) system pendukung. 5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi a) dampak pembelajaran yaitu hasil belajar yang dapat diukur; b) dampak pengiring yaitu hasil belajar jangka panjang. 6) Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilih.

(33)

Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada strategi, metode, atau prosedur. Model pembelajaran mempunyai ciri-ciri seperti; rasional teoritik yang logis, disusun oleh para pencipta atau pengembangnya. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran tersebut tercapai.

4. Discovery Based Learning

a. Pengertian Discovery Based Learning (DBL)

Menurut Robert B, dalam Ahmadi, “Discovery” adalah proses mental dimana anak atau individu mengasimilasi konsep dan prinsip (Ahmadi,2005:76). Menurut Jerome dan Bruner dalam Fitri dan Derliana (2015:91) DBL merupakan sebuah model pengajaran yang dirancang dengan tujuan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir dan mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, yang menekankan kepada pentingnya membantu siswa untuk memahaam struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam prses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui penemuan pribadi.

Dasar dari teori Brunner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa siswa harus berperan secara aktif saat belajar di kelas. Konsepnya adalah belajar dengan menemukan (Discovery Learning), siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan berfikir siswa (Suyono dan Hariyanto,2012:88). Sedangkan menurut sanjaya bahan pelajaran dicari dan ditemukan sendiri oleh siswa melalui berbagai aktivitas, sehingga tugas guru

(34)

lebih banyak sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa (Sanjaya,2006:128).

DBL merupakan model yang digunakan untuk memecahkan masalah secara intensif di bawah pengawasan guru. Pada DBL, guru membimbing peserta didik untuk menjawab atau memecahkan suatu masalah. DBL merupakan metode pembelajaran kognitif yang menuntut guru lebih kreatif menciptakan situasi yang dapat membuat peserta didik belajar aktif menemukan pengetahuan sendiri (Hadiono,2016:3). Model pembelajaran ini menekankan agar siswa mampu menemukan informasi dan memahami konsep pembelajaran secara mandiri berdasarkan kemampuan yang dimilikinya namun tidak tanpa bimbingan dan pengawasan guru agar pembelajaran yang mereka dapatkan terbukti benar. Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme (Kemendikbud. 2013: 258).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa DBL adalah suatu kegiatan proses pembelajaran yang didasarkan pada proses menemukan. Dimana proses pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep – konsep dan prinsip – prinsip melalui proses mentalnya sendiri.

b. Langkah – langkah Discovery Based Learning

Dalam sistem belajar mengajar ini, guru tidak menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk final, tetapi anak didik diberi peluang untuk mencari dan menemukan sendiri. DBL lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Secara garis besar, Langkah–langkah model pembelajaran DBL menurut Suryanti dalam Asih dan Eka (2014:82) adalah: 1) Orientasi; 2) Merumuskan masalah; 3) Menyusun hipotesis; 4) Mengumpulkan data; 5) Menguji hipotesis; 6) Merumuskan kesimpulan.

(35)

Langkah-langkah DBL seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Sabri (2010:26) adalah sebagai berikut: 1) Stimulation (Stimulasi/ Pemberian Rangsangan Berupa Pertanyaan). 2) Probem Statement (Memberikan Hipotesis/ Jawaban Sementara). 3) Data Collection (Proses Mengumpulkan Data). 4) Data Processing (Proses mengolah data). 5) Verification (Pembuktian). 6) Generalization ( Memberikan atau menarik kesimpulan). Lebih jelasnya prosedur yang harus dilakukan dalam mengaplikasikan model pembelajaran discovery learning pada kegiatan belajar mengajar sebagai berikut:

1. Stimulation

Guru mengajukan permasalahan kepada siswa atau siswa menemukan sendiri permasalahan dalam buku teks atau sumber-sumber lainnya.

2. Problem Statement

Siswa diberi kesempatan untuk mengidentifikasi masalah serta merumuskan permasalahan yang paling menarik dan paling aktual untuk dipecahkan. Dari rumusan masalah yang dikemukakan, siswa dibimbing untuk mencari jawaban sementara atau merumuskan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah yang telah dibuat.

3. Data Collection

Untuk membuktikan rumusan hipotesis yang telah dibuat, siswa diberi kesempatan untuk membuktikannya melalui kegiatan pengumpulan data (data collection) dengan mencari dan mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan dan relevan dengan cara membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya.

(36)

4. Data Processing

Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, diklasifikasi, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaaan tertentu. 5. Verification atau Pembuktian

Dari hasil pengolahan dan penafsiran, atau informasi yang ada dan dengan bantuan analisis statistic diskriftif dan analisis statistik inferensial, dugaan sementara atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

6. Generalization

Tahap selanjutnya adalah siswa dibimbing untuk menarik kesimpulan berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan sebelumnya.

Jadi dapat disimpulkan langkah-langkah DBL dari beberapa para ahli adalah: Orientasi (memberikan motivasi berupa ransangan terhadap peserta didik). Mengajukan pertanyaan (guru memberikan pertanyaan kepada peserta didik. Merumuskan masalah, melakukan eksperimen, mengumpul data, menegelolah data, membuktikan dengan teori yang ada, menarik kesimpulkan. Langkah-langkah yang akan dipakai peneliti dalam penelitian ini yaitu langkah-langkah yang dikemukakan oleh Ahmad Sabri, yaitu: Stimulation, Problem Statement, Data Collection, Data Processing, Verification, Generalization.

c. Keunggulan Discovery Based Learning

Menurut Roestiyah (2012:21) keunggulan pembelajaran Discovery yaitu: 1) Pembelajaran ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta penggunaan keterampilan dalam proses kognitif atau pengenalan siswa. 2) Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi atau individual sehingga dapat kokoh atau mendalam tertiinggal dalam

(37)

jiwa siswa tersebut. 3) Dapat membangkitkan kegiatan belajar para siswa. 4) Pembelajaran ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya. 5) Mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat. 6) Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri. 7) Strategi itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai fasilitator saja yang membantu bila diperlukan.

Dari uraian keunggulan DBL di atas dapat disimpulkan bahwa keunggulan DBL adalah dapat mendorong keterlibatan siswa, meningkatkan motivasi siswa untuk belajar, siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran, siswa menemukan/ membentuk konsep sendiri, dan siswa mampu belajar secara mandiri.

d. Kelemahan Discovery Based Learning (DBL)

Menurut Roestiyah (2012:21) kelemahan pembelajaran DBL yaitu: 1) siswa harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. 2) Bila kelas terlalu besar penggunaan teknik ini akan kurang berhasil. 3) Guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik penemuan. 4) Dengan teknik ini ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/ pembentukan sikap dan keterampilan bagi siswa. 5) Teknik ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berfikir secara kreatif. Dari uraian kelemahan DBL di atas dapat disimpulkan bahwa kelemahan DBL adalah kadangkala terjadi kebingungan peserta didik ketika tidak disediakan semacam kerangka kerja, buku panduan, dan sebagainya. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama

(38)

untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.

5. Higher Order Thinking Skills (HOTS)

Perubahan proses pembelajaran kurikulum 2013 yaitu pada proses pembelajaran yang menekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thingking). Thomas dan Throne (2009) dalam the center of development and learning memaparkan bahwa HOTS adalah berpikir pada tingkat yang lebih tinggi dari pada menghafal fakta-fakta atau menceritakan kembali kepada seseorang sama persis seperti yang dikatakan sebelumnya. HOTS membutuhkan berpikir untuk tingkat yang lebih tinggi dari pada menegaskan kembali dan menuntut siswa untuk melakukan sesuatu dengan fakta-fakta, memahaminya, manarik kesimpulan, menghubungkannya dengan fakta dan konsep-konsep lain, mengelompokkan, memanipulasi, menempatkan mereka bersama-sama dengan cara baru atau memiliki kebaruan dan menerapkannya dengan mencari solusi baru untuk masalah baru.

Menurut Wilson keterampilan berpikir merupakan gabungan dua kata yang memiliki makna berbeda, yaitu berpikir (thinking) dan keterampilan (skills). Berpikir merupakan proses kognitif, yaitu mengetahui, mengingat, dan mempersepsikan, sedangkan arti dari keterampilan, yaitu tindakan dari mengumpulkan dan menye-leksi informasi, menganalisis, menarik kesimpulan, gagasan, pemecahan persoalan, mengevaluasi pilihan, membuat keputusan dan merefleksikan (Fanani, 2018: 60)

Menurut Barrat Higher Order Thinking Skill (HOTS) adalah keterampilan berfikir tingkat tinggi yang menuntut pemikiran secara kritis, kreatif, analitis, terhadap informasi dan data dalam memecahkan permasalahan (Fanani, 2018:3). Menurut Haig, berfikir tingkat tinggi merupakan jenis pemikiran yang mencoba mengeksplorasi

(39)

pertanyaan-pertanyaan mengenai pengetahuan yang ada terkait isu-isu yang tidak didefinisIkan dengan jelas dan tidak memiliki jawaban yang pasti (Fanani, 2018 : 3-4).

King et al. dalam Fanani (2013,60-61) mengkategorikan HOTS sebagai berikut: (1) berpikir kritis dan berpikir logis, (2) berpikir reflektif, (3) berpikir metakognitif, dan (4) berpikir kreatif. Mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi (HOTS) menuntut latihan menemukan pola, menyusun penjelasan, membuat hipotesis, melakukan generalisasi, dan mendokumentasikan temuan-temuan dengan bukti. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang memicu siswa untuk berfikir tingkat tinggi menuntut penggunaan strategi pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif, sehingga siswa memiliki kesempatan untuk mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan. Pendekatan semacam ini sangat sesuai dengan harapan kurikulum 2013.

Dalam Taksonomi Bloom yang telah direvisi kemampuan berpikir tingkat tinggi melibatkan menganalisis (C4), mengevaluasi (C5) dan Mencipta (C6) (Anderson dan Karhwohl, 2001).

a. Analysis (menganalisis)

Analisis diartikan siswa mampu untuk menguraikan sutau peristiwa atau situasi yang kompleks atas konsep-konsep dasar menjadi sebuah ide yang lebih jelas mengambarkan hubungan antara ide-ide. Level ini merujuk pada kemampuan anak didik dalam menguraikan, membandingkan, mengorganisir, menyusun ulang, mengubah struktur, mengkerangkakan, menyusun outline, mengintegrasikan, membedakan, menyamakan, mengelompokkan, menjelaskan cara kerja sesuatu, menganalisis hubungan antara bagian-bagian, mengenali motif atau struktur organisasi, dan sebagainya.

(40)

b. Evaluating (mengevaluasi)

Mengevaluasi adalah proses membuat keputusan berdasarkan pertimbangan pada kriteria dan standar. Level ini merujuk pada kemampuan siswa memberikan justifikasi terhadap sesuatu yang dievaluasi. Ini berarti, siswa dengan sendirinya memiliki berbagai bahan pertimbangan yang diperlukan untuk memberi nilai. Evaluasi dapat dalam bentuk kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan atas kriteria internal atau eksternal. Selain itu siswa mampu menyusun hipotesis, mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, membenarkan, menyalahkan, dan sebagainya.

c. Creating (berkreasi)

Mencipta adalah proses kognitif yang melibatkan proses penggabungan unsur-unsur menjadi sebuah struktur yang koheren dan fungsional. Level ini merujuk pada kemampuan siswa memasudan berbagai macam informasi dan mengembangkannya sehingga terjadi sesuatu bentuk baru. Selain itu juga ditujukkan dengan kemampuan dalam merancang, membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan, memperkuat, memperindah, mengubah, dan sebagainya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah kemampuan berfikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan berfikir kreatif yang merupakan kemampuan berfikir tingkat tinggi. HOTS atau kemampuan berfikir tinggi merupakan suatu kemampuan berfikir yang tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi, seperti kemapuan berfikir kreatif dan kritis.

(41)

6. Soal Higher Order Thinking Skills (HOTS) a. Pengertian soal HOTS

Soal-soal HOTS merupakan instrumen pengukuran yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu kemampuan berpikir yang tidak sekadar mengingat (recall), menyatakan kembali (restate), atau merujuk tanpa melakukan pengolahan (recite). Soal-soal HOTS pada konteks asesmen mengukur kemampuan yaitu (Widana, 2017: 3). 1) Transfer satu konsep ke konsep lainnya. 2) Memproses dan menerapkan informasi. 3) Mencari kaitan dari berbagai informasi yang berbeda-beda. 4) Menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah. 5) Menelaah ide dan informasi secara kritis

Dimensi berpikir dalam Taksonomi Bloom sebagaimana yang telah disempurnakan oleh Anderson & Krathwohl (2001), terdiri atas kemampuan: mengetahui (knowing-C1), memahami (understanding-C2), menerapkan (aplying-C3), menganalisis (analyzing-C4), mengevaluasi (evaluating-C5), dan mengkreasi (creating-C6). Soal-soal HOTS pada umumnya mengukur kemampuan pada ranah menganalisis (analyzing-C4), mengevaluasi (evaluating-C5), dan mengkreasi (creating-C6). Pada penyusunan soal-soal HOTS umumnya menggunakan stimulus. Stimulus merupakan dasar untuk membuat pertanyaan. Dalam konteks HOTS, stimulus yang disajikan hendaknya bersifat kontekstual dan menarik.

b. Karakteristik soal-soal HOTS

Pada penyusunan soal-soal HOTS memiliki karakteristik sebagai berikut :1) Mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, meminimalkan aspek ingatan atau pengetahuan, ciri-ciri kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu : menemukan, menganalisis, menciptakan metode baru, merefleksi, memprediksi, berargumen, mengambil keputusan yang tepat. 2) Berbasis permasalahan

(42)

kontekstual. 3) Stimulus menarik. 4) Menggunakan bentuk soal beragam

c. Level kognitif

Anderson & Krathwohl (2001) mengklasifikasi dimensi proses berpikir adalah seperti Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Dimensi Proses Berpikir

HOTS Mengkreasi  Mengkreasi ide/gagasan sendiri

 Kata kerja : mengkonstruksi, desain, kreasi, mengembangkan, menulis, memformulasikan

Mengevaluasi  Mengambil kesputusan sendiri  Kata kerja : evaluasi, menilai,

menyanggah, memutuskan, memilih, mendukung

Menganalisis  Menspesikasi aspek-aspek/elemen  Kata kerja : membandingkan, memeriksa, mengkritisi, menguji MOTS

Mengaplikasi  Menggunakan informasi pada domain berbeda

 Kata kerja : menggunakan, mendemonstrasikan,

mengilustrasikan, mengoperasikan Memahami  Menjelaskan ide/konsep

 Kata kerja : menjelaskan, mengklasifikasi, menerima, melaporkan

LOTS

Mengetahui  Mengingat kembali

 Kata kerja : mengingat, mendaftar, mengulang, menirukan

(Sumber : Anderson & Krathwohl, 2001, dalam Direktorat:7 7. Modul Berorientasi Discovery Based Learning (DBL) untuk

Meningkatkan HOTS Siswa

Discovery based learning adalah pembelajaran yang didasarkan pada proses penemukan. Proses berlangsung dengan cara memberikan stimulus atau rangsangan yang dapat mendorong siswa untuk ikut terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran, dan peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan fasilitator. Proses pembelajaran

(43)

dapat dipermudah dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat. Modul merupakan media yang sering digunakan dalam pembelajaran. Modul yang digunakan dalam proses pembelajaran merupakan pelengkap sekaligus alat untuk menunjang pembelajaran agar berjalan sistematis dan dapat membantu siswa secara langsung untuk memulai pekerjaanya.

Modul berorientasi DBL dikembangkan sesuai dengan komponen Modul secara umum dan digabungkan dengan DBL. Peran Modul berorientasi DBL sebagai media pembelajaran yaitu sebagai alat siswa untuk memulai, memandu, dan merekam segala aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan DBL. Tahapan-tahapan dalam proses pembelajaran DBL meliputi stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification, dan generalization.

Contohnya pada tahap problem statement, pada tahap ini peserta didik diminta untuk membuat sebuah hipotesis atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah diberikan oleh guru. Pada tahap problem statement inilah siswa dituntut berfikir tingkat tinggi (HOTS) siswa. Selanjutnya pada tahap generalization, pada tahap ini peserta didik dibimbing untuk menarik kesimpulan dari permasalahan yang telah diajukan oleh guru berdasarkan hasil verifikasi yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga peserta didik dapat menemukan konsep yang sebenarnya dari permasalahan yang telah diajukan sebelumnya.

Modul ini juga dilengkapi dengan soal-soal evaluasi. Soal-soal tersebut mengacu pada cara berpikir tingkat tinggi siswa berdasarkan langkah-langkah tahapan DBL. Kelebihan modul dengan DBL ini yaitu, modul yang akan dikembangkang telah disesuaikan dengan kurikulum 2013 yaitu dengan DBL dan modul yang dikembangkan digunakan untuk meningkatkan HOTS siswa

(44)

8. Materi Ajar

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah materi pelajaran SMA/MA kelas XI semester I yaitu elastisitas dan hukum hooke, dengan KI dan KD pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3

Tabel 2.2 KI Kelas XI SMA/MA pada Kurikulum 2013

KI 1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

KI 2 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

KI 3 Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

KI 4 Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan

(sumber. Permendikbud No 24 tahun 2016)

Tabel 2.3 KD Kelas XI SMA/MA pada Kurikulum 2013 KD

3.2

Menganalisis sifat elastisitas bahan dalam kehidupan sehari-hari

KD 4.2

Melakukan percobaan tentang sifat elastisitas suatu bahan berikut presentasi hasil dan makna fisisnya

(sumber. Permendikbud No 24 Tahun 2016)

Silabus untuk materi elastisitas dan hukum hooke kelas XI SMA/MA yang terdapat pada tabel 2.4.

(45)

Tabel 2.4 Silabus Elastisitas dan Hukum Hooke

Kompetensi Dasar Materi Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran 3.2 Menganalisis sifat elastisitas bahan dalam kehidupan sehari-hari 4.2 Melakukan percobaan tentang sifat elastisitas suatu bahan berikut presentasi hasil dan makna fisisnya Elastisitas dan Hukum Hooke:  Hukum Hooke  Susunan pegas seri-paralel  Mengamati dan menanya sifat elastisitas bahan dalam kehidupan sehari-hari  Mendiskusikan pengaruh gaya terhadap perubahan panjang pegas/karet dan melakukan percobaan hukum Hooke dengan menggunakan pegas/karet, mistar, beban gantung, dan statif secara

berkelompok  Mengolah data dan

menganalisis hasil percobaan ke dalam grafik, menentukan persamaan, membandingkan hasil percobaan dengan bahan pegas/karet yang berbeda, perumusan tetapan pegas susunan seri-paralel  Membuat laporan

hasil percobaan dan mempresentasikann ya

(sumber: silabus fisika SMA Kurtilas edisi revisi 2016) 9. Validitas, Praktikalitas, dan Efektifitas

a. Validitas

Menurut Syaifudin Anwar dalam Mulyadi validitas merupakan syarat yang terpenting dalam suatu alat evaluasi. Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketetapan dan kecermatan suatu instrumen pengukuran dalam

(46)

melaksanakan fungsi ukurnya (2014:36). Jadi validitas merupakan suatu kriteria menilai kualitas suatu alat dan prosedur pengukuran. Bila suatu alat dapat mengukur sesuatu yang hendak diukur dengan tepat maka alat ukur tersebut dapat dikatakan valid. Sesuai yang dikatakan dalam Suharsimi Arikunto bahwasanya sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur (2015:80).

Dalam penelitian ini penulis melakukan validasi terhadap produk yang dikembangkan yaitu modul, RPP. Angket respon, dan soal. Indikator validasi modul diantaranya; Kesesuaian tujuan pembelajaran dengan KI dan KD, karakteristik modul, kesesuaian bahasa, dan bentuk fisik (Arsyad,2011:175-176). Indikator validasi RPP diantaranya; format RPP, isi RPP, dan bahasa RPP (Trianto,2011:98). Indikator validasi angket respon diantaranya; format angket, bahasa yang digunakan, dan butir pertanyaan angket. Indikator validasi soal diantaranya; validasi isi dan validasi muka. Hasil validitas dapat dicari persentasenya dengan rumus:

Hasil yang diperoleh kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Kategori Validitas Bahan Ajar No Range Persentase kriteria

1 0-20 Tidak valid 2 21-40 Kurang valid 3 41-60 Cukup valid 4 61-80 Valid 5 81-100 Sangat valid (Sumber: Riduwan, 2007: 89) b. Praktikalitas

Praktikalitas merupakan salah satu bentuk pengukuran apakah instrumen yang dirancang sudah praktis atau tidak. Kepraktisan suatu produk penting untuk diperhatikan. Menurut

(47)

Zaenal Arifin (2009: 264) kepraktisan mengandung arti kemudahan suatu produk, baik dalam mempersiapkan, menggunakan, mengolah dan menafsirkan, maupun mengadministrasikannya.

Untuk menguji praktikalitas suatu produk maka dilakukan prosedur pengumpulan data sebagi berikut:

1) Peneliti membagikan produk

2) Peneliti memberikan arahan atau menjelaskan salah satu materi yang terdapat pada produk

3) Siswa menggunakan produk sebagai bahan ajar

4) Peneliti mengumpulkan data melalui observasi dan angket berdasarkan pelaksanaan serta kemudahan menggunakan produk yang dikembangkan.

Menurut Sukardi (2008:52), pertimbangan praktikalitas dapat dilihat dari aspek-aspek berikut: (1) kemudahan penggunaan, meliputi: mudah diatur, disimpan, dan dapat digunakan sewaktu-waktu; (2) waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan sebaiknya singkat, cepat dan tepat; (3) perangkat memiliki daya tarik; (4) mudah diinterpretasikan oleh guru ahli maupun guru lain.

Adapun pedoman untuk menghitung persentase skor dari instrumen yang telah dirancang adalah:

Hasil yang diperoleh kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Kategori Praktikalitas Bahan Ajar No Range Persentase kriteria

1 0-20 Tidak praktis 2 21-40 Kurang praktis 3 41-60 Cukup praktis 4 61-80 Praktis 5 81-100 Sangat praktis (Sumber: Riduwan, 2007: 89)

Gambar

Gambar 1.1   Analisis  Hasil  UH  Peserta  didik  Materi  Elastisitas  dan  Hukum Hooke
Gambar 1.2 A  Gambar 1.2 B
Tabel 2.1 Dimensi Proses Berpikir
Tabel 2.2 KI Kelas XI SMA/MA pada Kurikulum 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Realisasi penggunaan dana desa pada tahun 2015 yang dilakukan oleh desa-desa kategori tertinggal sudah sesuai dengan prioritas penggunaan dana desa yang telah

Para Pekerja migran dan anggota keluarganya harus memiliki hak untuk menerima perawatan kesehatan yang sangat mendesak yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka atau

Menganalisis alur transaksi, syarat, bukti p enjualan kredit Menyajikan transaksi dan alur transaksi penjualan (eksternal) Mencatat transaksi pada dokumen administrasi

bahwa Aplikasi Informasi Rute Bus TransJogja dan Informasi Wisata Kota Yogyakarta Berbasis J2ME ini mampu memberikan informasi kepada SHQJJXQD GHQJDQ HIHNWLI GDQ

Beribadah merupakan salah satu etika yang disemai dalam mindset para santri dan guru-guru di Pesantren Gontor dalam menjalankan aktivitas seharian. Beribadah juga

Arsitektur Islami awal yang bertahan dan diperkirakan memiliki model yang mendekati Gereja Kristen Holy Sepulchre  Dome of the Rock dibangun tidak hanya

Rendahnya kesertaan KB Pria tentu dipandang sebagai wujud failed policy pemerintah sehingga perlu mendapat perhatian serius, dan studi ini dimaksudkan untuk

Keberhasilan pengawas dalam membimbing guru salah satunya terletak dari strategi yang digunakannya dalam kepengawasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1)