• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI KASUS MENGENAI STRATEGI

COPING

PADA

INDIVIDU BISEKSUAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Kinanti Paramesti

NIM : 049114014

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

SKRIPSI

STUDI KASUS MENGENAI STRATEGI

COPING

PADA

INDIVIDU BISEKSUAL

Oleh : Kinanti Paramesti NIM : 049114014

Telah disetujui oleh :

Pembimbing

(3)

iii

SKRIPSI

STUDI KASUS MENGENAI STRATEGI

COPING

PADA

INDIVIDU BISEKSUAL

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Kinanti Paramesti NIM : 049114014

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji pada tanggal: 18 Agustus 2011

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji 1 : Agnes Indar E., S.Psi., Psi., M.Si . . . Penguji 2 : Dr. Christina Siwi Handayani . . . Penguji 3 : C. Siswa Widyatmoko, S. Psi. . . .

Yogyakarta, 17 September 2011011 Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,

(4)

iv

God

is able to make all grace abound to you so that in all things at all time,

having all you need, you will abound in every good work. [2 Cor. 9 : 8]

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 17 September 2011

(6)

vi

STUDI KASUS MENGENAI STRATEGI COPING PADA INDIVIDU BISEKSUAL

Kinanti Paramesti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi coping yang dilakukan oleh individu biseksual yang telah mengakui orientasi seksualnya. Penelitan dilakukan pada dua subjek yang memiliki karakteristik biseksual dan sudah mengakui orientasi seksualnya pada keluarga dan teman. Strategi penelitian ini menggunakan cara wawancara dalam pengumpulan data. Pertanyaan dalam wawancara disusun dengan sifat yang terbuka dan netral. Pertanyaan yang diberikan kepada subjek meliputi latar belakang penyimpangan seksual, respon negatif (tekanan) dari diri sendiri, respon negatif (tekanan) dari orang lain, strategi coping, dan kondisi setelah melakukan strategi coping. Dalam penelitian ini diketahui bahwa subjek pertama mulai tertarik sengan sesama maupun lawan jenis dari bangku sekolah. Subjek cukup banyak mendapat tekanan dari keluarga dan teman. Strategi coping yang paling sering subjek pertama lakukan adalah active coping dan restraint coping. Kondisi setelah subjek melakukan strategi coping masih sama dengan sebelumnya. Kedua orangtua subjek tetap tidak bisa menerima kondisi subjek yang biseksual. Strategi coping yang dilakukan subjek pertama sebatas mengatasi rasa cemas subjek pada saat terjadi tekanan. Pada subjek kedua ketertarikan pada sesama dan lawan jenis dimulai pada akhir masa sekolah. Tekanan yang diterima subjek lebih banyak dari teman. Strategi coping yang paling sering dilakukan subjek kedua adalah active coping dan positive reinterpretation. Strategi coping yang dilakukan oleh subjek kedua cukup dapat mengatasi tekanan yang dialami subjek. Keluarga subjek kedua dapat menerima kondisi subjek dan kemudian memberi dukungan berupa nasehat. Pada kedua kasus ada kesamaan pengalaman, yaitu kedua subjek mendapat tekanan dari teman dan paling sering menggunakan strategi coping berupa active coping.

(7)

vii

CASE STUDY OF COPING STRATEGY ON BISEXUAL INDIVIDUAL

Kinanti Paramesti ABSTRACT

This study aimed to find out about coping strategies done by bisexual who has admitted their sex orientation. Research carried out on two subjects that have the characteristics of bisexual and already admitted their sex orientation to families and friends. The strategies that are used in this study are using interviews in data collection. The question in the interview is prepared openly and neutrally. The questions given to the subjects include deviant sexual background, negative responses (pressures) from oneself, negative responses (pressures) from other people, coping strategies, and afterward condition. The finding of this study is that the first subject was attracted to both sexes in his school year. The subject experienced a lot of pressure from his family and friends. Active coping and restraint coping was the two most used coping strategies by the subject. The subject’s condition after coping was almost the same as before. Both parents still wouldn’t accept the subject’s condition. The coping strategies that were done by the first subject were only decreasing the subject’s anxiety when the pressure happened. For the second subject, the attraction for both sexes started in the subject’s end of school year. The pressure was experienced mostly from the subject’s friends. Active coping and positive reinterpretation was the two most used coping strategies by the second subject. The coping strategies that were done could handle the pressures that were experienced by the subject. The second subject’s family accepted the subject’s condition and further more gave advices. In the two cases there were similarity in experiences, which was both subject experienced pressures from their friends and the most used coping strategy was active coping.

(8)

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Kinanti Paramesti

Nomor Mahasiswa : 049114014

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

STUDI KASUS MENGENAI STRATEGI COPING PADA INDIVIDU BISEKSUAL

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta,

Pada tanggal, 17 September 2011

Yang menyatakan

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang ada di surga, akhirnya karya tulis ini bisa terselesaikan. Proses di dalam penyelesaian penelitian ini tidaklah mudah, tetapi karena ada bantuan dari berbagai pihak, saya menjadi merasa mampu untuk melaluinya. Oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Ibu Agnes Indar E., S.Psi., M.Si., Psi. selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi, atas nasehat, saran, dan kesabaran dalam proses penulisan skripsi ini, saya mengucapkan banyak terima kasih.

2. Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen pembimbing akademik, atas bimbingan dan pendampingannya selama ini, saya mengucapkan banyak terima kasih.

3. Ibu Sylvia CMYM., M.Si. yang juga telah membimbing saya dalam penulisan skripsi, atas pengalaman yang mendewasakan dan kesabarannya, saya ucapkan banyak terima kasih.

4. Bapak dan ibu tercinta yang telah membesarkan, mendidik dan tak pernah berhenti memberikan doa, kasih sayang, dorongan, motivasi, dukungan materi dan moral serta ketulusan disepanjang hidupku.

5. Kakakku, Raditya Kertiyasa, meski jauh tapi aku tak pernah merasa kurang dikasihi dan didukung olehmu... miss u so...

6. Ardanti Sarasati dan Lintang Krisantium. Terima kasih untuk pengertian kalian, kesabaran, kasih sayang dan dukungan yang tiada henti... I love you both...

7. Kriska Irma Kidmada dan Ajeng Paramita Dwiningsih. Terima kasih buat dukungan, waktu, tenaga, cerita, semuanya lah.... Makasiih yaaa...

(10)

x

9. Subjek yang telah bersedia diwawancara.

10.Mas Gandung, mbak Nanik, dan pak Gie untuk senyum dan keramahannya..

11.Semua saudaraku...terima kasih atas doa-nya.

12.dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu atas bantuan maupun dukungan nya sehingga saya bisa melalui proses ini, saya mengucapkan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa hasil yang dicapai jauh dari sempurna dan penulis berterima kasih atas kritik dan saran yang membangun, harapan penulis semoga penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak yang berkepentingan untuk dapat menambah ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, Juli 2011

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PESETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. LANDASAN TEORI ... 8

A. Strategi Coping ... 8

1. Pengertian Strategi Coping ... 8

2. Bentuk-bentuk Strategi Coping... 9

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping ... 12

(12)

xii

1. Pengertian Biseksual ... 13

2. Faktor yang Mempengaruhi Orientasi Seksual ... 16

3. Dampak Psikologis Biseksual ... 16

C. Biseksual pada Individu Dewasa Awal ... 17

1. Aspek Fisik ... 17

2. Aspek Kognitif ... 18

3. Aspek Sosio-Emosional ... 18

D. Biseksual di Indonesia ... 19

E. Strategi Coping pada Individu Biseksual ... 22

BAB III. METODE PENELITIAN ... 25

A. Jenis Penelitian ... 25

B. Subjek Penelitian ... 26

C. Batasan Istilah... 27

D. Metode Pengumpulan Data ... 27

E. Wawancara ... 27

F. Observasi ... 29

G. Metode Analisis Data ... 30

H. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data ... 33

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Tahap Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 34

1. Persiapan ... 34

2. Pelaksanaan ... 35

B. Hasil Penelitian ... 35

1. Subjek 1 ... 35

(13)

xiii

b. Catatan Lapangan ... 38

c. Hasil Wawancara ... 39

2. Subjek 2 ... 43

a. Latar Belakang ... 43

b. Catatan Lapangan ... 46

c. Hasil Wawancara ... 46

C. Pembahasan ... 48

Subjek 1 ... 48

Subjek 2 ... 54

BAB V. KESIMPULAN ... 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

1. Tabel Panduan Wawancara ... 29

2. Tabel Kode Strategi Coping ... 32

3. Tabel Kode Jenis Respon Negatif ... 32

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabel Verbatim Subjek 1 Wawancara 1 ... 62

2. Tabel Verbatim Subjek 1 Wawancara 2 ... 94

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Homoseksualitas merupakan suatu kondisi yang kontroversial di masyarakat dewasa ini. Tiap orang di berbagai belahan dunia memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai homoseksualitas. Di beberapa belahan dunia, kaum homoseksual telah dapat diterima eksistensinya oleh masyarakat, bahkan pengakuan akan aktualisasi diri mereka. Namun, terdapat juga di beberapa negara, dimana kaum homoseksual kemudian ditekan dan didiskriminasi oleh masyarakat. Statusnya sebagai manusia secara utuh tentunya ingin diakui, namun orientasi seksualnya yang menyimpang dari norma agama, moral maupun sosial membuat kaum homoseksual semakin dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat pada umumnya. Setiap orang memiliki tantangan dan permasalahan masing-masing dalam menjalani kehidupan. Tekanan yang dialami berbeda pada tiap orang baik dari jenis maupun intensitasnya. Ada masanya ketika tekanan tersebut datang secara bertubi-tubi dengan intensitas yang sangat kuat sehingga menimbulkan stres pada orang yang mengalaminya. Hal seperti ini tentunya juga dialami oleh kaum homoseksual

(16)

di mana ia menilai kondisi itu sebagai sesuatu yang membebaninya atau melebihi kesanggupannya dan membahayakan kesejahteraannya (dalam Gunadi, 2008).

Untuk mengatasi stresor-stresor tersebut, maka strategi coping sangat dibutuhkan. Menurut Mu’tadin (2002), strategi coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, menoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Perubahan atau penyesuaian secara kognitif maupun perilaku ini dilakukan untuk memperoleh rasa aman dalam diri. Strategi coping yang biasa digunakan oleh individu digolongkan menjadi dua, yaitu: problem-solving focused coping dan emotion-focused coping. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984). Meski demikian, pemilihan strategi coping yang dilakukan setiap orang berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan kepribadian setiap orang berbeda dan intensitas stres yang dialami tiap orang juga berbeda.

(17)

wanita pada sebuah pertunjukan teater. Di masa kini, telah banyak ditemui juga pria metroseksual yang sangat memperhatikan penampilan serta merawat tubuh mereka selayaknya wanita. Jumlah pria homoseksual diperkirakan 3-4 kali lebih banyak daripada jumlah wanita homoseksual (Kartono, 1989). Berbagai pandangan yang muncul mengenai homoseksualitas ini berbeda-beda. Secara umum, perilaku heteroseksual dianggap sebagai perilaku seksual yang wajar, sedangkan secara tradisional perilaku homoseksual dianggap sebagai perilaku seksual yang tidak wajar.

Dalam penelitian Kinsey yang dilakukan di Amerika Serikat (dalam Pettijohn, 1992), tercatat 37 persen pria dan 13 persen wanita pernah melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, dimana 3 persen pria dan 1 persen wanita tersebut adalah homoseksual eksklusif, sehingga Kinsey menyimpulkan hampir tak ada atau jarang sekali orang-orang yang mempunyai homoseksualitas saja atau heteroseksualitas saja. Orang yang berada di tengah-tengah antara kutub ekstrem homoseksual dan kutub ekstrem heteroseksual adalah kelompok orang-orang yang memiliki kedua unsur homoseksual maupun heteroseksual yang biasa disebut biseksual atau biseks.

(18)

maupun dengan pria dapat mengakibatkan munculnya reaksi-reaksi negatif. Misalnya saja hukum negara yang tidak memperbolehkan terjadinya pernikahan antara sesama jenis kelamin, norma agama yang tidak memperbolehkan hubungan homoseksual, aturan tidak tertulis yang berlaku di masyarakat untuk menghindari relasi dengan kaum homoseksual, menutup kesempatan bagi kaum homoseksual untuk berkarya / bekerja, bersekolah atau pun kesempatan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang sama dengan yang lain (Adesla, 2009). Hal-hal tersebut dapat memicu tekanan stres yang cukup berat bagi individu biseks.

Selain itu, konflik internal individu biseks berkaitan dengan orientasi seksualnya juga menambah tekanan stres. Tekanan stres yang diterima, jika sampai melampaui batas kesanggupan individu untuk menghadapi dan mengatasinya, dapat berujung kematian akibat perencanaan bunuh diri. Menurut Gibson (1989), perencanaan bunuh diri pada remaja homoseksual akibat konflik internal berkaitan dengan orientasi seksual memiliki persentasi yang cukup tinggi.

Untuk mengetahui bagaimana strategi coping yang dilakukan individu biseksual yang telah mengakui orientasi seksualnya pada keluarga dan/atau teman individu, maka dilakukan penelitian berupa studi kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana individu biseksual memilih langkah-langkah strategi coping, tekanan yang dialami sebelum melakukan strategi

(19)

diperoleh pemahaman secara keseluruhan atau komprehensif mengenai individu biseksual.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi coping yang dilakukan oleh individu biseksual, tekanan yang dialami sebelum melakukan melakukan strategi coping, beserta kondisi individu biseksual sebelum dan sesudah melakukan strategi coping?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus yang bertujuan untuk mengetahui strategi

coping yang dilakukan oleh individu biseksual, tekanan yang dialami sebelum melakukan melakukan strategi coping, beserta kondisi individu biseksual sebelum dan sesudah melakukan strategi coping.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

a. Umum

(20)

b. Khusus

Secara khusus hasil penelitian ini dapat menjadi referensi ilmu psikologi di area kesehatan mental, mengenai dinamika strategi

coping individu biseksual, baik sebagai penelitian lanjutan maupun penelitian lain secara lebih teliti dan menyeluruh dengan subjek biseksual.

2. Praktis

a. Bagi kaum biseksual

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai strategi coping sehingga kehidupan kaum biseksual dapat terbantu dengan strategi coping yang tepat dan dapat menjalani hidup dengan lebih siap dan bahagia.

b. Bagi masyarakat umum

(21)

c. Bagi lembaga terkait LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk memberi pembinaan pada kaum homoseksual, khususnya bagi kaum biseksual.

d. Bagi penulis

(22)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Strategi Coping

1. Pengertian Strategi Coping

Mu’tadin (2002) mengemukakan bahwa strategi coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Strategi coping bukan hanya dilakukan dengan tubuh saja, namun secara kejiwaan dan psikis juga ada usaha untuk melakukan strategi coping. Hal ini biasanya dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh rasa aman yang diinginkan.

Beberapa karakteristik strategi coping menurut Folkman dan Lazarus (dalam Taylor, 1999) adalah:

a. Coping merupakan suatu proses yang dinamis; sebuah rangkaian yang terdiri atas interaksi antara individu (dengan segala kemampuan, nilai, dan komitmen) dengan lingkungan (beserta sumber-sumber, tuntutan dan paksaan).

b. Definisi coping menggambarkan adanya keluasan cakupan. Proses

coping meliputi seluruh tindakan dan reaksi terhadap situasi stressful. c. Coping sangat berkaitan erat dengan penilaian yang dilakukan individu

(23)

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi

coping merupakan sebuah proses individu untuk memahami dan menilai situasi penuh tekanan dan kemudian menentukan apa yang akan dilakukannya secara mental maupun perilaku untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan tekanan tersebut.

2. Bentuk-bentuk Strategi Coping

Strategi coping yang biasa digunakan oleh individu digolongkan menjadi dua, yaitu: Problem-solving Focused Coping (PFC), dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan Emotion Focused Coping (EFC), dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan (Mu’tadin, 2002).

Oleh Carver, Scheier, dan Weintraub (1989), penggolongan strategi

coping dibagi lagi menjadi 13 yang didasari oleh penelitian yang telah mereka lakukan beberapa kali. Terdapat 5 bentuk strategi coping yang termasuk Problem-solving Focused Coping (PFC) dan 8 bentuk strategi

coping yang termasuk Emotion Focused Coping (EFC). Ketiga belas bentuk strategi coping tersebut adalah:

(24)

1) Active coping atau coping aktif, ditandai dengan adanya langkah nyata yang dilakukan individu untuk menyelesaikan atau menghadapi masalah.

2) Planning atau membuat perencanaan, ditandai dengan adanya usaha untuk memikirkan cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi stresor atau usaha untuk membuat perencanaan penyelesaian masalah

3) Suppresison of competing activities atau menekan aktivitas tandingan, ditandai dengan adanya usaha individu untuk mengurangi perhatian dari aktivitas lain sehingga dapat lebih memfokuskan diri pada permasalahan yang sedang dihadapi. 4) Restraint coping atau menunggu waktu yang tepat untuk bertindak,

ditandai dengan usaha individu untuk menunggu waktu dan kesempatan yang tepat untuk bertindak.

5) Seeking social support for instrumental reasons atau mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental, terwujud dalam usaha individu untuk mencari saran, bantuan, dan informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.

b. Strategi coping yang termasuk dalam Emotion Focused Coping (EFC)

meliputi;

(25)

usaha individu untuk mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman dari orang lain.

2) Positive Reinterpretation atau penilaian kembali secara positif, ditandai dengan adanya usaha untuk memaknai semua kejadian yang dialami sebagai sesuatu hal yang positif dan bermanfaat bagi perkembangan diri.

3) Acceptance atau penerimaan, ditandai dengan adanya sikap untuk menerima kejadian dan peristiwa sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi.

4) Denial atau penyangkalan, ditandai dengan usaha dari individu untuk menolak atau menyangkal kejadian sebagai sebuah kenyataan yang harus dihadapi.

5) Turning to religion atau berpaling pada agama, ditandai oleh adanya usaha untuk mencari kenyamanan dan rasa aman dengan cara berpaling pada agama.

6) Focusing on and venting emotions atau berfokus pada emosi dan penyaluran emosi, ditandai dengan adanya usaha untuk meningkatkan kesadaran akan adanya tekanan emosional dan secara bersamaan melakukan upaya untuk menyalurkan perasaan-perasaan tersebut.

(26)

8) Mental disengagement atau pelepasan secara mental, ditandai dengan adanya usaha dari individu untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang dialami dengan melakukan aktivitas-aktivitas lain seperti berkhayal atau tidur.

Dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi situasi penuh tekanan, individu akan menggunakan strategi coping yang berfokus untuk menyelesaikan masalah dan/atau menggunakan strategi coping yang melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya sebagai cara menyesuaikan diri dengan dampak tekanan tersebut.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

Coping sebagai suatu proses dimana individu berusaha menangani situasi yang mengandung tekanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik atau energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial dan materi (Mu’tadin, 2002). Lazarus (dalam Gunadi, 2008) menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi seseorang terhadap stresor atau tekanan sebagai berikut:

a) Faktor perilaku: durasi berlangsungnya stresor dan seberapa terduganya stresor tersebut.

(27)

seringnya mengalami peristiwa di luar kendalinya (learned helplessness), dan mental hardiness (keberanian, ketangguhan) c) Faktor sosial: dukungan emosional (rasa dikasihani), dukungan nyata

(bantuan dan jasa), serta dukungan informasi (nasehat dan keterangan mengenai masalah tertentu).

Oleh Terry (dalam Taylor, 1999) disebutkan bahwa faktor-faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam melakukan

coping antara lain seperti, karakter kepribadian dan gaya coping. Sedangkan Cohen dan Edward (dalam Taylor, 1999) menyebutkan juga terdapat faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam melakukan coping seperti; waktu, uang, dukungan sosial, dan kehadiran sumber stres yang lain. Berbagai faktor ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi strategi coping dimana pembagian atas faktor-faktor tersebut berbeda-beda dan mereka saling berkaitan dan saling mempengaruhi, namun pada dasarnya faktor-faktor tersebut merupakan faktor internal dan eksternal dari individu.

B. Individu Biseksual

1. Pengertian Biseksual

(28)

meskipun pada sebagian besar orang impuls-impuls homoseksualitas itu tetap laten.

Penelitian yang dilakukan oleh Alfred C. Kinsey di Amerika Serikat (dalam Pettijohn, 1992) mendukung pendapat Freud di atas. Dari hasil penelitiannya, Kinsey membuat suatu skala yang bergerak dari angka 0 sampai 6 yang merupakan sinambungan atau kontinum antar kubu heteroseksual ekstrem (0) dan kubu homoseksual ekstrem (6). Menurut pengkajian Kinsey dan kawan-kawan, orang-orang yang masuk kategori angka 0 ataupun 6 pada skala ini jarang sekali atau hampir tidak ada. Yang ada adalah orang-orang yang perilaku seksnya berkisar antara 1 dan 5.

Angka 1 menunjukkan heteroseksual dengan sedikit kecenderungan homoseksual. Angka 2 mulai menunjukkan kecenderungan homoseksual, akan tetapi yang dominan masih kecenderungan heteroseksual. Angka 3 menunjukkan seseorang tertarik kepada laki-laki maupun perempuan, yaitu perilaku seks yang disebut biseksual. Angka 4 menunjukkan kecenderungan homoseksual yang menonjol, dengan sedikit kecenderungan heteroseksual. Angka 5 menunjukkan homoseksual yang kuat dengan sedikit kecenderungan heteroseksual (dalam Oetomo, 2001).

(29)

a. Homoseksual Eksklusif, artinya bagi laki-laki ini daya tarik perempuan sama sekali tidak membuatnya terangsang secara seksual, ia sama sekali tidak mempunya minat seksual terhadap perempuan. Jika ia memaksakan diri untuk mengadakan hubungan sekasual dengan perempuan, maka ia akan impoten.

b. Homoseksual Fakultatif, artinya tingkah laku homoseksual hanya dilakukan sebagai usaha menyalurkan dorongan seksualnya, yakni pada situasi-situasi mendesak dimana sulit kemungkinan untuk mendapatkan pasangan lawan jenis.

c. Biseksual, artinya orang ini dapat mencapai erotis optimal baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenisnya.

Demikian pula McConnel (1992), yang membagi homoseksual menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Pseudohomosexual. Bentuk homoseksual dimana perilaku homoseksual hanya muncul untuk menggantikan perilaku heteroseksual yang normal.

b. Biseksual. Kekuatan homoseksual dan heteroseksual seimbang. Disini individu berada di antara dua dunia, tetapi tidak sepenuhnya masuk ke dalam salah satunya.

(30)

d. Homoseksual murni. Orang-orang yang memang berjiwa homoseksual. Isi impian mereka yang menyertai mimpi basah sekalipun dalam bentuk homoseksualitas.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan biseksualitas adalah rasa ketertarikan yang dimiliki oleh seseorang baik pada lawan jenis maupun pada sesama jenisnya.

2. Faktor yang Mempengaruhi Orientasi Seksual

Faktor yang mempengaruhi orientasi seksual dari homoseksual itu sendiri bisa bermacam-macam, seperti karena kekurangan hormon lelaki selama masa pertumbuhan, karena mendapatkan pengalaman homoseksual yang menyenangkan pada masa remaja atau sesudahnya serta pengalaman traumatis yang pernah dialami sehingga muncul dorongan homoseksual yang menetap, karena memandang perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang aversif / menakutkan atau tidak menyenangkan, karena besar ditengah keluarga dimana ibu dominan sedangkan ayah lemah atau bahkan tidak ada, dan besar di lingkungan yang mendukung adanya perilaku homoseksual (Supratiknya, 1995).

3. Dampak Psikologis Biseksual

(31)

masyarakat, juga konflik dengan pemahaman terhadap agama yang cenderung menentang keberadaan kaum homoseksual. Konflik psikis yang timbul menyebabkan perasaan tidak disukai, cemas, bersalah, kesepian, malu karena merasa dirinya tidak wajar dan depresi (Novetri, 2003). Konflik internal yang menimbulkan perasaan-perasaan negatif pada individu biseks ini pada akhirnya dapat memunculkan tekanan yang berujung pada kondisi stres.

C. Biseksual pada Individu Dewasa Awal

Masa dewasa awal adalah masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Dewasa dalam hal ini tentunya memiliki arti menunjukkan karakteristik kedewasaan dan bukan sekedar “dewasa” secara usia kronologis. Di Indonesia batas kedewasaan adalah 21 tahun. Hal ini berarti bahwa pada usia itu seseorang sudah dianggap dewasa dan selanjutnya dianggap sudah mempunyai tanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya (Mönks, Knoers, & Haditono, 1996).

1. Aspek Fisik

(32)

kehidupan dewasa. Dalam studi longitudinal, kesehatan fisik di usia 30 tahun dapat memprediksikan kepuasan hidup pada usia 70 tahun yang mana lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.

2. Aspek Kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001) dewasa awal termasuk dalam tahap kognitif operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa). Tahap kognitif operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. 3. Aspek Sosio-Emosional

(33)

sudah kita lalui dan yang akan kita gunakan untuk "mengarungi bahtera hidup" yakni menciptakan Identitas Diri bagi kita. Kegagalan kita dalam melewati tahap perkembangan ini, akan menciptakan kerancuan identitas atau peran.

D. Biseksual di Indonesia

Secara umum, kaum homoseksual di Indonesia masih termasuk dalam golongan minoritas. Keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat belum dapat diterima sepenuhnya. Oleh karena itu, kaum biseksual yang merupakan salah satu jenis homoseksualitas juga belum mendapatkan tempatnya secara utuh di tengah masyarakat Indonesia.

Menurut Masruchah (dalam Bambang, 2005), salah satu penyebab kegagalan demokrasi di Indonesia adalah kebijakan-kebijakan yang tidak menghormati Hak Asasi Manusia. Misalnya dalam bentuk-bentuknya yang meliputi kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, dan berekspresi. Salah satu kelompok dalam masyarakat yang masih sering mengalami berbagai bentuk pelanggaran HAM dalam segala bidang kehidupannya adalah kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/Transeksual (LGBT).

(34)

di dalam rumah, dalam kehidupannya bermasyarakat, dan sebagai warga negara yang tidak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk ketidakadilan yang diterimanya (Bambang, 2005).

Di Indonesia (Kaskus, Februari 2011), data statistik menyatakan bahwa 8 sampai 10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu pernah terlibat pengalaman homoseksual. Sebagai catatan dari suatu survey dari Yayasan Priangan beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah terlibat dalam perilaku homoseksual. Berdasarkan catatan LSM Abiasa dan Komisi Penanggulangan AIDS Jawa Barat yang terlibat pendampingan untuk HIV/ AIDS, di Kota Bandung saja, tak kurang dari 656 orang tercatat sebagai pria homoseksual (gay), dan di Jawa Barat diperkirakan tak kurang dari 6.000 orang. Hal di atas menggambarkan bahwa faktanya jumlah kaum homoseksual tidaklah sedikit.

(35)

Terdapat juga perkumpulan seperti Gaya Nusantara, yang mana memang dikenal dengan anggotanya yang sebagian besar homoseksual. Arus informasi mengenai homoseksualitas dalam Gaya Nusantara bahkan cukup baik, karena mereka memang bergerak dalam area media cetak yaitu majalah Gaya Nusantara.

Sebuah pergerakan terkait kepedulian terhadap kaum homoseksual adalah dewan HAM PBB mensahkan resolusi persamaan hak yang menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan sederajat dan setiap orang berhak untuk memperoleh hak dan kebebasannya tanpa diskriminasi apapun, pada tanggal 17 Juni 2011, bertempat di Swiss (LGBT Indonesia, 20 Juni 2011). Resolusi ini adalah resolusi PBB yang pertama yang secara spesifik mengangkat isu pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Dengan adanya resolusi ini, pelanggaran HAM atas dasar orientasi seksual akan dianggap sebagai pelanggaran HAM tingkat tinggi. Resolusi ini merupakan sebuah dukungan dan pengakuan tingkat internasional kepada para aktivis HAM di seluruh dunia dan juga di Indonesia.

(36)

tempat bagi kaum biseksual untuk mencari pendampingan, mengusahakan keadilan bagi kaum biseksual yang didiskriminasikan dan tempat untuk mengaktualisasikan diri.

E. Strategi Coping pada Individu Biseksual

Biseksualitas merupakan salah satu orientasi seksual yang menyimpang, dimana seseorang akan merasa tertarik secara seksual dan erotis kepada lawan jenis maupun kepada sesama jenis. Dari penelitian yang dilakukan oleh Kinsey, terlihat bahwa semua orang merupakan biseksual, hanya intensitas kecenderungannya saja yang berbeda. Mereka yang disebut heteroseksual, tetap memiliki kecenderungan homoseksual meski intensitasnya hanya sedikit. Begitu juga sebaliknya. Mereka yang berada di tengah-tengah merupakan orang-orang yang benar-benar melakukan peran dan fungsinya sebagai biseksual.

Individu biseksual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang mengakui secara sadar bahwa identitas seksualnya adalah biseks atau pernah berorientasi seksual biseks. Subjek merupakan individu biseks yang sedang atau pernah berperilaku seksual biseks dan telah mengakui identitas seksualnya setidaknya pada keluarga atau teman-teman terdekatnya, perempuan maupun laki-laki.

(37)

permasalahan-permasalahan yang cukup berat dalam kehidupan individu biseksual. Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa muda-mudi yang berorientasi seksual lesbian, gay, dan biseksual yang tinggal di rumah dan telah mengakui orientasi seksualnya pada orangtua mereka, lebih sering disakiti atau dilecehkan oleh anggota keluarga mereka, dari pada mereka yang tetap menutup jati diri orientasi seksual mereka (D’Augelli & Grossman, 2002).

Permasalahan yang mungkin muncul bisa dimulai dari konflik-konflik internal dan eksternal yang awalnya kecil, namun jika tidak dihadapi dengan strategi coping yang tepat, maka dikemudian hari bisa berubah menjadi tekanan stres yang sangat berat dan bisa berakibat fatal. Suatu keadaan atau situasi yang dapat menimbulkan stress disebut sumber stress (stressor). Menurut Yates (dalam Haber dan Runyon, 1984), salah sumber stress adalah stressor eksternal yang merupakan tekanan atau tuntunan dari lingkungan di luar diri individu yang tidak secara sengaja diciptakan oleh individu bersangkutan. Stressor eksternal ini antara lain dapat berasal dari lingkungan keluarga, teman, lingkungan pekerjaan, atau masyarakat yang lebih luas. Jadi menurut penggolongan ini sumber stress pada dasarnya adalah kondisi eksternal yang dapat mempengaruhi keseimbangan individu.

(38)

masalah (Problem-solving Focused Coping) atau bisa juga dengan berusaha melakukan pengaturan emosi untuk menyesuaikan diri dengan akibat yang ditimbulkan oleh kondisi penuh tekanan (Emotion Focused Coping).

Strategi coping dalam penelitian ini akan dilihat melalui situasi menekan yang timbul karena permasalahan orientasi seksual individu biseksual. Dalam penelitian ini ingin diungkap bagaimana pemilihan dan pelaksanaan coping

(39)

25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan (field study) yang menggunakan metode studi kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Poerwandari (2001) dapat mengungkapkan kompleksitas suatu realitas yang hendak diteliti dengan penjelasan elaborative

sehingga suatu penelitian dapat dipahami kedalaman, makna dan interpretasi terhadap suatu fenomena secara utuh. Penelitian studi kasus (case study) merupakan penelitian yang melakukan studi mendalam mengenai unit sosial tertentu yang hasil penelitiannya memberikan gambaran yang luas dan mendalam mengenai unit sosial tersebut (Danim, 2002). Peneliti tidak melakukan pengukuran dengan angka karena, dalam penelitian kualitatif, dinamika dan proses lebih ditekankan.

Dalam penelitian ini, desain penelitian studi kasus (case study) dengan menggunakan pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam mengenai strategi coping yang digunakan oleh individu biseksual yang telah mengakui orientasi seksualnya kepada orang-orang terdekatnya (keluarga dan teman-teman dekat pria maupun wanita) dalam menghadapi tekanan dalam hidupnya. Strategi coping yang ingin diungkap adalah strategi

(40)

negatif dari orang lain maupun diri sendiri berkaitan dengan orientasi seksualnya dan statusnya sebagai biseksual.

B. Subjek Penelitian

Dua orang subjek akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu dua orang individu dewasa muda yang sudah mengakui status seksualnya sebagai biseksual. Poerwandari (2005) menyebutkan bahwa karakteristik diarahkan pada kasus-kasus tipikal sesuai masalah penelitian, bukan diarahkan pada jumlah sampel yang besar. Pemilihan subjek pada penelitian ini dilakukan dengan berdasar kriteria tertentu atas berlandaskan teori yang sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dimaksudkan agar subjek penelitian dapat mewakili fenomena yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, kriteria subjek yang dimaksud adalah:

1. Individu dewasa awal yang memiliki orientasi seksual biseks.

2. Sedang atau pernah menjalani hubungan (intim atau mesra) dengan wanita dan pria disaat yang bersamaan atau berdekatan.

(41)

C. Batasan Istilah

Yang dimaksud dengan strategi coping dalam penelitian ini adalah segala usaha, baik berupa pikiran atau perilaku/tindakan yang digunakan pria biseksual dalam menghadapi tekanan (respon-respon negatif) dari orang lain maupun diri sendiri. Respon-respon negatif dalam penelitian ini berupa segala respon yang dapat menimbulkan rasa tertekan atau stres pada subjek penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Wawancara

(42)

dari konteks, namun selalu terbuka terhadap munculnya kesempatan melakukan improvisasi saat wawancara berlangsung, sehingga dapat diperoleh informasi yang mendalam mengenai strategi coping dari pria biseksual. Sedangkan yang dimaksud dengan wawancara terbuka adalah saat wawancara berlangsung, subjek mengetahui dan menyadari bahwa mereka sedang dalam proses wawancara.

Informasi yang ingin digali atau menjadi pedoman wawancara terhadap pria biseksual dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan, yaitu wawancara mengenai:

a. Bentuk-bentuk respon negatif (tekanan) dari orang lain maupun diri sendiri yang dapat menimbulkan rasa tertekan atau stres pada subjek.

b. Berbagai bentuk strategi coping yang digunakan subjek dalam menghadapi respon-respon negatif (tekanan) dari orang lain maupun diri sendiri yang dapat menimbulkan rasa tertekan atau stres pada subjek.

(43)

Tabel 1: Panduan Wawancara Latar belakang subjek

Berapa usia subjek? Apa pekerjaan subjek?

Apa saja kesibukan subjek saat ini? Berapa bersaudarakah subjek?

Latar belakang penyimpangan orientasi seksual

Sejak kapan mulai tertarik dengan lain dan sesama jenis? Apa yang memicu ketertarikan tersebut?

Apakah ada trauma? Atau justru pengalaman menyenangkan? Latar belakang respon negatif (tekanan) dari diri sendiri

Bagaimana pandangan subjek tentang dirinya yang biseksual?

Bentuk-bentuk respon negatif (tekanan) apa saja yang muncul dari subjek? Kapan terjadi?

Apa yang memicu respon negatif (tekanan) dari subjek sendiri? Seberapa sering muncul?

Latar belakang respon negatif (tekanan) dari orang lain Bagaimana pandangan orang lain tentang diri sendiri?

Bagaimana pandangan orang lain tentang dirinya yang biseksual?

Bagaimana sikap dan perilaku orang lain terhadap subjek setelah mengetahui orientasi seksual subjek?

Bentuk-bentuk respon negatif (tekanan) apa saja yang muncul? Kapan terjadi? Apa yang memicu respon negatif (tekanan)?

Seberapa sering muncul? Strategi Coping

Bagaimana pengalaman subjek ketika mengalami respon negatif (tekanan) tersebut?

Usaha apa yang dilakukan subjek untuk menghadapi dan/atau menyelesaikan respon negatif (tekanan) yang dialami?

Apa dampak / hasil dari usaha-usaha tersebut?

Perasaan-perasaan apa yang muncul ketika menerima respon-respon negatif (tekanan) dari orang lain?

Bagaimana cara subjek mengatur atau mengelola perasaan tersebut?

Mengapa subjek memilih cara tersebut untuk mengatasi perasaan/emosi yang muncul?

Kondisi setelah melakukan strategi coping

Bagaimana perasaan subjek setelah melakukan strategi coping? Bagaimana reaksi orang lain setelah subjek melakukan strategi coping? Apa reaksi subjek ketika respon negatif (tekanan) terulang lagi?

2. Observasi

(44)

situasi dan keadaan di sekitar subjek, aktivitas-aktivitas yang berlangsung serta orang-orang yang terlibat dalam kejadian yang diamati.

Hal ini dilakukan agar peneliti dapat memahami lebih baik mengenai hal yang diteliti sesuai dengan konteksnya; observasi memungkinkan peneliti untuk melihat hal-hal yang seringkali kurang disadari oleh subjek penelitian dan memungkinkan juga untuk memperoleh data tentang hal-hal yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka saat wawancara. Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi partisipan. Dalam observasi partisipan peneliti adalah bagian dari keadaan alamiah, tempat dilakukannya observasi (Black and Champion, 2001).

E. Metode Analisis Data

(45)

1. Membuat salinan kata demi kata dari rekaman hasil wawancara yang disebut transkrip verbatim. Transkrip verbatim ini dicatat dalam kolom-kolom yang telah disusun peneliti sedemikian rupa sehingga memudahkan peneliti untuk pemberian kode dan catatan-catatan penting.

2. Memberikan nama untuk setiap transkrip serta membubuhkan tanggal dan tempat sewaktu pengambilan data wawancara.

3. Membaca transkrip verbatim dengan teliti dan berulang-ulang. Tujuannya untuk membantu sebelum melakukan pengkodean dalam memperoleh tema tentang hal-hal yang berkaitan dengan subjek penelitian.

4. Melakukan pengkodean pada transkrip verbatim. Pengkodean dimaksudkan untuk mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang tema.

5. Melakukan interpretasi data dan pembahasan.

(46)

(inner negative respons), bentuk-bentuk respon negatif (tekanan) dari orang lain (outer negative respons), dan bentuk-bentuk strategi coping

yang digunakan. Ada pun kode-kode yang digunakan sebagai berikut:

Tabel 2: Kode Strategi Coping BENTUK-BENTUK STRATEGI COPING

PFCac

Active coping (coping aktif/melakukan langkah nyata) Planning (membuat perencanaan)

Suppresison of competing activities (menekan akivitas tandingan) Restraint coping (menunggu waktu yang tepat untuk bertindak) Seeking social support for instrumental reasons (mencari dukungan

sosial untuk alasan instrumental, bisa berupa materi (uang, makanan, dll) atau informasi, saran untuk penyelesaian masalah)

Seeking social support for emotional reasons (mencari dukungan sosial untuk alasan emosional, berupa pengertian, dukungan semangat, pemahaman, empati, dll)

Positive Reinterpretation (penilaian kembali secara positif) Acceptance (penerimaan)

Denial (penyangkalan)

Turning to religion (berpaling pada agama)

Focusing on and venting emotions (berfokus pada emosi dan penyaluran emosi)

Behavioral disengagement (pelepasan secara perilaku) Mental disenganement (pelepasan secara mental)

LAIN-LAIN Dukungan sosial (Social support)

Dukungan sosial, bisa berupa dukungan material (uang, makanan, pakaian), dukungan informasi (informasi berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi), dan dukungan emosional (penerimaan, perhatian, simpati, dukungan semangat, dll)

Tabel 3: Kode Jenis Respon Negatif

KODE KETERANGAN

BENTUK-BENTUK INNER NEGATIVE RESPONS

BIN.F BIN.P

Bentuk inner negative respons fisik Bentuk inner negative respons psikologis

BENTUK-BENTUK OUTER NEGATIVE RESPONS

BON.F BON.P

(47)

F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data

Strategi yang digunakan untuk memeriksa kredibilitas penelitian yaitu validitas komunikatif dan validitas argumentatif ini. Menurut Poerwandari (2005), validitas komunikatif adalah pengkonfirmasian kembali berupa data dan analisisnya pada responden penelitian. Sedangkan validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah. Data penelitian yang diperoleh selanjutnya ditetapkan keabsahannya melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Melakukan pengamatan secara tekun dan cermat. Dengan melakukan pengamatan secara teliti, rinci, dan berkesinambungan diharapkan peneliti dapat memahami situasi dan keadaan yang diamati secara lebih mendalam.

2. Melakukan teknik pemeriksaan data triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang menggunakan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding atas data yang diperoleh.

3. Melakukan diskusi dengan teman sejawat yang melakukan penelitian dengan tema yang sama yaitu strategi coping.

(48)

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tahap Persiapan & Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan

Subjek penelitian dipilih berdasarkan kesesuaian pengalamannya dengan topik dan tujuan penelitian (purpose sampling). Peneliti melakukan pencarian subjek melalui teman-teman peneliti yang mengenal beberapa individu biseksual. Tentunya karakteristik subjek penelitian merupakan filter dalam pemilihan subjek yang tepat bagi penelitian ini. Peneliti juga berusaha mencari subjek melalui sebuah lembaga yang menaungi berbagai pergerakan individu homoseksual dan biseksual. Pada akhirnya peneliti memutuskan 2 subjek penelitian dari teman peneliti, yaitu yang paling sesuai dengan karakteristik subjek penelitian yang diinginkan dalam penelitian ini. Pada awal proses wawancara, peneliti menyampaikan dan menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan jalannya penelitian, antara lain:

a. Maksud dan tujuan penelitian. b. Kesediaan menjadi subjek.

c. Penjelasan mengenai kerahasiaan identitas subjek.

(49)

2. Pelaksanaan

Wawancara dilakukan pada 2 orang subjek penelitian. Wawancara subjek penelitian 1 dilakukan dengan cara tatap muka sebanyak 2 kali pertemuan wawancara. Wawancara subjek penelitian 2 dilakukan via chat dikarenakan tidak memungkinkan dilakukan wawancara tatap muka. Subjek penelitian 2 sedang berada di luar kota pada saat proses wawancara.

Hari, Tanggal Tempat

Subjek 1 Selasa, 19 Oktober 2010 R.M. Twister Kamis, 21 Oktober 2010 R.M. Twister

Subjek 2 Sabtu, 16 April 2011 Heritage Cafe via chat

B. Hasil Penelitian

I. Subjek 1

a. Latar Belakang

(50)

memiliki selisih usia 8 tahun dari subjek, saat ini masih duduk di bangku SMA di Semarang.

Subjek pernah beberapa kali berpacaran dengan lawan jenis. Salah satu dari pacar wanita subjek, yang saat ini sudah menjadi

mantan, sebenarnya sudah cukup diterima oleh keluarga besar subjek. Subjek mengungkapkan dirinya seperti sudah dijodohkan dengan wanita tersebut. Hal ini dikarenakan kedua orangtua dari kedua belah pihak sudah setuju dan pembicaraan kedua keluarga selalu mengarah ke pernikahan. Hal pernikahan yang sering dibicarakan tersebut tidak terwujud lantaran mantan pacar subjek tidak pernah menanggapi rencana pernikahan tersebut, hingga akhirnya subjek memutuskan hubungan tersebut.

(51)

Pada saat melakukan hubungan intim pertama kalinya, subjek mengakui pengalaman tersebut cukup traumatis karena sangat menyakitkan. Subjek mengaku tidak pernah mencoba melakukan hubungan intim lagi selama satu tahun setelah kejadian tersebut.

Ada masa ketika subjek memiliki pacar wanita, namun disaat bersamaan subjek juga mencintai seorang lelaki. Seiring berjalannya waktu, subjek mendapat berbagai informasi dan pengetahuan seputar homoseksualitas. Subjek menjalani perannya sebagai biseksual yang aktif sejak subjek berkuliah D3 di Bali, kurang lebih 6 tahun yang lalu.

(52)

dan kemudian terbukalah mereka satu dengan yang lain dan akhirnya mereka setuju untuk menjalani hubungan pacaran.

Subjek sudah mengakui orientasi seksualnya ini pada teman dan keluarga sekitar 3 tahun yang lalu. Berkaitan dengan hal tersebut, keluarga subjek sampai saat ini masih berharap subjek mau berubah dan kembali menjalin hubungan dengan wanita. Hal ini terutama dilakukan oleh sang ibu yang setiap saat ketika menelepon selalu menanyakan apakan subjek sudah punya pacar atau belum, bahkan sempat mencoba menjodohkan subjek dengan seorang wanita lagi meski yang dahulu gagal.

b. Catatan Lapangan

Wawancara dilakukan pada hari Selasa tanggal 19 Oktober 2010 dan hari Kamis tanggal 21 Oktober 2010. Wawancara dilakukan di R.M. Twister daerah Kotabaru karena subjek menolak melakukannya di tempat tinggalnya. Hal ini dikarenakan subjek tinggal satu kontrakan dengan pacarnya, dan tidak ingin pacarnya mengetahui perihal wawancara ini. Sebelum wawancara, subjek selalu menyempatkan diri mengantarkan pacarnya bekerja.

(53)

Pada wawancara pertama, subjek cukup lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti. Tidak terlihat canggung meskipun terkadang masih terlihat membatasi apa yang hendak subjek ceritakan. Subjek sering memberikan penekanan pada jawabannya dengan gesture tubuh yang feminin.

Pada wawancara kedua, subjek juga cukup lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti. Subjek juga terlihat sangat ceria dan terkesan carefree dan easy going pada wawancara kali ini. Subjek sangat hangat dan mudah sekali akrab. Selama wawancara, subjek jarang sekali memperlihatkan ekspresi muka cemberut. Subjek lebih sering tersenyum dan terkadang memunculkan raut muka yang serius saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

c. Hasil Wawancara

(54)

Dampak dari proses pengakuan subjek akan orientasi seksualnya kepada keluarga dan teman terdekatnya, subjek lebih banyak mengalami tekanan dari luar (Outer Negative Respons). Namun respon-respon negatif dari luar ini hanya secara psikologis, tidak ada yang secara fisik. Contohnya adalah, tekanan keluarga untuk segera menikah sehingga selalu dikenalkan pada wanita-wanita calon pilihan orang tua, ibu subjek yang selalu menangis jika membahas masalah ini, ejekan dari teman-teman, tanggapan dingin dari teman-temannya, dan lain sebagainya. Beberapa hal ini dapat dilihat dari transkrip wawancara I maupun transkrip wawancara II.

“Syok. Pandangannya kosong, trus dia bilang, “tunggu-tunggu aku gak bisa mikir, apa itu?”, “aku gay”. Bengong dia lagi. Pokoknya gak bisa percaya, dan aku gak bisa berpikir lagi sekarang.” (w1, 272).

“...gara-gara putus itu kan syok banget, yang dia selingkuh sama cowok lain, aku pulang, aku cerita sama mamaku, mamaku akhirnya nangis lagi.” (w2, 48).

Terdapat tekanan dari dalam diri (Inner Negative Respons) subjek, seperti rasa bersalah atau sedih, namun tidak terlalu banyak. Hal ini dapat dilihat di transkrip wawancara II.

“Ada perasaan marah, perasaan sedih, perasaan kecewa, yah aku diejekin itu...” (w2, 145).

(55)

Dalam menghadapi tekanan-tekanan tersebut di atas, subjek menggunakan strategi coping sebagai berikut:

a. Problem-solving Focused Coping (PFC) yang digunakan oleh subjek: 1) Active coping atau coping aktif

“...aku bisa open, bisa coming out sama orang-orang di Jogja, sama temen-temen kuliahku, sama temen-temen kantorku yang notabene di kantor kan, ga boleh coming out sama orang kantor, karena bisa ngerusak karir segala macem, karena aku di sana, aku pikir itu temenku, dan aku..bahkan pertama aku ngomong sama temenku, temen baikku, semua aku anggap temen baik,...” (w1, 73).

“Yang kedua, sudah saatnya apa yang mereka mau gak semua mereka dapetin. Iya kan. Gak semua yang apa dalam pikiran mereka harus teralisasikan gitu kan. Aku, ini hidup aku gitu lho. Gimana-gimana aku bakal ngomong aku gak bakal, apa namanya..ee.. ngecewain orang yang bakal jadi istri aku.” (w2, 58).

2) Restraint coping atau menunggu waktu yang tepat untuk bertindak

“Pas hari itu pulang gereja, yang kebetulan semuanya ada di sini, ada di rumah, aku ngomong sama adekku, “aku mau ngomong sama ayah sama ibu, kamu udah tau kan papa gini..gini.gini.. mama juga gini..gini..gini.. kamu kalo misalnya ada masalah, eh,, kamu masih kecil, kamu masih kecil, mending ga usah denger, mending kamu main ke rumah siapa. Gitu”. (w2, 18).

3) Planning atau membuat perencanaan

“Gak..gak pernah. Masalahnya aku kan pengen bawa pulang pacarku ke Bali yang sekarang kan karena pertama, biar orang tuaku tau, dalam artian bukan tau dia pacarku, tapi tau aku punya temen dia, gitu lho. Sebagai seorang temenku. Kalau memungkinkan pun aku masih mikir-mikir juga ya, aku mau bilang coming out ya itu pacarku, karena aduh sekarang udah jaman apa sih sekarang, sekarang udah abad berapa sih, masa masalah gini aja masih jadi masalah.”

(56)

4) Seeking social support for instrumental reasons atau mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental

.”Habis itu kan akhirnya, aku udah ngomong sama romo di gereja, “Rom, aku mau cerita gini..gini..gini”, aku konsultasi sama romo itu gara-gara gay dan romo pun nggak menyalahkan itu,...” (w2, 12).

b. Emotion Focused Coping (EFC) yang digunakan oleh subjek: 1) Positive Reinterpretation atau penilaian kembali secara positif

“...kan mengasihi sesama itu tidak salah, mencintai orang itu tidak salah, hanya yang salah dalam duni gay adalah sex bebasnya.” (w2, 12).

2) Acceptance atau penerimaan

”...kok diejekin gini, tapi aku biasa aja. Aku yang,” Iya emang kenapa?” hehehe..” (w2, 127).

3) Focusing on and venting emotions atau berfokus pada emosi dan penyaluran emosi

“Terus baru akhirnya, aku yang sudah..itu yang aku harus ngomong, bener-bener harus ngomong, perasaan takut juga, ada perasaan marah juga. Ada perasaan sedih juga, gitu kan.” (w2, 10).

4) Turning to religion atau berpaling pada agama

“…. Serahkan semua pada Tuhan.. Hahahahhaa.. Pernahkan kayak gitu ya.. Serahkan semua pada Tuhan. Sudahlah.” (w2, 91). 5) Behavioral disengagement atau pelepasan secara perilaku

(57)

6) Mental disenganement atau pelepasan secara mental

“Aku kesepian, aku ga butuh uang, sebenernya gak butuh uang. Ya uang perlu ya hanya saja ya gak segitunya. Dalam artian, aku jual diri tuh biar ga kesepian, yang pertama.” (w2 no24).

Dari hasil wawancara subjek 1, strategi Problem Focused Coping berupa active coping merupakan strategi coping yang cukup sering muncul. Strategi active coping ini muncul lebih dari sekali dalam transkrip wawancara. Untuk Emotion Focused Coping, strategi

coping berupa positive reinterpretation merupakan strategi coping

yang kemunculannya cukup sering.

II. Subjek 2

a. Latar Belakang

Subjek adalah seorang pria berusia 26 tahun. Saat ini ia bekerja di perusahaan milik keluarga dan memiliki usaha sendiri. Subjek merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Subjek memiliki dua saudara kandung yang sudah berkeluarga. Kakak subjek yang pertama saat ini sedang melanjutkan studi di Sidney, Australia, dan kakak kedua subjek saat ini berdomisili di Jakarta.

(58)

kedua kakaknya, tetapi kemudian pulang ke Indonesia lebih dulu. Subjek juga pernah menemani tinggal dengan ayahnya ketika bertugas di Frankfurt selama satu tahun. Saat ini ayah subjek menetap di luar negeri dan ibu subjek di menetap Yogyakarta. Subjek sendiri saat ini berdomisili di Yogyakarta, namun bekerja di Jakarta, sehingga ia cukup jarang melewatkan waktu di Yogyakarta.

Subjek mengungkapkan bahwa ketertarikannya terhadap sesama jenis bukan sesuatu ketertarikan yang subjek rasakan sejak kecil. Perasaan tertarik terhadap sesama jenis muncul terhadap teman dekat subjek ketika di bangku kelas 3 SMA. Teman dekat subjek tersebut selalu menghabiskan waktu bersamanya dan sudah dianggap anak sendiri oleh orangtua subjek. Subjek mengungkapkan bahwa teman dekatnya ini sering menginap di rumahnya. Meski demikian, subjek juga memiliki beberapa pengalam berpacaran dengan lawan jenis. Subjek pernah beberapa kali berpacaran dengan lawan jenis, namun ia juga mencari laki-laki yang kemudian ia pacari.

(59)

hubungan intim untuk pertama kali juga dengan teman dekatnya tersebut, meski hubungan mereka hanya berlangsung 6 bulan.

Subjek menjalani perannya sebagai biseksual yang aktif sejak menyadari ketertarikannya pada sesama jenis. Diakui oleh subjek bahwa ia dapat merasa terangsang secara seksual dengan sesama maupun lawan jenis. Kurang lebih sudah 8 bulan semenjak subjek mencari pasangan seks sesama jenis. Subjek mengakui lebih menikmati melakukan hubungan intim dengan sesama jenis.

Saat ini subjek sedang menjalani hubungan yang serius dengan seorang wanita. Subjek mengaku sangat mencintai pacarnya saat ini. Kedua belah pihak orangtua juga sudah cukup kenal baik. Hal pernikahan sudah cukup sering dibicarakan namun sampai sekarang belum terwujud.

(60)

b. Catatan Lapangan

Catatan lapangan tidak memungkinkan dilakukan karena wawancara dilakukan via chat.

c. Hasil Wawancara

Dari wawancara terhadap subjek penelitian, pada awalnya peneliti melakukan penulisan transkrip wawancara (verbatim), melakukan koding, dan kemudian penulis melakukan analisis data. Analisis data ini antara lain dimaksudkan untuk mengetahui tekanan apa saja yang dialami oleh subjek dan berasal dari mana saja tekanan-tekanan tersebut. Selain itu juga untuk mengetahui strategi coping apa saja yang digunakan oleh subjek dalam menghadapi tekanan-tekanan tersebut.

Subjek lebih banyak mengalami tekanan dari dalam (Inner Negative Respons), terkait dengan proses pengakuannya akan orientasi seksualnya. Namun respon-respon negatif dari dalam ini hanya secara psikologis, tak ada yang secara fisik. Sebagai contoh, munculnya perasaan takut akan reaksi orang-orang terdekatnya jika mengetahui kondisinya. Hal ini dapat dilihat dari transkrip wawancara.

(61)

“takut aja org jd menjauh...” (w1, 110).

Terdapat tekanan dari dalam luar (Outer Negative Respons) subjek, ada namun tidak terlalu banyak. Hal ini dapat dilihat di transkrip wawancara.

“...n ada yg judge jelek ke aku ...” (w1, 140).

Dalam menghadapi tekanan-tekanan tersebut di atas, subjek menggunakan strategi coping sebagai berikut:

a. Problem-solving Focused Coping (PFC) yang digunakan oleh subjek: 1) Active coping atau coping aktif

“denger sendiri, sampe aku jawab omongannya” (w1, 144).

“ya aku tantangin aja soal karier....” (w1, 146).

b. Emotion Focused Coping (EFC) yang digunakan oleh subjek: 1) Positive Reinterpretation atau penilaian kembali secara positif

“...n dosa or gaknya itu hanya Tuhan yg tau. manusia gk ada yg tau or siapa aja kecuali Tuhan.” (w1, 98).

2) Turning to religion atau berpaling pada agama

“….krn pd dasar manusia gk ada yg mau jd kyk gini, semua yg ada pd didiri kita semua dr Tuhan.” (w1, 98).

3) Behavioral disengagement atau pelepasan secara perilaku

(62)

Dari hasil wawancara subjek 2, strategi Problem Focused Coping berupa active coping merupakan strategi coping yang cukup sering muncul. Strategi active coping ini muncul lebih dari sekali dalam transkrip wawancara. Untuk Emotion Focused Coping, strategi

coping berupa positive reinterpretation merupakan strategi coping

yang pertama kali muncul dalam transkrip wawancara.

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat secara umum bahwa strategi

coping yang dilakukan oleh kedua subjek merupakan proses dinamis yang terus berubah sesuai dengan tekanan atau respon negatif yang diterima masing-masing subjek. Berikut pembahasan masing-masing subjek:

1. Subjek 1

Subjek mengakui, selain tertarik dengan lawan jenis, subjek juga memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis semenjak SMP. Subjek pun pernah mengalami kontak fisik secara seksual dengan sesama jenis ketika duduk di bangku SMP. Subjek kemudian benar-benar mencoba menjalin hubungan dengan sesama jenis ketika masuk bangku kuliah. Di saat yang hampir bersamaan, subjek juga menjalin hubungan dengan wanita. Terkadang disaat yang bersamaan.

(63)

Subjek mengungkapkan, pada saat itu subjek merasa lelah dengan permasalahan keluarga yang ada, sering merasa sendiri dan kurang diperhatikan kedua orangtua. Subjek kemudian sering menghabiskan waktu dengan kekasih sesama jenisnya supaya tidak merasa kesepian.

Setelah menemukan waktu yang tepat, mengumpulkan keberanian dan mencari informasi mengenai kehidupan homoseksual, subjek memutuskan untuk mengakui orientasi seksualnya pada keluarga dan beberapa teman dekatnya. Respon yang muncul sebagai dampak pengakuannya cukup bervariasi. Cukup banyak respon negatif yang dialami oleh subjek, dari dalam diri maupun dari luar diri subjek.

Beberapa contoh respon negatif dari luar diri subjek adalah, respon kedua orangtuanya yang sampai saat ini belum bisa menerima kenyataan bahwa anak mereka tertarik dengan sesama jenis. Sang ibu mengalami jatuh pingsan dan menangis ketika mendengar pernyataan subjek tentang kondisinya. Kedua orangtua subjek cukup sering memantau kehidupan personal subjek, terutama sang ibu. Subjek ditelepon kemudian ditanyai perihal kehidupan asmaranya, yang kemudian berujung memperkenalkan subjek dengan wanita pilihan ibunya untuk dipertimbangkan dijadikan pacar subjek. Respon sang ayah juga cukup kuat, menekankan beberapa contoh kehidupan homoseksual yang tidak sehat dalam beberapa kesempatan perbincangan dengan subjek.

(64)

terdekatnya. Perasaan kecewa, sedih, marah, dan sakit hati bercampur karena mengetahui bahwa orang-orang terdekatnya belum bisa menerima kondisinya sampai saat ini.

Dalam menghadapi respon negatif, subjek 1 paling sering menggunakan strategi problem-solving focused coping berupa active coping

atau coping aktif. Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) mendefinisikan

active coping atau coping aktif sebagai usaha menghadapi masalah dengan langkah nyata yang dilakukan oleh individu. Subjek sering melakukan tindakan nyata dalam usaha menyelesaikan permasalahannya seperti seringnya melakukan pengakuan perihal orientasi seksualnya (coming out). Subjek juga berinisiatif mengungkapkan perasaan terkait dengan permasalahan yang sedang dialami, dan sengaja meminta menuntut studi di Yogyakarta demi kebebasan bergaul. Seperti dalam tahap perkembangan Erikson yang ke lima (dalam Santrock, 2001), individu dihadapkan pada temuan perihal pertanyaan mengenai identitas diri, subjek seolah ingin memastikan kepada sekitarnya bahwa ia memiliki orientasi seksual yang berbeda dari pada umumnya dengan cara selalu ingin melakukan coming out.

Strategi coping lainnya yang juga sering subjek gunakan adalah

restraint coping atau menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. Strategi

Gambar

Tabel 1: Panduan Wawancara
Tabel 2: Kode Strategi Coping

Referensi

Dokumen terkait

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat