• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Pustaka"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) a. Pengertian Pembelajaran

Kata “pembelajaran” merupakan terjemahan dari “instruction”, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media, seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Istilah “pembelajaran” lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subjek belajar yang memegang peranan yang utama, sehingga dalam setting proses belajar mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh bahkan secara individual mempelajari bahan pelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau “teaching” menempatkan guru sebagai pemeran utama memberikan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, me-manage berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari siswa. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu

(2)

mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar (Sanjaya, 2013: 213-215).

Menurut Hamalik (2014: 57), “pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran”. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur, fotografi, slide dan film, audio, dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian, dan sebagainya.

Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja. Sistem pembelajaran dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di kelas atau di sekolah, karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan, untuk membelajarkan peserta didik.

Degeng (2013: 3) juga mengemukakan bahwa:

Pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Akibat yang mungkin nampak dari tindakan pembelajaran adalah siswa akan belajar sesuatu yang mereka tidak akan pelajari tanpa adanya tindakan pembelajaran, atau mempelajari sesuatu dengan cara yang lebih efisien.

Pandangan Degeng tersebut hampir sama dengan pandangan Majid (2013: 4) yang mengemukakan bahwa:

Secara sederhana istilah pembelajaran (instruction) bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan. Pembelajaran dapat pula dipandang sebagai kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar.

Menurut Isjoni (2011: 14), “pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada

(3)

dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar”. Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efesiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Pihak-pihak yang terlibat dalam pembelajaran adalah pendidik (perorangan atau kelompok), serta peserta didik (perorangan, kelompok, dan/atau komunitas) yang berinteraksi educative antara satu dengan lainnya. Isi kegiatan adalah bahan (materi) belajar yang bersumber dari kurikulum suatu program pendidikan. Proses kegiatan adalah langkah-langkah atau tahapan yang dilalui pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran.

Tujuan dari proses pembelajaran yaitu adanya perubahan perilaku siswa, baik perubahan perilaku dalam bidang kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Bloom memperkenalkan pengembangan perilaku dalam bidang kognitif, yakni pengembangan kemampuan intelektual siswa, contohnya kemampuan penambahan wawasan dan informasi agar pengetahuan siswa lebih baik. Pengembangan perilaku dalam bidang afektif adalah pengembangan sikap siswa, baik pengembangan sikap dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Pengembangan sikap dalam arti sempit adalah pengembangan sikap siswa terhadap bahan dan proses pembelajaran, sedangkan dalam arti luas adalah pengembangan sikap sesuai dengan norma-norma masyarakat. Pengembangan perilaku psikomotorik adalah pengembangan kemampuan motorik, baik motorik kasar maupun motorik halus. Motorik kasar adalah keterampilan menggunakan otot, misalnya keterampilan menggunakan alat tertentu, sedangkan keterampilan motorik halus adalah keterampilan menggunakan potensi otak, misalnya keterampilan memecahkan suatu permasalahan (Agung & Wahyuni, 2013: 5).

Tujuan pembelajaran sangat penting dalam proses instruksional atau dalam setiap kegiatan belajar mengajar, karena tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara spesifik dan jelas akan memberikan keuntungan kepada: 1) siswa, untuk dapat mengatur waktu dan pemusatan perhatian

(4)

pada tujuan yang ingin dicapai; 2) guru, untuk dapat mengatur kegiatan instruksional, metode, dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut; 3) evaluator, untuk dapat menyusun tes sesuai dengan apa yang harus dicapai oleh peserta didik (Uno, 2012: 91)

Berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan interaksi antara peserta didik, guru, dan sumber belajar pada satu lingkungan belajar. Pembelajaran tersebut memiliki tujuan yaitu terjadi perubahan pada diri siswa. Perubahan ini bukan perubahan fisik melainkan perubahan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

b. Pengertian Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) merupakan salah satu dari empat mata pelajaran yang terhimpun dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) yang terdiri dari Al-Qur‟an Hadis, Akidah Akhlak, Fikih dan Sejarah Kebudayaan Islam, yang diajarkan diberbagai jenjang pendidikan yang bernafaskan Islam. Sesuai dengan lampiran Permenag Nomor 000912 Tahun 2013 bahwa:

Sejarah Kebudayaan Islam merupakan catatan perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam hal beribadah, bermuamalah dan berakhlak serta dalam mengembangkan sistem kehidupan atau menyebarkan ajaran Islam yang dilandasi oleh akidah. Karakteristik Sejarah Kebudayaan Islam adalah menekankan pada kemampuan mengambil Ibrah atau hikmah (pelajaran) dari sejarah Islam, meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan seni, dan lain lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam pada masa kini dan pada masa yang akan datang.

Sejarah Kebudayaan Islam adalah ilmu yang membahas tentang hasil akal budi (cipta, karya, dan karsa) umat Islam yang dihasilkan pada masa yang telah lalu, baik berupa gagasan, aktivitas maupun karya. Berbicara ilmu pengetahuan, Sejarah Kebudayaan Islam merupakan salah satu nama mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang menelaah tentang asal-usul, perkembangan peranan kebudayaan atau peradaban

(5)

Islam dan para tokoh yang berprestasi dalam sejarah Islam di masa lampau, mulai dari dakwah Nabi Muhammad pada periode Mekkah dan periode Madinah, kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat, sampai perkembangan Islam peridode klasik (zaman keemasan) pada tahun 650 M-1.250 M, abad pertengahan/zaman kemunduran (1.250-1800 M), dan masa modern/zaman kebangkitan (1.800-sekarang), serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia. Secara substansial mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam memiliki konstribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati Sejarah Kebudayaan Islam, yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik.

Menurut Permenag Nomor 000912 Tahun 2013, Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya mempelajari landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW dalam rangka mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.

2) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.

3) Melatih daya krisis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah.

4) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah Islam sebagai bukti peradaban umat Islam di masa lampau.

5) Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya,

(6)

politik, ekonomi, iptek, seni, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.

Ruang lingkup mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah meliputi:

1) Dakwah Nabi Muhammad pada periode Makkah dan periode Madinah.

2) Kepemimpinan umat setelah Rasulullah SAW wafat.

3) Perkembangan Islam periode klasik/ zaman keemasan (pada tahun 650 M-1250 M).

4) Perkembangan Islam pada abad pertengahan/ zaman kemunduran (1250 M-1800 M).

5) Perkembangan Islam pada masa modern/ zaman kebangkitan (1800-sekarang).

6) Perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.

Menurut Firmansyah (2014: 20), pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam bagi ummat Islam memiliki nilai-nilai yang penting. Terdapat empat aspek penting yang dapat diambil dari sejarah, yakni:

1) Kewajiban kaum muslimin untuk meneladani Rasulullah

2) Untuk menafsirkan dan memahami maksud al-Quran dan Hadist, perlu memahami setting sosial historis dan kondisi psikologis masyarakat Islam pada saat itu.

3) Sebagai alat ukur sanad. Untuk mengetahui keautentikan sebuah hadist, apakah dhabit atau tidak.

4) Untuk merekam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi, baik sebelum maupun sesudah kedatangan Islam.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) pada hakikatnya adalah aktivitas pentransferan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh guru kepada siswa yang berhubungan erat dengan peristiwa masa silam, baik itu peristiwa politik, sosial, maupun ekonomi yang memang benar-benar terjadi dalam suatu negara Islam dan dialami oleh masyarakat Islam.

(7)

Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) sangat penting untuk diberikan dan diajarkan dengan baik kepada setiap satuan pendidikan yang bernafaskan Islam mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai perguruan tinggi dengan tujuan sejarah akan dapat direkonstruksi oleh umat Islam pada zaman modern ini. Dengan mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) siswa dapat memperoleh pelajaran yang berharga dari perjalanan sejarah Islam sejak lahir hingga masa kini. Dalam Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) terdapat materi-materi ajar yang berkenaan dengan masa kekhalifahan. Salah satunya yaitu Dinasti Bani Abbasiyah. Dalam materi Bani Abbasiyah ini, terdapat perjalanan khalifah atau pelaku sejarah pada zaman dahulu, sehingga nilai-nilai keteladanan dari para khalifah atau pelaku sejarah inilah yang dapat ditransformasikan kepada siswa. Oleh karena itu, dengan mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) khususnya materi Bani Abbasiyah, siswa tidak hanya sekedar mengetahui peristiwa apa yang terjadi pada masa lampau, tetapi melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) pada materi Bani Abbasiyah ini dapat ditanamkan nilai-nilai karakter pada siswa. Sehingga siswa diharapkan dapat menjadi insan kamil atau seseorang yang berakhlak mulia sesuai yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.

2. Kurikulum 2013

a. Pengertian Kurikulum

Istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Para ahli pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda-beda tentang kurikulum. Namun demikian, dalam penafsiran yang berbeda itu, ada juga kesamaannya. Kesamaan tersebut adalah, bahwa kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Kurikulum yaitu sebagai “a racecourse of subject matters to be mastered”. Dalam situasi dan kondisi tertentu, pandangan ini masih dipakai sampai sekarang. Pandangan yang muncul selanjutnya, beralih dari menekankan pada isi menjadi lebih menekankan pada pengalaman

(8)

belajar, sekaligus perubahan ruang lingkup, yakni dari konsep yang sempit menjadi lebih luas. Kurikulum bukan hanya merupakan rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan sesuatu yang fungsional, yang memberi pedoman dan mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Rencana tertulis merupakan dokumen kurikulum (curriculum document or incert curriculum), sedangkan kegiatan yang berlangsung di kelas merupakan kurikulum fungsional (functioning, live or operative curriculum) (Widyastono, 2014: 1-2).

Menurut Sanjaya (2013:6), “kurikulum merupakan kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah, asalkan kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah)”. Yang dimaksudkan dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstrakurikuler. Apapun yang dilakukan siswa asalkan berada dibawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum.

Kurikulum juga merupakan semua kesempatan belajar yang direncanakan untuk peserta didik di sekolah dan institusi pendidikan lainnya. Kurikulum dapat dimaknai sebagai rancangan pengalaman yang akan diperoleh peserta didik ketika kurikulum tersebut diimplementasikan. Kurikulum merupakan langkah kegiatan perancangan kegiatan interaksi dengan dirinya sendiri sebagai guru, dengan sumber beajar dan lingkungan belajar lainnya. Rancangannya selalu disusun dalam dokumen tertulis dan dilaksanakan serta dikendalikan oleh guru (Yani, 2014: 5),

Kurikulum ini merupakan inti dari proses pendidikan, sebab diantara bidang-bidang pendidikan yaitu manajemen pendidikan, kurikulum, pembelajaran, dan bimbingan siswa, kurikulum pengajaran merupakan bidang yang paling langsung berpengaruh terhadap pendidikan. Desain kurikulum tersebut bersifat menyeluruh, mencakup semua bentuk rancangan dan komponen kurikulum seperti dasar-dasar dan struktur kurikulum, sebaran mata pelajaran, garis-garis besar program pengajaran (GBPP), program tahunan/ semester/ triwulan,

(9)

silabi, satuan acara perkuliahan (SAP), satuan pelajaran (Satpel), rancangan pengembangan media, sumber dan alat evaluasi. Desain kurikulum tersebut dapat juga hanya berkenaan dengan salah satu bentuk desain atau rancangan saja, umpamanya GBPP atau silabi, SAP atau satuan pelajaran/ RPP (Sukmadinata & Erliany, 2012: 31).

Pandangan lain bahwa pengertian kurikulum merentang dari yang sangat sederhana, yakni kurikulum merupakan kumpulan sejumlah mata pelajaran, sampai kurikulum sebagai pengembangan kecakapan hidup (life skill). Dalam kurikulum memuat: sejumlah mata pelajaran, program kegiatan pembelajaran yang direncanakan, hasil belajar yang diharapkan, reproduksi kebudayaan, dan pengembangan kecakapan hidup. Kurikulum sebagai kumpulan sejumlah mata pelajaran merupakan pengertian yang menghubungkan kurikulum dengan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan. Kurikulum sebagai program kegiatan pembelajaran yang direncanakan, artinya perencanaan ruang lingkup, urutan, keseimbangan mata pelajaran, teknik mengajar, dan hal-hal lain yang dapat direncanakan sebelumnya dalam pembelajaran. Kurikulum sebagai hasil belajar bertujuan untuk memberikan fokus hasil belajar yang dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Kurikulum sebagai reproduksi kebudayaan dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, ketika pemerintah menuntut para pendidik untuk membangun generasi yang mempunyai peradaban dan martabat yang tinggi, bertahan, berdaya saing, serta mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Kurikulum sebagai pengembangan kecakapan hidup, bertujuan mengembangkan kecakapan akademik, kecakapan pribadi, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional peserta didik (Widyastono, 2014: 3).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pemerintah kemudian mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan

(10)

pendidikan tertentu (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 19).

b. Pengertian Kurikulum 2013

Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Kurikulum 2013 merupakan suatu kebijakan baru pemerintah dalam bidang pendidikan yang diharapkan mampu untuk menjawab tantangan dan persoalan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia ke depan. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan kurikulum 2013, Guru tidak lagi disibukkan memikirkan silabus, tapi guru akan leluasa mengembangkan kreativitas dalam mengajar. Guru lebih dapat memfokuskan diri dalam mengembangkan kreatifitas pembelajaran dengan mengarahkan anak didik untuk melakukan pengamatan (observing), menanya (questioning), menalar (assosiating), mencoba (experimenting) dan membentuk jejaring (networking) (Sariono, 2014: 5)

Menurut Mulyasa (2014: 167), “tema Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang terintegrasi”. Kurikulum 2013 lebih ditekankan pada pendidikan karakter, terutama pada tingkat dasar, yang akan menjadi fondasi bagi tingkat berikutnya. Pendidikan karakter dalam Kurikulum 2013 ini bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan, yang mengarah pada pembentukan budi pekerti dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Dalam implementasi Kurikulum 2013, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam seluruh pembelajaran pada setiap bidang studi yang terdapat dalam kurikulum. (Mulyasa, 2014: 6-7).

(11)

Kurikulum 2013 menekankan pengembangan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik secara holistik (seimbang). Kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap ditagih dalam rapor dan merupakan penentu kenaikan kelas dan kelulusan peserta didik. Kompetensi pengetahuan peserta didik yang dikembangkan meliputi mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi agar menjadi pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan berwawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban. Kompetensi keterampilan peserta didik yang dikembangkan meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, dan mencipta agar menjadi pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah konkret dan abstrak. Kompetensi sikap peserta didik yang dikembangkan meliputi menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, mengamalkan sehingga menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya.

Kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap, pertama kali dikemukakan oleh Bloom (1965) dan sudah menjadi dasar dalam pengembangan kurikulum di Indonesia sejak kurikulum 1973 (kurikulum PPSP). Pada kurikulum 2013, ketiga kompetensi tersebut ditagih dalam rapor dan merupakan penentu kenaikan kelas dan kelulusan peserta didik sehingga guru wajib mengimplementasikannya dalam pembelajaran dan penilaian (Widyastono, 2014: 119-120).

Konten materi dalam Kurikulum 2013 dikemas dalam bentuk tematik yang diajarkan melalui pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik mendapat rekomendasi dari Komisi UNESCO terkait dengan konsep „the four pilar education”, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar melakukan sesuatu (learning to do), belajar hidup bersama sebagai dasar untuk berpartisipasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam keseluruhan aktivitas kehidupan manusia (learning to life

(12)

together), dan belajar menjadi dirinya (learning to be) dari empat pilar diatas, model pembelajaran pendekatan saintifik yang banyak menggunakan strategi “guided discovery” sangat membantu peserta didik untuk bagaimana cara belajar (learn to learn) atau membantu siswa memperoleh pengetahuan dengan cara menemukannya sendiri. Adapun langkah pembelajaran keterampilan proses sains dalam kurikulum 2013 ada lima langkah sebagai hasil reduksi dari proses penelitian ilmiah yaitu mengamati, menanya, mengeksperimen, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Yani, 2014: 121)

Implementasi dari Kurikulum 2013 ini harus melibatkan semua komponen (stakeholder), termasuk komponen-komponen yang ada dalam sistem pendidikan itu sendiri. Komponen-komponen tersebut antara lain kurikulum, rencana pembelajaran, proses pembelajaran, mekanisme penilaian, kualitas hubungan, pengelolaan pembelajaran, pengelolaan sekolah/ madrasah, pelaksanaan pengembangan diri peserta didik, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, serta etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah/ madrasah (Mulyasa, 2015: 9).

Terdapat perubahan pola pikir dalam kurikulum 2013 yaitu sebagai berikut.

1) Pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama.

2) Pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/ media lainnya.

3) Pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring (peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet).

(13)

4) Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan sains).

5) Pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim).

6) Pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia.

7) Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik.

8) Pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines). 9) Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran krisis.

Selain itu juga terdapat penguatan tata kelola kurikulum dengan cara sebagai berikut:

1) Tata kerja guru yang bersifat individual diubah menjadi tata kerja yang bersifat kolaboratif.

2) Penguatan manajemen sekolah melalui penguatan kemampuan manajemen kepala sekolah sebagai pimpinan kependidikan (educational leader)

3) Penguatan sarana dan prasarana untuk kepentingan manajemen dan proses pembelajaran (Widyastono, 2014: 129-130).

c. Karakteristik Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 dikembangkan dengan karakteristik sebagai berikut (Kemdikbud, 2013).

a) Mengembangkan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik secara seimbang.

b) Memberikan pengalaman belajar terencana ketika peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar secara seimbang.

(14)

c) Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam dalam berbagai situasi di Sekolah dan masyarakat.

d) Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

e) Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran.

f) Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, di mana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti.

g) Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar mata pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal) (Widyastono, 2014: 131).

d. Tujuan Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Widyastono, 2014: 131).

Melalui pengembangan Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan berbasis kompetensi, diharapkan bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat, dan masyarakatnya memiliki nilai tambah (addes value), dan nilai jual yang bisa ditawarkan kepada orang lain dan bangsa lain di dunia, sehingga kita bisa bersaing, bersanding dan bahkan bertanding dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan global. Selain itu, melalui implementasi Kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, dengan pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi

(15)

nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari (Mulyasa, 2014: 7).

Sesuai dengan rumusan Kementerian Pendidikan Nasional, nilai-nilai karakter tersebut terdiri dari sikap religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Dari 18 nilai karakter yang telah dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan Nasional tersebut dapat ditanamkan melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam khususnya pada materi Bani Abbasiyah. Dalam materi Bani Abbasiyah, nilai-nilai karakter tersebut dapat diteladani melalui tokoh-tokoh sejarah atau para khalifah pada masa itu. Siswa dapat membedakan mana sifat buruk yang tidak patut untuk dicontoh, dan mana sifat baik yang dapat dijadikan tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai karakter tersebut antara lain; sikap religius para khalifah sebagai ummat islam dengan berpedoman pada Al Qur‟an; sikap jujur dan demokratis para tokoh sejarah atau khalifah dalam menjalankan pemerintahan; adanya sikap toleransi sehingga pada masa itu terjadi asimilasi antara bangsa Arab (dinasti Abbasiyah) dengan bangsa lainnya; sikap disiplin, kerja keras dan semangat yang tinggi dalam menegakkan agama Islam sehingga pada dinasti Bani Abbasiyah mampu menggapai masa kejayaan Islam; sikap peduli lingkungan dan sosial seperti yang pada zaman khalifah Harun Ar-Rasyid yang pada masa itu kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesusasteraan berada pada masa keemasannya; sikap tanggung jawab para tokoh sejarah atau khalifah dalam menjalankan tugasnya; serta nilai karakter lainnya yang dapat dijadikan sebagai teladan bagi siswa. Selain itu, siswa juga dapat mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Dinasti Bani Abbasiyah, sehingga nantinya siswa bisa menjadi orang yang bijak dalam menghadapi tantangan yang ada dalam kehidupannya. Untuk itu, melalui

(16)

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) khususnya pada materi Bani Abbasiyah dapat menunjang ketercapaian tujuan dari kurikulum 2013. Hal ini karena pada pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) khususnya pada materi Bani Abbasiyah tidak hanya mengedepankan aspek afektif saja, tetapi juga aspek kognitif dan aspek psikomotorik.

3. Ketokohan Khalifah Bani Abbasiyah a. Tokoh Teladan

Kata tokoh dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang terkemuka dan kenamaan (dalam bidang politik, budaya, dan sebagainya) (Depdikbud, 2008). Menurut Aminudin (2002: 79), tokoh merupakan seseorang atau pelaku dalam suatu peristiwa. Dengan demikian, tokoh merupakan seseorang yang terkemuka atau kenamaan dibidangnya, atau seseorang yang memegang peranan penting dalam suatu bidang atau aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat. Seseorang tersebut berasal, dibesarkan dan hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu.

Kata teladan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti perbuatan atau barang dan sebagainya yang patut ditiru atau dicontoh (Depdikbud, 2008). Dalam bahasa Arab, kata teladan diungkapkan dengan kata qudwah yang berarti uswah, yaitu ikutan. Uswah ini dapat dimaknai menjadi uswah hasanah dan uswah sayyi’ah. Maka dalam Islam sering digunakan istilah qudwah hasanah untuk menggambarkan keteladanan yang baik. Qudwah adalah uswah (alifnya dibaca dhammah), artinya menjadikan (dia) contoh dan mengikuti. Selain itu Bayanuni dosen Pendidikan dan Dakwah di Universitas Madinah juga mengungkapkan bahwa Allah menjadikan konsep qudwah ini sebagai acuan manusia untuk mengikuti. Dengan demikian, teladan adalah hal-hal baik yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain. (Syafri, 2012: 142).

(17)

Berdasarkan penjelasan di atas, tokoh teladan merupakan seseorang yang terkemuka atau seseorang yang memegang peranan penting dalam suatu aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat yang memiliki sifat-sifat baik sehingga dapat ditiru dan dijadikan contoh oleh orang lain. Karena banyak orang yang meniru atau meneladani sifat baik dari tokoh teladan inilah, sehingga menjadikan seorang tokoh teladan mempunyai banyak pengikut. Bahkan seorang tokoh teladan dapat dijadikan sebagai sosok idola bagi para pengikutnya.

Salah satu yang menjadi tokoh teladan yaitu seorang khalifah atau pemimpin. Kata khalifah diambil dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti seseorang yang menggantikan kedudukan orang lain karena hilang atau meninggal dunia. Kata khalifah merupakan pengganti atau wakil Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan Islam atau kepala negara yang bertanggung jawab atas kemajuan agama dan politik (Sulasman & Suparman 2013: 53-54). Dalam perspektif Islam seorang pemimpin harus memiliki kriteria sebagai berikut:

1) Memiliki akidah yang kuat dan konsisten

2) Memiliki kekuatan jasmani dan rohani sehingga mampu berpikir secara tepat serta mampu melakukan tugas fisik secara baik

3) Memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas 4) Adil dan jujur

5) Memiliki tingkat pengalaman agama Islam yang tinggi (bertakwa) 6) Berakhlak mulia yang dapat menjadi teladan dalam kehidupan

kepemimpinan

7) Bersikap terbuka terhadap ide, saran, maupun kritik 8) Memperoleh dukungan dan dicintai oleh umat 9) Memiliki sifat pemaaf dan jiwa toleransi yang besar

10) Pemimpin harus orang yang ahli dalam bidangnya (kemampuan memimpin)

11) Memiliki kemampuan dalam memainkan peran yang kreatif dalam mengorganisasi kekuatan manusia yang berbeda-beda dan

(18)

menggunakannya untuk mencapai berbagai tujuan yang dikehendaki, baik individu maupun kolektif.

12) Visinya adalah Al-Qur‟an dan misinya menegakkan kebenaran di muka bumi

Menurut Toto Tasmara (1987) seorang pemimpin harus memenuhi kriteria, seperti seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akidah yang konsisten, harus mampu mampu menjabarkan dan menyatakan gagasannya dalam realitas melalui bentuk amal salih, dia yang gandrung atau cinta akan kebenaran serta memiliki kekuatan serta daya nalar yang dinamis, memiliki kesabaran yang tinggi sehingga tidak mudah terjebak dalam situasi yang merugikan dirinya maupun kelompoknya. Selanjutnya, ia menyatakan, pemimpin harus memenuhi syarat, diantaranya mampu mendayagunakan waktu secara efisien, memiliki kesadaran yang tinggi atas posisi dirinya sebagai manusia, dalam relasinya dengan Sang Pencipta dan relasinya dengan manusia serta alam semesta, memiliki kecintaan serta keyakinan yang mendalam atas tujuannya, mampu menyatakan dan mewujudkan rencananya dalam bentuk tindakan, gandrung akan ilmu dan kebenaran serta mampu mengkomunikasikan kebenaran tersebut, memiliki kesabaran yang tinggi (Marzuki, 2012: 191).

b. Kekhalifahan Pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah

Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah atau Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan

(19)

pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima- periode (Yatim, 2008: 49-50).

1) Periode Pertama (132 H/ 750 M - 232 H/ 847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.

2) Periode Kedua ( 232 H/ 847 M - 334 H/ 945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.

3) Periode ketiga (334 H/ 945 M - 447 H/ 1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.

4) Periode Keempat ( 447 M/ 1055 - 590 H/ 1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.

5) Periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

Kepemimpinan dinasti Abbasiyah selama kurun waktu lebih dari lima abad dipegang oleh lebih dari 37 khalifah, atau masing-masing berkuasa selama 14 tahun. Namun dari 37 khalifah Bani Abbas, tentu tidak semuanya memiliki karakter sebagai khalifah yang cerdas, berani, bertanggung jawab, cinta ilmu, dan berkepribadian mulia. Di antara mereka itu ada pula yang kemampuan dan akhlaknya yang kurang baik, bahkan dapat dikatakan lemah. Dari 37 orang khalifah Bani Abbas tersebut ada lima khalifahnya yang paling terkenal, yaitu Abu al-Abbas Saffah, Abu Ja‟far Manshur, Mahdi, Harun Rasyid, dan al-Ma‟mun (Nata, 2011: 147-148). Tetapi dari kelima khalifah tersebut, yang dapat dijadikan sebagai tokoh teladan yaitu Abu Ja‟far al-Manshur, al-Mahdi, Harun al-Rasyid, dan al-Ma‟mun. Hal ini karena Abu al-Abbas al-Saffah terkenal banyak melakukan pembunuhan sehingga ia dijuluki al-saffah yang berarti si haus darah alias gemar membunuh. Khalifah-khalifah yang dapat dijadikan sebagai tokoh teladan tersebut yaitu:

(20)

1) Abu Ja‟far al-Mansur

Abu Ja‟far al-Mansur berkuasa selama lebih kurang 20 tahun, yaitu mulai tahun 754 M/136 H dan berakhir tahun 775 M/158 H. Sejarah mencatat, bahwa Abu Ja‟far al-Mansur dianggap sebagai tokoh Abbasiyah yang terkenal hebat, berani, tegas, berpikir cerdas, dan gagah perkasa. Ibn Thabathiba, misalnya, berkata bahwa al-Mansur adalah seorang raja yang agung, tegas, bijaksana, alim, berpikir cerdas, pemerintahannya rapi, amat disegani, dan berbudi baik. Masa kekuasaannya yang relatif lama itu, digunakan untuk memperhatikan masalah sosial. Sejarah mencatat, bahwa pada masa kekhalifahan ini digunakan untuk menyusun peraturan, membuat undang-undang, dan menciptakan inovasi dalam pemerintahan. Abu Ja‟far al-Mansur dikenal sebagai khalifah yang mencintai ilmu (Nata, 2011: 148). Hal ini dapat dilihat dari usaha yang dilakukan dalam memajukan ilmu melalui hal-hal sebagai berikut:

a) Menyalin buku-buku ilmu pengetahuan yang berbahasa Yunani, Sanskerta, Persia, dan Suryani ke dalam bahasa Arab.

b) Menyusun buku-buku yang berkaitan dengan agama Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu hadist yang telah diseleksi, nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.

c) Mendatangkan kaum cendekiawan dari berbagai negara untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti kedokteran, ilmu falak, ilmu astronomi, dan lain-lain. d) Pada masa Abu Ja‟far juga telah dilakukan penyusunan dan

penyaringan ilmu hadist. Upaya ini dilakukan agar tidak terjadi pemalsuan terhadap perkataan dan perbuatan taqrir Nabi Muhammad saw (Hadist Nabi).

2) Al Mahdi

Al-Mahdi yang memiliki nama lengkap Abu Abd. Allah Muhammad Ibn al-Mansur lahir di Idzaj (daerah antara Khuzistan dan Isfahan) pada tahun 126 H. Al-Mahdi dikenal sebagai sosok yang

(21)

dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat serta banyak memberikan hadiah-hadiah. Selain itu, ia juga mengembalikan harta-harta yang dirampas secara tidak benar. Ketika al-Mahdi menjadi khalifah, negara telah dalam keadaan stabil dan mantap, dapat mengendalikan musuh-musuh dan keuangannya pun telah terjamin. Perekonomian pada masa Al-Mahdi mulai meningkat dengan adanya peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan serta Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Karena itu zaman pemerintahan al-Mahdi terkenal sebagai zaman yang makmur dan hidup dalam kedamaian (Yatim, 2008: 52).

Masa pemerintahan Al-Mahdi selain digunakan untuk menciptakan stabilitas politik dalam negeri dan menyejahterakan masyarakat, juga untuk memurnikan agama dan praktik bid‟ah. Dalam kaitan ini, ia misalnya membebaskan semua orang dari penjara, mengembalikan harta para keturunan Nabi dan mengizinkan mereka kembali untuk menerima supali dari Mesir, membagikan harta sebanyak 30 juta dirham sebagai derma bagi rakyat Hejaz, membangun kembali masjid Nabi, memberikan tunjangan hidup bagi orang yang terkena penyakit kusta dan orang-orang yang miskin, membuat penginapan dan sumur di jalan-jalan yang dilalui jamaah haji, serta memberikan pengawalan kepada para turis dan jemaah haji. Namun demikian, ia tidak memberikan peluang bagi tumbuhnya praktik-praktik bid‟ah. Ia misalnya pernah menumpas gerakan Zoroastrianisme yang dipimpin oleh Ibn. Abd. Al-Qudus. Selain itu, ia juga membangun benteng-benteng yang memberikan pengamanan terhadap pusat-pusat kota. Berkat usaha kerasnya ini, maka Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional. Musik, syair, filsafat, dan kesusasteraan mulai menarik perhatian banyak orang (Nata, 2011: 149).

(22)

3) Harun Al-Rasyid

Pada zaman Harun al-Rasyid (786-809 M), dunia Islam mengalami kemajuan yang semakin pesat. Para ahli sejarah menganggap Harun al-Rasyid sebagai khalifah yang paling besar dan cemerlang yang membawa dinasti Abbasiyah ke zaman keemasan. Melalui pemerintahannya yang berlangsung kurang lebih selama 23 tahun ia telah berhasil membuat dinasti ini mencapai kemajuan dan kejayaan di bidang politik, ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan, dan peradaban islam (Nata, 2011: 149-150).

Harun Ar-Rasyid merupakan seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan.

Selama masa pemerintahannya, Ar-Rasyid berusaha untuk melakukan kebijakan-kebijakan sebagai berikut.

a) Mengembagkan bidang ilmu pengetahuan dan seni

b) Membangun gedung-gedung dan sarana sosial

c) Memajukan bidang ekonomi dan industri

d) Memajukan bidang politik pertahanan dan perluasan wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah

Harun Al-Rasyid banyak memanfaatkan kekayaannya untuk keperluan sosial. Seperti mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling terwujud pada zaman khalifah ini adalah pada masa Harun Al-Rasyid. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa inilah

(23)

negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim, 2008: 52-53).

4) Al-Ma‟mun

Pada zaman Al-Ma‟mun, keadaan peradaban dan kebudayaan Islam semakin mencapai puncak keemasannya. Al-Ma‟mun adalah tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuan, keberanian, kehebatan, kesabaran, dan kecerdasannya. Khalifah ini dikenal karena keintelektualian dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, serta jasa-jasanya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Ma‟mun banyak mendirikan sekolah. Dia juga banyak mengoleksi buku-buku untuk disimpan di perpustakaan Bait al-Hikmah. Untuk itu ia mengundang para pakar bahasa untuk menerjemahkan buku-buku sains dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan gaji yang besar dan memuaskan. Kegemaran al-Ma‟mun terhadap ilmu pengetahuan mendorong dirinya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat, kebudayaan, dan peradaban. Pada masa Al-Ma‟mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Nata, 2011: 150).

Secara umum, nilai-nilai keteladanan dari para khalifah yang menonjol pada masa Dinasti Bani Abbasiyah yang dapat diajarkan kepada peserta didik adalah sikap pemberani, taat beragama, tegas, disiplin, bertanggung jawab, cinta tanah air, berpikir cerdas, bijaksana, dermawan, sabar, cinta terhadap ilmu pengetahuan, berwawasan luas, adil, jujur, toleransi dan peduli sosial. Dengan diajarkannya nilai-nilai keteladanan dari para khalifah yang menonjol pada masa Dinasti Bani Abbasiyah ini, maka siswa dapat meneladani dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

(24)

B. Penelitian yang Relevan

Berdasarkan hasil penelusuran referensi, terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan masalah pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Penelitian tersebut yaitu:

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayati (Vol. 9, No. 1, 2015) dengan judul “Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Berdasarkan Kurikulum 2013 di Madrasah Aliyah Negeri Karanganyar”. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa 1) guru cukup mampu memahami kurikulum 2013, meskipun dalam penerapannya masih mengalami kesulitan. Pemahaman guru Sejarah Kebudayaan Islam mengenai Kurikulum 2013 diperoleh guru berdasarkan pelatihan yang telah diikuti dan juga mempelajarinya sendiri. 2) Guru menyusun perangkat pembelajaran tertulis berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berpedoman pada silabus Kurikulum 2013. 3) Selama pembelajaran berlangsung, diketahui bahwa secara garis besar proses pembelajaran terbagi dalam tiga tahap, yakni kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. 4) Evaluasi yang dilakukan guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) terhadap peserta didik adalah dengan melakukan penilaian kompetensi yang dicapai peserta didik sesuai dengan Kurikulum 2013 yang mencakup 3 aspek yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. 5) Kendala yang dihadapi diantaranya belum tersedianya buku siswa Sejarah Kebudayaan Islam peminatan, penggunaan media yang belum maksimal, keadaan siswa yang mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda, dan terlalu mendetailnya teknik penilaian membuat guru mengalami kesulitan. 6) Faktor pendukungnya adalah sudah tersedianya fasilitas pembelajaran dengan baik, seperti LCD TV, LCD proyektor serta audio.

Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayati dengan yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) berdasarkan kurikulum 2013 pada satuan pendidikan Madrasah Aliyah Negeri (MAN), mulai dari pemahaman guru terhadap kurikulum 2013, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, proses evaluasi serta faktor penghambat dan pendukung. Sedangkan letak

(25)

perbedaannya yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Nur Hidayati hanya menganalisis pembelajaran Sejarah Keberadaan Islam (SKI) secara umum, sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan, peneliti lebih memfokuskan pada salah satu cakupan materi yang ada pada Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dalam hal ini yaitu pada materi Bani Abassiyah.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Haris Firmansyah (Vol. 1, No. 1, 2014) dengan judul “Analisis Pembelajaran Sejarah Kebudayan Islam di Madrasah Aliyah Negeri 2 Pontianak”. Hasil dari penelitian yang dilakukan Haris Firmansyah yaitu 1) perencanaan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di Madrasah Aliyah Negeri 2 Pontianak disusun secara mandiri oleh guru berupa silabus, Program Tahunan, Program Semester dan RPP. 2) Dalam pelaksanaan proses pembelajarannya dinilai belum berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. 3) Untuk proses evaluasi pembelajaran yakni melalui penilaian proses dan penilaian tertulis dengan kriteria ketuntasan minimal dituliskan dengan nilai angka 75. 4) kendala dalam proses pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) antara lain kurangnya sarana-prasarana, waktu yang sedikit dan materi yang begitu banyak, penerapan metode yang monoton, penggunaan media yang sangat minim, dan sumber belajar tidak banyak yang digunakan.

Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Haris Firmansyah dengan yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) pada satuan pendidikan Madrasah Aliyah Negeri (MAN), mulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran serta fakor penghambat dan pendukung. Perbedaannya yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh Haris Firmansyah hanya menganalisis pembelajaran Sejarah Keberadaan Islam (SKI) secara umum dan juga tidak menganalisis kurikulumnya. Sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan, peneliti lebih memfokuskan pada salah satu cakupan materi yang ada pada Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dalam hal ini yaitu pada materi Bani Abassiyah, selain itu peneliti juga menganalisis pemahaman guru terhadap kurikulum yang digunakan dalam hal ini kurikulum 2013.

(26)

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Murdani (Volume 14, No. 2, Februari 2015) dengan judul “Implementasi Pembelajaran Demokratis: Sebuah Studi Tentang Pembelajaran SKI Pada Madrasah Tsanawiyah di Aceh”. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Murdani yaitu masih terdapatnya keterbatasan guru dalam penggunaan pembelajaran demokratis secara aplikatif sehingga menjadikan efesiensi dan efektifitas pembelajaran menjadi berkurang.

Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Murdani dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Perbedaannya yaitu jika dalam penelitian Murdani lebih ditekankan pada implementasi pembelajaran yang demokratis dalam proses pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Selain itu pada penelitian Murdani objek sekolahnya mengambil lebih dari satu sekolah. Sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan lebih ditekankan pada proses pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) khususnya pada materi Bani Abassiyah. Selain itu, pada penelitian ini lebih difokuskan pada satu sekolah yaitu MAN 1 Surakarta.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Endang Purwani (Jurnal Ilmiah STKIP PGRI Ngawi, Vol. 12, No. 2, 2012) dengan judul “Peningkatan Pemahaman Sejarah Kebudayaan Islam Pada Siswa Kelas VII D Semester 2 MTsN Ngawi Tahun Pelajaran 2011/2012 Melalui Media Audiovisual”. Hasil dari penelitian Endang Purwani menunjukkan bahwa penerapan media pembelajaran audiovisual dapat meningkatkan pemahaman belajar siswa Kelas VII D MTsN Ngawi pada mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) khususnya sejarah perkembangan Islam pada masa Khulafaurrasyidin yang ditandai dengan peningkatan hasil belajar siswa.

Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Endang Purwani dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Perbedaannya yaitu pada penelitian Endang Purwani metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK), sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan metode penelitian kualitatif. Perbedaan yang lain terletak pada

(27)

cakupan materinya. Pada penelitian Endang Purwani mengacu pada materi tentang sejarah perkembangan Islam pada masa Khulafaurrasyidin, sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu pada materi Bani Abassiyah.

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Maryamah (Ta‟Dib Vol. XIX, No. 02, November 2014) dengan judul “Teknik Mind Maping dan Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Ibtidaiyah Adabiyah II Palembang”. Hasil dari penelitiannya yaitu ada perbedaan skor hasil belajar siswa MI antara sebelum dan sesudah diterapkannya teknik mind mapping pada pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).

Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Maryamah dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Perbedaannya yaitu pada metode penelitian yang digunakan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Maryamah menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif, sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Perbedaan lainnnya yaitu pada cakupan materi. Pada penelitian Maryamah mengacu pada materi tentang Fathu Makkah, sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu pada materi Bani Abassiyah.

Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Chusaini dan Faridah Hanum (Jurnal Penelitian Tindakan Kelas Pendidikan Agama Islam, Vol. 04, No. 1, Juni 2013) dengan judul “Upaya Peningkatan Pemahaman Siswa Pada Materi Sejarah Kebudayaan Islam Melalui Contextual Teaching and Learning di Kelas VB MI Ma’arif Candi”. Hasil penelitiannya, yaitu materi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dengan metode CTL menunjukkan ada peningkatan hasil belajar peserta didik terbukti dengan data-data nilai yang mengalami peningkatan pre test dan post test serta hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan sikap dan motivasi yang cukup baik bagi peserta didik untuk selalu belajar.

Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Chusaini dan Faridah Hanum dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sedangkan

(28)

perbedaannya yaitu pada metode penelitian yang digunakan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Chusaini dan Faridah Hanum menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK), sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Perbedaan yang terakhir yaitu pada cakupan materi. Pada penelitian Ahmad Chusaini dan Faridah Hanum mengacu pada materi tentang memahami keperwiraan Rasulullah SAW dalam berbagai perang seperti perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq dan perjanjian Hudaibiyah, sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu pada materi Bani Abassiyah.

Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Munawir (Jurnal PGMI Madrasatuna, Vol. 04, No. 01, September 2012 Hal. 1- 24) dengan judul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Siswa Kelas IV dengan Strategi Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) di Madrasah Ibtidaiyah Assyafi’iyah Tanggul Wonoayu, Sidoarjo”. Hasil penelitiannya adalah penggunaan strategi pembelajaran CTL (Contextual Teaching And Learning) berjalan dengan baik dan lancar, sehingga hasil belajar siswa meningkat, tidak hanya hasil belajar saja yang meningkat, akan tetapi juga dari hasil observasi, dan kuesioner terhadap siswa dan guru ketika proses belajar berlangsung.

Relevansi antara penelitian yang dilakukan oleh Munawir dengan penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu sama-sama menganalisis tentang pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sedangkan perbedaannya yaitu pada metode penelitian yang digunakan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Munawir menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK), sedangkan pada penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.

(29)

C. Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir

Penelitian ini memiliki kerangka berfikir yang diawali dari MAN 1 Surakarta sebagai suatu satuan pendidikan yang di dalamnya terdapat beberapa mata pelajaran salah satunya adalah mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) menekankan pada kemampuan mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, ipteks dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), guru merupakan kunci utama keberhasilan itu. Untuk itu, guru harus memahami

Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

di MAN 1 Surakarta

Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) berbasis Kurikulum 2013

Materi Bani Abbasiyah

Pemahaman Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) terhadap Kurikulum 2013 Perencanaan Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Pelaksanaan Pembelajara n Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Evaluasi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Faktor Pendukung & Penghambat Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

(30)

bagaimana pengembangan kurikulum yang termuat di dalam silabus untuk menyusun RPP, memahami materi ajar (materi pokok), metode pembelajaran, dan penilaian yang sesuai dengan Kurikulum 2013.

Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di sekolah dalam kurikulum 2013 ini bertujuan untuk membentuk karakter siswa menjadi lebih mandiri dan kreatif. Salah satu materi yang terdapat pada mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) kelas XI adalah Bani Abbasiyah. Guru sebagai fasilitator harus mampu mengarahkan siswa untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang luas terkait dengan materi Bani Abbasiyah. Untuk itu, seorang guru harus memahami pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang sesuai dengan Kurikulum 2013, khususnya pada materi Bani Abbasiyah. Mulai dari perencanaan pembelajaran yang meliputi penyusunan RPP, program tahunan, program semester, dll. RPP yang telah disusun oleh guru kemudian dilaksanakan dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Selanjutnya, untuk melihat hasil akhir pembelajaran, harus dilakukan evaluasi untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam pada materi Bani Abassiyah dapat tercapai. Di dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan oleh guru tersebut, juga perlu dicari berbagai faktor baik faktor pendukung maupun faktor penghambatnya, tujuannya agar untuk kedepannya guru bisa lebih bijak dalam menghadapi faktor-faktor tersebut sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Gambar

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Layanan Dial-Up merupakan jasa akses internet yang memanfaatkan jaringan telepon biasa dan modem dial up, pelanggan diharuskan berlangganan ke Internet Service Provider

Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat dipergunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada

PENERAPAN PAKEM MELALUI STRATEGI MASTER UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman