PERUBA
POKO
PAR
HAN KON
OK BAHA
RALEL ME
NSEP SISW
ASAN RAN
ENGGUN
WA DALA
NGKAIAN
NAKAN M
AM PEMB
N SERI DA
ETODE D
BELAJARA
AN RANGK
DEMONST
AN FISIKA
KAIAN
TRASI
A
Skripsi
Diajuukan untuk Memenuhi Salah Satuu Syarat M
Memperoleh Gelar Sarjaana Pendidiikan Program SStudi Pendidikan Fisikka
Oleh
ALFFONSA ARRVINA
JURUS PRO AN PENDI FAKULT U NIM 021424028
OGRAM STTUDI PENDDIDIKAN FISIKA DIKAN MAATEMATIKA
ALAM
A DAN ILMMU PENGEETAHUAN
TAS KEGURRUAN DANN ILMU PENDIDIKANN UNIVERSITTAS SANATA DHARMMA
YOGYAKARRTA 2008
A
T
♥
♥ ♥†
♥ ♥ ♥ ♥ †Aku ini,
“Jang
Seb
Teruntuk
♥Allah B
sumber♥ Bunda M ♥Mama te
†
Papa ya♥Abangku
♥Little an ♥ Hardian
♥Sahabat,
† alm Agus
menjagan
“ aku tid
menan
Dengarkani, Tuhan,
ganlah ta
bab ranc
dan
yang kuc
Bapa dan r kekuatan Maria. ercinta yanang telah m
u Severian
ngel : Euag
nus D yang
, Keluarga
stina Aye “k ya untukmu
dak pern
ntiku..na
mem
nlah naseha, Allahm
dan ber
akut, Ak
canganK
n jalanm
( Yesay
inta :
Yesus K
n dan peng
ng selalu m
mengirimka
us Susanto
geliony Ezr
g selalu me
a besar dan
kau tetap sa u…moga tid
nah tahu
amun aku
milih satu
at dan teri( iv
mu, mem
rkata kep
kulah ya
Ku buka
mu bukan
ya 41 : 13
Kristus, Ju
ghiburanku
memperjuan
an semanga
o dan Adi
ra Rezmali engasihiku n almamate ahabat yang dur panjang
masa dep
u mau pe
u jalan te
imalah didi depan (Amsal 19: 2
megang t
padamu
ang men
anlah ra
nlah jala
3, 55 : 8)
uru Selam
u.
ngkan yang
at dan cint
kku Marti isa erku. g terbaik… gmu indah
epan sepe
ercata ba
erbaik un
ikan,supay 20tangan k
u :
nolong en
ancangan
anKu
)
mat dang terbaik u
ta dari So
inus Alfre
maaf, aku dan damai
erti apa y
ahwa Al
ntukku”
ya engkau bkananm
ngkau”
nmu
Penebusk untukku orga ed Ferro nggak bisa di sisi BapaABSTRAK
Alfonsa Arvina. 2008. Perubahan Konsep Siswa Dalam Pembelajaran Fisika Pokok Bahasan Rangkaian Seri dan Rangkaian Paralel Menggunakan Metode Demonstrasi. Skripsi S-1. Yogyakarta: Pendidikan Fisika. JPMIPA. FKIP. Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan konsep siswa mengenai konsep-konsep yang berhubungan dengan rangkaian seri dan rangkaian parallel. Untuk menentukan ada tidaknya perubahan konsep siswa mengenai konsep rangkaian seri dan rangkaian parallel, peneliti membandingkan konsep siswa sebelum dan sesudah pembelajaran dengan demonstrasi.
Penelitian ini dilakukan di SMA Angkasa Adisudjipto Yogyakarta, pada bulan September-November 2007. Subyek dalam penelitian adalah siswa-siswi kelas XII IPA.
Penelitian ini didesain mencakup enam tahap, yang terdiri dari pemilihan instrument, mengerjakan soal tertulis kemudian pemilihan partisipan, membuat peta konsep dan wawancara sebelum pembelajaran, pembelajaran dengan demonstrasi, membuat peta konsep dan wawancara setelah pembelajaran dengan demonstrasi kemudian menganalis data peta konsep dan wawancara sebelum dan sesudah pembelajaran.
Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal tertulis, peta konsep dan wawancara. Test tertulis berupa soal-soal esai berjumlah 20 pertanyaan, yang mencakup konsep pokok yang berhubungan dengan rangkaian seri dan rangkaian paralel tidak termaksud dalam data yang akan dianalisis dan hanya digunakan sebagai data untuk menentukan partisipan.
Treatment yang dilakukan adalah mendemosntrasikan cara mengukur tahanan suatu beban, mengukur beda potensial dan mengukur kuat arus
Peta konsep dianalisis berdasarkan system penilaian menurut Novak dan Gowin. Hasil wawancara dituangkan dalam bentuk tulusan kemudian dicoding.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) sebelum pembelajaran dengan demonstrasi, siswa memiliki pemahaman yang tidak lengkap dan pemahaman yang tidak sesuai dengan konsep yang sebenarnya mengenai rangkaian seri dan rangkaian parallel, (2) setelah pembelajaran dengan demonstrasi, terjadi perubahan konsep yakni pemahaman yang tidak lengkap menjadi lengkap dan pemahaman yang tidak benar menjadi benar sehingga miskonsepsi yang terjadi dapat diperbaiki, (3) metode demonstrasi dapat membantu perubahan konsep siswa.
ABSTRACT
Alfonsa Arvina. 2008. Students Conceptual Changes on Series and Parallel Circuits Using Demonstration Method. Thesis S-1. Yogyakarta. Physics Education. JPMIPA. FKIP. Sanata Dharma University.
This research is a descriptive qualitative study. It was aimed to find out the students conceptual changes about the concepts that are related to series and parallel circuits. To determine the students conceptual changes about series and parallel circuits, the researcher compared the students concept before and after they studied using demonstration.
The research was done in SMA Angkasa Adisudjipto Yogyakarta, on September-November 2007. The subjects of this research were students science class on grade XII.
The research was designed in six steps, namely the choice of instrument, the test to choose participants, concept map design and the interview before and after studied by using demonstration and than analyze data concept map and interview before and after using demonstration.
The instrument of this research was written test, concept maps and interview. Written test contained of 20 question covered the main concept series circuits and parallel circuits.
The treatment of this research was demonstration strategy
Concept map was analyzed based on valuing systems developed by Novak and Gowin. Interviews was analyzed with coding manual.
This research showed that (1) before and after studied by demonstration, the students had incomplete and unsurtable understanding about the real concept of series and parallel circuits; (2) there was conceptual changes that was the incomplete understanding becoming complete and unsuitable understanding become suitable the miss-concept can be corrected. (3) demonstration method can be used to change students concept.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur pertama-tama penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus
Kristus atas segala kasih dan penyertaan yang diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menuyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
prasyarat guna memperoleh gelar Sarjana Pedidikan Program Studi Pendidikan Fisika
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Skripsi ini membahas
tentang Perubahan Konsep Siswa dalam Pembelajaran Fisika Pokok Bahasan
Rangkaian Seri dan Rangkaian Paralel Menggunakan Metode Demonstrasi
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik tanpa
proses yang panjang dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Maka pada kesempatan ini, penulis secara khusus mengucapkan
banyak terima kasih, kepada:
1. Romo Dr. Paul Suparno, S.J., M.S.T. selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan sabar serta memberikan banyak masukan kepada penulis.
2. Bapak Drs. Domi Saverinus, M.Si selaku KaProdi Pendidikan Fisika JPMIPA.
3. Dosen-dosen yang pernah memberikan banyak ilmu dan membimbing selama
perkuliahan yang ditempuh penulis : Ibu Maslichah Asy’ari, M.Pd selaku dosen
pembimbing akademik, Bp. T. Sarkim, Ph.D., Bp. Sinaradi, M.Pd., Bp.
A.Admadi, M.Si., Bp. Drs. Kartika Budi, M.Pd., Bp. R. Rohandi, M.Ed.
4. Dosen penguji, terima kasih atas saran dan kritiknya.
5. Pak Narjo dan Pak Sugeng yang banyak membantu di Sekretariat.
6. Kepala Sekolah, guru fisika dan siswa-siswi SMU kelas III IPA Angkasa
Adisudjipto Yogyakarta
7. Ibu Dortina, A.Md selaku orang tua penulis yang telah berjuang sendirian untuk
membesarkan dan memberikan yang terbaik buat penulis dari kecil sampai
terselesaikannya skripsi ini (tanpa mama, Al nggak akan seperti ini, maaf..Al
banyak menyusahkan mama, mama orang terhebat dalam hidup Al..Al
BANGGA). Bapak Alm Ambrosius (bapak senyum ya dalam tidur panjang disisi
Bapa dan moga makin indah, Al yakin Bapak melihat Al mewujudkan
keinginanmu..restui selalu langkah-langah Al kedepan..Al rindu sama bapak)
8. Abangku Santo, Adikku Ferro, Iparku dan keponakanku “terima kasih atas
supportnya selama ini, aku mencintai kalian dalam hari-hariku”
9. Abangku Hardianus D : “makasih yach Abe udah sayang, setia dan mengerti
selama hampir dua tahun ini, moga kita bisa berjalan bersama hingga mencapai
satu titik tujuan kebersamaan kita”
10.Keluarga besarku di Toho, Pakumbang, Seilaki, Pontianak dan Menjalin…terima
kasih atas dukungan nasehat, dan doanya.
11.Keluarga Emonku di Silung (bapak, mama’, kak eka…semuanya ..trimakasih atas
support yang diberikan), Keluarga di Nangka dan Nyawan.
12.Keluarga di Salatiga (papi, mami mba’Anna, Mas Ben, Mas Eko, Kezia, special
to Cristina T.H, S.Farm,.Apt “my baby Bear, my best friend, my best
sister…thanks pernah nangis dan tertawa bersama”) dan Djogja ( Da Al, Uni
Nike, Dina, Rahma).
13. Sahabat baikku: Miftahul Jennah, Natassa Natalia Stg, S.Pd “makacih atas
kebersamaan dalam tawa, gila-gilaan dan terpuruk bersama ..you’re the best”
14.Teman-teman P.Fis’02 : Asti, Ting2, Dono, Win, Aka, Rita, Vina, Andre, Dedi’,
Ecin, Dina, Chichie, Titik, Nitnot, Atik, Idang, Wisnu, Heru, Eko, Katamso,
Sulis, Ari Cebol, Ari Kambing “ kapan kita akan bertemu lagi?????”
15.Anak-anak kost Paingan 126 : Indra, X tien, Ika, Flor, Diyah dan eks 126 , Leny
Emelia, S.Farm.,Apt.
16.Teman-teman KKN : Jeng Bhita, Jeng Bhayu, Jeng Vicka, Ishoikhun, Jane, Tien2,
Jevie, KeceBur (Ratna), Nataka (thanks atas abstrak inggrisnya) : makasih kalian
pernah masangin kaos kaki terbalik untukku dan senang bisa out bound bersama
selama 21 hari ditenda ‘massai ceria’
17. Julius Nikko dan Fransiskus Itop “thanks pernah memberikan banyak support
dan menciptakan kebersamaan dalam hari-hariku yang lalu, aku tetap sayang
kalian...kembalilah padaNya, DIA mencintaimu dengan kasihNya yang Agape”.
18.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan saran, kritik dan sebagainya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih bila ada saran dan kritik yang dapat membangun
penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi referensi
bagi pembaca.
Yogyakarta, 29 Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... Iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... V ABSTRAK... vi
ABSTRACT... vii
KATA PENGANTAR... viii
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR BAGAN... xvi
DAFTAR GAMBAR... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
BAB I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 4
C. Tujuan Penelitian... 4
D. Manfaat Penelitian... 5
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Konsep... 6
1. Pengertian Konsep... 6
2. Memahami Konsep... 9
3. Tingkat Pencapaian Konsep... 10
4. Proses Perubahan Konsep... 11
5. Aplikasi Teori Perubahan Konsep Dalam Pembelajaran Fisika... 15
B. Miskonsepsi... 21
1. Miskonsepsi dalam Listrik... 22
2. Penyebab Miskonsepsi... 25
3. Miskonsepsi dari Sudut Filsafat Konstruktivisme... 26
4. Mendeteksi Miskonsepsi... 27
C. Peta Konsep... 30
D. Metode Demonstrasi... 36
1. Pengertian Demonstrasi... 36
2. Fungsi Demonstrasi... 37
3. Persiapan dan Pelaksanaan Demonstrasi... 40
4. Keunggulan, Kelemahan dan manfaat Demonstrasi... 45
E. Rangkaian Listrik... 48
1. Rangkaian Seri... 48
2. Rangkaian Paralel... 50
F. Kaitan Teori dengan Penelitian... 51
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian... 53
B. Waktu dan Tempat Penelitian... 54
C. Subyek Penelitian... 55
D. Treatment... 56
E. Instrument Penelitian... 58
F. Metode Analisis Data... 61
BAB IV. DATA DAN ANALISIS A. Deskripsi penelitian... 64
B. Data dan Analisis... 65
1. Gambaran Umum Konsep Awal Siswa Pokok Bahasan Rangkaian Seri... 66
2. Gambaran Umum Konsep Akhir Siswa Pokok Bahasan Rangkaian Seri... 76
3. Gambaran Umum Konsep Awal Siswa Pokok Bahasan Rangkaian Paralel... 86
4. Gambaran Umum Konsep Akhir Siswa Pokok Bahasan Rangkaian Paralel... 94
5. Gambaran Umum Menenai Pengaruh Rangkaian Terhadap Arus Listrik... 102
6. Peta Konsep... 104
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan... 108
B. Saran... 110
DAFTAR PUSTAKA... 112
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Contoh data hasil jawaban soal tertulis siswa... 55
Tabel 2 : Rangkuman konsep awal dan konsep akhir partisipan mengenai rangkaian seri... 84
Tabel 3 : Rangkuman konsep awal dan konsep akhir partisipan mengenai rangkaian paralel... 100
Tabel 4 : Rangkuman konsep awal dan konsep akhirpartisipan mengenai pengaruh rangkaian terhadap kuat arus... 103
Tabel 5 : Tujuan dan Soal Tertulis... 117
Tabel 6 : Data Hasil Soal Tertulis... 158
Tabel 7 : Coding Hasil Wawancara... 189
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 : Desain Penelitian... 54
Bagan 2 : Peta Konsep Rangkaian Listrik yang belum lengkap... 60
Bagan 3 : Contoh penskoran Peta Konsep... 63
Bagan 4 : Pretest Peta Konsep Rangkaian Listrik Partisipan 1... 161
Bagan 5 : Pretest Peta Konsep Rangkaian Listrik Partisipan 2... 162
Bagan 6 : Pretest Peta Konsep Rangkaian Listrik Partisipan 3... 163
Bagan 7 : Posttest Peta Konsep Rangkaian Listrik Partisipan 1... 164
Bagan 8 : Posttest Peta Konsep Rangkaian Listrik Partisipan 2... 165
Bagan 9 : Posttest Peta Konsep Rangkaian Listrik Partisipan 3... 166
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Jaringan Listrik terbuka... 22
Gambar 2 : Rangkaian Listrik dengan tiga lampu... 23
Gambar 3 : Rangkaian Listrik dengan dua lampu A dan B... 24
Gambar 4 : Peta Konsep Paling Sederhana... 30
Gambar 5 : Peta Konsep yang memuat konsep perantara... 31
Gambar 6 : Peta Konsep yang konsep perantaranya dijadikan bagian dari proposisi... 31
Gambar 7 : Dua buah penghambat dirangkai secara seri... 49
Gambar 8 : Hambatan pengganti R1 dan R2... 49
Gambar 9 : Dua penghambat disusun paralel... 50
Gambar 10 : Hambatan pengganti susunan paralel... 50
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian... 115
Lampiran 2 : Surat Telah Melaksanakan Penelitian... 116
Lampiran 3 : Tujuan dan Soal Penelitian... 117
Lampiran 4 : Petunjuk Demonstrasi... 128
Lampiran 5 : Petunjuk Wawancara... 143
Lampiran 6 : Contoh Hasil Soal Tertulis Partisipan... 148
Lampiran 7 : Data Hasil Soal Tertulis... 158
Lampiran 8 : Pretest Peta Konsep Rangkaian Listrik... 162
Lampiran 9 : Posttest Peta Konsep Rangkaian Listrik... 164
Lampiran 10 : Transkip Wawancara Pretest... 167
Lampiran 11 : Transkip Wawancara Posttest... 178
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pelajaran fisika di sekolah sering kali menjadi momok yang menakutkan bagi
siswa yang sedang mempelajarinya. Selain karena fisika terkadang sulit untuk
dipahami siswa, fisika juga penuh dengan rumus – rumus yang dianggap susah untuk
dimengerti oleh siswa. Seringkali rumus-rumus tersebut hanya dijadikan sebagai
hafalan sehingga fisika menjadi suatu pelajaran yang dianggap sukar, membosankan
dan membuat siswa tidak tertarik untuk mempelajarinya.
Selain dari sukarnya pelajaran fisika dimengerti oleh siswa, terkadang materi
fisika yang disampaikan juga tidak didukung oleh media pembelajaran yang bisa
mendukung siswa memahami peristiwa sebenarnya. Kurangnya media pendukung ini
bisa disebabkan karena sekolah tidak mampu untuk menyediakan media untuk
praktikum karena harganya yang mahal. Hal ini terlebih terjadi di sekolah-sekolah
yang berada di daerah – daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga materi
yang seharusnya disertai dengan praktikum untuk memperjelas materi, hanya
disampaikan secara lisan oleh pendidik. Akibatnya pengetahuan yang diharapkan
dicapai oleh siswa, tidak mencapai hasil yang optimal. Karena keterbatasan ini, maka
terkadang pengetahuan yang didapat siswa merupakan hasil transfer dari pendidik
dan bukan dari hasil pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh siswa sendiri,
sehingga konsep atau pengetahuan yang mereka dapatkan terkadang kurang
berkembang. Hal ini bertentangan dengan gagasan kaum konstruktivis yang
menyatakan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri
(Suparno, 1997), tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke
kepala orang lain (murid). Lebih lanjut Suparno menjelaskan bahwa proses
pembelajaran fisika yang benar haruslah mengembangkan perubahan konsep pada
diri siswa yang sedang belajar (Suparno, 2000).
Meskipun proses perubahan konsep tidaklah mudah, apalagi perubahan konsep
yang salah ke konsep yang sesuai dengan konsep ilmiah, akan tetapi bagi guru yang
ingin memajukan siswanya dalam pembelajaran perlu mengusahakan metode-metode
yang secara efisien mampu membantu siswanya dalam perubahan konsep. Untuk itu
para pendidik perlu berupaya untuk memberikan suatu metode pembelajaran yang
dapat diterima dan sesuai dengan kemampuan siswa, sehingga membantu siswa
menangkap materi yang disampaikan, memahaminya dan mengembangkan
pengetahuan yang mereka punyai.
Ada beberapa metode pembelajaran fisika yang dapat membantu proses
perubahan konsep salah satunya adalah metode demonstrasi. Dalam demonstrasi
proses perubahan konsep siswa dapat dikembangkan karena media yang digunakan
dapat membantu siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Selain itu media
pembelajaran tersebut juga dapat membuat siswa terpacu untuk mencari dan
melibatkan diri dalam mengobservasi, mengukur, mengklasifikasikan data,
melakukan eksperimen, mengaplikasikan data serta mengaplikasikan pengetahuan
yang telah didapatkan dalam lingkungan sekitarnya. Metode demonstrasi ini juga
memungkinkan untuk meminimalkan pengeluaran sekolah untuk biaya pengadaan
media-media yang harganya tidak terjangkau.
Model pembelajaran demonstrasi dapat bersifat konstruktivis bila dalam
demonstrasi guru tidak hanya menunjukkan proses atau pun alatnya, tetapi disertai
banyak pertanyaan yang mengajak siswa berpikir dan menjawab persoalan yang
diajukan. Adapun prisip-prinsip konstruktivisme yang dipakai, antara lain seperti
berikut: (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun
sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya
dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih
rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekedar membantu
menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus
(Suparno, 1997). Selain menunjukkan alat-alat demonstrasi dan mengajukan banyak
pertanyaan, satu hal yang harus diperhatikan oleh seorang guru adalah memberikan
kesempatan kepada siswanya untuk mengungkapkan gagasan-gagasan atau
konsep-konsep mereka. Dari kesempatan yang dimiliki oleh siswa untuk mengungkapkan
gagasan-gagasan atau konsep-konsep inilah akan diketahui salah konsep yang
dimiliki siswa, sehingga siswa dapat memperbaikinya.
Dari prinsip-prinsip konstruktivisme diatas, diharapkan melalui demonstrasi,
siswa dapat terbantu dalam pembelajaran terutama dalam perubahan pengetahuan
atau perubahan konsep yang mereka miliki. Perubahan ini secara umum dapat terjadi
dalam dua bentuk, yaitu pengembangan konsep seseorang dari yang belum sempurna
atau belum lengkap menjadi lebih lengkap dan pembetulan konsep yang tidak tepat
atau salah menjadi konsep yang benar atau sesuai dengan konsep yang disepakati
para ahli fisika.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka permasalahan yang akan
diungkapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat miskonsepsi siswa dalam pelajaran fisika pokok bahasan
rangkaian seri dan rangkaian paralel?
2. Apakah metode demonstrasi dapat membantu dalam mengatasi miskonsepsi siswa
dalam belajar fisika pokok bahasan rangkaian seri dan rangkaian paralel.
3. Apakah metode demonstrasi dapat membantu perubahan konsep siswa dalam
pembelajaran fisika pokok bahasan rangkaian seri dan rangkaian paralel.
C. Tujuan Penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Apakah terdapat miskonsepsi pada siswa dalam pelajaran fisika pokok bahasan
rangkaian seri dan rangkaian paralel.
2. Apakah metode demonstrasi dapat membantu dalam mengatasi miskonsepsi siswa
dalam belajar fisika pokok bahasan rangkaian seri dan rangkaian parallel.
3. Apakah metode demonstrasi dapat membantu perubahan konsep siswa dalam
pelajaran fisika pokok bahasan rangkian seri dan rangkaian paralel.
D. Manfaat Penelitian.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya :
1. Bagi Guru dan calon guru Fisika
Hasil penelitian ini dapat dipakai oleh guru dan calon guru fisika sebagai
bahan pertimbangan dalam memilih metode pengajaran yang sesuai dalam
pembelajaran fisika pokok bahasan rangkaian seri dan rangkaian paralel
sehingga hasil belajar yang dicapai lebih optimal.
2. Bagi Siswa.
6
Memberikan pengalaman baru bagi siswa dalam belajar fisika pokok bahasan
rangkaian seri dan rangkaian paralel, dan membantu siswa untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.
3. Bagi Penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Konsep1. Pengertian Konsep
Euwee van Berg berpendapat bahwa dalam fisika konsep adalah segala
pengertian yang sudah ada mengenai benda-benda, gejala-gejala atau
peristiwa-peristiwa, kondisi-kondisi dan ciri – ciri yang menjadi obyek dalam proses belajar
mengajar fisika, penelitian, dan penerapannya untuk berbagai kepentingan (Kartika
Budi, 1992: 39). Rosser (1984) mendefinisikan konsep sebagai salah satu abstraksi
yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau
hubungan-hubungan yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Ratna Willis Dahar
menyimpulkan bahwa suatu konsep merupakan abstraksi mental yang mewakili satu
kelas stimulus-stimulus (1989: 80-81).
Dalam kehidupan sehari-hari, dapat dijumpai berbagai macam konsep. Neil
Bolton (1977) mengklasifikasikan konsep-konsep itu atas tiga kelompok (dalam
Kartika Budi, 1992: 39) yaitu :
a. Konsep-konsep fisis (physical concepts)
Konsep fisis adalah konsep yang mengacu pada:
1). Obyek
Konsep-konsep yang mengacu pada suatu obyek baik yang konkrit maupun
yang abstrak dan mengacu pada atribut yang menyatu pada obyek.
2). Sifat yang menyatu (inherent) pada objek
Misalnya massa, panjang, intensitas cahaya, kuat medan magnet, panjang
gelombang, berat, dan sebagainya.
3). Proses yang terjadi pada obyek
Misalnya pemuaian, pembiasan, difraksi, interferensi, dan polaritas.
4). Relasi antara konsep yang satu dengan konsep yang lain
Misalnya bila benda dimasukkan ke dalam zat cair, maka benda tersebut akan
mengalami gaya keatas
b. Konsep-konsep logika matematis (logico-mathematical concepts)
Konsep-konsep logika matematis adalah konsep tentang segala sesuatu yang
diluar objek, yang mengacu pada struktur operasi yang dilakukan terhadap suatu
objek.
c. Konsep-konsep filosofis (philosophical concepts)
Konsep-konsep filosofis adalah konsep-konsep yang berkaitan dengan sifat
manusia .
Pengkategorian stimulus atau gambaran mental yang kita persepsikan harus
mengungkap hakekat atau ciri esensialnya untuk membedakan konsep yang satu
dengan konsep yang lain. Flavell (1970) mengungkapkan bahwa konsep-konsep
dapat berbeda dalam tujuh dimensi (dalam Ratna Willis Dahar, 1989:79-80), yaitu:
a. Atribut. Setiap komponen mempunyai sejumlah atribut yang berbeda baik secara
fisik maupun secara fungsional. Contohnya, konsep meja harus mempunyai
permukaan yang datar, dan sambungan-sambungan yang mengarah kebawah yang
mengangkat permukaan itu dari lantai.
b. Struktur yaitu menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya atribut-atribut. Ada
tiga macam struktur yaitu (1) stuktur konjunktif yaitu konsep dimana terdapat dua
atau lebih sifat-sifat sehingga dapat memenuhi syarat-syarat sebagai konsep,
misalnya percepatan adalah perubahan kecepatan tiap selang waktu. Dua atribut
yaitu perubahan kecepatan dan selang waktu harus ada agar memenuhi konsep
percepatan, (2) konsep-konsep disjunktif yaitu konsep-konsep dimana satu dari
dua atau lebih sifat-sifat harus ada, (3) konsep-konsep relasional yaitu konsep
yang menyatakan hubungan tertentu antara atribut-atribut konsep.
c. Keabstrakkan. konsep-konsep yang dapat dilihat dan konkret, atau konsep-konsep
itu terdiri dari konsep-konsep lain.
d. Keinklusifan, mengacu pada jumlah contoh-contoh yang terlibat dalam konsep.
e. Generalisasi atau keumuman. Bila diklasifikasikan, konsep-konsep dapat berbeda
dalam posisi superordinat atau subordinatnya, misalnya energi merupakan
superordinat dari energi kinetik.
f. Ketepatan, menyangkut apakah ada sekumpulan aturan-aturan untuk
membedakan contoh-contoh dari noncontoh-noncontoh suatu konsep.
g. Kekuatan, ditentukan oleh sejauh mana orang setuju bahwa konsep itu penting.
Oleh karena orang mengalami stimulus-stimulus yang berbeda-beda, maka orang
membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus-stimulus dengan cara
yang tertentu. Karena konsep-konsep itu adalah abstraksi-abstraksi yang berdasarkan
pengalaman, dan karena tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang
sama persis, maka konsep-konsep yang dibentuk orang mungkin berbeda juga.
2. Memahami Konsep
Untuk dapat memutuskan apakah seorang (siswa, mahasiswa) memahami
konsep atau tidak, diperlukan kriteria atau indikator-indikator yang dapat
menunjukkan pemahaman tersebut. Beberapa inikator yang dapat menunjukkan
pemahaman seseorang akan suatu konsep (Kartika Budi, 1992: 114) antara lain :
a. Dapat menyatakan pengertian konsep dalam bentuk definisi menggunakan
kalimat sendiri.
b. Dapat menjelaskan makna dari konsep bersangkutan kepada orang lain.
c. Dapat menganalisis hubungan antara konsep dalam satu hukum.
d. Dapat menerapkan konsep untuk:
1) menganalisis dan menjelaskan gejala-gejala alam khusus,
2) memecahkan masalah fisika baik secara teoritis maupun secara praktis,
3) memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada suatu
sistem bila kondisi tertentu terpenuhi,
4) mempelajari konsep lain yang berkaitan dengan lebih cepat,
5) membedakan konsep yang satu dengan konsep lain yang saling berkaitan,
6) dapat membedakan konsepsi yang benar dengan konsepsi yang salah, dan
dapat membuat peta konsep dari konsep-konsep yang ada dalam suatu
pokok bahasan (Hurt, 1970: 70-71; Martin, 1972: 138-140; Berg, 1991:
11; Kartika Budi, 1990 dalam Kartika Budi, 1992: 114).
3. Tingkat Pencapaian Konsep
Klausmeier, 1977 (dalam Ratna Willis Dahar, 1989: 88) menghipotesakan
bahwa ada empat tingkat pencapaian konsep. Tingkat-tingkat ini muncul dalam
urutan yang bervariasi. Empat tingkat konsep ini adalah :
a. Tingkat konkret
Seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkrit apabila orang
itu mengenal suatu benda yang telah dihadapinya sebelumnya.
b. Tingkat identitas
Seseorang akan mengenal suatu obyek (a) sesudah selang suatu waktu,
(b) bila orang itu mempunyai orientasi ruang yang berbeda terhadap obyek
itu, atau (c) obyek itu ditentukan melalui suatu cara indera yang berbeda.
Selain ketiga operasi yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat konkret, yaitu :
memperhatikan, mendiskriminasi dan mengingat, siswa harus dapat
mengadakan generalisasi, untuk mengenal bahwa dua bentuk atau lebih yang
indentik dari benda yang sama adalah anggota dari kelas yang sama.
c. Tingkat klasifikatori
Siswa dapat mengklasifikasikan contoh-contoh dan
noncontoh-noncontoh dari konsep, sekalipun contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh-noncontoh-noncontoh
itu mempunyai banyak atribut-atribut yang mirip.
d. Tingkat formal
Siswa mencapai tingkat formal bila siswa itu dapat memberi nama
konsep itu, mendefinisikan konsep itu dalam atribut-atribut kriterianya,
mendikriminasi dan memberi nama-nama atribut yang membatasi dan
mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh-contoh dan noncontoh
dari konsep.
4. Proses Perubahan Konsep
Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah suatu bentuk perubahan konsep.
Dalam belajar siswa setiap kali memperkembangkan atau merubah konsep yang
sudah mereka punyai dalam berhadapan dengan pengalaman, persoalan, ataupun
informasi yang baru. Menurut Suparno, inti belajar fisika adalah terjadinya
perubahan konsep pada diri seseorang yang sedang belajar (2000: 15). Perubahan
ini secara umum dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu :
a. Pengembangan konsep seseorang dari yang belum sempurna atau belum
lengkap menjadi lebih lengkap.
b. Pembetulan konsep yang tidak tepat atau salah menjadi konsep yang benar
atau sesuai dengan konsep yang disepakati para ahli fisika.
Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog (1982, dalam Suparno, 2005: 85)
menjelaskan adanya dua fase yang dapat dibedakan dari perubahan konsep dalam
filsafat sains, yaitu: central commitments dan the center commitment in need of
modification. Dalam central commitments, para ilmuan mendefinisikan persoalan,
strategi menghadapi persoalan itu dan menentukan kriteria untuk penyelesaian.
Dalam center commitment in need of modification, ilmuwan harus mengubah
“central commitments” bila itu bertentangan dengan asumsi dasar mereka.
Perubahan itu harus dilakukan, bila definisi, strategi, dan kriteria yang digunakan
ternyata menghasilkan akibat-akibat yang berlawanan dengan asumsi dasar para
ilmuan.
Menurut Posner dkk. (1982, dalam Suparno, 2005: 87), dalam proses
pembelajaran ada dua proses yang analog dengan dua fase perubahan konsep
yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam asimilasi, siswa menggunakan
konsep-konsep yang telah ada untuk menghadapi gejala baru dengan suatu perubahan
kecil yang berupa penyesuaian. Melalui asimilasi ini juga, seseorang
menyesuaikan rangsangan dengan skema pemikiran yang ada, sehingga skemanya
tidak dirombak tetapi hanya diperluas. Dalam akomodasi, siswa harus menganti
atau merubah konsep-konsep pokok mereka yang lama karena tidak cocok lagi
dengan persoalan yang baru, dengan kata lain seseorang mengubah skema yang
ada untuk dicocokkan dengan rangsangan yang dihadapi. Posner dkk.
menjelaskan bahwa proses akomodasi memerlukan keadaan tertentu untuk terjadi
(Suparno, 2005: 90), antara lain:
1. Harus ada ketidak puasan terhadap konsep yang ada. Siswa mengubah
konsep mereka jika mereka percaya bahwa konsep yang telah mereka
punyai tidak dapat lagi digunakan dalam menghadapi situasi, pengalaman
atau gejala yang baru. Jadi konsep lama sudah usang tidak dapat berlaku
lagi.
2. Konsep yang baru harus intelligible (dapat dimengerti). Siswa dapat
mengerti bagaimana pengalaman-pengalaman baru dapat didekati dengan
konsep-konsep baru tersebut.
3. Konsep yang baru harus masuk akal, yaitu mempunyai kemampuan untuk
memecahkan persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh para pendahulu,
dan konsisten dengan teori dan pengalaman lain atau dengan pengalaman
yang lama.
4. Konsep baru harus berguna, berguna untuk program riset dan mempunyai
kemampuan untuk dikembangkan dan membuka penemuan yang baru.
Carey menguraikan adanya dua perubahan konsep yaitu restrukturisasi kuat
dan restrukturisasi lemah. Dalam restrukturisasi kuat seseorang mengubah konsep
lama yang telah mereka punyai, sedangkan dalam proses restrukturisasi lemah
seseorang tidak mengubah konsep lama mereka, melainkan hanya memperluasnya
(Dykstra dkk,1992 dalam Suparno, 1997: 51). Untuk dapat membuat rekonstruksi
kuat, perlu metode pengajaran yang dapat mengubah konsep. Strategi yang
membuat disekuilibrium (ketidak seimbangan) dalam pikiran siswa akan mudah
menyebabkan perubahan konsep. Rekonstruksi lemah ini sesuai dengan istilah
asimilasi dari Posner, sedangkan rekonstruksi kuat sesuai dengan istilah
akomodasi.
Dykstra, Boyle, dan Monarch (1992) mengelompokkan perubahan konsep
dalam suatu taxonomi non hirarkis. Menurut Dykstra dkk, ada tiga tipe perubahan
konsep yaitu : diferensiasi, klas extensi, dan rekonseptualisasi. Diferensisasi
terjadi bila konsep-konsep baru muncul dari konsep-konsep yang sudah ada yang
lebih umum. Klas ekstensi terjadi bila konsep yang kelihatan berbeda, ternyata
adalah merupakan suatu kasus dari konsep yang sebelumnya. Rekonseptualisasi
terjadi bila perubahan yang significan dalam sifat, hubungan antara
konsep-konsep terjadi (Suparno, 2005: 89-90)
Menurut Posner, sumber ketidakpuasan dengan konsep yang telah ada adalah
keadaan anomali (dalam Suparno, 2005: 91). Keadaan anomali ini terjadi bila
siswa tidak dapat mengasimilasikan sesuatu atau tidak dapat membuat mengerti
sesuatu (Suparno, 2000: 17). Bila siswa mengalami peristiwa anomali mereka
akan merevisi dan mengubah konsep yang lama untuk menghindari konflik
dipikirannya. Chinn (1993, dalam Suparno, 2005: 92), menjelaskan beberapa
sikap yang sering dilakukan oleh siswa atau ilmuan dalam menghadapi data
anomali, antara lain sebagai berikut:
1. Mengesampingkan atau menolaknya. Melihat bahwa kenyataan yang dihadapi
berbeda dengan konsep yang telah ia punyai, siswa atau ilmuwan tidak mau
menggunakan kenyataan atau data itu. Mereka menolaknya. Dengan demikian
tidak terjadi perubahan konsep.
2. Mengeluarkan data itu dari teori yang ada. Data yang berlainan dari konsep
yang dipikirkan itu dikeluarkan dari teori yang digunakan. Dengan demikian
data dianggap sebagai perkecualian saja dari teori yang telah dibangunnya.
Sehingga tidak terjadi perubahan konsep kearah yang lebih benar.
3. Menginterprestasikan kembali data itu. Melihat data yang berlainan tersebut,
siswa atau ilmuwan menginterprestasikan kembali atau mengartikan kembali
data itu. Dengan menginterprestasikan yang baru dapat terjadi data diterima
sehingga terjadi perubahan, tetapi dapat juga terjadi dan tidak diterima
sehingga tidak terjadi perubahan konsep.
4. Menginterprestasikan data itu dengan perubahan-perubahan pada teori yang
sudah ada secara perlahan-lahan. Data yang dihadapi diartikan dan digunakan
untuk mengubah konsep yang ada secara perlahan-lahan. Dalam hal ini jelas
terjadi perubahan kecil dari konsep yang dipunyai siswa atau ilmuan.
5. Menerima data itu dan mengubah teorinya. Data yang berlainan dengan
konsep yang telah dipunyai diterima. Akibatnya, konsep yang tidak cocok
dengan data itu harus diubah. Maka terjadi proses akomodasi secara kuat.
5. Aplikasi Teori Perubahan Konsep Dalam Pembelajaran Fisika
Menurut Suparno, proses pembelajaran fisika yang benar haruslah
mengembangkan perubahan konsep. Perubahan yang pertama adalah perubahan
dalam arti siswa memperluas konsep, dari konsep belum lengkap menjadi lebih
lengkap, dari konsep yang belum sempurna menjadi lebih sempurna. Perubahan
lain adalah mengubah dari konsep yang salah menjadi benar atau sesuai dengan
konsep para ahli fisika (Suparno, 2005: 94-95). Sedangkan pembelajaran fisika
yang baik adalah yang memungkinkan perubahan konsep itu secara cepat dan
efisien, diantaranya adalah sebagai berikut ini :
a. Proses Perluasan Konsep
Beberapa cara membantu siswa menambah konsep atau pengetahuan
mereka tentang bahan fisika, antara lain:
1) Memberikan informasi baru yang belum pernah diketahui oleh siswa.
Pemberian informasi baru atau tambahan konsep-konsep baru dapat
dilakukan antara lain dengan : guru menjelaskan konsep yang baru sesuai
dengan kurikulum yang telah direncanakan. Sistem pengajaran bab per
bab lebih untuk menambah konsep siswa agar lebih luas. Model
pengajaran ceramah termaksud disini.
2) Siswa diberi bahan baru dan diajak untuk mempelajari sendiri bahan itu
sehingga konsepnya bertambah. Disini diperlukan bantuan pengarahan
dari guru. Inilah model belajar mandiri.
3) Siswa diberi kesempatan untuk mencari bahan-bahan baru yang telah
disediakan, baik dari buku maupun multimedia fisika.
b. Pembetulan Konsep yang Salah
Untuk proses ini tidak cukup guru menambah bahan fisika dalam
pembelajaran, tetapi harus memikirkan strategi yang tepat untuk membetulkan
miskonsepsi yang dialami siswa. Banyak ahli dan peneliti mengusulkan untuk
menggunakan strategi pembelajaran yang menyediakan pengalaman anomali
bagi siswa. Siswa disadarkan bahwa konsep awal mereka tidak tepat, salah
atau tidak sesuai dengan situasi yang ada. Siswa ditantang untuk memikirkan
kembali konsepnya dan tertantang untuk mengubah konsep awal mereka.
Joan Davis, 2001 (dalam Suparno, 2005: 97), mengajarkan perubahan
konsep menyangkut dua hal pokok :
1) Membuka konsep awal siswa. Dalam langkah ini gagasan awal siswa
diungkapkan agar menjadi jelas dan eksplisit. Maka diperlukan
kepiawaian guru untuk membantu siswa berani mengungkapkan pikiran
atau gagasan mereka.
2) Menggunakan beberapa teknik untuk membantu siswa mengubah
kerangka berpikir awal tersebut. Dalam langkah ini guru mencari
beberapa teknik yang sesuai untuk menantang agar siswa mengubah
gagasan mereka yang tidak benar.
Untuk dapat membantu mengubah kerangka berpikir awal siswa, guru
perlu mengerti ekologi konseptual siswa, yaitu pengetahuan dan kepercayaan
yang dipunyai siswa. Hal itu meliputi antara lain:
1) Pengetahuan awal siswa atau konsep yang telah ada dalam diri siswa.
2) Relasi antara konsep-konsep tersebut dalam pikiran siswa.
3) Pengetahuan baru tentang konsep-konsep alternatif yang dipunyai siswa.
4) Keyakinan epistemologis siswa, yaitu keyakinan siswa yang membuat
siswa percaya bahwa pengetahuannya benar. Keyakinan ini sangat penting
agar dapat membantu siswa mengubah keyakinan. Tanpa perubahan
keyakinan ini, siswa akan sulit mengubah konsep dan gagasan mereka.
Duit (1999, dalam Davis, 2001 dalam Suparno, 2005 : 98), menjelaskan
bahwa perubahan konsep bukan hanya disebabkan oleh faktor kognitif siswa,
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor afeksi, sosial, dan konteks. Dalam
mengajar untuk perubahan konsep perlu dimengerti bahwa konsep awal siswa
resisten terhadap perubahan. Lebih lanjut Duit mengemukakan bahwa strategi
yang perlu dikembangkan dalam perubahan konsep agar lebih efektif
menyangkut dua hal pokok :
1) Guru membuat situasi sedemikian rupa sehingga konsep awal siswa
menjadi eksplisit dan tampak jelas.
2) Guru menantang agar muncul konflik kognitif pada siswa dan terjadi
disekuilibrium dalam pengertian siswa. Bila ini terjadi maka siswa akan
merasa tidak nyaman pikirannya dan akan lebih mudah menerima
pengertian baru yang lebih intelligible (dapat dimengerti), plausible
(masuk akal),dan fruitful (bermanfaat).
c. Strategi Pengajaran Perubahan Konsep
Davis, Scott, Asoko, Driver dalam Davis, (dalam Suparno, 2005: 99),
merangkumkan beberapa strategi pengajaran perubahan konsep sebagai berikut:
1) Strategi Berdasarkan Konflik Kognitif
Strategi pengajaran perubahan konsep yang didasarkan pada konflik
kognitif dan resolusinya ada beberapa pendekatan yaitu: (a) mengungkapkan
konsep awal siswa secara eksplisit, (b) membahas dan mengevaluasi konsep
awal siswa, (c) menciptakan konflik konseptual terhadap konsep awal, (d)
menyemangati dan mengarahkan siswa merestrukturisasi konsep mereka
2) Strategi Berdasarkan Perkembangan Ide Siswa
Menurut Scott, Asoko, Driver (1999: dalam Suparno, 2005: 101) dalam
strategi ini digunakan gagasan dasar yang ada pada siswa, lalu dibantu dengan
pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk mengembangkan
dan memperluas gagasan mereka ke arah pandangan yang bersifat ilmiah
3) Metode Pembelajaran Fisika yang dapat Membantu Perubahan Konsep
Beberapa peneliti, ahli dan pendidik fisika menemukan beberapa metode
pembelajaran fisika yang telah terbukti dapat membantu perubahan konsep,
terutama perubahan konsep fisika yang kurang benar ke arah yang lebih benar
(Suparno, 2005: 102). Beberapa metode tersebut diantaranya adalah :
a) Bridging Analogy (Analogi penghubung).
Model analogi penghubung ini menghubungkan analogi dengan yang
dianalogikan menjadi dekat atau dengan kata lain Bridging Analogy ini
membagi analogi menjadi dua langkah yang lebih pendek yang
memungkinkan siswa lebih mudah menangkap daripada satu langkah yang
jauh.
b) Simulasi Komputer
Dalam simulasi komputer, siswa dapat memanipulasi data,
mengumpulkan data, menganalisis data, dan mengambil kesimpulan.
Penggunaan simulasi komputer ini sangat menguntungkan, karena siswa
dapat melakukannya sendiri tanpa harus ditunggui guru seperti pelajaran
dalam kelas.
c) Wawancara Diagnosis
Wawancara dapat berbentuk bebas dan terstruktur. Dalam wawancara
bebas, guru bebas bertanya dan siswa bebas untuk menjawab. Apa yang
hendak ditanyakan dan urutan pertanyaan dalam wawancara tidak perlu
dipersiapkan. Pada wawancara terstruktur, pertanyaan sudah dipersiapkan
dan urutannya secara garis besar sudah disusun sehingga memudahkan
dalam wawancara.
d) Diskusi Kelompok
Menurut Farmer (1985 dalam Suparno, 2005: 110) diskusi antar siswa
adalah cara yang paling baik untuk mengungkapkan pengetahuan siswa,
karena dalam diskusi kelompok siswa dipacu untuk terlibat aktif dalam
diskusi.
e) Peta Konsep
Peta konsep adalah suatu gambaran skematis untuk merepresentasikan
suatu rangkaian konsep dan kaitan antar konsep-konsep terssebut. Peta
konsep ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi miskonsepsi.
Menurut Novak, dkk peta ini mengungkapkan hubungan-hubungan yang
berarti antar konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok.
f) Problem Solving
Problem solving adalah model pembelajaran dengan pemecahan
persoalan. Dengan memecahkan persoalan, siswa dilatih untuk
mengkoordinasikan pengetahuan dan kemampuan mereka. Bila terdapat
miskonsepsi dan telah diketahui penyebabnya, guru dapat menanyakan
kepada siswa mengapa mereka mempunyai pengertian atau langkah
seperti itu.
g) Percobaan atau Pengalaman Lapangan
Menurut Gilbert, Watts, Osborne (1982); Brouwer (1984); McClelland
(1985) dalam Suparno, 2005: 114 percobaan atau Pengalaman lapangan
adalah cara yang baik untuk mengontraskan pengertian siswa dengan
kenyataan. Yang perlu diperhatikan adalah, percobaan yang tidak
menyeluruh sering kali dapat menyebabkan miskonsepsi yang baru. Jelas
bahwa pemilihan percobaan dan pengalaman pun perlu diperhatikan agar
benar-benar dipilih yang membantu perkembangan konsep siswa, dan
bukan yang sebaliknya.
h) Pertanyaan Terus menerus di Kelas
Model ini memang tidak dapat meyakinkan bahwa setiap siswa akan
mengalami perubahan konsep, tetapi secara klasikal dapat membantu
beberapa siswa mengubah konsepnya. Yang perlu diperhatikan adalah
guru harus piawai mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
memancing gagasan siswa.
B. Miskonsepsi
Menurut Suparno dalam bukunya “ Miskonsepsi dan Perubahan Konsep
Pendidikan fisika” miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang
tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam
bidang itu (Suparno, 2005: 4). Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal,
kesalahan, hubungan yang tidak benar antar konsep-konsep, gagasan intuitif atau
pandangan yang naïf.
Novak (1984 dalam Suparno, 2005: 4) mendefinisikan miskonsepsi sebagai
suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.
Brown (1989;1992) menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang naïf dan
mendefinisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah
yang sekarang diterima. Feldsine (1987 dalam Suparno, 2005: 4), menemukan
miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antar
konsep. Fowler (1987, dalam Suparno, 2005: 5) menjelaskan dengan lebih rinci arti
miskonsepsi. Ia memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan
konsep, penggunaan konsep yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan
hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar.
1. Miskonsepsi dalam Listrik
Miskonsepsi terdapat dalam semua bidang sains seperti biologi, kimia, fisika
dan astronomi. Tidak ada bidang sains yang terkecualikan dalam hal miskonsepsi
ini. Menurut Wandersee dkk, dalam artikelnya yang berjudul Research on
Alternative Conceptions in Science, menjelaskan bahwa konsep altenatif terjadi
dalam semua bidang fisika. Dari 700 studi mengenai konsep alternatif bidang fisika,
159 diantaranya tentang listrik (Suparno, 2005: 9-11).
Beberapa siswa masih salah mengerti mengenai tegangan, arus, dan tahanan
dalam rangkaian tertutup. Dupin dan Jhosua (1987, dalam Suparno, 2005: 22),
meneliti bahwa beberapa siswa salah mengerti tentang voltage listrik. Mereka
beranggapan tegangan hanya terjadi dalam suatu rangkaian tertutup.
A B
Gambar 1. Jaringan listrik terbuka
Bila ada suatu rangkaian terbuka yang dihubungkan dengan baterai (gambar
1), mereka berkeyakinan tidak ada tegangan didalamnya. Menurut siswa, antara
titik A dan B pada kabel dalam rangkaian terbuka itu tidak ada beda tegangan.
Padahal dalam kenyataannya, bila diukur akan terlihat ada beda potensial, ada beda
tegangan listrik.
Banyak siswa salah mengerti tentang terangnya lampu pada rangkaian listrik
seri. Pada rangkaian seperti gambir 2 satu baterai dihubungkan seri dengan tiga bola
lampu, yaitu A, B, dan C yang sama tahanannya
A B C
Gambar 2.
Rangkaian listrik dengan tiga lampu
Beberapa siswa menjelaskan bahwa ketiga lampu itu terangnya tidak sama,
tergantung letaknya pada baterai. Semakin dekat dengan baterai, semakin terang
baterai itu. Menurut siswa, lampu A lebih terang dari lampu B, dan lampu B lebih
terang dari lampu C. Padahal menurut teori fisika, ketiga lampu itu akan menyala
sama terangnya.
Ada juga beberapa siswa yang salah mengerti tentang apa yang membuat
lampu dapat menyala dalam suatu rangkaian. Beberapa siswa mengungkapkan
bahwa cukup dengan menyambung lampu dengan baterai dan satu kabel, maka
lampu akan menyala. Dengan penyambungan itu, atom-atom dari beterai aka
pindah melalui kawat ke lampu, sehingga lampu menyala.
Siswa-siswa itu tidak menyadari bahwa suatu rangkaian harus dihubungkan
tertutup supaya terjadi aliran listrik yang menjadikan lampu menyala.
A B
Gambar 3.
Rangkaian listrik dengan dua lampu A dan B
Dalam rangkaian seri seperti gambar 1.c diatas, siswa juga mempunyai
miskonsepsi. Dua lampu, A dan B, tahanan beban sama kuatnya dihubungkan seri
dengan satu sumber tegangan baterai. Sebagian siswa mengungkapkan
miskonsepsinya sebagai berikut:
a) Sebagian arus digunakan oleh lampu A, sehingga arus yang melalui lampu B
berbeda, yaitu lebih kecil.
b) Arah arus dalam rangkaian itu berasal dari kutub positif dan negatif baterai,
dan bertemu pada lampu.
c) Nyala lampu A lebih terang dari lampu B karena lampu A dekat dengan kutub
positif baterai.
Osborne (1985) menemukan beberapa siswa berpikir listrik sebagai energi. Listrik
akan habis digunakan sewaktu melalui rangkaian (Suparno, 2005: 24)
2. Penyebab Miskonsepsi.
Secara garis besar, penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima
kelompok, yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar.
Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari beberapa hal, seperti
prakonsepsi awal, kemampuan, tahap perkembangan, minat, cara berpikir, dan
teman lain. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan guru,
kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak tepat atau sikap guru
dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik.
Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya terdapat pada penjelasan atau
uraian yang salah dalam buku tersebut. Konteks, seperti budaya, agama, dan
bahasa sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa. Seringkali penyebab
itu berdiri sediri, tetapi kadang-kadang saling terkait satu sama lain, sehingga
salah pengertiannya menjadi semakin kompleks. Hal ini menyebabkan semakin
tidak mudah untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi mereka. Beberapa
metode mengajar yang digunakan guru, terlebih yang menekankan satu segi dari
konsep bahan yang digeluti, meskipun membantu siswa menangkap bahan, tetapi
sering mempunyai dampak jelek, yaitu memunculkan miskonsepsi siswa.
(Suparno, 2005: 29)
Menurut Kartika Budi (1992: 115) ada empat sumber yang mungkin menjadi
penyebab terjadinya salah konsep yaitu: (1) guru/dosen, (2) proses belajar
mengajar, (3) siswa/mahasiswa, (4) buku pegangan/ buku ajar.
3. Miskonsepsi dari Sudut Filsafat Konstruktivisme
Filsafat konstruktivisme secara singkat menyatakan bahwa pengetahuan itu
dibentuk (dikonstruksi) oleh siswa sendiri dalam kontak dengan lingkungan,
tantangan, dan bahan yang dipelajari (Suparno, 2005: 30 )
Oleh karena itu siswa sendiri yang mengkonstruksikan pengetahuannya,
maka tidak mustahil dapat terjadi kesalahan dalam mengkonstruksi. Hal ini
disebabkan siswa belum terbiasa mengkonstruksi konsep fisika secara tepat,
belum mempunyai kerangka ilmiah yang dapat digunakan sebagai patokan. Inilah
yang disebut prakonsepsi atau konsep awal siswa (Suparno, 2005: 30)
Pengetahuan awal siswa sering tidak cocok dengan pengetahuan yang
diterima oleh para pakar, dan menjadi suatu miskonsepsi. Pengetahuan awal yang
tidak tepat itu, kadang-kadang mudah diluruskan selama proses belajar formal di
sekolah, tetapi ada kalanya sangat sulit. Usaha memperbaiki miskonsepsi menjadi
sangat sulit bila konsep yang tidak benar itu berguna dalam kehidupan sehari-hari
para siswa.
Dalam pengertian konstruktivisme, nampak jelas bahwa miskonsepsi itu
merupakan hal yang wajar dalam proses pembentukkan pengetahuan oleh
seseorang yang sedang belajar. Dengan adanya miskonsepsi itu, sebenarnya
menunjukkan bahwa pengetahuan sungguh merupakan bentukkan siswa sendiri
dan bukan buatan dari guru. Secara ekstrem, guru tidak dapat memaksakan
“pengetahuan” yang telah mereka punyai kepada siswa. Guru hanya dapat
membantu siswa “mengetahui”, bila siswa sendiri ikut aktif dalam proses situ
secara benar (Suparno, 2005: 32).
1. Mendeteksi Miskonsepsi
Suparno dalam bukunya yang berjudul “Miskonsepsi dan Perubahan Konsep
Pendidikan Fisika” menyebutkan beberapa alat untuk mendeteksi miskonsepsi
(Suparno, 2005: 121) yaitu:
a. Peta Konsep (Concept Maps)
Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa
dalam bidang fisika. Peta konsep yang mengungkapkan hubungan berarti
antara konsep-konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok, yang disusun
hirarkis, dengan jelas dapat mengungkapkan miskonsepsi siswa yang
digambarkan dalam peta konsep tersebut. Miskonsepsi siswa dapat
diidentifikasi dengan melihat apakah hubungan konsep-konsep itu benar atau
salah. Biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan
tidak ada hubungan yang lengkap antar konsep.
b. Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka
Treagust dalam penelitiannya (Suparno, 2005: 123), menggunakan tes
pilihan ganda dengan memberi alasan (reasoning). Dalam bagian alasan,
siswa harus menulis mengapa ia memilih jawaban itu. Beberapa peneliti lain
menggunakan pilihan ganda dengan interviu. Berdasarkan hasil jawaban yang
tidak benar dalam pilihan ganda itu, mereka mewancarai siswa. Tujuan dari
wawancara adalah untuk meneliti bagaimana siswa berpikir, dan mengapa
mereka berpikir seperti itu.
c. Tes Esai Tertulis
Guru dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa
konsep fisika yang memang hendak diajarkan atau yang sudah diajarkan. Dari
tes tersebut dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa siswa dan dalam bidang
apa. Setelah ditemui miskonsepsinya, dapatlah beberapa siswa diwawancarai
untuk lebih mendalami, mengapa mereka mempunyai gagasan seperti itu. Dari
wawancara itulah akan kentara dari mana miskonsepsi itu dibawa.
d. Wawancara Diagnosis
Wawancara berdasarkan beberapa konsep fisika tertentu dapat
dilakukan untuk melihat miskonsepsi pada siswa. Guru memilih beberapa
konsep fisika yang diperkirakan sulit dimengerti siswa, atau beberapa konsep
fisika yang pokok dari bahan yang hendak diajarkan. Kemudian siswa diajak
untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep diatas. Dari
sini dapat dimengerti miskonsepsi dan sekaligus ditanyakan dari mana mereka
memperoleh miskonsepsi tersebut.
Wawancara dapat berbentuk bebas dan terstruktur. Dalam wawancara
bebas, guru atau peneliti memang bebas bertanya kepada siswa dan siswa
dapat dengan bebas menjawab. Urutan atau apa yang hendak ditanyakan
dalam wawancara itu tidak perlu dipersiapkan. Sedangkan dalam wawancara
terstruktur, pertanyaan sudah dipersiapkan dan urutannya pun secara garis
besar sudah disusun. Lebih baik wawancara direkam agar tidak kehilangan
data yang diperlukan.
e. Diskusi dalam Kelas
Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka
tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Dari diskusi
kelas itu dapat dideteksi juga apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak. Dari
diskusi itu, guru arau seorang peneliti dapat mengerti miskonsepsi yang
dipunyai siswa. Cara ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar, dan
juga sebagai penjajakan awal. Yang perlu diperhatikan oleh guru adalah
membentu agar setiap siswa berani bicara untuk mengungkapkan pikiran
mereka tentang persoalan yang dibahas.
f. Praktikum dengan Tanya Jawab
Praktikum yang disertai dengan tanya jawab antar guru dengan siswa
yang melakukan praktikum juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah
siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak.
Selama praktikum, guru selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan
bagaimana siswa menjelaskan persoalan dalam praktikum tersebut.
C. Peta Konsep
Peta konsep (concept map) adalah suatu gambaran skematis untuk
merepresentasikan suatu rangkaian konsep dan kaitan antar konsep-konsep (Suparno,
2006: 146). Menurut Moreire (1987, dalam Kartika Budi, 1990: 67) peta konsep
adalah peta (jaringan, diagram) yang memuat konsep-konsep dan hubungannya.
Sedangkan menurut Ed van den Berg, 1991: 17 peta konsep adalah alat peraga untuk
memperlihatkan hubungan antar konsep.
Hubungan antara konsep satu dengan konsep yang lain dapat dideskripsikan
dalam apa yang disebut peta konsep (concept map) atau jaringan konsep (concept
network) (Kartika Budi, 1990: 67). Peta konsep yang paling sederhana terdiri dari dua
konsep dan satu hubungan, seperti gambar berikut ini
Peta konsep seperti yang digambarkan diatas memuat konsep benda dan
konsep padat. Hubungannya adalah benda dapat berwujud padat. Hubungan dapat
berwujud adalah hubungan proposisional, karena hubungan tersebut dinyatakan
dalam bentuk proposisi. Dalam arti yang lebih spesifik peta konsep dapat menyatakan
hubungan hirarkhis antara konsep yang satu dengan konsep yang lain. Dalam peta
konsep yang demikian dapat ditunjukkan mana konsep yang paling umum (most
inclusive) dan konsep yang paling spesifik (least inclusive, most spesific).
Konsep perantara kecuali dapat dimunculkan sebagai konsep yang merupakan
unsur peta tersebut, juga dapat dijadikan bagian dari proposisinya.
Apabila ada dua orang membangun peta konsep tentang teori yang sama, tidak
dapat diharapkan hasilnya adalah peta konsep yang sama, bahkan dapat dipastikan
bahwa peta konsep dari kedua orang itu akan berbeda. Dapat dipastikan demikian
karena kekayaan akan konsep-konsepnya mungkin juga berbeda, keluasan dan
kedalaman akan pemahaman konsep dan hubungannya mungkin juga berbeda
(Kartika Budi, 1990: 70).
Menurut Ratna Willis Dahar (1989) ada beberapa keuntungan peta konsep
dalam pembelajaran diantaranya adalah :
1. Dengan peta konsep kita dapat menemukan pokok – pokok yang kita beri
penekanan.
2. Kita dapat melihat bagian – bagian materi yang bisa yang mungkin ingin kita
hilangkan.
3. Kita dapat memahami bagaimana siswa dapat melihat atau mengorganisasikan
meteri pelajaran secara berbeda.
4. Proses pemetaan konsep dapat membantu kita untuk mengidentifikasikan konsep
yang merupakan kunci keberhasilan siswa.
5. Peta konsep membantu kita untuk memilih materi yang tersedia, kita dapat
membuat peta konsep untuk mengefektifkan strategi pembelajaran dengan lebih
baik sesuai dengan waktu dan pembelajaran.
6. Kita dapat menjelaskan secara nyata hubungan – hubungan antara konsep.
7. Kita dapat menggunakan peta konsep untuk melengkapi sebuah pokok
pembicaraan siswa dan merangkum konsep – konsep umumnya.
8. Peta konsep dapat meningkatkan kemampuan kita dalam melihat berbagai cara
dalam membentuk kebermaknaan belajar kepada siswa.
9. Pemetaan konsep dapat membantu kita dalam mengembangkan pembelajaran
yang terintegrasi, runtut dan berkesinambungan.
Pemetaan konsep adalah proses untuk menghasilkan peta konsep. Kartika
Budi (1990: 72) menyatakan bahwa, untuk membangun peta konsep diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi semua konsep yang akan dipetakan.
2. Mengurutkan konsep-konsep tersebut dari yang paling umum ke yang paling
khusus ( bila peta konsep dibuat secara hierarkhis)
3. Menetapkan hubungan yang mungkin antara konsep yang satu dengan konsep
yang lainnya dengan membuat garis penghubung dan menuliskan hubungan
tersebut pada garis penghubung tersebut.
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan belum dapat dijamin bahwa
hasilnya adalah peta konsep yang baik dilihat dari tata letak dan kelengkapan
hubungan. Oleh karena itu, setelah diperoleh peta konsep perlu dicek untuk
memperbaiki tata letak setiap konsep agar peta mudah dibaca dan dianalisis.
Berdasarkan langkah-langkah penyusunan peta konsep diatas, maka diharapkan
dapat menghasilkan peta konsep yang benar-benar dapat membantu siswa dalam
belajar, sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Selama ini alat-alat evaluasi yang dikenal oleh guru dan siswa hanya
berbentuk tes objektif dan tes essai. Walaupun cara evaluasi ini akan terus memegang
peranan penting dalam dunia pendidikan, tekhnik-tekhnik evaluasi baru perlu
dipikirkan untuk memecahkan masalah-masalah evaluasi yang kita hadapi dewasa ini
(Ratna Willis Dahar, 1989: 132). Salah satu teknik evaluasi yang disarankan ialah
penggunaan peta konsep.
Penggunaan peta konsep sebagai alat evaluasi didasarkan pada tiga gagasan dalam
teori kognitif Ausabel, yaitu:
1. Struktur kognitif diatur secara hierarkis, dengan konsep-konsep dan
proposisi-proposisi yang lebih inklusif, lebih umum superordinat terhadap konsep-konsep
dan proposisi-proposisi yang kurang inklusif dan lebih khusus.
2. Konsep-konsep dalam strutur kognitif mengalami diferensiasi mengalami
diferensiasi progresif. Belajar bermakna merupakan proses yang kontinu, dimana
setiap konsep baru memperoleh lebih banyak arti dengan dibentuknya lebih
banyak kaitan-kaitan proposional. Jadi konsep-konsep tidak pernah “tuntas
belajar”, tetapi selalu dipelajari, dimodifikasi, dan dibuat lebih inklusif.
3. Penyesuaian integratif. Dalam peta konsep penyesuaian integratif diperhatikan
dengan adanya kaitan-kaitan silang(cross link) antara kumpulan-kumpulan
konsep.
Menurut Novak dan Gowin (1984, dalam Ratna Willis Dahar, 1989: 132),
dalam menilai peta konsep yang dibuat siswa harus memperhatikan empat kriteria
penilaian, yaitu : (1) kesahihan proposisi, (2) adanya hierarki, (3) adanya ikatan
silang, (4) adanya contoh-contah.
Kartika Budi (1990: 72-74) menyatakan peranan peta konsep dalam
pengelolaan pembelajaran IPA (fisika), antara lain:
1. Pemetaan konsep merupakan salah satu cara untuk mengeksternalkan
konsep-konsep yang telah diperoleh beserta hubungannya dan peta konsep-konsep merupakan
hasil ekternalisasi tersebut.
2. Dari peta konsep dapat dilihat keutuhan (“unity”) dari bangunan pengetahuan
(“body of knowledge”) yang dimiliki. Dari peta konsep juga dapat diketahui
keluasan (banyak konsep yang dapat ditangkap dari apa yang dipelajari) dan
kedalaman pemahaman (banyaknya hubungan antara konsep-konsep yang dapat
dinyatakan).
3. Dengan menganalisa peta konsep dapat dilihat ketepatan hubungan antara konsep
satu dengan konsep lain dibandingkan dengan hubungan yang diterima sebagai
hubungan yang benar. Dengan demikian melalui peta konsep dapat dideteksi
adanya salah konsep (“misconception”), yaitu bila ditemukan hubungan yang
salah atau kurang tepat.
4. Dari peta konsep yang “baik” dapat dipilih dan ditetapkan mana konsep-konsep
yang penting, kurang penting, dan tidak penting dalam konteks materi yang
dipelajari. Penetapannya didasarkan pada intensitas hubungan konsep-konsep
yang lain. Suatu konsep yang tidak dapat diletakkan dalam peta konsep, berarti
tidak mempunyai hubungan dengan konsep-konsep dalam peta konsep tersebut,
dalam konteks materi atau pokok bahasan yang dipelajari, kurang bahkan
mungkin tidak penting.
5. Dengan peta konsep dapat ditunjukkan saling hubung antara pokok bahasan yang
satu dengan pokok bahasan yang lain dalam satu subbidang studi, dan antara
subbidang studi yang satu dengan subbidang studi yang lain dalam satu bidang
studi, bahkan antara bidang studi yang satu dengan bidang studi yang lain.
Dengan demikian dengan tepat guru (dosen) dapat menunjukkan kapan, di mana,
dan untuk apa konsep yang akan dipelajari akan digunakan. Pengetahuan siswa
(mahasiswa) akan hal itu dapat meningkatkan kualitas keterlibatan mereka dalam
proses belajar mengajar.
6. Dari peta konsep dapat diketahui, apakah suatu konsep dipelajari secara bermakna
atau secara hafalan. Bila suatu konsep yang seharusnya mempunyai hubungan
dengan konsep yang lain, ternyata tidak dapat diletakkan dalam peta konsep yang
dimiliki, maka konsep tersebut dipelajari hanya secara informasi – verbalistik
(hafalan).
D. Metode Demonstrasi 1. Pengertian Demonstrasi
Demonstrasi berasal dari kata demonstration yang berarti pertunjukan. Maka
model pembelajaran dengan demonstrasi diartikan sebagai model mengajar
dengan pendekatan visual agar siswa dapat mengamati proses, informasi,
peristiwa, alat dalam pembelajaran fisika (Suparno, 2006:142)
Dalam arti sempit demonstrasi sebagai metode pembelajaran mempunyai
hakikat yaitu percobaan yang dilakukan untuk memperoleh data (Sund, 1973: 61
dalam Kartika Budi, 2005 :43), sehingga proses analisis dan kesimpulan dapat
berlangsung. Dalam demonstrasi, guru atau sekelompok siswa menunjukkan
sesuatu kepada orang lain atau kelompok lain. Menurut Muhibbin Syah (1995:
209) metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan
barang, kegiatan, aturan dan urutan melakukan suatu kegiatan baik secara
langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan
pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Sedangkan menurut Winarno
(1986: 87) metode demonstrasi adalah metode dimana seorang guru, orang luar
yang diminta, atau siswa memperlihatkan suatu proses kepada seluruh siswa.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dikemukakan bahwa metode
demonstrasi merupakan interaksi belajar mengajar yang sengaja
mempertunjukkan atau memperagakan tindakan, proses, atau prosedur yang
dilakukan oleh guru atau orang lain kepada seluruh siswa atau sebagian siswa
(Moedjiono dan Dimyanti, 1992 :72 ).
2. Fungsi Demonstrasi
Fungsi demonstrasi dalam kegiatan belajar mengajar meliputi demonstrasi
sebagai: pembangkit masalah; menguji kebenaran kesimpulan; pembangkit
motivasi belajar; pembentukan sikap dan pembentukan keterampilan proses.
a. Demonstrasi sebagai pembangkit masalah
Masalah adalah suatu yang perlu dipecahkan yang dalam bentuk
sederhana berupa pertanyaan. Demonstrasi yang dapat membangkitkan
masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan sangat baik untuk mengawali
atau membuka proses pembelajaran. Harus diusahakan pertanyaan muncul
dari siswa. Bila pertanyaan belum dapat muncul dari siswa, pertanyaan dapat
dimunculkan dari guru. Secara tidak langsung siswa diberi contoh-contoh
pertanyaan yang mengacu pada data yang diperoleh melalui demonstrasi.
Selanjutnya, pada setiap demonstrasi siswa diberi kesempatan, bahkan
“diharuskan” atau “dipaksa” mengajukan pertanyaan, tentang apapun yang
menarik dan yang ingin diketahui. Bila pertanyaan lisan sulit, dapat dimulai
dengan mengajukan pertanyaan tertulis. Pertanyaan dapat dipersiapkan dan
dirumuskan secara individual maupun dalam kelompok. Untuk mengawali
dan membiasakan mereka agar mau bertanya memerlukan kesabaran, karena
kecenderungan bertanya adalah sikap, sementara sikap tidak dapat terbentuk
seketika, tetapi memerlukan proses (Kartika Budi, 1998).
b. Demonstrasi sebagai pembangkit motivasi belajar
Menurut Stone (1982) dan Petri (1981) (dalam Kartika Budi, 1998: 173)
secara umum motivasi