commit to user
TINDAK TUTUR DALAM KHOTBAH BAHASA BATAK TOBA DI GEREJA HKBP SOLO SURAKARTA
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik Deskriptif
Oleh
LIANA SII0809010
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI LINGUISTIK DESKRIPTIF UNIVERSITAS SURAKARTA SEBELAS MARET
commit to user
iii
TINDAK TUTUR DALAM KHOTBAH BAHASA BATAK TOBA
DI GEREJA HKBP SOLO
Disusun oleh: Liana SII0809010
Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing Pada tanggal:
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Drs. M.R.Nababan, M.Ed.,M.A.,Ph.D. Dr. Tri Wiratno, M.A. NIP. 196303281992011001 NIP.196109141987031001
Mengetahui:
Ketua Program Studi Linguistik,
commit to user
TINDAK TUTUR DALAM KHOTBAH BAHASA BATAK TOBA
DI GEREJA HKBP SOLO
Disusun oleh: Liana S110809010
Telah Disetujui dan Disahkan oleh Tim Penguji Tesis Pada tanggal:
Ketua : Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana ________________ Sekretaris : Drs. Riyadi Santoso, M.Ed., Ph.D ________________
Anggota : 1. Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D ________________
2. Dr. Tri Wiratno, M.A _______________
Surakarta
Mengetahui, Mengetahui,
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Linguistik Universitas Sebelas Maret Universitas Sebelas Maret
commit to user
iii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya
Nama : Liana
Nim : SII0809010
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul “TINDAK TUTUR DALAM
KHOTBAH BAHASA BATAK TOBA DI GEREJA HKBP SOLO” adalah benar-benar karya
saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang
saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Februari 2012
Yang membuat pernyataan,
commit to user
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan untuk:
· Tuhan Yesus Kristus, Juruselamat, pelindung, pembela, penghibur, dan penuntun
langkah kakiku
· Bapak dan Ibu yang selalu menjadi sumber inspirasi dan teladan
· Penulis persembahkan untuk perpustakaan pascasarjana
· Penulis persembahkan untuk mahasiswa pascasarja S2 khususnya linguistik dalam
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis haturkan Kepada Yesus atas kasih, penyertaan, kekuatan dan
pemeliharaaNya, serta rencana yang indah bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini,
segala kemuliaan hanya bagiNya. Dalam proses penulisan tesis ini penulis mendapat banyak
bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis berterima kasih kepada:
1. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas maret Surakarta yang telah memberi
kesempatan penulis untuk belajar di program pascasarjana Universitas Sebelas Maret,
2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang telah memberi kesempatan penulis untuk menimba ilmu dan
mewujudkan cita-cita di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,
3. Prof. Drs. M.R.Nababan, M.Ed.,M.A.,Ph.D., selaku dosen pembimbing utama yang
dengan penuh kesabaran selalu memberikan bimbingan kepada penulis selama proses
konsultasi,
4. Dr. Tri Wiratno, M.A., selaku dosen pembimbing pendamping yang selalu memberi
kesempatan, semangat serta masukan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini,
5. Ibu dan Bapak, yang tanpa henti mendoakan, memberikan dorongan dan semangat, serta
memberikan kasih sayang yang luar biasa kepada penulis,
6. Keluarga besar penulis yang dengan begitu bangga memotivasi dan mendoakan penulis
agar sukses di masa depan,
7. Kakakku, Abang iparku, dan keluarga serta adikku, Priska, Marudut Roito, Holmes,
Candra, Juni Wati yang senang tiasa memberikan dukungan dan doa selama proses
commit to user
8. Keluarga besar Ito Ryan dan Ito Mathiuw yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu,
terima kasih untuk semuanya,
9. Teman-teman di Pascasarjana yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih
untuk semuanya,
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna. Dengan demikian, penulis
sangat menghargai segala masukan serta kritik membangun mengenai tesis ini.
Surakarta, Februari 2012
commit to user
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 6
10.Situasi Tutur Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo ... 39
commit to user
12.Pelaksanaan Khotbah Bahasa Batak Toba ... 46
D. Kerangka Berpikir ... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 48
commit to user
B. Karakteristik Pemakaian Tindak Tutur dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo ... 130
C. Jenis-Jenis Tindak Tutur yang Dominan Dalam Khotbah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo ... 136
D. Mengapa Tindak Tutur Asertif dan Direktif Lebih Dominan Digunakan dalam khotbah bahasa Batak Toba di gereja HKBP Solo ... 139
commit to user BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN ... 150
B. SARAN ... 152
DAFTAR PUSTAKA ... 153
commit to user
ABSTRAK
Liana, SII0809010. 2012. Tindak Tutur Dalam Khotbah Bahasa Batak Toba Di Gereja HKBP Solo. Pembimbing pertama: Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D. Pembimbing kedua: Dr. Tri Wiratno, M.A. Tesis: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur (2) menjelaskan karakteristik pemakaian tindak tutur (3) menjelaskan jenis tindak tutur yang dominan (4) Alasan Yang Mendasari Mengapa Tindak Tutur Direktif Lebih Dominan Digunakan dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo.
Bentuk penelitian ini adalah kualitatif, dengan studi kasus yang mengambil lokasi di dalam Gereja HKBP Solo. Sampel penelitian ini ditetapkan secara purposive sampling. Sebagai sampelnya adalah Bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo. Data penelitian ini berwujud data lisan dan data tertulis. Data lisan diperoleh dari khotbah bahasa Batak Toba yang disampaikan oleh pendeta yang sudah direkam. Data tersebut kemudian ditranskrip ke dalam data tertulis. Data tertulis juga diperoleh dari tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo. Pengumpul data dilakukan dengan teknik Observasi Langsung, Teknik Rekam, Teknik Simak dan Catat. Analisis datanya menggunakan teknik padan dan banding.
Setelah dilakukan analisis diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo terdapat tujuh jenis tindak tutur, yaitu: Fatis, performatif, komisif, ekspresif, verdiktif, asertif dan direktif. Pada tindak tutur fatis hanya terdiri atas tiga subtindak tutur, yakni; ‘menghormati’, ‘mengucapkan salam’ dan ‘menyapa’. Tindak tutur performatif terdiri atas tiga subtindak tutur, yakni; ‘menyatakan’, ‘memutuskan’, dan ‘mangabulkan’. Tindak tutur komisif terdiri atas enam subtindak tutur, yakni; ‘menawarkan’, ‘berjanji’, ‘bertanya’, ‘bersumpah’, ‘mengklaim’, dan ‘menyetujui’. Tindak tutur ekspresif terdiri atas tujuh subtindak tutur, yakni; ‘bersimpati’, ‘mengakui’, ‘memuji’, ‘bersyukur’, meminta maaf’, dan ‘menolak’. Tindak tutur verdiktif terdiri atas sepuluh subtindak tutur, yakni; ‘mengucapkan selamat datang’, ‘memberi semangat’, ‘mendukung’, ‘berterima kasih’, ‘memberi kesanggupan’, ‘menyangkal’, ‘berpasrah’, mengkritik’, ‘mengharap’, dan ‘membela’. Tindak tutur asertif terdiri atas lima belas subtindak tutur yakni; ‘memberitahu’, ‘mengatakan’, ‘meyakinkan’, ‘mengibaratkan’, ‘memastikan’, ‘menyangsikan’, ‘membenarkan’, ‘menyebutkan’, ‘melaporkan’, ‘menunjukkan’, menjelaskan’, ‘mengumumkan’, ‘memamerkan’, menyampaikan’, dan ‘menegaskan’. Tindak tutur direktif terdiri atas tujuh belas subtindak tutur, yakni; ‘melarang’, ‘menasehati’, ‘memarahi’, ‘memohon’, ‘meminta’, ‘mengarahkan’, ‘mempersilahkan’, ‘merayu’, ‘membujuk’, ‘menyarankan’, ‘menegur’, ‘mengharuskan’, ‘menyuruh’, ‘mengajak’, ‘menginstruksikan’, ‘mengingatkan’, dan ‘menganjurkan’.
commit to user
commit to user
ABSTRACT
Liana. S110809010. Speech Acts of Batak Toba Language Preaching in HKBP Church Solo. Principal Supervisor : Prof. Drs. M.R. Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D. Second Supervisor: Dr. Tri Wiratno, M.A. Master Degree Thesis. The Graduate Program in Linguistics. Sebelas Maret University, Surakarta. 2012
This research aims to (1) describe types of speech acts (2) explain the dominant types of speech acts (3) explain the characteristics of speech acts use of Batak Toba language preaching in HKBP Church Solo (4) explain the basic reason why directive speech act is more dominant used in Batak Toba language preaching in HKBP Church Solo.
The research is qualitative research with a case study taking place in HKBP Church Solo. It uses purposive sampling technique with Batak Toba language preaching in HKBP Chruch Solo as the sample. The data of this research are the oral data and the written data. The oral data were recorded from Batak Toba language preaching delivered by the priest. The data were changed into the written data. The written data were taken from the speech acts of Batak Toba language preaching in HKBP Church Solo. The techniques of data collection are direct observation, recording technique, and note-taking. The data analyses used are equal and compare techniques.
After analyzing the data, the researcher drew some conclusions. There are seven types of speech acts of Batak Toba language preaching in HKBP Church Solo: phatic, performative, commissive, expressive, verdictive, assertive and directive. Phatic speech act consists of three sub speech acts: respecting, greeting, and accosting. Performative speech act consists of three sub speech acts: declaring, deciding, and granting. Commisive speech act consists of six sub speech acts: offering, promising, asking, swearing, claiming, and approving. Expressive speech act consists of seven sub speech acts: giving sympathy, confessing, flattering, thanking, giving apologize, denying, and blessing. Verdictive speech act consists of ten speech acts: welcoming, giving motivation, supporting, thanking, giving capability, denying, sincere, criticizing, wishing, and assisting. Assertive speech act consists of fifteen sub speech acts: giving notice, saying, convincing, supposing, assuring, questioning, justifying, mentioning, reporting, indicating, explaining, announcing, establishing, conveying, and asserting. Directive speech act consists of seventeen speech acts: banning, giving advices, scolding, begging, requiring, pointing, inviting, flattering, persuading, suggesting, admonishing, compelling, commanding, asking, giving instruction, reminding, and proposing.
commit to user
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia hidup baik secara individu maupun kelompok. Dalam bekerjasama
dan berinteraksi antara individu yang satu dengan individu yang lain diperlukan
bahasa. Dengan demikian, bahasa merupakan alat yang amat penting dalam
kehidupan manusia. Seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kehadiran orang
lain. Dia berkomunikasi untuk menyatakan pendapatnya, mengungkapkan
kepentingannya dan mempengaruhi orang lain.
Bahasa digunakan untuk mencapai berbagai tujuan. Seorang penutur memakai
bahasa untuk menyanpaikan sesuatu yang dia ketahui atau yang dia pikir dia ketahui
kepada mitra tutur. Dengan bahasa dia dapat mengekspresikan perasaannya,
menanyakan sesuatu, memohon, memprotes, mengkritik, meminta maaf, berjanji,
mengucapkan terima kasih, menyampaikan salam dan sebagainya. Dia dapat
menggunakan berbagai bentuk kalimat. Jika dia ingin menyatakan sesuatu, dia akan
menggunakan kalimat deklaratif. Jika dia ingin menanyakan sesuatu, dia akan
menggunakan kalimat interogatif. Jika dia ingin mitra tutur melakukan sesuatu, dia
akan menggunakan kalimat imperatif.
Namun demikian, sebuah tuturan tertentu memiliki berbagai fungsi yang
kadang-kadang menyimpang dari bentuknya. Dalam kehidupan masyarakat Batak
Toba, jika seseorang mengetahui tetangganya lewat, dia akan menuturkan sebuah
tuturan ‘lao tudia hamu amang?’ (‘akan pergi ke mana pak?’). Berdasarkan
commit to user
menuturkan tuturan di atas tidak semata-mata karena dia ingin mengetahui ke mana
tetangganya akan pergi. Penutur lebih menekankan pada dimensi keakraban di antara
mereka daripada jawaban atas pertanyaan itu.
Selain itu, seorang penutur tidak memakai kalimat perintah dalam
memerintahkan mitra tutur untuk melakukan sesuatu yang penutur inginkan. Tuturan
‘Panas sekali ruangan ini’, misalnya, tidak berfungsi untuk memberitahukan kepada
mitra tutur tentang keadaan ruangan itu. Dengan kalimat deklaratif itu penutur secara
tidak langsung menginginkan mitra tuturnya untuk melakukan suatu perbuatan
misalnya, membuka jendela, menghidupkan kipas angin, menghidupkan AC, atau
penutur merasa tidak betah berada di ruangan itu dan mitra pindah ke ruangan yang
lain. Jika keinginannya itu diungkapkan secara langsung sesuai dengan yang dia
maksudkan, kalimat yang dia hasilkan akan berbunyi: ‘Buka jendela itu!,’ atau
‘Hidupkan kipas angin!’, atau ‘Hidupkan AC!’, atau ‘Mari kita pindah ke ruang yang
lain!’.
Situasi tutur yang sedang berlangsung juga menentukan pemakaian bahasa.
Ketika sekelompok siswa sedang berdiskusi, misalnya, mereka cenderung memakai
ragam baku. Ketika mereka bercakap-cakap di perpustakaan atau kantin, mereka
cenderung menggunakan ragam akrab. Pendeta di Gereja Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) lebih cenderung menggunakan ragam baku pada saat
menyampaikan khotbah bahasa Batak Toba. Ketika dia berbincang-bincang dengan
jemaatnya, pendeta tersebut akan mengunakan ragam akrab dengan tetap
mempertimbangkan tata krama dan kesopanan yang berlaku dalam masyarakat Batak
commit to user
Menurut Suwito (1986: 2), dari sudut pandang linguistik, bahasa secara
empiris dapat dikaji dalam kedudukannya dan hubungannya dengan pemakainya di
dalam masyarakat. Dengan demikian, bahasa tidak hanya dikaji dari dalam bahasa itu
sendiri secara linguis tetapi juga harus dikaji dari luar linguistik. Dengan kata lain,
bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik saja
tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik, yaitu faktor-faktor sosial (Suwito,1985:
3). Faktor-faktor situasional juga berpengaruh, yaitu siapa berbicara dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa.
Sejauh pengamatan penulis, ada beberapa penelitian pragmatik yang sudah
dilakukan. Diantaranya adalah penelitian Purwani (1992), Mujiono (1996), Gunarwan
(1996), Abdul Syukur Ibrahim (1996), Delli Nirmala (1998), Sri Haryanti (2001) dan
Edi Subroto (2001). Objek kajian dari masing-masing dari penelitian tersebut berbeda
satu sama lain dan demikian pula dengan jenis kelamin, usia dan ranah percakapan
serta bahasa yang dilibatkan. Tidak satupun dari ketujuh penelitian itu yang mengkaji
tindak tutur yang terjadi pada ranah khotbah di gereja dan juga tidak ada di antaranya
yang meneliti tindak tutur bahasa Batak Toba. Di samping itu, masing-masing dari
penelitian tersebut lebih terfokus pada tindak tutur dan implikatur percapakan
tertentu.
Fenomena penggunaan bahasa dan adanya celah penelitian yang dijelaskan di
atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang tindak tutur dalam
khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo.
Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah tuturan pendeta di Gereja HKBP Solo
commit to user
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini membahas masalah tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak
Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo dengan menggunakan
kajian pragmatik. Berdasarkan lingkup permasalahan sebagaimana dikemukakan di
atas, penelitian ini difokuskan pada rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana jenis tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja
HKBP Solo?
2. Bagaimana karakteristik pemakaian tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak
Toba di Gereja HKBP Solo?
3. Jenis tindak tutur apa yang menjadi dominan dalam khotbah bahasa Batak
Toba di Gereja HKBP Solo?
4. Mengapa tindak tutur tertentu lebih dominan dibandingkan dengan tindak
tutur lainnya dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja HKBP Solo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah sebagaimana
dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan jenis tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di
Gereja HKBP Solo.
2. Menjelaskan karakteristik pemakaian tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak
Toba di Gereja HKBP Solo.
3. Menjelaskan jenis tindak tutur yang dominan dalam khotbah bahasa Batak
commit to user
4. Mendeskripsikan mengapa tindak tutur tertentu lebih dominan dibandingkan
dengan tindak tutur lainnya dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja
HKBP Solo.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat
praktis. Manfaat teoretis penelitian ini diwujudkan dalam bentuk khasanah teori
linguistik (pragmatik), khususnya teori pemakaian bahasa dalam khotbah bahasa
Batak Toba Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo. Manfaat praktis dari
temuan-temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai substansi dasar penelitian
tentang tindak tutur pada ranah khotbah dan pengembangan serta pembinaan dalam
bahasa Batak Toba. Temuan-temuan penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh
peneliti selanjutnya dalam bidang linguistik (pragmatik). Di samping itu, hasil
penelitian ini dapat pula dimanfaatkan oleh pendeta untuk meningkatkan pengetahuan
tentang tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Penutur dituntut dapat mengetahui bahasa secara komprehensif, bagaimana
dan kapan harus mengutarakan suatu ucapan (Bell, 1995: 35). Jika dia berkehendak
menjadi seorang penutur yang baik, dia diharapkan mampu menerapkan pengetahuan
yang dimilikinya dalam komunikasi. Pengetahuan di sini mengacu pada apa yang
diketahui penutur tentang bahasa dan aspek lain dari penggunaan bahasa itu. Aspek
yang harus dikuasai seorang penutur telah dikenal oleh para ahli bahasa dengan istilah
kemampuan komunikasi atau kompetensi komunikatif.
Komunikasi berkaitan dengan empat tingkah laku bahasa. Empat tingkah laku
itu adalah berbicara, menulis, mendengar dan membaca. Berbicara dan menulis
merupakan produksi bahasa; mendengarkan dan membaca merupakan pemahaman
bahasa. Ditinjau dari tingkah laku bahasa, berbicara dan mendengarkan merupakan
tingkah laku lisan; menulis dan membaca merupakan tingkah laku tulis. Di samping
itu konsep suatu komunikasi selalu mempersyaratkan kehendak untuk berkomunikasi
(Hamid, 1987).
Soeseno Kartomihardjo (1989) mengemukakan ciri-ciri bahasa lisan dalam
komunikasi sebagai berikut: (1) struktur yang tidak lengkap, (2) penggunaan kata
penghubung yang terbatas misalnya lalu, tetapi, dan, (3) cenderung menggunakan
satu kata sifat atau keterangan bagi subjek atau bagian kalimat, (4) dipergunakan
kosakata yang sederhana dan umum, (7) penggunaan struktur yang sama, (8)
commit to user
(Soeseno Kartomihardjo, 1989: 5). Dalam penelitian ini, penulis memusatkan
perhatiannya pada tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo secara langsung yang menggunakan bahasa
lisan dan bahasa tulis.
B. Kajian Hasil Penelitian
Penelitian-penelitian pragmatik belum banyak dibukukan orang. Mey (1994:
35) menjelaskan bahwa pragmatik merupakan paradigma atau program baru dalam
penelitian. Beberapa hasil penelitian mengenai pragmatik diuraikan secara ringkas di
bawah ini.
Purwani (1992 dalam Mujiyono, 1996: 28) mengkaji hakikat tindak tutur
wanita para anggota Dharma Wanita IKIP Malang. Tindak tutur wanita itu
dideskripsikan berdasarkan komponen-komponen latar, partisipan, interaksi, kuna,
saluran, pesan, topik, dan norma.
Mujiyono (1996) mengkaji implikatur percakapan anak usia sekolah dasar.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa implikatur percakapan anak usia sekolah
dasar sudah bervariasi dan kompleks, berupa kalimat tunggal, kalimat majemuk,
kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah.
Gunarwan (1996) meneliti tindak tutur mengkritik dengan barometer umur di
kalangan penutur jati bahasa Jawa serta implementasinya pada usaha pembinaan.
Dalam kajian ini dibedakan antara penutur yang usianya 20 tahun, antara usia 21
tahun sampai 30 tahun, antara 31 tahun sampai 40 tahun, dan orang yang berumur 41
tahun sampai 50 tahun. Penelitian ini terfokus pada kepatuhan strategi tindak tutur
commit to user
Abdul Syukur Ibrahim (1996) mengkaji bentuk direktif bahasa Indonesia.
Kajian etnografi komunikasi ini difokuskan pada tindak tutur antara camat dengan
kepala desa di kabupaten Malang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindak
tutur antara camat dengan kepala desa menggunakan sepuluh pola tutur kinerja, yaitu
1) tuturan dengan modus imperatif, 2) tuturan dengan modus performatif eksplisit, 3)
tuturan dengan performatif berpagar, 4) tuturan dengan preposisi keharusan, 5)
tuturan dengan menunjukkan kesangsian, 6) tuturan dengan mengandaikan bersyarat,
7) tuturan dengan preposisi menggunakan persona, 8) tuturan dengan menyatakan
alasan, 9) tuturan dengan sindiran, dan 10) tuturan dengan kelakar.
Penelitian Delli Nirmala (1998) membahas koherensi pragmatik antar-ujaran
pada wacana percakapan dalam bahasa Indonesia pada ranah keluarga dan kerja.
Objek kajiannya terfokus pada bentuk dan jenis tindak tutur yang direalisasikan oleh
ujaran dalam percakapan dan maksud kerjasama dan kesopanan yang diterapkan
dalam percakapan.
Kajian Sri Haryanti (2001) mengenai Implikatur Percakapan dalam Fisik
Bahasa Inggris, Suatu Kajian Pragmatik. Hasil penelitiannya menegani tindak tutur
yang bermuatan iplikatur.
Edi Subroto (2001) mengkaji tindak tutur tidak langsung dalam bahasa Jawa.
Penelitian ini berupaya memahami meta pesan. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa: 1) gejala tindak tutur tidak langsung ditandai adanya pemenggalan informasi,
2) gejala tindak tutur tidak langsung merupakan salah satu cara manusia
mengkomunikasikan informasi, sekaligus keberadaan sosialnya, dan 3) produktif
tindak tutur tidak langsung menandai bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa Ibu yang
commit to user
C. Landasan Teori
1. Pragmatik
a) Pengertian Pragmatik
Pragmatik adalah salah satu cabang ilmu kajian bahasa yang mempelajari
struktur bahasa secara eksternal yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di
dalam komunikasi. Leech (1993: 8) mengatakan bahwa pragmatik memerlukan
makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (tridiad), what did you mean
by x? “apa maksudmu dengan X?”
Sementara itu, Parker (1986: 11) mengatakan bahwa pragmatik merupakan
cabang linguistik yang mengkaji struktur bahasa secara eksternal, maksudnya
bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya.
Parker membedakan pragmatik dari studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi
seluk-beluk bahasa secara internal. Studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan
konteks sedangkan studi pragmatik harus dikaitkan dengan konteks (Parker, 1986:
11). Pragmatik berbeda dari tata bahasa, yang merupakan kajian struktur bahasa
secara internal. Pragmatik adalah studi tentang pemakaian bahasa dalam komunikasi.
Dari batasan yang dikemukakan oleh Parker tersebut dapat dikatakan bahwa
studi tata bahasa dianggap sebagai studi yang bebas konteks (context independent).
Sebaliknya, studi pemakaian tata bahasa dalam komunikasi yang sebenarnya harus
dikaitkan dengan konteks yang melatarbelakangi dan mewadahinya. Studi yang
demikian dapat disebut sebagai studi yang terikat konteks (context dependent)
commit to user
Pragmatik mengkaji maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan lingual
tertentu pada sebuah bahasa. Hal ini ditegaskan oleh Edi Subroto (1999: 1) yang
menyatakan bahwa pragmatik adalah semantik maksud. Dalam banyak hal pragmatik
sejajar dengan semantik, karena keduanya mengkaji makna. Perbedaanya adalah
pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal sedangkan semantik
mengkaji makna satuan lingual secara internal. Hal ini ditegaskan oleh Wijana (1996:
2) yang menyatakan bahwa semantik dan pragmatik merupakan cabang-cabang ilmu
bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari
makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal.
Pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi
(tridiadic), what did you mean by X? “Apa maksudmu dengan X?”.
Menurut Levinson (1997: 7), pragmatik merupakan telaah mengenai hubungan
antara bahasa dan konteks yang diatur dalam struktur suatu bahasa. Batasan yang
diberikan oleh Levinson tersebut digunakan sebagai pedoman dalam mengkaji tindak
tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) Solo.
b) Ruang Lingkup Pragmatik
Kaswanti Purwo (1994: 17) mengemukakan empat aspek fenomena
pragmatik, yakni deiksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan.
Suyono (1990, dalam Mujiyono, 1996: 24), setelah mengemukakan pandangan dari
para ahli, menyimpulkan bahwa kajian pragmatik meliputi variasi bahasa, deiksis,
commit to user
Deiksis terdiri dari deiksis persona, deiksis kala, deiksis tempat (Henry Guntur
Taringan, 1993: 34). Dalam tesis ini tidak dibicarakan deiksis, karena kajian tesis ini
tidak berhubungan secara langsung dengan deiksis.
2. Tindak Tutur
a) Pengertian Tindak Tutur
Pemakaian makna dan daya tuturan hanya dapat dijelaskan dalam hubungan
aktivitas, atau permainan bahasa yang di dalamnya tuturan-tuturan memainkan suatu
peran. Dengan demikian, tindak tutur merupakan bahasa yang diperlihatkan sebagai
suatu bentuk perbuatan.
Beberapa ahli dengan hasil karyanya mempunyai pendapat yang sama tentang
tindak tutur bahwa secara pragmatik ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan
oleh seorang penutur sebagai berikut:
(1) Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk mengatakan sesuatu. Tindak lokusi
sebagai tindak tutur dasar, atau menghasilkan pertanyaan-pertanyaan linguistik yang
bermakna. Sebagai contoh adalah: “Ikan paus adalah binatang menyusui” dan “Jari
tangan jumlahnya lima”. Dua kalimat tersebut diutarakan oleh penuturnya
semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu,
apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
(2) Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi merupakan komponen-komponen interpersonal dan tekstual
commit to user
masih harus dilihat dari segi situasi pemakaiannya. Apa yang ingin dilakukan oleh
penutur atau penulis dengan proposisinya? Apa tujuan yang ingin dituju, menyatakan,
menanyakan “semesteran sudah dekat”, seorang guru ingin memperingati
murid-muridnya untuk mempersiapkan diri, dan bila diucapkan oleh seorang ayah kepada
anaknya, kalimat tersebut mungkin dimaksudkan untuk menasehati agar anaknya
tidak hanya berpergian menghabiskan waktu secara sia-sia.
Daya ilokusi dapat dinyatakan dengan modus kalimat (1), dibuat eksplisit (2),
dan diklasifikasikan(3).
Modus Eksplisit Klasifikasi
Dia pergi.
Mengapa dia pergi? Pergi!
Saya mengatakan bahwa dia pergi Saya menanyakan mengapa dia pergi Saya memerintahkan kamu agar pergi
Pernyataan Pertanyaan Perintah
Daya ilokusi pernyataan penutur memberikan informasi kepada pendengarnya,
pertanyaan mendapatkan informasi dari pendengarnya, dan perintah mendorong atau
meminta pendengarnya untuk berbuat. Secara teknis, pertanyaan “saya mengatakan,
saya menanyakan, saya memerintahkan” disebut performatif. Dengan demikian, daya
ilokusi merupakan rencana komunikasi verbal di belakang tuturan penutur, dan tindak
ilokusi merupakan pencapaian tujuan komunikasi yang bersangkutan.
(3) Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi sebagai urutan kejadian yang dilakukan dari kondisi awal
sampai tercapainya tujuan berbicara. Tindak tutur perlokusi merupakan tindak tutur
yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur. Sebagai contoh,
kalimat “Dia kuliah lagi” apabila diutarakan oleh seorang guru kepada kepala sekolah,
commit to user
dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di sekolah. Adapun efek perlokusi yang mungkin
diharapkan agar kepala sekolah tidak terlalu banyak memberikan tugas kepadanya.
Ketiga unsur tindak tutur tersebut saling berkaitan. Suatu tuturan berupa
informasi tentang sesuatu, dapat juga berisi suatu ajakan untuk melakukan sesuatu,
dan sekaligus mengharapkan pengaruh dari melakukan sesuatu tersebut.
b) Bentuk-Bentuk Tindak Tutur
Yang dibicarakan pada bagian ini adalah bentuk-bentuk tindak tutur
berdasarkan daya ilokusi sebab seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya
bahwa tindak ilokusi merupakan sentral dalam kajian tindak tutur. Komunikasi ini
dikemukakan oleh Searle dalam Leech (1993: 164-165) yang mengatakan bahwa
ilokusi terdiri atas lima kategori yaitu: asertif (assertives), direktif (directives),
komisif (commissives), ekspresif (expressive), dan deklaratif (declaratives). Kreidler
(1998: 183-184) mengemukakan tujuh bentuk tindak tutur, yaitu Fatis (phatic),
performatif (performative), komisif (commissive), ekspresif (expressive), verdiktif
(verdictive), asertif (assertive) dan direktif (directive).
Penelitian ini mengadopsi bentuk tindak tutur yang dikemukakan oleh
Kreidler (1998) karena bentuk-bentuk tindak tutur yang disodorkannya lebih
representatif dan lebih mampu mengakomodasi data penelitian ini. Bentuk-bentuk
tindak tutur yang dikemukakan oleh Kreidler adalah sebagai berikut.
a) Fatis (Phatic Utterances)
Tindak tutur fatis bertujuan untuk menciptakan hubungan antara penutur dan
commit to user
dengan enam jenis tindak tutur sebelumnya, namun bukan berarti bahwa tindak tutur
fatis ini tidak penting.
Tuturan-tuturan fatis ini termasuk ucapan salam, ucapan salam berpisah,
cara-cara yang sopan seperti terimakasih, sampai ketemu, sampai ketemu juga yang tidak
berfungsi verdiktif atau ekspresif.
b) Performatif (P erformative Utterances)
Tindak tutur performatif merupakan tindakan tutur yang menyebabkan
resminya apa yang dinamakan. Tuturan performatif menjadi sah jika dinyatakan oleh
seseorang yang berwenang dan dapat diterima. Verba performatif antara lain bertaruh,
mendeklarasikan, membabtis, menamakan, menominasikan, menjatuhkan hukuman,
menyatakan, mengumumkan.
Biasanya ada pembatasan-pembatasan terhadap tindak tutur performatif.
Pertama, subjek kalimat harus saya atau kami. Kedua, verbanya harus dalam bentuk
kala kini. Dan yang paling penting penutur harus diketahui memiliki otoritas untuk
membuat pernyataan dan situasinya harus cocok. Tindak tutur performatif terjadi pada
situasi formal dan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan resmi.
c) Komisif (Commisive Utterances)
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang menyebabkan penutur
melakukan serangkaian kegiatan. Hal ini termasuk berjanji, bersumpah, mengklaim.
Verba tindak tutur komisif antara lain menawarkan, berjanji, bertanya,
bersumpah,mengklaim dan menyetujui.
commit to user
yang dapat digunakan untuk menjalankan seseorang (atau menolak menjalankan
seseorang) terhadap perbuatan masa akan datang. Subjek kalimat sebagian besar
adalah saya dan kami. Lebih lanjut verbanya harus dalam bentuk kala kini dan mitra
tutur.
d) Ekspresif (Expressive Utterances)
Tindak tutur ekspresif merupakan tindak pertuturan bermula dari kegiatan
sebelumnya atau kegagalan penutur, atau mungkin akibat yang ditimbulkan atau
kegagalannya. Maka dari itu tindak tutur ekspresif bersifat retrospektif dan
melibatkan penutur. Verba-verba tindak tutur ekspresif antara lain mengakui,
bersimpati, memanfaatkan, dan sebagainya.
e) Verdiktif (Verdictive Utterances)
Tindak tutur verdiktif merupakan tindak tutur di mana penutur membuat
penilaian atas tindakan orang lain, biasanya mitra tutur. Penilaian-penilaian ini
termasuk merangking, menilai, memuji, dan memafaatkan. Yang termasuk verba
verdiktif adalah menuduh, bertanggung jawab, dan berterima kasih. Verba-verba ini
berada pada kerangka ‘Saya…Anda atas…’ karena tindak tutur ini menampilkan
penampilan penilaian penutur atas perbuatan penutur sebelumnya, maka tindak tutur
ini bersifat retrospektif.
f) Asertif (Assertive Utterances)
Kreidler (1998:183) menyatakan bahwa pada tindak tutur asertif para penutur
dan penulis memakai bahasa untuk menyatakan bahwa mereka mengetahui atau
mempercayai sesuatu. Bahasa asertif berkaitan dengan fakta. Tujuannya adalah
commit to user
ada atau diadakan, atau telah menjadi atau tidak terjadi. Dengan demikian, tindak
tutur asertif bisa benar bisa salah dan biasanya dapat diversifikasikan atau disalahkan.
Tindak tutur asertif dibagi menjadi dua, yaitu tindak tutur asertif langsung dan
tak langsung. Tindak tutur asertif langsung diawali dengan kata saya atau kami dan
diikuti dengan verba asertif. Sebaliknya, tindak tutur asertif tak langsung juga diikuti
dengan verba asertif yang merupakan tuturan yang dituturkan kembali oleh penutur.
Yang termasuk verba asertif antara lain mengatakan, mengumumkan, menjelaskan,
menunjukkan, menyebutkan, melaporkan, dan sebagainya.
g) Direktif (Directive Utterances)
Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur dimana penutur berusaha
meminta tutur untuk melakukan perbuatan atau tindak melakukan perbuatan. Jadi,
tindak tutur direktif menggunakan pronominal kamu sebagai pelaku baik hadir secara
eksplisit maupun tidak.
Tindak tutur direktif bersifat prospektif, artinya seseorang tidak bisa menyuruh
orang lain suatu perbuatan pada masa lampau. Seperti tindak tutur yang lain, tindak
tutur direktif mempresuposisikan suatu kondisi tertentu kepada mitra tutur sesuai
dengan konteks. Ada tiga macam tindak tutur direktif perintah, permohonan dan
anjuran. Dalam penelitian ini penulis akan mengacu tindak tutur menurut Kreidler,
yaitu: Fatis (phatic), performatif (performative), komisif (commissive), ekspresif
(expressive), verdiktif (verdictive), asertif (assertive) dan direktif (directive). Data
diambil dari khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) Solo. Dengan demikian, data-data tersebut diharapkan dapat dianalisis
commit to user
3. Komponen tutur
Komponen tutur adalah butir-butir penentu bentuk linguistik
(Poedjosoedarmo, 1978: 1). Pengertian lain menyebutkan bahwa komponen tutur
adalah komponen-komponen yang berpengaruh terhadap terjelmanya bentuk tutur
(Edi Subroto, 1992: 20). Komponen tutur tidak lain adalah butir yang dapat
menetukan bentuk ujaran seorang penutur. Teori komponen tutur yang dikemukakan
Poedjosoedarmo merupakan penjabaran kembali apa yang telah dikemukakan oleh
Hymes dengan penyesuaian di sana-sini sesuai dengan penilaian yang dilakukannya.
Ahli ini hanya menyebut adanya delapan komponen tutur, sedangkan Poedjosoedarmo
menyebutkan ada 13 komponen tutur yang merupakan faktor-faktor penentu bentuk
kebahasaan. Pada saat seseorang hendak berbicara, pertama kali terbentuklah suatu
pesan itu lalu dilontarkan menjadi ujaran yang kemudian didengar oleh lawannya.
Terjadinya pelontaran ujaran atau pengkodean itu dipengaruhi oleh banyak hal.
Akibatnya wujud penjabaran pesan itu dalam bentuk kebahasaanya menjadi
bermacam-macam bergantung kepada macam atau kualitas butir-butir yang
mempengaruhinya. Hal ini disebabkan butir-butir itu adalah sebagai penentu bentuk
kebahasaan, yaitu ujaran yang dilontarkan oleh seorang penutur.
Kejelasan tentang komponen tutur sangat diperlukan dalam analisis
kebahasaan. Dengan melihat komponen tutur secara teliti, maka akan diketahui bahwa
ternyata kemampuan seseorang tidak hanya semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor
yang sifatnya linguistik, tetapi juga oleh pemilihan yang sesuai dengan fungsi dan
situasinya.
Pembenahan komponen tutur ini berguna pula untuk mencari kejelasan
commit to user
masyarakat dwibahasa. Dalam analisis tindak tutur atau bahkan untuk memahami
makna sesuatu kalimat pun kita perlu memperhitungkan pengaruh-pengaruh
komponen tutur ini diperlukan dalam analisis kebahasaan.
Dalam memberikan ikwal peristiwa tutur, Hymes (dalam Subroto,1992: 20)
mengidentifikasikan 16 komponen tutur sebagai berikut.
1. Setting, yaitu situasi pemakaian bahasa yang teramati seperti waktu, tempat,
dan lingkungan fisik yang ada.
2. Scene, yaitu penafsiran terhadap situasi sebagai situasi.
3. Pembicara atau orang pertama (01).
4. Pendengar atau orang kedua (02).
5. Orang ketiga atau yang dibicarakan.
6. Sumber, yaitu sumber budaya yang mewarnai ujaran atau tuturan seseorang.
Bila seseorang bertutur maka akan tampak pula warna budayanya.
7. Fungsi dari peristiwa tutur, misalnya tuturan untuk upacara ritual atau
rapat-rapat.
8. Tujuan yang hendak dicapai oleh peserta tutur.
9. Bentuk tutur
10. Isi atau pokok pembicara. Jika isi adalah mengenai topik atau pokok
pembicaraan, maka bentuk adalah wujud bahasa di mana isi itu diwujudkan.
11. Warna tutur, yaitu apakah suatu tuturan berwarna sinisme atau sarkasme.
12. Variasi bahasa
13. Saluran, yaitu apakah berwujud bahasa lisan atau tulisan surat, atau telegram,
nyayian atau perbincangan.
commit to user
16. Genre, yaitu apakah berwujud puisi, atau khotbah, atau dialog dalam
persidangan pengadilan, dan sebagainya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan komponen tutur sebagai landasan
untuk menganalisis tindak tutur dalam khotbah bahasa Batak Toba di Gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) Solo.
4. Konteks Situasi Tutur
Pragmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada
konteks (Bambang Kaswanti, 1990: 14). Konteks yang dimaksud adalah segala latar
belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang
menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan
Leech (1983: 13-14), Wijana (1996) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu
dapat disebut dengan konteks situasi tutur. Konteks situasi tutur menurutnya
mencakup aspek-aspek, yaitu; (1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3)
tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktifitas, (5) tuturan sebagai
produk tindak verbal (Wijana, 1996: 10-11).
Secara singkat masing-masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai
berikut. Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam Searle
(1983), lazimnya dilambangkan dengan S yang berarti pembicara atau penutur dan H
yang dapat diartikan pendengar atau mitra tutur. Konteks diartikan sebagai semua
latar belakang pengetahuan yang di asumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra
tutur serta yang mendukung interprestasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan
penutur itu di dalam proses bertutur. Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk
commit to user
bentuk tindakan atau aktifitas merupakan bidang yang ditangani pragmatik. Tuturan
dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal.
Melalui pemahaman terhadap konteks situasi tersebut akan dikenali maksud
suatu tuturan, lalu dapat diidentifikasi kosakata atau istilah khusus sebagai penanda
tindak tutur.
Halliday dan Ruqaiya Hasan dalam buku yang berjudul Bahasa, Konteks, dan
Teks (1994: 4) memberi batasan bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu
bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi. Teks dapat
berwujud tuturan atau tulisan-tulisan yang mempunyai kesatuan makna.
Makna-makna itu dikodekan ke dalam kata-kata atau kalimat untuk dikomunikasikan.
Sebagai sesuatu yang mandiri, teks itu pada dasarnya adalah satuan makna. Teks
bukan sesuatu yang dapat diberi batasan seperti sejenis kalimat, melainkan lebih
besar.
Teks adalah suatu bentuk pertukaran makna yang bersifat sosial. Teks adalah
suatu bentuk pertukaran, dan bentuk teks paling dasar adalah percakapan, suatu
interaksi antara pembicaraan dan pendengar. Percakapan merupakan jenis teks tempat
orang menggali secara optimal sumber-sumber bahasa yang mereka miliki, tempat
mereka memunculkan hal-hal baru, dan tempat terjadinya perubahan-perubahan
sistem. Perubahan dan perkembangan dalam bahasa dapat ditemukan dalam teks-teks
percakapan yang alami. Konteks percakapan sebagai salah satu jenis teks, merupakan
suatu proses pertukaran makna antar manusia (Halliday dan Raquiya Hasan, 1994:
14-15).
commit to user
bahasa. Kemampuan memperkirakan itu sangat penting. Tanpa kemampuan itu,
proses seluruhnya menjadi sangat lambat. Seluruh isi pembicaraan mungkin terlepas
jika pendengar tidak menyertakan perkiraan-perkiraan yang tepat yang bersumber dari
konteks situasi. Konteks itu adalah teks sebelumnya. Kata-kata dalam sebuah
pembicara sering diterangkan oleh konteksnya, maka interprestasi terhadap tuturan
atau pembicaraan di dalam sebuah teks diterangkan oleh tuturan sebelumnya (Hasan
Lubis,1991: 94).
Konteks situasi hanyalah merupakan lingkungan yang langsung. Masih ada
latar belakang lebih luas yang harus diacu dalam menafsirkan teks yaitu konteks
budaya. Orang melakukan hal tertentu pada kesempatan tertentu dan memberinya
makna dan nilai. Inilah yang dimaksud kebudayaan (Halliday dan Raqaiya Hasan,
1994: 63). Oleh karena itu, warga masyarakat dari kebudayaan tentu akan membentuk
konsep-konsep dan menemukan kecocokan dengan situasi atau kewajiban tertentu
(Ohoiwutun,1997: 83).
Dengan demikian, teks itu sendiri merupakan objek dan juga merupakan
contoh makna sosial dalam konteks situasi tertentu. Teks adalah hasil lingkungannya,
hasil suatu proses pemilihan makna yang terus-menerus, yang membentuk suatu
sistem kebahasaan. Oleh karena itu, konteks situasi merupakan suatu hubungan yang
sistematis antara lingkungan sosial di satu pihak, dengan organisasi bahasa yang
berfungsi di lain pihak (Halliday dan Raqaiya Hasan, 1994: 15-16).
5. Masyarakat Tutur
Chomsky mengatakan bahwa bahasa merupakan kompeten dan performan,
maka secara implisit Dell Hymes (dalam Suwito,1982: 17) membedakan bahasa
commit to user
dinyatakan sebagai kemampuan komunikatif, yaitu kemampuan berbahasa sesuai
dengan norma, situasi, dan fungsinya yang dimiliki oleh penutur (Suwito, 1982: 17).
Ini berarti bahwa kemampuan komunikatif disamping berkaitan dengan kemampuan
struktural, penutur mampu membedakan struktur yang gramatikal dan nongramatikal,
juga berkenaan dengan situasinya. Kemampuan komunikatif verbal repertoire
mungkin dimiliki oleh individu atau masyarakat tertentu.
Masyarakat bahasa atau masyarakat tutur merujuk pada suatu masyarakat yang
mempunyai verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang terhadap
norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan dalam masyarakat (Fishman,
1972: 22). Dengan demikian, masyarakat tutur bukan sekedar kelompok orang yang
mempergunakan bentuk bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang juga
memiliki norma yang sama dalam memakai bentuk bahasa (Suwito,1982: 18). Itulah
sebabnya, Laboy (1972: 293) menarik esensi bahwa sikap-sikap sosial terhadap
bahasa sangat beragam dalam masyarakat bahasa.
Masyarakat bahasa pada hakikatnya terbentuk karena adanya saling pengertian
(mutual-intelligibility), terutama adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik
yang mencakup sistem bunyi, morfologi, sintaksis, dan semantik (Alwasilah,1988:
43). Masyarakat bahasa muncul oleh karena rapatnya komunikasi atau karena
integrasi simbolik dengan tetap menghormati kemampuan berkomunikasi penuturnya
tanpa mengingat jumlah bahasa atau variasi bahasa yang dipergunakan (Gumperz
dalam Suwito, 1982: 20). Dalam masyarakat modern, masyarakat bahasa cenderung
lebih terbuka dan memiliki variasi yang cukup banyak dalam bahasa yang sama.
Sebaliknya, masyarakat tradisional lebih tertutup dan cenderung memakai variasi dari
commit to user
6. Prinsip Kerjasama
Kegiatan bertutur akan berlangsung dengan baik apabila para peserta tutur
semuanya terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut, maka para peserta tutur
harus dapat saling bekerja sama. Kerja sama itu pun harus disertai perilaku sopan
kepada pihak lain.
Menurut Kaelan (1974) maksim-maksim dalam prinsip kerja sama tidak
merupakan suatu kesemestaan bahasa karena pada beberapa masyarakat bahasa tidak
semua maksim dapat diterapkan. Hal itu oleh Leech (1993: 121) ditanggapi bahwa
ada ilmu khusus, yakni sosio-pragmatik yang bertujuan menjelaskan bagaimana
masyarakat yang berbeda menggunakan maksim-maksim. Misalnya, ada masyarakat
yang dalam situasi tertentu lebih mementingkan prinsip sopan santun yang satu
daripada prinsip kerjasama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip sopan santun
yang satu daripada yang lain.
Selain itu, ada empat maksim yang menopang prinsip di atas, seperti yang
dikemukakan oleh Grice (dalam Levinson, 1995: 105: 101; Van Dijk, 1997: 39; lihat
juga Rahardi, 2000: 50; Marcellino, 1993: 62; Wijana, 1996: 45) yang mencakup
empat maksim sebagai berikut:
a) Maksim kualitas
Maksim ini mewajibkan setiap peserta tutur mengatakan hal yang sebenarnya.
Kontribusi peserta didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Contohnya:
commit to user b) Maksim kualitas
Di dalam maksim ini seseorang penutur diharapkan dapat memberikan
informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Contohnya:
(2) Unang lean hatorangan na lobi godang sian na diporluhon.
‘Jangan memberi keterangan yang lebih banyak dari yang diperlukan’.
c) Maksim relevansi
Maksim ini mengharuskan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang
relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Berbicara dengan tidak memberikan
kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerjasama.
Contohnya:
(3) Pn : Juni, coba karejohon soal on tu papan tulis! ‘Juni, coba kerjakan soal ini di papan tulis!’ Mt : Olo, pak.
‘Ya, pak.’
(4) Pn : Candra, coba karejohon soal on tu papan tulis! ‘Candra, coba kerjakan soal ini di papan tulis!’ Mt : Loceng ngamakkuling, pak.
‘Bel berbunyi, pak.’
Tuturan 3) merupakan tuturan yang benar-benar merupakan tanggapan
seorang murid (mitra tutur) ketika diperintahkan gurunya (penutur). Ada relevansi
antara jawaban murid terhadap pertanyaan guru sehingga dikatakan memenuhi prinsip
kerjasama. Pada tuturan 4) jawaban Candra (mitra tutur) tidak ada hubungannya
dengan apa yang diperintahkan guru (penutur). Tuturan (4) ini juga merupakan bahwa
maksim relevansi dalam prinsip kerjasama tidak selalu harus dipatuhi dalam
pertuturan sesungguhnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan
commit to user d) Maksim cara/ pelaksanaan
Maksim ini menghendaki para peserta tutur berbicara langsung, jelas, dan
tidak kabur.
Contohnya:
(5) Padao sian naso mangantusi ‘Hindari ketidakjelasan’ (6) Mangkatai ma denggan
‘Bicaralah dengan sopan’
7. Prinsip Sopan Santun
Leech (1993:80) berpendapat bahwa prinsip kerja sama dibutuhkan untuk
memudahkan penjelasan antara makna dan daya. Penjelasan demikian sangat
memadai, khususnya untuk memecahkan masalah yang timbul di dalam semantik
yang menggunakan pendekatan yang berdasarkan kebenaran. Akan tetapi, prinsip
kerja sama itu sendiri tidak mampu menjelaskan mengapa orang sering menggunakan
cara yang tidak langsung di dalam menyampaikan maksud. Prinsip kerja sama juga
tidak bisa menjelaskan hubungan antara makna dan daya dalam kalimat nondeklaratif.
Untuk mengatasi kelemahan itu, Leech mengajukan prinsip lain di luar prinsip kerja
sama, yang dikenal sebagai prinsip sopan santun.
Prinsip sopan santun memiliki sejumlah maksim, yakni 1) maksim
kebijaksanaan, 2) maksim kemurahan, 3) maksim penerimaan, 4) maksim kerendahan
hati, 5) maksim kecocokan dan maksim kesimpatian (Leech, 1993: 132; Mey,1993:
67; Wijana, 1996: 55). Wijana (1996: 55) menjelaskan bahwa di dalam
mengungkapkan maksim-maksim dalam prinsip sopan santun diperlukan bentuk
commit to user
1. Ujaran komisif yaitu ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau
tawaran
2. Ujaran impositif yaitu ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau
suruhan
3. Ujaran ekspresif yaitu ujaran yang dingunakan untuk menyatakan sikap
psikologis pembicara terhadap suatu keadaan
4. Ujaran asertif yaitu ujaran yang digunakan untuk menyatakan kebenaran
proposisi yang diungkapkan.
Di dalam percakapan, penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa
agar mitra tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun. Dalam hal
ini, prinsip sopan santun dapat dipakai sebagai tuntunan cara bertutur secara santun.
Maksim-maksim dalam prinsip sopan santun satu persatu akan dideskripsikan
sebagai berikut.
a). Maksim Kebijaksanaan
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip sopan santun adalah
bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu
mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain.
Orang yang bertutur berpengang dan melaksanakan maksim kebiasaan akan dapat
dikatakan sebagai orang santun. Untuk lebih memperjelas pernyataan ini dapat dilihat
pada contoh tuturan berikut ini:
(7) Pn : Beta hita allang indahan goreng on ‘Ayo dimakan nasi gorengnya’
commit to user
Di dalam tuturan (7) tampak jelas bahwa tuan rumah (penutur) sungguh
memaksimalkan keuntungan bagi tamu (mitra tutur) dengan menawarkan nasi goreng.
Demikian sebaliknya, tamu ingin memaksimalkan keuntungan bagi tuan rumah
dengan memuji rasa nasi goreng yang enak dan menanyakan siapa yang membuat nasi
goreng itu. Dengan demikian, kedua penutur dan mitra tutur tersebut saling berusaha
lebih mementingkan orang lain.
Contah tuturan lain dapat dilihat di bawah ini. Tuturan ini dituturkan oleh
seorang suami kepada istrinya yang mengenakan gaun barunya. Di dalam tuturan (8)
ini tampak jelas bagaimana mereka saling memaksimalkan keuntungan bagi mitra
tuturnya.
(8) Pn : Ago! Gatteng hian doho mamakke baju i. Lomo rohakku mangidai. ‘Aduh! Tampan banget kamu pakai baju itu. Aku suka melihatnya.’ Mt : Bah, oma, anakkon nise doi?
‘Ah, mama. Anak siapa sih?’
b) Maksim Kemurahan / kedermawanan
Dengan maksim kemurahan atau kedermawanan, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. penghormatan terhadap orang lain akan
terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya dan memaksimalkan
keuntungan bagi pihak lain. Kunjana Rahardi (2000: 59) menjelaskan maksim ini
dengan memberikan contoh tuturan berikut ini:
(9) Pn : Mari saya cucikan baju kotormu. Pakaianku tidak banyak kok yang kotor.
Mt : Tidak usah, kak. Nanti siang saya akan mencuci juga kok.
Dari tuturan (9) yang disampaikan si penutur di atas, dapat dilihat dengan jelas
commit to user
menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan
bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya mitra tutur.
c). Maksim Penerimaan
Taringan (dalam Kunjana Rahardi, 2000: 57) menerjemahkan approbation
maxim, yang pada subbab ini disebut maksim penerimaan, dan maksim penghargaan.
Dengan maksim penghargaan, orang akan dapat dianggap santun apabila dalam
bertutur selalu memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini
diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek peserta tutur lain yang
di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan, karena
mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain. Untuk lebih menjelaskan
maksim ini, tuturan berikut ini akan memberikan gambaran.
(10) Pn : Oma, ahu nakkaning nungnga manapu lantai.
‘Bu, aku tadi sudah menyapu lantai.’
Mt :Bah, denggan nai. Ido ikkon songoni do molo anak naringgas.
‘Wah, bagus sekali. Ya begitu dong jadi anak rajin.’
Di dalam tuturan (10) di atas tampak jelas bagaimana seorang ibu (mitra tutur)
memberikan penghargaan kepada anaknya (penutur) yang menyapu lantai.
d). Maksim Kerendahan hati
Kunjana Rahardi (2000:62) menggunakan istilah maksim kesederhanaan
untuk modesty maxim. Dalam maksim ini peserta tutur diharapkan dapat bersikap
rendah hati dengan mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan
sombong bila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji diri mengunggulkan diri
commit to user
(11) Pn : Annon ho da na gabe manuntun upacara.
‘Nanti kamu ya yang jadi Pembina upacara.’
Mt : Ah masa ahu boi
‘Ah masa aku bisa.’
(12) Pn : Annon ho da na gabe manuntun upacara
‘Nanti kamu ya yang jadi Pembina upacara.’
Mt : Olo, ai ringgas do au mandok hata da. Ikkon denggan dapotna
‘Ya, Aku sering berpidato kok. Pasti baik hasilnya.’
Pada tuturan (11) tampak jelas bagaimana mitra tutur merendahkan dirinya
demi kesopanan. Bandingkan jika tuturan (11) di atas diubah menjadi tuturan (12)
e). Maksim Kecocokan
Untuk maksim ini Kunjana Rahardi (2000: 63) menggunakan istilah maksim
permufakatan. Di dalam maksim ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling
membina kecocokan atau kemufakatan antara penutur dan mitra tutur dalam kegiatan
bertutur. Dengan demikian mereka dapat dikatakan santun. Untuk lebih jelasnya dapat
diperhatikan tuturan (13) dan (14) berikut ini.
(13) Pn : Ruas sadarion godang ate.
“ Jemaat hari ini banyak juga.
Mt : Ido, tohodoi godang sadarion.
“Ya, betul. banyak hari ini.
(14) Pn : Ruas sadarion godang ate.
“ Jemaat hari ini banyak juga.
Mt : Ido, tohodoi apala sadarion.
“Ya, betul. Memang satu hari ini.
Tuturan mitra tutur pada (13) lebih sopan daripada mitra tutur pada (14)
commit to user
penutur. Hal ini bukan berarti bahwa orang harus setuju dengan sebuah pernyataan
yang dikatakan oleh mitra tuturnya. Bila tidak setuju, mitra tutur dapat membuat
pernyataan ketidaksetujuan atau ketidakcocokan parsdial (Wijana, 1996: 60).
f). Maksim Kesimpatian
Maksim Kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada mitra tuturnya.
Jika mitra tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib
memberikan ucapan selamat. Bila sebaliknya, mitra tutur mendapatkan kesusahan
atau musibah, penutur layak untuk turut berduka. Untuk memperjelas maksim
kesimpatian ini dapat dilihat contoh tuturan berikut ini.
(15) Pn : Au di jalo jadi CPNS.
‘Aku diterima CPNS.’
Mt : Bah ido! Salamat, da! Andigan pestana?
‘Oh,ya! Selamat, Ya! Kapan syukurannya?’
(16) Pn : Boasa ho murhing. Naboha ho?
‘Kamu kok kelihatan sedih. Ada apa?’
Mt : Dompethu mago.
‘Dompetku hilang.’
Pn :Age amang, alai, nungga bei unang pola pikkiri bei. Ingot ho marsogot ujian semesteran.
‘Ya ampun. Tapi, sudahlah jangan dipikirkan dulu. Ingat kamu besok ujian semesteran.
8. Tipe Kalimat
Sebuah kalimat dapat digolongkan ke dalam beberapa golongan dilihat dari
commit to user
macam, yaitu menurut (1) tujuan/tipe, (2) sintaksis/jumlah klausa, (3) bentuk, dan (4)
kelengkapan (Moore, 1968: 9).
a) Tipe Kalimat Berdasarkan Tujuan
Kalimat dapat digolongkan menurut tujuan yaitu (1) kalimat imperaktif, (2)
kalimat deklaratif, (3) kalimat interogatif, dan (4) kalimat seru (interjektif). Kalimat
imperatif berupa perintah atau permintaan (Moore, 1968: 9). Perintah atau
permintaan biasanya mempunyai subjek you yang sudah diketahui. Orang-orang
menamakan subjek ini sebagai subjek tersembunyi. Kalimat imperatif diikuti oleh
tanda titik (.), atau jika kita ingin memberi tekanan pada kalimat imperatif kita dapat
mengakhiri kalimat imperatif dengan tanda seru (!).
Kalimat deklaratif berupa pernyataan (Moore, 1968: 9). Kita biasanya
membuat pernyataan-pernyataan yang menyatakan sesuatu, oleh karena itu sebagian
besar kalimat yang kita buat adalah deklaratif. Semua kalimat deklaratif diakhiri
dengan sebuah titik (.). dalam kalimat deklaratif subjek dan predikat mempunyai
urutan biasa, dan kalimat itu diakhiri dengan tanda titik dalam penulisan dan nada
turun dalam pengucapan.
Kalimat interogatif menanyakan sebuah pertanyaan. Menanyai berarti
bertanya (Moore, 1968: 9). Menurut Frank (1972: 221) dalam kalimat Tanya subjek
dan auxiliary sering dibalik, subjek diletakkan setelah auxiliary. Kalimat Tanya
diikuti oleh tanda Tanya (?) dalam penulisan.
Kalimat seru mengekpresikan perasaan yang kuat dan selalu diikuti oleh tanda
seru (!) (Moore, 1968: 9). Frank (1972: 221) mengatakan bahwa dalam penulisan
commit to user
mengurangi tekanan. Dalam pengucapan kata yang paling penting dalam frasa seru
mendapat tekanan paling keras disertai nada naik.
b) Tipe Kalimat Berdasarkan Jumlah Klausa
Kalimat dapat digolongkan menurut jumlah klausa, yaitu kalimat tunggal,
kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk
setara-majemuk bertingkat.
Kalimat majemuk bertingkat yaitu kalimat yang terdiri dari klausa dapat
didefinisikan sama dengan kalimat, yaitu prediksi penuh yang terdiri dari satu subjek
dan satu predikat dengan satu verba (Frank, 1972: 222). Kalimat tunggal adalah
kalimat yang hanya terdiri dari satu pasang subjek dan predikat. Kalimat tunggal
hanya mempunyai satu predikasi utuh dalam bentuk sebuah klausa bebas Frank, 1972:
223).
Kalimat majemuk setara terdiri dari paling sedikit dua klausa bebas. Kata
penghubung antara klausa yang satu dengan klausa yang lain adalah and, but, or, dan
so. Kalimat majemuk setara-majemuk bertingkat terdiri dari paling sedikit dua klausa
bebas dan satu klausa terikat atau lebih.
c) Tipe Kalimat Berdasarkan Bentuk
Kalimat dapat dikategorikan berdasarkan bentuknya kedalam kalimat periodik
dan kalimat lepas. Kalimat periodik adalah kalimat yang ide utamanya tidak lengkap
commit to user d) Tipe Kalimat Berdasarkan Kelengkapan
Berdasarkan kelengkapannya kalimat digolongkan ke dalam kalimat lengkap
dan kalimat tidak lengkap (Moore, 1968:13). Kalimat lengkap adalah kalimat yang
secara gramatikal lengkap, tetapi dari subjek dan predikat yang eksplisit, tidak
diketahui oleh kata hubung, dan menyatakan pikiran yang lengkap. Kalimat tidak
lengkap adalah kalimat yang secara gramatikal tidak lengkap, tetapi dalam konteks
sudah mengkomunikasikan ide yang jelas.
Dalam penelitian ini tipe atau bentuk kalimat akan dianalisis dilihat dari
tujuan, klausa, bentuk, dan kelengkapan.
9. Klasifikasi Variasi Bahasa
Variasi bahasa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa kriteria. Berikut ini
akan diuraikan pembagiannya berdasarkan kriteria pembagian yang dikemukakan
oleh Chaer dan Agustinus (1995:80).
a). Variasi bahasa dilihat dari segi penutur
Variasi bahasa berdasarkan penutur dapat dibedakan atas idiolek, dialek (ada
dialek areal, dialek reginal/dialek geografi), kronolek (dialek temporal), sosiolek
(dialek sosial) yang mencakup : akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon,
argon, ken, dan prokem.
Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Idiolek seseorang
akan berbeda dengan yang lain atau dengan kata lain setiap orang mempunyai idiolek
sendiri-sendiri. Idiolek berkaitan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa,
susunan kalimat dan sebagainya. Sebagai contoh idiolek pendeta Aruan lain dengan
commit to user
bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu
tempat, wilayah, atau area tertentu.
Dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka
dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Ragam ini
diwarnai oleh lafal dan intonasi bahasa-bahasa setempat atau bahasa-bahasa
kelompok etnik tertentu. Negara Indonesia yang terdiri dari beratus-ratus suku bangsa
memiliki pula beratus-ratus bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu atau bahasa
pertama suku bangsa atau etnik tersebut. Dengan demikian, bahasa Indonesia bagi
kebanyakan orang Indonesia merupakan bahasa kedua yang diperoleh setelah mereka
memasuki sekolah formal. Dalam keadaan kebahasaan yang demikian, maka dapat
dipahami jika orang Indonesia berbahasa Indonesia lisan maka bahasanya diwarnai
oleh lafal dan intonasi bahasa daerah atau bahasa ibunya. Itulah terjadinya keragaman
atau variasi bahasa Indonesia dalam bentuk logat-logat. Misalnya, bahasa Indonesia
logat Medan atau Batak Toba, Bahasa Indonesia logat Sunda, Bahasa Indonesia logat
Manado, Bahasa Indonesia logat Betawi, Bahasa Indonesia Jawa, dan sebagainya.
Logat itu antara lain tampak juga pada aksen yang berbeda-beda. Variasi selanjutnya
adalah kronolek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang dingunakan oleh
kelompok sosial pada masa tertentu. Bahasa Indonesia yang digunakan pada tahun
empat puluhan dengan Bahasa Indonesia pada tahun enam puluhan, serta bahasa
Indonesia tahun sembilan puluhan akan berbeda baik dari segi lafal, morfologi,
maupun sintaksisnya. Yang paling tampak adalah dari segi leksikon, karena bidang ini
mudah sekali berubah karena faktor sosial budaya maupun iptek.
Berdasarkan penutur ini terdapat pula apa yang disebut sosiolek atau dialek