• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

A. Kajian Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

Kajian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian-penelitan itu bisa dimanfaatkan sebagai acuan dalam penelitian ini. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, Perkembangan Kelompok Peron Surakarta dan Sumbangannya Terhadap Pendidikan Di Sekolah. Skripsi itu ditulis oleh Agus Suyamto, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2009. Skripsi tersebut menggunakan studi kasus tunggal. Analisis penelitian tersebut menyangkut perkembangan Kelompok Peron Surakarta. Analisis tersebut dibatasi pada perkembangan Kelompok Peron Surakarta sejak berdiri sampai dengan kondisinya yang sekarang, pengelolaan organisasi di Kelompok Peron Surakarta, teknik penggarapan (pementasan) di Kelompok Peron Surakarta, produktivitas berteater di Kelompok Peron Surakarta dan sumbangan Kelompok Peron Surakarta terhadap pendidikan di sekolah.

Simpulan dari penelitian tersebut adalah: Kelompok Peron Surakarta mengalami perkembangan dari masa ke masa. Seiring perkembangan tersebut, Kelompok Peron Surakarta senantiasa eksis sebagai ruang aktualisasi berteater di kalangan mahasiswa, turut mengharumkan almamater Universitas Sebelas Maret Surakarta lewat karya-karyanya, mampu mewarnai dunia seni peran, serta ikut mengayakan wawasan kesusastraan di dunia pendidikan.

Kedua, Perkembangan Kelompok Teater Gidag Gidig di Surakarta pada tahun 1976-2000. Skripsi itu ditulis oleh Fitri Hadi Wiyanti, mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2008. Analisis ini mendeskripsikan latar belakang kemunculan Teater Gidag Gidig dalam seni pertunjukan, aktivitas Teater Gidag Gidig di Surakarta, dan bagaimana kontribusi Teater Gidag Gidig bagi masyarakat Surakarta.

Simpulan dari penelitian ini adalah: Teater Gidag Gidig memiliki kepedulian terhadap keadaan negeri. Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan, kerusakan moral, hancurnya lingkungan hidup, serta kebohongan para politisi. Segala aktivitas Teater Gidag Gidig bertujuan agar masyarakat juga mampu membaca semua persoalan di sekitarnya. Teater Gidag Gidig menggunakan konsep teater modern yang dikemas dalam teater tradisi menjadikan mereka lebih dekat dengan masyarakat. Kontribusi Teater Gidag Gidig besar nilainya dalam kancah seni pertunjukan, menjadi wahana kritis, aspiratif dan menambah variasi potensi dan kreativitas seni budaya Indonesia.

Ketiga, Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia 1968-2008. Disertasi itu ditulis oleh Achmad Syaeful Anwar, mahasiswa Pascasarjana Program Studi Sejarah Universitas Indonesia tahun 2012. Analisis ini mendeskripsikan perkembangan Teater Kontemporer Indonesia dalam rentang waktu 1968-2008.

Simpulan dari disertasi ini adalah: diungkapnya suatu kesimpulan peran-peran dari setiap kelompok teater kontemporer terutama dari Bengkel Teater pimpinan Rendra, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, dan Teater Koma pimpian N. Riantiarno.

Uraian di atas menggambarkan bahwa di dalam penelitian berjudul

Perkembangan dan Aliran Teater Kelompok Kerja Teater TESA 1987-2014, memiliki

perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut karena penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan perkembangan dan aliran teater sedangkan penelitian-penelitian tersebut meneliti aspek nilai pendidikan, kontribusi bagi masyarakat dan peran-peran dari setiap kelompok teater.

2. Landasan Teori

a. Teater

Teater didefinisikan serupa oleh banyak pakar. Soemanto (2001: 8) mengatakan, “Teater berasal dari kata theatron, sebuah kata Yunani yang mengacu kepada sebuah tempat di mana aktor mementaskan lakon dan orang-orang menontonnya”. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa teater sebagai sebuah pertunjukkan yang melibatkan unsur pelaku dan penonton.

Pendapat tersebut juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Riantiarno (2003:7). Teater berasal dari kata theatron (bahasa Yunani/Greek). Untuk memperjelas pengertian teater di atas, Riantiarno menambahkan beberapa pengertian teater sebagai berikut: (1) teater adalah sebuah tempat pertunjukan yang kadang bisa memuat sekitar 100.000 penonton; (2) teater bisa diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas/peristiwanya); dan (3) teater adalah semua jenis dan bentuk tontonan, baik di panggung maupun di arena terbuka.

Teater memang tidak bisa dilepaskan dari drama. Bahkan kedua istilah tersebut dipandang membingungkan karena kemiripan di antara keduanya yang sulit dipilah. Menurut Satoto (2000: 6) jika seni drama itu sedang diproses untuk dipentaskan, proses demikian adalah proses teater. Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam arti yang lebih luas yakni meliputi: proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan, dan proses pemahaman atau penikmatan dari publik.

Perbedaan drama dan teater dapat dilihat pada pasangan ciri-ciri sebagai berikut: (a) Play (lakon), performance (pertunjukan); (b) Script (naskah), production (produksi); (c) Text (teks), staging (pemanggungan); (d) Author (pengarang), direction (sutradara); (4) Creation (kreasi), interpretation (interpretasi); (f) Theory (teori), practice (praktek). Berdasarkan perbandingan tersebut, Satoto (2000: 6-7) menjelaskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) Seni drama lebih merupakan lakon yang belum dipentaskan, (b) Skrips atau naskah lakon yang belum diproduksikan, (c) Teks yang belum dipanggungkan, (d) hasil kreasi pengarang yang masih harus ditafsirkan untuk merebut makna, (e) teori yang harus dipraktekkan atau diaplikasikan

Lebih jelasnya Tarigan (1993: 73) menjelaskan deskripsi tentang teater dan drama dengan mengungkapkan perbedaan-perbedaan diantara keduanya, sebagai berikut:

a. Drama sebagai repertoir atau text play adalah hasil sastra milik pribadi, yaitu penulis drama tersebut, sedangkan drama sebagai teater adalah seni kolektif.

b. Text play masih memerlukan pembaca soliter, sedangkan teater

memerlukan penonton kolektif, dan faktor penonton ini sangat penting. c. Text play masih memerlukan penggarapan yang baik dan teliti baru dapat

dipanggungkan sebagai teater, menjadi seni kolektif.

d. Text play adalah bacaan sedangkan teater adalah pertunjukan atau tontonan. Senada dengan penjelasan di atas, Harymawan (1986: 2) juga memisahkan definisi antara teater dan darama sebagai berikut:

a. Dalam arti luas: Teater ialah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Misalnya wayang orang, ketoprak, ludrug, srandul, membai, randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, sulapan, akrobatik, dan sebagainya.

b. Dalam arti sempit: Drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak dengan media: percakapan, gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor (layar dan sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian, tarian.

Menurut Rahmanto dan Endah Peni Adji (2007:1.3-1.5) drama muncul terlebih dahulu dibandingan teater. Drama digambarkan sebagai peristiwa pertunjukan dalam upacara-upacara pemujaan terhadap dewa. Dalam upacara pemujaan tersebut, terjadi peningkatan secara kuantitas. Semakin hari pengikutnya semakin banyak sehingga membentuk lingkaran yang mengelilingi tempat pemujaan tersebut. Lingkaran tersebut lalu disebut sebagai teater atau theatron. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa drama merupakan perbuatan yang dapat ditonton, sedangkan teater adalah tempat untuk menonton perbuatan yang dapat ditonton.

Drama dan teater merupakan dua hal yang serupa dengan sedikit perbedaan. Persamaannya terletak pada makna sebuah pertunjukan di atas panggung yang merepresentasikan suatu kejadian dalam kehidupan nyata. Sementara perbedaannya hanyalah sudut pandang dari masing-masing orang dalam memaknai kedua istilah tersebut yang berbeda-beda. Di dalam drama ada teater dan di dalam teater ada drama. Dengan demikian, suatu pertunjukan akan disebut pertunjukan teater apabila ada drama di dalamnya (Dewojati, 2012:16).

b. Aliran-aliran Teater

Teater memiliki aliran yang sudah berkembang sejak lama. Aliran dalam teater biasanya mengacu pada bentuk dan gagasan yang diusung dalam teater itu sendiri. Aliran memberi pengaruh terhadap hasil karya sebuah kelompok teater. Achmad Syaeful Anwar berpendapat sebagai berikut:

Lahirnya aliran-aliran atau gaya (syle/idiom) dalam teater pada dasarnya sejajar dengan lahirnya aliran dalam seni yang lain. Utamanya ketika dalam seni lukis di Eropa lahir aliran realisme (1850-an) dan ‘Nouveau Realisme’ (Realisme Baru) tahun 1960-an maka hal ini terjadi pula pada teater, sehingga dengan demikian ideologi aliran dalam seni lukis memberi pengaruh pula pada teater. Melihat permasalahan mengenai hadirnya aliran atau gaya yang pengertiannya mencakup: mengacu kepada pengertian karya seni individual atau kelompok, yang dihasilkan oleh periode tertentu, kebudayaan tertentu, atau kawasan regional tertentu (Anwar, 2012:59-60)

Aliran-aliran tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yang dijelaskan sebagai berikut:

1) Aliran Klasik

Ciri-ciri aliran klasik adalah: (1) tunduk pada hukum trilogi Aristoteles dalam hal kesatuan tempat, waktu, dan gerak, (2) acting-nya bergaya deklamasi, (3) drama lirik lebih banyak ditulis, (4) irama permainan lamban, banyak diselingi dengan monolog, dan bersifat statis, dan (5) materi cerita bergaya Romawi dan Yunani (Waluyo, 2006:58).

2) Aliran Romantik

Dalam drama romantik, trilogi Aristoteles tidak dipatuhi. Adapun ciri-ciri aliran ini adalah: (1) isinya bersifat fantastis dan tidak logis, (2) menggunakan bahasa yang mengikuti kaidah tata bahasa, (3) aspek visual ditonjolkan dengan segala perlengkapan baik busana, rias, maupun panggung yang gemerlapan, (4) acting -nya sangat bersifat bombastis, dengan mimik yang berlebihan, (5) lakon-nya biasanya tentang pembunuhan dengan tokoh-tokohnya sentimental, dan (6) bentuk drama bersifat bebas, artinya bukannya drama lirik seperti pada aliran klasik (Waluyo, 2006:59).

3) Aliran Realisme

Realisme pada umumnya adalah aliran seni yang berusaha mencapai ilusi atas penggambaran kenyataan (Harymawan, 1986:84). Yang digambarkan bukannya hal-hal yang berlebihan dan sentimental seperti aliran romantik. Ada dua macam aliran realisme, yaitu: Pertama, realisme sosial (realisme murni), dalam drama dilukiskan kepincangan sosial, penderitaan, dan ketidakadilan untuk maksud mengadakan protes sosal. Aliran realisme sosial berbeda dengan aliran naturalisme karena sifatnya optimis, aliran naturalisme bersifat pesimis. Ciri-ciri aliran realisme sosial adalah: (1) pemeran utama biasanya rakyat jelata, misalnya buruh, tani, orang gelandangan, dan sebagainya, (2) acting-nya bersifat wajar seperti dalam kehidupan sehari-hari, (3) aspek visual dalam pertunjukan tidak berlebih-lebihan, hiasan panggung, pakaian, rias, dan sebagainya tidak berlebihan dan disesuaikan dengan realitas kehidupan sehari-hari, (4) cerita diambil dari kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dengan lebih mengutamakan konflik sosial karena perbedaan sosial. Kedua, realisme psikologis, dalam realisme psikologis yang ditekankan bukan dalam hal kenyataan sosial, tetapi dalam hal kenyataan psikologis para pelakunya. Adapun ciri-ciri realisme psikologis adalah: (1) lebih menekankan diri kepada penonjolan aspek kejiwaan atau aspek dalam diri tokoh atau lakon, (2) setting-nya bersifat wajar dengan intonasi yang tepat, (3) suasana digambarkan dengan pelambangan (simbolis), dan (4) sutradara mementingkan pembinaan konflik psikologis, disebutkan juga sutradara psikolog, artinya menitikberatkan aspek psikologis daripada dandanan yang bersifat fisik (Waluyo, 2006: 59-60). Ciri lain yang menonjol dari teater realisme ialah sifatnya yang sangat sastrawi (literer) (Anwar, 2012: 61).

4) Aliran Surealisme

Surealisme merupakan kebalikan dari realisme. Realisme mengganggap teater sebagai kenyataan sedangkan surealisme mengganggap teater sebagai ketidaknyataan (mimpi). Seperti pendapat Achmad Syaeful Anwar sebagai berikut:

“Dadaisme melahirkan gerakan Surealisme yang berkembang dalam dekade 20-an. Bagi kaum surealis kebenaran sejati hanya didapat dalam alam ketidaksadaran manusia. Sumber kebenaran itu baru muncul secara bebas dalam mimpi. Situasi mimpi ini merupakan saat-saat pengungkapan kebenaran manusia, karena pada waktu itulah bawah sadar membuat struktur terhadap kenyataan sehari-hari, dengan demikian kebenaran hanya dapat diperoleh kalau manusia melepaskan diri dari belenggu rasio dan menghanyutkan diri bersama bawah sadar dalam kondisi mimpi. Baik Dada maupun Surealis berpandangan bahwa dunia ini irrasional dan mereka mengekspresikan irrasionalitas itu dalam karya-karya seni mereka.”

Surealisme ditujukan untuk mengekspresikan emosi, perasaan, mitologi, alegori melalui fisik bukan verbal yang berhubungan dengan alam bawah sadar atau mimpi sehingga surealisme akan menjadikan mimpi menjadi nyata.

5) Aliran Ekspresionisme

Aliran ekspresionisme menonjolkan curahan pikiran atau perasaan pengarang. Ciri-cirinya adalah: (1) adanya gerak kolektif, (2) banyak dipengaruhi psikoanalisis Freud, dan banyak pengaruh film karena keinginan menggambar ekspresi jiwa pengarang atau sutradara, (3) pergantian adegan bersifat cepat, (4) penggunaan pentas bersifat ekstrim, dan (5) fragmen-fragmen ditampilkan seperti dalam film. (Waluyo, 2006: 60).

6) Aliran Naturalisme

Naturalisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari realisme. Perbedaannya dengan realisme adalah bahwa dalam naturalisme kenyataan yang digambarkan diusahakan mungkin mendekati kenyataan alam (natural). Tidak mengherankan jika dalam menggambarkan pohon-pohon, di panggung benar-benar ditampilkan pohon yang hidup. Penampilan panggung sejauh mungkin harus mendekati alam, dan bukan tiruan alam. Dalam realisme, penggunaan lukisan untuk mewakili pemandangan alam dapat dibenarkan.

Dalam unsur artistik dan teknis juga diusahakan agar mendekati kenyataan secara ilmiah. Dalam hal tata rias, misalnya sutradara akan merias pemain sedapat mungkin mendekati alam. Kumis, jambang, dan bulu-bulu dada, misalnya tidak cukup dihitamkan dengan alat penghitam, tetapi benar-benar merekatkan rambut ke kumis, jambang, dan dada. Demikian pula halnya dengan tata busana (Waluyo, 2006: 60-61).

7) Aliran Eksistensialisme

Dalam aliran eksistensialisme ingin ditampilkan tokoh-tokoh yang sadar akan eksistensinya, akan keberadaannya di dunia ini. Dialog-dialog yang dikemukakan oleh aktor atau aktrisnya menunjukkan sifat kemandirian yang kuat, karena ingin melukiskan manusia yang benar-benar mandiri secara psikis. Karya-karya demikian seringkali dinyatakan sebagai karya platonis, karya yang bersifat sukma, atau murni psikologis.

Dalam kesadaran akan keberadaanya, seseorang kemudian menghendaki kebebasan yang mutlak, yaitu kebebasan yang tidak ada taranya yang dalam kehidupan bermasyarakat secara normal sulit kita jumpai. Kita dapat menghayati kebebasan rohaniah dan jasmaniah lebih longgar, bahkan mungkin dapat dikatakan mutlak. Lukisan tentang tokoh-tokoh gelandangan bukan sekedar kegelandangannya itu yang penting, akan tetapi kemandirian sukmanya itulah yang penting. Kemandirian itu menjadi ciri eksistensi diri yang menghendaki bentuk kebebasan yang setinggi-tingginya. Oleh karena sang tokoh bicara seenaknya sendiri, meloncat dari satu masalah ke masalah lain yang seolah tanpa logika yang runtut, berceloteh secara santai tentang hal-hal yang secara pribadi dipandangnya penting sekaligus kehilangan konteks dengan konteks pembicaraan dengan lawan bicaranya (Waluyo, 2006: 61-62).

8) Aliran Absurdisme

Menurut Cahyaningrum (2012: 72) seperti aliran-aliran dalam kesenian yang lain, drama dan teater absurd muncul karena ketidakpuasan terhadap aliran-aliran yang sudah ada sebelumnya. Absurd berarti ‘tidak rasional’, tidak dapat diterima akal, menyimpang dari kebenaran atau logika umum. Soemanto (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:73) menyebutkan bahwa, secara leksikal, absurd berarti ketiadaan keselarasan, yang menunjuk ketiadaan tidak harmonis. Ciri-ciri lakon dan teater

absurd biasanya menampakkan gejala dialog antar tokoh yang melompat-lompat, tidak ada alur atau ada alur tetapi melingkar-lingkar, tidak ada pemecahan masalah secara tuntas, penyajian tokoh yang dalam keadaan tertindih oleh kondisi yang tidak dapat dijelaskan, dan pemanfaatan nebentext lakon secara maksimal untuk menampilkan medium non-verbal (Cahyaningrum, 2012:74). Teater absurd terkandung di dalamnya unsur tragedi dan komedi sekaligus. Lakon dan teater absurd menekankan penyajian peristiwa lucu dan menyedihkan seperti tampak pada perilaku badut-badut dalam pertunjukan sirkus. Lebih lanjut, Soemanto (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:74) juga berpendapat bahwa walaupun lakon absurd tetap ditulis dalam bentuk kata-kata, tetapi lakon absurd merupakan manifestasi sikap anti kata dan anti sastra, yang sudah dapat dibayangkan dari sketsa dramatiknya.

9) Aliran Simbolisme

Menurut Cahyaningrum (2012: 71) aliran simbolisme adalah kesenian yang lahir sebagai reaksi terhadap realisme. Aliran kesenian ini dapat mengungkapkan sesuatu tidak secara terang-terangan. Lebih lanjut, Kazanuddin (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) bahwa ekspresinya diungkapkan dengan simbol-simbol tertentu. Simbolisme sebagai sebuah aliran mempercayai sebuah intuisi sebagai perangkat untuk dapat memahami kenyataan yang tidak dipahami secara logika. Menurut kaum simbolisme, kenyataan tidak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran tidak mungkin pula diungkapkan secara logis. Hasanuddin (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:71) menambahkan bahwa kenyataan yang hanya dapat dipahami melalui intuisi harus diungkapkan lewat simbol-simbol.

c. Unsur-unsur Teater

Teater merupakan seni pertunjukan sangat kompleks yang di dalamnya terjadi penggabungan antara beberapa unsur. Menurut Soediro Satoto (2012:2) unsur-unsur bersifat organik., Artinya, sesuatu yang harus ada atau dilaksanakan. Unsur-unsur saling berhubungan membentuk satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Sapardi Djoko Damono (dalam Cahyaningrum Dewojati, 2012:2) mengemukakan bahwa drama mempunyai 3 unsur yang sangat penting yakni unsur teks drama, unsur pementasan, dan unsur penonton. Unsur pelaku sebagai unsur utama ditopang dengan unsur benda, suara, dan ruang sebagai penopangnya dan dijalin oleh sebuah cerita sehingga terwujudlah sajian dalam bentuk seni pertunjukan. Semua unsur ini tidak dapat dilepaskan salah satu karena akan menciderai nilai pertunjukan dalam teater sendiri.

Unsur pelaku di dalam pertunjukan drama ada beberapa macam. Di sana ada pemain, sutradara, kru panggung, bahkan penonton. Ada pula unsur penopang yang berupa panggung, tata busana, musik, tata cahaya, dan tata rias. Kedua unsur tersebut dirangkai oleh cerita dan bersama-sama membangun cerita sehingga terjadilah sebuah pertunjukan teater secara lengkap, yaitu sebuah pertunjukan yang menceritakan kehidupan manusia di atas panggung yang diperankan oleh pelaku dengan berbagai unsur penunjangnya dan disaksikan oleh penonton.

Untuk memperjelas dan mempertegas pendapat tersebut, ada baiknya diuraikan satu per satu unsur secara terpisah. Namun, perlu kiranya diuraikan definisi teater yang berkaitan dengan hal tersebut. Teater adalah salah satu bentuk kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai unsur utama untuk menyatakan dirinya yang diwujudkan dalam suatu karya seni suara, bunyi, dan rupa yang dijalin dalam cerita pergulatan kehidupan manusia. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa unsur-unsur teater yaitu (1) tubuh atau manusia sebagai unsur utama (pemeran/pelaku/pemain); (2) gerak sebagai unsur penunjang; (3) suara sebagai unsur penunjang (kata); (4) bunyi sebagai unsur penunjang (bunyi benda, efek, dan musik); (5) rupa sebagai unsur penunjang (cahaya, rias, kostum, dan properti); dan (6) lakon sebagai unsur penjalin (cerita, noncerita, fiksi, dan narasi).

Menurut Hasanuddin W.S. (2009: 171) unsur-unsur drama dalam kaitannya dengan seni pertunjukan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu (1) unsur utama, terdiri dari sutradara, pemain, teknisi (pekerja panggung), dan penonton, serta (2) sarana pendukung, yang terdiri dari pentas dan komposisinya, kostum (busana), tata rias, pencahayaan, serta tata suara dan ilustrasi musik.

Melalui pernyataan diatas dapat dipahami bahwa ada tiga unsur penting dalam proses berteater, yaitu manusia sebagai unsur utama, benda sebagai unsur penunjang, dan lakon sebagai unsur penjalin. Berikut unsur-unsur teater tersebut: 1) Pemain

Istilah pemain dalam teater dan film biasa disebut aktor (actor) jika laki-laki dan aktris (actris) jika perempuan. Istilah lain ialah pelaku (karena melakukan peran tokoh lakon), dan pemeran (karena memerankan watak peran) (Satoto, 2000: 79-80). Pemain mempunyai kedudukan untuk mentransformasikan cerita di atas panggung, pemain harus mampu menghidupkan tokoh dalam cerita lakon menjadi sosok yang nyata. Di dalam teater, perwujudan tokoh tersebut biasa disebut dengan karakter. Harymawan (1986: 25) menyebut karakter sebagai tokoh yang hidup, bukan mati. Di dalam menghidupkan karakter ini, tokoh dibekali dengan sifat-sifat karakteristik yang tiga dimensional, yaitu (a) dimensi fisiologis, yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan sebagainya; (b) dimensi sosiologis, berupa status sosial, pekerjaan atau jabatan, pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup dan agama, aktivitas sosial, bangsa atau suku, dan sebagainya; dan (c) dimensi psikologis, yaitu latar belakang kejiwaan yang meliputi mentalitas, temperamen, serta IQ atau kecerdasan.

Dimensi-dimensi tersebut diperlukan juga dalam pemilihan pemain atau yang dikenal dengan istilah casting. Dalam hal ini, seorang sutradara tentu sangat mempertimbangkan ketiga dimensi tersebut. Tujuannya adalah mendapatkan pemain yang sesuai dengan kebutuhan cerita atau naskah didasarkan pada penafsiran sutradara.

Aktor dan aktris sangat berperan penting dalam pementasan teater. Waluyo (2006: 36) menjelaskan pemilihan aktor dan aktris biasanya disebut casting, yaitu sebagai berikut:

a) Casting by ability; pemilihan peran berdasar kecakapan atau kemahiran yang sama atau mendekati peran yang dibawakan. Kecerdasan seseorang memegang peranan penting dalam membawakan peran yang sulit dan dialognya panjang. Tokoh utama suatu lakon di samping persyaratan fisik dan psikologis, juga dituntut memiliki kecerdasan yang cukup tinggi, sehingga daya hafal dan daya tanggap yang cukup cepat.

b) Casting to Type; pemilihan pemeran berdasarkan atas kecocokan fisik si pemain. Tokoh tua dibawakan oleh orang tua, tokoh pedagang dibawakan oleh orang yang berjiwa dagang, dan sebagainya.

c) Anti Type Casting; pemilihan pemeran bertentangan dengan watak dan ciri fisik yang dibawakan. Sering pula disebut educational casting karena bermaksud mendidik seseorang memerankan watak dan tokoh yang berlawanan dengan wataknya sendiri dan ciri fisiknya sendiri.

d) Casting to Emotional Temperament; adalah pemilihan pemeran

berdasarkan observasi kehidupan pribadi calon pemeran. Mereka yang mempunyai banyak kecocokan dengan peran yang dibawakan dalam hal emosi dan temperamennya, akan terpilih membawakan tokoh itu. Pengalaman masa lalu dalam hal emosi akan memudahkan pemeran tersebut dalam menghayati dan menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan. Temperamen yang cocok juga akan membantu proses penghayatan diri peran yang dibawakan.

e) Therapeutic Casting; adalah pemilihan pemeran dengan maksud untuk penyembuhan terhadap ketidakseimbangan psikologis dalam diri seseorang. Biasanya watak dan temperamen pemeran bertentangan dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya, orang yang selalu ragu-ragu, harus berperan sebagai orang yang tegas, cepat memutuskan sesuatu. Seorang yang curang, memerankan tokoh yang jujur atau penjahat berperan sebagai polisi. Jika kelainan jiwa cukup serius, maka bimbingan khusus sutradara akan membantu proses therapeutic.

Untuk dapat memilih pemeran dengan tepat, maka hendaknya pelatih drama membuat daftar yang berisi inventarisasi watak pelaku yang harus dibawakan, baik secara psikologi, fisiologis maupun sosiologis. Watak pelaku harus dirumuskan secara jelas. Sebab hanya dengan begitu, dapat dipilih pemeran lakon dengan lebih cepat.

2) Sutradara

Sutradara adalah tokoh sentral dalam sebuah pertunjukan teater. Sutradara merupakan orang yang bertugas mengkoordinasikan segala anasir pertunjukan dari awal sampai akhir. Meskipun peranannya sangat vital, sutradara tergolong hal baru dalam dunia seni pertunjukan. Sutradara baru dikenal bahkan pada sekitar 200 tahun yang lalu. Seorang sutradara harus mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan dengan pementasan. Menurut Harymawan dalam (Waluyo, 2006: 102) menyatakan bahwa sutradara adalah karyawan teater yang bertugas mengkoordinasikan segala anasir teater, dengan paham, kecakapan, serta daya imajinasi yang inteligen guna menghasilkan pertunjukan yang berhasil. Sutradara berhubungan dengan produser (yang membiayai pementasan), manajer (pemimpin tata laksana), dan stage manager (yang mengatur panggung dan seluruh perlengkapannya).

Menurut Harymawan (1986: 64) kedudukan sutradara berdiri ditengah-tengah segitiga, bertindak sebagai pusat kesatuan kekuatan, juga sebagai koordinator bagi prestasi-prestasi kreatif aktor dan para teknisi. Akhirnya sutradara harus menjadi seorang seniman yang berarti. Sutradara digambarkan seperti berikut:

PENGARANG

AKTOR PENONTON PENDESAIN

Bagan 1

Segitiga penyutradaraan

Berdasarkan sejarah kemunculan dan perkembangannya, ada dua teori dalam penyutradaraan, yaitu Teori Gordon Craig dan Teori Laissez Faire (Harymawan, 1986:64-65). Teori Gordon Craig melukiskan bahwa teater merupakan seni, maka ia harus mengekspresikan kepribadian si seniman. Kalau pemahat mengekspresikan diri lewat batu dan kayu, pelukis lewat kanvas dan cat maka sutradara mengejawantahkan idenya lewat aktor dan aktris. Dengan demikian, sutradara berlaku sebagai seorang diktator dalam pementasan.Teori Laissez Fairemerupakan kebalikannya. Teori ini menyebutkan bahwa tugas sutradara hanya membantu aktor dan aktris mengekspresikan dirinya dalam lakon, seorang supervisor yang membiarkan aktor dan aktris bebas mengembangkan konsepsi individualnya agar melaksanakan peranan sebaik-baiknya.

Kedua teori tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Maka, Harymawan pun menyebut bahwa sutradara yang baik atau ideal adalah sutradara yang sekaligus menjadi interpretator dan kreator. Sementara itu, cara penyutradaraan yang baik adalah perkawinan antara kedua teori di atas.

3) Tata panggung

Dalam teater, tata panggung sering disebut dengan istilah scenery. Dalam istilah lain, sering dipakai pula istilah set panggung, setting panggung, atau dekorasi. Harymawan (1993: 108) mendefinisikan dekorasi (scenery) sebagai pemandangan latar belakang (background) tempat memainkan lakon. Pengertian tersebut meliputi pula peletakan perabot (properti) dan komposisi panggung.

Menurut Herman J. Waluyo (2006: 148) dalam pentas diperlukan latar belakang suasana yang mendukung keadaan di pentas. Latar belakang itu harus bermakna. Latar belakang itu lazim disebut scenery, yaitu latar belakang di mana pentas diadakan untuk mempertunjukkan lakon. Scenery meliputi segala macam hiasan dan lukisan yang melingkupi daerah permainan.

Menurut sifatnya scenery ada dua macam, yaitu sebagai berikut. 1. Draperies, berupa kain polos, border, teaser, dan grand drapery.

2. Scenery terlukis, dekor tradisional yang dilukisi. Menurut konstruksinya, scenery dibagi tiga, yaitu sebagai berikut.

a) Flat, berupa dekorasi yang berbingkai-bingkai kayu, ditutup kain dan dicat.

b) Drops, berupa dekorasi tidak berbingkai, digantung pada bagian belakang panggung.

c) Plastic pieces, berupa lukisan objek yang tiga dimensional, misalnya pintu, jendela, pohon, tungku api, dan sebagainya.

Menurutstruktur settingnya, ada dua scenery, yaitu sebagai berikut. 1. Drop dan wing setting, berupa susunan vertikal (berdiri tegak).

2. Box setting, berupa struktur horisontal.

Dalam drop,wing setting, dan box setting, terdapat beberapa catatan.

a) Jika kedua sisi pentas terbuka, sehingga pemain keluar masuk melalui wing, setting yang demikian disebut drop and wing setting, sedangkan jika sisi lain tertutup, sehingga pemain masuk atau keluar melalui opening khusus, disebut box setting.

b) Terminator, yaitu wing paling depan, yang bersifat statis, tak dapat diputar dan biasanya diberi gambar isi cerita. Teaser dan terminator merupakan bingkai kedua untuk memperkecil panggung yang asli. c) Drapery, berguna untuk menghias pentas.

d) Drop, yaitu tirai paling belakang. Ada semacam drop yang disebut cyclodrama.

e) Foot, berguna untuk penempatan footlight. f) Curtain line, berada di belakang teaser

Ada hubungan antara scenery dan dekorasi. Fungsi dekorasi adalah untuk memberikan latar belakang. Dekorasi dapat berwujud scenery, tetapi sering hanya melatarbelakangi. Berdasarkan tempat mewujudkannya, ada dua macam dekor, yaitu seperti berikut.

1. Interior setting, jika lakon dipentaskan di dalam rumah.

2. Exterior setting, jika lakon dipentaskan terjadi pada alam terbuka. Klasifikasi dekor didasarkan atas aliran-aliran kesenian yang dianut oleh penulis drama, atau sutradara, atau dekorator (bila dia diberi wewenang). a) Naturalisme, yaitu melukiskan dekor sebagai imitasi (tiruan) alam. Tata

pentas sebagian besar menggunakan alam, baik atau jelek dilukiskan apa adanya (menggotong tumbuh-tumbuhan ke pentas).

b) Realisme, yaitu penggambaran dekor alam sesungguhnya atau bahkan

penggunaan alam. Alam hanya dipakai sebagai bahannya saja, pementasannya di panggung (pohon mawar dipasang dipanggung). c) Impresionisme, yaitu bentuk tolak pada pars pro toto, yaitu melukiskan

sebagian untuk menggambarkan keseluruhan. Alam dekor dilukiskan hal yang paling karakteristik, untuk mewakili keseluruhan suasana lakon, dan juru dekor bebas menggunakan gagasannya sendiri, karena dalam aliran ini ia bebas dari konvensi teater.

d) Ekspresionisme, berusaha mengekspresikan ungkapan batin. Juru dekorasi bebas menggungkapkan kehendaknya sesuai dengan tafsiran terhadap lakon. Jiwa dan perasaan dekorator pegang peranan penting.

e) Simbolisme, berusaha mempetakan, melalui bentuk seni rupa sesuatu pengertian baik yang terdapat dalam benda itu sendiri atau di luar benda itu. Dekorasi penuh dengan simbol yang sesuai dengan haikat lakon yang dipentaskan.

Riantiarno (2003: 68) memberikan pemilahan yang jelas antara set/dekor, set property, hand property, dan properti. Menurutnya, set/dekor adalah bagian benda/gambar di panggung yang sifatnya permanen, misalnya rumah. Set property yaitu isi dari rumah itu, kursi, meja, lemari, dan sebagainya. Hand property adalah properti yang dibawa oleh pemain. Sedangkan properti adalah pelengkap dari set property.

Tata panggung adalah pengelolaan unsur kebendaan yang ada di panggung. Penataan yang dilakukan harus mematuhi prosedur kerja yang telah digariskan. Sebagaimana pemain, penata panggung pun harus mempelajari naskah terlebih dahulu sebelum menata atau mendekor panggung. Dari naskah yang dibaca, penata panggung menggambar, mengkomunikasikan dengan sutradara, pemain, dan kru panggung lainnya, lalu merealisasikan ide dan gagasannya tersebut.

Fungsi utama set panggung adalah sebagai penunjang bagi terciptanya tempat, waktu, dan keadaan/suasana (Riantiarno, 2003: 63). Tata panggung yang baik adalah yang mampu merepresentasikan tempat, ruang, waktu, dan suasana dalam adegan di panggung serta menjadi bagian yang menyatu dari sebuah pementasan. Dengan demikian, pemahaman dan penafsiran terhadap naskah menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh seorang penata panggung.

Secara khusus, unsur-unsur di atas panggung ditata sedemikian rupa sehingga bisa memberikan gambaran lengkap yang berfungsi untuk menjelaskan suasana dan semangat lakon, periode sejarah lakon, lokasi kejadian, status karakter peran, dan musim ketika lakon dilangsungkan.

Perlu diketahui pula jenis-jenis panggung yang biasa digunakan dalam pertunjukan teater karena hal ini berpengaruh terhadap kerja penata panggung. Ada beberapa jenis panggung, tetapi oleh Riantiarno (2003: 64-65) hanya disebutkan dua saja, yaitu panggung prosenium dan panggung arena. Panggung prosenium adalah panggung yang hanya dapat dilihat penonton dari satu sisi saja, yaitu dari depan. Panggung arena adalah panggung yang dikelilingi penonton sehingga setiap sudut bisa dilihat oleh penonton.

Eko Santosa, dkk. (2009: 391) menambahkan jenis panggung trust selain dua jenis panggung sebelumnya. Panggung trust hampir mirip dengan panggung prosenium tetapi dua pertiga bagian panggung menjorok ke penonton sehingga sisi kanan dan kiri panggung bisa ditempati penonton. Panggung jenis ini biasa dinamai pula dengan panggung jenis tapal kuda.

Berdasarkan jenis-jenis panggung yang ada, penata panggung harus memperhitungkan perspektif penonton. Set tidak boleh mengganggu pandangan penonton dari sisi manapun. Penataan set harus memperhitungkan besar panggung, arena bermain, dan sebagainya. Intinya, tugas tata panggung hanya mendukung jalannya pementasan, memberikan ilustrasi, dan tidak berdiri sendiri sebagai cabang kesenian lain.

4) Tata cahaya

Tata cahaya berfungsi menerangi panggung, memberi suasana, memberi bentuk, dan memisahkan antara panggung dengan penonton. Atas fungsinya sebagai penerang panggung, dapat dikatakan bahwa cahaya merupakan unsur terpenting dalam pementasan teater. Tugas seorang penata cahaya sama dengan penata panggung, yaitu mendukung permainan di panggung, memberikan ilustrasi dan suasana panggung, serta menjadi bagian yang menyatu dengan permainan di panggung.

Tata cahaya mempunyai fungsi atau tujuan dalam pementasan teater. Herman J. Waluyo menerangkan tujuan tata cahaya dapat dinyatakan sebagai berikut.

a) Penerangan terhadap pentas dan aktor. Dengan fungsi ini, pentas dengan segala isinya dapat terlihat jelas oleh penonton. Penerangan juga dapat mengandung arti penyinar. Artinya menyoroti bagian-bagian yang ditonjolkan, sehingga lebih tampak jelas, sesuai dengan tuntutan dramatik lakon.

b) Memberikan efek alamiah dari waktu, seperti jam, musim, cuaca, dan suasana.

c) Membantu melukis dekor (scenery) dalam menambah nilai warna hingga terdapat efek sinar dan bayangan.

d) Melambangkan maksud dengan memperkuat kejiwaannya. Dalam hal ini, efek tata warna sangat penting kedudukannya.

e) Tata lampu juga dapat mengekspresikan mood dan atmosphere  dari lakon, guna mengungkapkan gaya dan tema lakon.

f) Tata lampu juga mampu memberikan variasi-variasi, sehingga adegan-adegan tidak statis. Misalnya, dengan lampu dapat dicapai efek tiga dimensi, dan dapat diciptakan komposisi yang aneka ragam dalam pentas. Dalam tata cahaya, lampu yang digunakan sebagai penerangan dapat diklasifikasikan sesuai fungsinya. Menurut Herman J. Waluyo (2006:144) fungsi dari tata cahaya, maka lampu dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.

a) Lampu primer, yaitu sumber sinar yang langsung menerangi benda atau objek lainnya, dan mengakibatkan timbulnya bayangan.

b) Lampu sekunder, yaitu lampu yang bertugas menetralisir bayangan yang timbul oleh lampu primer. Penempatannya sedemikian rupa, sehingga bayangan yang menggangu visualisasi terhadap lakon, dapat dinetralkan. Jenis lampu sekunder ini juga dipertimbangkan fungsi lainnya, yaitu untuk menghidupkan panggung beserta dekorasinya.

c) Lampu untuk latar belakang, yaitu lampu khusus untuk menerangi cyclodrama. Untuk pentas, biasanya digunakan 3 ways lightning system, sedangkan untuk akhir pentas, digunakan ways lightning system.

5) Tata suara

Tata suara dalam hal ini berupa instrumen yang mengiringi sebuah pertunjukan teater. Wujudnya bisa berupa musik, efek suara, dan juga seperangkat teknologi yang dikembangkan untuk menghasilkan bunyi. Fungsinya sama dengan tata artistik yang lain yaitu memberi suasana dalam pertunjukan teater. Musik dapat menjadi bagian lakon, tetapi yang terbanyak adalah sebagai ilustrasi, baik sebagai pembuka seluruh lakon, pembuka adegan, memberi efek pada lakon, maupun sebagai penutup lakon (Waluyo, 2006:153).

Herman J. Waluyo menjelaskan fungsi yang diharapkan dari tata musik dirumuskan sebagai berikut: (1) memberikan ilustrasi yang memperindah; (2) memberikan latar belakang; (3) memberikan warna psikologis; (4) memberi tekanan kepada nada dasar drama; (5) membantu dalam penanjakan lakon, penonjolan, dan progresi; (6) memberi tekanan pada keaduan yang mendesak; dan (7) memberikan selingan.

6) Tata busana

Tata busana sendiri didefinisikan sebagai segala sandangan dan perlengkapannya (accessories) yang dikenakan di dalam pentas (Harymawan, 1986: 127). Kostum pentas meliputi semua pakaian, sepatu, pakaian kepala, dan perlengkapan-perlengkapannya. Oleh karenanya, dijelaskan bahwa busana dalam pertunjukan teater digolongkan menjadi lima bagian, yaitu (a) pakaian dasar atau foundation; (b) pakaian kaki/sepatu; (c) pakaian tubuh/body; (d) pakaian kepala/headdress; dan (e) perlengkapan-perlengkapan/ accessories.

Menurut Harymawan (1986:131-132) agar kostum pentas mempunyai efek yang diinginkan, kostum pentas harus menunaikan beberapa fungsi tertentu: (1) membantu menghidupkan perwatakan pelaku, artinya sebelum dia berdialog, kostum sudah menunjukkan siapa dia sesungguhnya, umurnya, kebangsaannya, status sosialnya, kepribadiannya, suka dan tidak sukanya; (2) individualisasi peranan, warna dan gaya kostum dapat membedakan seorang peranan dari peranan yang lain dan dari setting serta latar belakang; (3) memberi fasilitas dan membantu gerak pelaku, pelaku harus dapat melaksanakan laku atau stage business yang perlu bagi peranannya tanpa terintang oleh kostumnya. Kostum tidak hanya harus menjadi bantu bagi pelaku, tetapi juga harus menambah efek visual gerak, menambah indah dan menyenangkan setiap posisi yang diambil pelaku setiap saat.

Herman J. Waluyo (2006:142-143) menjelaskan bahwa tata busana dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

a) Kostum historis, yaitu kostum yang disesuaikan dengan periode-periode spesifik dalam sejarah.

b) Kostum modern, yaitu kostum yang dipakai oleh masyarakat masa kini. c) Kostum nasional, yaitu kostum dari daerah-daerah atau tempat spesifik.

Dapat sekaligus kostum nasional dan historis.

d) Kostum tradisional, yaitu kostum yang disesuaikan dengan karakter spesifik secara simbolis dan dengan distilir. Kostum wayang orang dapat dipandang sebagai kostum tradisional.

Disamping kostum tersebut, masih ada kostum binatang, kostum tari, kostum sirkus, kostum fantastis, dan sebagainya.

7) Tata rias

Tata rias adalah seni menggunakan bahan kosmetika untuk menciptakan wajah peran sesuai dengan tuntutan lakon (Waluyo, 2006:137). Tata rias hampir sama dengan tata busana karena memiliki fungsi yang sama. Dengan rias, pemain dapat diubah menjadi karakter yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pertunjukan teater. Tata rias berkaitan erat dengan tata busana. Keduanya akan selalu berunding untuk memperoleh karakter yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pertunjukan.

Harymawan (1986: 135) menjelaskan kegunaan rias dalam teater sebagai berikut: (a) merias tubuh manusia, artinya mengubah yang alamiah (nature) menjadi yang budaya (culture) dengan prinsip mendapatkan daya guna yang tepat; (b) mengatasi efek tata lampu yang kuat; dan (c) membuat wajah dan kepala sesuai dengan peranan yang dikehendaki. Sementara Riantiarno (2003: 72) memberikan penjelasan yang lebih sederhana tentang manfaat tata rias yaitu untuk memperjelas wajah dan ketokohan pemain. Dengan balutan busana dan riasan yang sesuai dengan karakter tokoh, dipadukan dengan teknik bermain dan penjiwaan yang memadai, jadilah sebuah akting di atas panggung.

Herman J. Waluyo (2006: 138) menerangkan bahwa berdasarkan jenis rias, tata rias dapat diklasifikasikan menjadi delapan jenis rias, yaitu sebagai berikut.

a) Rias jenis, yaitu rias yang mengubah peran. Misalnya peran laki-laki diubah menjadi peran wanita yang memerlukan rias di berbagai bagian tubuh. b) Rias bangsa, yaitu rias yang mengubah kebangsaan seseorang, misalnya

orang Jawa harus berperan sebagai Belanda, yang ciri-ciri fisiknya berbeda. c) Rias usia, yaitu rias yang mengubah usia seseorang. Misalnya, orang muda yang berperan sebagai orangtua atau sebaliknya. Anatomi pelbagai umur perlu dipelajari untuk merias wajah dan urat atau kulit secara cermat dan tepat.

d) Rias tokoh, yaitu rias yang membentuk tokoh tertentu yang sudah memiliki ciri fisik yang harus ditiru. Misalnya seorang pemuda biasa harus berperan sebagai Superman, Gatotkaca, atau penjahat.

e) Rias watak, yaitu rias sesuai dengan watak peran. Tokoh sombong, penjahat, pelacur, dan sebagainya membutuhkan rias watak yang cukup jelas, untuk meyakinkan perananya secara fisik.

f) Rias temporal, yaitu rias yang dibedakan karena waktu atau saat tertentu. Misalnya rias sehabis mandi, bangun tidur, pesta, piknik, sekolah, dan sebagainya.

g) Rias aksen, yaitu rias yang hanya memberikan tekanan kepada pelaku yang mempunyai anasir sama dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya pemuda tampan dengan ras, watak, dan usia yang sama. Fungsi rias hanya untuk memberi tekanan saja.

h) Rias lokal, yaitu rias yang ditentukan oleh tempat atau hal yang menimpa peran saat itu. Misalnya rias di penjara, petani, di pasar, dan sebagainya. 8) Cerita atau lakon

Unsur terpenting dari teater adalah cerita atau lakon. Unsur ini merupakan jawaban dari semua pertanyaan tentang unsur-unsur yang lain. Melalui cerita inilah sutradara memilih pemain, pemain memainkan perannya, kru artistik mendesain, dikombinasikan, lalu disajikan di hadapan penonton. Semua komponen dalam teater akan dipadukan dan disatukan melalui naskah atau cerita.

Kedelapan unsur yang telah disebutkan di atas sebenarnya dapat diringkas menjadi tiga unsur saja, yaitu pelaku atau manusia sebagai unsur utama, artistik

sebagai unsur penunjang, dan cerita sebagai unsur penjalin. Unsur utama meliputi sutradara dan pemain. Artistik meliputi tata panggung, tata cahaya, tata busana, tata rias, dan tata suara. Sementara itu, cerita tetap berdiri sendiri sebagai unsur penjalin di antara semua unsur yang ada.

B. Kerangka Berpikir

Teater TESA merupakan salah satu kelompok teater kampus yang berada di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak tahun 1987. Peneliti mengkaji dari sisi perkembangan historis Teater TESA untuk mengetahui dinamika dan perubahan bentuk penggarapan di Teater TESA selama periode 1987-2014.

Tahap akhir dari penelitian ini adalah mengkaji aliran teater yang diterapkan setiap sutradara pada pementasan teater di Teater TESA selama periode 1987-2014. Dengan melibatkan unsur-unsur teater yang menjalin kesatuan dan keutuhan dramatik yang meliputi pemain, sutradara, tata panggung, tata cahaya, tata suara, tata busana, tata rias, dan cerita atau lakon akan ditemukan suatu bentuk aliran teater pada penggarapan tertentu. Melalui pengkajian aliran teater tersebut dapat ditemukan pola penggarapan Teater TESA secara jelas dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, hasil kajian aliran teater yang dilihat dari segi perkembangan historis dapat digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap perubahan-perubahan aliran teater dalam penggarapan pentas di Teater TESA selama periode 1987-2014.

Untuk memudahkan penggambaran terkait kerangka berpikir dalam penelitian ini, maka dapat disederhanakan melalui bagan berikut:

Bagan 2 Kerangka Berpikir Perkembangan Teater

TESA 1987-2014

Aliran teater Teater TESA 1987-2014

Teater TESA

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Analisis

 

Referensi

Dokumen terkait

Pendapat Ismawati tersebut dikuatkan dengan pendapat Waluyo (2003: 1) yang menyebutkan bahwa drama dapat pula diartikan sebagai tiruan kehidupan manusia yang

al (2019: 249) menyebutkan bahwa fokus utama dalam Teori Ausubel adalah bahwa dari semua faktor yang mempengaruhi pembelajaran, yang paling penting adalah apa yang

Menurut Al-Maruf (2009: 53) diksi berupa kata konotatif, kata konkret, kata sapaan khas dan nama diri, kata serapan, kata asing, kata vulgar, dan kata dengan objek

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah teknik penyutradaraan sutradara Budi Riyanto sebagai bentuk penyutradaraan terhadap naskah lakon Keluarga

Pengetahuan tentang bencana banjir merupakan alasan utama seseorang untuk melakukan kegiatan perlindungan atau upaya kesiapsiagaan yang ada. Masyarakat yang memiliki

Permainan ini menjadi suatu hal yang sangat menarik karerna di dalamnya terdapat unsur kerjasama, pemenang, dan kompetisi yang tidak bisa ditebak; (2) Permainan

Anitah (2009 : 103), menyatakan bahwa “kerja kelompok merupakan metode pembelajaran yang memandang peserta didik dalam suatu kelas sebagai satu kelompok atau

Sumarlam (2009) juga menjelaskan fungsi dari pelesapan yaitu antara lain untuk 1) menghasilkan kalimat yang efektif; 2) efisiensi dalam pemakaian bahasa; 3)