• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2009-Maret 2010 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2009-Maret 2010 - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Dian Verina Indriani 06 8114 080

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

EVALUASIDRUG RELATED PROBLEMS(DRPs)

PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 NON KOMPLIKASI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI

YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2009-MARET 2010

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Dian Verina Indriani 06 8114 080

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

Saat segalanya terasa tidak mungkin untuk dihadapi, dan

sudah tak ada lagi kekuatan untuk menghadapi semuanya

sendiri… Percaya pada kekuatan Tuhan.. With God All

Things Are Possible

Kesuksesan tidak hanya dinilai dari hasil, namun

bagaimana seseorang bertanggung jawab dan berusaha

pada proses yang dihadapi. Seorang yang sukses adalah

orang yang dapat bangkit dari kegagalannya..

Inilah hasil kerja kerasku selama ini,dan ini semua

kupersembahkan untuk :

Tuhan Yesusku….

Orang tuaku...

Keluarga besarku..

(6)
(7)

vii

segala rahmat, berkat, dan perlindunganNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010”. Skripsi

ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada kesempatan kali ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih pada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini, yaitu sebagai berikut.

1. Tuhan Yesus Kristus yang atas segala berkatNya selalu menyertai penulis

dalam sepanjang melakukan penelitian ini. Selalu setia mendampingi dan

menyertai dalam segala upaya penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas bimbingan dan

arahan selama penulis melakukan pembelajaran di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu dr. Luciana Kuswibawati M.,Kes. selaku dosen pembimbing atas arahan,

dukungan, semangat, serta kesabarannya selama proses penyusunan skripsi.

4. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si.,Apt. selaku dosen penguji atas dukungan,

kritik, arahan, masukan serta semangat yang diberikan kepada penulis.

5. Ibu Rita Suhadi, M.Si.,Apt. selaku dosen penguji skripsi atas arahan,

(8)

viii

6. Direktur Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang telah memberikan izin

kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

7. Dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta (dr. FX.

Suharnadi, Sp.PD. dan dr. Nugroho Isti D., Sp.PD.), Kepala beserta staf

Bagian Personalia dan Bagian Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta atas bantuan dan dukungannya.

8. Seluruh pasien diabetes melitus tipe 2 di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

yang secara tidak langsung membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian

ini.

9. Seluruh dosen pengajar, staf, dan laboran atas dukungan dan bantuannya

selama penulis menjalani pembelajaran di Fakultas Farmasi Sanata Dharma.

10. Untuk ayahku dan nenekku tersayang Alm. Mulyono Sudi Raharjo dan Alm.

Song Tjuan Tien yang selama hidupnya selalu memberikan yang terbaik untuk

penulis dan mendoakan agar penulis bisa menjadi orang yang berhasil kelak.

11. Untuk ibuku Christiana Indriani yang selalu memberikan dukungan, kasih

sayang, materi, dan doanya kepada penulis.

12. Untuk adikku Dito Raharjo atas semangat, keceriaan, dan dukungannya

kepada penulis serta seluruh keluarga besar atas dukungannya.

13. Untuk Romo In Nugroho yang sudah menjadi inspirasi dan memberikan

motivasi bagi penulis agar pantang menyerah dalam menjalani proses

penyelesaian skripsi ini.

14. Untuk Lia Grape, Jayanti Micel, Riri, Yeni, Agatha Dessynta Putri, Felix,

(9)

ix

Ervina Sumaharyana, Yuniar Handayani untuk dukungan, bantuan,

pendewasaan yang telah diberikan kepada penulis.

16. Teman-teman kos Amakusa Meli, Citra, Yohana, Mayke, Lia, Berta, Adel,

Retha, Titin, Ana, Yemi, Ratih, Herta, Uut, Metri, Dewi, dan kakak-kakak

angkatan yang pernah tinggal di kos Amakusa.

17. Teman-teman Co Fasilitator dan Fasilitator PPKM 2008 dan 2009 atas

pendewasaan dan pembelajaran yang mengubah kepribadian dari penulis.

18. Panitia Titrasi 2007, 2008, 2009, dan anak-anak 2008 Titrasi kelompok 9 atas

kenangan, semangat, motivasi, dan pelajaran yang diperoleh.

19. Teman-teman KKN kelompok 29 angkatan XXXIX Iphi, Agnes, Rita, Rosa,

Teguh, Benny, Wahyu, Pak Tri selaku DPL, dan seluruh warga Mejing atas

semangat, kebersamaan yang pernah dilalui bersama penulis.

20. Seluruh teman-teman angkatan 2006, FKK 2006 khususnya atas keceriaan dan

kebersamaan yang pernah dilalui bersama.

21. Serta pihak-pihak lain yang membantu penulis yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmatNya kepada seluruh

pihak yang membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Dengan segala

kerendahan hati Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh

(10)

x

menjadikan skripsi ini lebih baik. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi banyak

pihak.

Yogyakarta,11 Agustus 2010

(11)
(12)

xii

INTISARI

Diabetes melitus (DM) menurut WHO 1999 adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi akut dan kronis. Untuk mencegah terjadinya komplikasi, obat berperanan penting dalam proses pengobatannya sehingga perlu dilakukan evaluasiDrug Related Problemspada DM tipe 2.

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Data yang digunakan adalah lembar rekam medik pasien DM tipe 2. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode subjective, objective, assessment, plan dengan menggunakan literatur yaitu Drug Information Handbook(DIH) edisi 14, MIMS Indonesia edisi 7 2007/2008, Drug Interaction Facts (DIF), ISO Indonesia volume 44 2009/2010, dan Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) 2000.

Kasus yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 14 kasus. Presentase umur paling banyak pada umur >49-≤59 tahun (36%), untuk jenis kelamin paling banyak adalah wanita (71%). Terdapat 9 kelas terapi dengan penggunaan obat yang mempengaruhi sistem hormonal (93%). Dari hasil evaluasi menunjukkan DRPs interaksi obat terjadi sebesar 29%, ADR sebesar 7%, butuh obat sebesar 14%, dan tidak butuh obat sebesar 7%. Pasien meninggalkan rumah sakit dalam keadaan membaik dan diijinkan pulang sebanyak 71%.

Kata kunci : diabetes melitus tipe 2, non komplikasi, drug related problems

(13)

xiii

levels along with impaired metabolism of carbohydrates, lipids and proteins as a result of insufficiency of insulin function. Uncontrolled diabetes can cause acute and chronic complications. To prevent complications, an important role in the drug treatment process that needs to be evaluated Drug Related Problems in type 2 diabetes.

This study used non-experimental research methodology with retrospective descriptive evaluative design. The data used were sheets of medical records of patients with type 2 diabetes mellitus. The data obtained were analyzed by subjective, objective, assessment, plan method using literature of Drug Information Handbook (DIH) 14th edition, 7th edition of MIMS Indonesia 2007/2008, Drug Interaction Facts (DIF), volume 44 Indonesian ISO 2009/2010, and Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) 2000.

Cases that met the inclusion criteria of 14 cases. Percentage age at most at age over 49 -≤59 years (36%), for the gender of most are woman (71%). There are nine classes with the use of drug therapies that affect the hormonal system (93%). From the results of the evaluation showed DRPs drug interactions occur at 29%, ADR of 7%, 14% needed medication, and do not need drugs amounted to 7%. The patient left the hospital in better condition and allowed to go home as much as 71%.

(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….iii

HALAMAN PENGESAHAN……….iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….………..v

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYAI LMIAH……….vi

PRAKATA…………..………...vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….xi

INTISARI………..xii

ABSTRACT………..………..xiii

DAFTAR ISI……….xiv

DAFTAR TABEL………..xviii

DAFTAR GAMBAR………..xxiii

DAFTAR LAMPIRAN………...xxiv

BAB I. PENGANTAR………....1

A. Latar Belakang………...1

1. Perumusan masalah………..3

2. Keaslian penelitian………...4

3. Manfaat penelitian……….………...6

a. Manfaat teoritis...……….………..6

b. Manfaat praktis………..6

(15)

xv

1. Definisi………...10

2. Klasifikasi………...……...10

3. Diagnosis………11

4. Manifestasi klinis………...12

5. Patogenesis………...13

6. Komplikasi……….14

7. Penatalaksanaan dan terapi DM……….15

C. Keterangan Empiris………..27

BAB III. METODE PENELITIAN……..………..28

A. Jenis dan Rancangan Penelitian………...28

B. Definisi Operasional……….28

C. Subyek Penelitian……….29

D. Bahan Penelitian…..……….30

E. Lokasi Penelitian………..30

F. Tata Cara Penelitian……….30

a. Persiapan………30

b. Pengambilan data………..31

c. Analisis data………...31

(16)

xvi

G. Kesulitan Penulis………..32

H. Analisis hasil………32

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….……....33

A. Gambaran Karakteristik..……….……33

1. Jenis kelamin……….……….33

2. Umur……….………….34

B. Profil Obat………....34

1. Kelas terapi………....34

2. Golongan obat………36

a. Obat yang mempengaruhi sistem hormon………....………...37

b. Obat kardiovaskular………...……..38

c. Antibiotik………..…...40

d. Obat analgesik dan antipiretik………...41

e. Obat yang mempengaruhi susunan saraf pusat…...………...………..42

f. Obat saluran pernafasan………...………43

g. Obat saluran cerna………43

h. Obat untuk penyakit kulit………...44

i. Gizi dan nutrisi………...…..45

C. Evaluasi DRPs………..…46

D. Kondisi pasien saat keluar RS………..51

E. Rangkuman pembahasan……….53

BAB V. Kesimpulan Dan Saran……….……….…56

(17)

xvii

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Tabel Sasaran Terapi dari Pengobatan DM….………..16

Tabel II. Kisaran Sasaran Kadar Glukosa Darah...19

Tabel III. Batas Kadar Glukosa Darah Puasa Untuk Memulai Terapi Insulin Drip Intravena………...…..………...19

Tabel IV. Protokol Terapi Insulin Infus Intravena...………..20

Tabel V. Protokol Terapi Insulin Subkutan...21

Tabel VI. Sediaan Insulin yang Umum Digunakan...22

Tabel VII. Mekanisme Kerja, Efek Samping Utama, dan Pengaruh Terhadap Penurunan A1C………...……..….26

Tabel VIII. Penggunaan Obat yang Mempengaruhi Sistem Hormon pada Pasien DM Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010…38 Tabel IX. Penggunaan Obat Kardiovaskular pada Pasien DM Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010…………..………40

Tabel X. Penggunaan Obat Antbiotik pada Pasien DM Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010...41

(19)

xviii

Tabel XIII. Penggunaan Obat Saluran Pernafasan pada Pasien DM Tipe 2 Non

Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010……...43

Tabel XIV. Penggunaan Obat Saluran Cerna pada Pasien DM Tipe 2 Non

Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010...………44

Tabel XV. Penggunaan Obat Penyakit Kulit pada Pasien DM Tipe 2 Non

Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010………..….45

Tabel XVI. Penggunaan Gizi dan Nutrisi pada Pasien DM Tipe 2 Non

Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010…...………....45

Tabel XVII. Presentase Kasus DRP yang Teridentifikasi pada Pasien DM Tipe

2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta Periode Januari 2009-maret 2010 …...………...47

Tabel XVIII. Kejadian DRPs ADR pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non

Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010...………..………. 47 Tabel XIX. Kejadian DRPs Interaksi Obat Tambahan pada Pasien Diabetes

(20)

xix

Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret

2010...49

Tabel XX. Kejadian DRPs Butuh Obat pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010...50

Tabel XXI. Kejadian DRPs Tidak Butuh Obat pada Pasien Diabetes Melitus

Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010...51

Tabel XXII. Hasil Pengamatan Kadar Glukosa Darah Pasien Diabetes Melitus

Tipe 2 Non Komplikasi di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009- Maret 2010………...53

Tabel XXIII. RingkasanDrug related Problems………...54

Tabel XXIV. EvaluasiDRPsKasus 1 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...60

Tabel XXV. EvaluasiDRPsKasus 2 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...61

Tabel XXVI. EvaluasiDRPsKasus 3 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

(21)

xx

Tabel XXVIII.EvaluasiDRPsKasus 5 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...70

Tabel XXIX. EvaluasiDRPsKasus 6 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...73

Tabel XXX. EvaluasiDRPsKasus 7 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...75

Tabel XXXI. EvaluasiDRPsKasus 8 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...77

Tabel XXXII. EvaluasiDRPsKasus 9 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...79

Tabel XXXIII.EvaluasiDRPsKasus 10 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

(22)

xxi

Tabel XXXIV.EvaluasiDRPsKasus 11 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...83

Tabel XXXV. EvaluasiDRPsKasus 12 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...85

Tabel XXXVI.EvaluasiDRPsKasus 13 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-Maret 2010...88

Tabel XXXVII. EvaluasiDRPsKasus 14 Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010...90

(23)

xxii

Berdasarkan Jenis Kelamin di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010……….33

Gambar 2. Diagram Prosentase Pasien DM Tipe 2 Non Komplikasi

Berdasarkan Umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010………...34

Gambar 3. Diagram Kelas Terapi Pasien DM Tipe 2 Non Komplikasi di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode

Januari 2009-Maret 2010…..……….35

Gambar 4. Kejadian DRPs pada Pasien DM Tipe 2 Non Komplikasi di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode

Januari 2009-Maret 2010………...51

Gambar 5. Alasan Meninggalkan Rumah Sakit pada DM Tipe 2 Non

Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

(24)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Data dan Analisis DRPs Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit panti Rini Yogyakarta Periode Januari

2009-Maret 2010………...60

Hasil Wawancara Penulis dengan Dokter Mengenai Standar Pengobatan DM Tipe

2 Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta...………....94

(25)

1

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) menurut WHO 1999 adalah suatu penyakit

atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan

tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,

lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi

insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh

sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya

sel-sel tubuh terhadap insulin (Anonim, 2005).

Prevalensi penderita DM pada tahun 2000 menurut WHO adalah 171

juta orang dan jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 366 juta orang pada

tahun 2030 (WHO, 2006). Menurut Departemen Kesehatan tahun 2003, diabetes

melitus untuk rawat inap menduduki urutan ke-8 dari 10 penyebab penyakit utama

di sumah sakit Indonesia. Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Litbang Depkes

yang hasilnya dikeluarkan Desember 2008 menunjukkan bahwa prevalensi

nasional untuk Toleransi Glukosa Terganggu 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5%

terdiri dari pasien diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya, sedangkan

sisanya 4,2% baru diketahui diabetes saat penelitian). Angka tersebut diambil dari

hasil penelitian di seluruh provinsi (Suyono, 2009).

Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita

(26)

2

menyebabkan komplikasi akut dan kronis (Anonim, 2005). Komplikasi akut

meliputi hipoglikemi, diabetes ketoasidosis dan hiperosmolar non ketotik,

sedangkan komplikasi kronis meliputi komplikasi makrovaskuler (retinopati,

neuropati, nefropati) dan komplikasi makrovaskuler (Triplitt, Reasner, dan Isley,

2005).

Untuk mencegah terjadinya komplikasi, diperlukan pengelolaan dan

penanganan DM secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi

obat. Obat mempunyai peran yang penting dalam pelayanan kesehatan.

Diperlukan pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit.

Penggunaan obat harus dilakukan secara benar agar memberikan manfaat klinis

yang optimal (Anonim, 2005). Pemberian obat dalam pengobatan pasien DM

merupakan salah satu penentu keberhasilan terapi. Adanya Drug Related Problems akibat terapi obat akan mengganggu keberhasilan yang diharapkan

(Cipolle, Strand, dan Morley, 1998).

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta. Rumah

Sakit Panti Rini merupakan rumah sakit tipe pratama. Rumah Sakit Panti Rini

memiliki pelayanan dasar, umum dan gigi serta pelayanan medik spesialistik 4

dasar sesuai dengan standar minimal rumah sakit kelas pratama yaitu Spesialis

Penyakit Dalam, Kebidanan dan Kandungan, Bedah dan Penyakit Anak. Rumah

Sakit Umum Swasta Pratama adalah rumah sakit umum swasta yang memberikan

pelayanan medik bersifat umum setara dengan rumah sakit pemerintah kelas D,

yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan

(27)

yang didapat dari bagian rekam medis Rumah Sakit Panti Rini, DM menduduki

urutan ke-7 dalam urutan 10 penyakit terbesar di Rumah Sakit Panti Rini selama

tahun 2009. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap pengobatan

diabetes melitus di rumah sakit tersebut. Penelitian dilakukan pada pasien instalasi

rawat inap karena proses terapi yang dilakukan pada pasien rawat inap lebih

terkontrol dan kemajuan terapi dapat teramati dengan baik.

1. Perumusan masalah

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini.

a. Seperti apakah gambaran karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 non

komplikasi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode

Januari 2009-Maret 2010 berdasarkan umur dan jenis kelamin?

b. Seperti apakah profil obat pasien diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari

2009-Maret 2010 berdasarkan kelas terapi dan golongan obat?

c. Apakah ada Drug Related Problems (DRPs) seperti butuh obat (need for

additional drug therapy), tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), obat salah (wrong drug), dosis kurang (dosage too low), dosis berlebih (dosage too high), munculnya efek yang tidak diinginkan atau efek samping obat (adverse

drug reaction), dan adanya interaksi obat (drug interaction) pada pengobatan diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di instalasi rawat inap Rumah Sakit

(28)

4

d. Seperti apakah kondisi pasien diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari

2009-Maret 2010 saat meninggalkan rumah sakit?

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran penulis, penelitian mengenai Drug Related Problems

(DRPs) pasien diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2009-Maret 2010 belum

pernah dilakukan. Penelitian mengenai evaluasi Drug Related Problems DM tipe

2 yang sudah ada antara lain seperti di bawah ini.

a. Analisis Kepatuhan Penggunaan Obat Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di

Instalasi rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta 2003 oleh Flora

pada tahun 2003.

b. Kajian Pemilihan Obat Hipoglikemik Oral pada terapi Pasien Diabetes

Melitus Tipe-2 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

pada Periode November-Desember 2002 oleh Frederikus pada tahun 2004.

c. Studi Literatur Efek Samping dan Interaksi Obat Pada Penderita Diabetes

Melitus Tidak Tergantung Insulin dengan Satu Penyakit Penyerta di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit DR. Sardjito Yogyakarta oleh Lina pada tahun 2004.

d. Gambaran Peresepan Obat pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit DR. Sardjito Yogyakarta Periode 2001-2002 oleh

(29)

e. Pola Peresepan Obat Hipoglikemi dan Studi Literature Interaksi Obat pada

Pasien Diabetes Melitus Rawat Inap di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

Periode Januari-Maret 2002 oleh Marcellina pada tahun 2004.

f. Evaluasi Pengobatan Pasien Diabetes Melitus dengan Komplikasi

Ulkus/Gangren di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

Periode Juli-Desember 2005 oleh Antonia Ari pada tahun 2007.

g. Evaluasi Pengobatan Pada Kasus Diabetes Melitus Dengan Komplikasi

Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

Periode Tahun 2005 oleh Riana pada tahun 2007.

h. Evaluasi Drug-Related Problems pada Peresepan pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Komplikasi Ischemic Heart Disease di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2005-Desember 2007

oleh Niken pada tahun 2008.

i. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes melitus Tipe 2

Komplikasi Hipertensi di Rumah Sakit Umum DR. Sardjito Yogyakarta

Periode Tahun 2007-2008 oleh Antonia Vita pada tahun 2009.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang peneliti

sebutkan di atas dalam hal rumah sakit yang diteliti, jenis komplikasi, tahun

pengambilan data dan hasil DRPs.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi

(30)

6

komplikasi pada pasien di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

periode Januari 2009-Maret 2010.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, dan referensi untuk

bahan pertimbangan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat pada umumnya dan khususnya pada penderita diabetes melitus tipe 2

di instalasi rawat inap.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut ini.

a. Mengetahui gambaran karakteristik pasien diabetes melitus non komplikasi

tipe 2 non komplikasi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta periode Januari 2009-Maret 2010 berdasarkan umur dan jenis

kelamin.

b. Mengetahui profil obat pasien diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari

2009-Maret 2010 berdasarkan kelas terapi dan golongan obat.

c. Mengetahui ada atau tidaknya Drug Related Problems(DRPs) seperti : butuh

obat (need for additional drug therapy), tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), obat salah (wrong drug), dosis kurang (dosage too low), dosis berlebih (dosage too high), munculnya efek yang tidak diinginkan atau efek

(31)

rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2009-Maret

2010.

d. Mengetahui kondisi pasien diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di instalasi

rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2009-Maret

(32)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Drug Related Problems

Drug related problem(DRP) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat terapi obat sehingga mengganggu keberhasilan

penyembuhan yang diharapkan (Cipolle, Strand, dan Morley, 1998).

Kategori DRP yaitu sebagai berikut ini.

1. Membutuhkan obat tapi tidak menerimanya

Yaitu pasien membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau

premedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan terapi kombinasi

untuk menghasilkan efek sinergis atau potensiasi dan atau ada kondisi

kesehatan baru yang memerlukan terapi obat.

2. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai

Hal ini dapat terjadi karena sebagai berikut: menggunakan obat tanpa indikasi

yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non obat, minum

beberapa obat padahal hanya satu terapi obat yang diindikasikan dan atau

minum obat untuk mengobati efek samping.

3. Menerima obat yang salah

Kasus yang mungkin terjadi adalah obat tidak efektif, alergi, adanya resiko

kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat yang

tidak perlu dan atau obat bukan yang paling aman.

(33)

Beberapa penyebabnya adalah dosis salah, frekuensi tidak tepat, jangka waktu

tidak tepat dan adanya interaksi obat.

5. Dosis terlalu kecil

Penyebabnya antara lain dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang

diinginkan, jangka waktu terapi terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute

pemberian, dan sediaan obat tidak tepat.

6. Pasien mengalamiadverse drug reaction

Penyebab umum untuk kategori ini adalah pasien menerima obat yang tidak

aman, pemakaian obat yang tidak tepat, interaksi dengan obat lain, dosis

dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan adverse drug

reaction dan atau pasien mengalami efek yang tidak dikehendaki yang tidak diprediksi.

7. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak minum

obat secara benar (non compliance)

Beberapa penyebabnya adalah obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien tidak

mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk

tidak mau minum obat karena alasan pribadi dan atau pasien lupa minum obat

(Cipolle, Strand, dan Morley, 1998).

Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah

dan memecahkan Drug Related Problem (DRP), walaupun hal tersebut tidak selalu mudah dicapai. Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas

kesembuhannya. Sebab itu farmasis juga harus dapat memberikan konseling,

(34)

10

B. Diabetes Melitus 1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2005), diabetes

melitus (DM) merupakan sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan

hiperglikemia yang terjadi karena sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.

Diabetes melitus merupakan sekelompok gangguan metabolik yang

ditandai dengan hiperglikemia di mana terjadi penyimpangan metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein yang dapat mengakibatkan komplikasi penyakit

mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005).

2. Klasifikasi

Klasifikasi diabetes melitus secara etiologis yaitu sebagai berikut ini.

a. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes tipe 1 sangat sering terjadi pada anak remaja tetapi

kadang-kadang juga terjadi pada otang dewasa, khususnya yang non-obesitas dan

mereka berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama kali.

Merupakan suatu gangguan katabolisme yang disebabkan karena

hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat

dan sel-sel β pankreas gagal merespons semua stimulus insulinogenik. Oleh

karena itu, diperlukan pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki

katabolisme, mencegah ketosis, menurunkan hiperglukagonemia dan

(35)

b. Diabetes melitus tipe 2

Merupakan tipe diabetes melitus yang disebabkan karena kebutuhan

insulin dalam tubuh tidak tercukupi atau terjadi resistensi insulin (Triplitt,

Reasner, dan Isley, 2005).

c. Diabetes melitus gestasional

Diabetes melitus gestasional (GDM) merupakan penyakit diabetes

yang terjadi pada wanita hamil karena adanya intoleransi glukosa selama

kehamilan. Diabetes gestasional memperburuk 7% dari semua kehamilan.

Deteksi klinik sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas

perinatal (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005).

d. Diabetes melitus tipe lain

Diabetes melitus tipe lain yaitu Maturity Onset Diabetes of Youth

(MODY) merupakan suatu bentuk diabetes yang berkaitan dengan kelainan

salah satu gen pada fungsi sel beta pankreas, kelainan juga dapat terjadi pada

pola autosomal dominan yang diturunkan (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005).

3. Diagnosis

American Diabetes Assciation (ADA, 2005) merekomendasikan

penggunaan kadar gula darah puasa sebagai cara utama dalam mendiagnosis DM

pada orang dewasa yang tidak hamil. Berikut ini adalah kategorisasi status

glukosa:

a. gula darah puasa

1) normal: FPG (Fasting Plasing Glucose) <100 mg/dl

(36)

12

3) diabetes mellitus: FPG≥126 mg/dl

b. test toleransi glukosa oral

1) normal: setelah pemberian glukosa <140 mg/dl

2) impaired glucose tolerance (IGT): 2 jam setelah pemberian glukosa 140-100 mg/dl

3) diabetes melitus: 2 jam setelah pemberian glukosa≥200 mg/dl

Kriteria diagnosis diabetes mellitus yaitu:

a. kadar gula darah puasa pada diabetes yaitu >126 mg/dl, sedangkan untuk

keadaan normal <100 mg/dl

b. kadar glukosa darah setelah pemberian glukosa sebanyak 75g (oralglucose

tolerance test) pada diabetes yaitu ≥200 mg/dl, sedangkan normalnya 140 mg/dl

c. kadar glukosa darah sewaktu dengan gejala diabetes yaitu≥200 mg/dl, untuk

normalnya 70-150mg/dl

d. HbA1C≥8%.

4. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi

metabolik defsiensi insulin. Penderita Diabetes Melitus Tergantung Insulin

(DMTI) sering memperlihatkan gejala yang disertai dengan polidipsia, poliuria,

turunnya berat badan, polifagia, lemah, mengantuk (somnolen) yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu (PriceandWilson, 1995).

Pada penderita Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI)

(37)

berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi

glukosa. Pada hiperglikemi yang lebih berat, pasien mungkin mengalami

polidipsia, poliuria, lemah, dan somnolen. Pasien tersebut biasanya

memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin (Price and

Wilson,1995).

5. Patogenesis

Pada DM tipe 2 terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan

insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin

akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat

terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam

metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai

dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak

efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Kuncara, 1992).

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya

glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang

disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi

akibat sekresi insulin yang berlebihan. Kadar glukosa akan dipertahankan pada

tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun bila sel-sel beta tidak mampu

mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan

meningkat dan terjadi diabetes tipe 2 (Kuncara, 1992).

6. Komplikasi

Komplikasi pada DM dikelompokkan menjadi komplikasi akut dan

(38)

14

ketoasidosis diabetik dan hiperosmolar nonketotik, serta hipoglikemia.

Komplikasi kronik DM diklasifikasikan menjadi komplikasi makrovaskular,

komplikasi mikrovaskular, serta komplikasi neuropati.

a. Komplikasi akut

Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak

cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada

metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Kuncara, 1992). Adanya defisiensi

insulin menyebabkan terjadinya pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam

lemak dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh

hati, sehingga terjadi produksi badan keton yang berlebihan (Foster, 2000).

Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom

yang ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi kesadaran

(Ranakusuma, 1996).

Hipoglikemia dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral

yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik

yang berat (Kuncara, 1992).

b. Komplikasi kronik

Komplikasi kronik meliputi komplikasi makrovaskular (hipertensi,

dislpidemia, angina pektoris, Congestive Heart Failure, dan Iscemic Heart Disease) dan komplikasi mikrovaskular (separeti nefropati dan retinopati).

Komplikasi makrovaskular meliputi gambaran hispatologis berupa

(39)

Penyumbatan ini dapat terjadi pada bagian arteri koronaria dan aorta yang dapat

mengakibatkan angina dan infark miokardium (PriceandWilson, 1995).

Pasien dengan retinopati diabetik akan dapat mengalami gejala

penglihatan kabur sampai kebutaan. Retinopati pada pasien DM dilaporkan terjadi

pada sebanyak 10% sampai 32% pasien DM (Waspadji, 1996).

Pasien dengan nefropati diabetik dapat menunjukkan gambaran gagal

ginjal menahun seperti lemas, mual, pucat, sampai keluhan sesak nafas akibat

penimbunan cairan. Adanya proteinuria yang persisten tanpa adanya kelainan

ginjal yang lain merupakan salah satu tanda awal nefropati diabetik (Waspadji,

1996).

c. Neuropati diabetik

Neuropati diabetik ditemukan pada 10% sampai 60% pasien DM.

Keluhan yang sering dialami adalah berupa kesemutan dan rasa lemah. Pada

pasien dengan neuropati autonom diabetik dapat dijumpai gejala gastrointestinal

yang umumnya berupa mual, rasa kembung, muntah dan diare terutama pada

malam hari. Manifestasi neuripati autonom diabetik lainnya ialah adanya

hipotensi ortostatik serta adanya keluhan gangguan pengeluaran keringat

(Waspadji, 1996).

7. Penatalaksanaan dan terapi diabetes melitus

Tujuan utama terapi DM adalah mengurangi risiko terjadinya

komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular, memperbaiki gejala yang muncul,

mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Triplitt,

(40)

16

Sasaran terapi pasien hiperglikemia yang menjalani rawat inap

menurut Clement, Campbell (2004) adalah glukosa darah puasa 80-110 mg/dl,

glukosa 1 jam setelah makan <180 mg/dl, dan untuk pasien bedah dan keadaan

kritis 80-110 mg/dl.

Tabel I. Tabel Sasaran terapi dari pengobatan DM (Schwinghammer, 2009).

Biochemical Index ADA ACE dan AACE

Hemoglobin A1C <7% ≤6,5%

Preprandial plasma glucose 90-130 mg/dl <110 mg/dl

(5,0-7,2 mmol/L) (6,1 mmol/L)

Postprandial plasma glucose <180 mg/dl <140 mg/dl (<10 mmol/L) (<7,8 mmol/L)

a. Terapi non farmakologi

Dalam mengelola DM langkah pertama yang harus dilakukan adalah

pengelolaan terapi non farmakologis, berupa perencanaan makan (Waspadji,

2009).

1) Perencanaan makan (diet)

Untuk diet pasien DM tipe 2 dipilih makanan yang mengandung kalori

tetapi rendah akan lemak jenuh dan protein. Pada beberapa tahun, pasien DM

dianjurkan untuk menghindari gula. Makanan dianjurkan seimbang dengan

komposisi energi dan karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, lemak 20-25%.

Prinsip perencanaan makanan adalah (1) tidak ada makanan yang dilarang, hanya

dibatasi sesuai kebutuhan (tidak berlebih); (2) menu sama dengan menu keluarga,

(41)

b. Terapi farmakologi

1) Insulin

Hiperglikemia pada pasien yang dirawat di rumah sakit merupakan

keadaan yang sering ditemukan. Kondisi tersebut merupakan petanda penting

buruknya luaran klinis dan peningkatan mortalitas pasien dengan atau tanpa

riwayat diabetes melitus. hiperglikemia berdampak buruk terhadap luaran klinis

karena dapat menyebabkan gangguan fungsi imun serta lebih rentan terkena

infeksi, perburukan sistem kardiovaskular, trombosis, peningkatan inflamasi,

disfungsi endotel, stres oksidatif, dan kerusakan otak (Suastika, 2007).

Berdasarkan berbagai penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin

pada pasien hiperglikemia memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat

memperbaiki status metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga

memiliki efek lain yang bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi. Terapi

insulin intensif pada pasien gawat darurat yang dirawat di ruang intensif terbukti

dapat menurunkan angka kematian (Suastika, 2007).

Pasien yang dirawat di ruang intensif (misalnya pasien ketoasidosis,

pascaoperasi, atau pasien dengan penyakit gawat seperti sepsis) umumnya

memerlukan terapi intensif dengan cara pemberian insulin infus (drip) intravena

atau secara intramuskular. Cara intramuskular jarang dilakukan dan hanya

dilakukan bila fasilitas insulin drip intravena tidak tersedia. Pasien yang dirawat di

ruang biasa (pasien praoperatif atau pasien dengan penyakit yang tidak gawat)

umumnya tidak memerlukan terapi insulin infus intravena. Terapi untuk pasien ini

(42)

18

pada kasus yang ringan, terapi dengan obat antidiabetik oral masih dapat

diberikan untuk pasien DM, terutama pasien DM tipe 2 (Suastika, 2007).

Sekresi insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa

atau sebelum makan) dan insulin prandial (setelah makan). Insulin basal adalah

jumlah insulin eksogen per unit waktu yang diperlukan untuk mencegah

hiperglikemia puasa akibat glukoneogenesis serta mencegah ketogenesis yang

tidak terdeteksi. Insulin prandial adalah jumlah insulin yang dibutuhkan untuk

mengkonversi bahan makanan ke dalam bentuk energi cadangan sehingga tidak

terjadi hiperglikemia postprandial. Karena selama perawatan tidak jarang

ditemukan fluktuasi kadar glukosa darah akibat berbagai sebab, dalam pemberian

terapi insulin bagi pasien yang dirawat di rumah sakit dikenal istilah “insulin

koreksi” atau insulin suplemen. Insulin koreksi adalah jumlah insulin yang

diperlukan pasien di rumah sakit akibat kenaikan kebutuhan insulin yang

disebabkan adanya suatu penyakit atau stress(Suastika, 2007).

Secara umum, kebutuhan insulin dapat diperkirakan sebagai berikut:

insulin basal adalah 50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02 U/kgBB;

insulin prandial adalah 50% dari kebutuhan total insulin per hari; dan insulin

koreksi sekitar 10-20% dari kebutuhan total insulin per hari (Suastika, 2007).

a) Insulin infus intravena

Sasaran kadar glukosa darah dan batas kadar glukosa darah untuk

memulai pemberian terapi insulin tergantung dari setiap kasus yang dihadapi.

(43)

lebih rendah daripada pasien penyakit kritis nonbedah atau penyakit bedah tidak

kritis (Suastika, 2007).

Tabel II. Kisaran Sasaran Kadar Glukosa Darah (Suastika, 2007)

Tabel III. Batas Kadar Glukosa Darah Puasa untuk Memulai Terapi Insulin Drip Intravena (Suastika, 2007)

Sebagian besar dari mereka membutuhkan terapi insulin yang

diberikan secara infuse intravena, misalnya pada pasien kritis/akut seperti

hiperglikemia gawat darurat, infark miokard akut, stroke, fraktur, infeksi sistemik,

syok kardiogenik, pasien transplantasi organ, edema anasarka, kelainan kulit yang

luas, persalinan, pasien yang mendapat terapi glukokortikoid dosis tinggi, dan

(44)

20

Tabel IV. Protokol Terapi Insulin Infus Intravena (Suastika, 2007)

Setelah kadar glukosa darah stabil dan pasien mulai mendapatkan

makanan, terapi insulin dapat dialihkan menjadi jalur subkutan dengan tetap

memperhatikan kaidah terapi insulin basal dan bolus, serta disesuaikan dengan

pola respon insulin fisiologis. Terapi insulin infus intravena dapat dihentikan 2

jam setelah pemberian insulin subkutan (Suastika, 2007).

Kebutuhan insulin subkutan dihitung berdasarkan total kebutuhan

insulin infus intravena dalam 24 jam. Dosis total harian insulin subkutan adalah

80% dari dosis total insulin infus intravena selama 24 jam. Dosis total harian

tersebut dibagi menjadi dosis insulin basal dan insulin bolus subkutan. Dosis

insulin basal adalah sebesar 50% dari dosis harian total. Jenis insulin yang

diberikan biasanya long acting insulin (lebih baik digunakan insulin yang tidak

memiliki puncak kerja/peak, seperti insulin glargine atau detemir). Dosis insulin

(45)

dosis dibagi rata sesuai jumlah kali makan, umumnya 3 kali/hari. Jenis insulin

yang diberikan berupa short atau rapid acting insulin (Suastika, 2007).

b) Insulin subkutan

Ada beberapa bentuk pemberian insulin subkutan pada pasien yang

dirawat di rumah sakit, antara lain insulin terjadwal dan insulin koreksi. Program

pemberian insulin terjadwal terbagi atas kebutuhan insulin basal dan insulin

prandial. Insulin basal dapat diberikan dengan menggunakan pompa insulin

(CSII), insulin kerja intermediate (NPH atau premixed) 2-4 kali sehari, atau

insulin analog kerja panjang. Sementara itu, kebutuhan insulin prandial dapat

dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin regular atau rapid acting insulin

analog). Insulin tersebut diberikan sebelum makan atau setelah makan (hanya

untuk penggunaan rapid acting insulin analog) apabila jadwal dan jumlah asupan

makanan tidak pasti( (Suastika, 2007).

(46)

22

Keuntungan yang mendasar dari penggunaan insulin dibandingkan

obat antidiabetik oral dalam pengobatan diabetes melitus adalah insulin terdapat

di dalam tubuh secara alamiah. Selain itu, pengobatan dengan insulin dapat

diberikan sesuai dengan pola sekresi insulin endogen. Sementara itu, kendala

utama dalam penggunaan insulin adalah pemakaiannya dengan cara menyuntik

dan harganya yang relatif mahal (Suastika, 2007).

(47)

2) Obat Hipoglikemik Oral

Pada pasien dengan penyakit yang tidak parah atau pasien yang tidak

dapat digunakan terapi insulin, dapat diberikan terapi dengan obat hipoglikemik

oral. Berdasarkan cara kerjanya obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 3 golongan

yaitu (1) pemicu sekresi insulin yaitu sulfonilurea dan meglitinid; (2) penambah

sensitivitas terhaap insulin yaitu biguanid dan tiazolidindion; (3) penghambat

absorpsi glukosa yaitu penghambat alfa glukosidase.

a) Sulfonilurea

Mekanisme kerja sulfonilurea yaitu meningkatkan rilis insulin dari sel

β pankreas. Telah terbukti bahwa sulfonilurea mengadakan potensiasi eksositosis

pada granul yang mengandung insulin dengan langsung bekerja pada protein

pengikat tersebut. Mekanisme yang lain yaitu menurunkan kadar glukagon dalam

serum, dan menimbulkan efek ekstrapankreatik dengan mengadakan efek

potensiasi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (Katzung, 1995).

Sulfonilurea terdiri dari 2 generasi yaitu sulfonilurea generasi pertama

(tolbutamid, klorproamid,dan asetoheksamid) dan generasi kedua (glimerpiride,

glipizide, dan gluburide). Generasi kedua sulfonilurea memiliki keuntungan dari

generasi pertama yaitu memberikan efek diuretik yang lebih kecil atau bahkan

tidak ada sama sekali, di mana efek antidiuretik merupakan problem yang

potensial pada penggunaan klorpropamid (PriceandWilson, 1995).

b) Meglitinid

Berbeda dengan sulfonilurea, meglinitid tidak mempunyai efek

(48)

24

cepat dengan konsentrasi puncak dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam

setelah pemberian. Klirens repaglinid terjadi di hati dengan waktu paruh plasma1

jam. Oleh karena mula kerjanya yang cepat dan masa kerjanya yang singkat,

repaglinid digunakan mengontrol perjalanan glukosapasca-prandial. Sebaiknya

obat ini digunakan tepat sebelum makan dengan dosis 0,25-4mg (maksimal

16mg/hari). Hipoglikemia merupakan resiko apabila menunda waktu makan atau

tidak makan atau jika makanan tidak cukup mengandung karbohidrat. Sebaiknya

digunakan secara hati-hati untuk pasien dengan gangguan hati. Repaglinid dapat

digunakan secara tunggal atau dikombinasikan dengan biguanid. Dapat digunakan

untuk pasien DM tipe 2 dengan alergi sulfur atau alergi sulfonilurea (Katzung,

1995).

c) Biguanid

Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin.

Fenformin dan buformin tidak dipakai lagi karena efek samping asidosis laktat.

Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin

pada tingkat seluler, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya

menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa

oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga disangka menghambat

absorpsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan. Setelah diberikan secara

oral, metformin mencapai kadar puncak dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi

lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam (Waspadji,2009).

Metformin menurunkan kadar glukosa darah tetapi tidak menyebabkan

(49)

menurunkan kadar glukosa darah sampai 20%. Kadar insulin plasma basal juga

turun. Kombinasi sulfnilurea dengan meftormin tampak merupakan kombinasi

yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif. Kombinasi

sulfonilurea dengan metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah lebih

banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal

keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah. Efek samping gastrointestinal

tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal metformin. Dapat dikurangi dengan

memberikan obat mulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan

makanan (Waspadji, 2009).

d) Thiazolidindion

Thiazolidindion memiliki mekanisme dengan mengikat peroxisome

proliferatorsactiator receptor-γ (PPAR-γ) yang ada di sel lemak dan selvaskuler.

Thiazolidindion meningkatkan sensitivitas jaringan otot, hati,serta jaringan lemak

terhadap insulin secara tidak langsung (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005).

e) Penghambat glukosidase-alfa

Mekanisme penghambat glukosidase-alfa dalah dengan menghambat

enzim-enzim yang ada di usus halus seperti maltase, ismaltase, sukrosa, dan

glukoamilase. Penghambatan enzim-enzim tersebut akan mencegah terjadinya

pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks dengan demikian akan

memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat (Triplitt, Reasner, dan

(50)

26

Efek samping akibat maldesi karbohidrat berupa gejala gastrointestinal

seperti meteorismus, flatulen, dan diare. Flatulen merupakan efek yang tersering,

terjadi pada hampir 50% pengguna obat ini (Waspadji, 2009).

f) Inhibitor DPP-4

Inhibitor DPP-4 memperpanjang waktu paruh dari GLP-1. Agen ini

menstimulasi pelepasan insulin dan menghambat pelepasan glukagon. Penurunan

A1C rata-rata sekitar 0,7% sampai 1% pada dosis100 mg/hari. Oat ini tidak

menyebabkan gangguan pada gastointestinal. Sitagliptin biasanya digunakan dosis

oral100 mg 1 kali sehari. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, dosis harian

harus dikurangi sampai 50 mg (klirens kreatinin 30-50 ml/menit) atau 25 mg

(klirens kreatinin <30 ml/menit). Vildagliptin tidak disetujui oleh Amerika serikat

untuk digunakan sejak Juni 2008. Dosis penggunaan vildagliptin sama dengan

sitagliptin (Scwinghammer, 2009).

(51)

3) Terapi Kombinasi

Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari

kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa

darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi 3 OHO dari kelompok yang

berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. (Soegondo, 2008).

Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan

adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin

kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Bila cara tersebut

kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat

hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja (Soegondo, 2008).

C. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

pengobatan diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta periode Januari 2009-Maret 2010, dan juga memberikan gambaran

(52)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010” ini merupakan

penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat

retrospektif. Rancangan penelitian deskriptif evaluatif bertujuan untuk melakukan

eksplorasi deskriptif terhadap fenomena kesehatan yang terjadi kemudian

mengevaluasi data dari rekam medik (Notoatmodjo, 2005).

Data yang diperoleh bersifat retrospektif yaitu berupa dokumen

terdahulu. Data diperoleh dari lembar rekam medik pasien diabetes melitus tipe 2

non komplikasi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini periode Januari

2009-Maret 2010.

B. Definisi Operasional

1. Drug related problems yang diteliti adalah masalah-masalah yang

berhubungan dengan obat yaitu butuh obat, tidak butuh obat, obat tidak

efektif, dosis kurang, dosis berlebih, adverse drug reaction (ADR) dan interaksi obat.

2. Penggolongan pasien DM tipe 2 non komplikasi dilihat dari hasil print out

(53)

kemudian diinklusikan menjadi DM tipe 2 non komplikasi berdasarkan

diagnosis masuk dan riwayat penyakit pasien.

3. Hiperglikemia yang terdapat pada diagnosis rekam medik adalah keadaan di

mana gula darah pasien melebihi nilai normal namun bukan merupakan

komplikasi dari penyakit DM.

4. Pasien rawat inap adalah pasien yang menjalani terapi di Instalasi rawat Inap

Rumah sakit Panti Rini Yogyakarta pada periode januari 2009-Maret 2010.

5. Data pasien yang digunakan adalah data dari pasien yang memiliki diagnosa

masuk atau riwayat penyakit DM tipe 2 meskipun pasien tersebut dirawat inap

bukan karena penyakit DM yang dideritanya melainkan karena penyakit

penyerta. Rekam medik pasien tersebut juga paling tidak memiliki data kadar

glukosa darah minimal 2 buah selama menjalani rawat inap.

C. Subyek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan adalah 14 pasien DM tipe 2 di instalasi

rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2009-Maret 2010

yang memenuhi kriteria inklusi yaitu yang berdasarkan print out dari instalasi

rekam medik disebut pasien DM kemudian diinklusikan menjadi DM tipe 2 non

komplikasi berdasarkan diagnosa masuk atau riwayat penyakit pasien dengan

memiliki data hasil laboratorium kadar glukosa darah minimal 2 kali selama rawat

(54)

30

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan di sini adalah lembar rekam medik

pasien rawat inap yang menderita diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2009-Maret 2010.

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta, Jalan

Solo Km 12,5 Kalasan, Yogyakarta.

F. Tata Cara Penelitian

Dalam menyelesaikan penelitian ini dibagi menjadi 4 tahap yaitu

sebagai berikut ini.

1. Persiapan

Dilakukan pencarian informasi tentang jumlah pasien diabetes melitus

tipe 2 non komplikasi yang dirawat inap di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

periode Januari 2009-Maret 2010 di bagian rekam medik. Dari print out di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini bahwa jumlah pasien diabetes

melitus yang dirawat inap selama periode Januari 2009-Maret 2010 sebanyak 149

kasus. Dari data tersebut yang merupakan pasien DM tipe 2 sebanyak 126 kasus.

Dari penelusuran data diperoleh jumlah rekam medik yang tidak memiliki data

laboratorium sebanyak 66 kasus. Rekam medik yang memiliki data laboratorium

sebanyak 42 kasus sebanyak 42 kasus. Rekam medik yang memiliki 2 data

laboratorium atau lebih sebanyak 18 kasus. Dari 18 rekam medik tersebut yang

memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien dengan diagnosa masuk atau riwayat DM

(55)

2. Pengambilan data

Tahap pengambilan data ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu sebagai

berikut ini.

a. Tahap penelusuran data

Berdasarkan data dari Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini

diperoleh jumlah pasien DM tipe 2 selama periode Januari 2009-Maret 2010

sebanyak 126 pasien. Dari 126 pasien DM tipe 2 tersebut yang memenuhi kriteria

inklusi sebanyak 14 kasus.

b. Tahap pengumpulan data

Proses pengumpulan data ini dilakukan dengan melihat lembar rekam

medik dari pasien DM tipe 2 non komplikasi di instalasi rawat inap Rumah Sakit

Panti Rini periode Januari 2009-Maret 2010. Data yang dikumpulkan meliputi

identitas pasien, keluhan utama, perjalanan penyakit, diagnosis, riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, catatan perkembangan pasien, serta

terapi yang diberikan.

3. Analisis data

Evaluasi DRPs yang terjadi dalam pengobatan diabetes melitus tipe 2

non komplikasi dilakukan dengan menggunakan pustaka yang sesuai, kemudian

dihitung jumlah kasus yang terjadi DRPs. Dari hasil evaluasi tesebut kemudian

hasil dikelompokkan berdasarkan jenis DRPs dan dihitung prosentasenya. Dalam

penelitian ini ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan obat (uncomplience)

(56)

32

4. Pembahasan kasus

Kasus yang didapat dibahas dengan metode Subjective, Objective, Assessment, Plan(SOAP) kasus per kasus. Literatur yang digunakan adalahDrug

Information Handbook(DIH) edisi 14, MIMS Indonesia edisi 7 2007/2008, Drug Interaction Facts(DIF), ISO Indonesia volume 44 2009/2010, dan Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) 2000.

G. Kesulitan Penulis

Dalam penelitian ini penulis mengalami banyak kesulitan. Kesulitan

yang terdapat selama penelitian adalah tidak lengkapnya catatan dokter maupun

catatan keperawatan dan terjadi kesalahan penulisan nama dagang dalam

penulisan resep maupun dosis. Penelitian ini juga memiliki kelemahan yaitu

penelitian ini bersifat retrospektif sehingga peneliti tidak dapat mengamati

perkembangan pasien terkait dengan DRPs antara lain efek samping obat,

interaksi obat, dan ketaatan pasien.

H. Analisis hasil

Persentase jumlahdrug related problemspasien diabetes mellitus tipe

(57)

33

A. Gambaran Karakteristik 1. Jenis kelamin

Dari data yang didapat, diketahui bahwa penderita DM tipe 2 non

komplikasi yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 29% dan pasien DM tipe 2

yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 71% dari 14 kasus yang dievaluasi.

Dari data yang diperoleh, prevalensi perempuan jauh lebih banyak dibandingkan

laki-laki hal ini mungkin disebabkan karena jumlah populasi wanita lebih banyak

daripada jumlah populasi laki-laki. Sehingga hal ini tidak dapat menjadikan dasar

bahwa DM tipe 2 lebih banyak terjadi pada wanita.

(58)

34

2. Umur

Dari data yang diperoleh, penderita DM tipe 2 non komplikasi dibagi

menjadi 5 kelompok umur yaitu kelompok umur 40-≤49 tahun, >49-≤59 tahun,

>59-≤69 tahun, >69-≤79 tahun, dan >79-≤89 tahun. Dari data yang diperloeh

diketahui bahwa penderita DM tipe 2 paling banyak terdapat pada kelompok usia

>49-≤59 tahun yaitu sebanyak 36% dari 14 data yang dievaluasi. Dari teori

disbutkan bahwa DM tipe 2 biasanya muncul setelah usia 40 tahun akibat gaya

hidup, pola makan, dan kurang berolah raga, dan perokok aktif.

Gambar 2. Diagram Prosentase Pasien DM Tipe 2 Non Komplikasi Berdasarkan Umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010

B. Profil Obat 1. Kelas terapi

Kelas terapi adalah kelompok besar obat yang terdiri dari beberapa

(59)

pada periodenya yaitu berupa obat antidiabetika oral maupun obat lainnya untuk

mengobati penyakit yang diderita maupun komplikasinya. Dari data yang

dievaluasi terdapat 9 kelas terapi yang diberikan pada pasien DM tipe 2 non

komplikasi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode

Januari 2009-Maret 2010 yaitu meliputi obat yang mempengaruhi sistem hormon,

obat kardiovaskuler, antibiotik, obat kulit, obat yang mempengaruhi susunan saraf

pusat, obat saluran pernafasan, obat saluran pencernaan, gizi dan nutrisi, serta

obat analgesik.

Gambar 3. Diagram Kelas Terapi Pasien DM Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010

Keterangan:

a: Obat yang mempengaruhi sistem hormon b: Obat kardiovaskular

c: Antibiotik d: Obat kulit

(60)

36

f: Obat saluran pernafasan g: Obat saluran pencernaan h: Gizi dan nutrisi

i: Obat analgesik

Obat yang mempengaruhi sistem hormon merupakan obat yang paling

banyak digunakan oleh pasien yaitu sebanyak 13 pasien atau 93%. Hal ini sangat

masuk akal karena obat yang mempengaruhi sistem hormon yang kebanyakan

digunakan untuk mengendalikan kadar glukosa darah pasien, terutama pada

sebagian pasien berkaitan dengan pengobatan kejadian hiperglikemia pada pasien

DM. Kelas terapi gizi dan nutrisi memiliki urutan kedua yaitu sebanyak 12 pasien

atau 86% karena sebagian besar pasien yang dievaluasi mendapatkan terapi

berupa suplemen, cairan, maupun elekrolit. Urutan ketiga diikuti oleh kelas terapi

obat saluran pencernaan yang digunakan sebanyak 10 pasien atau sebesar 71%.

Kelas terapi ini juga banyak digunakan karena ada beberapa jenis obat yang

diberikan pada pasien dapat menyebabkan gangguan pada gastrointestinal, untuk

mengatasi efek samping tersebut maka diberikan obat ini. Selain itu terdapat

beberapa pasien yang mengalami masalah pada pencernaan seperti mual, muntah,

atau sembelit. Obat-obat kelas terapi yang lain berguna untuk mengatasi

komplikasi maupun penyakit penyerta yang diderita oleh pasien.

2. Golongan obat

Penggolongan obat pada pasien DM tipe 2 dikelompokkan menjadi 9

(61)

a. Obat yang mempengaruhi sistem hormon

Obat yang mempengaruhi sistem hormon yang digunakan dalam

penelitian ini adalah obat antidiabetik dan kortikosteroid. Obat antidiabetik

digunakan untuk penyakit diabetes melitus. Obat antidiabetik dibedakan menjadi

obat antidiabetik oral dan insulin. Tujuan utama terapi DM adalah mengurangi

risiko terjadinya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular, memperbaiki

gejala yang muncul, mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas

hidup pasien. Kadar glukosa darah pasien DM dijaga agar berada dalam batas

normal yaitu kadar glukosa darah sewaktu 90-130 mg/dl. Kontrol kadar glukosa

darah ini dilakukan dengan mengatur pola makan, dan pemberian obat

antidiabetik. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti pada dokter

spesialis yang banyak menangani kasus DM, penanganan pertama yang dilakukan

untuk mengatasi pasien DM yang dirawat inap adalah dengan memberikan

insulin. Rumah Sakit Panti Rini juga memiliki Pusat Inforasi Diabetes dan

Dislipidemia (PIDD) yang menyelenggarakan senam bagi penderita diabetes

secara rutin bagi penderita DM rawat jalan.

Insulin biasanya digunakan pada penderita DM tipe 1 atau DM yang

tergantung insulin, namun pada pasien DM tipe 2 terdapat kemungkinan untuk

mendapatkan terapi insulin. Pada penelitian ini banyak pasien yang mendapatkan

terapi dengan insulin hal ini dikarenakan efek insulin lebih cepat dibandingkan

obat antidiabetika oral. Selain itu penelitian ini dilakukan pada pasien yang

menjalani rawat inap sehingga pemberian insulin dilakukan oleh tenaga ahli dan

(62)

38

diberikan dengan cara dicampu bersama infus NaCl 0,9% yang disebut drip

insulin. Selain insulin, pada penelitian ini banyak pasien yang mendapatkan

pengobatan dengan menggunakan obat antidiabetika oral. Golongan obat yang

diberikan pada pasien dalam penelitian ini yaitu golongan sulonilurea, biguanid,

inhibitor DPP-4, dan kombinasi.

Tabel VIII. Penggunaan Obat yang Mempengaruhi Sistem Hormon Pada Pasien DM Tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010

No Golongan

Obat Kelompok Nama Generik Nama Dagang ∑

Prosentase (%) Humulin 1 7

1. Insulin -

-RI 4 29

glibenklamide 1 7

Gluvas® 2 14 Anpiride® 1 7 glimepiride

Amaril® 1 7 sulfonilurea

gliklazid Glucodex® 3 21 Glumin XR® 1 7 biguanid Metformin HCl

Gludepatik® 2 14 Inhibitor

DPP-4 vildagliptin Galvus® 1 7 2.

Obat antidiabetika

oral

Kombinasi

Glucovance® 1 7 furosemide Farsix® 1 7 3. Kortikosteroid 6-α

-metilprednisolon Sanexon® 1 7

Keterangan: 1 pasien dapat menerima lebih dari 1 obat hormonal

b. Obat kardiovaskular

Pada penelitian ini, obat kardiovaskuler yang digunakan adalah

golongan obat dislipidemia, diuretik, antiangina, antihipertensi, obat jantung,

antikoagulan, dan hepatoprotektor.

Tujuan diberikan obat antihipertensi pada penelitian ini adalah untuk

mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular akibat tekanan darah tinggi.

(63)

hanya terdapat 1 pasien yang menggunakan obat antihipertensi. Pada pasien yang

tidak mengalami hipertensi boleh diberikan antihipertensi untuk mengontrol

tekanan darah, akan tetapi dosis hipertensi yang diberikan adalah dosis kecil.

Golongan diuretik yang digunakan pada penelitian ini adalah

furosemid. Furosemid merupakan diuretik kuat yang digunakan untuk edema dan

oliguria karena gagal ginjal. Dari data yang dievaluasi, pada penelitian ini diuretik

digunakan oleh 2 pasien atau sebesar 14%.

Golongan antikoagulan, antiplatelet bekerja dengan mengahmbat atau

mengurangi penumpukan platelet pada darah. Penumpukan platelet akan

berpindah pada bagian yang luka daripembuluh darah dan menempel di situ dan

dapat menyumbat. Penyumbatan ini dapat mengakibatkan tertutupnya arteri atau

mungkin akan pecah dan menutup arteri yang kecil. Pada penelitian ini

antikoagulan yang digunakan adalah klopidogrel pada 1 pasien.

Obat dislipidemia adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan

lemak dalam tubuh. Lemak berperan pada pembentukan arterosklerosis terutama

low density lipoprotein (LDL) maka pada pasien DM diperlukan pengontrolan lemak dengan menggunakan obat dislipidemia. Pada penelitian ini obat

dislipidemia yang paling banyak digunakan adalah golongan fenofibrat.

Sebaiknya lebih digunakan obat dengan golongan statin karena statin merupakan

pilihan utama yang disarankan untuk obat disipidemia.

Hepatoprotektor digunakan untuk melindungi atau memperbaiki fungsi

hati. Dalam penelitian ini heptoprotektor yang digunakan adalah Curliv. Curliv

(64)

40

Tabel IX. Penggunaan Obat Kardiovaskular Pada Pasien DM tipe 2 Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari 2009-Maret 2010

No Golongan

Obat Kelompok Nama Generik Nama Dagang ∑

Prosentase (%)

simvastatin 1 7

pravastatin Na Cholespar® 1 7 statin

norepinephrine

bitartrate Vascon® 1 7 Lifen® 2 14 1. Obat

dislipidemia

fibrat fenofibrat

Evothyl® 2 14

2. Diuretik furosemide Lasix 2 14

3. Antiangina isosorbid dinitrat Cedocard® 1 7 4. Antihipertensi Golongan

lain clonidin 1 7

ACE

inhibitor captopril 1 7

5. Obat jantung digoxin Digoxin 1 7

6.

Antikoagulan, antiplatelet, dan

trombolitik

klopidogrel Plavix® 1 7

7.

Kolagogum, kolelitolitik, dan

hepatoprotektor

Curliv® 2 14

Keterangan: 1 pasien dapat menerima lebih dari 1 obat kardiovaskuler

c. Antibiotik

Penggunaan antibiotik pada pasien DM sangat penting karena

lingkungan yang mengandung kadar glukosa tinggi merupakan tempat

perkembangbiakan bakteri. Pada penelitian ini, antibiotik digunakan untuk

mengatasi penyakit penyerta atau komplikasi pada pasien DM seperti infeksi

saluran kencing (ISK) dan sepsis. Penggunaan antibiotik yang paling banyak

Gambar

Tabel I. Tabel Sasaran terapi dari pengobatan DM (Schwinghammer, 2009).
Tabel IV. Protokol Terapi Insulin Infus Intravena (Suastika, 2007)
Tabel V. Protokol Terapi Insulin Subkutan (Suastika, 2007)
Tabel VII. Mekanisme Kerja, Efek Samping Utama, dan Pengaruh TerhadapPenurunan A1c (Soegondo, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa Drug Related Problems (DRPs) pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit

Skripsi yang berjudul “Kajian Drug Related Problems (DRP s) pada pasien persalinan preterm di Instalasi rawat inap RSUD Dr.. Moewardi tahun 2010” ini disusun sebagai salah

Pola pengobatan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi yang dirawat di R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 berdasarkan kelas terapi,

Daftar Nama Obat yang Digunakan dalam Pengobatan pada Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Tahun

Damayanti, D., 2000, Gambaran Penggunaan Obat pada Pasien Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Periode Agustus-September Tahun 1998, Skripsi

Pola pengobatan pada terapi pasien hepatitis B non-komplikasi yang dirawat di R.S Panti Rapih Yogyakarta periode Januari – Juni 2007 berdasarkan kelas terapi,

Penelitian dari 80 pasien hipertensi di instalasi rawat inap RS “Y” selama periode bulan Januari hingga Desember tahun 2015 dapat disimpulkan bahwa persentase

yang terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi dan komplikasi diabetes retinopati di instalasi rawat inap RSUP Haji Adam Malik selama januari