• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 4 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 4 Universitas Kristen Petra"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

4 2.1. Proses Produksi Keramik

PT X memiliki dua jenis proses produksi yaitu proses single firing dan proses double firing. Proses single firing yaitu keramik mengalami proses pembakaran satu kali saja dan biasanya digunakan untuk keramik lantai. Proses double firing yaitu proses pembakaran yang dilakukan hingga dua kali dan biasanya digunakan untuk keramik dinding. Untuk dapat mengetahui langkah- langkah pembuatan keramik maka digunakan peta proses operasi (Operating Process Chart). Berikut merupakan Operating Process Chart (OPC) dari keramik proses single firing:

(2)

O-1

O-2

Crushing

Weighing

Larutan Pengencer Air

O-3

I-1 Milling (Ball Mill) Hard Material (Kwarsa &Feldspar)

O-4

I-2 Penampungan (Slurry)

O-5

I-3 Spray Drying

O-7 I-4

O-6 Penampungan (Silo)

Pressing (Mesin Pres) Tanah Liat (Clay Material)

O-9 Weighing Glaze Material

O-10 Milling

O-11

I-6 Glaze Application

O-13

I-7 Firing (Kiln)

O-14 Sorting

O-15 Packing

I-8 Inspeksi Akhir

S-1 Storage

Drying (mesin drying)

O-12 Drying (mesin drying) PETA PROSES OPERASI

Nama Proyek : Pembuatan Keramik Nomor Peta : 1

Dipetakan Oleh : Daniel dan Yohanes Tanggal Dipetakan : 31 Januari 2007

Karton Palet Tinta Coretan

Lem Strapping Band

O-8 I-5 Air

Gambar 2.1. OPC Pembuatan Keramik

(3)

Keterangan:

O-1 : Proses Crushing yaitu proses menghancurkan hard material menjadi butiran batuan dengan ukuran sekitar 6 mm. Hard material di sini berupa batuan kwarsa (sebagai kerangka ubin), feldspar (untuk memberi kekuatan setelah pembakaran) dan kapur.

O-2 : Proses Weighing yaitu proses penimbangan hard material dan clay material sesuai dengan jumlah komposisi yang telah ditentukan. Clay material yang dimaksud di sini yaitu tanah liat yang digunakan khusus untuk membuat keramik. Tanah liat ini berfungsi sebagai pemberi sifat plastis dan kekuatan sebelum pembakaran yang dalam beberapa prosesnya terdapat beberapa warna pada campuran seperti agak merah (banyak kandungan besi), hijau (banyak kandungan kompos), serta putih (banyak kandungan aluminium) yang merupakan bahan pengikat.

O-3, I-1: Proses Milling yaitu mencampur hard material, clay material, larutan pengencer dan air menjadi satu dan menggilingnya dengan menggunakan ball mill. Campuran yang dihasilkan dari penggilingan ini dinamakan slip. Pada mesin ball mill, terdapat batuan khusus untuk membantu penggilingan tadi. Batu yang terdapat dalam ball mill akan habis dalam jangka waktu tertentu dan diganti lagi. Pada proses ini dilakukan pengendalian kualitas terhadap komposisi campuran.

Adapun beberapa kriteria yang digunakan dalam pengendalian kualitas yang dimaksud yaitu:

• Berat jenis/densitas slip.

• Viskositas (° E, derajat Engler) slip.

• Residu slip.

Yaitu penimbangan jumlah butiran dari slip yang dihasilkan dengan menggunakan saringan. Penimbangan residu ini dilakukan dengan menggunakan menggunakan saringan 230 (230 mesh) dengan standar 63 (mikron).

(4)

O-4, I-2: Proses penampungan dan homogenitas slip tadi dalam suatu wadah yang dinamakan sumur slurry. Pada proses ini juga dilakukan pengendalian kualitas. Adapun beberapa kriteria yang digunakan dalam pengendalian kualitas yang dimaksud yaitu:

• Berat jenis slip.

• Viskositas slip.

• Residu slip.

O-5, I-3: Proses Spray Drying yaitu proses menyemprotkan slip yang telah ditampung tadi untuk kemudian dialirkan uap panas. Proses ini dilakukan untuk memisahkan tanah liat dari kandungan air menjadi bubuk (powder) yang memiliki kandungan air 1% - 5 %. Pada proses ini juga dilakukan pengendalian kualitas, beberapa kriteria yang ada yaitu:

• Kadar air

Yaitu pengecekan kandungan air agar tidak melebihi 6%. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam pembentukan keramik.

Powder yang terlalu besar kadar airnya akan membuat powder tersebut lengket pada mesin press ketika proses pengepresan, sedangkan powder yang terlalu kecil kandungan airnya tidak akan mempunyai kerekatan ketika dibentuk menjadi keramik.

• Granulasi

Pada proses ini juga dilakukan pengecekan ukuran dari partikel powder yang ada.

O-6 : Proses penampungan powder dalam silo. Hal ini dilakukan agar powder menjadi homogen (kandungan airnya sama). Biasanya powder tersebut diendapkan rata-rata 1 hari untuk kemudian masuk ke proses selanjutnya.

(5)

O-7, I-4 : Proses pengepresan powder menjadi keramik dengan ukuran-ukuran tertentu dengan menggunakan mesin press. Pada proses ini dilakukan pengendalian kualitas dengan beberapa kriteria, yaitu:

• Kadar air powder.

• Ketebalan dari green body

Ketebalan dari hasil cetakan (body) diukur agar sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.

• Tekanan press body tegel.

• Berat dari green body.

• Kepadatan green body.

Kepadatan diukur dengan menggunakan alat penetro.

• Uji bakar green body digunakan untuk melihat ukuran tegel setelah dibakar.

O-8, I-5 : Proses pengeringan (drying) keramik yang telah dipress tadi dengan menggunakan mesin dryer. Pada proses ini, kandungan air yang terdapat pada hasil pengepresan dijaga agar kurang dari 1% yaitu sekitar 0,5-0,6%. Pada proses ini juga dilakukan pengecekan terhadap temperatur dari mesin drying.

O-9 : Proses Weighing yaitu proses penimbangan glaze material sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan. Glaze material ini nantinya akan digunakan untuk melapisi keramik.

O-10 : Proses Milling yaitu proses penggilingan dari bahan glaze material agar memiliki sifat yang homogen.

O-11, I-6: Proses Glaze Application yaitu proses melapisi keramik yang sudah dicetak tadi dengan bahan glaze material. Lapisan-lapisan yang termasuk glaze application yaitu lapisan engobe, glasur dan printing.

Beberapa teknik yang digunakan dalam glazing yaitu campana (memberikan lapisan glaze material secara vertikal dan disc (melapisi keramik dengan cara membuat kabut glassure). Pada proses glazing ini juga dilakukan pelapisan engobe (antara glassure dengan body).

Pada proses ini juga dilakukan pengendalian kualitas. Adapun beberapa kriteria yang digunakan yaitu:

(6)

• Berat jenis aplikasi, engobe, glasur dan pasta.

• Viskositas aplikasi, engobe, glasur dan pasta.

• Berat aplikasi, engobe, glasur dan pasta.

O-12 : Proses drying keramik yang telah diglassure untuk mengurangi kandungan airnya. Proses drying ini dilakukan dengan menggunakan udara panas.

O-13, I-7: Proses Firing yaitu proses pembakaran keramik yang telah dilapisi glaze material tadi dengan menggunakan mesin kiln. Pembakaran dilakukan dengan menggunakan temperatur rata-rata 1150° C. Pada proses pembakaran ini juga dilakukan pengendalian kualitas dengan beberapa kriteria yaitu:

• Cacat body.

• Cacat aplikasi.

• Cacat kiln.

Biasanya keramik yang dibakar dapat berjalan keluar dari jalur yang ada dan kemudian bertabrakan dengan roll/pembatas dari jalur tersebut.

• Planarity (kelurusan) dari keramik.

• Size (ukuran) dari keramik.

O-14 : Proses Sorting yaitu proses memilah-milah keramik yang sudah jadi menjadi beberapa kriteria. Pada proses ini keramik akan digolongkan dalam tiga golongan yaitu keramik dengan kualitas A, B, dan C. Untuk jenis keramik selain kualitas A, B, dan C maka akan digolongkan dalam golongan D. Keramik kualitas D ini nantinya akan dijual dengan harga di bawah rata-rata. Pada keramik yang rusak (maksimum 30%

dari luas keramik) akan digolongkan dalam keramik dumping.

Untuk memisahkan kualitas dari keramik yang disortir maka digunakan tinta coretan. Coretan untuk masing-masing kualitas dibedakan dari letak dari coretannya. Coretan ini nantinya akan dibaca oleh sensor untuk kemudian dipisahkan ke dalam masing-masing kualitasnya.

(7)

O-15: Proses Packing yaitu proses pengepakan keramik dalam kardus dengan dicantumkan keterangan berdasarkan kualitas keramik tersebut. Proses pengepakan ini biasa dilakukan oleh robot dan manusia. Untuk proses ini, keramik dengan kualitas A, B, dan C akan dipacking dengan menggunakan robot/manusia dengan kardus bercorak sesuai dengan jenis keramik itu sendiri sedangkan keramik dengan kualitas D akan diambil manual oleh operator dan menggunakan kardus coklat dan stempel.

I-8 : Inspeksi Akhir yaitu proses sampling penerimaan yang dilakukan oleh bagian QA (Quality Assurance) dan untuk meminimalkan jumlah keramik yang tidak sesuai dengan kualitasnya sebelum dikirim ke konsumen.

S-1 : Proses penyimpanan keramik yang telah lolos inspeksi akhir ke dalam gudang untuk kemudian dikirimkan ke konsumen.

2.2. Seven Tools untuk Pengendalian Kualitas

Ada banyak macam alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan memecahkan masalah pengendalian kualitas. Diantaranya adalah penggunaan seven tools yang dapat digunakan untuk mendeteksi kecacatan yang terjadi.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai seven tools yang pada umumnya digunakan.

2.2.1. Diagram Pareto

Diagram Pareto adalah sebuah peta yang terdiri atas batangan-batangan yang diurutkan dari nilai yang terbesar sampai yang terkecil (Hitoshi Kume, 1989). Data yang diplotkan biasanya adalah berupa kecacatan. Diagram ini sangat berguna untuk melihat cacat yang paling banyak terjadi untuk kemudian diambil tindakan atau ditangani. Keuntungan lain dari diagram ini adalah penggunaan prinsip 80-20 yang artinya, 80% kecacatan yang terjadi timbul karena 20%

masalah.

Langkah-langkah untuk membuat diagram Pareto antara lain:

1. Menentukan permasalahan apa yang akan diteliti dan bagaimana cara mengumpulkan data.

a. Menentukan macam masalah yang ingin diteliti.

(8)

Contoh: item rusak, kerugian dalam arti moneter, kejadian kecelakaan.

b. Menetapkan data apa yang diperlukan dan mengklasifikasikannya.

Contoh: rusak berdasarkan tipe, lokasi proses, mesin, pekerja, metode.

Catatan: item yang jarang muncul diringkas dalam judul “lain-lain”.

c. Menetapkan metode pengumpulan data dan periode selama data dikumpulkan.

Catatan: dianjurkan menggunakan formulir penelitian yang dianjurkan.

2. Merencanakan lembaran catatan data yang mendaftar semua item, dengan menyediakan ruang untuk jumlah total.

3. Mengisi lembaran catatan dan menghitung jumlah total.

4. Membuat lembaran data diagram Pareto yang mendaftar semua item, masing- masing jumlah total, total kumulatif, prosentase terhadap total seluruhnya, dan prosentase kumulatif.

5. Mengatur item dalam urutan jumlah, dan mengisi lembaran data.

Catatan: item “lain-lain” harus diletakkan pada garis terakhir, tanpa mempermasalahkan berapa besarnya. Hal ini disebabkan oleh karena merupakan kumpulan grup item yang masing-masing lebih kecil dari item terkecil yang dicatat sebagai individu.

6. Menggambar dua sumbu vertikal dan sebuah sumbu horisontal.

a. Sumbu Vertikal

• Sumbu Vertikal Kiri

Menandai sumbu ini dengan skala dari 0 sampai total seluruhnya.

• Sumbu Vertikal Kanan

Menandai sumbu ini dengan skala dari 0% sampai 100%.

b. Sumbu Horisontal

Membagi sumbu ini dengan jumlah interval sampai jumlah item yang diklasifikasikan.

7. Membuat diagram balok.

8. Menggambar kurva kumulatif (kurva Pareto).

Menandai nilai kumulatif (total kumulatif atau prosentase kumulatif), di atas interval kanan dari setiap item, dan menghubungkan titik-titik tersebut dengan garis.

(9)

9. Menulis item-item yang diperlukan pada diagram.

• Item yang berhubungan dengan diagram: judul, kuantitas sebenarnya, unit, nama penggambar.

• Item yang berhubungan dengan data: periode, pokok, tempat penelitian, dan jumlah total data.

Contoh dari diagram Pareto dapat dilihat pada Gambar 2.2.

PBR K B P

PDR

5 8

9 73

5.3 8.4

9.5 76.8

100.0 94.7

86.3 76.8

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

100

80

60

40

20

0

Defect

Count Percent Cum %

Percent

Count

Diagram Pareto untuk Kecacatan Tube

Gambar 2.2. Contoh Diagram Pareto

2.2.2. Cause and Effect Diagram (Diagram Fishbone)

Output atau hasil suatu proses dapat diatributkan dengan banyak faktor, dan hubungan sebab-akibat dapat ditemukan di antara faktor-faktor tersebut. Kita dapat menentukan struktur atau hubungan sebab-akibat yang berlipat dengan mengamatinya secara sistematik. Sangat sulit memecahkan masalah yang kompleks tanpa memperhatikan strukturnya, yang terdiri dari rantai sebab-akibat, dan diagram sebab-akibat adalah metode untuk menyatakan hal ini secara sederhana dan mudah.

Diagram sebab-akibat adalah sebuah diagram yang menunjukkan hubungan antara karakteristik mutu dan faktor. Diagram ini berfungsi sebagai alat untuk membantu mengorganisasi informasi tentang penyebab-penyebab potensial

(10)

dari suatu masalah. Ada lima faktor utama yang mempengaruhi adalah metode (misalnya salah dalam menerapkan metode), material, mesin (misalnya mesin tidak berfungsi lagi dengan baik karena umurnya sudah tua), orang (misalnya kecerobohan operator, tidak disiplin), dan lingkungan (misalnya suara yang bising).

Diagram sebab-akibat juga disebut “diagram tulang ikan atau fishbone diagram” karena seolah olah seperti kerangka ikan, yang ditunjukkan seperti Gambar 2.3. Atau kadang-kadang juga disebut “diagram pohon” atau “diagram sungai”, tetapi nama “diagram tulang ikan” yang paling sering digunakan.

Langkah-langkah membuat diagram Sebab-akibat untuk mengidentifikasikan sebab adalah:

a. Menentukan karakteristik mutu.

b. Memilih satu karakteristik mutu dan menulis pada sisi kanan, kemudian menggambar tulang belakang dari kiri ke kanan dan memberi kotak pada karakteristik mutu. Selanjutnya, menulis sebab utama yang mempengaruhi karakteristik mutu sebagai tulang yang besar dan juga diberi kotak.

c. Menulis sebab lanjutan (sebab kedua) yang mempengaruhi tulang besar (sebab utama) sebagai tulang ukuran sedang, dan menulis sebab berikutnya (sebab ketiga) yang mempengaruhi tulang sedang sebagai tulang kecil.

d. Menentukan kepentingan setiap faktor dan menandai faktor yang kelihatannya mempunyai pengaruh besar pada karakteristik mutu.

e. Mencatat informasi yang diperlukan.

Cara membuat diagram Sebab-akibat oleh sebab yang terdaftar sistematik adalah:

a. Menentukan karakteristik mutu.

b. Menemukan sebanyak mungkin sebab yang mempengaruhi karakteristik mutu.

c. Mencari hubungan diantara sebab dan membuat diagram sebab-akibat dengan menghubungkan elemen-elemen tersebut dengan karakteristik mutu dengan hubungan sebab-akibat.

d. Menentukan kepentingan pada setiap faktor, dan menandai faktor yang penting yang kelihatan mempunyai pengaruh jelas pada karakteristik mutu.

e. Menulis informasi-informasi yang diperlukan.

(11)

Contoh diagram Cause and Effect dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Saat di truk Cacat awal

Letak

Gambar 2.3. Contoh Diagram Cause and Effect

2.3. Definisi Ergonomi

Istilah “ergonomi” berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan desain perancangan. Ergonomi berkenaan pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan manusia di tempat kerja (Nurmianto, 1991). Di dalam ergonomi dibutuhkan studi tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja, dan lingkungannya saling berinteraksi dengan tujuan utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan manusianya.

Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun (design) ataupun rancang ulang (redesign) yaitu perancangan ulang suatu alat kerja yang sudah ada dengan penambahan maupun penyesuaian tertentu sehingga dapat sesuai dengan manusia yang menggunakan. Di samping itu ergonomi juga memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor keselamatan, kesehatan maupun kenyamanan kerja misalnya desain tempat kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia. Penerapan faktor

Supplier

Bentuk Penyok

Penyusun an

(12)

ergonomi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah untuk desain dan evaluasi produk. Produk-produk ini haruslah dapat dengan mudah diterapkan (dimengerti dan digunakan) pada sejumlah populasi masyarakat tertentu tanpa mengakibatkan bahaya dalam penggunaannya.

2.4. Dasar Keilmuan dari Ergonomi

Ilmu-ilmu terapan yang banyak berhubungan dengan fungsi tubuh manusia adalah anatomi dan fisiologi. Untuk menjadi ergonom diperlukan pengetahuan dasar tentang fungsi dari sistem kerangka otot. Yang berhubungan dengan hal tersebut adalah kinesiologi (mekanika pergerakan manusia) dan biomekanika (aplikasi ilmu mekanika teknik untuk analisis sistem kerangka, otot manusia). Ilmu-ilmu ini akan memberikan modal dasar untuk mengatasi masalah postur dan pergerakan manusia di tempat dan ruang kerjanya.

Di samping itu, suatu hal yang vital pada penerapan ilmiah untuk ergonomi adalah antropometri (dimensi tubuh manusia). Dalam hal ini terjadi penggabungan dan pemakaian data antropometri dengan ilmu-ilmu statistik yang menjadi prasyarat utamanya.

2.5. Antropometri

Antropometri adalah studi tentang tubuh manusia yang digunakan dalam mendesain suatu sistem. Suatu desain yang digunakan untuk kepentingan manusia harus melibatkan dimensi tubuh manusia baik dalam hal lingkungan/tempat kerja maupun produk/alat. Antropometri menurut Stevenson (1989) yang dikutip Nurmianto (1991) merupakan kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik manusia baik bentuk, ukuran, dan kekuatan serta penerapan data tersebut untuk penanganan masalah desain.

2.5.1. Sumber Variabilitas

Perbedaan antara satu populasi dengan populasi yang lain adalah dikarenakan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

(13)

1. Jenis kelamin

Secara umum, dimensi tubuh pria lebih besar bila dibandingkan dengan dimensi tubuh wanita kecuali panggul, paha, dan ketebalan lipatan kulit. Oleh karenanya data antropometri untuk kedua jenis kelamin tersebut harus dipisah.

2. Usia

Secara umum, dimensi tubuh manusia tumbuh mulai bayi sampai kira-kira berumur 20 tahun. Setelah itu, pertumbuhan akan berhenti atau malah berkurang terutama setelah berumur 40 tahun, tinggi manusia mempunyai kecenderungan untuk menurun yang antara lain disebabkan oleh berkurangnya elastisitas tulang belakang (intervertebral discs). Selain itu juga berkurangnya dinamika gerakan tangan dan kaki.

3. Posisi tubuh

Posisi tubuh yang berbeda akan menghasilkan dimensi yang berbeda pula.

Karena itu, suatu standar harus digunakan untuk menghasilkan dimensi yang berlaku secara universal.

4. Jenis pekerjaan

Beberapa jenis pekerjaan menuntut adanya persyaratan dalam seleksi karyawan/stafnya. Seperti misalnya buruh dermaga/pelabuhan harus mempunyai postur tubuh yang relatif lebih besar dibandingkan dengan karyawan perkantoran pada umumnya.

5. Pakaian

Ketebalan pakaian yang digunakan pada saat pengukuran akan menambah ukuran dimensi tubuh sehingga akan berpengaruh pada hasil pengukuran dimensi tubuh manusia. Selain itu pakaian juga akan berpengaruh terhadap keleluasaan gerak.

6. Faktor kehamilan pada wanita

Faktor kehamilan juga akan berpengaruh pada pengukuran dimensi tubuh.

Faktor ini sudah jelas akan mempunyai pengaruh perbedaan yang berarti jika dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Oleh karena itu perancangan alat kerja harus dapat disesuaikan juga untuk wanita hamil.

(14)

7. Cacat tubuh secara fisik

Dalam perancangan, diperlukan desain yang ergonomis untuk para penderita cacat tubuh secara fisik sehingga mereka dapat ikut serta merasakan

”kesamaan” dalam penggunaan fasilitas kerja sesuai dengan ilmu ergonomi.

Data antropometri di sini akan diperlukan untuk perancangan produk bagi orang-orang cacat (kursi roda, kaki/tangan palsu, dan lain-lain).

2.5.2. Penggunaan Data Antropometri

Data antropometri akan menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang tepat yang berkaitan dengan produk yang dirancang dan manusia yang akan mengoperasikan menggunakan produk tersebut. Dalam kaitan ini maka perancang produk harus mampu mengakomodasikan dimensi tubuh dari populasi terbesar yang akan menggunakan produk hasil rancangannya tersebut. Dalam menentukan ukuran maksimum atau minimum biasanya digunakan 5-th dan 95-th persentil.

Dalam antropometri, angka 95-th akan menggambarkan ukuran manusia yang terbesar dan 5-th persentil akan menunjukkan ukuran terkecil. Rancangan produk yang dapat diatur secara fleksibel jelas memberikan kemungkinan lebih besar bahwa produk tersebut akan mampu dioperasikan oleh setiap orang meskipun ukuran tubuh mereka akan berbeda-beda.

2.5.3. Jenis Pengukuran Antropometri

Alat ukur yang harus digunakan untuk mengukur antropometri adalah antropometer. Pada pengukuran posisi duduk harus disediakan bangku atau kursi dengan ukuran 40x40 cm tanpa sandaran. Secara umum pengukuran antropometri dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:

a. Pengukuran antropometri statis/dimensi struktural Dimensi struktural/antropometri statis

Jenis pengukuran ini biasanya dilakukan dalam dua posisi yaitu posisi berdiri dan duduk di kursi. Data diambil pada saat posisi tubuh dalam keadaan diam dan standar.

(15)

Posisi berdiri:

1. Tinggi badan 2. Tinggi mata 3. Tinggi bahu 4. Tinggi siku 5. Tinggi pinggang 6. Tinggi tulang pinggul

7. Tinggi kepalan tangan posisi siap 8. Tinggi jangkauan atas

9. Panjang depa 10. Panjang lengan 11. Panjang lengan atas 12. Panjang lengan bawah 13. Lebar bahu

14. Lebar dada

Gambar 2.4. Pengukuran Antropometri Posisi Berdiri Sumber: Tarwaka (2004, halaman 22)

(16)

Posisi duduk:

1. Tinggi kepala 2. Tinggi mata 3. Tinggi bahu 4. Tinggi siku 5. Tinggi pinggang 6. Tinggi tulang pinggul 7. Panjang butoock-lutut

8. Panjang butoock-popliteal (lekuk lutut) 9. Tinggi telapak kaki-lutut

10. Tinggi telapak kaki-popliteal (lekuk lutut) 11. Panjang kaki (tungkai-ujung jari kaki) 12. Tebal paha

Gambar 2.5. Pengukuran Antropometri Posisi Duduk Sumber: Tarwaka (2004, halaman 22)

b. Pengukuran antropometri dinamis/dimensi fungsional

Data diambil untuk berbagai posisi tubuh yang sedang bekerja. Beberapa dimensi fungsional yang penting adalah panjang dan tinggi pada posisi

(17)

2.6. Aplikasi Ergonomi untuk Perancangan Tempat Kerja

Perancangan tempat kerja pada dasarnya merupakan suatu aplikasi data antropometri, tetapi masih memerlukan dimensi fungsional yang tidak terdapat pada data statis. Dimensi-dimensi tersebut lebih baik diperoleh dengan cara pengukuran langsung daripada data statis. Misalnya, gerakan menjangkau, mengambil sesuatu, mengoperasikan suatu alat adalah suatu hal yang sukar untuk didefinisikan. Ada dua aspek penting dari perancangan tempat kerja yaitu:

• Daerah kerja horisontal pada sebuah bangku.

• Ketinggiannya dari atas lantai.

2.6.1. Daerah Kerja Horisontal

Diperlukan untuk mendefinisikan batasan-batasan dari suatu daerah kerja horisontal untuk memastikan bahwa material atau alat kontrol tidak dapat ditempatkan begitu saja diluar jangkauan tangan. Batasan untuk jarak menjangkau semakin meningkat jika operator mengendalikan beberapa macam gerakan tubuh.

Sebagai contoh, operator duduk yang menghindari gangguan keseimbangan pada saat menjangkau. Bahkan jika berdiri, jangkauan ke depan dibatasi oleh pinggiran bangku, hal ini akan dapat mengganggu keadaan badan dan menimbulkan tekanan pada punggung.

Dalam buku R. M. Barnes (Motion and Time Study, terbit tahun 1980) yang dikutip oleh Sritomo Wignjosoebroto (2003) mendefinisikan daerah kerja normal dan maksimum, dengan batasan yang ditentukan oleh ruas tengah jari (mid points of fingers), sebagai berikut:

• Daerah Normal

Lengan bawah yang berputar pada bidang horisontal dengan siku tetap.

• Daerah Maksimum

Lengan direntangkan keluar dan diputar sekitar bahu.

(18)

Gambar 2.6. Dimensi Standar Daerah Normal dan Maksimum Area Kerja Bidang Horisontal untuk Operator Laki-laki

Sumber: Sritomo Wignjosoebroto (2003, halaman 79)

Gambar 2.7. Dimensi Standar Daerah Normal dan Maksimum Area Kerja Bidang Horisontal untuk Operator Wanita

Sumber: Sritomo Wignjosoebroto (2003, halaman 79)

2.6.2. Ketinggian Bangku/Kursi Kerja

Ada dua macam dasar untuk menentukan ketinggian permukaan kerja yaitu:

a. Bangku atau mesin yang tepat untuk bekerja sambil berdiri (walaupun duduk dan berdiri bergantian adalah suatu hal yang mungkin dan diikuti dengan tersedianya kursi yang sesuai).

b. Bangku atau kursi yang disesuaikan hanya untuk pekerjaan sambil duduk.

(19)

Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam perancangan untuk ketinggian dua jenis permukaan kerja yaitu:

a. Hindari beban otot yang terlalu berat yang disebabkan oleh lengan atas yang disampingkan terlalu tinggi.

b. Hindari tekanan tajam pada sisi lengan dengan bagian bawah dari pinggiran bangku, jika permukaan tempat kerja terlalu tinggi.

c. Hindari posisi membungkuk secara terus jika permukaan tempat kerja terlalu rendah.

2.6.2.1. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Duduk

Posisi tubuh dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain:

pembebanan pada kaki, pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi. Namun demikian, kerja dengan sikap duduk terlalu lama dapat menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang akan melengkung sehingga cepat lelah.

Mengingat posisi duduk mempunyai keuntungan maupun kerugian, maka untuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik tanpa pengaruh buruk pada tubuh, perlu dipertimbangkan pada jenis pekerjaan apa saja yang sesuai dilakukan dengan posisi duduk. Menurut Pulat (1992) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), memberikan pertimbangan tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi duduk adalah sebagai berikut:

1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki.

2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan.

3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar.

4. Objek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih dari 15 cm dari landasan kerja.

5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi.

6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama.

7. Seluruh objek yang dikerjakan masih dalam jangkauan dengan posisi duduk.

(20)

Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk, tempat duduk yang dipakai harus memungkinkan untuk melakukan variasi perubahan posisi. Ukuran tempat duduk disesuaikan dengan dimensi ukuran antropometri pemakainya.

Fleksi lutut membentuk sudut 90° dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki. Jika landasan kerja terlalu rendah, tulang belakang akan membungkuk ke depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari posisi rileks, sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman. Menurut Sanders dan Mc Cormick (1987) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), memberikan pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja pada posisi duduk sebagai berikut:

1. Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diatur turun dan naik.

2. Landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horisontal atau sedikit menurun.

3. Ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang berlebihan.

2.6.2.2. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Berdiri

Selain posisi kerja duduk, posisi berdiri juga banyak ditemukan di perusahaan. Seperti halnya posisi duduk, posisi kerja berdiri juga mempunyai keuntungan maupun kerugian. Menurut Sutalaksana (2000) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), bahwa sikap berdiri merupakan sikap siaga baik fisik maupun mental, sehingga aktivitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat, dan teliti.

Namun demikian mengubah posisi duduk ke berdiri dengan masih menggunakan alat kerja yang sama akan melelahkan. Pada dasarnya berdiri itu sendiri lebih melelahkan daripada duduk dan energi yang dikeluarkan untuk berdiri lebih banyak 10-15% dibandingkan dengan duduk.

Untuk meminimalkan pengaruh kelelahan dan keluhan subjektif maka pekerjaan harus didesain agar tidak terlalu banyak menjangkau, membungkuk, atau melakukan gerakan dengan posisi yang tidak alamiah. Untuk maksud tersebut Pulat (1992) dan Clark (1996) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), memberikan

(21)

pertimbangan tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi berdiri adalah sebagai berikut:

1. Tidak tersedia tempat untuk kaki dan lutut.

2. Harus memegang objek yang berat (lebih dari 4,5 kg).

3. Sering menjangkau ke atas, ke bawah, dan ke samping.

4. Sering dilakukan pekerjaan dengan menekan ke bawah.

5. Diperlukan mobilitas tinggi.

2.6.2.3. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Dinamis

Desain stasiun kerja sangat ditentukan oleh jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan. Baik desain stasiun kerja untuk posisi duduk maupun berdiri keduanya mempunyai keuntungan dan kerugian. Menurut Clark (1996) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), mencoba mengambil keuntungan dari kedua posisi tersebut dan mengkombinasikan desain stasiun kerja untuk posisi duduk dan berdiri menjadi satu desain dengan batasan sebagai berikut:

1. Pekerjaan dilakukan dengan duduk pada suatu saat dan pada saat lainnya dilakukan dengan berdiri saling bergantian.

2. Perlu menjangkau sesuatu lebih dari 40 cm ke depan dan atau 15 cm di atas landasan kerja.

3. Tinggi landasan kerja dengan kisaran antara 90-120 cm, merupakan ketinggian yang paling tepat baik untuk posisi duduk maupun berdiri. Stasiun kerja untuk sikap kerja dinamis (duduk di suatu saat dan berdiri di saat lainnya) dapat diilustrasikan seperti Gambar 2.8.

(22)

Gambar 2.8. Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Dinamis sesuai Keinginan Pekerja Sumber: Tarwaka (1994, halaman 26)

Sedangkan Das (1991) dan Pulat (1992) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), menyatakan bahwa posisi duduk-berdiri merupakan posisi terbaik dan lebih dikehendaki daripada hanya posisi duduk saja dan berdiri saja. Hal tersebut disebabkan karena memungkinkan pekerja berganti posisi kerja untuk mengurangi kelelahan otot karena sikap paksa dalam satu posisi kerja.

Tarwaka (1995) memberikan batasan ukuran ketinggian landasan kerja untuk pekerjaan yang memerlukan sedikit penekanan yaitu 15 cm di bawah tinggi siku untuk ke dua posisi kerja. Selanjutnya dibuat kursi tinggi yang menyesuaikan ketinggian landasan kerja posisi berdiri dengan dilengkapi sandaran kaki agar posisi kaki tidak menggantung. Sedangkan pemilihan posisi kerja harus sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan, seperti pada Tabel 2.1.

(23)

Tabel 2.1. Pemilihan Sikap Kerja terhadap Jenis Pekerjaan yang Berbeda-beda Sikap kerja yang dipilih

Jenis Pekerjaan

Pilihan Pertama Pilihan Kedua Mengangkat > 5 kg Berdiri Duduk - berdiri Bekerja di bawah tinggi siku Berdiri Duduk - berdiri Menjangkau horisontal di luar Berdiri Duduk - berdiri daerah jangkauan optimum

Pekerjaan ringan dengan Duduk Duduk - berdiri pergerakan berulang

Pekerjaan perlu ketelitian Duduk Duduk - berdiri Inspeksi dan monitoring Duduk Duduk - berdiri Sering berpindah-pindah duduk - berdiri Berdiri

Sumber: Tarwaka (2004, halaman 27)

Menurut Helander (1995) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), posisi duduk-berdiri yang telah banyak dicobakan di industri, ternyata mempunyai keuntungan secara biomekanis dimana tekanan pada tulang belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk maupun berdiri terus menerus.

2.7. Kondisi Lingkungan Fisik Kerja yang Mempengaruhi Aktivitas Kerja Manusia

Manusia sebagai makhluk “sempurna” tidak luput dari kekurangan, dalam arti kata segala kemampuannya masih dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Faktor-faktor tersebut bisa datang dari dirinya sendiri (intern) atau mungkin dari pengaruh luar (extern). Salah satu faktor yang berasal dari luar adalah kondisi lingkungan kerja yang akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja manusia.

(24)

2.7.1. Penerangan di Tempat Kerja

Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan tenaga kerja dapat melihat objek-objek yang dikerjakan secara jelas, cepat, dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu (Tarwaka, 2004). Penerangan yang cukup dan diatur secara baik juga akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga dapat memelihara kegairahan kerja. Telah kita ketahui hampir semua pelaksanaan pekerjaan melibatkan fungsi mata, dimana sering kita temui jenis pekerjaan yang memerlukan tingkat penerangan tertentu agar tenaga kerja dapat dengan jelas mengamati objek yang sedang dikerjakan.

Intensitas penerangan yang sesuai dengan jenis pekerjaannya jelas akan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Sanders & Mc Cormick (1987) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), menyimpulkan dari hasil penelitian pada 15 perusahaan, dimana seluruh perusahaan yang diteliti menunjukkan kenaikan hasil kerja antara 4-35%. Selanjutnya Armstrong (1992) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), menyatakan bahwa intensitas penerangan yang kurang dapat menyebabkan gangguan visibilitas dan eyestrain. Sebaliknya intensitas penerangan yang berlebihan juga dapat menyebabkan glare (silau); reflections; excessive shadows (bayangan); visibility dan eyestrain.

Tenaga kerja di samping harus dengan jelas dapat melihat objek-objek yang sedang dikerjakan juga harus dapat melihat dengan jelas pula benda/alat dan tempat di sekitarnya yang mungkin mengakibatkan kecelakaan. Maka penerangan umum harus memadai. Dalam suatu pabrik dimana banyak terdapat mesin-mesin dan proses pekerjaan yang berbahaya maka penerangan harus didesain sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi kecelakaan kerja. Pekerjaan yang berbahaya harus dapat diamati dengan jelas dan cepat, karena banyak kecelakaan terjadi akibat penerangan yang kurang memadai.

2.7.1.1. Pengaruh Penerangan di Tempat Kerja

Secara umum jenis penerangan atau pencahayaan dibedakan menjadi dua yaitu penerangan buatan (penerangan artifisial) dan penerangan alamiah (dari sinar matahari). Untuk mengurangi pemborosan energi disarankan untuk menggunakan penerangan alamiah, akan tetapi setiap tempat kerja harus pula

(25)

disediakan penerangan buatan yang memadai. Hal ini untuk menanggulangi jika dalam keadaan mendung atau kerja di malam hari. Perlu diingat bahwa penggunaan penerangan buatan harus selalu diadakan perawatan yang baik oleh karena lampu yang kotor akan menurunkan intensitas penerangan sampai dengan 30%. Tingkat penerangan pada tiap-tiap pekerjaan berbeda tergantung sifat dan jenis pekerjaannya. Sebagai contoh gudang memerlukan intensitas penerangan yang lebih rendah dari tempat kerja administrasi, dimana diperlukan ketelitian yang lebih tinggi.

Menurut Grandjean (1993) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dari penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan:

• Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja.

• Kelelahan mental.

• Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.

• Kerusakan indra mata dan lain-lain.

Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan performansi kerja, termasuk:

• Kehilangan produktivitas.

• Kualitas kerja rendah.

• Banyak terjadi kesalahan.

• Kecelakaan kerja meningkat.

2.7.1.2. Sistem Pendekatan Aplikasi Penerangan di Tempat Kerja

Di dalam mempertimbangkan aplikasi penerangan di tempat kerja, secara umum dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu:

a. Desain tempat kerja untuk menghindari masalah penerangan

Kebutuhan intensitas penerangan bagi pekerja harus selalu dipertimbangkan pada waktu mendesain bangunan, pemasangan mesin-mesin, alat, dan sarana kerja. Desain instalasi penerangan harus mampu mengontrol cahaya kesilauan, pantulan dan bayang-bayang serta untuk tujuan kesehatan dan keselamatan kerja.

(26)

b. Identifikasi dan penilaian problem dan kesulitan penerangan

Agar masalah penerangan yang muncul dapat ditangani dengan baik, faktor- faktor yang harus diperhitungkan adalah sumber penerangan, pekerja dalam melakukan pekerjaannya, jenis pekerjaan yang dilakukan dan lingkungan kerja secara keseluruhan. Selanjutnya teknik dan metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai masalah penerangan di tempat kerja meliputi:

• Konsultasi atau wawancara dengan pekerja dan supervisor di tempat kerja.

• Mempelajari laporan kecelakaan kerja sebagai bahan investigasi.

• Mengukur intensitas penerangan, kesilauan, pantulan, dan bayang-bayang yang ada di tempat kerja.

• Mempertimbangkan faktor lain seperti sikap kerja, lama kerja, warna, umur pekerja, dan lain-lain.

c. Pengembangan dan evaluasi pengendalian resiko akibat penerangan

Setelah penerangan dan pengaruhnya telah diidentifikasi dan dinilai, langkah selanjutnya adalah mengendalikan resiko yang potensial menyebabkan gangguan kerja. Pengendalian resiko sangat tergantung dari kondisi yang ada, tetapi secara umum dapat mengikuti hirarki pengendalian yang sudah lazim yaitu pengendalian yang dipilih dari yang paling efektif. Di bawah ini akan diberikan secara garis besar langkah-langkah pengendalian masalah penerangan di tempat kerja, yaitu:

i. Modifikasi sistem penerangan yang sudah ada seperti:

• Menaikkan atau menurunkan letak lampu didasarkan pada objek kerja.

• Merubah posisi lampu.

• Menambah atau mengurangi jumlah lampu.

• Mengganti jenis lampu yang lebih sesuai.

• Mengganti tudung lampu.

• Mengganti warna lampu yang digunakan.

ii. Modifikasi pekerjaan seperti:

• Membawa pekerjaan lebih dekat ke mata, sehingga objek dapat dilihat dengan jelas.

(27)

• Merubah posisi kerja untuk menghindari bayang-bayang, pantulan, sumber kesilauan dan kerusakan penglihatan.

iii. Pemeliharaan dan pembersihan lampu iv. Penyediaan penerangan lokal

2.7.1.3. Standar Penerangan di Tempat Kerja

Intensitas penerangan yang dibutuhkan di masing-masing tempat kerja ditentukan dari jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat ketelitian suatu pekerjaan, maka akan semakin besar kebutuhan intensitas penerangan yang diperlukan, demikian pula sebaliknya. Standar penerangan di Indonesia telah ditetapkan seperti tersebut dalam Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 7 Tahun 1964, tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan dan penerangan di tempat kerja. Standar penerangan yang ditetapkan untuk di Indonesia tersebut secara garis besar hampir sama dengan standar internasional.

Secara ringkas intensitas penerangan yang dimaksud dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.2. Tingkat Penerangan Berdasarkan Area Kegiatan

Pencahayaan umum untuk ruangan dan area yang jarang digunakan dan /atau tugas-tugas atau visual sederhana

Tingkat Penerangan

(lux) Contoh-contoh Area Kegiatan

Layanan penerangan yang minimum dalam area sirkulasi luar ruangan , pertokoan di daerah terbuka , halaman tempat penyimpanan

Tempat pejalan kaki dan panggung Ruang Boiler

Halaman trafo , ruangan tungku, dan lain-lain Area sirkulasi di industri , pertokoan dan ruang penyimpan

Layanan penerangan yang minimum dalam tugas Meja dan mesin kerja ukuran sedang , proses umum dalam industri kimia dan makanan , kegiatan membaca dan membuat arsip

Gantungan baju , pemeriksaan kantor untuk

menggambar , perakitan mesin dan bagian yang halus , pekerjaan warna , tugas menggambar kritis

Pekerjaan mesin dan di atas meja yang sangat halus , perakitan mesin presisi kecil dan instrumen , komponen elektronik , pengukuran dan pemeriksaan bagian kecil yang rumit (sebagian mungkin diberikan oleh tugas pencahayaan setempat )

Pencahayaan umum untuk interior

Pencahayaan tambahan setempat untuk tugas visual yang tepat

Pekerjaan berpresisi dan rinci sekali , misal instrumen yang sangat kecil , pembuatan jam tangan , pengukiran 20

50 70 150

200 300

450

1500

3000

(28)

Dalam menempatkan sumber cahaya ada beberapa pertimbangan yaitu:

1. Direct Lighting (Pencahayaan langsung)

Pencahayaan langsung yang dimaksud adalah dimana sumber cahaya terletak tepat di atas atau depan objek/benda kerja yang diamati sehingga dapat menyebabkan pantulan cahaya dari benda atau objek dan langsung mengenai mata. Posisi ini rentan dengan resiko mata silau (glare) sehingga menyebabkan mata cepat menjadi lelah. Kelemahan dari posisi ini adalah terjadinya pantulan cahaya langsung dari benda dapat menyebabkan silau pada mata. Silau yang diakibatkan oleh pencahayaan langsung ini dapat diatasi dengan cara:

• Meletakkan posisi sumber cahaya dibawah garis mata horisontal tanpa menghalangi pandangan operator ke benda kerja.

• Menambahkan filter ataupun penggunaan selubung berwarna dof atau matt untuk mengurangi ketajaman dari sumber cahaya.

Keuntungan dari pencahayaan langsung ini adalah posisi sumber cahaya tepat di atas benda kerja dengan peletakan yang tepat dapat membantu operator dalam mengamati objek tersebut sehingga pendeteksian terhadap objek dapat lebih teliti.

2. Indirect Lighting (Pencahayaan tidak langsung)

Pencahayaan tidak langsung yang dimaksud yaitu dimana sumber cahaya akan diletakkan sedemikian rupa dengan sudut tertentu terhadap operator dan benda kerja yang diamati (permukaan benda kerja) sehingga area kerja tetap terang tapi tidak akan menyebabkan silau pada mata dari sumber cahaya secara langsung maupun dari silau akibat pantulan permukaan benda kerja terhadap mata. Keuntungan dari posisi pencahayaan tidak langsung ini yaitu bila diletakkan dengan sudut yang tepat (area pancaran sinar) di atas area kerja maka cahaya yang dihasilkan akan optimal tanpa resiko silau langsung akibat sumber cahaya ataupun dari pantulan.

Sudut yang paling tepat dalam memposisikan sumber cahaya dalam area kerja adalah dengan meletakkan sumber cahaya di atas area kerja dengan posisi agak di samping sehingga pancaran cahayanya akan membentuk sudut 45o- 50o.

(29)

Tampak samping

B C

A

Gambar 2.9. Posisi Pencahayaan Ideal (tampak samping)

• Posisi lampu A kurang baik karena menimbulkan pantulan pada obyek yang diamati oleh pekerja.

• Posisi lampu B kurang baik karena menimbulkan hilangnya kekontrasan obyek yang diamati oleh pekerja.

• Posisi lampu C kurang baik karena menimbulkan silau pada mata pekerja

Tampak depan

B E

D

(30)

Gambar 2.10. Posisi Pencahayaan Ideal (tampak depan)

Sumber: Christian Darmasetiawan dan Lestari Puspakesuma (1991, halaman 63)

• Posisi lampu D dan E adalah posisi yang terbaik bagi pekerja

Penyinaran yang benar bila penyinaran dari lampu D lebih terang daripada lampu E. Adaptasi terhadap kondisi terang dan untuk kondisi gelap sangat berbeda dimana adaptasi untuk kondisi terang akan lebih cepat bila dibandingkan dengan adaptasi retina mata dalam situasi gelap. Kepekaan retina dapat berkurang dengan lebih cepat pada kondisi terang meskipun adaptasi terhadap kondisi terang akan berlangsung selama beberapa detik.

Tetapi lain halnya dengan kepekaan retina pada kondisi gelap terutama apabila mata diharuskan untuk beradaptasi dari kondisi terang ke kondisi gelap dimana masa adaptasi akan berlangsung lebih lama. Waktu yang dibutuhkan selama adaptasi untuk tempat yang gelap dapat mencapai 25 hingga 30 menit meskipun pada beberapa menit pertama mata cukup cepat beradaptasi, tetapi untuk adaptasi secara penuh akan terjadi setelah 20 hingga 25 menit berikutnya.

Untuk daerah pandang yang terdiri dari kondisi terang dan gelap, adaptasi oleh retina mata untuk kondisi kontras ini akan berlangsung di beberapa bagian retina, sehingga disebut adaptasi sebagian. Adaptasi sebagian ini hanya berlangsung untuk beberapa saat dan kemudian akan menyebar ke seluruh bagian retina sehingga penglihatan akan lebih jelas. Prinsip ergonomi yang disarankan untuk kondisi penerangan seperti di atas yaitu sebagai berikut:

(31)

• Untuk menghindari efek silau pada mata maka semua permukaan benda kerja dan sekitarnya yang masih termasuk dalam daerah pandang harus memiliki intensitas cahaya yang sama.

• Tingkat penerangan tidak boleh berubah-ubah dengan cepat sehingga tidak akan mempengaruhi penglihatan karena reaksi pupil untuk beradaptasi terhadap kondisi tersebut tidak terlalu cepat.

2.7.2. Temperatur

Tubuh manusia akan selalu berusaha mempertahankan keadaan normal dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi di luar tubuh tersebut. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar adalah jika perubahan temperatur luar tubuh tersebut tidak melebihi 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin. Semuanya ini dari keadaan normal tubuh. Dalam keadaan normal tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur berbeda-beda seperti bagian mulut sekitar lebih kurang 37° C, bagian dada lebih kurang 35° C dan bagian kaki lebih kurang 28° C. Tubuh manusia bisa menyesuaikan diri karena kemampuannya untuk melakukan proses konveksi, radiasi, dan penguapan jika terjadi kekurangan atau kelebihan panas yang membebaninya.

Menurut penyelidikan untuk berbagai tingkat temperatur akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda seperti berikut:

• ± 49° C à Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh di atas tingkat kemampuan fisik dan mental.

• ± 30° C à Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan, timbul kelelahan fisik.

• ± 24° C à Kondisi optimum.

• ± 10 °C à Kelakuan fisik yang ekstrim mulai muncul.

Dari suatu penyelidikan pula dapat diperoleh hasil bahwa produktivitas kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24° C sampai 27° C.

(32)

2.7.3. Kebisingan (Noise)

Pengertian kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang bersifat menganggu pendengaran dan bahkan dapat menurunkan daya dengar seseorang. Sedangkan definisi kebisingan menurut Tarwaka (2004) adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Ada tiga aspek yang menentukan kualitas bunyi yang bisa menentukan tingkat gangguan terhadap manusia yaitu:

• Lama waktu bunyi tersebut terdengar. Semakin lama telinga kita mendengar kebisingan akan semakin buruk akibatnya bagi pendengaran (tuli).

• Intensitas yang menunjukkan besarnya arus energi per satuan luas, biasanya diukur dengan satuan desibel (dB).

• Frekuensi suara yang menunjukkan jumlah dari gelombang-gelombang suara yang sampai di telinga kita setiap detik dinyatakan jumlah getaran per detik atau Hertz (Hz).

Pengaruh kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi dua yang didasarkan pada tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu bunyi tersebut terdengar, yaitu:

a. Pengaruh Kebisingan Intensitas Tinggi

• Pengaruh kebisingan dengan intensitas tinggi (di atas Nilai Ambang Batas) adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan penurunan daya dengar, baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen atau ketulian. Sebelum terjadi kerusakan pendengaran yang permanen, biasanya didahului dengan pendengaran yang bersifat sementara yang dapat menganggu kehidupan yang bersangkutan baik di tempat kerja maupun di lingkungan keluarga dan lingkungan sosialnya.

• Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputus-putus dan sumbernya tidak diketahui.

• Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti, meningkatnya tekanan darah, dan denyut jantung, resiko serangan jantung meningkat, gangguan pencernaan.

(33)

• Reaksi masyarakat, apabila kebisingan akibat suatu proses produksi demikian hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya protes menuntut agar kegiatan tersebut dihentikan.

b. Pengaruh Kebisingan Intensitas Rendah

Tingkat intensitas kebisingan rendah atau di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) banyak ditemukan di lingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan, dan lain-lain. Intensitas kebisingan yang masih di bawah NAB tersebut secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab stress dan gangguan kesehatan lainnya. Stress yang disebabkan karena kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan, dan depresi. Secara spesifik stress karena kebisingan tersebut dapat menyebabkan antara lain:

• Stress menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur.

• Gangguan reaksi psikomotor.

• Kehilangan konsentrasi.

• Gangguan komunikasi antara lawan bicara.

• Penurunan performansi kerja yang kesemuanya itu akan bermuara pada kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja.

2.7.4. Kualitas Udara dalam Ruang Kerja

2.7.4.1. Pengertian Kualitas Udara dalam Ruang Kerja

Menurut National Health and Nedical Research Council (NHMRC, 1985) yang dikutip oleh Tarwaka (2004) bahwa yang dimaksud dengan kualitas udara dalam ruangan adalah udara di dalam suatu bangunan yang dihuni atau ditempati untuk suatu periode yang sekurang-kurangnya 1 jam oleh orang dengan berbagai status kesehatan yang berlainan. Pada suatu ruangan kerja, dimana ditempati oleh banyak orang dengan berbagai kondisi kesehatan maka kemungkinan untuk dapat terpapar oleh resiko infeksi melalui kontak dengan orang lain sangat besar. Ruang kerja yang terlalu padat penghuninya dan sistem AC yang kurang terawat dengan sirkulasi udara yang kurang memadai akan dapat

(34)

meningkatkan resiko timbulnya gangguan kesehatan. Resiko tersebut kemungkinan dapat lebih diperparah oleh kondisi sebagai berikut:

• Asap rokok dalam ruangan.

• Bahan-bahan bangunan, furniture, dan peralatan-peralatan modern.

• Produk-produk pembersih ruangan.

• Bahan-bahan pencemar udara dari luar ruangan, dan lain-lain.

Mengingat kualitas udara yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan sangat diperlukan oleh semua penghuni ruangan maka harus selalu dijaga dan diupayakan tetap dalam kisaran yang nyaman untuk bekerja.

2.7.4.2. Kontaminan Udara dalam Ruang Kerja

Kadar kontaminan yang rendah dapat menyebabkan gangguan kesehatan meskipun tidak berat masih sering diabaikan. Padahal apabila telah terjadi akumulasi dari bahan-bahan pencemar meskipun kadarnya rendah, akan dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang bersifat kronis. Di bawah ini akan kita bahas beberapa jenis kontaminan atau bahan pencemar yang sering dapat menurunkan kualitas udara dalam suatu ruang kerja, yaitu:

1. Karbondioksida (CO2)

Karbondioksida merupakan sisa hasil pembakaran dari sistem pernafasan. CO2

jarang dipertimbangkan sebagai suatu bahan pencemar, padahal secara umum dapat mempengaruhi kenyamanan penghuninya. Kadar CO2 merupakan indikator yang bagus untuk mengetahui efektif tidaknya sistem ventilasi dalam ruangan yang bersangkutan. Kadar CO2 dalam suatu ruangan harus diusahakan

< 1.000 ppm. Apabila kadar CO2 melebihi batas tersebut maka memberikan indikasi bahwa jumlah udara segar yang dialirkan melalui sistem ventilasi tidak mencukupi. Dari hasil penelitian Tarwaka dan Bakri (2001) dilaporkan bahwa suatu ruangan dengan konsentrasi karbondioksida di atas 1.000 ppm menyebabkan gangguan kesehatan dan kenyamanan penghuninya.

2. Produk hasil pembakaran

Menurut Hau (1997) yang dikutip oleh Tarwaka (1994) bahwa produk sisa hasil pembakaran dapat meliputi karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO dan NO ) dan mungkin hidrokarbon (HC). Gas-gas tersebut dapat

(35)

bersumber dari dalam bangunan itu sendiri seperti: pembakaran akibat proses masak-memasak, merokok dalam ruang kerja. Timbal (Pb) merupakan bahan pencemar yang potensial yang sering ditemukan dalam kadar cukup tinggi di ruangan kerja dekat dengan parkir. CO yang terikat dalam darah terutama haemoglobin akan menghambat fungsi oksigen dalam sirkulasi. Pada konsentrasi tinggi CO dapat menyebabkan kematian, sedangkan NO dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran pernafasan. standar untuk kadar gas CO di ruang kerja perkantoran adalah 10 ppm untuk 8 jam kerja (WHO, 1976; SAA, 1980).

3. Formaldehid

Formaldehid merupakan gas yang tidak berwarna dengan bau yang cukup tajam. Formaldehid biasanya dihasilkan dari bahan-bahan bangunan seperti plywood, karpet, furniture, dan lain-lain. Formaldehid pada kadar yang cukup rendah 0,05-0,5 ppm dapat menyebabkan mata terbakar, iritasi pada saluran nafas bagian atas.

4. Ozon (O3)

Berbagai proses kegiatan dan peralatan yang menggunakan sinar ultra violet (UV) atau menyebabkan ionisasi udara mungkin menghasilkan ozon.

Peralatan kerja yang dapat mengeluarkan ozon antara lain: printer laser, lampu UV, mesin photo copy, dan ionizer. Ozon merupakan gas yang sangat beracun dan memepunyai efek pada konsentrasi rendah. Menurut WHS (1992) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), bahwa ozon dapat menyebabkan iritasi pada mata dan saluran pernafasan. Oleh karena ozon merupakan gas yang sangat mudah bereaksi, pada umumnya hanya dapat dijumpai dekat dengan sumbernya dan hanya mempunyai pengaruh yang kecil pada lingkungan udara dalam ruang kerja.

Oksigen merupakan gas yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup terutama untuk menjaga kelangsungan hidup yaitu untuk proses metabolisme.

Udara di sekitar kita dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan terus bercampur dengan gas-gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Kotornya udara di sekitar kita dapat dirasakan dengan sesaknya pernafasan kita dan ini tidak boleh dibiarkan berlangsung terlalu

(36)

lama, karena mempengaruhi kesehatan tubuh dan mempercepat proses kelelahan Sirkulasi udara dengan memberikan ventilasi yang cukup (lewat jendela), akan menggantikan udara yang kotor dengan yang bersih.

2.7.5. Kelembaban

Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara.

Kelembaban ini sangat berhubungan atau dipengaruhi oleh temperatur udaranya.

Suatu keadaan dimana udara sangat panas dan kelembaban tinggi akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran (karena sistem penguapan). Pengaruh lainnya adalah semakin cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen.

2.7.6. Pengaturan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat

Pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat harus disesuaikan dengan sifat, jenis pekerjaan, dan faktor lingkungannya yang mempengaruhinya seperti panas, dingin, bising, berdebu, dan lain-lain. Di Indonesia telah ditetapkan lamanya waktu kerja sehari maksimum adalah 8 jam kerja dan selebihnya adalah waktu istirahat (untuk kehidupan keluarga dan sosial masyarakat).

Memperpanjang waktu kerja lebih dari itu hanya akan menurunkan efisiensi kerja, meningkatkan kelelahan, kecelakaan, dan penyakit akibat kerja. Tetapi dalam pelaksanaannya, banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawannya di luar jam kerja (kerja lembur) dengan berbagai alasan, di sisi lain para karyawan juga merasa senang melakukan kerja lembur, karena akan mendapatkan penghasilan tambahan dari luar.

Dalam hal lamanya waktu kerja melebihi ketentuan yang telah ditetapkan (8 jam per hari atau 40 jam seminggu), maka perlu diatur waktu-waktu istirahat khusus agar kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan dalam batas-batas toleransi. Pemberian waktu istirahat tersebut secara umum dimaksudkan untuk:

• Mencegah terjadinya kelelahan yang berakibat kepada penurunan kemampuan fisik dan mental serta kehilangan efisiensi kerja.

• Memberi kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran.

(37)

• Memberi kesempatan waktu untuk melakukan kontak sosial.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan, ternyata terdapat empat jenis istirahat yang dilakukan oleh para pekerja selama jam kerja berlangsung, yaitu istirahat secara spontan, istirahat curian, istirahat oleh karena ada hubungannya dengan proses kerja dan istirahat yang merupakan ketetapan resmi.

1. Istirahat spontan adalah istirahat pendek segera setelah pembebanan kerja.

Sebagai contoh: pekerja mengangkat dan mengangkut beras tersebut secara otomatis pekerja akan beristirahat pendek untuk mengembalikan hutang oksigen yang telah digunakan pada waktu mengangkat dan mengangkut tadi.

2. Istirahat curian adalah istirahat yang terjadi jika beban kerja tak dapat diimbangi oleh kemampuan kerja. Istirahat demikian terjadi apabila beban pekerjaan baik fisik maupun mental lebih besar dari kemampuan kerjanya, sehingga menimbulkan reaksi tubuh untuk mengatasi kelebihan beban tersebut.

3. Istirahat oleh karena proses kerja tergantung dari bekerjanya mesin-mesin, peralatan atau prosedur-prosedur kerja. Sebagai contoh: pada proses produksi dengan sistem ban berjalan, waktu istirahat tergantung dari keterampilan, dan kecepatan kerja operatornya. Semakin terampil dan cepat dia bekerja maka akan semakin banyak waktu istirahat yang diperoleh.

4. Istirahat yang ditetapkan adalah istirahat atas dasar ketentuan perundang- undangan yang berlaku, seperti istirahat selama 1 jam setelah melakukan 4 jam kerja, dan diselingi dengan istirahat 15 menit setelah 2 jam kerja dan lain- lain.

Pada kenyataannya keempat jenis waktu istirahat tersebut

memperlihatkan saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Apabila waktu istirahat resmi telah diatur dengan tepat (kapasitas kerja = beban utama + beban tambahan) maka dengan sendirinya istirahat curian dan istirahat spontan dapat diminimalisasikan. Kemudian semakin lelah kondisi seorang pekerja maka akan semakin banyak dia melakukan istirahat curian.

Jumlah jam kerja yang efisien untuk seminggu adalah antara 40-48 jam yang terbagi dalam 5 atau 6 hari kerja. Maksimum waktu kerja tambahan yang

(38)

masih efisien adalah 30 menit. Sedangkan di antara waktu kerja harus disediakan waktu istirahat yang jumlahnya antaranya 15-30% dari seluruh waktu kerja.

Apabila jam kerja melebihi dari ketentuan tersebut akan ditemukan hal-hal seperti penurunan kecepatan kerja, gangguan kesehatan, angka absensi karena sakit meningkat, yang semuanya akan berpengaruh pada produktivitas kerja.

Referensi

Dokumen terkait

Beban preloading diberikan sebesar beban rencana atau lebih besar yang akan diberikan diatas tanah lunak tersebut dengan tujuan untuk mempercepat terjadinya penurunan rencana..

Menurut Djojowirono (1984), rencana anggaran biaya merupakan perkiraan biaya yang diperlukan untuk setiap pekerjaan dalam suatu proyek konstruksi sehingga akan

Bagi pihak investor, pemecahan saham diyakini dapat memberikan abnormal return setelah pemecahan saham, karena para investor pada umumnya mengindikasikan bahwa perusahaan

Perencanaan sebuah sistem serta metode kerja bekisting menjadi sesuatu yang sepenuhnya perlu dipertimbangkan baik - baik. Sehingga segala resiko dalam pekerjaan tersebut

Lalu definisi berikutnya yang dapat menyatukan pandangan yang paling luar sekalipun mengenai efektifitas yang juga dikemukakan oleh Steers, Ungson dan Mowday adalah

Berdasarkan pada ilustrasi gambar di atas, diketahui bahwa melalui physical Facilities, yaitu kondisi fisik, meliputi: store location, store layout, design dan melalui

Seluruh manufacturing cost adalah product cost (Shim &amp; Siegel, 1992). Period cost adalah semua biaya yang tidak langsung penting atau berhubungan dengan produksi. Contohnya

Tujuan dari K3 adalah menciptakan suatu lingkungan kerja yang sehat, aman, teratur dan sejahtera, sehingga hal ini dapat membuat suasana lingkungan kerja menjadi