• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fisiologi Hewan Air

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fisiologi Hewan Air"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

Fisiologi Hewan Air

OSMOREGULASI

1. PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Osmosis.

Pada hakekatnya osmosis adalah suatu prose difusi. Para ahli kimia mengatakan bahwa osmosis adalah difusi dari tiap pelarut melalui suatu selaput yang permeabel secara

diferensial. Membran sel yang meloloskan molekul tertentu, tetapi menghalangi molekul lain dikatakan permeabel secara diferensial.. Seperti dikatakan di atas : pelarut universal adalah air. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa osmosis adalah difusi air melalui selaput yang permeabel secara diferensial dari suatu tempat berkonsentrasi tinggi ke tempat berkonsentrasi rendah. Perlu ditekankan bahwa “konsentrasi” disini, adalah konsentrasi pelarutnya, yaitu air dan bukan konsentrasi dari zat yang larut (molekul, ion) dalam air itu. Pertukaran air antara sel dan lingkungannya adalah suatu faktor yang begitu penting sehingga memerlukan suatu penamaan khusus yaitu osmosis (Kimball,1983).

Osmoregulasi merupakan upaya yang dilakukan oleh ikan untuk mengontrol keseimbangan air dan ion-ion antara tubuh ikan dengan lingkungannya (Taufik dan Eni, 2006).

Proses adaptasi terhadap kondisi salinitas dilakukan melalui proses osmoregulasi yaitu proses pengaturan antara tekanan osmotik dalam tubuh agar sesuai dengan tekanan osmotik

medianya (Rusdi dan Muhammad, 2006).

Jika akhirnya tercapai keadaan yang seimbang, maka volume itu menyatakan berapa besarnya nilai osmosis dari larutan gula. Kelebihan volume itu mempunyai berat yang menekan ke segala jurusan dan tekanan itu kita sebut tekanan osmosis. Tekanan osmosis itu sebenarnya tak lain hanyalah pernyataan lain dari nilai osmosis (Dwijoseputro, 1992).

Osmosis adalah pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi (yang lebih encer) menuju ke cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah (yang lebih pekat). Contoh osmosis ialah pergerakan air dari larutan gula 5% menuju larutan gula 15% (Isnaeni, 2006).

1.2 Pengertian Osmoregulasi.

Osmoregulasi adalah proses untuk menjaga keseimbangan antara jumlah air dan zat terlarut yang ada dalam tubuh hewan (Isnaeni, 2006).

Kemampuan mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal disebut dengan osmoregulasi (Nybakken, 1992).

Osmoregulasi adalah proses organisme yang mampu mempertahankan perbedaan keseimbangan garam internal dari medium eksternal (Afrianto, 1996).

1.3 Pengertian Difusi.

Difusi dapat diberi batasan (definisi) sebagai gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah lain dengan konsentrasi lebih rendah yang disebabkan oleh energi kinetik molekul-molekul tersebut (Villee, dkk, 1988).

Jika beberapa subtansi terlarut mempunyai konsentrasi yang lebih kuat pada suatu larutan, substansi ini akan mengalir secara berangsur-angsur sampai molekul (atau ion) terdistribusi merata ke seluruh larutan. Proses ini disebut difusi (Marsland, 1964).

Difusi dapat terjadi karena gerakan acak kontinyu yang menjadi ciri khas semua molekul yang tidak terikat dalam suatu zat padat. Kecepatan difusi zat melalui membran sel tidak hanya tergantung pada gradien konsentrasi, tetapi juga pada besar, muatan dan daya larut

(2)

dalam lipid dari partikel-partikel tersebut (Kimball, 1983). 1.4 Transpor Aktif.

Gerakan ion dan molekul melawan suatu gradien konsentrasi ini disebut transpor aktif (active transport). Disebut aktif karena sel-sel itu harus mempergunakan energi untuk transportasi melawan daya difusi yang pasif (Kimball, 1983).

Menurut Gordon et. al (1977), transpor aktif adalah gerakan substansi melawan gradien aktivitas elektrokimia, sering kali melalui kombinasi reversible dengan beberapa tipe intramembran pembawa molekul. Energi diperoleh dari metabolisme.

Menurut Prosser and Frank (1961), transpor aktif adalah transpor pengontrol metabolisme yang dapat dibawa oleh pembawa enzim atau membran perantara moleku-molekul khusus. Metabolisme alami dengan pembawa atau perantara enzimatik. Sedangkan ekuilibrium elektrik, elektrolis khusus yang diabsorbsi sebagai molekul netral atau seperti ion ditukar dengan ion lain yang tandanya sama.

1.5 Organ Osmoregulasi.

Hampir semua hewan akuatik, organ yang sering digunakan dalam pertukaran air dengan lingkungannya adalah insang, usus dan ginjal. Dalam bentuk lain, kelompok air tawar seperti amfibi, kulit juga merupakan bagian penting dalam gerakan air (Gordon et. al , 1977).

Adapun organ-organ tubuh yang berperan sebagai tempat berlangsungnya osmoregulasi adalah : insang, saluran pencernaan, intergumen (kulit) dan organ ekskresi pada kelenjar antena (Mantel dan Farmer, 1983 dalam Kordi dan Andi, 2007).

Garam yang berakumulasi baik melalui makanan yang masuk maupun melalui difusi ke dalam melewati permukaan-permukaan seperti insang, dikeluarkan oleh ginjal dan oleh suatu linear khusus yang mengekskresikan garam yang terdapat dibagian caudal usus hiu (Villee, dkk , 1988).

1.6 Pola Regulasi Air dan Ion pada Ikan.

Apapun komposisi kimianya, dua larutan yang mempunyai konsentrasi osmotik sama

dikatakan isoosmotik. Jika dua larutan berbeda konsentrasi, yang berkonsentrasi lebih disebut hiperosmotik dan yang lebih rendah disebut hipoosmotik (Gordon et. al, 1977).

Menurut Musida (2008), pola regulasi pada ikan dibedakan menjadi 3 macam, yaitu : 1. Regulasi hipertonik atau hiperosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh hewan yang lebih tinggi dari konsentrasi media.

2. Regulasi hipotonik atau hipoosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media.

3. Regulasi isotonik atau isoosmotik, yaitu bila kerja osmotik dilakukan pada keadaan konsentrasi media.

Cairan tubuh dan sel dari kebanyakan organisme laut serupa sifat osmosisnya dengan air laut dengan salinitas 33 ‰. Pada organisme-organisme daratan dan air tawar ini agak lebih

rendah. Bila dibedakan kepada lingkungan hipotonis cairan dengan salinitas lebih rendah dari pada salinitas cairan berlebihan. Dalam situasi hipertonis (dimana cairan sekitarnya lebih tinggi salinitasnya) ia kehilangan cairan ke lingkungannya. Kedua macam situasi dapat membahayakan (Mc Connoughey dan Zottoli, 2000).

1.7 Proses Osmoregulasi. 1.7.1 Ikan Elasmobranchi.

Menurut Bond (1979) dalam jatilaksono (2007), osmoregulasi pada ikan-ikan elasmobranchi menyokong teori bahwa tekanan osmosis yang disebabkan oleh garam-garam dalam darah disebabkan oleh penahan urea dan sedikit bahan nitrogen lainnya. Urea merupakan hasil

(3)

akhir metabolisme nitrogen yang dikeluarkan air kencing hiu dan pari. Sewaktu penyaringan glumerulus melalui sepasang tubuh ginjal. Segmen-segmen khusus menyerap kembali urea (70-90%) sehingga darah mengandung lebih kurang 350 mmol/L urea elasmobranchi umum. Menurut Affandi dan Usman (2002) dalam Jatilaksono (2007), secara umum dikatakan bahwa cairan tubuh golongan ikan elasmobranchi mempunyai tekanan osmotik yang lebih besar dari lingkungannya. Tekanan osmotik tubuhnya sebagian besar tidak disebabkan oleh garam-garam melainkan oleh tingginya kadar urea dan Tri Meilamin Oksida (TMAO) dari tubuh. Karena cairan tubuh yang hiperosmotik terhadap lingkungannya, golongan ikan ini cenderung menerima air lewat difusi, terutama lewat insang. Untuk mempertahankan tekanan osmotiknya kelebihan air untuk difusi ini dikeluarkan melalui air seni.

Cairan tubuh golongan Elasmobranchi umumnya mempunyai tekanan osmotik yang lebih besar daripada lingkungannya. Tekanan osmotik tubuhnya sebagian besar tidak disebabkan oleh garam-garam melainkan oleh tingginya kadar urea dan TMAO dalam tubuh. Karena cairan tubuhnya yang hyperosmotik terhadap lingkungannya, golongan ikan ini cenderung menerima air lewat difusi, terutama lewat insang. Untuk mempertahankan tekanan

osmotiknya, kelebihan air untuk difusi ini dikeluarkan sebagai air seni. Penyerapan kembali terhadap urea di dalam tubuli ginjal merupakan upaya pula dalam mempertahankan tekanan osmotik tubuhnya. Permukaan tubuhnya yang bersifat impermeabel mencegah masuknya air dari lingkungan ke dalam tubuhnya (Rachman, 2003).

1.7.2 Ikan Teleostei.

Teleostei laut, yang mempunyai cairan tubuh hipoosmotik terhadap air laut, mempunyai mekanisme adaptasi tertentu yang bermanfaat untuk menghindari kehilangan air dari

tubuhnya. Pada hewan ini, kehilangan air dari tubuh terutama terjadi melalui insang. Sebagai penggantinya, hewan ini akan minum air laut dalam jumlah banyak. Namun, cara tersebut menyebabkan garam yang ikut masuk ke dalam tubuh menjadi banyak pula. Kelebihan garam ini harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Pengeluaran dalam jumlah besar dilakukan melalui insang, karena insang ikan mengandung sel khusus yang disebut sel klorid. Sel klorid ialah sel yang berfungsi untuk mengeluarkan NaCl dari plasma ke air laut secara aktif (Isnaeni, 2006).

Pada golongan ikan teleostei terdapat gelembung air seni (urinary bladder) untuk menampung air seni. Di sini dilakukan penyerapan kembali terhadap ion-ion, dindingnya impermeabel terhadap air seni (Rachman, 2003).

Insang teleostei terdiri dari dua rangkaian yang tersusun atas empat lengkungan tulang rawan dan tulang keras (holobrankhia) yang menyusun sisi-sisi jaring. Insang juga dilengkapi dengan lapisan sel-sel penghasil mukus dan sel-sel yang mengekskresikan amonia dan kelebihan garam (Irianto, 2005).

1.8 Pengaruh Salinitas dan pH Terhadap Ikan.

Salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Semakin tinggi salinitas, akan semakin besar pula tekanan osmotiknya. Biota yang hidup di air asin harus mampu menyesuaikan dirinya terhadap tekanan osmotik dari lingkungannya. Penyesuaian ini memerlukan banyak energi yang diperoleh dari makanan dan digunakan untuk keperluan tersebut (Kordi dan Andi, 2007).

Menurut Irianto (2005), pada kondisi pH rendah yang bersifat kronik, dapat terjadi gangguan kesehatan berupa terhambatnya pertumbuhan. Adapun pada kondisi pH rendah akut, ikan menjadi hiperaktif, nervous dan produksi mukus insang yang berlebihan dan pada akhirnya menyebabkan gangguan pernapasan.

Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi

(4)

akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003). 5.2 SARAN

Diharapkan pada praktikum selanjutnya, praktikan lebih teliti lgi dalam pengamati perubahan – perubahan yang terjadi pada ikan sehingga data yang diperoleh lebih valid lagi.

RESPIRASI

1. PENDAHULUAN

1.1 Respirasi

Pernafasan adalah proses pengikatan oksigen dan pengeluaran karbondioksida oleh darah melalui permukaan alat pernafasan. Proses pengikatan oksigen tersebut selain dipengaruhi struktur alat pernafasan, juga dipengaruhi perbedaan tekanan parsial O2 antara perairan dengan darah. Perbedaan tekanan tersebut menyebabkan gas-gas berdifusi ke dalam darah atau keluar melalui alat pernafasan (Fujaya, 2004).

Menurut Dwijoseputro (1992) pernafasan adalah suatu proses pembongkaran dimana energy yang tersimpan ditimbulkan kembali untuk menyelenggarakan proses-proses kehidupan. Menurut Batu (1983) respirasi berarti suatu proses yang menghasilkan energy dari oksidasi biotic. Reaksinya adalah sebagai berikut :

Gas Oksigen + Gula Air + Zat asam arang + Energi

Pernafasan adalah menghisap udara ke dalam paru-paru dan mengeluarkannya dari paru-paru. Udara yang dihisap tidak seluruhnya oleh paru-paru dipakai, seperti kita ketahui bahwa di dalam udara terdapat berbagai gas yang banyaknya berbeda (Iskandar, 1974).

Sistem pernafasan bertugas mengambil oksigen dari udara. Setelah sampai pada paru-paru, oksigen dipindahkan ke darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Di dalam pembuluh darah, oksigen ditukar dengan karbondioksida. Karbondioksida sebagai hasil oksidasi respirasi sel dan dibawa ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh (Ayiseti, 2008).

1.2 Jenis-jenis Respirasi

Menurut Batu (1983) proses oksidasi dapat dibedakan atas beberapa tipe, yaitu : a.Respirasi aerobic : dimana gas-gas atau molekul oksigen berfungsi sebagai penerima hydrogen (oxidant)

b.Respirasi anaerobic: tidak memerlukan oksigen tetapi yang berfungsi sebagai penerima electron (oxidant) adalah persenyawaan anorganik

c. Fermentasi : termasuk respirasi anaerobic, persenyawaan organic berfungsi sebagai oxidant (menerima electron)

Pada dasarnya pengertian respirasi eksternal sama dengan bernafas, sedangkan respirasi internal atau respirasi seluler ialah proses penggunaan oksigen oleh sel tubuh dan

pembuangan zat sisa metabolism sel yang berupa CO2. Oksigen yang diperoleh hewan dari lingkungannya digunakan dalam proses fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan ATP. Sebenarnya, hewan dapat menghasilkan ATP tanpa oksigen.Proses semacam itu disebut respirasi anaerob. Akan tetapi, proses tersebut tidak dapat menghasilkan ATP dalam jumlah banyak. Respirasi yang dapat menghasilkan ATP dalam jumlah banyak ialah respirasi aerob (Isnaeni, 2006).

(5)

Rata-rata konsumsi oksigen dipengaruhi oleh aktivitas, suhu, ukuran tubuh, tingkat pada siklus hidup, musim dan waktu dalam hari sesuai persediaan. Persediaan oksigen dan latar belakang genetic. Meskipun merupakan subjek dengan kualifikasi khusus, hanya sedikit nilai rata-rata konsumsi oksigen yang diukur dibawah kondisi fisiologis yang digunakan sebagai dasar diskusi. Selanjutnya tentang faktor modifikasi (Prosser and Brown, 1961).

Konsumsi oksigen bervariasi tergantung pada spesies, ukuran, aktivitas, musim dan suhu.Hewan yang berenang cepat menggunakan lebih banyak oksigen selama periode aktivitasnya daripada hewan yang istirahat. Hewan yang lebih besar menggunakan lebih sedikit oksigen daripada hewan yang kecil. Konsumsi oksigen meningkat sampai beberapa tingkat kritis kemudian menurun, tetapi banyak hewan yang dapat menyesuaikan untuk perubahan musim dingin daripada selama tahun istirahat (Royce, 1972).

1.4 Sumber O2 dalam Air

Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny dan Olem, 1994). Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnant). Difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun (Effendi, 2003).

Menurut Kordi dan Tancung (2007) oksigen dalam air tambak dihasilkan melalui proses difusi dari udara yang mengandung 20,95% oksigen. Proses ini terjadi secara cepat pada selaput pemukaan air, namun berjalan sangat lambat ke lapisan yang lebih dalam. Sumber oksigen lainnya adalah fytoplankton dan adanya aliran air baru yang masuk ke dalam

tambak/kolam, oksigen di dalam air dapat berkurang karena proses difusi, respirasi dan reaksi kimia (oksidasi dan reduksi).

1.5 DO (Dissolved oksigen)

Apabila oksigen di dalam air terdapat dalam bentuk terlarut disebut keadaan aerob, apabila terdapat bentuk tidak terlarut tetapi berikatan lain dengan unsur seperti NO4 dan NO3 disebut keadaan anoksik, sedangkan apabila tidak terdapat sama sekali oksigen dalam air, baik yang terlarut maupun yang membentuk ikatan dengan unsur lain disebut anaerobik (Barus, 2002). Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang paling penting pada budidaya. Ikan konsentrasi oksigen terlarut dalam kolom selalu mengalami perubahan dalam sehari semalam. Oleh karerna itu pengelola kolam ikan harus mengetahui atau memantau perubahan konsentrasi oksigen terlarut didalam kolamnya (Ana, 2009).

Oksigen terlarut dibutihkan oleh semua jasad hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan (Salmin, 2008)

Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang sangat vital bagi kehidupan organisme perairan, konsentrasi oksigen terlarut cenderung berubah lebih sesuai dengan keadaan atmosfer (Ahmad dan Edward, 2004).

Oksigen (O2) merupakan unsur fatal dan sangat diperlukan dalam proses respirasi dan metabolisme semua organisme perairan termasuk fitoplankton atau algae, oksigen yang diperlukan bakteri pengurai untuk proses dekomposisi bagian organik (Herawati, 2000). 1.6 Mekanisme Masuknya O2 Dalam Perairan

Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air terjadi secara langsung pada kondisi air dalam (stagnatif) difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau pergolakan masa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun (Effendi, 2003).

Mekanisme pertukaran arus yang berlawanan sangat berguna dan 90% dari oksigen yang terlarut dalam air dapat diambil, ini lebih dari ppada 25% oksigen yang dapat diambil oleh

(6)

mamalia dari udara dengan paru-parunya (Rachman, 2003).

Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terlarut di atmosfer (selular 38%) dan aktifasi fotosintesis oleh pertumbuhan air dan fitoplankton (Norotry dan Olem, 1994).

1.7 Konsumsi Oksigen Dalam Perairan

Oksigen sebagai gas penting dalam kimia dan biokimiawi. Secara kontinyu dekomposisi oleh hewan dan tumbuhan saat diserap untuk proses dekomposisi bahan organik (Arfiati, 2001) Selain akibat prises respirasi tumbuhan dan hewan hilangnya oksigen diperairan juga terjadi karena oksigen dimanfaatkan oleh mikriba untuk mengoksidasi bahan organik. Oksidasi bahan organik diperairan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : suhu, pH, pasokan oksigen, jenis bahan organik dan rasio karbon dan nitrogen (Bold, 1988 dalam Efendi, 2003).

1.8 Fase Respirasi

Menurut Rachman (2003) fase-fase pernafasan pada ikan dibagi 3 yaitu :

1. Urat daging corochroticod dan coroocobranchi berkontruksi menyebabkan rongga uropharyngel bertambah lebar. Pada serat itu air masuk kedalam mulut bersamaan dengan penutup bagian luar menutup tekanan air yang datang dari luar.

2. Urat daging abdutor pada rahang bawah dan lengkungan insang atas dan bawahnya berkontraksi, katup mulut tertutup dan insang bagian luar masih tertutup.

3. Ruang insang dipersempit oksigen kontraksi urat daging dan bersamaan dengan itu insang terbuka secara pasif.

Pada mamalia fase respirasi merupakan proses aktif yang terjadi karena adanya kontraksi otot inepratori (otot diantaranya tulang-tulang iga dan diafragma). Kontruksi otot tersebut akan meningkatkan volume rongga dada dan menyebabkan atmosfer pun segera masuk paru-paru. Berbeda dengan fase inpirasi yang bersifat aktif, fase elpirasi merupakan proses pasif.

Ekspirasi terjdi karena adanya relaktiogi otot resblima dan pengerutan dinding alveoli (Isnaeni, 2006).

1.9 Hubungan Suhu dan Respirasi

Aktivitas mikroorganisme memelikan suhu optimum yang berbeda-beda tetapi proses dekomposisi biasanya terjadi pada kondisi udara yang hangat. Kecepatan dekomposisi meningkat pada kisaran 5oC – 35oC. Pada kisaran suhu ini setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi 2 kali lipat (Effendi, 2003).

Peningkatan temperatur mengurangi kelarutan gas dalam air tawar perubahan dari 50oC ke 55oC mengurangi jumlah oksigen dari 9 ml ke 5 ml (Gordon et. al, 1977).

1.10 Perbedaan Organ Respirasi Ikan Demersal Dan Ikan Pelagis

Beberapa ikan laut (pelagis) membiarkan mulutnya terbuka dan menggunakan gerakan-gerakan majunya untuk mengalirkan air melalui insang. Proses ini disebut velisikasi dorong. Jika gerakan mackerei melebbihi 0,4 m perdetik maka gerakan ini berhenti dan ikan

tergantung pada ventilasi dorong (Rachman, 2003).

Beberapa ikan laut (pelagis) membiarkan mulutnya terbuka dan menggunakan gerakan-gerakan majunya untuk mengalirkan air melalui insang, proses ini disebut vertilasi dorong. Jika gerakan mackarel melebihi 0,4 m/detik maka gerakan memompa operculum menjadi lambat dan kalau melebihi 0,6 m/detik gerakan ini berhenti dan ikan tergantung pada vertilasi dorong (Villee, dkk, 1988)

(7)

4. PEMBAHASAN 4.2 Analisa Hasil

Berdasarkan data yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa kelompok yang memiliki bukaan mulut terbanyak yaitu kelompok 5 dengan 1637 kali dengan rata-rata 327,4 dengan suhu yang digunakan 34oC dan terendah kelompok 3 sebanyak 8 kali dengan suu 5oC. Kelompok yang memiliki bukaan mulut sedikit bahkan tidak ada pada menit-menit terakhir yaitu kelompok 1 dan 3 dengan suhu 5oC dengan jumlah 47 dan 8 kali bukaan mulut Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu pada sutu perairan maka oksigen akan berkurang. Hal ini sesuai denga pendapat Brown (1987) dalam Effendi (2003), yang menyatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 1oC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%.

Kapasitas panas yang besar dari air merupakan mekanisme penyangga yang baik apabila terjadi perubahan temperatur di udara secara tiba-tiba. Akibatnya ikan menjadi hewan yang elatif mempunyai sifat stenothermal (toleransinya terhadap suhu sangat sempit). Fenomena ini bersama dengan sifat poikilotermik atau ektotermik (suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu masa air sekitarnya) ikan menunjukkan kenyataan bahwa peranan temperatur lingkungan tempat hidupnya merupakan hal yang penting ( Kordi dan Tancung, 2007).

Menurut Effendi (2003), peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyeabkan peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme aquatik sekitar 2-3 kali lipat.

Menurut Irianto (2005), suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat

menyebabkan gangguan status status kesehatan untuk jangka panjang. Misalnya stess yang di tandai dengan tubuh lemah, kurus dan tigkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat yang di timbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun. Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan sterss pernapasan pada ikan berupa menurunnya laju pernapasan dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen. Ikan akan mengalami sterss manakala terpapar pada suhu diluar kisaran yang dapat di toleransi.

4.3 Faktor Koreksi

Kurangnya ketelitian praktikan pada saat perhitungan bukaan mulut menggunakan Hand Tally Counter sehingga dapat mempengaruhi hasil ketepatan data. Hal lain yang menjadi faktor koreksi adalah kesalahan prosedur percobaan pada perlakuan yang tidak berurutan yang dapat menyebabkan percobaan terganggu.

4.4 Manfaat Di Bidang Perikanan

Dengan mempelajari respirasi maka kita dapat tahu dan mengatur suplay oksigen yang tepat bagi kehidupan biota air misalnya di areal pertambakan. Karena oksigen merupakan salah satufaktor pembatas, sehingga bila ketersediannya didalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat.

Menurut Kordi dan Tancung (2007), jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernapasan biota budidaya tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitasnya dan batas minimumnyaadalah 3 ppm atau 3 mg/l. Kandungan oksigen didalam air yang dianggap optimum bagi budidaya biota air adalah 4 – 10 ppm, tergantung jenisnya. Laju respirasi terlihat tetap pada batas kelarutan oksigen 3-4 ppm pada suhu 20-30oC.

Menurut Effendi (2003), peningkatan suhu menyebabkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volotilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan

(8)

kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1. Respirasi adalah pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, sedangkan pernapasan ikan dalam air itu adalah pengambilan oksigen dari air dan pelepasan CO2 kedalam air. Pertukaran gas (O2 dan CO2 ) berlangsung dalam insang dan pada beberapa ikan menggunakan kulit untuk bernapas.

2. Oksigen terlarut merupakan faktor yang penting yang digunakan pada proses respirasi dalam air.

3. Sumber O2 dalam air dapat berasal dari atmosphere dengan cara difusi dan juga fotosintesis.

4. Semakin tingi suhu perairan maka konsumsi oksigen semakin meningkat. 5. Semakin tinggi suhu perairan maka jumlah bukaan mulut semakin banyak.

6. Faktor yang mempengaruhi respirasi antara lain besar tubuh ikan, kharakteristik air, suhu dan metabolisme makanan.

7. Kelompok yang memiliki bukaan mulut terbanyak yaitu kelompok 5 dengan 1637 kali dengan rata-rata 327,4 dengan suhu yang digunakan 34oC dan terendah kelompok 3 sebanyak 8 kali dengan suu 5oC.

5.2 Saran

Diharapkan pada praktikum selanjutnya para praktikan lebih memperhatikan bagaimana cara menghitung bukaan mulut pada saat menghitung laju respirasi supaya tidak mempengaruhi nilai kevalidan data.

SISTEM PENCERNAAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pencernaan

Bahan makanan yang padat biasanya dipecah menjadi larutan berisikan molekul organik yang relatif kecil dan dapat larut sebelum dapat dipakai oleh organisme heterotrofik, suatu proses yang disebut pencernaan (Kimball, 1983).

Digesti merupakan proses pemecahan zat makanan yang kompleks menjadi zat yang lebih sederhana. Proses digesti memerlukan waktu dalam mencernakan makanannya, dan waktu yang diperlukan untuk mencernakan makanan itu disebut laju digesti. Pakan yang dikonsumsi oleh ikan akan mengalami proses digesti di dalam sistem pencernaan sebelum nutrisi pakan tersebut diabsorbsi yang akan dimanfaatkan untuk proses biologis pada tubuh ikan (Titik, 2008).

Pencernaan meliputi semua proses dimana bahan makanan organik kompleks yang kaya energi dipecah di dalam sel atau jaringan tubuh (Guyer and Charles, 1964).

(9)

1.2 Pengertian Kemampuan Daya Cerna Ikan Pada Makanan

Menurut Gordon et.al (1977), fraksi ingesti makanan yang dicerna dan diabsorbsi disebut digestibility makanan, dipengaruhi oleh tipe makanan, dan tipe konsumen.

Ikan yang herbivora secara sederhana dapat dinyatakan bahwa ikan itu tidak mempunyai kemampuan untuk memakan dan mencerna material lain selain tumbuhan. Oleh karena itu ikan pemakan tumbuhan cenderung memakan material tumbuhan yang lambat dicernanya. Ikan herbivora ini harus dapat mengekstraksi nutrient melalui ususnya yang panjang. Jadi usus ini berfungsi sebagai penahan makanan dalam jumlah besar dalam waktu yang lama untuk mendapat kesempatan penggunaan penuh material makanan yang sudah dicernakan. Secara kontras ikan karnivora mempunyai usus pendek lebih khusus (Effendie, 1997). 1.3 Pengertian Gastric Evacuation Time (GET)

Menurut Santoso (1994) dalam Titik (2008) proses digesti memerlukan waktu untuk mencernakan makanannya, dan waktu yang diperlukan untuk mencernakan makanan itu disebut laju digesti. Proses laju digesti dapat disebut juga dengan proses laju pengosongan lambung.

Menurut Bromley (1994) dalam Moyle and Joseph (1996) pengukuran rata-rata pengosongan lambung sama dengan rata-rata makan, dengan daya cerna relatif.

Menurut Tyler (1976), Bromley (1994) dalam Galano et.al (2003), rata-rata pengosongan lambung merupakan salah satu determinasi utama pada pencernaan makanan dan

pengetahuan pada aspek ini sangat berguna untuk mendeterminasi frekuensi makanan optimal yang dipelajari dalam pengosongan lambung adalah spesies predator, suhu, ukuran makanan, kualitas makanan dan dampak rata-rata pengosongan lambung terhadap sejarah kehidupan ikan.

1.4 Organ Pencernaan dan Fungsi

Menurut Noer dan Widowati (2007), kelenjar pencernaan disekresikan oleh organ hati, empedu dan pankreas.

a. Hati (Hepar) dan Kantung Empedu

Hati merupakan kelenjar pencernaan terbesar yang mempunyai fungsi variatif dan berbeda yaitu menyimpan hasil pemecahan karbohidrat (sebagian pada golongan cyclostomata dan ikan) dan lemak. Membersihkan toksik pada darah juga dilakukan hepar. Fungsi hepar dalam pencernaan makanan itu sendiri mensekresi bilus yang dikeluarkan dari saluran hepar menuju ke duodenum dimana lemak yang teremulsi di proses bersama enzim dari pankreas. Hepar menghasilkan bilus melalui duodenum dimana jika bilus yang disekresikan hepar berlebih akan disimpan dalam vesiko felea yang merupakan bentukan dari pelebaran saluran hepar. b. Pankreas

Pankreas dikatakan kelenjar yang berfungsi sebagai kelenjar eksokrin dan kelenjar endokrin. Dikatakan kelenjar eksokrin karena hasil sekresinya melalui sistem saluran dan endokrin karena sekresi dikeluarkan menuju target organ melalui pembuluh darah.

Menurut Ville, dkk (1984) sel-sel sekretoris biasanya merupakan bagian dari lapisan saluran pencernaan, tetapi dapat juga terdapat dalam kelenjar atau organ-organ seperti hati dan pankreas. Hati dan pankreas adalah pertumbuhan bagian depan usus yang berkelenjar. a. Sel hati terus menerus menghasilkan empedu, dan lewat saluran sisnik ke dalam kantung empedu. Meskipun empedu tidak mengandung enzim pencernaan, tetapi mempunyai fungsi ganda dalam pencernaan. Sifatnya yang basa, bersama dengan sekresi dari pankreas,

menetralkan makanan asam yang keluar dari lambung dan menciptakan pH yang baik untuk kerja enzim pankreas dan enzim usus. Garam empedunya mengemulsikan lemak dan

memecahnya dalam bagian-bagian yang kecil dan dengan demikian membuat permukaan lemak itu lebih besar untuk kerja enzim pemecah lemak.

(10)

b. Pankreas merupakan kelenjar pencernaan yang penting dan menghasilkan sejumlah enzim yang bekerja pada karbonhidrat, protein dan lemak. Enzim yang merombak asam nukleat dihasilkan oleh pankreas sapi dan ruminansia lainnya. Tetapi pada hewan lain sekresi nuclease biasanya hanya sedikit sekali. Enzim ini masuk ke dalam usus melalui saluran pankreas yang berhubungan dengan saluran empedu.

Menurut Tanang (1988), dalam Wirosaputro (1998) yang dimaksud dengan organ pencernaan adalah organ tubuh bagian dalam yang terdiri dari unit lambung, usus halus dan usus besar. 1. Membran mukosa lambung menghasilkan enzim pemecah protein yaitu pepsinogen kemudian dirangsang oleh asam hidroklorida (HCl) lambung pada pH 1,5 – 2,0 kemudian menjadi pepsin. Pepsin bertugas untuk menghancurkan struktur jaringan ikat makanan dan membebaskan lemak pada makanan.

2. Dengan bantuan mucus. Dalam lambung terdapat cairan yang berfungsi untuk pencernaan protein dengan cara hidrolisis. Dalam lambung ini dihasilkan asam HCl, pepsin, rennin dan mucus atau lender.

3. Pencernaan yang telah dicerna dalam lambung secara berkala masuk ke dalam usus dua belas jari (duodenum) malalui katup pylorus. Ada 2 organ yang berperan penting dalam pencernaan makanan di usus yaitu pankreas, empedu dan usus sendiri.

1.5 Proses Pencernaan (Protein, Lemak dan Karbohidrat) 1.5.1 Proses Pencernaan Protein

Menurut Yuwono dan Purnama (2001), pada hewan air pencernaan protein membutuhkan enzim protease sebagai katalisator. Enzim protease yang utama pada udang misalnya adalah tripsin dan kemotipsin. Pada vertebrata pencernaan protein membutuhkan pepsin misalnya pada perut ikan karnivora, tripsin dalam usus dan pankreas, kimotripsin dan erepsin dalam usus.

Menurut Iskandar (1974), di dalam mulut tidak terjadi pencernaan protein, sedangkan di lambung dengan pengaruh enzim pepsin, protein dipecah menjadi protease dan polypeptide. Dalam pankreas terdapat enzim trypsin, chymotripsin dan carboxipeptidase yang bekerja pada protein dan polypeptide.

1.5.2 Proses Perncernaan Lemak

Menurut Iskandar (1979), pencernaan lipid di usus halus yang diemulsikan oleh empedu dan terjadi hidrolisis oleh enzim-enzim yang dikeluarkan pankreas, yaitu enzim lipase yang bekerja pada lipid. Terutama enzim lipase bekerja pada trigliserida dengan hsil akhir gliserol, asam lemak, momogliserida, digliserida dan sedikit trigliserida yang tidak terhifrolisis

kolestrol akan diesterkan dengan enzim esterase dan hidrolisis lecithin oleh enzim lecithinase. Menurut Isnaeni (2006), pencernaan lipid baru dimulai pada saat bahan makanan sampai di usus, llipase lambung dan lipase pankreas. Lipase akan menghidrolisis lipid dan trigliserida menjadi digliserida, monogliserida, gliserol dan asam lemak bebas. Pencernaan lemak dipermudah dengan adanya garam empedu, yang menurunkan tegangan pemukaan dan mengemulsikan tetes lemak berukuran besar menjadi butiran lebih kecil.

1.5.3 Proses Pencernaan Karbohidrat

Menurut Isnaeni (2006), enzim yang bertanggung jawab dalam pencernaan karbohidrat adalah karbohidrase. Enzim ini memutuskan ikatan glikosidik pada karbohidrat sehingga dapat dihasilkan disakarida trisakarida dan polisakarida lain yang memiliki rantai lebih pendek. Amylase ludah menguraikan karbohidrat dengan cara memutus ikatan 1,4 glikosidik pada pati dan glikogen sehingga dihasilkan campuran maltosa glukosa dan digosakarida. Enzim amylase juga disekresikan oleh pankreas. Amylase pankreas dialirkan ke usus halus bagian atas (duodenum, usus 12 jari) dan akan memecah pati menjadi dekstrin, maitotriosa dan maliosa.

(11)

adalah amylase yang bekerja pada amilum dan memecahnya menjadi maltosa dan kemudian maltoda memecahnya menjadi glukosa dengan proses pencernaan kimiawi. Pada hewan air misalnya karnivora, amylase disekresi dari seluruh saluran gastrointerstinal maupun dari pankreas. Amylase di sekresi dalam seluruh saluran almentase pada ikan mujaer yang memakan ikan herbivora.

1.6 Proses Pencernaan Fisika dan Kimia

Menurut Yuwono dan Purnama (2001), berdasarkan perangkat yang digunakan pencernaan pada hewan air terjadi secara mekanik dan kimiawi.

1. Pencernaan mekanik (fisika) menggunakan taring misalnya pada ikan untuk menggigit. Beberapa hewan air juga mengunakan gigi dan mengoyak pakan misalnya pada ikan lele. Struktur tembolok pada hewan air (pada ikan dan udang) juga digunakan untuk perncernaan mekanik. Sebanyak 85% ikan Teleostei memiliki lambung yang digunakan untuk pencernaan mekanik.

2. Pencernaan kimiawi melibatkan enzim (contohnya protease, lipase, amylase) sebagai katalisator untuk mempercepat prosesnya. Dalam kondisi normal reaksi berjalan lambat tetapi dengan hidrolisis dan kerja enzim reaksi kimia berjalan lebih cepat. Pencernaan protein oleh enzim protease yang terdiri atas enzim eksopeptidase dan endopeptidase. Enzim tersebut terdapat pada hewan avertebrata dan vertebrata. Pencernaan karbohidrat, dihidrolisis oleh amylase, katalisis oleh sukrase, prosesnya serupa pada hewanavertebrata dan vertebrata. Pencernaan selulosa memerlukan selulise yang dihasilkan oleh bakteri simbiotik.

Sistem pencernaan berfungsi untuk mengubah bahan makanan yang kompleks menjadi sari makanan yang sederhana agar dapat diserap oleh sel. Pencernaan makanan dapat terjadi secara mekanis dengan bantuan gigi atau penggantinya (misalnya gigi parut dari bahan tanduk) dan secara kimia (dengan bantuan enzim pencernaan atau senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme). Ditinjau dari tempat berlangsungnya pencernaan makanan dapat terjadi di dalam sel (intraseluler) maupun di luar sel (ekstraseluler) (Isnaeni, 2006). 1.7 Struktur dan Fungsi Saluran Pencernaan

Menurut Guru Ngeblog (2008), saluran pencernaan pada ikan dimulai dari rongga mulut (cavum oris). Di dalam rongga mulut terdapat gigi-gigi kecil yang berbentuk kerucut pada geraham bawah dan lidah pada dasar mulut yang tidak dapat digerakkan serta banyak menghasilkan lender, tetapi tidak menghasilkan ludah (enzim). Dari mulut makanan masuk ke esophagus melalui faring yang terdapat di daerah sekitar insang dan bila tidak dilalui makanan lumennya menyempit. Dari kerongkongan makanan didorong masuk ke lambung, lambung pada umumnya membesar dan batasnya dengan usus tidak jelas. Pada beberapa ikan, terdapat tonjolan buntu untuk memperluas bidang penyerapan makanan. Dari lambung, makanan masuk ke usus yang berupa pipa panjang berkelok-kelok dan besarnya sama. Usus bermuara pada anus.

Menurut Poedjiadi dan Titin (2007), sistem pencernaan makanan terdiri atas beberapa organ tubuh, yaitu mulut, lambung dan usus dengan bantuan pankreas dan empedu.

1. Pencernaan dalam Mulut

Dalam mulut makanan dihancurkan secara mekanis oleh gigi dengan jalan dikunyah. Makanan yang dimakan dalam bentuk besar diubah menjadi ukuran yang kecil. Selama penghancuran secara mekanis ini berlangsung, kelenjar disekitar mulut mengeluarkan cairan yang disebut saliva atau ludah.

2. Pencernaan dalam Lambung

Makanan yang telah dikunyah dalam mulut ditelan melalui esophagus masuk ke dalam lambung disebabkan oleh adanya gerak peristaltic pada esophagus dengan bantuan mucus. Dalam lambung terdapat cairan yang berfungsi untuk pencernaan protein dengan cara

(12)

hidrolisis. Dalam lambung ini dihasilkan asam HCl, pepsin, rennin dan mucus atau lendir. 3. Pencernaan dalam Usus

Makanan yang telah dicerna dalam lambung secara berkala masuk ke dalam usus duabelas jari (duodenum) melalui katup pylorus. Ada 2 organ yang berperan penting dalam pencernaan makanan di usus yaitu pankreas, empedu dan usus sendiri.

1.8 Manfaat Kandungan Pakan Ikan 1.8.1 Alami

Pakan ikan alami merupakan makanan ikan yang tumbuh di alam tanpa campur tangan manusia secara langsung. Pakan ikan alami sebagai makanan ikan adalah plankton dan tumbuhan air lainnya. Plakton dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu plankton nabati (phytoplankton) dan plankton hewani (zooplankton). Tetapi menurut ekologi dan cara hidupnya, plankton dapat dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu epiphyton (periphyton) nekton dan bentos. Ephiphyton adalah jenis plankton, baik phytoplankton maupun

zooplankton, yang hidup menempel pada benda-benda air atau melayang-layang dalam air. Nekton adalah jenis plankton yang bisa bergerak aktif. Sedangkan benthos adalah jenis plankton yang menetap di bagian dasar perairan (Djarijah, 1995).

Menurut Maswira Webblog (2009), memiliki komposisi gizi yang baik diantaranya protein, lemak, karbohidrat dan mineral. Protein berguna saat proses pertumbuhan dan pengganti sel yang rusak sebagai zat pembangun. Lemak dan karbohidrat berfungsi sebagai pembentuk energi yang akan digunakan tubuh, vitamin dan mineral akan membantu proses metabolisme, mengatur fisiologis membentuk enzim dan hormone karena pakan alami dapat bergerak aktif dan sehingga mengundang larva untuk memakannya. Pada dunia pembesaran, pakan alami sering digunakan untuk memacu perumbuhan (misal cacing sutra).

1.8.2 Buatan

Pakan ikan buatan merupakan makanan ikan yang dibuat dari campuran bahan. Bahan alami dan atau bahan olahan yang selanjutnya dilakukan proses pengolahan serta dibuat dalam bentuk tertentu sehingga tercipta daya tarik (merangsang) ikan untuk memakannya dengan mudah dan lahap. Istilah lain untuk pakan ikan buatan adalah concentrate. Namun istilah ini lebih memasyarakat untuk menyebut pakan unggas (Djarijah, 1995).

Menurut Sutan Muda (2008), bentuk pakan buatan ditentukan oleh kebiasaan makan ikan : a) Larutan; b) Tepung halus; c) Tepung kasar, d) Remah; e) Pelet; f) Eater; g) Tepung darah; h) silase.

1.9 Jenis Makanan Pada Ikan

Menurut fungsinya, pakan ikan dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu sebagai makanan utama (makanan pokok) dan makanan tambahan. Sebagai makanan pokok apabila sebagian besar sumber energi yang diberikan dari luar digolongkan sebagai makanan tambahan (Djarijan, 1995).

Menurut Yuwono dan Purnama (2001) berdasarkan tipenya, pakan hewan air dapat dibedakan sebagai berikut :

- Pakan partikel kecil : bakteri, algae – metodenya antara lain menggunakan cilia menyaring amoeba, radiolarian, ciliate, bivalvia, gastropoda, crustacean.

- Pakan partikel besar diperoleh dengan menangkap dan menelan mangsa ikan karnivora, herbivora, omnivora.

- Pakan molekul organik terlarut diperoleh melalui uptake dari perairan sekitarnya misalnya pada vertebrata laut kecuali arthopoda.

(13)

simbiose, misalnya pada zoxanthele dan arthropoda.

1.10 Komposisi Pakan (Pelet, Tubifex Kering, Chironomous dan Lumut Jaring)

Pelet adalah pakan tambahan yang dicetak berbentuk butiran dan diberikan untuk tahap pembesaran. Formulasi pelet bermacam-macam tergantung dari bahan dasarnya. Berikut ini adalah contoh formulasi pelet :

Tepung ikan 50% Tepung Kedelai 30% Tepung Terigu 13% Kuning Telur 5% Premix 2%

Dalam pembuatan pelet terlebih dahulu dilakukan penyusunan ramuan. Berbagai cara yang dapat ditempuh dalam penyusunan ramuan, namun yang paling praktis adalah dengan menggunakan sistem segiempat pearson.

Contoh :

Akan dibuat ransom dengan kadar protein 30% sebanyak 250 kg dengan bahan-bahan yang sudah diketahui komposisi proteinnya, yaitu :

Tepung Ikan (45% protein) Tepung Kedelai (41% protein) Dedak Halus (12% protein)

Tepung Jagung (9% protein) (Isnaini, 2008).

Kompisis Cacing tubiex terdiri dari protein 46,1%, lemak 15,1%dan abu 6,0%, sedangkan cacing darah (blood warm) 90% bagian ubuh adalah air dan sisanya 10% terdiri dari bahan padatan. Dari 10% bahan padatan isi 62,5% adalah protein, 10% lemak, dan sisanya lain-lain (Ekawati, 2005).

1.11 Faktor-faktor yang mempengaruhi GET

Menurut Mujiman (1984) dalam TItik (2008), laju pengosongan laju digesti dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya temperatur lingkungan dan kualitas pakan. Selain itu faktor-faktor kimia yang terdapat dalam perairan yaitu kandungan O2, CO2, H2S, pH dan alkalinitas. Biasanya semakin banyak aktifitas ikan, maka ikan semakin banyak membutuhkan energi sehingga proses metabolismenya tinggi dan membutuhkan makanan yang mutunya jauh lebih baik dan banyak.

Menurut Gunarso, dkk (2003), kandungan lemak total pada pakan akan memperlambat proses pencernaan dan waktu kosong saluran pencernaan ikan.

1.12 Faktor yang Mempengaruhi Digestibility

Menurut Goenarso, dkk (2003), efisiensi daya cerna menunjukkan bahwa jumlah pakan yang dapat diabsorbsi oleh ikan semakin berkurang sejalan dengan meningkatnya ampas kelapa dalam pakan. Karena serat yang terkandung dalam pakan bercampur ampas kelapa secara tidak langsung akan meningkatkan kadar selulosa dalam pakan. Dan kandungan serat yang tinggi pada pakan ikan dapat menurunkan laju tumbuh.

Menurut Schneider dan Flatt (1975) dalam Haetami dan Sukayo (2005), Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecemasan bahan kering ransom adalah :

1. Tingkat proporsi bahan pakan dalam ransom 2. Komposisi Kimia

3. Tingkat protein ransom 4. Persentase lemak dan

(14)

5. Mineral

Disamping itu perbedaan nilai bahan kering dicerna, mungkin disebabkan karena adanya perbedaan pada sifat-sifat maknan yang diproses termsuk kesesuaiannya untuk dihirolisis oleh enzim dan aktifitas substansi substansi yang terdapat di dalam pakan.

4.2 Analisa Hasil 4.2.1 Digestibility

Pada pengamatan digestibility (daya cerna) terhadap ikan nila (Oreochromis niloticus) yang telah diberikan perlakuan ang berbeda terhadap perbedaan jenis pakan diperoleh hasil nilai digestibility (daya cerna) ikan nila tertinggi yaitu pada kelompok 2 dengan jumlah presentase sebesar 99,80% dengan perlakuan ikan nila diberi paka alami yaitu tubifex selama 2 jam. Sementara itu nilai digestibility terendah terdapat pada kelompok 1 dengan jumlah nilai preentase digestibilitynya terendah terdapat pada kelompok 1 dengan jumlah nilai presentase digestibilitynya sebesar 79,5% dengan perlakuan ikan nila diberi pakan jenis lumut jaring. Sementara itu urutann nilai digestibility (daya cerna) pada penggunaan waktu 1 jam adalah kelompok 7 dengan nilai 99,4% dengan pakan tubifex, kedua kelompok 5 dengan nilai 97,82% dengan pakan pelet, ketiga kelompok 3 dengan nilai 97,7% dengan pakan

chironomous dan terendah kelompok 1 dengan nilai 79% dengan pemberian pakan lumut jaring. Hal ini dapat terjadi karena ikan lebih banyak menandung enzim protease daripada enzim amilase. Sehingga ikan lebih baik dalam mencerna tubifex daripada lumut jaring. Hal ini sesuai dengan pernyataan isnaeni (2006), bahwa karbohidrat yang banyak ditemukan pada dinding sel tumbuhan adalah sesulose. Selulose tersusun atas komponen dasar penyusun selulosa (monomer) yang saling berikatan dengan ikatan glikosidik, pada hewan tidak

memiliki enzim yang berfungsi untuk memecah ikatan glikosidik. Oleh karena itu, untuk mencerna selulosa, hewan memerlukan bantuan mikroorganisme yang memiliki enzim pemutus ikatan beta glikosidik.

Kemudian pada waktu 2 jam terdapat proses digestibility yang berada di daya cerna tertinggi secara berurutan adalah kelompok 2 99,80% dengan pakan tubifex, kelompok 6 dengan pakan chironomous sebesar 97,7% dan kelompok 4 94,29% dengan pakan pelet.

Hal ini dapat terjadi karena cacing tubifex mengandung protein yang tinggi sehingga mudah dcerna oleh ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ekawati (2005) bahwa komposisi cacing tubifex terdiri dari protein 46,1%, lemak 15,1% dan abu 6,9%

4.2.2 GET (Gastric Evacuation Time / waktu pengosongan lambung)

Berdasarkan hasil praktkum GET, diperoleh nilai GET tertinggi pada kelompok 4 yaitu nilai GET sebesar 312,9 jam dengan perlakuan ikan nila (Oreochromis nioticus) diberi pakan pelet yang merupakan pakan buatan yaang telah dipenuhi komposisinya sesuai kebuuhan nutrisi pada ikan. Sedangkan nilai GET terkecil berada pada kelompok 5 dengan nilai GET 49 jam dengan perlakuan ikan nila diberi pakan pelet. Tujuan dari praktikum GET itu sendiri adalah untuk mengetahui waktu pengosongan lambung sehingga diasumsikan ketika ikan nila mengeluarkan feses maka lambung ikan dalam keadaan kosong.

Dari hasil pengamatan GET, hampir sebagian besar ikan nila tidak mengeluarkan feses sehingga nilai a yaitu tenggng waktu antara saat pemberian pakan dan tenggang waktu dimulainya proses pencernaan digunakan 1 jam karena diasumsikan selama kurun waktu 1 jam ikan nila sudah memulai proses pencernaan makanan dalam tubuhnya. Sedangkan untuk nilai t yaitu tenggang waktu antara saat pakan dimasukkan hingga keluarnya feses, akan tetapi karena ikan nila tidak mengeluarkan feses seingga t yang dimasukkan dalam perhitungan mencari nilai prosesntase GET adalah lama waktu pengamatan.

Pada perlakuan GET dengan waktu 1,5 jam dapat diketahui urutan tingkat GET yang

(15)

pakan lumut jaring 47,5 dan terakhir cacing tubifex sebesar 42 jam. Hal ini dapat terjadi karena pelet merupakan pakan buatan yang telah diberi ransum atau komposisi yanng cukup dan dibuat untuk merangsang ikan menyukainya. Sementara iu cacing tubifex merupakan pakan alami yang mudah dicerna oleh ikan sehingga waktu pengosongan lambng semakin cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mudjiman (1984) dalam Titik (2008) ahwa mutu protein dipengaruhi oleh sumber asalnya serta oleh kandungan asam aminonya. Protein nabati (asal tumbuhan) lebi sukar dicerna daripada protein hewani (asal hewan).

Pada perlakuan GET dengan waktu 3 jam dapat diketahui urutan tingkat GET yang tertinggi yaitu pelet 295 jam, pakan tubifex 282 jam, pakan lumut jaring 141,5 jam dan chironmous 94,33 jam. Hal ini dapat terjadi karena chironomous banyak mengandung protein sehingga mudah untuk dicerna dan lambung cepat kosong. Hal ini sesuai dengan pernyataan O-Fish (2009) bahwa 90% bagian chironomous adalah air dan sisanya 10% terdiri dari bahan

padatan. Dari 10% bahan padatan ini 62,5% adalah protein, 10 % lemak dan isanya lain-lain. Pada pengamatan 2 perlakuan waktu yaitu 1,5 jam dan 3 jam yang memilki nilai tetinggi adalah pada pemberian pakan pelet dan yang paling rendah adalah pada pakan tubifex dan cironomous. Hal ini dapat terjadi karena tubifex dan chironomous merupakan jenis pakan yang banyak mengandung protein sehingga mudah dicerna.

Apabila dibandingkan antara perlakuan 1,5 jam dan 3 jam diperoleh hasil bahwa pakan lumut jaring nili GET 1,5 jam adalah 47,5 jam dan 3 jam 141,5 jam sehingga GET yang terbaik pada ikan berada pada waktu 1,5 jam. Kemudian pada pakan tubifex kelompok 2 nilai GET 1,5 jam adalah 24,25 dan 3 jam 282, sehingga GET yang terbaik pada ikan berada pada perlakuan 1,5 jam. Pada pakan chironomous nilai GET 1,5 jam adalah 141,5 dan 3 ja adalah 27,4 jam/ jadi perlakuan daya cerna ikan yang terbaik pada ikan adalah pada perlakuan 3 jam. Kemudian pada pakan pelet, nilai GET pada waktu perlakuan 1,5 jam adalah 312,9 dan perlakuan 3 jam adalah 105 pada kelompok 4 sehingga waktu pengosongan lambung yang terbaik adalah pada perlakuan3 jam. Jadi berdasarkan analisa tersenut dapat diambl

kesimpulan bahwa waktu berpengaruh terhadap nilai GET pada tubuh ikan. Karena pada saat proses metabolisme ikan membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mujiman(1984) dalam Titik (2008) bahwa lju pengosongan laju digestibility dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya temperatur lingkungan dan kualita pakan.

Biasanya semakin banyak aktivitas ikan, maka semakin banyak membutuhkan energi sehinga proses metabolismenya tinggi dan membutuhkan makanan yang mutunya jauh lebih baik dan lebih banyak jumlahnya.

4.2.3 Hubungan Digestibility dan GET (Gastric Evacuation Time)

Hubungan digestibility dan GET adalah apabila nilai dari digestibility meningkat maka nilai dari GET akan menurun. Hal ini sangat erat hubungannya dengan waktu yang digunakan dalam pengamatan.

4.3 Faktor Koreksi

Hal yang perlu menjadi koreksi pada praktikum ini adalah keadaan ikan yang seharusnya telah dipuasakan selama 3 hari. Hal ini akan berpengaruh atau mempengaruhi hasil

pengamatan. Kemudian dalam pengmabilan feses praktikan harus jeli membedakan feses dan makanan ikan. Kemudian mulainya perhitungan waktu saat ikan makan pertama kali bisa saja kurang teliti dalam mengamati dan juga dalam proes penimbangan ikan sering terjadi

kesalahan sehingga data yang dihasilkan kurang akurat. 4.4 Manfaat Dibidang Perikanan

Melalui praktikum tentang sistem pencernaan ini diperoleh beberapa mamfaat dibidang perikanan antara lain:

(16)

a. Dapat mengetahui macam-macam organ pencernaan pada ikan nila (Oreochromis niloticus) beserta fungsinya.

b. Dapat mengetahui struktur dan fungsi saluran pencernaan pada ikan nila

c. Dapat mengetahui proses pencernaan pada ikan nila, sehingga untuk melakukan budidaya ikan nila, kita dapat memberi pakan yang sesuai supaya proses pencernaannya dapat berjalan lancar.

d. Dapat mengetahui jenis-jenis pakan pada ikan, baik pakan alami maupun pakan buatan. e. Dapat mengetahui kandungan pakan pada ikan, sehingga memudahkan menyeleksi pemberian pakan pada budidaya ikan nila.

f. Dapat mengetahui daya cerna ikan pada makanan dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga kita dapat mengetahui pakan-pakan apa saja yang memiliki kemampuan daya cerna tinggi dan daya cerna rendah.

g. Dapat mengetahui lingkungan yang baik dari pakan yang dimakan ikan untuk proses pencernaan dan pertumbuhannya.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum tentang sistem pencernaan yang telah dlakukan dapat diperoleh beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1. Pencernan (digestion) adalah proses perombakan makanan menjadi molekul – molekul yang sederhana sehingga dapat diserap oleh tubuh.

2. Organ pencernaan pada ikan meliputi lambung, usus dan pankreas

3. Saluran pencernaan pada ikan meliputi mulut, rongga mulut, faring, esophagus, lambung, pilorus, usus, rectum dan anus

4. Proses pencernaan dibagi menjadi pencernaan mekanik dan kimiawi yang melibatkan enzim.

5. Kandungan pakan pada ikan meliputi protein, lemak dan karbohidrat 6. Terdapat 2 jenis pakan pada ikan yaitu pakan alami dan pakan buatan

7. Pakan alami dibagi menjadi pakan alami nabati (lumut jaring) dan pakan alami hewani (chironomous dan tubifex), sedangkancontoh pakan buatan untuk ikan adalah pelet.

8. Pakan alami hewani lebih mudah dicerna daripada pakan nabati, sebab pada pakan nabati mengandung selulosa yang menyebabkan sulit dicerna.

9. Ikan kurang mampu mencerna serat kasar karena pada usus ikan tidak terdapat mikroba yang dapat memproduksi enzim amilase atau selulose.

10. Faktor yang mempengaruhi digestibility antara lain jenis pakan, kualitas pakan, aktivitas ikan, kondisi tubuh ikan.

11. Waktu pengosongan lambung sangat berhubungan erat dengan lamanya waktu isi makanan yang ada dilambung dikeluarkan atau dikosongkan.

12. Faktor yang mempengaruhi waktu pengosongan lambung antara lain temperatur, berat porsi makan dalam lambung dan berat tubuh ikan.

13. Hubungan antara digestibility dan GET yaitu semakin tinggi digestibility maka akan semakin rendah atau sedikit waktu yang diperlukan untuk mengosongkan lambung.jadi hubungannya berbanding terbalik.

14. Dari hasil praktikum pencernaan didapat nilai digestibilitynya yang tertinggi dimiliki oleh kelompok 2 dengan digestibility 99, 80% arena diberi perlakuan tubifex selama 2 jam. Nilai digestibility terendah dimiliki oleh kelompok 1 dengan digestibility sebesar 79% diberi perlakuanlumut jaring selama 1 jam.

5.2 Saran

(17)

selama 3 hari supaya diperoleh hasil yang maksimal karena jika tidak dipuasakan akan mempengaruhi nilai data yang diperoleh.

FOTOTAKSIS DAN PEWARNAAN TUBUH

1. PENDAHULUAN

1.1 Pengertian dan Jenis Fototaksis

Menurut Agung (2009), fototaksis adalah gerak taksis yang disebabkan oleh adanya rangsangan cahaya.

Menurut Ayodhoya (1976, 1981) dalam Sudirman dan Achmar (2000), ikan tertarik pada cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan melalui otak (pineal rigean pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya disebut fototaksis. Dengan demikian ikan yang tertarik oleh cahaya hanyalah ikan-ikan fototaksis, yang umumnya adalah ikan-ikan pelagis dan sebagian kecil ikan demersal, sedangkan ikan-ikan yang tidak tertarik oleh cahaya atau menjauhi cahaya biasa disebut fotophobi (ada pula yan menyebutnya sebagai fototaksis negatif seperti Gunawan, 1985).

Banyak larva yang mengapung bebas bersifat fototaksis pada tahap awal kehidupan larvanya. Ini membuat mereka terdapat pada perairan bebas yang bergerak cepat. Di perairan ini terjadi dispersi yang terbesar jika tiba waktunya untuk menetap, mereka menjadi fototaksis negatif dan bermigrasi ke arah dasar (Nybakken, 1988).

Umumnya hewan nokturnal bersifat fototaksis negatif, sedangkan hewan diurnal cenderung bersifat fototaksis positif. Dengan kata lain bahwa hewan nokturnal pada intensitas cahaya yang maksimum akan dirangsang untuk melakukan gerakan mencari perlindungan.

Sedangkan bagi hewan diurnal intensitas cahaya yang kuat akan memberikan reaksi yang sebaliknya, mereka akan melakukan berbagai aktivitas (Barus, 2003).

Menurut Olii (2003), terdapat juga ichtyoplankton yang bermigrasi secara harian ke arah permukaanpada siang hari dan masuk ke lapisan yang lebih dalam pada malam hari dimana hal ini merupakan suatu pengecualian yang bersifat fototaksis positif.

1.2 Pewarnaan Tubuh Ikan

Menurut Effendie (1972), ikan yang hidup di perairan bebas mempunyai warna yang sederhana. Warnanya bertingkat dari keputih-putihan sampai ke warna hitam melalui warna kebiru-biruan dan kehijau-hijauan. Ikan yang hidup di dasar perairan bagian perutnya berwarna pucat dan bagian punggungnya berwarna gelap. Pewarnaan ikan laut menurut kedalamnannya dapat digolongkan menjadi tiga bagian. Ikan yang hidup di lapisan atas atau dekat ke permukaan berwarna keperak-perakan yang hidup di daerah pertengahan berwarna kemerah-merahan sedangkan ikan yang hidup di perairan dalam berwarna violet atau hitam. Perubahan warna ikan dari warna dasarnya telah banyak diketahui. Perubahan-perubahan tersebut karena perantaraan dan aktivitas pigmen-pigmen pada integumen yang mengandung sel-sel disebut kromatophore (Fuji,1969 dalam Rustidja, 1996).

Warna menunjukkan partikel bentuk yang nyata, seperti warna merah, kuning, hijau atau warna lainnya merupakan bagian dari pewarnaan yang digunakan untuk pengaturan spesifikasi dari pola warna-warna yang belum dipadukan (Guyer dan Charles, 1964).

Produksi warna cahaya oleh variasi organ photogenic semua binatang biru ke merah (Prosser dan Frank, 1961).

(18)

1.3 Cone dan Rod pada Ikan dan Udang

Menurut Kimball (1983), batang kira-kira ada 100 juta dalam setiap mata. Batang terutama dipakai untuk penglihatan dalam cahaya suram dan teramat peka terhadap cahaya. Akan tetapi bayangan yang dihasilkan batang-batang ini tidak tajam. Agar cahaya dapat diserap, harus ada bahan penyerap cahaya, yaitu suatu pigmen. Pigmen pada batang ialah radopsin. Radopsin tergabung dalam membran yang secara rapi tersusun di bagian luar batang tersebut. Radopsin ialah protein yang terkonjugasi. Terdiri dari protein opsin, yang padanya terdapat gugus protetik retinal. Sedangkan kerucut jumlahnya sangat banyak (sekitar 15.000 pada setiap milimeter persegi) di satu daerah retina, yaitu fovea, suatu daerah tepat di seberang lensa. Berbeda dari batang, kerucut hanya bekerja dalam cahay terang. Lagipula, kerucut membuat kita dapat melihat warna-warna.

Sebagian besar ikan dapat membedakan warna. Tetapi ikan tulang rawan tertentu dan gonad tidak dapat membedakan warna. Ikan dapat merubah warna tubuhnya sesuai dengan warna latar belakang habitatnya, dalam menyesuaikan warna tubuh tersebut biasanya warna tubuh menjadi berwarna kombinasi antara warna latar belakang dengan warna tubuh aslinya (Dani dan Murni, 1985).

Menurut Villee (1984), bagian mata peka cahaya pada mata vertebrata adalah retina. Suatu belahan bola yang terdiri atas sejumlah besar sel reseptor yang menurut bentuknya disebut sel batang dan kerucut. Cahaya mengenai sel-sel batang dan kerucut mengaktifkan, sel-sel ini kemudian membangkitkan impuls saraf. Segmen luar dari tiap batang mempunyai perluasan sistem membran sel dan sejumlah besar pigmen radopsin. Sel kerucut mengandung radopsin, suatu pigmen visual yang terdiri atas kromafor yang sama (retinal) tetapi proteinnya berbeda. Menurut Ganong (1983), pigmen peka cahaya pada batang dinamakan radopsin, atau ungu penglihatan (visual purple), orsinya dinamakan scotopin. Cahaya memusatkan radopsin dengan memutuskan ikatan retinenkotopsin, reaksi yang berlangsung melalui serangkaian perantara hidup pendek menjadi rentiner dan scotopsin. Terdapat 3 jenis pigmen kerucut yang berbeda, iadopsin merupakan pigmen yang paling sensitif terhadap cahaya merah. Pigmen ini dibentuk dari retinen dan fotopsin, sebuah protein yang berbeda dari scotopsin. Pigmen sel kerucut lainnya juga mengandung retinen, dan perbedaaan antara masing-masing terletak pada perbedaan dalam struktur opsinnya.

1.4 Pengaruh Cahaya Terhadap Pergerakan Ikan

Cahaya berpengaruh besar dalam orientasi migrasi ikan. Arah migrasi ikan secara mudah dapat dihubungkan dengan perilaku diurnal dengan siklus diurnal cahaya matahari, contoh : ikan salmon berenang di waktu siang hari dan istirahat di waktu sore hari dan malam hari, kemudian memasuki dasar lautan di siang hari (Brotowidjoyo, dkk, 1996).

Reaksi ikan terhadap cahaya berubah menurut phase pertumbuhannya, ikan salmon muda dan beberapa ikan tawar lain, akan berlindung di balik batu-batuan jika kena cahaya untuk

menghindari adanya predator. Pada larva Ammocotus sp (lamprey/cyclostomata) pada ekornya terdapat sel yang peka terhadap cahaya (Dani dan Murni, 1985).

Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Larva dari Bcetisthodani akan beraksi terhadap perubahan intensitas cahaya dengan melakukan gerakan lokomotif. Apabila intensitas cahaya matahari berkurang, hewan ini akan dirangsang untuk melakukan gerakan lokomotif untuk keluar dari tempat perlindungan yang terdapat pada bagian bawah dari bebatuan di dasar perairan (Barus, 2003).

(19)

1.5 Klasifikasi Warna

Menurut Effendie (1972), warna-warna ikan yang tersebut di atas disebabkan oleh : 1. Schemachrome, warna oleh konfigurasi fisis

2. Biochrome, pigmen pembawa warna

Contoh pewarnaan schemachrome ialah warna-warna yang terdapat pada rangka, vasion natatolia (gelembung renang), sisik dan testes. Jadi warna-warna ini bukan disebabkan oleh butir-butir pigmen. Warna schemachrome lain yang berwarna biru dan violet terdapat pada iris mata. Yang termasuk ke dalam biochrome ialah :

- Carotenoid : berwarna kuning, merah dan corak warna lain - Chromdipoid : berwarna kunig sampai coklat

- Indigoid : berwarna biru, merah dan hijau

- Mebrin : kebanyakan berwarna merah dan coklat - Phorphysin : berwarna merah, kuning hijau dan biru

- Flavins : berwarna kuning tetapi sering dengan fluorescensi hijau - Purine : berwarna putih atau keperak-perakan

- Pterine : berwarna putih, kuning, merah dan oranye

Sel-sel yang khusus membeli warna ikan ada dua macam, yaitu indocyte (leucophore atau goanophore) dan chromatopore. Indocyte dinamakan juga sel kaca karena mengandung material yang dapat merefleksikan warna-warna di luar tubuh ikan. Material yang terkandung di dalam indocyte tersebut, antara lain adalah guarin (keputih-putihan) sebagai hasil buang dari metabolisme. Cell chromatophore terdapatnya di dalam dermis, mempunyai butir-butir pigmen yang dapat dan berkumpul di dalam satu titik. Jika butir-butir pigmen itu sedang berkumpul di satu titik, warna yang dihasilkan secara keseluruhan nampaknya lebih pucat. Sedangkan apabila butir pigmen itu sedang menyebar semuanya, warna yang terlihat lebih jelas dan bergantung kepada warna butir pigmen tod, umumnya untuk satu warna yang khas bergantung kepada kombinasi chromatophore dasar yang mengandung satu macam warna. Sesuai dengan kandungan pigmen-pigmen warna chromatophore pada ikan umumnya diklasifikasikan menjadi melanophore (coklat atau hitam), eritrophore (merah), xantophore (kuning), iridophore (berkilau-kilauan), leucophore dan iridophore mengandung pigmen-pigmen tidak berwarna (guanine primer), tetapi pada mulanya mengandung kristal-kristal kecil dimana dapat berpindah ke belakang dan ke muka dalam sitoplasma, kemudian menjadi kristal-kristal besar yang tak mampu berpindah dan biasanya menumpuk dalam lapisan-lapisan (Fuji,1969 dalam Rustidja, 1996).

1.6 Proses Pewarnaan Tubuh Ikan

Menurut Hitching dan Falco (1944) dalam Fuji (1969) dalam Rustidja (1996), dulunya mendemonstrasikan secra kimia kehadiran berlebihan dari guanin dalam integumen ikan. Paling sedikit dalam iridophore molekul-molekul dari purin teratur menyusun dalam plot-plot individu (Kawaguoi dan Kamishima, 1969 dalam Fuji, 1969 dalam Rustidja, 1996).

Menurut Effendie (1972), ada ikan yang dapat merubah warnanya. Perubahan warna tersebut seperti disebutkan di muka karena menyebar dan mengumpulnya butir-butir pigmen. Skimuli untuk mengadakan perubahan warna, ada yang dimulai dengan melalui matanya atau dengan lainnya misalnya cahaya. Ikan yang mendapat kurang cahaya berwarna pucat dari ikan pada ikan yang sama tetapi mendapat cahaya dengan cukup. Produksi pigmen berkurang bila kurang cahaya dan sebaliknya.

1.7 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Warna

Produksi pigmen berkurang bila kurang cahaya dan sebaliknya. Cahaya ini mempengaruhi kerja hormon merubah keadaan pigmen. Tetapi perubahannya lambat. Jadi yang mengontrol

(20)

perubahan warna ada dua macam. Pertama ialah perubahan warna yang dikontrol oleh syaraf seperti mata, dll dimana perubahan tadi dapat terjadi dengan cepat. Sedangkan perubahan warna yang dikontrol oleh hormon terjadi dengan lambat (Effendie, 1972).

Diantara substansi yang mempengaruhi gerakan pigmen dalam kromatophore adalah MSH (Melanocyte stimulating Hormon). Hormon ini dieksresikan oleh lobus medius hipofisis. Pertama kali ditemukan karena efeknya pada sel-sel pigmen dalam kulit vertebrata tingkat terendah (Harper, Rodwel dan Mayes, 1977 dalam Rustidja, 1996).

Menurut Fuji (1969) dalam Rustidja (1996), sebagian besar bagian integumen dorsal dari ikan mengandung tingkat tirosinase yang lebih tinggi dibandingkan dengan ventral empat varietas goldfish (putih, xanthin, abu-abu dan hitam) aktivitas total tirosinase meningkat dengan meningkatnya aktivitas pada umumnya terjadi dalam fraksi-fraksi partikel. 4.2 Analisa hasil

4.2.1 Fototaksis

Hasil pengamatan fototaksis didapatkan hasil pada jenis masing-masing ikan. Dari

pengamatan tersebut didapat hasil yang berbeda tiap kelompok. Pada pengamatan ikan nila (Oreochromis niloticus) hanya dari kelompok 6 dan 7 yang hasilnya negatif atau fototaksis negatif dan sedangkan kelompok lainnya hasilnya positif atau fototaksis positif. Dan dari pengamatan ikan mas (Cyprinus carpio) semua kelompok hasilnya positif. Dan hasil pengamatan udang galah (Machrobachium rosenbergii) hanya dari kelompok 3 saja yang hasilnya netral dan yang lainya negatif. Sedangkan pada ikan manvis (Pteriophyllum scales) hasilnya hanya kelompok 5 yang hasilnya netral dan yang lainya negatif. Dan ikan black ghost (Apteronotus albifrons) semua hasilnya negatif. Dan sedangkan ikan sepat

(Trichogaster pectoralis) hasilnya dari kelompok 1, 2 dan 5 positif dan kelompok 7, 6 dan 4 hasilnya negatif dan sedangkan hanya kelompok3 yang hasilnya netral.

Dari analisa di atas dapat disimpulkan bahwa ikan yang hasilnya positif atau fototaksis positif, habitat hidupnya berada di permukaan atau atas air yang memerlukan cahaya. dan sedangkan yang hasilnya negatif atau fototaksis negatif, habitat hidupnya berada di bawah atau didasar air yang tidak memerlukan cahaya.

Menurut Nuraini (2009), udang galh juga bersifat nokturnal atau beraktivitas pada malam hari. Pada siang hari udang galah malas bergerak dan tidak tahan terhadap sinar matahari, karena itu udang galah banyak ditemukan ditepi perairan yang teduh dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Jadi hasil pengamatan diatas sesuai dengan pernyataan tersebut, kalau udang galah hidup didasar kolam.

Aktivitas ikan black ghost lebih banyak dilakukan pada malam hari (nokturnal) sehingga pada siang hari ikan akan lebih suka bersembunyi dibebatuan, daun-daun, akar tanaman atau benda lainya didasar sungai. Dilihat dari kebiasaannya, biasanya ikan ini lebih cenderung menghabiskan waktunya didasar sungai namun masih kecil akan berenang ke atas dan ke bawah perairan dengan lincahnya (Herawaty, 2008). Jadi hasil pengamatan black ghost sesuai dengan pernyataan tersebut kalau ikan black ghost hidupnya lebih bayak didasar kolam. Menurut Caroko, dkk (2005), ikan nila bisa hidup diperairan air tawar hampir seluruh

Indonesia. Ikan nila cenderung senang hidup diair hangat bersuhu sekitar 280C. Berdasarkan tempat hidupnya, jadi ikan nila bersifat fototaksis positif. Jadi hasil pengamatan ikan nila sesuai dengan pernyataan tersebut kalau ikan nila lebih menghabiskan hidupnya di permukaan.

Menurut Sutan Muda (2007), bahwa ikan mas dapat tumbuh normal jika lokasi pemeliharaan berada pada ketinggian diantara 150-1000 m dari permukaan laut. Jadi hasil pengamatan ikan mas sesuai dengan pernyataan tersebut kalau ikan nila lebih menghabiskan hidupnya di permukaan.

(21)

berair terang, terutama yang bayak di tumbuhan air. Jadi ikan sepat persifat fototaksis positif. Menurut Iswadi (2008), secara alami manvis hidup di perairan yang terang dan banyak tanamanya. Oleh karena itu, bila manvis dipelihara dalam aquarium yang terlalu terang dan banyak ikannya, kelihatan gelisah. Jadi manvis bersifat fototaksis negatif.

4.2.2 Pewarnaan Tubuh Ikan

Dari data pewarnaan tubuh didapatkan bahwa ikan sepat (Trichogaster pectoralis) dibungkus dengan plastik hitam terjadi perubahan pada dorsal berwarna kuning dan terlihat lebih

menyala atau terang, warna tubuh bagian perut terlihat agak gelap dan pada linea lateralis ada bintik-bintik hitam. Dan ikan sepat yang dibungkus dengan plastik warna merah terjadi perunahan warna tubuh pink, warna pectoral menjadi merah, bentuk pada warna tubuh lebih terang. Sedangkan yang dibungkus plastik warna biru disekitar dekat ekor kuning terang. Sedangkan yang dibungkus plastik warna kuning terjadi perubhan warna punggung

kecoklatan, warna perut putih kekuning-kuningan dan warna siripdan ekor kuning pucat. Dan waktu tercapat ikan sepat memendarkan warna adalah 1 menit dengan warna plastik kuning, biru dan merah dan sedangkan waktu terlama saat ikan memendarkan warna adalah 15 menit dengan warna plastik hitam.

Hal ini sesuai dengan pendapat Dani dan Murni (1985), yang menyatakan bahwa ikan dapat merubah warna tubuhnya sesuai dengan warna latr belakanghabitatnya. Didalam penyesuian warna tubuh tersebut biasanya warna tubuh aslinya dengan warna latar belakang.

Menurut Purwakusuma (2007), yang menjelaskan bahwa mekanisme pergerakan butiran pigmen pada ikan dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu sebagai akibat reaksi terhadap kondisi lingkungan ikan yang bersangkutan. Oleh karena itu, ikan bisa tampak berbeda pada kondisi lingkungan berbeda.

Grafik 1 : grafik pewarnaan tubuh 4.3 Faktor Koreksi

Pada praktikum mengenai fototaksis dan pewarnaan ikan terdapat beberapa hal yang menjadi faktor kireksi antara lain :

- Pada saat membungkus toples yang berisi ikan dengan plastik berwarna tidak rapat masih ada celah, jadi hasilnya ada yang kurang maksimal

- Saat meletakkan ikan yang dibungkus plastik warna dengan toples berisi ikan yang

dibunkus plastik terlalu berdekatan, jadi akan mengganggu ikan yang tidak dibungkus plastik dan warna plastik mempengaruhi ikan yang tidak dibungkus plastik warna

- Saat mengamati ikan terhadap cahaya, seharusnya saat senter dinyalakan melihat ikan dari lubang plastik yang telah disediakan bukannya dari atas.

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan

Manfaat dari praktikum ini pada bidang perikanan yaitu :

- Kita dapat menyimpulkan bahwa jenis ikan apa saja yang termasuk dalam fototaksis positif dan fototaksis negatif

- Dapat mengetahui bahwa ikan sepat dapat memendarkan warna tergantug lingkungannya - Dapat membantu dalam pencarian ikan menggunakan bantuan lampu pada malam hari 4. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari data hasil pengamatan dan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

(22)

cahaya

- Ikan sepat dapat mengyesuaikan tubuhnyadengan lingkunganmya karena mempunyai pigmen indophere

- Faktor-faktor yang mempengaruhi pewarnaan tubuh ikan antara lain didapatkan bahwa ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan ikan yang bersifat fototaksis positif. Dan ikan nila

(Oreochromis niloticus) bersifat fototaksis positif. Sedangkan ikan manvis (Pterophyllum scalane) dan black ghost (Apteronotus albifrons) bersifat fototaksis negatif dan sisanya bersifat normal

- Pengamatan kelompok 3 mengenai pewarnaan tubuh, didapatkan bahan ikan sepat mengalami perubahan warna tubuh kebiruan dan ekornya terlihat kekuning-kuningan dan waktu untuk memendarkan warna sekitar 1 menit.

5.2 Saran

Pada praktikum fototaksis dan pewarnaan ikan seharusnya saat pengamatan fototaksis cahaya difokuskan pada satu titik sehingga pelaku ikan terlihat jelas. Dan hendaklah lebih teliti dalam mengamati perubahan warna ikan agar diperloleh data atau hasil yang valid.

DARAH IKAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Darah Ikan

Darah adalah suatu fluida (plasma) tempat beberapa substansi terlarut dan tempat erythrocyte, leucocyte dan beberapa hal lainnya tersuspensi (Rachman, 2003).

Setelah hewan mencernakan pakannya dan mengabsorbsi molekul-molekul pakan tersebut selanjutnya mendistribusikannya ke seluruh sel-sel tubuh dengan bantuan system pengangkut, biasanya adalah darah (Yuwono dan Purnama, 2001).

Darah adalah suatu jaringan bersifat cair. Darah terdiri dari sel-sel (dan fragmen-fragmen sel) yang terdapat secara bebas dalam medium yang bersifat seperti air, ialah plasma (Kimball, 1983).

Darah merupakan jalan utama transportasi pencernaan bahan makanan untuk sekresi kelenjar endokrin dan sebagai rute metabolisme bermacam-macam tujuan, contohnya rute asam susu asam ke hati untuk glikogenesis (Guyer dan Charles, 1964).

1.2 Komponen Penyusun Darah 1.2.1 Sel Darah

a. Eritrosit

Erythrocyte (sel darah merah) ikan berinti, berwarna merah kekuningan. Erythrocyte dewasa berbentuk lonjong, kecil, berdiameter antara 7 - 36 mikron (bergantung kepada spesies ikannya). Jumlah erythrocyte tiap mm3 darah berkisar antara 20.000 – 3.000.000 (Rachman, 2003).

Menurut Kimball (1983), sel-sel darah merah mempunyai bentuk cakra, dengan diameter 7,5 μm dan ketebalan di tepi 2 μm. Tengah-tengah dari cakra tersebut lebih tipis (1 μm) dari pada tepinya. Bentuk “bikonkaf” yang menarik ini mempercepat pertkaran gas-gas antar sel-sel dan plasma darah. Pada orang dewasa, SDM dibentuk dari sel-sel “pokok”, yang terletak dalam sum-sum tulang, terutama dalam tulang-tulang rusuk, sternum (tulang dada) dan vertebrata (tulang-tulang belakang). Jangka hidup sel-sel ini kira-kira 120 hari. Sel-sel darah merah yang telah tua akan ditelan oleh sel-sel fagostik yang terdapat dalam hati dan dalam

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, sistem peredaran darah tertutup adalah sistem dimana jantung akan memompa darah secara kontinyu atau terus menerus sehingga kemudian tekanan yang didapatkan tetap

Sistem peredaran darah terbuka adalah sistem peredaran darah ke seluruh tubuh yang tidak selalu melewati pembuluh darah, sedangkan sistem peredaran darah tertutup

Pembuluh darah adalah bagian dari sistem peredaran darah yang berfungsi untuk mengedarkan darah dari jantung ke berbagai organ dan jaringan tubuh

Peredaran darah pada manusia merupakan peredaran tertutup dan ganda. a) Peredaran darah tertutup yaitu pembuluh darah melewati pembuluh darah arteri dan vena. b) Peredaran

Sistem peredaran darah Aves adalah sistem peredaran darah tertutup (perjalanan di seluruh tubuh melalui jaringan pembuluh darah) dan sistem peredaran darah ganda

Gangguan sistem peredaran darah manusia Kelainan pada jantung Kelainan pada pembuluh darah Beck to menu.. SISTEM PEREDARAN

Aves Sistem peredaran darah Aves adalah sistem peredaran darah tertutup perjalanan di seluruh tubuh melalui jaringan pembuluh darah dan sistem peredaran darah ganda dalam satu kali

Definisi Sistem Peredaran Darah  Sistem Peredaran Darah adalah jaringan pembuluh darah dan organ yang berfungsi untuk mengangkut darah, nutrisi, oksigen, hormon, dan produk limbah ke