• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zulfi Syarif Koto. Program SEJUTA RUMAH MEMBANGUN UNTUK SIAPA? Sambutan: M. Basuki Hadimuljono. Sambutan: M. Basuki Hadimuljono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Zulfi Syarif Koto. Program SEJUTA RUMAH MEMBANGUN UNTUK SIAPA? Sambutan: M. Basuki Hadimuljono. Sambutan: M. Basuki Hadimuljono"

Copied!
286
0
0

Teks penuh

(1)

P r o g r a m

SEJUTA

RUMAH

MEMBANGUN UNTUK SIAPA?

Sambutan:

M. Basuki Hadimuljono

Sambutan:

(2)
(3)

P r o g r a m

SEJUTA

RUMAH

MEMBANGUN UNTUK SIAPA?

Sambutan:

(4)

Penulis : Zulfi Syarif Koto

Editor : Oswar M. Mungkasa

Desain Cover : Sandi Gelby Penata Letak : Kevin Marchelino

Penerbit

The HUD Institute

Jln. Arya Putra No. 14A, Ciputat-Tanerang Selatan Copyright © 2020

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Zulfi Syarif Koto

Ekonomi Politik PROGRAM SEJUTA RUMAH MEMBANGUN UNTUK SIAPA?

--- Jakarta: CV Hamparan Artha Citra, 2019. 17 x 24 cm, 284 hal. Cetakan 1, Oktober 2020

(5)

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, MSc.

P

enyediaan rumah yang layak dan terjangkau

khususnya bagi masyarakat berpenghasilan ren-dah (MBR) menjadi perhatian serius pada setiap

Pemerin tahan termasuk Pemerintahan Presiden

Joko Widodo dengan dicanangkannya Program Sejuta Rumah pada 29 April 2015. Melalui gerakan nasional ter-sebut, koordinasi antara Pemerintah dengan stakeholder perumahan menjadi lebih baik dalam mengatasi berbagai hambatan atau kendala dalam penyediaan rumah MBR. Pemerintah juga telah berkomitmen bagi keberhasilan Program Sejuta Rumah melalui perbaikan kebijakan diantaranya penyederhanaan perijinan serta alokasi anggaran bagi penyediaan rumah dan bantuan pembiayaan perumahan. Dengan dukungan para pemangku kepentingan perumahan, capaian Program Sejuta Rumah secara bertahap setiap tahun mengalami peningkatan. Dalam lima tahun yakni periode tahun 2015-2019, capaian Program Sejuta Rumah sebanyak 4,8 juta unit dengan 72% merupakan rumah MBR.

Tantangan penyediaan rumah ke depan akan semakin berat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Target RPJMN 2020-2024 bidang perumahan menargetkan jumlah rumah tangga menghuni rumah layak meningkat dari 56,75% menjadi 70%. Target tersebut tentunya tidak dapat dicapai oleh pemerintah sendiri namun memerlukan dukungan stakeholder lain salah satunya The Housing and Urban Development Institute (The HUD Institte) Institute dimana Bapak Zulfi Syarif Koto ikut membidani dan aktif dalam organisasi tersebut.

Saya menyambut baik dalam rangka HUT ke-70 tahun, Bapak Zulfi Syarif Koto merayakannya dengan menerbitkan buku berjudul “Ekonomi-Politik Program Sejuta Rumah: Membangun Untuk Siapa?. Menurut saya buah pikir Bapak Zulfi Syarif Koto yang memiliki pengalaman birokrasi di Kementerian

(6)

Perumahan Rakyat telah menghasilkan buku yang cukup komprehensif dan kritis membahas perkembangan kebijakan dan program perumahan rakyat.

Akhirnya, saya ucapkan selamat kepada Bapak Zulfi Syarif Koto atas terbitnya buku ini. Buku ini akan bermanfaat bagi pemerintah dalam perbaikan kebijakan perumahan rakyat serta sangat baik sebagai referensi bagi pemangku kepentingan di bidang perumahan, akademisi dan masyarakat luas.

Selamat Membaca. Jakarta, 14 Oktober 2020

Menteri Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat Republik Indonesia

(7)

Dr. Andrinof A. Chaniago

Ketua Dewan Pembina THE HUD INSTITUTE

M

omen tanggal 25 Agustus 2020 yang lalu

kembali mengingatkan kita pemerhati masalah perumahan rakyat, tentang makin kompleksnya tantangan dalam menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sudah 60 tahun lamanya kita memperingati tanggal tersebut sebagai Hari Perumahan Nasional yang maksudnya tidak lain adalah hari untuk merenungkan upaya yang telah dilakukan untuk membangun perumahan rakyat. Karena misi itulah oleh pemerintah, khususnya oleh Kementerian-PUPR, hari tersebut kemudian dijadikan sebagai hari perumahan rakyat (HAPERNAS).

Peringatan setiap tanggal tersebut berawal dari peristiwa penting, yakni Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Bandung tanggal 25 – 26 Agustus 1950 yang kala itu dibuka oleh Wakil Presiden, Mohammad Hatta. Sesudah itu, tanggal pembukaan kongres tersebut dijadikan momentum peringatan Hapernas setiap tahun untuk mengingatkan bahwa negara harus hadir memikirkan pemenuhan kebutuhan rumah atau papan bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Tanggungjawab negara tadi tidak lain adalah amanah dari Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28-H yang berbunyi, “Setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak”. Atas amanah Konstitusi itulah maka setiap pemerintahan yang mendapat amanat dari rakyat lewat pemilihan umum wajib menjadikan program pembangunan rumah untuk rakyat sebagai progam prioritas pembangunan selama masalah perumahan masih menjadi masalah serius bagi rakyat berpengahasilan rendah.

(8)

Pembangunan perumahan rakyat tentu saja tidak sekedar hanya membangun secara fisik, melainkan rumah sebagai pembinaan kehidupan keluarga yang di dalamnya ada kehidupan antaranggota keluarga dan di lingkungan rumah ada kehidupan bermasyarakat. Artinya, dalam kebijakan perumahan harus selalu terkandung misi untuk mensejahterakan kehidupan di dalam keluarga dan membentuk masyarakat yang harmonis.

Kehadiran buku Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah: Membangun untuk Siapa? karya Bapak Zulfi Syarif Koto yang merupakan praktisi kebijakan yang lama di bidang pembangunan perumahan rakyat ini pastilah memberikan kontribusi penting bagi pembuat kebijakan maupun stakeholders perumahan keseluruhan. Dengan terusnya beliau menggeluti masalah perumahan rakyat setelah resmi purna tugas di pemerintahan, maka hasil refleksi beliau tentu menjadi makin tajam dalam melihat masalah ini.

Dedikasi yang tidak pernah putus itulah yang membuat buku ini kuat dengan landasan faktual sekaligus konstekstual dalam membahas aspek-aspek perumahan bagi MBR. Jarang ada, walau bukan tidak ada, buku mengenai masalah perumahan yang lengkap melihat masalah dari landasan filosofi, hak bermukim rakyat, problem backlog rumah hingga isu darurat perumahan.

Selain itu, kita juga bisa menerima apresiasinya terhadap apa yang dilakukan Pemerintah melalui program sejuta rumah karena didukung dengan argumentasi yang kuat. Selain memaparkan berbagai problem dalam mewujudkan program perumahan bagi MBR, penulis juga menyajikan solusi baik sifatnya untuk saat sekarang maupun dalam konteks terdepan seperti pembangunan MBR pada masa pandemi Covid-19.

Dengan kekuatan yang disebutkan di atas sangatlah perlu buku ini dijadikan referensi kebijakan maupun untuk penulisan karya ilmiah tentang masalah perumahan di Indonesia. Tentu saja, sebagai sebuah karya tulis isi buku ini tidak tertutup untuk dikritisi kelebihan dan kekurangannya. Hal ini wajar sebagai karya ilmiah tentu saja tidak dapat menolak dari kritik karena saya yakin penulis menyadari bahwa yang ditulisnya bersifat dinamis dan tidak final. Memang sebuah karya ilmiah berupa buku itu tentu bisa berubah baik isi substansi karena adanya perubahan informasi dan data. Dan hal ini sesuai dengan sebuah ilmu pengetahuan muncul karena ada tesa, antitesa dan sintesa.

Sebagai insan pemerhati pembangunan perumahan rakyat saya pribadi sangat mengapresiasi apa yang ditulis oleh Bapak Zulfi Syarif Koto karena nilai kontribusinya yang besar sebagaimana yang saya kemukakan di atas. Semoga karyanya dimanfaatkan oleh semua stakeholder perumahan. Pada saat yang sama

(9)

berpenghasilan rendah (MBR). Jakarta, 14 September 2020

(10)

KATA PENGANTAR

Dr. Ir. Khalawi Abdul Hamid, M. Sc., M.M

Direktur Jenderal Perumahan

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

P

embangunan infrastruktur, termasuk didalamnya infrastruktur perumahan, memiliki peran yang sangat strategis dalam memajukan dan mensejahterakan bangsa. Baik pada proses pembangunan maupun paska pembangunan, pengembangan infrastruktur memiliki efek berantai dan daya ungkit signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Itu sebabnya, pengembangan infrastruktur yang dilakukan suatu negara pada hakekatnya merupakan upaya nyata membangun ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Sebab, untuk mencapai kemajuan ekonomi senantiasa memerlukan infrastruktur yang memadai.

Pada tahun 2020, backlog perumahan masih tinggi inilah yang mendesak untuk diatasi. Karenanya, program pembangunan perumahan Kementerian PUPR diarahkan untuk mengurangi pertumbuhan backlog yang sifatnya prioritas. Untuk itu, arah kebijakan pembangunan perumahan yang diusung Pemerintah Presiden Joko Widodo – Wakil Presiden Ma’ruf Amin adalah mendukung perumahan rakyat Indonesia yang berdaulat dan mandiri melalui terpenuhinya akses Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Dalam menjalankan amanah tersebut, Kementerian PUPR merancang pembangunan perumahan layak huni dan terjangkau yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan yang memadai dan didukung oleh sistem pembiayaan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, dan akuntabel sekaligus dalam rangka mewujudkan kota tanpa kumuh.

Upaya tersebut dilaksanakan dalam rangka Program Sejuta Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo 29 April 2015 yang lalu. Program ini mengacu pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, serta Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang menjadi wujud nyata keberpihakan pemerintah kepada MBR di sektor perumahan.

(11)

Agustus 1950. Kala itu, Wakil Presiden Muhammad Hatta dikenang dengan pidatonya yang epik. Bung Hatta menekankan, kemerdekaan bangsa itu perlu dimaknai dengan ketersedian hunian yang sehat, layak, dan terjangkau bagi rakyat.

Rumah bukan sekedar tempat hunian, kata Bung Hatta yang dikemudian hari ditetapkan sebagai Bapak Perumahan, karena di sana ada harkat dan martabat rakyat. Sejak itulah, pembangunan perumahan pun diselenggarakan dan tidak pernah berhenti.

Pemikiran Bung Hatta itu menjadi pedoman pemerintah Indonesia dari masa ke masa di bidang perumahan. Selanjutnya, melalui Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 46/KPTS/M/2008 tentang Hari Perumahan Nasional (Hapernas), ditetapkan tanggal 25 Agustus sebagai Hari Perumahan Nasional. Keputusan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengingatkan kembali akan pentingnya program perumahan di Indonesia.

Terkait dengan Program Sejuta Rumah yang juga merupakan upaya untuk mewujudkan cita-cita Bung Hatta telah banyak telaah dan kajian program tersebut. Saya menyambut baik semua kajian tersebut. Karenanya, saya pun merasa bersyukur dengan kehadiran buku yang ditulis Bapak Zulfi Syarif Koto yang berjudul Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah: Membangun Untuk Siapa? Buku ini menambah perbendaharaan karya ilmiah yang membahas berbagai permasalahan terkait pembangunan perumahan khususnya Program Sejuta Rumah.

Saya pribadi telah mengenal Bapak Zulfi Syarif Koto sejak lama. Saat menjabat sebagai Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), penulis buku telah banyak mencurahkan waktu, baik pemikiran maupun praktik lapangan, dalam pembangunan perumahan layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.

Buku ini semakin menabalkan kompetensi dan kepedulian yang besar dari Bapak Zulfi Syarif Koto di sektor perumahan. Dalam bukunya ini, penulis berhasil mengurai secara gamblang berbagai persoalan program pembangunan perumahan di tanah air. Selain itu, penulis juga menjabarkan landasan filosofi, hak bermukim rakyat, juga memotret detil kerja pemerintah dalam Program Sejuta Rumah, pro kontra program bedah rumah, dan kendala-kendala implementasinya.

Dalam bagian yang lain, ini yang saya nilai penting, penulis juga menawarkan solusi dalam upaya mendukung pemerintah pusat maupun daerah menyediakan perumahan bagi MBR.

Saya berharap pemikiran Bapak Zulfi Syarif Koto yang tertuang dalam buku ini dapat mendorong kita semua, terutama yang memiliki tanggung jawab dan

(12)

kepedulian, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang rumah (papan) bagi MBR. Selanjutnya, meski sudah purna tugas, saya berharap kepada penulis untuk terus memberikan pemikiran yang mencerahkan bagi generasi penerus.

Semoga, apa yang menjadi pemikiran dan tertuang dalam buku ini, dapat dimanfaatkan dan menjadi inspirasi bagi para stakeholders pengambil kebijakan di sektor perumahan, pelaku pembangunan perumahan rakyat, untuk berkarya dan memberikan yang terbaik bagi masyarakat.

Akhir kata, pembangunan perumahan adalah kegiatan tiada akhir. Setiap zaman memiliki tantangan dan persoalan berbeda. Semua ikhtiar yang telah dilakukan dan tertuang dalam tulisan, seperti dalam buku ini, merupakan hal baik untuk menjadi penanda bahwa rumah rakyat yang layak, sehat, terjangkau, nyaman, aman, dan jadi tempat yang baik untuk penyemaian budaya dapat kita wujudkan sehingga rumah menjadi beranda utama dalam mewujudkan manusia unggul untuk Indonesia maju.

Jakarta, 1 September 2020

(13)

Dr. Ir. Eko D. Heripoerwanto, MCP.

Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum

dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum

dan Perumahan Rakyat

P

erumahan merupakan bidang yang memerlukan

pendekatan multidimensi dan penanganannya multi-stakeholder. Karakter sosial-ekonomi masyarakat Indonesia membuat perumusan akses masyarakat kepada sumberdaya perumahan tidak bisa meniru negara lain dan penanganannya tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah saja, tapi harus melibatkan kalangan swasta (badan usaha), lembaga keuangan, dan lembaga pendam-ping masyarakat. Aspek keterjangkauan menjadi sama pentingnya dengan aspek teknis. Horison perumahan yang luas ini mengundang perhatian dari para akademisi, peneliti, dan pemerhati.

Dalam konteks ini, Saya menyampaikan salut dan apresiasi atas terbitnya buku kedua karya Bapak Zulfi Syarif Koto “Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah: Membangun Untuk Siapa?”. Setelah mencermati buku ini, Saya bisa memahami konsistensi perhatian dan pemikiran penulis mengenai pemenuhan rumah layak huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah, terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Pengalaman penulis yang panjang sebagai birokrat (mengakhiri jabatan birokrasi sebagai Deputi Bidang Perumahan Formal, Kementerian Perumahan Rakyat), kemudian berlanjut sebagai Ketua Umum Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia/LPP3I (the HUD Institute) banyak membantu penulis melakukan inventory dan mengkristalkan pemikiran yang banyak didiskusikan dalam berbagai forum FGD kedalam buku ini. Pengalaman sebagai birokrat memberikan sumbangan kepada kedalaman pemahaman mengenai dinamika penyusunan dan implementasi kebijakan, peraturan perundangan, dan kelembagaan. Sementara, selama memimpin the HUD Institute, penulis mendapatkan

(14)

perspektif lebih beragam dari pelaku pembangunan dan berbagai kalangan yang peduli kepada perumahan. Tidak mengherankan bila isi buku ini cukup komprehensif (lintas pelaku, lintas sektor, dan lintas masa).

Kebijakan bantuan pembiayaan perumahan kepada MBR, yang menemui formatnya saat ini, merupakan salah satu pilar utama Program Sejuta Rumah. Kebijakan yang menekankan perluasan akses MBR kepada pembiayaan perumahan, dibahas dalam porsi memadai diantara berbagai unsur lainnya dalam perumahan. Bahkan, uraian sampai kepada upaya pelembagaan dan operasional Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang diharapkan akan mentransformasi ekosistem pembiayaan perumahan ke depan. Tentu ini sangat membantu masyarakat luas memahami persiapan lembaga baru ini.

Kebijakan dan program pemberian kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan perumahan yang telah ada disajikan kepada pembaca untuk dinilai lanjut mengenai efektivitasnya. Selama ini, Pemerintah bersama swasta (pengembang) dan perbankan telah bahu-membahu mewujudkan rumah bagi MBR. Namun, harus disadari bahwa dari tahun ke tahun tantangan yang dihadapi cukup besar. Hal ini harus disikapi dengan cara tetap melakukan kerja keras dan kerjasama semua pelaku pembangunan dan pembiayaan perumahan.

Harapan Saya, buku karya Penulis ini dapat menjadi sumber pengetahuan awal bagi siapa saja yang mempunyai kepedulian besar dan mempunyai keinginan untuk mendalami dan memperluas akses masyarakat kepada pembiayaan perumahan. Harapan selanjutnya tentunya adalah akan semakin tertariknya banyak kalangan untuk ikut mengembangkan pemenuhan MBR untuk mendapatkan rumah layak huni dan terjangkau.

Akhir kata, semoga Bapak Zulfi Syarif Koto terus dapat berkarya tanpa henti, dengan tetap tekun mengkompilasi dan memotret perkembangan kebijakan dan implementasinya, merangkum dan menuangkan ide-ide atau gagasan yang segar, faktual, dan kontekstual yang telah didiskusikan dalam berbagai forum, serta menuangkannya dalam buku sebagai salah satu cara memperjuangkan MBR memenuhi kebutuhan rumahnya.

Jakarta, 28 September 2020

(15)

Dr. Ir. Danis Hidayat Sumadilaga, MEng.Sc Direktur Jenderal Cipta Karya

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

T

anggal 25 Agustus Keluarga Besar Kemen terian PUPR

secara rutin menyelenggarakan peringatan Hari Pe-rumahan Nasional (HAPERNAS). Kegiatan tersebut tidak lain sabagai upaya untuk mewujudkan amanah keputusan Kongres Perumahan Rakyat Sehat 25-26 Agustus 1950 yang dibuka oleh Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden.

Kegiatan peringatan HAPERNAS pada intinya meng-amanatkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan rakyat beserta membentuk regulasi dan kelembagaan guna mewujudkan pembangunan perumahan rakyat khususnya untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Peringatan HAPERNAS memang belum banyak diketahui oleh masyarakat, kecuali oleh para pemerhati dan penggiat pembangunan perumahan untuk MBR.

Komitmen pemerintah semenjak periode Pemerintahan Jokowi–JK dan Pemerintahan Jokowi–Ma’ruf Amin memiliki political will dan good will untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan bagi MBR melalui Program Sejuta Rumah (PSR) yang hingga saat ini terus dilanjutkan dan menjadi salah satu strategi penanganan kumuh kawasan perkotaan. Sebagai wujud nyata usaha pemerintah, selama tahun 2014 hingga 2018 alokasi anggaran untuk pembangunan perumahan subsidi bagi MBR mengalami peningkatan, misalnya pada tahun 2014 menyalurkan kredit rumah bersubsidi (FLPP) sebesar Rp9,7 Triliun dan pada tahun 2018 alokasi anggaran untuk perumahan rakyat meningkat menjadi Rp106,9 Triliun. Berbagai upaya untuk menyediakan perumahan bagi MBR telah diupayakan melalui ke-mudahan regulasi pemberlakuan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) dan usaha-usaha lain baik itu penyederhanaan regulasi dan penataan kelembagaan seperti diangkatnya Wakil Menteri Kemen-PUPR.

(16)

Buku karya Bapak Zulfi Syarif Koto yang berjudul Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah: Membagun Untuk Siapa? ini menambah perbendaharaan karya ilmiah yang membahas berbagai permasalahan dan solusi inspiratif terkait dengan pembangunan perumahan rakyat dan pengembangan infrastruktur kawasan permukiman.

Saya mengenal penulisnya sejak menjabat sebagai Deputi Perumahan Formal di Kemenpera, beliau banyak mencurahkan perhatiannya memikirkan MBR untuk mendapatkan perumahan yang layak huni dan terjangkau. Jadi karya yang dibuatnya dapat dijadikan referensi (rujukan) untuk pengkajian masalah perumahan rakyat, meskipun saya kira penulisnya menyadari masih terdapat kekurangan data dan ter-buka untuk dikritisi.

Dalam bukunya, Bapak Zulfi Syarif Koto menyajikan pembahasan landasan filosofi, hak bermukim rakyat, potret kerja pemerintah dalam melaksanakan Program Sejuta Rumah, pro dan kontra program bedah rumah, kendala-kendala implementasi dan menyajikan telaah berbagai permasalahan dalam implementasi program bedah rumah serta menawarkan solusi saat ini dan kedepan dalam mendukung upaya pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang layak huni dan terjangkau.

Harapan saya dengan terbitnya buku karya Bapak Zulfi Syarif Koto ini, paling tidak dapat mendorong kita semua memiliki tanggung jawab dan kepedulian un-tuk meningkatkan kesejahteraan sosial di bidang rumah (papan) bagi MBR. Harapan lebih lanjut, semoga Bapak Zulfi Syarif Koto tetap peduli pada MBR (pro poor), meski sudah purna tugas tapi dapat dilanjutkan dengan ide dan pemikiran dalam bentuk tulisan bukunya. Semoga apa yang ditulisnya dalam buku ini dapat bermanfaat dan diwujudkan oleh para stakeholder, pelaku pembangunan perumahan rakyat, lemba-ga seperti LSM serta lainnya.

Jakarta, 1 September 2020

(17)

Ir. Hadi Sucahyono, MPP., Ph.D

Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

S

elamat saya ucapkan atas terbitnya buku kedua karya

Bapak Zulfi Syarif Koto “Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah : Membangun Untuk Siapa?”. Dalam buku kedua ini beliau membahas aspek perumahan bagi MBR berlandaskan filosofi, masalah Backlog Rumah, hak bermukim rakyat, Darurat Perumahan, apresiasinya terhadap yang dilakukan Pemerintah melalui program sejuta rumah dan penyajian berbagai masalah dalam mewujudkan program tersebut serta penulis menyajikan solusi kini dan kedepan nanti seperti perumahan MBR pada masa pandemi covid-19.

Tulisan yang disajikan menarik dan bermanfaat sebagai suatu karya tulis yang tentunya dapat dijadikan referensi serta tidak menutup kemungkinan untuk diperdebatkan guna perbaikan kedepan.

Sekali lagi saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada Bapak Zulfi Syarif Koto dan semoga karyanya dapat bermanfaat dan tidak lelah untuk menuangkan gagasan atau fikiran tentang pembangunan perumahan rakyat.

Semoga Bapak Zulfi Syarif Koto dapat berkarya terus dan diberikan kesehatan dalam upayanya ikut memberikan pemikiran bagi pemenuhan perumahan MBR, yang layak dan terjangkau.

Jakarta, 14 September 2020

(18)

SEKAPUR SIRIH

D

engan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT buku kedua penulis

“Ekonomi Politik - Program Sejuta Rumah: Membangun untuk Siapa?” dapat selesai penyusunannya, meskipun tidak sesuai dengan target waktu yang diharapkan. Hal ini mengingat adanya berbagai hambatan baik dalam mendapatkan isu faktual maupun informasi (data) yang lengkap untuk mendukung penulisan buku ini.Tentu saja, buku kedua ini ada benang merahnya dengan buku pertama yang pernah penulis tulis terdahulu “Politik Pembangunan Perumahan Rakyat di Era Reformasi: Siapa Mendapat Apa?”, yang telah di diskusikan di sebelas perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia pada tahun 2011-2012 yang lalu.

Pilihan tema buku ini sejalan dengan prioritas Program Nawa Cita Kabinet Kerja Pemerintah Jokowi-JK (2014-2019) yang berupaya menghadirkan kembali negara dalam segala aspek kehidupan warga negara, yang salah satunya program mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera melalui penyelenggaraan Program Sejuta Rumah (PSR). Program ini merupakan pengejawantahan dari bentuk negara kesejahteraan (welfare state) seperti dinyatakan dalam salah satu tujuan pembentukan pemerintahan Negara Republik Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum.

Sesungguhnya, PSR ini serupa dengan program-program yang telah diimplementasikan oleh pemerintah sebelum Pemerintah Jokowi-JK. Bahkan, sama dengan program Pemerintah Megawati Soekarno Putri yang pernah mencanangkan program serupa yang dinamakan Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GN-PSR). Program ini sangat strategis apabila dikaitkan dengan usaha pemerintah yang diharapkan dapat memecahkan masalah backlog atau apa yang saya dan rekan di Yayasan Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia/The HUD Institute menamakan dengan “Darurat Perumahan Rakyat”.

Isi dan substansi buku kedua ini tetap berorientasi pada adanya kegalauan dan pemikiran penulis mengenai belum terpenuhinya pemenuhan kebutuhan rumah layak huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah-kebawah, terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang sampai saat ini belum banyak terpenuhi seperti masih adanya perumahan kumuh dan backlog perumahan yang tinggi di berbagai kota besar di Indonesia.

(19)

yang memiliki misi merumahkan MBR, kalangan pengusaha (pengembang), perbankan, perguruan tinggi, pegiat perumahan swadaya, dan tentunya para kolega yang menggabungkan diri dalam The HUD Institute sebagai “rumah besar” berkumpulnya berbagai kalangan profesi yang mempunyai komitmen untuk memikirkan bagaimana masyarakat menengah-bawah, khususnya MBR memperoleh/menghuni rumah yang layak dan terjangkau serta berkelanjutan.

Dalam buku ini, penulis menuangkan berbagai ide dan gagasan baik yang sifatnya klasik, kekinian dan perspektif masa depan untuk mendukung pembahasan yang ada kaitannya dengan Program Sejuta Rumah (PSR). Tulisan ini diawali dengan wawancara imajiner penulis dengan Bapak Ir. Mohammad Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat Sehat tanggal 25 – 26 Agustus 1950 di Aula Barat ITB Bandung, masalah hak bermukim rakyat, konsep ekonomi politik, masalah pelaksanaan Program Perumahan Swadaya/Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS/Bedah Rumah), darurat perumahan rakyat, sajian hasil kerja Pemerintahan Jokowi-JK dan Jokowi-Ma’ruf Amien seperti pembangunan perumahan swadaya/BSPS, program stimulan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU), bantuan stimulan program pembangunan rumah MBR model Academic, Business, Community, Government (akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah/ABCG), pembangunan Transit Oriented Development/Pengembangan Berorientasi Transit (TOD) untuk MBR Milenial, pemberlakuan program Tabungan Perumahan Rakyat (Sistem Registrasi Pengembang/SiRENG, Sistem Informasi Kumpulan Pengembang/SiKUMBANG, Sistem Informasi KPR Subsidi Perumahan/ SiKASEP, Sistem Informasi Pemantauan Konstruksi/SiPETRUK) dan lain sebagainya. Mewujudkan pembangunan sejuta rumah bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah, khususnya MBR dan Masyarakat Miskin, bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak persoalan lama seperti penyediaan lahan atau tanah, perijinan, pembiayaan, infrastruktur dasar dan lainnya tetap akan muncul dan harus dihadapi oleh pemerintah sekarang. Semua persoalan itu akan dapat diselesaikan jika pemerintah memiliki political will yang kuat terhadap PSR dan mendapat dukungan dari pemangku kepentingan pembangunan perumahan rakyat yang lainnya.

Dalam perspektif ekonomi-politik, PSR sudah semestinya secara ekonomi diselenggarakan untuk mewujudkan kesejahteran setiap warga negara dan secara politik dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sini, meskipun terdapat pro-kontra terhadap PSR pemerintah harus mampu membuktikan kinerjanya yang positif kepada setiap warga negara.

(20)

PSR yang digagas dan sedang dilaksanakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK dan diteruskan oleh Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin harus diapresiasi secara positif dan konstruktif. Paling tidak terdapat tiga alasan penting untuk mendukung PSR, yaitu Pertama, PSR 2015 merupakan bagian daripada Program Strategis Nasional (Pasal 67 F Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) bidang Perumahan didukung dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Kedua, PSR 2015 merupakan pemersatu stakeholder penyelenggara pembangunan perumahan rakyat sesuai azas kenasionalan, kemandirian, kebersamaan, kemitraan, dan sebagainya (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Ketiga, PSR mendorong terwujudnya keserasian atau harmonisasai seluruh regulasi (peraturan perundang-undangan) di bidang penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat.

Buku ini hendak menguraikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan pembangunan perumahan rakyat atau PSR yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah Jokowi-JK dan Jokowi-Ma’ruf Amin. Prolog atau pengantar buku menggambarkan percakapan imajiner penulis dengan Bung Hatta tentang ekonomi-politik perumahan rakyat.

Bab 1 membahas permasalahan seputar pembangunan perumahan rakyat dalam perspektif ekonomi-politik. Pembahasan ini meliputi uraian mengenai makna, orientasi, dan proses pembangunan perumahan rakyat serta uraian mengenai ekonomi-politik pembangunan perumahan rakyat sebagai “Pisau Bermata Dua”.

Bab 2 membahas tentang landasan dasar penyelenggaraan perumahan rakyat. Melalui bahasan ini pembaca akan memperoleh pemahaman tentang filosofi, lima Pilar Bernegara, Berbangsa, dan Bermasyarakat (PB3), hakekat dasar dan kewajiban dan lima komponen dasar hak bermukim yang secara normatif harus menjadi landasan penyelenggaraan pembangunan sejuta rumah.

Bab 3 membahas tentang Darurat Perumahan Rakyat. Dalam bab ini dijelaskan mengenai fenomena, parameter dan dampak dari Darurat Perumahan Rakyat.

Bab 4 membahas PSR dalam perspektif eksistensi negara kesejahteraan (welfare state). Dua hal yang diketengahkan dalam sub pokok bahasan di sini, yaitu pertama, menguraikan keterkaitan antara PSR dengan konsep negara kesejahteraan dan kedua, menguraikan keterkaitan antara PSR dengan program Nawa Cita sebagai program prioritas Pemerintahan Jokowi-JK dan Jokowi-Ma’ruf Amin.

(21)

gagasan dan pelaksanaan PSR. Pembahasan ini akan mengantarkan pembaca memahami apa yang sebenarnya terjadi pada tanggapan publik terhadap PSR.

Bab 6 membahas kebijakan pembangunan perumahan rakyat era Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK yang mencakup penjelasan singkat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang perumahan, Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Renstra Kemen PUPR) 2015-2019 bidang perumahan, Kebijakan dan Program Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam pembangunan kawasan permukiman 2015-2019, dan Kebijakan dan Program Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR 2015-2019.

Bab 7 membahas politik pelaksanaan PSR. Dalam bahasan ini digambarkan para pelaku yang berpotensi dan sangat berperan dalam pelaksanaan Program Sejuta Rumah (PSR) baik dari lembaga pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan perbankan pemerintah, lembaga swasta, lembaga keuangan non bank dan masyarakat.

Bab 8 membahas Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GNPSR) ke Program Sejuta Rumah (PSR). Hal yang dibahas di dalamnya mengenai Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah, Gerakan Pengentasan Permukiman Kumuh (GENTAKUMUH), Program 1.000 Tower dan 350.000 Rusunawa Pekerja di Perkotaan, dan Program Sejuta Rumah (PSR).

Bab 9 membahas kinerja pelaksanaan PSR. Bahasan pertama, menjelaskan visi dan misi PSR, tujuan, sasaran, strategi dan rencana PSR, dan kinerja PSR dilihat dari perkembangan regulasi, pembangunan rumah, dan subsidi pembiayaan.

Bab 10 membahas masalah pelaksanaan PSR, yang menjelaskan tentang masalah yang dihadapi meliputi masalah kebijakan, kelembagaan (birokrasi), sumberdaya, prosedural (pelayanan publik), dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Bab 11 membahas tentang Pandemi Covid-19 yang mencakup dampak pandemi pada skala global, Indonesia, dan pandemi di sektor perumahan.

Bab 12 membahas tentang banyak jalan menuju MBR yang menjelaskan berbagai program pemerintah kerjasama dengan swasta dan masyarakat dalam mendukung PSR, yaitu meliputi Program Perumahan Swadaya (bedah rumah), Program Penyediaan Perumahan MBR Berbasis Komunitas, Program Penyediaan Perumahan MBR dengan Model ABCG, Program Penyediaan Perumahan MBR skala besar (mixed use), Program Penyediaan Perumahan MBR Berbasis TOD, Program Pembiayaan MBR Berbasis APBN dan Non APBN (Kerjasama Pemerintah

(22)

dan Badan Usaha/KPBU), SiRENG, SiKUMBANG, SiKASEP, dan SiPETRUK, serta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP-TAPERA).

Bab 13 membahas lima strategi kebijakan untuk keberhasilan PSR yang mencakup pentingnya pendataan, pemaduserasian peraturan perundang-undangan, koordinasi kelembagaan penyelenggara pembangunan perumahan rakyat, pemberian insentif dan relaksasi untuk pembangunan perumahan rakyat dan pemberdayaan pemerintah daerah dalam pembangunan perumahan rakyat.

Epilog menggambarkan peran penting pemerintah daerah (pemda) sebagai episentrum keberhasilan Program Sejuta Rumah. Dalam bahasan ini pembaca akan memperoleh pemahaman mengenai kewenangan dan kewajiban pemda dalam penyelenggaraan perumahan rakyat, termasuk PSR dalam konteks sejarah, konstitusi, dan strategi penguatan peran pemda dalam penyelenggaraan perumahan rakyat di daerah.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Mochamad Basuki Hadi Muljono, N.Sc (Menteri Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat).

2. Bapak Andrinof A. Chaniago (Ketua Dewan Pembina Yayasan LP P3I/The HUD Institute).

3. Bapak Dr. Ir. H. Khalawi A.H, MSc, MM (Direktur Jenderal Perumahan – Kementerian PUPR)

4. Bapak Dr. Ir. Eko Djoeli Heri Poerwanto, NCP (Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastuktur Pekerjaan Umum dan Perumahan – Kementerian PUPR), dan 5. Bapak Dr. Danis H. Sumadilaga (Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat)

6. Bapak Ir. Hadi Sucahyono, MPP, Ph.D, (Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat)

Yang telah memberikan kata sambutan dan pengantar pada buku ini. Rasa terima kasih juga penulis berikan kepada pemangku kepentingan perumahan rakyat dan berbagai pihak yang telah mendukung terwujudnya penyusunan dan penerbitan buku ini.

Disamping itu, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan komentar yang sangat berharga terutama dari deklarator, dewan pembina, dewan pengawas, dewan penyantun, dewan penasehat, dewan pengurus dan dewan pakar The Hud Institute masa bakti 2016-2021.

Demikian pula, penulis sangat berterima kasih kepada tim penyelaras dan perbaikan narasi buku yang dipimpin oleh saudara Oswar M. Mungkasa dan

(23)

Sabaruddin, Deddy B. Slamet, Manda Manchus dan Nostra Tarigan.

Akhirnya ucapan terima kasih penulis kepada Istri tercinta Cucu Mariana Gandasasmita, anak–anakku Reza, Tya, Hadist, Kiki serta cucu Asyraf yang telah memberikan dorongan sehingga buku ini dapat terselesaikan.

Tiada gading yang tak retak, pepatah ini juga berlaku pada buku yang penulis gagas ini, baik isi dan substansi buku, penulisan maupun kelengkapan data masih terdapat kekurangan karena adanya perubahan yang setiap saat terjadi. Oleh karena itu, penulis dengan terbuka menerima kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan buku ini kedepan.

Tangerang Selatan, 1 Oktober 2020

(24)

iii v viii xi xiii xv xvi xxii xxvi xxvii 1 KATA SAMBUTAN

Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia...

Dr. Andrinof A. Chaniago

Ketua Dewan Pembina The HUD Institute...

KATA PENGANTAR

Dr. Ir. Khalawi Abdul Hamid, M. Sc., M.M

Dirjen Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat...

Dr. Ir. Eko D. Heripoerwanto, MCP.

Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat...

Dr. Danis H. Sumadilaga, MEng.Sc

Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat...

Ir. Hadi Sucahyono, MPP., Ph.D

Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat...

SEKAPUR SIRIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... PROLOG:

PERCAKAPAN IMAJINER DENGAN BUNG HATTA

(25)

18 19 22 29 29 33 39 42 48 48 51 55 55 61 66 66 70 77 77 79 82 86 POLITIK...

1.1 Makna, Orientasi, dan Proses Pembangunan Perumahan Rakyat... 1.2 Ekonomi-Politik Pembangunan Perumahan Rakyat: Pisau Bermata Dua...

BAB II

LANDASAN DASAR PENYELENGGARAAN PERUMAHAN RAKYAT...

2.1 Landasan Filosofis... 2.2 Landasan Lima Pilar Bernegara, Berbangsa, dan Bermasyarakat (PB3)... 2.3 Landasan Hakekat Dasar dan Kewajiban... 2.4 Landasan Lima Komponen Dasar Hak Bermukim (KDHB)...

BAB III

DARURAT PERUMAHAN RAKYAT...

3.1 Darurat Perumahan Rakyat sebagai Masalah Serius bagi Masyarakat... 3.2 Dampak Darurat Perumahan Rakyat...

BAB IV

PROGRAM SEJUTA RUMAH DALAM PERSPEKTIF EKSISTENSI

NEGARA KESEJAHTERAAN...

4.1 Program Sejuta Rumah dan Negara Kesejahteraan... 4.2 Program Sejuta Rumah dan Nawa Cita...

BAB V

PRO DAN KONTRA PROGRAM SEJUTA RUMAH...

5.1 Program Sejuta Rumah: Program Prestisius Pro Masyarakat

Berpenghasilan Rendah... 5.2 Program Sejuta Rumah: Program Ambisius Sulit Diwujudkan...

BAB VI

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN RAKYAT ERA KABINET KERJA PEMERINTAHAN JOKOWI-JK...

6.1 RPJMN 2015 – 2019 Bidang Perumahan... 6.2 Renstra Kemen PUPR 2015 – 2019 Bidang Perumahan... 6.3 Kebijakan dan Program Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam

Pembangunan Kawasan Permukiman 2015 – 2019... 6.4 Kebijakan dan Program Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR Tahun 2015-2019...

(26)

92 92 96 96 97 107 119 119 121 123 129 135 135 136 139 148 148 150 151 152 153 157 157 159 161 162 170 BAB VII

POLITIK PELAKSANAAN PROGRAM SEJUTA RUMAH...

7.1 Lembaga Eksekutif... 7.2 Lembaga Legislatif... 7.3 Lembaga Yudikatif... 7.4 Badan Usaha Milik Negara dan Perbankan Pemerintah... 7.5 Lembaga Swasta, Perbankan Swasta dan Lembaga Keuangan

Masyarakat...

BAB VIII

DARI GERAKAN NASIONAL PENGEMBANGAN SEJUTA RUMAH

KE PROGRAM SEJUTA RUMAH...

8.1 Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GNPSR)... 8.2 Gerakan Pengentasan Permukiman Kumuh... 8.3 Program 1000 Tower dan 350.000 Rusunawa Pekerja di Perkotaan... 8.4 Program Sejuta Rumah...

BAB IX

KINERJA PELAKSANAAN PROGRAM SEJUTA RUMAH...

9.1 Visi dan Misi Program Sejuta Rumah... 9.2 Tujuan, Sasaran, Strategi dan Rencana Program

Sejuta Rumah... 9.3 Kinerja Program Sejuta Rumah...

BAB X

MASALAH PELAKSANAAN PROGRAM SEJUTA RUMAH...

10.1 Masalah Kebijakan... 10.2 Masalah Kelembagaan (Birokrasi)... 10.3 Masalah Sumberdaya... 10.4 Masalah Prosedural (Pelayanan Publik)... 10.5 Masalah Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat...

BAB XI

PANDEMI COVID-19...

11.1 Dampak Pandemi Global... 11.2 Dampak Pandemi di Indonesia... 11.3 Dampak Pandemi di Sektor Perumahan... 11.4 Gangguan Rantai Pasok Perumahan... 11.5 Kebijakan Perumahan di Masa Pandemi...

(27)

174 174 176 177 180 185 191 195 200 207 207 213 214 215 216 218 227 240 250 252 BERPENDAPATAN RENDAH...

12.1 Program Perumahan Swadaya (Bedah Rumah)... 12.2 Program Penyediaan Perumahan MBR Berbasis Komunitas... 12.3 Program Penyediaan Pembangunan Perumahan MBR Model ABCG... 12.4 Program Penyediaan Perumahan MBR Skala Besar (Mixed Use)... 12.5 Program Penyediaan Perumahan MBR Berbasis

Transit Oriented Development (TOD)... 12.6 Program Pembiayaan Perumahan MBR Berbasis APBN

dan Non APBN (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha)... 12.7 Sistem Informasi... 12.8 Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP-TAPERA)...

BAB XIII

LIMA STRATEGI KEBIJAKAN UNTUK KEBERHASILAN

PROGRAM SEJUTA RUMAH...

13.1 Dasar Pemikiran Mengenai Data dan Informasi... 13.2 Pemaduserasian Peraturan Perundang-Undangan... 13.3 Koordinasi Kelembagaan Penyelenggara Pembangunan

Perumahan Rakyat... 13.4 Pemberian Insentif untuk Pembangunan Perumahan Rakyat... 13.5 Pemberdayaan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan

Perumahan Rakyat...

EPILOG

PEMERINTAH DAERAH SEBAGAI EPISENTRUM KEBERHASILAN

PELAKSANAAN PROGRAM SEJUTA RUMAH... DAFTAR PUSTAKA... SINGKATAN DAN AKRONIM... INDEKS NAMA... BIOGRAFI PENULIS...

(28)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Parameter Darurat Perumahan Rakyat di Indonesia... Tabel 7.1 Perkembangan Penyaluran Dana SMF Kepada

Lembaga Penyalur KPR Tahun 2006 – 2010... Tabel 9.1 Pencanangan Pembangunan Sejuta Rumah di Indonesia... Tabel 9.2 Perkembangan Regulasi Program Sejuta Rumah... Tabel 9.4 Potensi Ketersediaan Dana untuk Program Satu Juta Rumah

Tahun 2015... Tabel 11.1 Kebijakan Perumahan Masa Pandemi COVID-19...

50 100 137 140 144 171

(29)

Gambar 6.1 Isu Strategis I... Gambar 6.2 Isu Strategis II... Gambar 6.3 Gerakan 100-0-100... Gambar 6.4 Strategi Pelaksanaan Gerakan 100-0-100... Gambar 6.5 Strategi BPIW... Gambar 9.1 Rencana Pembangunan Sejuta Rumah untuk MBR...

Gambar 9.2 Rencana Pembiayaan Pembangunan Sejuta Rumah untuk

MBR... Gambar 11.1 Situasi Global Kasus COVID-19, 2020... Gambar 11.2 Perkiraan Kesepakatan Produk Domestik Bruto Dunia... Gambar 11.3 Perkiraan Penurunan Perdagangan Dunia... Gambar 11.4 Dampak COVID-19 terhadap Pasar Saham... Gambar 11.5 Kasus Terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia

(1 September 2020)... Gambar 11.6 Rantai Pasok Perumahan... Gambar 12.1 Kriteria Kesiapan Pembangunan Permukiman Skala Besar... Gambar 12.2 Pemangku Kepentingan Permukiman Skala Besar... Gambar 12.3 Tantangan Kawasan Perkotaan Dunia... Gambar 12.4 Prinsip, Sasaran dan Ukuran Pengembangan

Berorientasi Transit... Gambar 13.1 Ilustrasi Perbedaan Data dan Informasi... Gambar 13.2 Tahapan Utama Data Geospasial sebagai Informasi

dan Penghasil Keputusan... Gambar 13.3 Kaitan Komponen Utama Perumahan dengan Data

Geospasial... Gambar 13.4 Platform GEO MAPID yang Menampilkan Data Penggunaan

Lahan di Jakarta... 83 84 85 86 88 138 138 157 158 159 159 160 162 184 184 186 189 207 208 209 211

(30)
(31)

PERCAKAPAN IMAJINER DENGAN BUNG HATTA

TENTANG EKONOMI-POLITIK PERUMAHAN RAKYAT

DAN KONDISI SAAT INI

S

aya ingat waktu itu menjelang tiga bulan menyelesaikan pengabdian sebagai

Deputi Bidang Perumahan Formal pada Kementerian Negara Perumahan Rakyat, dalam mimpi saya berjumpa Bapak Drs. Mohammad Hatta, salah satu Proklamator Kemerdekaan RI dan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) ke-1 di dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat 25-27 Agustus 1950 di Kota Bandung.

Berkutat dengan pekerjaan dan beberapa rapat, peredaran waktu pada hari itu terasa pendek. Tepatnya Jum’at tanggal 29 bulan Oktober tahun 2010 (tepat usia saya 60 tahun), sore hari jam 17.30 WIB saya terjaga dari tidur yang tak biasa dan tak disengaja di sofa ruang kerja Lantai 4 Wing 4 Kantor Kemenpera Jalan Raden Patah I No. 1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Mimpi yang tak disengaja itu ketika saya larut ke relung hati membaca buku “Kilas Balik Perumahan Rakyat 1900-2000”. Dalam kilas mimpi itu, saya dibawa ke alam tempo dulu yang seakan-akan mendatangi dan menyaksikan momentum Kongres Perumahan Rakyat Sehat. Kongres bersejarah itu dihadiri oleh peserta dari 63 kabupaten dan kotapraja, 4 propinsi, wakil dari Jawatan Pekerjaan Umum, utusan organisasi pemuda, Barisan Tani, pengurus Parindra dan tokoh-tokoh perseorangan lainnya.

Saat itu, suasana kota Bandung sangat ramai dengan lautan manusia, sepeda, kendaraan motor dan mobil-mobil tempo dulu karena diselenggarakannya kongres perumahan rakyat dengan menghadirkan bapak bangsa Indonesia, Bung Hatta. Untuk gedung tempat kongres saya lupa, apa di Gedung Dwi Warna, Gedung Merdeka atau Aula Barat ITB ? Tapi yang pasti, dalam mimpi itu saya dan beberapa teman dari

(32)

Kementerian Negara Perumahan Rakyat berada di ruangan yang sejuk, ruangan yang ditata dalam bentuk “U”, dan terdapat podium yang dililiti kain berwarna merah putih serta diletakan di atas mimbar podium vas bunga dengan bunga mawar berwarna merah putih. Saya melihat di arena tempat kongres ruangan baik di dalam maupun di luar dipenuhi peserta kongres dan masyarakat. Di kanan-kiri ruangan banyak dipasang spanduk bertuliskan “Selamat Datang Bapak Drs. Mohammad Hatta Wakil Presiden RI dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat, 25-27 Agustus 1950”, “Sukseskan Kongres Perumahan Rakyat untuk Kemakmuran Rakyat”, dan sebagainya.

Sambil menunggu kedatangan Bung Hatta, di ruangan itu saya melihat petugas keamanan nampak siap siaga mengamankan kongres. Panitia memutarkan lagu-lagu heroik “Halo-halo Bandung, Maju Tak Gentar, Berkibar Benderaku, Padamu Negeri”, dan beberapa lagu perjuangan yang menggelorakan. Semua aksi ber semangat itu menambah suasana psikologis yang menggelorakan jiwa nasionalisme untuk segera mewujudkan kemakmuran rakyat melalui kongres itu.

Saat-saat yang dinanti peserta kongres pun tiba. Bapak Mohammad Hatta dan rombongan telah hadir di dalam ruangan kongres. Bung Hatta duduk di kursi paling depan yang disediakan panitia. Setelah berbagai sambutan panitia dan para pejabat setempat dan pemerintah pusat, maka tiba kesempatan beliau untuk menyampaikan pidato dalam kongres itu. Saya melihat dengan jelas sosok dan gerak gesture Bapak Mohammad Hatta yang berpakaian rapi dan sederhana, rambut disisir halus, dan berkacamata tebal. Saya dan banyak orang yang hadir dalam kongres itu kagum terhadap sosoknya yang dikenal sebagai seorang nasionalis, intelektual dan religius. Melihat hal itu saya jadi teringat pada buku yang pernah saya baca “Hatta Jejak Melampaui Zaman” yang dalam buku itu terdapat tulisan pidato kebudayaan di Jakarta 2002 dari budayawan dan cendekiawan muslim Nurcholis Madjid yang mengatakan, “Penampilan Bung Hatta yang seperti seorang sufi – memiliki ketulus-ikhlasan, kesederhanaan, kerendahan hati, dan kedalaman pikiran – tak lepas dari latar belakang keluarganya: dia putra seorang mursyid sebuah persaudaraan sufi di Sumatera Barat”.1

Jika hendak mengenal jauh Bung Hatta, penting dicatat ada darah ulama pada Hatta, Kakek Hatta adalah seorang ulama besar dan pemuka agama ternama di Sumatera Barat, dimasa itu. Namanya Syekh Abdurrachman (Syekh Nan Tuo), yang juga dikenal dengan Syekh Batu Hampar, karena sang ulama kharismatik itu pemimpin pondok pesantren di Batu Hampar. Sikap nasionalisme dan jiwa intelek tualnya digambarkan dalam buku yang pernah saya baca, yaitu beliau dalam kehidupannya selalu berjuang dan lebih memikirkan bangsanya mencapai kemerdekaan Indonesia 1 Arif Zulkifli, Bagja Hidayat dan Dwijo U. Maskun (Eds). Hatta Jejak Yang Melampaui Zaman, PT.

(33)

daripada memikirkan dirinya, termasuk dalam urusan pasangan hidup. Tekad memerdekakan bangsanya dan frasa Indonesia Vrij adalah terbit dari pemikiran visioner Bung Hatta. Jiwa intelektual beliau terlihat dari kebiasaannya gemar membaca. Bung Hatta juga produktif dan terampil menulis buku. Koleksi pribadi buku-bukunya banyak, hingga menggenapi tiga peti yang dibawanya serta bersama dirinya dan cita-citanya tentang Indonesia Vrij, sepulang belajar dari negeri Belanda. Beberapa buku ditulisnya setelah kembali ke tanah air. Ada kisah nyata yang menarik terkait kegemaran Hatta ikhwal membaca dan menulis buku. Ibundanya, Siti Saleha, pernah jengkel karena kado pernikahan untuk Rahmi Rachim adalah sebuah buku bertema berat ikhwal filsafat, yang diberinya judul “Alam Pikiran Yunani” yang ia tulis sendir, yang membuat Hatta seakan abadi karena buku itu masih menjadi buku pegangan mahasiswa yang mempelajari filsafat yunani kuno, ilmu politik dan ilmu hukum, bahkan sampai saat sekarang ini. Begitu erat hubungan emosional antara Hatta dan Buku, maka ada anekdot yang mengatakan istri pertama Hatta

adalah “buku”.2 Dari sosok Bung Hatta yang lekat dengan buku-buku, membuat dan

menebarkan tulisan yang tak lain adalah resultante dari pemikiran cerdas dan maju sebagai alat dan dimensi perjuangan, tentu saja dengan aksi-aksi perjuangan dalam bentuk lain, meyakini saya bahwa Indonesia merdeka bukan hanya kekuatan otot dan angkat senjata namun kecerdasan pemikiran dan adu kecerdasan para pendiri bangsa menaklukkan penguasa kolonial.

Demikianlah pula halnya, sejurus melihat sosok Bung Hatta di forum Kongres yang bergelora itu, sontak saya jadi teringat pula pada seorang sosok nasionalis, revolusioner dan intelektual muda Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka atau populer dikenal Tan Malaka. Jiwa nasionalis Tan yang lahir 2 Juni 1897 di Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten 50 Koto, Sumatera Barat ini ditunjukkan dari ketokohannya sebagai orang pertama penggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada tahun 1925, gagasan yang jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrij (Indonesia

Merdeka) dan Bung Karno yang menulis Menuju Indonesia Merdeka tahun 1933.3

Jiwa intelektual Tan terlihat dari kebiasaan yang sama dengan Mohammad Hatta, yaitu membaca dan menulis. Dengan nama asli atau nama samaran, Tan banyak menulis buku, seperti “Aksi Masa”, ”Madilog”, “Dari Penjara ke Penjara”, “Pacar Merah Indonesia” dan lain-lain. Kecerdasan intelektual Tan terlihat dari kemampuannya menganalisis situasi dengan begitu tajam dan kuat dalam dialektika seperti

dinyatakan Nishijima, pembantu Ahmad Soebardjo.4 teman seperjuangan dan

2 Ibid, hal. 123. 3 Ibid, hal. 3. 4 Ibid, hal. 19.

(34)

kawan sekolah waktu di Belanda. Jiwa revolusioner Tan diakui Sayuti Melik yang mengatakan “Tan lebih berpengalaman dalam perjuangan. Kata-kata Tan tentang

revolusi belakangan lebih sering dikutip oleh Sukarno.5 Bahkan, dari Tan lah konon

digerakkan pemuda bersama Soekarno-Hatta ke lapangan Ikada untuk menguatkan dukungan rakyat atas kemerdekaan Indonesia yang pada tanggal 17 Agustus 1945 telah memproklamirkan Republik Indonesia. Untuk itu, tidak berlebihan bila dalam pengantar penerbit bukunya “Aksi Masa” Prof. Yamin menyebutnya sebagai ‘Bapak Republik Indonesia’ dan Jenderal A.H. Nasution mengatakan, “.... nama Tan Malaka juga harus tercatat sebagai tokoh militer Indonesia untuk selama-lamanya.” 6

Kembali pada Bung Hatta. Sungguh, saya kagum dengan isi pidatonya dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat yang telah dilansir oleh banyak media massa nasional dan asing saat itu. Kekaguman saya adalah beliau orator besar seperti halnya Soekarno. Tapi, bukan lewat pidato dengan suara bariton yang penuh wibawa, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan menggetarkan. Bunyi teks pidato: “...tjita-tjita oentoek terselenggaranja keboetoehan peroemahan rakjat boekan moestahil apabila kita soenggoeh - soenggoeh maoe dengan penoeh kepertjajaan, semoea pasti bisa...” itulah menjadi headline yang muncul di ber bagai surat kabar. Bahkan, gagasan besar beliau yang dikumandangkan dalam pidato kongres saat itu, yaitu “Satu Rumah Sehat Untuk Satu Keluarga” hingga sekarang masih diingat dan terus diperjuangkan oleh generasi penerus anak bangsa, seperti halnya Manda Machyus, Yoke, Dedy B. Slamet, Rommel Sibero dan kawan-kawannya, yang lahir di era digital dan sedang mengabdikan dirinya di Kementerian Negara Perumahan Rakyat (sekarang – Kementerian PUPR). Di mata anak-anak muda ini, Bung Hatta dipandang telah mengamanatkan kepada pewaris bangsa untuk secara bersama-sama menyelenggarakan pembangunan perumahan yang layak bagi rakyat yang telah hidup merdeka, beradab dan bermartabat (memiliki harga diri).7 Oleh karena

itu, sebagai penghormatan atas dedikasi beliau dalam memikirkan perumahan rakyat, anak-anak generasi penerus di Kementerian PUPR dalam memperingati Hari Perumahan Nasional (Hapernas) setiap tanggal 25 Agustus selalu berziarah ke tempat peristirahatan terakhir Bung Hatta di pemakaman umum Tanah Kusir Jakarta Selatan. Bung Hatta adalah seorang pejuang anti kolonialisme dan non- kooperatif. Hal Ini terlihat dari buku yang pernah saya baca ‘Hatta Jejak Yang Melampaui Zaman’, dikisahkan sewaktu di pengasingan di Desa Dwi Warna Ibukota Kecamatan Banda Kota beliau menempelkan kertas di papan tulis yang mengandung pesan jiwanya. Salah satu tulisan itu berbunyi ”Suatu bantuan pembangunan harus bebas dari syarat

5 Ibid, hal. 25.

6 Tan Malaka, Aksi Masa, PT. Buku Seru, Yogyakarta, 2013, hal. 3

7 Manda Machyus, Jas Merah: Kebersamaan dalam Memenuhi Kebutuhan Rumah Untuk Rakyat (MBR)

(35)

politik manapun juga, bebas dari campur tangan asing dalam soal-soal dalam negeri

bangsa yang menerima bantuan”.8

Beliau adalah negarawan yang tidak haus kekuasaan, taat konstitusi, dan tidak senang pada jalan mengatur pemerintahan negara untuk kepentingan politik daripada untuk kepentingan rakyat. Oleh karena jiwa kenegarawanannya itu dan tidak adanya kesepahaman terhadap Bung Karno dalam cara memimpin pemerintah-an negara, beliau mengundurkpemerintah-an diri sebagai wakil presiden. Selain itu, keputuspemerintah-an ini diambil karena beberapa saran beliau diabaikan Bung Karno, termasuk sarannya kepada Bung Karno untuk tidak menikahi Hartini.

“Perbedaan pandangan dengan Bung Karno semakin meruncing dalam menyikapi revolusi, apakah revolusi berlanjut atau berhenti sampai di sini dan mulai membangun negara. Bung Karno bersikukuh bahwa revolusi jalan terus, Bung Hatta berpikir sebaliknya sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan nasib bangsa, nasib rakyat yang lama menderita akibat peperangan. Perbedaan tak dapat dipertemukan, akhirnya tanggal 1 Desember 1956 Bung Hatta secara resmi mengundurkan sebagai wakil presiden, turun dari gelanggang politik dan memilih jadi orang biasa. Ketika ditanya mau apa setelah mengundurkan diri, Bung Hatta menjawab ringan, “Saya mau terjun ke masyarakat, menjadi orang

biasa. Sebuah jawaban jernih dari sosok yang tidak haus kekuasaan”.9

Sorak gemuruh menggema di ruangan kongres selama dan setelah Bung Hatta berpidato tentang permasalahan perumahan rakyat yang menjadi perhatian dalam program-program pemerintahannya. Beliau sangat peduli dengan kondisi perumahan rakyatnya pada masa itu. Dan, ini pas pada lembaran halaman 81 dari buku yang saya baca yang menyebabkan saya tertidur dan bermimpi berjumpa beliau. Dalam pidatonya di kongres itu, beliau mengatakan: ”...tentang perumahan rakyat, kita menunjukkan ketinggalan yang terbesar. Sering-sering saya berkata, sebagian besar daripada rumah-rumah rakyat lebih menyerupai kandang sapi daripada tempat kediaman manusia. Perumahan semacam ini tidak layak bagi suatu bangsa yang merdeka dan tahu diri, pemerintah mempunyai kewajiban yang besar sekali dalam hal ini. Akan tetapi rakyat dan gerakan rakyat juga”. 10

Setelah pidato puncak Bung Hatta usai, beliau bersama para pejabat pemerintah pusat dan daerah yang mengikuti kongres dipersilahkan oleh panitia untuk masuk ruang rehat yang telah disediakan. Di ruang itulah, meski waktu tidak

8 Arif Zulkifli, dkk, Op.Cit, hal. 47.

9 Basundoro,“Bung Hatta Sang Nurani Bangsa”. basundoro-fib.web.unair.ac.id/ artikel_detail-42104-

Sejarah-BUNG%20HATTA,%20SANG%20NURANI%20 BANGSA. Diakses 27 November 2015

10 Bambang Eryudhawan, Kilas Balik Perumahan Rakyat, Kemenpera dan KemenPU, Jakarta, 2010,

(36)

banyak, dalam mimpi itu saya dibawa berdiskusi dengan beliau tentang perumahan rakyat. Entahlah, waktu itu naluri saya tergerak untuk mendekati Bung Hatta guna berbincang- bincang tentang apa yang dipidatokan mengenai perumahan rakyat.

Percakapan saya mulai dengan salam taklim. “Assalamualikum Bapak Wakil Presiden”. Beliaunya menjawab, “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”. Begitu hangat, ramah dan penuh terbuka jawab cucu Syekh Abdurrachman (Syekh Nan Tuo) ini. “Panggil saja saya Bung ya., jangan wakil presiden”, kata beliau. Lalu keluar ucapan pertanyaan yang ditujukan pada saya, “dari mana bapak?” Saya lalu menjawab, “Dari Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) Bung”.

Mendengar jawaban saya, Beliau memperlihatkan wajah yang sumringah dan mengatakan “Bagus.... bagus”. Bersamaan itu, saya memperkenalkan diri kepada Beliau. “Bung, saya Zulfi Syarif Koto, saat ini diberi amanah menjabat Deputi Bidang Perumahan Formal sejak dari tahun 2005 hingga menjelang pensiun di tahun 2010 ini”. Sambil memegang secangkir teh kesukaannya, beliau bertanya, “Bapak asli dari mana?” Saya menjawab, “Dari Koto Tuo Ampek Koto Kabupaten Agam Bukittinggi Sumatera Barat”. Dan saya menyela dengan hormat, “Bung panggil saja saya Zul atau Zulfi atau Koto”. Kemudian beliau sedikit agak kaget dan berucap, “Kalau begitu kita masih saudara dekat, maksudnya sama-sama dari satu kampong”. Saya lalu menyela, “Bung dari di Desa Aur Tanjungkang Bukittinggi ya?” “Betul” jawab Bung Hatta. “Kok tahu kau Zul dari mana?” Saya menjawab lewat membaca buku biografi yang ditulis oleh banyak orang dari dalam dan luar negeri.

Dengan raut wajah berbinar dan body language yang penuh persaudaraan dan kekeluargaan nampak Bung Hatta senang dengan perjumpaannya dengan saya. Detik demi detik dan menit demi menit berjalan, selanjutnya percakapan mengarah pada tema pidato Bung Hatta. Saat itu, saya berkata, “Bung saya sangat tertarik dengan isi pidato yang disampaikan dalam kongres barusan itu”. “Oh...ya”, jawab beliau. “Apa yang Bung sampaikan dalam pidato itu memperlihatkan pemerintah mempunyai kepedulian besar terhadap rakyat yang tidak mampu dalam upaya mendapatkan perumahan yang layak”, kata saya. Bung Hatta memandangi saya dengan tatapan wajah serius untuk menjelaskan sesuatu. “Begini Zul”, kata Bung Hatta. “Sesungguhnya program pembangunan perumahan rakyat tidak saja kali pertama saya menjabat wakil presiden. Akan tetapi sudah saya pikirkan bersama dengan teman-teman dalam ‘Sidang Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara Lama’ pada pertengahan 1943 dan ketika saya menjabat Perdana Menteri Kabinet RIS 1949”.

Sambil mengajak saya untuk duduk di kursi, Bung Hatta menceritakan kepada saya tentang kedua hal tersebut. Atas penjelasan Bung Hatta itu, saya jadi teringat pada buku kumpulan pidato Beliau terbitan Balai Pustaka Jakarta 1954 yang pernah saya baca. Dalam buku itu dimuat isi pidato Bung Hatta yang saat itu menjadi salah

(37)

satu pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bersama-sama Soekarno, Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Mansyur tentang masalah perumahan rakyat. Isi pidato Beliau menggambarkan keadaan rumah rakyat, seperti berikut ini:

“Di zaman dahulu, sebelum orang putih datang kemari, bangun-bangun rumah desa memang sederhana, tetapi terpelihara. Adat hidup yang dipakai orang Indonesia serta sifat tolong-menolong yang menjadi dasar segala usaha yang berat, melarang orang mengabaikan rumahnya. Kalau ia hendak mendirikan rumah, ia dapat minta tolong kepada orang banyak yang sekampung atau sedesa. Paham tradisi, yaitu ikatan kebiasaan, tidak membiarkan orang teledor terhadap pemeliharaan rumahnya. tetapi sekarang, sebagai akibat daripada penindasan ekonomi dan pemerintah Barat? Semangat hilang dan kemauan patah sama sekali, Nafsu kurang untuk memperbaiki yang rusak, sejak kesengsaraan hidup

menimpa senantiasa”.11

Selanjutnya, terkait dengan saat menjabat perdana menteri Kabinet RIS 1949, beliau Bung Hatta mengingatkan kepada saya bahwa dalam pemerintahannya juga terdapat program pembangunan perumahan. Saya teringat pada buku yang pernah saya baca “Mohammad Hatta, Untuk Negeriku Menuju Gerbang Kemerdekaan – Seri Ke 3”, terdapat program Pemerintah RIS 1949 yang berbunyi, antara lain:

“Program Kabinet RIS, yang keempat: Berusaha memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan, dan kesehatan untuk jaminan sosial dan penempatan tenaga kembali ke dalam masyarakat; mengadakan peraturan tentang upah minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi rakyat agar kegiatan itu terwujud kepada kemakmuran rakyat seluruhnya”. 12

Terkait dengan penjelasan Bung Hatta, benak saya menyimpulkan bahwa masalah perumahan rakyat di satu sisi tetap menjadi perhatian pemikiran Bung Hatta baik selaku pimpinan organisasi kepemudaan (PUTERA) maupun pimpinan pemerintahan, dan di sisi lain masalah pembangunan perumahan rakyat semakin sulit dipecahkan akibat pengaruh ekonomi global (kapitalisme modern). Kemudian saya mengatakan kepada Bung Hatta, “Bung kondisi yang baru saja dijelaskan itu hampir sama dengan ekonomi-politik perumahan rakyat pada zaman paska pemerintahan Bung”. “Maksudnya?”, tanya Bung Hatta kepada saya. Saya menjelaskan bahwa meski semua rezim pemerintahan republik telah menetapkan berbagai gerakan 11 Sebagian dari Pidato Mohammad Hatta pada Sidang Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan

Tatanegara Lama tahun 1943 dalam buku “Kilas Balik Perumahan Rakyat 1900-2000, Op.Cit, hal. 62.

12 Mulyawan Karim (Eds), Mohammad Hatta, Untuk Negeriku Menuju Gerbang Kemerdekaan, Seri Ke – 3,

(38)

dan program pembangunan rumah bagi yang tidak mampu, seperti: “KIP”, “GNPSR”, “GENTAKUMUH”, “Program 1000 Tower dan Program 350.000 Rusunawa Pekerja di Perkotaan”, akan tetapi harus diakui hingga kini banyak rakyat kita terutama yang berpenghasilan rendah masih hidup di perkampungan kumuh dan di dalam rumah-rumah yang tidak layak huni, apalagi mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan sebagainya.

Mendengar penjelasan dari saya, Bung Hatta tertegun. Bung Hatta nampaknya memahami permasalahan pembangunan perumahan rakyat yang saya kemukakan tadi. Dan, Beliau mengatakan kepada saya bahwa semua program pembangunan perumahan bagi masyarakat tidak mampu itu baik, tapi melaksanakannya tidak mudah.

Perkataan Bung Hatta itu benar adanya. Kemudian saya teringat kala kuliah S-2 di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya sewaktu membaca buku kebijakan publik, di mana penulisnya, Said Zainal Abidin, berucap: ”Banyak kebijakan yang baik, yang mampu dibuat oleh pemerintah, baik yang dirumuskan dengan menggunakan tenaga ahli dari dalam negeri, maupun dari luar negeri, tetapi kemudian ternyata tidak mempunyai pengaruh apa-apa dalam kehidupan negara karena tidak mampu atau tidak dilaksanakan”. 13

Kemudian, Bung Hatta menyela pembicaraan, banyak faktor Zul terhadap belum terwujudnya harapan masyarakat akan pemenuhan kebutuhan rumah yang layak. Lalu, saya dengan hormat menyela apakah itu terkait dengan faktor seperti pemilihan peradigma pembangunan yang diterapkan oleh negara pemberi utang, kapitalisasi tanah, budaya birokrasi, sikap masyarakat, dan lain sebagainya? Betul ...betul... Zul !! Ini merupakan sebuah ungkapan jujur yang keluar dari isi hati dan pikiran terdalam Bung Hatta.

Dengan pernyataan tegas Bung Hatta itu, saya disadarkan bahwa apa yang terjadi dengan pembangunan perumahan rakyat sekarang ini memang harus diakui banyak dipengaruhi oleh ekonomi-politik pembangunan perumahan rakyat yang dikendalikan oleh negara pemberi pinjaman, pemodal (dalam dan luar negeri), dan bahkan kebijakan pemerintah itu sendiri. Realitas yang terlihat sampai saat ini bahwa mereka dan kebijakan pemerintah masih kurang berpihak kepada masyarakat miskin dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal (rumah) yang layak sesuai yang diamanatkan konstitusi Negara Republik Indonesia. Diakui atau tidak kucuran bantuan asing untuk pembangunan perumahan rakyat masih belum banyak dinikmati oleh sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya MBR dan Masyarakat Miskin. Demikian pula, harus diakui kebijakan sektor pembangunan perumahan rakyat masih berbau paradigma neolit padahal seperti kita ketahui

(39)

bahwa undang-undang yang mendasari sebenarnya berorientasi pada paradigma sosialisme dan nasionalisme.

Terkait dengan pengaruh negara asing pemberi pinjaman untuk berbagai program pembangunan di Indonesia, saat itu juga pikiran saya melayang pada tulisan pakar ekonomi politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Mochtar Mas’oed dalam bukunya yang pernah saya baca. Dia mengatakan bahwa, ”Pada negara- negara berkembang yang akrab dengan lembaga pemberi utang internasional, seperti Indone-sia, kebijakan pembangunan yang dijalankan sebenarnya lebih banyak dipaksakan oleh

para donor (termasuk pemodal) sebagai syarat memperoleh bantuan asing”.14 Saya akui

bantuan hutang memang diperlukan untuk pembangunan perumahan rakyat, tetapi hal itu perlu dikritisi bahwa di dalamnya tentu syarat dengan kepentingan ekonomi politik negara donor internasional.

Demikian pula, pernjelasan Bung Hata tentang pidatonya itu juga mengingat-kan saya pada apa yang dikatamengingat-kan Tan Malaka benar. Dalam bukunya “Madilog” yang pernah saya baca, menurut Tan, ”Dimana-mana kapitalisme itu (berpolitik demokratis atau autokratis), condong kepada monopoli. Di mana-mana monopoli condong pada ekonomi berdasarkan restriction (regulasi/pembatasan), yaitu membatasi penghasil an. Dengan membatasi penghasilan, mengurangi hasil dari kekuatan (pabrik) dan mesinnya, dan monopoli punya sendiri hasil itu, maka si monopoli bisa menaikkan

harga dan menetapkan harga”. 15 Hal ini juga ditulis dalam bukunya “Aksi Masa” di

mana Tan mengatakan, ”Kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra yang menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra”.16

Fakta-fakta akibat kolonialisme dan imperialisme di atas juga telah dipaparkan oleh Tan Malaka dalam bukunya “Dari Penjara Ke Penjara” yang menggambarkan perbandingan yang tak berimbang sektor kehidupan antara Belanda dan Indonesia, sehingga Dia terus berupaya berjuang untuk lepas dari kolonialisme dan imperialisme Belanda. Dia menggambarkan perbandingan kondisi itu sebagai berikut:

1. Ekonomi; sebenggol uang cukup bagi inlanders (bangsa Indonesia), sedangkan F. 1.500 juta rupiah tiap tahun mengalir ke Belanda.

2. Sosial; 3% tani dengan 3 sawah, 50% petani dengan 3/44 sawah, 25%

petani tidak punya sawah, selebihnya saudagar, pangreh-praja, juru tulis, dan intelek-gembel.

14 Mochtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1994,

hal. 63.

15 Tan Malaka, Madilog, Materialisme, Dialektika dan Logika. Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2010, hal.

133-134.

(40)

3. Politik; hanya ada dua atau tiga orang Indonesia di Gedung Sandiwara.

4. Pemerintahan; ketentaraan, polisi, dan unsur luar negeri semunya orang

Belanda.

5. Pendidikan; rakyat Belanda yang 7 juta memiliki 5 universitas, sedangkan

penduduk Indonesia yang 70 juta hanya punya 4 sekolah.”17

Waktu semakin siang dan percakapan saya dengan Bung Hatta terus berlangsung. Percakapan saya berdua nampaknya menarik perhatian para pejabat pemerintah pusat dan daerah yang mendampingi Bung Hatta. Mereka mendengarkan dengan antusias, sabar dan serius. Lalu saya bertanya, Bung di mana-mana selalu membicarakan ekonomi kerakyatan, termasuk tadi dalam pidatonya berbicara tentang ekonomi-politik pembangunan perumahan untuk kemakmuran rakyat, apa itu maksudnya? Bung Hatta menjawab dengan mengutip pendapat Dr. A.A Van Rijn menjelaskan tentang konsep ilmu ekonomi dan ilmu politik yaitu,

“Di antara yang menyetujui ada yang mengatakan bahwa ilmu ekonomi dan politik perekonomian terletak dalam dua daerah yang berlainan sama sekali. Ilmu ekonomi mengatakan, bagaimana adanya, politik perekonomian menghendaki bagaimana mestinya. Ilmu ekonomi mencari sebab-sebab, politik perekonomian mencari akibatnya. Ilmu ekonomi mencari hukum-hukum kausal, politik perekonomian mencari dasar-dasar etik. Ilmu ekonomi mengatakan apa yang biasa terjadi, politik perekonomian menghendaki apa yang mesti terjadi”. 18

Saya menyela, “Apakah yang dimaksud Bung bahwa pengertian ekonomi-politik perumahan rakyat itu didasarkan pada penglihatan fenomena nyata perumahan rakyat saat ini tak layak (seperti kandang sapi) bagi sebagian besar rakyat kita sehingga perlu dicari penyebabnya dan bagaimana pemecahannya, begitu Bung?”. Dengan nada tegas beliau menjawab, “Betul Zul”. Lalu beliau berkata, “Zulfi kan tahu mengapa perumahan rakyat kita sampai saat ini dalam keadaan kritis? Penyebabnya antara lain dampak kondisi ekonomi paska perang, kurang perhatian pemerintah, atau masyarakatnya yang tak berdaya, begitukan Zul?”

Mendengar perjelasan Bung Hatta saya terkagum dengan analisis ekonomi politiknya terhadap krisis pembangunan perumahan rakyat saat itu dan dalam pikiran saya lalu diingatkan terhadap kondisi yang terjadi saat ini yaitu bahwa kita telah mengalami “Darurat Perumahan Rakyat”.

Dalam mimpi saya, usai percakapan dengan Bung Hatta dan setelah kongres 17 Abraham Ali Fakih, Dari Penjara Ke Penjara, Strudi Komprehensif atas Perjalanan Hidup, Perjuangan,

dan Pemikiran Emas Tan Malaka dan Konteks Keindonesiaan, PALAPA, Jakarta, 2015, hal. 30

18 Nina Pane (Eds), Mohammad Hatta, Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977) Kompas Media

Gambar

Gambar 6.1 Isu Strategis I
Gambar 6.2 Isu Strategis II 6.3.3  Gerakan 100-0-100
Gambar 6.3 Gerakan 100-0-100
Gambar 6.4 Strategi Pelaksanaan Gerakan 100-0-100
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sementara dana dari sektor swasta yang ada pada bank umum Kalimantan Barat meningkat 45,13% menjadi sebesar Rp1.917 miliar atau 10,2% dari total DPK pada triwulan

Disediakan video terkait teks khusus dalam bentuk pemberitahuan (announcement) terkait sekolah, dan melalui pembelajaran Project Based Learrning berdasarkan

Tanah galian yang memenuhi syarat digunakan sebagai timbunan tanggul, sedangkan tanah yang tidak memenuhi syarat di buang ke disposal area kemudian diratakan dengan buldozer

Pertambahan berat badan pedet sapi Bali lepas sapih masing-masing perlakuan Awal pengamatan (dua minggu pertama), tampak bahwa perlakuan C (rumput lapang) menunjukkan pertambahan

Beban sekunder yang mempengaruhi konstruksi pondasi pada jembatan yang diperhitungkan melewati beban akibat pengaruh tekanan angin, gaya traksi, gaya rem dan gaya gempa bumi..

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Tyas (2006), dengan judul “Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif dan ASI Non Eksklusif Dengan Pertumbuhan Berat Badan Bayi

Salah satu mesej utama penulisan apokaliptik adalah walaupun kerajaan-kerajaan dunia, sama ada Babel, Parsi, Yunani atau pun Roma (mungkin yang digambarkan oleh

Dalam penelitian tugas akhir ini bahan alami yang digunakan dalam pembuatan benda uji mortar geopolimer adalah abu sekam padi (rice husk ash).Pada penelitian ini agregat halus