• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELENGGARAAN PERUMAHAN RAKYAT

2.1 Landasan Filosofis

Penyelenggaraan perumahan rakyat di Indonesia ditujukan untuk memajukan kesejahteraan setiap warga negara, khususnya MBR dan Masyarakat Miskin sesuai amanat :

2.1.1 Deklarasi Universal HAM PBB 1948

Deklarasi Universal HAM PBB 1948 yang diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III) di antaranya telah menyepakati bahwa setiap negara anggota PBB harus menyediakan papan (rumah) yang memadai bagi setiap warga negara guna menjamin terpenuhinya hak bertempat tinggal yang aman, sehat, dan nyaman.

Ketentuan perlunya pemenuhan hak bertempat tinggal yang manusiawi (memadai) bagi setiap warga negara anggota PBB tersebut tercantum dalam satu pasal pada Deklarasi Universal HAM PBB 1948 yang berbunyi ”Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahtera an dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan...”.25 Jadi deklarasi 25 Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia PBB tanggal 10 Desember 1949 resolusi 217 A (III).

29

Atas Penerbitan dan Peluncuran Buku

“Program Sejuta Rumah: Membangun Untuk Siapa?”

Oleh: Ir. Zulfi Syarif Koto. M.si

Bukti Nyata Hasil Pemikiran Sepanjang Masa

atas Kecintaan dan Komitmen Penulis Terhadap Perumahan Rakyat

ini menegaskan dan menjamin bahwa rumah adalah hak setiap orang yang harus dipenuhi oleh negara.

Komitmen global tentang pemenuhan hak tempat tinggal yang layak lebih lanjut diperkuat oleh Deklarasi Permukiman Vancouver. Deklarasi ini merupakan hasil Konperensi PBB mengenai Pemukiman Manusia (HABITAT) di Vancouver, Kanada, tanggal 1-11 Mei 1976. Deklarasi Vancouver menegaskan:

“Hunian dan layanan yang layak adalah hak asasi manusia yang menempatkan kewajiban pada pemerintah untuk memastikan pencapaiannya oleh semua orang, dimulai dengan bantuan langsung bagi yang paling membutuhkan melalui program swadaya dan kegiatan masyarakat yang terpandu. Pe merintah harus berusaha menghilangkan semua rintangan yang menghalangi pen-capaian tujuan tersebut. Terpenting adalah penghapusan segregasi sosial dan ras, antara lain, melalui penciptaan komunitas yang lebih seimbang, yang

memadukan berbagai kelompok sosial, pekerjaan, perumahan dan fasilitas.” 26

2.1.2 TAP MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

Dalam Ketetapan MPR-RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia terdapat salah satu pasal, yaitu Pasal 29 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Ketetapan MPR-RI yang dibuat saat masa reformasi itu tentu saja masih mengikat dan harus dipedomani serta dilaksanakan oleh pemerintahan reformasi sekarang ini.

Sesuai dengan amanat Tap MPR 1998 Pasal 29 tersebut, maka hak bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak bagi setiap warga negara sudah barang tentu harus diupayakan dan dipenuhi oleh setiap rezim pemerintahan reformasi, ter masuk pemerintah sekarang. Secara ekonomi-politik, berbagai program pembangun-an perumahpembangun-an rakyat harus diformulasikpembangun-an dpembangun-an dilakspembangun-anakpembangun-an untuk mewujudkpembangun-an Ketetapan MPR tersebut dan hasilnya tercermin dari kinerja pembangun an perumah-an rakyat yperumah-ang diselenggarakperumah-an oleh setiap rezim pemerintah tersebut.

TAP MPR memiliki kedudukan yang kuat dalam sistem hukum di Indonesia setelah UUD 1945. TAP-MPR ini merupakan pengejawantahan terhadap kehendak rakyat yang diformulasikan oleh para wakil rakyat di parlemen dan harus ditunaikan oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Jadi TAP-MPR 1998 Pasal 29 yang lahir dalam Orde Reformasi itu sangat mengikat pemerintahan reformasi untuk menyelenggarakan pemenuhan hak bertempat tinggal yang layak bagi setiap warga negara.

26 Muchtar Effendi Harahap. (2010), “Kawasan Kumuh Cerminan Pelanggaran Hak Dasar Warga”. http://muchtareffendiharahap.blogspot.co.id/2010/11/kawasan-kumuh-cerminan- pelanggaran-hak. html. Diakses tanggal 6 November 2015.

2.1.3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 40 berbunyi “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Bunyi pasal itu mengandung pengertian adanya kewajiban bagi penyelenggara negara atau pemerintah untuk menyediakan permukiman atau perumahan yang layak bagi setiap warga negara, terutama MBR atau Masyarakat Miskin sehingga dapat terpenuhinya hak bertempat tinggal bagi setiap warga negara.

Selain itu, keberadaan undang-undang tentang hak asasi manusia ini sangat penting bagi semua pemangku kepentingan pembangunan perumahan rakyat. Melalui undang-undang ini, pemerintah dituntut harus mau dan mampu me-nyediakan tempat tinggal yang layak huni bagi setiap warga negara mengingat bila tidak mau dan mampu dapat dianggap melanggar hak asasi manusia. Demi-kian pula, melalui keberadaan undang-undang ini setiap warga negara dijamin untuk dapat memenuhi hak akan tempat tinggal (rumah) yang layak bagi hidup dan ke hidupannya.

2.1.4 UUD 1945 Perubahan Keempat

Kebijakan pembangunan perumahan rakyat di Indonesia merupakan amanat UUD 1945. Hal ini dapat ditunjukkan pada UUD 1945 perubahan keempat Pasal 28 H yang berbunyi: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh

pelayanan kesehatan”.27 Pasal itu menginstruksikan kepada pemerintah dan semua

pelaku pembangunan perumahan rakyat harus dapat mewujudkan hak hidup sejahtera setiap warga negara dalam suatu tempat tinggal yang layak bagi hidup dan kehidupan nya.

Mencermati bunyi Pembukaan UUD 1945 amandemen keempat tersebut

terlihat bahwa pemerintah sesuai dengan fungsi dasarnya28 yang diberikan oleh

negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pemenuhan hak bertempat tinggal yang layak kepada setiap warga negara. Oleh karena itu, meskipun pemerintahan (rezim) dapat berganti, maka selama Pasal 28 H tersebut tidak berubah pemerintah harus tetap memiliki political will menyelenggara kan pemenuh an hak memiliki tempat tinggal yang layak kepada setiap warga negara, khususnya MBR dan MM demi terwujudnya kesejahteraan sosial. Pengingkaran terhadap pasal itu berarti

27 Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Keempat Pasal 28 H.

28 Anderson (1989) dalam Budi Setiyono, Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik, Prinsip- Prinsip

Pengelolaan Negara Terkini”, PT. Buku Seru, Jakarta. 2014, hal. 23. Anderson menyebutkan salah satu fungsi

dasar pemerintah adalah menyediakan barang dan jasa kolektif (provision collective good and services). Ada berbagai macam barang dan jasa umum, yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat, namun sulit dipenuhi secara individual berkenaan jumlah yang harus disediakan.

pemerintah dapat dianggap melakukan pelanggaran terhadap konstitusi negara dan dapat di-impeach (dijatuhkan) sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

2.1.5 UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

UU Nomor 11 Tahun 2005 terbit setelah Pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right) pada Oktober 2005. Dengan demikian, negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut kepada warganya. Terdapat 143 negara yang meratifikasi kovenan tersebut, termasuk Indonesia.

Hak atas standar hidup yang layak termasuk perumahan telah ditetapkan dalam Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) yang berbunyi ”Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarga nya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus....”.29 Atas dasar bunyi pasal 11 dari Kovenan yang diratifikasi dalam UU Nomor 11 Tahun 2005 ini terdapat aturan hukum yang tidak saja ber sifat nasional tapi juga internasional mengenai perlunya setiap pe-merintahan negara, termasuk Indonesia menjamin dan memastikan terpenuhinya hak perumahan yang layak bagi setiap warga negara.

Dalam peraturan perundangan di Indonesia, masalah hak ekonomi, sosial dan budaya telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penangan-an Fakir Miskin. Melalui undPenangan-ang-undPenangan-ang ini ditetapkPenangan-an hak fakir miskin, Penangan-antara lain: a. memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan; b. memper-oleh pelayanan ke sehatan; c. mempermemper-oleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; d. mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun, mengem-bangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai dengan karakter budaya-nya; e. mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya; f. memperoleh derajat kehidupan yang layak; g. memperoleh lingkungan hidup yang sehat; h. meningkatkan kondisi kesejahteraan yang ber-kesinambungan; dan i. memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha (Pasal 3).

Dalam persektif UU Nomor 13/2011 tersebut, fakir miskin harus mendapatkan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya dari pemerintah. Adapun penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh pe merintah,

pemerintah daerah, dan masyarakat (Pasal 5). Sedangkan terkait dengan pemenuhan hak dasar pelayanan perumahan diatur dalam Pasal 14 yang berbunyi “pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan pelayanan perumahan”.

Demikian pula, keberadaan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, menanda-kan bahwa negara telah memiliki political will yang kuat dalam pemenuhan hak asasi warga negara, khususnya MBR dan MM, terhadap tempat tinggal (rumah) yang layak.

Pasal dalam kedua undang-undang ini telah mengatur hal yang berkaitan pembangunan perumahan rakyat, meliputi latar belakang, landasan (filosofis, yuridis, sosiologis), tujuan dan sasaran, asas penyelenggaraan pembangunan, tugas dan wewenang pemerintah, hak dan kewajiban masyarakat dan dunia usaha, pe-ngawasan, sanksi hukum, dan lain sebagainya.

Persoalan yang muncul terkait dengan undang-undang tersebut bahwa pelaksanaannya belum optimal baik pemerintahan reformasi yang terdahulu dan sekarang sehingga permasalahan pembangunan perumahan rakyat semakin sulit terpecahkan, seperti terlihat dari semakin meningkatnya backlog perumahan yang kini telah mencapai 13.5 juta unit.30

2.2 Landasan Lima Pilar Bernegara, Berbangsa,