• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM PERSPEKTIF EKONOMI-POLITIK

1.2 Ekonomi-Politik Pembangunan Perumahan Rakyat: Pisau Bermata Dua

Pembangunan perumahan rakyat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh berbagai paradigma pembangunan yang berkembang pada setiap rezim pemerintahan. Ekonomi-politik pembangunan perumahan rakyat yang nampak merupakan pengejawantahan dari aplikasi ideologi (paradigma) pembangun-an ypembangun-ang berkembpembangun-ang pada setiap rezim pemerintahpembangun-an. Bahaspembangun-an berikut ini lebih difokuskan pada deskripsi ekonomi-politik pembangunan perumahan rakyat masa Orde Baru dan masa Orde Reformasi yang keduanya berada dalam era globalisasi dan modernisasi dengan kecenderungan fokus pada pembangunan ekonomi.

14 Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja A.R, Teori dan Strategi Pembangunan Nasiona, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1988, hal. 3.

15 David C. Korten dan George Carner “Pembangunan yang Berpusat pada Rakyat Menuju Suatu

Kerangka Kerja”. dalam D.C. Korten dan Sjahrir, (eds) Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Obor Indonesia,

Jakarta, 1988, hal. 261 Korten dan Corner mendefinisikan people-centered development sebagai suatu pendekatan pembangunan yang memandang inisiatif kreatif rakyat sebagai sumberdaya pembangunan yang utama dan memandang ke sejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang dicapai oleh proses pembangunan.

1.2.1 Perumahan Rakyat dalam Koridor Pembangunan Ekonomi

Dari perspektif ekonomi politik, pembangunan perumahan rakyat merupakan suatu aktivitas terencana yang dilakukan oleh pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang layak bagi setiap warga negara, terutama MBR dan MM agar kehidupannya sejahtera. Secara masif, pembangunan perumahan rakyat dimulai sejak pemerintahan Orde Baru dengan pembangunan sebagai ideologi untuk memajukan kehidupan ekonomi warga negara.

Pembangunan perumahan rakyat pada masa itu ditandai dengan peran pemerintah yang besar dalam perencanaan pembangunan ekonomi. Alasan yang melatarbelakangi peran pemerintah adalah tanpa adanya pengarahan dan campur tangan pemerintah perkembangan masyarakat tidak didasarkan pada: 1) peng guna-an sumber pembguna-angunguna-an secara efektif dguna-an efisien; 2) keperluguna-an men dobrak ke arah perubahan strutural ekonomi dan sosial masyarakat, 3) yang terpenting adalah arah

perkembangan untuk kepentingan keadilan sosial.16

Dalam 32 tahun masa Pemerintahan Orde Baru dan 17 tahun masa Pemerintah-an Orde Reformasi, pembPemerintah-angunPemerintah-an perumahPemerintah-an rakyat masih bPemerintah-anyak disokong oleh

lembaga donor internasional17 yang tergabung tergabung dalam PBB untuk

me-laksanakan berbagai paradigma (model) pembangunan yang dipandang sebagai obat mujarab mengatasi kemiskin an masyarakat Indonesia. Model pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan pertumbuhan, kebutuhan dasar, pembangunan ber-pusat pada manusia, pembangunan dari atas atau dari bawah, limit to growth- models

of doom, dan dependency-diffusionism model18 semuanya telah diterapkan oleh

lembaga donor internasional sebagai persyaratan untuk mendapatkan bantuan pembangun an, termasuk dalam pembangunan perumahan rakyat. Namun, dalam pelaksanaannya warna dominan program pembangunan perumahan rakyat tetap pada koridor pembangunan ekonomi.

Bagaimanakah hasil pembangunan perumahan rakyat dalam ekonomi- politik yang lebih mengejar kemajuan ekonomi masyarakat? Penghargaan harus tetap diberikan kepada pemerintahan Orde Baru atas kebijakan dan hasil pembangunan perumahan rakyat yang telah dicapai, seperti dilahirkannya berbagai peraturan pe-rundangan, pendirian lembaga kementerian, badan usaha, lembaga pembiayaan, dan telah mendorong berdirinya organi sasi pengembang swasta sebagai mitra pembangunan perumahan rakyat, serta telah banyak dibangun perumahan untuk masyarakat MBR di seluruh wilayah Indonesia.

16 Bintoro Tjokroamidjojo. Op.Cit., hal. 8

17 Mochtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994, hal. 4. Mas’oed menyatakan seperti Indonesia, kebijakan pembangunan yang dijalankan sebenarnya lebih ban-yak dipaksakan oleh para donor sebagai syarat memperoleh bantuan asing.

Namun di atas semua itu, harus diakui pula bahwa pencapaian pembangun-an perumahpembangun-an rakyat tersebut masih belum sesuai dengpembangun-an makna pembpembangun-angunpembangun-an yang sebenarnya yaitu adanya inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumberdaya pem-bangunan yang utama dan memandang kesejahtera an material dan spiritual sebagai tujuan yang dicapai oleh proses pembangunan.

Mengapa hal tersebut terjadi? Faktornya adalah ekonomi-politik pem-bangunan perumahan rakyat lebih fokus pada ukuran ekonomi dan mengabaikan aspek sosial sehingga telah memunculkan kesenjangan sosial. Hal ini terjadi sebagai dampak aplikasi model pembangunan yang diciptakan oleh dan untuk keuntungan negara maju (kapitalis) dan para elit ekonomi dan politik di Indonesia. Oleh karena itu, tidak salah bila pengamat ekonomi-politik menyatakan bahwa pembangunan dengan model pertumbuhan ekonomi (liberal) yang memadukan dengan kekuat-an internasional melalui gelkekuat-anggkekuat-ang globalisasi dkekuat-an modernisasi untuk Indonesia ibarat pisau bermata dua, di satu sisi menciptakan janji untuk kesejahteraan, namun di sisi lain tidak menciptakan keadilan.19 Sebagai contoh, pembangunan perumah an rakyat melalui kebijakan pemerintah menyediakan Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan Lingkungan Siap Bangun-Berdiri Sendiri (LISIBA-BS) kepada para pengembang besar yang diharapkan dapat membangun banyak rumah bagi MBR ternyata tidak terealisasi dan lebih banyak menguntungkan pengembang dan masyarakat me-nengah atas. Di sini muncul pertanyaan untuk siapa sebenarnya perumahan rakyat dibangun?

Namun, keberadaan dampak negatif dari aplikasi model pembangunan ter-sebut, tidak menafikan keberpihakan pada pengentasan kemiskinan dan lingkung-an hidup. Model pemblingkung-angunlingkung-an perumahlingkung-an dlingkung-an permukimlingkung-an ylingkung-ang diprakarsai oleh para pakar yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dan Bank Dunia sampai sekarang masih konsisten mengawal agar pembangunan perumah-an di Indonesia lebih memikirkperumah-an masyarakat miskin. Jika terjadi sebaliknya maka kemungkinan kesalahan pada pelaksanaan model pembangunan perumahan rakyat tersebut.

1.2.2 Pembangunan Perumahan Rakyat dalam Konteks Ekonomi-Politik Pro Rakyat

Pembangunan perumahan rakyat yang sesuai dengan makna pembangun-an berdimensi kerakyatpembangun-an seharusnya tidak hpembangun-anya mengejar pertumbuhpembangun-an ekono-mi, tetapi harus juga dikaitkan dengan usaha memajukan kehidupan sosial. Ahli ekonomi pembangunan seperti W.A. Lewis menyatakan ”Pembangunan bukanlah sekedar masalah memiliki sejumlah besar uang atau semata-mata fenomena ekonomi.

Tetapi mencakup semua aspek perilaku masyarakat, penegakan hukum dan ketertiban, kecermatan dalam hubungan bisnis, hubungan antara keluarga, buta huruf, keakraban

dengan peralatan mekanis, dan sebagainya”.20 Sementara M.L. Jhinghan menyatakan

bahwa “Pembangunan harus diprakarsai oleh negara dan tak dapat dicangkokkan dari

luar”.21 Kedua pernyataan tentang pembangunan ini sudah seharusnya berlaku pada

pembangunan perumahan rakyat saat ini dan mendatang, yaitu memenuhi per-syaratan adanya kemajuan ekonomi dan kemajuan sosial bagi setiap warga negara.

Desakan ekonomi-politik pembangunan perumahan pro rakyat sebetulnya telah digaungkan oleh para pakar pencetus model pembangunan, seperti community based development, people centered development, pro poor, pro justice, pro job, dan lain sebagainya yang berusaha menempatkan rakyat sebagai subyek pembangunan. Setiap rezim pemerintahan telah menanggapi desakan tersebut dan mewujudkan dalam berbagai program pembangunan perumahan bagi MBR dan masyarakat miskin melalui program GNPPS, GNPSR, GENTAKUMUH, Program 1000 Tower dan 350.000 Rusunawa Pekerja di Perkotaan, serta Program Sejuta Rumah, dengan bentuk nyata program berupa bantuan uang muka, kredit pembiayaan perumahan, dan pem bangunan Rumah Sederhana dan Sangat Sederhana, Rumah Sejahtera Sehat/RsH (tapak dan rusun). Namun harus diakui bahwa program tersebut dalam ke nyataan masih belum banyak dinikmati MBR dan MM, dan bahkan salah sasaran serta kelompok ini kerapkali termarjinalisasi.22

Fenomena salah sasaran dan keterpinggiran MBR dan MM dalam pelaksana-an program pembpelaksana-angunpelaksana-an perumahpelaksana-an rakyat sebagai akibat penerappelaksana-an ekonomi- politik berdasarkan sistem merkantilisme seperti yang terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pengertian merkantilisme adalah suatu sistem dalam negara yang sangat diatur, dengan pemerintah yang tergantung pada kelompok elite,

sementara kelompok ini sendiri didukung oleh hak istimewa dari negara.23 Praktik

ekonomi-politik merkantilisme itu dapat ditunjukkan dari berbagai kebijakan atau program pembangunan perumah an rakyat diatur oleh pemerintah (negara) dan diberikan kepada kelompok elit dengan hak istimewanya. Kasus kebijakan pemerintah tentang Kasiba dan Lisiba adalah salah satu bukti pemerintah membuat aturan kebijakan dengan hak istimewa yang diberikan kepada pengembang besar 20 W.A. Lewis, The Theory of Economic Growth dalam Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan

Perencanaan, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal. 52.

21 Ibid, hal. 52.

22 Fatwan Tandjung (1999) dan Simanungkalit-PSP (2009) dalam Zulfi Syarief Koto (2011), Op.Cit, hal. 81-82, keduanya menyatakan penghuni asli di Rusun Benhill tinggal 30 persen (termajinalisasi) dan Rusun yang dibangun di Tebet dan Bendungan Hilir salah sasaran, yaitu ditempati oleh mereka yang bergaji Rp5–Rp6 juta per bulan.

23 Hernando De Soto, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi dI Negara Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 265.

dengan harapan dapat dibangunnya banyak rumah bagi MBR, tapi kenyataannya tidak terjadi dan keuntungan dari kebijakan itu lebih banyak dinikmati oleh para pengembang dan masyarakat menengah atas.

Untuk mewujudkan ekonomi-politik pembangunan perumahan pro rak-yat sekarang dan yang akan datang sudah semestinya harus dijauhkan dari praktik merkantilisme. Namun untuk lepas dari jeratan praktik itu tidak mudah mengingat ekonomi-politik pembangunan perumahan rakyat Indonesia telah terhubung dan terikat dengan sistem kapitalisme internasional sebagai penyokong keuangan. Padahal para ahli ekonomi pembangunan telah memperingatkan bahwa ”Pembangunan tidak akan mungkin jika tidak berkenan di hati rakyat. Terlalu banyak tergantung pada bantuan luar negeri akan mematikan prakarsa pembangunan dan memberikan kebebasan kepada pemodal asing untuk menguras sumber alam demi

keuntung an mereka saja”.24 Pertanyaan yang harus dijawab, yaitu apakah kita mampu

melepaskan diri dari ketergantungan asing sehingga dapat mewujudkan ekonomi-politik pembangunan perumahan rakyat yang benar-benar pro rakyat?

Saat sekarang, perkembangan ekonomi-politik perumahan rakyat telah menampakkan optimisme terwujudnya kemandirian bangsa dalam pem biayaan pembangunan perumahan rakyat dengan disahkannya RUU Tabung an Perumahan Rakyat (Tapera) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi undang-undang. Melalui Tapera ini, khususnya bagi MBR dan MM akan dapat terbantu dalam aspek pembiayaan perumahan.

Hal ini sesuai dengan tujuan UU Tapera, yaitu a. menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang bagi pembiayaan perumahan yang terjangkau; b. memenuhi kebutuhan peserta terhadap perumahan; c. memberikan kemudahan

kepada peserta dalam mengakses pembiayaan perumahan; d. memberikan

kepastian hukum kepada peserta dalam mendapatkan pembiayaan perumahan; dan e. memberikan perlindungan kepada peserta dalam mendapatkan pembiayaan perumahan (Pasal 3). Adapun manfaat dari Tapera ini yaitu untuk pembiayaan rumah, pembangunan rumah, dan perbaikan rumah (Pasal 23).