• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMENTAR DEWAN PAKAR

11.4 Gangguan Rantai Pasok Perumahan

Rantai pasok penyediaan perumahan merupakan proses utuh dan kompleks yang panjang, banyak pelaku dan sub sektor yang terlibat, dalam penyediaannya dikenal dengan 2 (dua) sisi, yaitu sisi penawaran (supply) dan sisi permintaan (de-mand). Sisi penawaran mencakup 5 (lima) hal yaitu (i) tanah matang; (ii) perijinan; (iii) pembangunan infrastruktur dasar; (iv) bahan bangunan; dan (v) pembangunan. Se-lanjutnya dari sisi permintaan meliputi: (i) pembiayaan primer; (ii) penghunian; dan (iii) pembiayaan sekunder perumahan.

Sumber: diolah dari Iskandar Saleh, dan Zulfi Syarif Koto, 2020. Catatan :** disarankan cukup SPPL/UKL/UPL

Delapan rantai pasok tersebut saling memengaruhi dan mengikat penyedia-an perumahpenyedia-an dpenyedia-an masing-masing memiliki indikator, parameter, biaya dpenyedia-an waktu. Dalam kondisi yang normal (tanpa COVID-19) transaksi tiap rantai akan menggairahkan perekonomian masyarakat. Namun, rantai pasok tersebut belum efektif dan efisien yang menyebabkan backlog kepenghunian masih tinggi terutama di kawasan perkotaan.

Wabah COVID-19 menyebabkan gangguan delapan rantai pasok tersebut termasuk industri turunan sektor perumahan sebanyak 175 usaha. Gangguan itu belum termasuk pada rantai pembiayaan primer dan harapan untuk efisiensi pada sisi permintaan.

Beberapa implikasi pada sektor perumahan bagi masyarakat MBR dan MBM akibat pandemi COVID-19, meliputi:

a. Menurunnya realisasi akad kredit perumahan baik rumah komersial (tapak dan rusunami) dan juga rumah subsidi yang diperoleh dari kondisi terkini pada 3 (tiga) wilayah Indonesia yakni di Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Banten/ Jawa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau;

b. Proses verifikasi dan seleksi menuju akad KPR yang diajukan MBR tertunda bahkan ditolak akibat tidak terpenuhinya kriteria penghasilan yang tidak memenuhi syarat karena sedang di ‘rumah’kan oleh perusahaan dan menuju pemutusan hubungan kerja (PHK);

c. MBR yang sebelumnya masuk kriteria layak akses kredit (akad) berubah menjadi tidak layak atau masuk kualifikasi kelompok MBR informal dan/atau pengangguran terselubung;

d. Dengan adanya kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menurunkan minat/kunjungan promosi ke lokasi perumahan yang ber-dampak pada menurunnya transaksi;

e. Terjadinya penurunan drastis geliat kegiatan pembangunan perumahan di lapangan seperti penjualan bahan bangunan, pertukangan, dan jasa;

f. Penyusutan minat dan permintaan konsumen serta ancaman wanprestasi atau gagal bayar pada perbankan oleh pengembang dan konsumen yang selanjutnya akan berdampak pada kesehatan perbankan nasional akibat meningkatnya NPL (Non Performing Loan);

g. Meningkatnya jumlah stok perumahan rakyat bersubsidi maupun perumah-an komersial yperumah-ang selesai dibperumah-angun pengembperumah-ang namun tidak bisa diserap oleh pasar. Calon konsumen yang sudah menerima persetujuan kredit di luar gaji (ASN, TNI/POLRI) terkena dampak dalam keberlanjutan daya ci-cil KPR sehingga memerlukan solusi kebijakan tersediri bagi ASN dan TNI/ POLRI. Perlindungan konsumen dan MBR dalam mengatasi permasalahan

tersebut di atas perlu dirumuskan ke dalam mekanisme laporan pengaduan (complaint mechanism).

Selain ketujuh dampak yang disampaikan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan terkait erat dengan pembangunan sektor perumahan rakyat terutama pada rumah tapak dan rumah susun sederhana milik di masa pandemi, diantaranya:

a. Program perumahan rakyat (rumah umum, bantuan subsidi perumahan swadaya, rumah khusus) belum menyasar keseluruhan masyarakat menengah kebawah selain dari masyarakat fakir miskin, sehingga kaum tunawisma dan rumah tidak layak huni di kawasan kota dan perkotaan yang paling terekspos, terpapar, paling terdampak, dan bahkan tersingkirkan efek dari pandemi COVID-19, membutuhkan intervensi segera;

b. Program BP2BT dan Rumah Subsidi yang di luar Pulau Jawa dan Kawasan Timur Indonesia yang justru turut mengalami kendala, sehingga memerlukan langkah peninjauan atas kebijakan, model bisnis, skim pembiayaan, persyaratan, dan bahkan memasukkan BP2BT ke dalam ‘ekologi’ pembangun an perumahan rakyat yang pro MBR sebagai alternatif dalam penyediaan perumahan rakyat yang terjangkau, layak, aman, dan inklusif;

c. Realisasi Subsidi Selisih Bunga (SSB) juga masih mengalami kendala realisasi dan mengganggu kinerja para pengembang yang karenanya perlu relaksasi sebagai kebijakan kedaruratan dan selanjutnya ditinjau untuk dikembangkan sebagai bagian dari bantuan dan kemudahan MBR namun juga kebijakan efisiensi terhadap biaya dana (cost of money) lembaga perbankan yang membiayai perumahan rakyat sebagai amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan UU Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 54;

d. Mengupayakan keterpaduan pelaku usaha UMKM berbasis teknologi digital yang belum dipandang sebagai kelompok sasaran yang layak dan potensial, untuk memperoleh pembiayaan perumahan MBR;

e. Mengupayakan pemanfaatan dan inovasi teknologi daring untuk meningkatkan, memudahkan dan efektifitas pemasaran, transaksi jual beli, termasuk pembiayaan dan penyediaan perumahan MBR berbasis aplikasi sebagai terobosan penting pada masa dan paska pandemi COVID-19

f. Penerapan aplikasi SIKASEP dan SIKUMBANG yang diluncurkan oleh pe-merintah belum dapat meningkatkan percepatan kemudah an masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memperoleh perumahan yang terjangkau, layak, aman, sehingga perlu dilakukan relaksasi atau setidaknya ‘interupsi’ dalam konteks mengatasi efek domino pandemik COVID-19;

g. Berdasarkan kajian permulaan dari pendekatan etnografi terhadap kebutuh an MBR, penyediaan perumahan bagi MBR belum menyentuh keseluruhan lapisan kelompok MBR yang beragam dalam latar belakang, kebutuhan, kemampuan,

dan kecakapan, sehingga masih banyak kesenjangan kesempat an dan

keterjangkauan masyarakat, khususnya MBR informal, sehingga menjadi isu penting terkait ketepatan sasaran kelompok MBR, tingkat keterjangkauan (affordability) dan untuk semua (for all).

• Pemahaman dan pendekatan etnografi akan menjadi bagian penting dalam pembangunan dan pengembangan basis data kelompok sasaran (MBMB – MBR Formal dan Non Formal serta Keluarga Prasejahtera serta Fakir Miskin) dengan memasukkan dan mengenali profil sasaran dan pola pergerakan yang kelak akan diselaraskan dengan pemenuhan kebutuhan perumahan dengan kesesuain lokasi serta ketersediaan. • Secara kategoris perlu mengembangkan kebijakan intervensi dan

inovasi model bisnis dalam merelaksasi penyediaan dan pembiayaan perumahan MBR pada era dan paska pendemik COVID-19 yang dilakukan pengembang antara lain:

• Mengadopsi model Ekonomi Syariah dan ‘Sharing Economic’ melalui kerja sama dengan perbankan syariah yang dipadukan dengan pemasaran digital (Disruptive Strategy - Banjarmasin).

• Mengelaborasi dan memanfaatkan skema yang tersedia agar dapat me ngendalikan biaya dan harga serta skema pembayaran kreatif agar dapat menarik minat konsumen juga mempertahankan keberlangsung-an usaha (Survival Strategy - Batam).

• Beradaptasi dengan perubahan lingkungan melalui pengem bangan berbagai moda pemasaran berbasis digital dengan skema ke uangan yang dikemas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan konsumen (Adaptive Strategy – Jabodetabek – Grup Ciputra).

h. Pengembangan variasi dari 3 (tiga) strategi di atas yang dipadukan dengan fasilitas serta skema pembiayaan dan penjaminan dapat menjadi kiat yang tangguh, tangkas, dan tanggap untuk mengatasi ancaman penyusutan bahkan sebaliknya akan membuat sektor perumahan menjadi penggerak perekonomian.

i. Secara makro, strategi dan pendekatan yang selayaknya dilakukan sejalan dengan strategi stimulus ekonomi adalah :

• Peningkatan anggaran dan belanja untuk pembangunan pada sektor perumahan rakyat, permukiman dan pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan yang memberikan efek pengganda (multiplier

effect) yang besar (ingat pembelajaran paska Great Depression di USA dan Jerman serta paska perang dunia ke 2)

• Pemenuhan kebutuhan perumahan sejalan dengan amanat konstitusi dalam hak bermukim yang diselaraskan dengan 5 (lima) komponen dasar hak bermukim (tanah dan jaminan bertempat, tata ruang dan lingkungan, pembiayaan dan penjaminan, infastruktur dasar, teknologi dan material).

• Kegiatan pembangunan dan pemenuhan kebutuhan sektor perumah-an rakyat, permukimperumah-an dperumah-an pengembperumah-angperumah-an/pembperumah-angunperumah-an kawasperumah-an perkotaan menjadi bagian dari mitigasi ancaman keresahan sosial akibat penyusutan perekonomian (Shrinking Economy).

• Selain jaring pengaman sosial (JPS) mencakup perumahan, terdapat 3 (tiga) hal yang bisa dikembangkan meliputi:

• Meninjau target sasaran dan mekanisme Bantuan Stimulus Perumahan Swadaya (BSPS) agar menjangkau kawasan per-desaan dan sub-urban, dengan menggunakan strategi padat karya.

• Menggerakkan kebijakan pembangunan perumahan rakyat skala besar pada kawasan atau berbasis kawasan (suburban, kawasan penyangga) yang menyokong rehablitasi kawasan kota/’zona merah’ agar tidak meluaskan masalah sosial secara sistemik. • Mengubah strategi pembangunan sejuta rumah di perkotaan

menjadi strategi pembangunan kawasan permukiman dan pembangunan rumah susun, sekaligus mengatasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan pengentasan kawasan kumuh perkotaan, dengan menjamin kelompok sasaran yang tepat. Pembangunan kawasan rusun skala besar di kawasan kumuh sekaligus membangun dua sentra, yakni Sentra Perumahan Rakyat (SPR) dan Sentra Ekonomi Rakyat (SER).

Sesuai dengan langkah di atas, rekomendasi yang dapat diberikan

kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat selaku pengampu kewenangan teknis dari amanat UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, sebagai berikut:

a. Pada masa pandemi COVID-19, pemerintah (pusat dan daerah), perbankan dan pengembang diharapkan segera melakukan berbagai relaksasi kebija k-an (penundak-an, pengurk-angk-an, restrukturisasi) pada kegiatk-an dk-an alur rk-antai

pasok penyediaan perumahan terutama perumahan rakyat bagi MBR. Se-bagai kebijakan relaksasi tentunya tidak terlalu panjang (diperkirakan 3 bulan) namun efektif mengatasi dampak yang lebih serius. Dengan identifikasi atas 8 (delapan) alur rantai pasok tersebut maka pemerintah dan pemerintah daerah serta perbankan dapat secara pasti dan utuh menyusun kebijakan.

b. Pada pra paska pandemi COVID-19 pemerintah (pusat dan daerah), perbankan dan developer ditantang dan didorong segera melakukan strategi efisiensi internal dan mengupayakan lingkungan eksternal yang kondusif dalam berusaha. Hal itu berguna untuk rasionalisasi biaya dan harga akhir rumah MBR, yang sekaligus ekstensifikasi akses perumahan yang terjangkau. Untuk maksud itu perlu disiapkan Norma, Standar, Pedoman dan Kriteria (NSPK) yang senantiasa menjadi acuan dalam kepatuhan dan jaminan kualitas produk perumahan MBR.

Selanjutnya, pada masa ini, penyiapan regulasi yang mampu meningkatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi dari sektor perumahan,

permukim an, pengembangan/pembangunan kawasan perkotaan sangat

penting. Pemerintah dapat meningkatkan pajak industri digital 4.0 untuk meningkatkan akselerasi tingkat penghunian perumahan yang layak, terjang-kau dan aman bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

c. Pada paska pandemi COVID-19 atau masa pemulihan, pemerintah (pusat dan daerah), perbankan dan pengembang mulai melaksanakan peningkatan/ akselerasi dalam bentuk berbagai stimulan/insentif dan inovasi dalam upaya untuk meningkatkan kontraksi yang lebih besar. Oleh karena sektor perumah-an dperumah-an properti secara keseluruhperumah-an merupakperumah-an penyumbperumah-ang pertumbuh-an eko nomi, maka berbagai intervensi kebijakpertumbuh-an pemerintah diarahkpertumbuh-an kebijakan perumahan rakyat sesuai amanat UU Nomor 1 tahun 2011. Dengan

demikian, The HUD Institute mendorong inisiatif kebijakan, kesegeraan

tindakan, keter paduan langkah, serta meningkatkan kesadaran krisis pemerin-tah melalui Kementeri an PUPR dalam mengatasi dampak sosial ekonomi dari pandemik COVID-19, khususnya pada sektor perumahan rakyat yang diyakini berperan penting dalam mitigasi dan rehabilitasi pandemik COVID-19 secara menyeluruh.

d. Pentingnya rumah dan perumahan dalam mengatasi pandemik COVID-19, perlu direfleksikan dengan pengembangan kebijakan perumahan rakyat paska pandemik COVID-19. Oleh karena itu, pemerintah terutama Kementerian PUPR perlu melakukan peninjauan mendalam terhadap keberlanjutan dan ekologi kebijak an pembangunan perumahan yang mencakup sisi pasokan dan sisi permintaan, sehingga diharapkan terbangunnya tata kelola, mekanisme

bahkan sistem nasional perumahan rakyat yang mencakup pula sub- sistem kedaruratan sebagai bagian tidak terpisahkan.

e. Perlu menyiapkan kebijakan yang mem rioritaskan program perumahan yang mewujudkan amanat RPJPN 2020-2025 berfokus kepada Program Padat Karya baik di perkotaan, pinggiran dan kawasan permukim an perdesaan. Selain itu, dilakukan peninjauan target RPJMN dan Renstra Perumahan dan Kecipta-karyaan dengan implikasi dan sasar an intervensi yang lebih tepat dalam kerangka menjaga kelompok rentan miskin dan fakir;

f. Perlunya mengubah strategi dan pendekatan program perumahan rak yat berbasis kawasan, walaupun tetap mengacu pada RPJMN dan Renstra Kementeri an Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Bidang Perumahan), termasuk dalam hal-hal berikut:

1. Program Bantuan Stimulus Perumahan Swadaya (BSPS) berbasis kawasan, dan/atau pembangunan perumahan MBR berskala besar (dan berbasis kawasan permukiman) sudah sewajarnya menjadi pilih an agar memastikan efek kesejahteraan sosial dan perbaikan lingkungan yang sehat, melalui: (i) perbaikan kriteria penerima bantuan sehingga lebih banyak MBR yang semula tidak layak menjadi berhak menerima bantuan; (ii) peningkatan jumlah bantuan dan cakupan agar perekonomi an lokal yang semula lesu bisa bergerak;

2. Upaya merumahkan masyarakat MBR pendapatan tetap dan Masyarakat MBR pendapatan tidak tetap barangkali juga masyarakat Pra Sejahtera menjadi salah satu kriteria relaksasi BSPS – caranya adalah menyiapkan strategi implementasi inovasi/terobosan;

3. Mendorong segera pemberian relaksasi, insentif/stimulan dan inovasi terhadap KPR Bersubsidi (FLPP, BP2BT, SSB, BUM) dan KPR Komersial sehingga meringankan kewajiban MBR/MBM dan pengembang terdampak COVID-19 ;

4. Mendorong percepatan penerbitan Peraturan Menteri PUPR tentang Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) agar pembangunan Rumah Susun dapat disinkronkan dengan pemanfaatan tanah Barang Milik Negara (BMN) untuk pembangunan rusun milik dengan dukungan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) sebagaimana di atur dalam Peraturan Meteri Keuangan (PMK) Nomor 65 Tahun 2016

5. Mendorong likuiditas dana jangka panjang perumahan melalui: (1) Percepatan pelembagaan Covered Bond sebagai instrumen pembiayaan sekunder perumahan untuk sekuritisasi aset KPR; (2) Pemberian fasilitas Repo terhadap instrumen pembiayaan sekunder perumahan oleh

Bank Indonesia; (3) Pemberian fasilitas bebas pajak atas transaksi surat berharga dalam rangka pembiayaan sekunder perumahan;

6. Program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT)

turut melakukan relaksasi, dan peninjauan model bisnis, khususnya skim pembiayaan yang murah dan efisien bagi MBR, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari misi pembangun an perumahan rakyat bagi MBR. Sebagai skim alternatif, BP2BT sebaiknya terus diperluas dengan

meninjau targetnya pada pencapaian pembangunan perumahan

rakyat. Mengingat pula implikasi dampak (domino) pandemi COVID-19 terhadap jumlah transfer DAK dan DAU kepada pemerintah daerah yang berkurang serta realokasi belanja daerah yang difokuskan kepada urusan wajib kesehatan. Sejumlah permasalahan kriteria non teknis dan teknis yang menghambat akses hunian yang layak, terjangkau dan aman perlu ditinjau agar masyarakat semakin bersemangat dalam mewujudkan kesejahteraan keluarganya;

7. Program KOTAKU sepatutnya dirancang menjadi penggerak per-ekonomian dan menyumbang pemulihan dampak pandemik COVID-19 khususnya di kawasan kota zona merah, yang berpotensi menaikkan jumlah pengangguran sebesar 5,2 juta orang.

8. Selain itu, Program KOTAKU yang diintegrasikan secara tersistem dengan PSR akan menjadi pilihan penanganan perumahan bagi MBR informal yang tidak layak bank karena ketidakmampuan mengakses perumahan formal.

9. Peningkatan kualitas prasarana dan sarana dasar umum, hijau dan asri menjadi hal penting untuk meningkatkan produktifitas masyarakat baik di lokasi perkotaan, pinggiran dan permukiman perdesaan.

g. Selanjutnya berdasarkan kajian yang lebih mendalam dengan para pengembang dan perbankan yang menyatakan bahwa dampak konomi pandemi COVID-19 adalah bangkrutnya para pengembang perumahan terutama penyedia rumah subsidi akibat dari gagal kredit masa pan demi dan ketiadaan akad, dan problematika lainnya, sehingga ber potensi merusak “ekologi” penyediaan perumahan rakyat bagi MBR.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melaksanakan amanat konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, UU Nomor 1 Tahun 2011 dan UU Nomor 20 Tahun 2011, termasuk dalam hal amanat pembentukan badan pelaksana penyelenggara an perumahan rakyat dengan membangun sistem nasional yang mengonsolidasikan berbagai Badan/Lembaga tersebut yang sebenarnya telah ada seperti - (BLU) BP TAPERA dan Sarana Multigriya Finansial (SMF),

Lembaga Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (LPDPP), Perum Perumnas, Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) dan PT. PII (Penjaminan Infrastruktur Indonesia). Hal itu adalah amanat Undang-undang sebagaimana Pasal 54 ayat 3 dan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Jo. Pasal 55 ayat (2) dan ayat (5) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan amanat Pasal 72 dan Pasal 73 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.