• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terhadap Perumahan Rakyat

5.2 Program Sejuta Rumah : Program Ambisius Sulit Diwujudkan

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, PSR yang diformulasikan dan dilaksanakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK adalah salah satu program Nawacita dalam rangka mensejahterakan rakyat melalui pembangunan perumahan yang layak bagi masyarakat menengah ke bawah, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah MBR dan MM.

Semenjak kemunculannya, PSR dilihat dari nama programnya telah meng-hipnotis publik sebagai sebuah kebijakan pemerintah yang menjanjikan dapat memecahkan permasalahan pemenuhan kebutuhan papan atau tempat tinggal bagi golongan MBR dan MM. Akan tetapi, tidak sedikit anggota masyarakat baik kalangan pelaku usaha (developer), para pakar, maupun aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang meragukan dan pesimis bahwa kebijakan ini bakal dapat terwujud. Mereka memandang PSR yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK tak ubahnya seperti program pembangunan perumahan rakyat yang kurang berhasil dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Jadi, PSR dikritik oleh kelompok masyarakat itu sebagai “Program Ambisius Sulit Diwujudkan”.

71 perumnas.co.id. (2015) “Program Sejuta Rumah Perumnas Dinilai Mampu Bangun 33.500 Unit”. http://

www.perumnas.co.id/program-sejuta-rumah-perumnas-dinilai-mampu-bangun-33-500-unit/. Diakses

Beberapa alasan kelompok masyarakat yang bersikap kontra atau pesimis terhadap PSR sebagai berikut:

a. Target terlalu Tinggi

Sebagai kebijakan publik, PSR akan berhasil dalam pelaksanaannya jika realistik. Dalam konteks isi kebijakan, menurut Grindle keberhasilan pelaksanaan kebijakan atau program salah satunya adalah tergantung pada “extent of change envisioned” 72

atau derajat perubahan yang diinginkan. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi derajat perubahan yang ingin dicapai pemerintah dalam pelaksana-an PSR, maka akpelaksana-an semakin sulit program tersebut terwujud. Jadi apabila target pencapaian PSR yang terlalu tinggi dan tidak realistik, maka hasilnyapun kemungkin-an tidak sesuai ykemungkin-ang diharapkkemungkin-an.

Pernyataan Panangian Simanungkalit, pengamat perumahan, dalam situs Republika.co.id dengan berita “Tak Capai Target, Program Sejuta Lanjut pada 2016” menunjukkan bukti awal terhadap adanya kegagalan dalam pelaksanaan PSR yang di antaranya terkait dengan target program. Dia menilai bahwa ”Penyebab kegagalan karena penetapan target program perumahan tersebut ketinggian. Bagus punya target memrioritaskan rumah rakyat, tapi harus dilihat kondisi dan kesiapan, menteri hanya satu, itu pun hasil gabungan dua kementerian, semakin repot”. 73

Kegagalan PSR yang belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah dapat ditunjukkan dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menyebut pelaksanaan hingga kuartal III tahun 2015 baru mencapai 400 ribu unit. Hal ini membuktikan bahwa PSR terlalu ambisius dalam menetapkan target yang ingin dicapai dan kenyataannya sulit diwujudkan.

b. Lemahnya Komitmen Pemerintah dan Sering Obral Janji

PSR dikritik oleh sejumlah pengembang sebagai hal sulit dilaksanakan selama pemerintah tidak mau mengatasi masalah mendasar cenderung klasik yang menghambat pencapaian pembangunan perumahan nasional seperti perizinan, pengadaan lahan, infrastruktur umum, dan pembiayaan. Hal ini dinyatakan oleh Komisaris PT Hanson Land International Tbk., Tanto Kurniawan, menyatakan pesimismenya sekaligus kritikan keras kepada Pemerintah, terkait PSR. Menurut Kurniawan, “Program ini, tidak akan jalan selama pemerintah hanya menuntut

pengembang sementara terobosan dan gebrakan yang diperlukan tidak ada”. 74

72 Merilee S. Grindle, Politic And Policy Implementation In The Third World, Princenton University Press, New Jersey, 1980, hal. 11.

73 Republika.co.id (2015). “Tak Capai Terget, Program Sejuta Lanjut pada 2016”. http://www. republika.

co.id/berita/koran/ekonomi-oran/15/09/12/nuk0q51-tak-capai-target-program-sejuta-rumah-lanjut- pada-2016. Diakses tanggal 1 Desember 2015.

74 kompas.com (2015),“Pengembang Kritik Program Sejuta Rumah, http://properti.kompas.com read/

Beberapa kritik yang dilontarkan oleh Kurniawan kepada pemerintah terkait kebijakan PSR antara lain:

a) Pemerintah jangan hanya bicara dan menuntut pengembang, tapi juga me-reka harus membuat gebrakan dengan memotong mata rantai perizinan. b) Peraturan daerah dalam hal penyediaan lahan makam yang tidak jelas dan

membuat para pengembang geleng-geleng kepala.

c) Pemerintah mengabaikan janji terkait fasilitas kredit konstruksi. Kredit tersedia untuk konsumen rumah murah, namun seringkali lupa me nyediakan kredit konstruksi bagi pengembang.

d) Semua beban ditimpakan kepada pengembang sementara seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab dan mengemban amanat me nyediakan fasilitas papan dan melaksanakan pembangunannya.

c. Kebijakan yang Tidak Konsisten

Kritik terhadap kebijakan PSR yang tidak konsiten dilontarkan oleh Taufik Imam Santosa dalam tulisan khusus pada majalah HUD Magz dengan judul “Jangan Bermimpi Bangun Rumah MBR, Jika Kebijakannya Tidak Konsisten”.

Santosa yang berlatar belakang sebagai pelaku pembangunan rumah se-jahtera sangat menghargai PSR. Akan tetapi dia pesimis program ini bakal terwujud, sebagaimana dikatakan “...Namun upaya ini tidak terlaksana karena kebijakannya berubah, dan skemanya berubah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 mensyaratkan tipe rumah minimal 36m2 (sebelum dijudicial review ke MK), sehingga tercatat 200 ribu unit tipe 2 tidak bisa terealisasi. Kemudian, subsidi uang muka dirubah menjadi subsidi

bunga. Bubar semua yang direncanakan”. 75

Kritik ini dilontarkan atas dasar pengalaman Santosa selaku pengembang perumahan TNI khususnya purnawirawan dan pejuang seroja di Cileungsi Jong-gol tahun 2011. Menurut dia, rencana para purnawirawan mendapatkan bantuan uang muka (BUM) dari YKPP dan Kemenpera sebesar Rp30 juta untuk memperoleh

rumah tipe 21/tanah 72 m2 dengan harga Rp45 Juta dengan angsuran tiap bulan

sebesar Rp150 ribu akan sulit terealisasi akibat kebijakan yang tidak konsisten tersebut.

d. Ketidakjelasan Istilah Rumah Rakyat dan MBR

Program “Sejuta Rumah” bukanlah barang baru. Pada Oktober 2003, mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri pernah mencanangkan program serupa yang dinamakan Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GN-PSR). Gerakan itu 75 Taufik Iman Santosa, “Jangan Bermimpi Bangun Rumah MBR, jika Kebijakannya Tidak Konsisten, HUD Magz “Bekerja Merumahkan Rakyat, Program Sejuta Rumah”, Yayasan LP P3I, Jakarta, 2015, hal. 37.

bertujuan mendorong dan merangsang pembangunan rumah sederhana. Namun demikian, menurut pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Tjuk Kuswartojo, sampai saat ini kebijakan yang dibuat itu tidak mendasar. Kuswartojo, meskipun tidak menolak PSR, dia memberikan kritik sebagai berikut:

“Makna rumah umum tidak pernah dijelaskan. Pemerintah Indonesia tidak pernah tegas rumah itu apa. Masuknya jadi dagangan komoditi. Sejak era pe-merin tah an Megawati, pepe-merintah terkesan tidak serius menangani persoalan perumah an. Angka sejuta rumah diibaratkan seperti Candi Sewu, yang meski dikatakan ada seribu, namun jumlahnya tidak persis demikian. Definisi akan rak yat yang layak mendapat rumah sejauh ini tidak jelas. Ia mengakui hal itu, meskipun selama ini pemerintah menggembar-gemborkan bahwa program Sejuta Rumah diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selama ini dipersoalkan bukanlah proses dua tahun konstruksi rumah, tetapi siapa yang tinggal seumur hidup di sana. Pasalnya, rumah bukan hanya dibangun, tapi juga ditempati sepanjang zaman. Misalnya, hingga 50 tahun ke depan dan itu pasti mengalami dinamika”. 76

Pernyataan Kurwartojo tersebut lebih bersifat mengingatkan kepada pe-merintah sebagai penggagas dan penyelenggara kebijakan PSR agar tidak lagi me-ngulangi kesalahan di waktu lampau dalam menerjemahkan istilah rumah rakyat. Apabila pemerintah mengulangi kembali kesalahan itu niscaya kebijakan PSR yang dilaksanakan akan sulit tercapai dan mengalami kegagalan.

e. Masyarakat Dianggap Sebagai Obyek

PSR tidak akan berhasil apabila pemerintah masih menggunakan pola kebijak-an berdasarkkebijak-an pendekatkebijak-an pasar. Hal ini dinyatakkebijak-an oleh Parwoto, pegiat pem-bangunan berbasis komunitas. Terkait dengan Program Sejuta Rumah, dikatakan bahwa “Akhir-akhir ini malah dicanangkan penyediaan satu juta unit rumah per tahun yang kemudian dikoreksi oleh Kemenpupera menjadi hanya 603.516 unit per tahun dengan melibatkan pemerintah, PERUMNAS, pengembang, BPJS ketenagakerjaan dan pemda. Masyarakat sebagai pemasok terbesar justru tidak dilibatkan. Padahal kemampuan sektor formal dalam menyediakan rumah bagi masyarakat penghasil an rendah masih sangat lemah. Salah satu indikasi adalah dengan melihat pemanfaatan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang disediakan dalam RPJMN 2010– 2014. Melalui FLPP tersebut diharapkan dapat memberikan subsidi untuk 1.350.000

76 properti.kompas.com. (2015). “Definisi Rumah Rakyat dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Di per tanyakan”.http://properti.kompas.com/read/2015/09/18/143812721/Definisi.Rumah.Rakyat.dan,

unit rumah untuk masyarakat penghasilan rendah tetapi realitanya hanya mencapai 370.251 unit”.77

Kritik Parwoto tersebut pada intinya adalah agar pelaksanaan kebijakan atau PSR tidak dilakukan dengan pola pendekatan pasar karena melalui pola ini masyarakat tidak memiliki keberdayaan untuk melakukan pembangunan rumah

secara mandiri. Pemerintah sudah semestinya dalam pelaksanaan PSR juga

menerapkan pola pembangunan perumahan swadaya. Pemerintah harus menyadari bahwa penyediaan perumahan secara nasional sebenarnya 80 persen disediakan oleh masyarakat.

77 Parwoto Tjondro Sugianto, “Menggapai Langit Lupa Daratan”, HUD Magz “Bekerja Merumahkan

Prof. Djohermansyah Djohan

Saya sangat mengapresiasi buku kedua karya Bapak Zulfi Syarif Koto, dalam buku ini beliau sangat obyektif dan memiliki keberpihakan kepada masyarakat khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam pemenuhan haknya yaitu memiliki tempat tinggal layak huni dan terjangkau.

(Institut Ilmu Pemerintahan/IIP) Prof. Budi Prayitno

Saya ucapkan selamat kepada Bapak Zulfi atas terbitnya karya kedua buku “Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah: Membangun Untuk Siapa ?”. Buku ini mengingatkan kita semua untuk menyumbangkan pikiran dalam memperjuangkan pemenuhan hak dasar akan rumah layak huni dan terjangkau bagi masyarakat, khususnya MBR yang diatur dalam Pasal 28H UUD 1945.

(Universitas Gadjah Mada) Prof. Harun Al Rasyid Lubis

Buku Ekonomi-Politik Program Sejuta Rumah karya Bapak Zulfi Syarif Koto ditulis secara objektif dan pro poor berkat pengalaman beliau semasa menjadi pejabat publik di Kemenpera dan juga pengalaman berhubungan dengan berbagai stakeholder pembangunan

perumahan rakyat.

(Institut Teknologi Bandung) Prof. Ofyar Z. Tamin

Buku ini memberikan pencerahan dalam praktik

penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat. Penulis mencoba menguraikan berbagai permasalahan dan solusi perumahan dengan memberikan gagasan dan ide-ide cemerlang sehingga layak dijadikan referensi bagi pihak yang concern dalam pembangunan perumahan rakyat.

(Institut Teknologi Sumatera) Prof. Riant Nugroho

Buku karya Bapak Zulfi Syarif Koto ini dapat dijadikan pedoman para

stakeholder yang berkiprah dalam pembangunan perumahan. Buku

ini sangat bagus untuk dibaca karena mengurai berbagai persoalan serta gagasan dan solusi konkrit penyelenggaraan perumahan rakyat dari perspektif ekonomi-politik berdasarkan pengalaman beliau semasa menjabat di birokrasi pemerintahan.