• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELENGGARAAN PERUMAHAN RAKYAT

2.2 Landasan Lima Pilar Bernegara, Berbangsa, dan Bermasyarakat (PB3)

Lima pilar bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat merupakan landasan bagi penyelenggaraan perumahan rakyat. Kelima pilar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

2.2.1 Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara merupakan pandangan hidup (way of life) bangsa dan negara Indonesia. Kelima sila dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusia an yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang di-pimpin oleh hikmat kebijakan dalam permusyawatan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; semuanya seharusnya telah tercermin pada seluruh

aspek kegiatan pembangunan bangsa dan negara,31 termasuk pembangun an

perumahan rakyat.

30 Maryono (Direktur Utama BTN), “Backlog Perumahan di Indonesia Mencapai 13,5 unit”, http:// beritadaerah.co.id/2015/01/21/backlog-perumahan-di-indonesia-mencapai-135-juta-unit. Diakses 6 No-vember 2015.

31 Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal Itu? Raja ­Grafindo­Persada,­Jakarta,­2003,­hal.­160.­Kartono­menyatakan­bahwa­manajemen­pembangunan­ dan­kepemimpinan­Indonesia­harus­berdasarkan­asas­Pancasila.

a). Ketuhanan Yang Maha Esa

Dalam kaitannya dengan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, maka kegiatan pembangunan perumahan rakyat harus mencerminkan nilai yang ada pada sila ini. Proses pembangunan perumahan rakyat merupakan suatu kegiat-an ykegiat-ang dilakukkegiat-an oleh pemerintah bersama pihak lain ykegiat-ang terkait dkegiat-an kegiat kegiat-an itu ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat kaum miskin dalam upanya mendapatkan tempat tinggal yang layak. Nilai keimanan atau religiusitas kepada Tuhan Yang Maha Esa harus tercermin pada perilaku penyelenggara pembangunan perumahan rakyat.

Perilaku religiusitas apa sajakah yang diharapkan dari para penyelenggara pembangunan perumahan rakyat? Jawabnya adalah perilaku menjunjung tinggi etika, moral, dan jiwa sosial atau pengabdian kepada kepentingan yang membutuh-kan bantuan. Oleh karena itu, bias investasi, bias sasaran, bias kualitas, dan bias birokrasi akibat perilaku korupsi dan ego memperkaya diri pribadi yang masih nam-pak dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat harus dikikis habis. Jadi, apa pun namanya program pembangunan perumahan untuk rakyat MBR dan MM harus diletakkan dalam kerangka pelaksanaan misi suci untuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b). Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Kebijakan atau program pembangunan perumahan rakyat di Indonesia merupa kan kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka memecah-kan masalah pemenuhan kebutuhan rumah yang dihadapi oleh sebagian besar warga masyarakat. Pemerintah memiliki hak dan kewajiban campur tangan dengan mempertimbangkan sampai saat ini masyarakat masih kurang mampu mengusaha-kan tempat tinggal yang layak huni dan terjangkau bagi kelangsungan hidup dan penghidupan yang bermartabat.

Relevansi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab harus tercermin dalam program pembangunan perumahan rakyat yaitu: pertama, pemenuhan rumah yang layak huni bagi MBR dan MM merupakan wujud nyata nilai kemanusiaan yang harus ditunaikan oleh pemerintah dan pihak lain yang memiliki misi yang sama, dan kedua, pemerintah harus adil (tanpa diskriminasi) dalam memberikan pelayanan pembangun an perumahan kepada setiap warga negara.

c). Persatuan Indonesia

Persatuan Indonesia merupakan cita-cita paling mendasar yang diperjuangkan oleh Soekarno. Ketika Pancasila masih dalam tahap rancangan, persatuan Indonesia dijadikan sila pertama. Tanpa persatuan, kata Soekarno, suatu bangsa mustahil bisa

maju membangun dirinya. Soekarno kerap menyitir Arnold Toynbee bahwa “A great civilization never goes down unless it destroy itself from within”, termasuk Abraham Lincoln, “A nation divided against itself, cannot stand”. Tiada bangsa yang bisa ber-tahan jika terpecah belah di dalamnya?32

Berdasarkan pernyataan tersebut, penyelenggaraan perumahan rakyat sudah seharusnya dilakukan dalam kerangka mewujudkan persatuan Indonesia. Oleh ka-rena itu, pembangunan perumahan rakyat yang hanya terkonsentrasi di daerah atau wilayah tertentu di Indonesia jelas tidak mencerminkan persatuan Indonesia dan bahkan akan memunculkan disintegrasi bangsa. Jadi, pembangunan perumahan rakyat harus merata di seluruh wilayah Indonesia dan hasil dapat dinikmati oleh selu-ruh masyarakat Indonesia sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.

d). Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

Permusyaratan Perwakilan

Inti dari sila keempat Pancasila adalah musyawarah dan perlunya pelaksana-an asas gotong royong dalam kegiatpelaksana-an pembpelaksana-angunpelaksana-an, termasuk pembpelaksana-angunpelaksana-an perumahan bagi MBR dan MM. Sebagai konsekuensinya, penerapan musyawarah dan gotong royong itu diwujudkan dalam proses pembangunan perumahan de-ngan pemerintah seyogyanya hanya bertindak sebagai fasilitator pembangunan dan warga masyarakat diberikan peluang seluas-luasnya berpartisipasi aktif di dalamnya.

Musyawarah dan gotong royong sebenarnya telah dijadikan prinsip pe-nyelenggaraan berbagai program pembangunan di Indonesia yang dikenal dengan

sebutan “Musrenbang” 33 baik pada tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/

kota, provinsi, maupun nasional. Program-program pembangunan perumahan dan permukiman seperti P2BK, Co-Bild, PNPM-Mandiri Perdesaan/Perkotaan dan lain-lain yang kental dengan prinsip musyawarah dan kegotong-royongan. Persoalannya, apakah Musrenbang tersebut telah dilakukan secara benar atau sekedar formalitas dalam berbagai kegiatan perencanaan pembangunan, termasuk pembangunan perumahan rakyat. Jadi setiap penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat sudah semestinya dilakukan berdasarkan nilai musyawarah dan gotong royong sehingga kerjasama pemerintah dengan masyarakat dan public-privat partnership dapat terwujud.

32 Tjipta Lesmana (2010), “Pandangan Soekarno terhadap Bangsa Indonesia”, http://gembeng13. blogspot.co.id/2010/10/pandangan-irsoekarno-terhadap-bangsa.html. Diakses 6 November 2015.

33 Santi (2011), ”MUSRENBANG (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). https://www.academia. edu/9145893/Musrenbang. Diakses tanggal 6 November 2015. Santi menjelaskan bahwa Musrenbang adalah forum konsultasi para pemangku kepentingan untuk menghasilkan kesepakatan perencana-an pembperencana-angunperencana-an di daerah yperencana-ang bersperencana-angkutperencana-an sesuai tingkatperencana-an wilayahnya yperencana-ang dilakukperencana-an secara berjenjang melalui mekanisme “bottom up planning”

e). Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yaitu bunyi sila kelima Pancasila adalah nilai hakiki yang kini terus diperjuangkan oleh masyarakat menengah bawah terhadap praktik pembangunan di segala bidang. Hal itu dikarenakan praktik pem-bangunan, termasuk perumahan rakyat hingga saat ini ditengarai belum sepenuh-nya diwujudkan oleh pemerintah. Adasepenuh-nya bias sasaran, bias investasi, dan bias pelayanan birokrasi dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat telah memperkuat bahwa isu ketidakadilan sosial benar-benar terjadi.

Mewujudkan keadilan sosial dalam pelaksanaan berbagai program pembangun an perumahan rakyat bukan hal yang mudah. Namun ada tiga pilihan yang dapat dilakukan agar pelayanan masyarakat memenuhi prinsip-prinsip keadil an sosial, yaitu: pertama, pelayanan yang sama bagi semua; kedua, pelayanan yang sama secara proporsional; dan ketiga, pelayanan yang tidak sama bagi individu, bersesuaian perbedaan yang relevan.34

Ketiga kriteria keadilan sosial tersebut sudah seharusnya digunakan dalam pelaksanaan program pembangunan perumahan rakyat sekarang dan masa mendatang. Ketepatan menerapkan ketiga prinsip keadilan sosial itu dalam pelaksanaan program pembangunan perumahan rakyat akan memungkinkan terwujudnya kesejahteraan sosial bagi setiap warga negara.

2.2.2 Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Dasar 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, segala peraturan perundangan di bawahnya seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, keputusan menteri, peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati/walikota dan lain-ya harus tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam sistem hukum Indonesia, kebijakan pembangunan perumahan rakyat telah memiliki payung hukum yang kuat. Hal ini dapat ditunjukkan pada pembukaan dan pasal tertentu UUD 1945 yang telah dipaparkan sebelumnya yang mengatur tentang kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan negara dan adanya jaminan hukum atas hak warga negara untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak.

UUD 1945 tersebut juga telah mendasari lahirnya berbagai peraturan per-undangan beserta peraturan pelaksanaanya di bidang perumahan bagi MBR dan MM, seperti UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun serta peraturan pelaksanaan lainnya. Persoalannya adalah sejauhmanakah pelaksanaan program pembangunan 34 Stephen R. Chitewood dalam H. George Frederickson, Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta, 1988, hal. 70.

perumahan rakyat didasarkan amanat UUD 1945, UU, dan peraturan pelaksanaan lainnya? Ataukah program yang dilaksanakan telah memiliki payung hukum sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia?

2.2.3 Bhinneka Tunggal Ika

Makna ‘Bhinneka Tunggal Ika’ adalah berbeda-beda tapi satu. Semboyan kehidupan berbangsa dan bernegara ini sudah menjadi tekad seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera melalui kegiatan pembangun-an di segala bidpembangun-ang, termasuk pembpembangun-angunpembangun-an perumahpembangun-an rakyat. Oleh karena itu sudah tepat bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan pilar pembangunan perumahan rakyat.

Dalam konteks kebhinekaan, pembangunan perumahan rakyat antara satu daerah dengan daerah lain tidak bersifat sama-seragam. Makna kelayakan bentuk dan fasilitas tempat tinggal (rumah) untuk penduduk tiap daerah harus tidak sama. Contoh nyata adalah penyediaan rumah warga masyarakat daerah Papua yang lebih menyatu dengan alam sekitar yang berbeda dengan warga masyarakat daerah Aceh yang lebih bercirikan pengaruh budaya Islam, dan lain-lain. Di sini kearifan lokal (local wisdom) harus diperhatikan dan diadopsi oleh para pembuat dan pelaku kebijakan di bidang pembangunan perumahan rakyat.

Demikian pula, kebhinekatunggalikaan itu harus tercermin dalam proses pembangunan perumahan. Di sini, misalnya sama-sama menggunakan community based development tetapi dalam praktik bentuknya harus disesuaikan dengan kebudayaan tiap masyarakat daerah. Selain itu, pembangunan perumahan untuk MBR atau MM di perkotaan yang berupa rumah susun tidak tepat untuk diterapkan pada masyarakat di daerah perdesaan yang lebih menginginkan rumah tapak.

2.2.4 Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Dalam pidato petinggi pemerintah dan negara Indonesia sering kita men-dengar ucapan ‘NKRI adalah harga Mati’. Pernyataan ini adalah wujud dari sikap na-sionalisme anak bangsa untuk mempertahankan seluruh penduduk dan wilayah (daerah) yang ada tetap bersatu dalam bingkai NKRI.

Apa makna NKRI sebagai dasar pembangunan perumahan rakyat? Jawabnya adalah pembangunan tersebut tidak boleh ada diskriminasi yang dapat menimbul-kan disintegrasi bangsa dan negara Indonesia. Pembangunan perumahan rakyat harus memenuhi rasa keadilan bagi setiap warga masyarakat Indonesia, meski dalam batasan keadilan relatif. Demi untuk mewujudkan keadilan sosial, penggunaan anggaran negara untuk pembangunan perumahan rakyat harus dapat dinikmati

oleh setiap warga masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.

Fenomena bias investasi dan bias birokrasi dalam pembangunan perumah-an rakyat yperumah-ang masih terjadi baik di atau perumah-antardaerah mesti tidak boleh muncul lagi apabila menginginkan NKRI tetap bertahan dan menjadi pilar dalam kehidup-an berbkehidup-angsa dkehidup-an bernegara. Oleh karena itu, berbagai program perumahkehidup-an di dkehidup-an antarsatu daerah dengan daerah lain tidak boleh menimbulkan kesenjangan sosial seperti yang masih terjadi sekarang ini dan apabila dibiarkan akan dapat me ngancam keutuhan NKRI.

2.2.5 Gotong Royong: Kebersamaan, Kemitraan, Keswadayaan dan Peran Serta Masyarakat (Kearifan Lokal)

Prinsip gotong royong atau kebersamaan adalah budaya kerja yang lahir dan berkembang dalam masyarakat Indonesia sejak dulu. Sebagai pilar pembangun an pe-rumahan, gotong royong atau kebersamaan di sini membawa konsekuensi kewajiban sosial pada setiap warga negara yang sosial ekonominya mampu harus membantu kepada mereka yang tidak mampu. Bagaimanakah peran pemerintah? Keberadaan pemerintah melalui kebijakannya harus mampu menciptakan kondisi kondusif bagi warga negara untuk melakukan gotong royong dalam pembangunan perumahan.

Gotong royong dalam makna kemitraan, keswadayaan dan partisipasi adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan dalam pembangunan perumahan rakyat.

Kemitraan35 terkait dengan kepemerintahan yang baik (good governance) yang

hendak diwujudkan dalam manajemen pembangunan. Wujud kemitraan “public-privat partnership” yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam pembangunan perumahan rakyat perlu terus ditingkatkan ke arah yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Keswadayaan dan partisipasi dalam kerangka pelaksanaan gotong royong mengandung pengertian bahwa proses pembangunan perumahan rakyat harus

melibatkan partisipasi36 fisik dan non fisik serta menumbuhkan kemandirian

masyarakat. Kedua strategi pembangunan ini perlu dilakukan karena berdasar-kan kenyataan penyediaan perumahan secara nasional 80 persen dilakuberdasar-kan oleh masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang lebih berorientasi pada pem-berdayaan masyarakat dalam pembangunan perumahan rakyat sudah se mestinya

35 Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta, 1996, hal. 188. Kartasasmita menjelaskan kepemerintahan adalah kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat dan dunia usaha yang memungkinkan terwujudnya suatu kepemimpinan yang accountable, transparan, dan partisipatif atau good governance.

36 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 79. Koentjaraningrat menyebutkan dua tipe partisipasi yang pada prinsipnya berbeda, yaitu : (1) Partisipasi dalam aktivitas bersama dalam proyek pembangunan yang khusus; (2) Partisipasi sebagai individu di luar aktivitas bersama dalam pembangunan.

menjadi prioritas utama.