• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCAKAPAN IMAJINER DENGAN BUNG HATTA TENTANG EKONOMI-POLITIK PERUMAHAN RAKYAT

DAN KONDISI SAAT INI

S

aya ingat waktu itu menjelang tiga bulan menyelesaikan pengabdian sebagai

Deputi Bidang Perumahan Formal pada Kementerian Negara Perumahan Rakyat, dalam mimpi saya berjumpa Bapak Drs. Mohammad Hatta, salah satu Proklamator Kemerdekaan RI dan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) ke-1 di dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat 25-27 Agustus 1950 di Kota Bandung.

Berkutat dengan pekerjaan dan beberapa rapat, peredaran waktu pada hari itu terasa pendek. Tepatnya Jum’at tanggal 29 bulan Oktober tahun 2010 (tepat usia saya 60 tahun), sore hari jam 17.30 WIB saya terjaga dari tidur yang tak biasa dan tak disengaja di sofa ruang kerja Lantai 4 Wing 4 Kantor Kemenpera Jalan Raden Patah I No. 1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Mimpi yang tak disengaja itu ketika saya larut ke relung hati membaca buku “Kilas Balik Perumahan Rakyat 1900-2000”. Dalam kilas mimpi itu, saya dibawa ke alam tempo dulu yang seakan-akan mendatangi dan menyaksikan momentum Kongres Perumahan Rakyat Sehat. Kongres bersejarah itu dihadiri oleh peserta dari 63 kabupaten dan kotapraja, 4 propinsi, wakil dari Jawatan Pekerjaan Umum, utusan organisasi pemuda, Barisan Tani, pengurus Parindra dan tokoh-tokoh perseorangan lainnya.

Saat itu, suasana kota Bandung sangat ramai dengan lautan manusia, sepeda, kendaraan motor dan mobil-mobil tempo dulu karena diselenggarakannya kongres perumahan rakyat dengan menghadirkan bapak bangsa Indonesia, Bung Hatta. Untuk gedung tempat kongres saya lupa, apa di Gedung Dwi Warna, Gedung Merdeka atau Aula Barat ITB ? Tapi yang pasti, dalam mimpi itu saya dan beberapa teman dari

Kementerian Negara Perumahan Rakyat berada di ruangan yang sejuk, ruangan yang ditata dalam bentuk “U”, dan terdapat podium yang dililiti kain berwarna merah putih serta diletakan di atas mimbar podium vas bunga dengan bunga mawar berwarna merah putih. Saya melihat di arena tempat kongres ruangan baik di dalam maupun di luar dipenuhi peserta kongres dan masyarakat. Di kanan-kiri ruangan banyak dipasang spanduk bertuliskan “Selamat Datang Bapak Drs. Mohammad Hatta Wakil Presiden RI dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat, 25-27 Agustus 1950”, “Sukseskan Kongres Perumahan Rakyat untuk Kemakmuran Rakyat”, dan sebagainya.

Sambil menunggu kedatangan Bung Hatta, di ruangan itu saya melihat petugas keamanan nampak siap siaga mengamankan kongres. Panitia memutarkan lagu-lagu heroik “Halo-halo Bandung, Maju Tak Gentar, Berkibar Benderaku, Padamu Negeri”, dan beberapa lagu perjuangan yang menggelorakan. Semua aksi ber semangat itu menambah suasana psikologis yang menggelorakan jiwa nasionalisme untuk segera mewujudkan kemakmuran rakyat melalui kongres itu.

Saat-saat yang dinanti peserta kongres pun tiba. Bapak Mohammad Hatta dan rombongan telah hadir di dalam ruangan kongres. Bung Hatta duduk di kursi paling depan yang disediakan panitia. Setelah berbagai sambutan panitia dan para pejabat setempat dan pemerintah pusat, maka tiba kesempatan beliau untuk menyampaikan pidato dalam kongres itu. Saya melihat dengan jelas sosok dan gerak gesture Bapak Mohammad Hatta yang berpakaian rapi dan sederhana, rambut disisir halus, dan berkacamata tebal. Saya dan banyak orang yang hadir dalam kongres itu kagum terhadap sosoknya yang dikenal sebagai seorang nasionalis, intelektual dan religius. Melihat hal itu saya jadi teringat pada buku yang pernah saya baca “Hatta Jejak Melampaui Zaman” yang dalam buku itu terdapat tulisan pidato kebudayaan di Jakarta 2002 dari budayawan dan cendekiawan muslim Nurcholis Madjid yang mengatakan, “Penampilan Bung Hatta yang seperti seorang sufi – memiliki ketulus-ikhlasan, kesederhanaan, kerendahan hati, dan kedalaman pikiran – tak lepas dari latar belakang keluarganya: dia putra seorang mursyid sebuah persaudaraan sufi di Sumatera Barat”.1

Jika hendak mengenal jauh Bung Hatta, penting dicatat ada darah ulama pada Hatta, Kakek Hatta adalah seorang ulama besar dan pemuka agama ternama di Sumatera Barat, dimasa itu. Namanya Syekh Abdurrachman (Syekh Nan Tuo), yang juga dikenal dengan Syekh Batu Hampar, karena sang ulama kharismatik itu pemimpin pondok pesantren di Batu Hampar. Sikap nasionalisme dan jiwa intelek tualnya digambarkan dalam buku yang pernah saya baca, yaitu beliau dalam kehidupannya selalu berjuang dan lebih memikirkan bangsanya mencapai kemerdekaan Indonesia 1 Arif Zulkifli, Bagja Hidayat dan Dwijo U. Maskun (Eds). Hatta Jejak Yang Melampaui Zaman, PT. Gramedia, Jakarta, 2015, hal. 18.

daripada memikirkan dirinya, termasuk dalam urusan pasangan hidup. Tekad memerdekakan bangsanya dan frasa Indonesia Vrij adalah terbit dari pemikiran visioner Bung Hatta. Jiwa intelektual beliau terlihat dari kebiasaannya gemar membaca. Bung Hatta juga produktif dan terampil menulis buku. Koleksi pribadi buku-bukunya banyak, hingga menggenapi tiga peti yang dibawanya serta bersama dirinya dan cita-citanya tentang Indonesia Vrij, sepulang belajar dari negeri Belanda. Beberapa buku ditulisnya setelah kembali ke tanah air. Ada kisah nyata yang menarik terkait kegemaran Hatta ikhwal membaca dan menulis buku. Ibundanya, Siti Saleha, pernah jengkel karena kado pernikahan untuk Rahmi Rachim adalah sebuah buku bertema berat ikhwal filsafat, yang diberinya judul “Alam Pikiran Yunani” yang ia tulis sendir, yang membuat Hatta seakan abadi karena buku itu masih menjadi buku pegangan mahasiswa yang mempelajari filsafat yunani kuno, ilmu politik dan ilmu hukum, bahkan sampai saat sekarang ini. Begitu erat hubungan emosional antara Hatta dan Buku, maka ada anekdot yang mengatakan istri pertama Hatta

adalah “buku”.2 Dari sosok Bung Hatta yang lekat dengan buku-buku, membuat dan

menebarkan tulisan yang tak lain adalah resultante dari pemikiran cerdas dan maju sebagai alat dan dimensi perjuangan, tentu saja dengan aksi-aksi perjuangan dalam bentuk lain, meyakini saya bahwa Indonesia merdeka bukan hanya kekuatan otot dan angkat senjata namun kecerdasan pemikiran dan adu kecerdasan para pendiri bangsa menaklukkan penguasa kolonial.

Demikianlah pula halnya, sejurus melihat sosok Bung Hatta di forum Kongres yang bergelora itu, sontak saya jadi teringat pula pada seorang sosok nasionalis, revolusioner dan intelektual muda Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka atau populer dikenal Tan Malaka. Jiwa nasionalis Tan yang lahir 2 Juni 1897 di Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten 50 Koto, Sumatera Barat ini ditunjukkan dari ketokohannya sebagai orang pertama penggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada tahun 1925, gagasan yang jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrij (Indonesia

Merdeka) dan Bung Karno yang menulis Menuju Indonesia Merdeka tahun 1933.3

Jiwa intelektual Tan terlihat dari kebiasaan yang sama dengan Mohammad Hatta, yaitu membaca dan menulis. Dengan nama asli atau nama samaran, Tan banyak menulis buku, seperti “Aksi Masa”, ”Madilog”, “Dari Penjara ke Penjara”, “Pacar Merah Indonesia” dan lain-lain. Kecerdasan intelektual Tan terlihat dari kemampuannya menganalisis situasi dengan begitu tajam dan kuat dalam dialektika seperti

dinyatakan Nishijima, pembantu Ahmad Soebardjo.4 teman seperjuangan dan

2 Ibid, hal. 123.

3 Ibid, hal. 3.

kawan sekolah waktu di Belanda. Jiwa revolusioner Tan diakui Sayuti Melik yang mengatakan “Tan lebih berpengalaman dalam perjuangan. Kata-kata Tan tentang

revolusi belakangan lebih sering dikutip oleh Sukarno.5 Bahkan, dari Tan lah konon

digerakkan pemuda bersama Soekarno-Hatta ke lapangan Ikada untuk menguatkan dukungan rakyat atas kemerdekaan Indonesia yang pada tanggal 17 Agustus 1945 telah memproklamirkan Republik Indonesia. Untuk itu, tidak berlebihan bila dalam pengantar penerbit bukunya “Aksi Masa” Prof. Yamin menyebutnya sebagai ‘Bapak Republik Indonesia’ dan Jenderal A.H. Nasution mengatakan, “.... nama Tan Malaka juga harus tercatat sebagai tokoh militer Indonesia untuk selama-lamanya.” 6

Kembali pada Bung Hatta. Sungguh, saya kagum dengan isi pidatonya dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat yang telah dilansir oleh banyak media massa nasional dan asing saat itu. Kekaguman saya adalah beliau orator besar seperti halnya Soekarno. Tapi, bukan lewat pidato dengan suara bariton yang penuh wibawa, melainkan lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan menggetarkan. Bunyi teks pidato: “...tjita-tjita oentoek terselenggaranja keboetoehan peroemahan rakjat boekan moestahil apabila kita soenggoeh - soenggoeh maoe dengan penoeh kepertjajaan, semoea pasti bisa...” itulah menjadi headline yang muncul di ber bagai surat kabar. Bahkan, gagasan besar beliau yang dikumandangkan dalam pidato kongres saat itu, yaitu “Satu Rumah Sehat Untuk Satu Keluarga” hingga sekarang masih diingat dan terus diperjuangkan oleh generasi penerus anak bangsa, seperti halnya Manda Machyus, Yoke, Dedy B. Slamet, Rommel Sibero dan kawan-kawannya, yang lahir di era digital dan sedang mengabdikan dirinya di Kementerian Negara Perumahan Rakyat (sekarang – Kementerian PUPR). Di mata anak-anak muda ini, Bung Hatta dipandang telah mengamanatkan kepada pewaris bangsa untuk secara bersama-sama menyelenggarakan pembangunan perumahan yang layak bagi rakyat yang telah hidup merdeka, beradab dan bermartabat (memiliki harga diri).7 Oleh karena itu, sebagai penghormatan atas dedikasi beliau dalam memikirkan perumahan rakyat, anak-anak generasi penerus di Kementerian PUPR dalam memperingati Hari Perumahan Nasional (Hapernas) setiap tanggal 25 Agustus selalu berziarah ke tempat peristirahatan terakhir Bung Hatta di pemakaman umum Tanah Kusir Jakarta Selatan. Bung Hatta adalah seorang pejuang anti kolonialisme dan non- kooperatif. Hal Ini terlihat dari buku yang pernah saya baca ‘Hatta Jejak Yang Melampaui Zaman’, dikisahkan sewaktu di pengasingan di Desa Dwi Warna Ibukota Kecamatan Banda Kota beliau menempelkan kertas di papan tulis yang mengandung pesan jiwanya. Salah satu tulisan itu berbunyi ”Suatu bantuan pembangunan harus bebas dari syarat

5 Ibid, hal. 25.

6 Tan Malaka, Aksi Masa, PT. Buku Seru, Yogyakarta, 2013, hal. 3

7 Manda Machyus, Jas Merah: Kebersamaan dalam Memenuhi Kebutuhan Rumah Untuk Rakyat (MBR)

politik manapun juga, bebas dari campur tangan asing dalam soal-soal dalam negeri

bangsa yang menerima bantuan”.8

Beliau adalah negarawan yang tidak haus kekuasaan, taat konstitusi, dan tidak senang pada jalan mengatur pemerintahan negara untuk kepentingan politik daripada untuk kepentingan rakyat. Oleh karena jiwa kenegarawanannya itu dan tidak adanya kesepahaman terhadap Bung Karno dalam cara memimpin pemerintah-an negara, beliau mengundurkpemerintah-an diri sebagai wakil presiden. Selain itu, keputuspemerintah-an ini diambil karena beberapa saran beliau diabaikan Bung Karno, termasuk sarannya kepada Bung Karno untuk tidak menikahi Hartini.

“Perbedaan pandangan dengan Bung Karno semakin meruncing dalam menyikapi revolusi, apakah revolusi berlanjut atau berhenti sampai di sini dan mulai membangun negara. Bung Karno bersikukuh bahwa revolusi jalan terus, Bung Hatta berpikir sebaliknya sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan nasib bangsa, nasib rakyat yang lama menderita akibat peperangan. Perbedaan tak dapat dipertemukan, akhirnya tanggal 1 Desember 1956 Bung Hatta secara resmi mengundurkan sebagai wakil presiden, turun dari gelanggang politik dan memilih jadi orang biasa. Ketika ditanya mau apa setelah mengundurkan diri, Bung Hatta menjawab ringan, “Saya mau terjun ke masyarakat, menjadi orang

biasa. Sebuah jawaban jernih dari sosok yang tidak haus kekuasaan”.9

Sorak gemuruh menggema di ruangan kongres selama dan setelah Bung Hatta berpidato tentang permasalahan perumahan rakyat yang menjadi perhatian dalam program-program pemerintahannya. Beliau sangat peduli dengan kondisi perumahan rakyatnya pada masa itu. Dan, ini pas pada lembaran halaman 81 dari buku yang saya baca yang menyebabkan saya tertidur dan bermimpi berjumpa beliau. Dalam pidatonya di kongres itu, beliau mengatakan: ”...tentang perumahan rakyat, kita menunjukkan ketinggalan yang terbesar. Sering-sering saya berkata, sebagian besar daripada rumah-rumah rakyat lebih menyerupai kandang sapi daripada tempat kediaman manusia. Perumahan semacam ini tidak layak bagi suatu bangsa yang merdeka dan tahu diri, pemerintah mempunyai kewajiban yang besar sekali dalam hal ini. Akan tetapi rakyat dan gerakan rakyat juga”. 10

Setelah pidato puncak Bung Hatta usai, beliau bersama para pejabat pemerintah pusat dan daerah yang mengikuti kongres dipersilahkan oleh panitia untuk masuk ruang rehat yang telah disediakan. Di ruang itulah, meski waktu tidak

8 Arif Zulkifli, dkk, Op.Cit, hal. 47.

9 Basundoro,“Bung Hatta Sang Nurani Bangsa”. basundoro-fib.web.unair.ac.id/ artikel_detail-42104-

Sejarah-BUNG%20HATTA,%20SANG%20NURANI%20 BANGSA. Diakses 27 November 2015

10 Bambang Eryudhawan, Kilas Balik Perumahan Rakyat, Kemenpera dan KemenPU, Jakarta, 2010,

banyak, dalam mimpi itu saya dibawa berdiskusi dengan beliau tentang perumahan rakyat. Entahlah, waktu itu naluri saya tergerak untuk mendekati Bung Hatta guna berbincang- bincang tentang apa yang dipidatokan mengenai perumahan rakyat.

Percakapan saya mulai dengan salam taklim. “Assalamualikum Bapak Wakil Presiden”. Beliaunya menjawab, “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”. Begitu hangat, ramah dan penuh terbuka jawab cucu Syekh Abdurrachman (Syekh Nan Tuo) ini. “Panggil saja saya Bung ya., jangan wakil presiden”, kata beliau. Lalu keluar ucapan pertanyaan yang ditujukan pada saya, “dari mana bapak?” Saya lalu menjawab, “Dari Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) Bung”.

Mendengar jawaban saya, Beliau memperlihatkan wajah yang sumringah dan mengatakan “Bagus.... bagus”. Bersamaan itu, saya memperkenalkan diri kepada Beliau. “Bung, saya Zulfi Syarif Koto, saat ini diberi amanah menjabat Deputi Bidang Perumahan Formal sejak dari tahun 2005 hingga menjelang pensiun di tahun 2010 ini”. Sambil memegang secangkir teh kesukaannya, beliau bertanya, “Bapak asli dari mana?” Saya menjawab, “Dari Koto Tuo Ampek Koto Kabupaten Agam Bukittinggi Sumatera Barat”. Dan saya menyela dengan hormat, “Bung panggil saja saya Zul atau Zulfi atau Koto”. Kemudian beliau sedikit agak kaget dan berucap, “Kalau begitu kita masih saudara dekat, maksudnya sama-sama dari satu kampong”. Saya lalu menyela, “Bung dari di Desa Aur Tanjungkang Bukittinggi ya?” “Betul” jawab Bung Hatta. “Kok tahu kau Zul dari mana?” Saya menjawab lewat membaca buku biografi yang ditulis oleh banyak orang dari dalam dan luar negeri.

Dengan raut wajah berbinar dan body language yang penuh persaudaraan dan kekeluargaan nampak Bung Hatta senang dengan perjumpaannya dengan saya. Detik demi detik dan menit demi menit berjalan, selanjutnya percakapan mengarah pada tema pidato Bung Hatta. Saat itu, saya berkata, “Bung saya sangat tertarik dengan isi pidato yang disampaikan dalam kongres barusan itu”. “Oh...ya”, jawab beliau. “Apa yang Bung sampaikan dalam pidato itu memperlihatkan pemerintah mempunyai kepedulian besar terhadap rakyat yang tidak mampu dalam upaya mendapatkan perumahan yang layak”, kata saya. Bung Hatta memandangi saya dengan tatapan wajah serius untuk menjelaskan sesuatu. “Begini Zul”, kata Bung Hatta. “Sesungguhnya program pembangunan perumahan rakyat tidak saja kali pertama saya menjabat wakil presiden. Akan tetapi sudah saya pikirkan bersama dengan teman-teman dalam ‘Sidang Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara Lama’ pada pertengahan 1943 dan ketika saya menjabat Perdana Menteri Kabinet RIS 1949”.

Sambil mengajak saya untuk duduk di kursi, Bung Hatta menceritakan kepada saya tentang kedua hal tersebut. Atas penjelasan Bung Hatta itu, saya jadi teringat pada buku kumpulan pidato Beliau terbitan Balai Pustaka Jakarta 1954 yang pernah saya baca. Dalam buku itu dimuat isi pidato Bung Hatta yang saat itu menjadi salah

satu pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) bersama-sama Soekarno, Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Mansyur tentang masalah perumahan rakyat. Isi pidato Beliau menggambarkan keadaan rumah rakyat, seperti berikut ini:

“Di zaman dahulu, sebelum orang putih datang kemari, bangun-bangun rumah desa memang sederhana, tetapi terpelihara. Adat hidup yang dipakai orang Indonesia serta sifat tolong-menolong yang menjadi dasar segala usaha yang berat, melarang orang mengabaikan rumahnya. Kalau ia hendak mendirikan rumah, ia dapat minta tolong kepada orang banyak yang sekampung atau sedesa. Paham tradisi, yaitu ikatan kebiasaan, tidak membiarkan orang teledor terhadap pemeliharaan rumahnya. tetapi sekarang, sebagai akibat daripada penindasan ekonomi dan pemerintah Barat? Semangat hilang dan kemauan patah sama sekali, Nafsu kurang untuk memperbaiki yang rusak, sejak kesengsaraan hidup

menimpa senantiasa”.11

Selanjutnya, terkait dengan saat menjabat perdana menteri Kabinet RIS 1949, beliau Bung Hatta mengingatkan kepada saya bahwa dalam pemerintahannya juga terdapat program pembangunan perumahan. Saya teringat pada buku yang pernah saya baca “Mohammad Hatta, Untuk Negeriku Menuju Gerbang Kemerdekaan – Seri Ke 3”, terdapat program Pemerintah RIS 1949 yang berbunyi, antara lain:

“Program Kabinet RIS, yang keempat: Berusaha memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan, dan kesehatan untuk jaminan sosial dan penempatan tenaga kembali ke dalam masyarakat; mengadakan peraturan tentang upah minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi rakyat agar kegiatan itu terwujud kepada kemakmuran rakyat seluruhnya”. 12

Terkait dengan penjelasan Bung Hatta, benak saya menyimpulkan bahwa masalah perumahan rakyat di satu sisi tetap menjadi perhatian pemikiran Bung Hatta baik selaku pimpinan organisasi kepemudaan (PUTERA) maupun pimpinan pemerintahan, dan di sisi lain masalah pembangunan perumahan rakyat semakin sulit dipecahkan akibat pengaruh ekonomi global (kapitalisme modern). Kemudian saya mengatakan kepada Bung Hatta, “Bung kondisi yang baru saja dijelaskan itu hampir sama dengan ekonomi-politik perumahan rakyat pada zaman paska pemerintahan Bung”. “Maksudnya?”, tanya Bung Hatta kepada saya. Saya menjelaskan bahwa meski semua rezim pemerintahan republik telah menetapkan berbagai gerakan 11 Sebagian dari Pidato Mohammad Hatta pada Sidang Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tatanegara Lama tahun 1943 dalam buku “Kilas Balik Perumahan Rakyat 1900-2000, Op.Cit, hal. 62.

12 Mulyawan Karim (Eds), Mohammad Hatta, Untuk Negeriku Menuju Gerbang Kemerdekaan, Seri Ke – 3, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2011, hal. 221.

dan program pembangunan rumah bagi yang tidak mampu, seperti: “KIP”, “GNPSR”, “GENTAKUMUH”, “Program 1000 Tower dan Program 350.000 Rusunawa Pekerja di Perkotaan”, akan tetapi harus diakui hingga kini banyak rakyat kita terutama yang berpenghasilan rendah masih hidup di perkampungan kumuh dan di dalam rumah-rumah yang tidak layak huni, apalagi mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan sebagainya.

Mendengar penjelasan dari saya, Bung Hatta tertegun. Bung Hatta nampaknya memahami permasalahan pembangunan perumahan rakyat yang saya kemukakan tadi. Dan, Beliau mengatakan kepada saya bahwa semua program pembangunan perumahan bagi masyarakat tidak mampu itu baik, tapi melaksanakannya tidak mudah.

Perkataan Bung Hatta itu benar adanya. Kemudian saya teringat kala kuliah S-2 di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya sewaktu membaca buku kebijakan publik, di mana penulisnya, Said Zainal Abidin, berucap: ”Banyak kebijakan yang baik, yang mampu dibuat oleh pemerintah, baik yang dirumuskan dengan menggunakan tenaga ahli dari dalam negeri, maupun dari luar negeri, tetapi kemudian ternyata tidak mempunyai pengaruh apa-apa dalam kehidupan negara karena tidak mampu atau tidak dilaksanakan”. 13

Kemudian, Bung Hatta menyela pembicaraan, banyak faktor Zul terhadap belum terwujudnya harapan masyarakat akan pemenuhan kebutuhan rumah yang layak. Lalu, saya dengan hormat menyela apakah itu terkait dengan faktor seperti pemilihan peradigma pembangunan yang diterapkan oleh negara pemberi utang, kapitalisasi tanah, budaya birokrasi, sikap masyarakat, dan lain sebagainya? Betul ...betul... Zul !! Ini merupakan sebuah ungkapan jujur yang keluar dari isi hati dan pikiran terdalam Bung Hatta.

Dengan pernyataan tegas Bung Hatta itu, saya disadarkan bahwa apa yang terjadi dengan pembangunan perumahan rakyat sekarang ini memang harus diakui banyak dipengaruhi oleh ekonomi-politik pembangunan perumahan rakyat yang dikendalikan oleh negara pemberi pinjaman, pemodal (dalam dan luar negeri), dan bahkan kebijakan pemerintah itu sendiri. Realitas yang terlihat sampai saat ini bahwa mereka dan kebijakan pemerintah masih kurang berpihak kepada masyarakat miskin dalam pemenuhan kebutuhan tempat tinggal (rumah) yang layak sesuai yang diamanatkan konstitusi Negara Republik Indonesia. Diakui atau tidak kucuran bantuan asing untuk pembangunan perumahan rakyat masih belum banyak dinikmati oleh sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya MBR dan Masyarakat Miskin. Demikian pula, harus diakui kebijakan sektor pembangunan perumahan rakyat masih berbau paradigma neolit padahal seperti kita ketahui

bahwa undang-undang yang mendasari sebenarnya berorientasi pada paradigma sosialisme dan nasionalisme.

Terkait dengan pengaruh negara asing pemberi pinjaman untuk berbagai program pembangunan di Indonesia, saat itu juga pikiran saya melayang pada tulisan pakar ekonomi politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Mochtar Mas’oed dalam bukunya yang pernah saya baca. Dia mengatakan bahwa, ”Pada negara- negara berkembang yang akrab dengan lembaga pemberi utang internasional, seperti Indone-sia, kebijakan pembangunan yang dijalankan sebenarnya lebih banyak dipaksakan oleh

para donor (termasuk pemodal) sebagai syarat memperoleh bantuan asing”.14 Saya akui

bantuan hutang memang diperlukan untuk pembangunan perumahan rakyat, tetapi hal itu perlu dikritisi bahwa di dalamnya tentu syarat dengan kepentingan ekonomi politik negara donor internasional.