• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Ilmu Kedokteran Forensik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Buku Ilmu Kedokteran Forensik"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

lmu Kedokteran Forensik, juga dikenal dengan nama Legal Medicine, adalah salah satu cabang spesialistik dari Ilmu Kedokteran, yang mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum serta keadilan.

Di masyarakat, kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Untuk pengusutan dan penyidikan serta penyelesaian masalah hukum ini di tingkat lebih lanjut sampai akhirnya pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang terkait untuk membuat jelas jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan yang satu dengan yang lain dalam rangkaian peristiwa tersebut. Dalam hal terdapat korban, baik yang masih hidup maupun yang meninggal akibat peristiwa tersebut, diperlukan seorang ahli dalam bidang kedokteran untuk memberikan penjelasan bagi para pihak yang menangani kasus tersebut. Dokter yang diharapkan membantu dalam proses peradilan ini akan berbekal pengetahuan kedokteran yang dimilikinya yang terhimpun dalam kazanah Ilmu Kedokteran Forensik.

Dalam bentuknya yang masih sederhana, ilmu kedokteran forensik telah dikenal sejak zaman Babilonia, yang mencatat ketentuan bahwa 'dokter' saat itu mempunyai kewajiban untuk memberi kesembuhan bagi para pasiennya dengan ketentuan ganti rugi bila hal tersebut tidak tercapai. Sejarah mencatat Anthitius, seorang dokter di zaman Romawi kuno yang pada suatu Forum, semacam institusi peradilan waktu itu, menyatakan bahwa dari 21 luka yang ditemukan pada tubuh maharaja Julius Caesar, hanya satu luka saja, yang menembus sela iga ke-2 sisi kiri depan yang merupakan luka yang mematikan. Nama kedokteran Forensik dikatakan berasal dari kata forum ini.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, ternyata ilmu kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan penegakan hukum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga bermanfaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil, baik bagi pihak yang diasuransi maupun pihak yang mengasuransi, dalam membantu pemecahan masalah paternitas (penemuan ke-ayah-an), membantu upaya keselamatan kerja dalam bidang industri dan otomotif dengan pengumpulan data korban kecelakaan industri maupun kecelakaan lalu-lintas dan sebagainya.

(2)

Untuk dapat memberi bantuan yang maksimal bagi pelbagai keperluan tersebut di atas, seorang dokter dituntut untuk dapat memanfaatkan ilmu kedokteran yang dimilikinya secara optimal.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai dokter yang diminta untuk membantu dalam pemeriksaan kedokteran forensik oleh penyidik, dokter tersebut dituntut oleh undang-undang untuk melakukannya dengan sejujur-jujurnya serta menggunakan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Bantuan yang wajib diberikan oleh dokter apabila diminta oleh penyidik antara lain adalah melakukan pemeriksaan kedokteran forensik terhadap seseorang, baik terhadap korban hidup, korban mati maupun terhadap bagian tubuh atau benda yang diduga berasal dari tubuh manusia. Apabila dokter lalai memberikan bantuan tersebut, maka ia dapat diancam dengan pidana penjara.

Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan korban, dokter diharapkan dapat menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh korban, bilamana kelainan tersebut timbul, apa penyebabnya serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan korban. Dalam hal korban meninggal, dokter diharapkan dapat menjelaskan penyebab kema-tian yang bersangkutan, bagaimana mekanisme terjadinya kematian tersebut, serta membantu dalam perkiraan saat kematian dan perkiraan cara kematian.

Untuk kesemuanya itu, dalam bidang ilmu kedokteran forensik dipelajari tata laksana mediko-legal, tanatologi, traumatologi, toksikologi, teknik pemeriksaan dan segala sesuatu yang terkait, agar semua dokter dalam memenuhi kewajibannya membantu penyidik, dapat benar-benar memanfaatkan segala pengetahuan kedokterannya untuk kepentingan peradilan serta kepentingan lain yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.

KETERANGAN AHLI

Kewajiban dokter untuk membuat Keterangan Ahli telah diatur dalam pasal 133 KUHAP. Keterangan Ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang pengadilan (pasal 184 KUHAP).

Pengertian Keterangan Ahli adalah sesuai dengan pasal 1 butir 28 KUHAP: "Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan".

(3)

Keterangan ahli ini dapat diberikan secara lisan di depan sidang pengadilan (pasal 186 KUHAP), dapat pula diberikan pada masa penyidikan dalam bentuk laporan penyidik (Penjelasan pasal 186 KUHAP), atau dapat diberikan dalam bentuk keterangan tertulis di dalam suatu surat (pasal 187 KUHAP).

Sehubungan dengan pengertian di atas dapatlah dikemukakan bebera pa hal penting: A. PIHAK YANG BERWENANG MEMINTA KETERANGAN AHLI

Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) yang berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli adalah penyidik. Penyidik pembantu juga mempunyai wewenang tersebut sesuai dengan pasal 11 KUHAP.

Adapun yang termasuk dalam katagori penyidik menurut KUHAP pasal 6 ayat (1) jo PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) adalah Pejabat Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua. Sedangkan penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua. Dalam PP yang sama disebutkan bahwa bila penyidik tersebut adalah pegawai negeri sipil, maka kepangkatannya adalah serendah-rendahnya golongan ll/b untuk penyidik dan I l/a untuk penyidik pembantu. Bila di suatu Kepolisian Sektor tidak ada pejabat penyidik seperti di atas, maka Kepala Kepolisian Sektor yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua dikatagorikan pula sebagai penyidik karena jabatannya (PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (2)).

Dalam lingkup kewenangan / jurisdiksi peradilan militer, maka pengertian penyidik dapat dikaitkan dengan Surat Keputusan Pang-ab No: Kep/04/P/ll/1983 tentang Penyelenggaraan Fungsi Kepolisian Militer. Pasal 4 huruf c ketentuan tersebut mengatur fungsi Polisi Militer sebagai penyidik, sedangkan pasal 6 ayat c ketentuan di atas mengatur fungsi Provoost dalam membantu Komandan / Ankum (Atasan yang berhak menghukum) dalam penyidikan perkara pidana (di lingkungan yang bersangkutan), tetapi penyelesaian selanjutnya diserahkan kepada POM atau POLRI.

B. PIHAK YANG BERWENANG MEMBUAT KETERANGAN AHU

Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1), yang berwenang melakukan pemeriksaan forensik yang menyangkut tubuh manusia dan membuat Keterangan Ahli adalah dokter ahli kedokteran kehakiman (forensik), dokter dan ahli lainnya. Sedangkan dalam penjelasan KUHAP tentang pasal tersebut dikatakan bahwa yang dibuat oleh dokter ahli kedokteran kehakiman disebut

(4)

keterangan ahli sedangkan yang dibuat oleh selain ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.

Secara garis besar, semua dokter yang telah mempunyai surat penugasan atau surat izin dokter dapat membuat keterangan ahli. Namun untuk tertib administrasinya, maka sebaiknya

permintaan keterangan ahli ini hanya diajukan kepada dokter yang bekerja pada suatu instansi kesehatan (Puskesmas hingga rumah sakit) atau instansi khusus untuk itu, terutama yang milik pemerintah.

C. PROSEDUR PERMINTAAN KETERANGAN AHLI.

Permintaan Keterangan Ahli oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis, dan hal ini secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2), terutama untuk korban mati.

Jenasah harus diperlakukan dengan baik, diberi label identitas dan penyidik wajib

memberitahukan dan menjelaskan kepada keluarga korban mengenai pemeriksaan yang akan dilaksanakan. Mereka yang menghalangi pemeriksaan 'jenasah untuk kepentingan peradilan diancam hukuman sesuai dengan pasal 222 KUHP.

Korban yang masih hidup sebaiknya diantar oleh petugas kepolisian guna pemastian

identitasnya. Korban adalah juga pasien, sehingga ia masih mempunyai hak sebagai pasien pada umumnya.

Surat permintaan keterangan ahli ditujukan kepada instansi kesehatan atau instansi khusus untuk itu, bukan kepada individu dokter yang bekerja di dalam instansi tersebut.

D. PENGGUNAAN KETERANGAN AHLI.

Penggunaan keterangan ahli, atau dalam hal ini visum et reper-tum, adalah hanya untuk keperluan peradilan. Dengan demikian berkas Keterangan Ahli ini hanya boleh diserahkan kepada penyidik (instansi) yang memintanya. Keluarga korban atau pengacaranya dan pembela tersangka pelaku pidana tidak dapat meminta keterangan ahli langsung kepada dokter pemeriksa, melainkan harus melalui aparat peradilan (penyidik, jaksa atau hakim).

Berkas Keterangan Ahli ini tidak dapat digunakan untuk penyelesaian klaim asuransi. Bila diperlukan keterangan, pihak asuransi dapat meminta kepada dokter keterangan yang khusus untuk hal tersebut, dengan memperhatikan ketentuan tentang wajib simpan rahasia jabatan. VISUM ET REPERTUM

(5)

Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik, memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati.

Pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan hukum antara lain adalah pembuatan visum et repertum terhadap seseorang yang dikirim oleh polisi (penyidik) karena diduga sebagai korban suatu tindak pidana, baik dalam peristiwa kecelakkaan lalu-lintas, kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, maupun korban meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi, terdapat kecurigaan akan kemungkinan adanya tindak pidana.

Di hadapan dokter, seorang korban hidup dapat berstatus sebagai korban untuk dibuatkan visum et repertum, sekaligus berstatus sebagai pasien untuk diobati/dirawat.

Sebagai pasien orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang timbul akibat hubungan dokter-pasien (kontrak terapeutik). Berbagai hak yang dimiliki pasien, seperti hak atas informasi, hak menolak/memilih al ternatif cara pemeriksaan/terapi, hak atas rahasia kedokteran dan lain-lain harus dipatuhi oleh dokter. Namun sebagai korban, pada orang tersebut berlaku ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam hukum acara pidana. Orang tersebut tidak dapat begitu saja menolak pemeriksaan forensik yang akan dilakukan terhadap dirinya.

DASAR HUKUM

Pasal 133 KUHAP menyebutkan :

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan manangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Penjelasan terhadap pasal 133 KUHAP:

(2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.

Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP.

(6)

Yang dimaksud dengan penyidik di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6 (1) butir a., yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia.

Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7 (2) KUHAP).

Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan visum et repertum telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no 27 tahun 1983 yang manyatakan penyidik Polri berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah kepolisian tertentu yang

komandannya adalah seorang bintara (Sersan), maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi Penyidik pembantu adalah bintara serendah-rendahnya sersan dua. Untuk mengetahui apakah suatu Surat Permintaan pemeriksaan telah ditan-da tangani oleh yang berwenang, maka yang penting adalah bahwa si penandatang menandatangani surat tersebut selaku penyidik.

Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam pasal 179 KUHAP sebagai berikut: (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Nama Visum et repertum tidak pernah disebut di dalam KUHAP maupun hukum acara pidana sebelumnya (RIB=P»eglemen Indonesia yang diBaharui). Nama visum et repertum sendiri hanya disebut di dalam Statsblad 350 tahun 1937 pasal 1 dan 2 yang berbunyi:

1. Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus sebagai dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa. 2. Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Negeri Belanda maupun di Indonesia, sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, boleh mengikrarkan sumpah (atau janji) sebagai berikut: " ..."

Sedangkan bunyi sumpah dokter yang dimaksud dalam pasal 1 di atas, adalah lafal sumpah seperti pada Statsblad 1882 No 97, pasal 38 (berlaku hingga 2 Juni 1960) yang berbunyi:

(7)

"Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan melakukan pekerjaan ilmu kedokteran, bedah dan kebidanan menururt ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang sebaik-baiknya menurut kemampuan saya dan bahwa saya tidak akan mengumumkan kepada siapapun juga, segala sesuatu yang dipercayakan kepada saya atau yang saya ketahui karena pekerjaaan saya, kecuali kalau saya dituntut untuk memberi keterangan sebagai saksi atau ahli di muka pengadilan atau selain itu saya berdasarkan undang-undang diwajibkan untuk memberi keterangan."

Dari bunyi Stb 350 tahun 1937 terlihat bahwa :

1. Nilai daya bukti visum et repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang dilihat atau ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter hanya dianggap memberikan kesaksian (mata) saja.

2. Visum et repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter seperti yang tertera pada Statsblad No 97 pasal 38, tahun 1882. Lafal sumpah dokter ini memang tepat bila digunakan sebagai landasan pijak pembuatan visum et repertum.

Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan dengan visum et repertum adalah pasal 186 dan 187, yang berbunyi:

Pasal 186: Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Penjelasan pasal 186 KUHAP: Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Pasal 187:(c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. pasal 184 : (1) Alat bukti yang sah adalah : Keterangan saksi;

Keterangan ahli; Surat;

Petunjuk;

Keterangan terdakwa.

Dari pasal-pasal di atas tampak bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah sepadan dengan yang dimaksud dengan visum et repertum dalam Stb no. 350 tahun 1937.

(8)

Perbedaannya adalah bahwa keterangan ahli atau surat (KUHAP) adalah keterangan atau

pendapat yang dibuat oleh ahli (termasuk dokter) berdasarkan keilmuannya, tidak hanya terbatas pada "apa yang dilihat dan ditemukan oleh si pembuat". Oleh karena berdasarkan keilmuannya, maka keterangan ahli atau surat tersebut yang dibuat oleh dokter harus di buat atas dasar

pemeriksaan medik.

Pendapat yang tidak berdasarkan hasil pemeriksaan medik tentu saja tidak merupakan bagian dari visum et repertum. Pemeriksaan medik tersebut tidak harus dilakukan oleh dokter pembuat visum et repertum sendiri. Hal ini mengingat bahwa kemajuan ilmu kedokteran mengakibatkan berbagai pemeriksaan yang khusus harus dilakukan oleh dokter dengan keahlian khusus pula, sehingga pemeriksaan medik terhadap seseorang pasien (korban) mungkin saja dibuat oleh beberapa dokter dari berbagai bidang spesialisasi.

Nama visum et repertum hingga saat ini masih dipertahankan, walaupun dengan konsep yang berbeda dengan konsep yang lama. Nama visum et repertum ini digunakan untuk membedakan surat/ keterangan ahli yang dibuat dokter dengan surat/keterangan ahli yang dibuat oleh ahli lain yang bukan dokter.

DEFINISI

Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.

PERANAN DAN FUNGSI VISUM ET REPERTUM

Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana ter-hadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti.

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian Kesimpulan.

Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa

(9)

yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.

Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduknya persoalan di sidang Pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan(ps 180 KUHAP).

PERBEDAAN VISUM ET REPERTUM DENGAN CATATAN MEDIK DAN SURAT KETERANGAN MEDIK LAINNYA.

Di dunia kedokteran, dikenal pelbagai surat keterangan, antara lain catatan medik dan surat keterangan medik.

Catatan medik adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medik beserta tindakan pengobatan/perawatannya, yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh

dokter/institusi kesehatan. Catatan medik ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 dengan sanksi hukum seperti dalam pasal 322 KUHP.

Dokter boleh membuka isi catatan medik kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk

keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik berupa izin langsung maupun berupa perjanjian yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu (misalnya perusahaan asuransi).

Oleh karena Visum et repertum dibuat atas kehendak undang-undang, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa

barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undangundang, tidak dipidana, sepanjang Visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang

memintanya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses peradilan. JENIS DAN BENTUK VISUM ET REPERTUM

Dengan konsep visum et repertum di atas, dikenal beberapa jenis visum et repertum, yaitu : a. Visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan)

b. Visum et repertum kejahatan susila c. Visum et repertum jenasah

(10)

d. Visum et repertum psikiatrik

Jenis a, b dan c adalah visum et repertum mengenai tubuh/ raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis d adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa tindak pidana.

Meskipun jenisnya bermacam-macam, namun nama resminya tetap sama yaitu "Visum et Repertum", tanpa embel-embel lain.

Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan, dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.

Apabila penulisan sesuatu kalimat dalam visum et repertum berakhir tidak pada tepi kanan format, maka sesudah tanda titik harus diberi garis hingga ke tepi kanan format.

Apabila diperlukan gambar atau foto untuk lebih memperjelas uraian tertulis dalam visum et repertum, maka gambar atau foto tersebut diberi kan dalam bentuk lampiran.

Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap, yaitu :

l'. Kata Pro justitia yang diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum et repertum tidak membutuhkan meterai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.

2. Bagian Pendahuluan. Kata "Pendahuluan" sendiri tidak ditulis di dalam visum et repertum, melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan nama dokter pembuat visum et repertum dan institusi kesehatannya, instansi penyidik

pemintanya berikut nomor dan tanggal surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.

Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian identitas korban adalah sesuai dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat permintaan visum et repertum. Bila terdapat ketidak-sesuaian identitas korban antara surat permintaan dengan catatan medik atau pasien yang diperiksa, dokter dapat meminta kejelasannya dari penyidik.

3. Bagian Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil pemeriksaan" dan berisi hasil pemeriksaan medik tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban yang berkaitan dengan perkaranya, tindakan medik yang dilakukan serta keadaannya selesai pengobatan/perawatan.

(11)

Bila korban meninggal dan dilakukan autopsi, maka diuraikan keadaan seluruh alat-dalam yang berkaitan dengan perkara dan matinya orang tersebut.

Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti barang bukti, berupa perlukaan/keadaan kesehatan/sebab kematian yang berkaitan dengan perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medik yang bersifat rahasia dan tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan ke dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.

4. Bagian Kesimpulan. Bagian ini berjudul "Kesimpulan" dan berisi pendapat dokter

berdasarkan keilmuannya, mengenai jenis perlukaan/cedera yang ditemukan dan jenis kekerasan atau zat penyebabnya, serta derajat perlukaan atau sebab kematiannya.

Pada kejahatan susila, diterangkan juga apakah telah terjadi persetubuhan dan kapan perkiraan kejadiannya, serta usia korban atau kepantasan korban untuk dikawin.

5. Bagian Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana."

VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PERLUKAAN

Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah untuk mengetahui penyebab luka/sakit dan derajat parahnya luka atau sakitnya tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk

memenuhi rumusan delik dalam KUHP. Jelaslah di sini bahwa pemeriksaan kedokteran forensik tidak ditujukan untuk pengobatan.

Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat catatan medik atas semua hasil pemeriksaan mediknya. Pada korban yang diduga korban tindak pidana, pencatatan harus lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Catatan medik yang tidak lengkap dapat mengakibatkan hilangnya sebagian barang bukti di dalam bagian Pemberitaan visum et repertum.

Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik/pejabat kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa serta surat permintaan visum et repertum. Sedangkan para korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan visum et repertumnya akan datang terlambat. Keterlambatan surat permintaan visum et repertum ini dapat diperkecil dengan diadakannya kerjasama yang baik antara dokter/institusi kesehatan dengan penyidik/instansi kepolisian.

(12)

Baik terhadap Surat Permintaan Visum et repertum yang datang bersamaan dengan korban, maupun yang datang terlambat, harus dibuatkan visum et repertum. Visum et repertum ini dibuat setelah perawatan/pengobatan selesai, kecuali pada visum et repertum sementara, dan perlu pemeriksaan ulang pada korban bila surat permintaan pemeriksaan datang terlambat.

Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka 'sedang' dapat merupakan hasil dari tindak

penganiayaan (pasal 351 (1) atau 353 (1)).

Korban dengan luka berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana

penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal 351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355 (1)).

Perlu diingat bahwa luka-luka tersebut dapat juga timbul akibat kecelakaan atau usaha bunuh diri.

Derajat luka. Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, sebagaimana bunyi pasal 352 KUHP. Umumnya, yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban dengan "tanpa luka" atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya/yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka tersebut kita masukkan ke dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu.

KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan penganiayaan, tetapi jurisprudensi Hoge Raad tanggal 25 Juni 1894 menjelaskan bahwa menganiaya adalah dengan sengaja menimbulkan sakit atau luka. Yang penting bagi dokter adalah menentukan keadaan yang bagaimanakah yang dimaksud dengan sakit atau luka. Oleh karena batasan luka ringan sudah disebutkan di atas, maka semua keadaan yang "lebih berat" dari luka ringan dimasukkan ke dalam batasan sakit atau luka. Selanjutnya dokter tinggal membaginya ke dalam kategori luka sedang (luka derajat dua) dan luka berat (luka derajat tiga).

KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang iuka berat, yaitu: jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut ; yang menyebabkan seseorang terus menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh;

(13)

terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Dengan demikian keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat adalah keadaan yang dimaksud dengan luka sedang.

Namun demikian, perlu diingat bahwa pada saat pemeriksaan pertama kali, dokter sering tidak dapat menentukan apakah sesuatu perlukaan yang sedang diperiksanya adalah luka sedang atau luka berat. Hal ini diakibatkan masih belum berhentinya perkembangan derajat sesuatu perlukaan sebelum selesainya pengobatan/perawatan. Kadang-kadang ketidakpastian derajat luka tersebut terjadi berkepanjangan, sehingga pada saat penyidik membutuhkan visum et repertumnya, dokter hanya bisa memberikan visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara ini tidak berisikan kesimpulan derajat luka, melainkan hanya keterangan bahwa hingga saat visum et repertum dibuat korban masih dalam perawatan di institusi kesehatan tersebut.

Visum et repertum sementara juga diperlukan bila korban dipindah rawatkan ke institusi kesehatan lainnya. Visum et repertum lengkap baru dibuat kelak setelah perawatan selesai dan derajat lukanya dapat ditentukan.

Di dalam bagian Pemberitaan visum et repertum biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medik yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat pengobatan/perawatan selesai. Gejala/keluhan yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan ke dalam bagian Pemberitaan, misalnya sesak nafas, nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri sumbu, dan sebagainya. Sedangkan keluhan subyektif yang tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan dalam visum et repertum, misalnya keluhan sakit kepala, pusing, mual dan sebagainya.

Sebagai contoh penulisan bagian Pemberitaan adalah:

Korban datang dalam keadaan sadar, agak pucat dan tampak sesak nafas. Pada dada sisi kanan setinggi sela iga ke tiga terdapat luka terbuka dengan tepi rata berbentuk garis mendatar sepanjang tiga sentimeter, kedua sudut luka lancip, luka menembus dinding dada...dst. Kalimat tersebut di atas berasal dari catatan medik yang sederhana : "CM, anemis, dispnoe, 90/60, RR 32/menit. Pada i.c. III dext terdapat v. scissum penetrans 3 cm horizontal, ke-2 sudut lancip...dst".

(14)

Dalam bagian Kesimpulan, dokter harus menuliskan luka-luka atau cedera atau penyakit yang ditemukan, jenis benda penyebabnya serta derajat perlukaan. Derajat luka dituliskan dalam kalimat yang mengarah ke rumusan delik dalam KUHP.

Contoh kesimpulan pada kasus dengan luka ringan:

Pada korban laki-laki ini ditemukan memar pada pipi kiri akibat kekerasan tumpul yang tidak mengakibatkan penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan.

Pada 'luka sedang', misalnya:

Pada korban wanita ini ditemukan patah tulang tertutup pada tulang paha kanan akibat kekerasan tumpul, yang mengakibatkan

penyakit dan halangan dalam melakukan pekerjaannya selama...

Atau pada kasus lain: Pada korban wanita ini ditemukan luka terbuka di tungkai bawah kiri akibat kekerasan tumpul, sehingga mengakibatkan penyakit yang memerlukan pengobatan jalan selama ....

Contoh kasus dengan luka berat:

Pada korban laki-laki ini ditemukan luka terbuka di dada sisi kanan yang mengenai baga tengah paru kanan akibat kekerasan tajam, yang telah mendatangkan bahaya maut baginya", atau pada kasus lain: Pada korban laki-laki ini ditemukan luka terbuka dan memar pada mata kanan akibat kekerasan tumpul, yang mengakibatkan hilangnya indera penglihatan sebelah kanan untuk selamanya".

VISUM ET REPERTUM KORBAN KEJAHATAN SUSILA

Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP.

Persetubuhan yang diancam pidana oleh KUHP meliputi pemerkosaan, persetubuhan pada wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur.

Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan, adanya kekerasan (termasuk pemberian racun/obat/zat agar menjadi tidak berdaya) serta usia korban. Selain itu dokter juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan dan kelainan psikiatrik/kejiwaan sebagai akibat dari tindak pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.

(15)

Untuk dapat memeriksa korban wanita tersebut, selain adanya surat permintaan visum et

repertum, dokter sebaiknya juga mempersiapkan si korban atau orang tuanya bila ia masih belum cukup umur, agar dapat dilakukan pemeriksaan serta saksi atau pendamping perawat wanita dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup yang tenang.

Pembuktian adanya persetubuhan dilakukan dengan pemeriksaan fisik terhadap kemungkinan adanya deflorasi himen, laserasi vulva atau vagina, serta adanya cairan mani dan sel sperma dalam vagina terutama dalam forniks posterior.

Pembuktian adanya sel sperma dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan usap vagina, baik langsung maupun dengan pewarnaan khusus. Selain sel sperma, adanya ejakulat juga dapat dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium khusus untuk cairan mani. Adanya penyakit hubungan seksual atau kehamilan memperkuat adanya persetubuhan, meskipun tidak diketahui saat terjadinya. Bukti adanya persetubuhan tersebut baru mempunyai nilai bila sesuai waktu kejadiannya dengan persetubuhan yang diperkarakan. Misalnya, adanya deflorasi himen lama (tepi robekan berupa jaringan parut) atau ditemukannya sel-sel sperma yang hampir lisis, bukanlah merupakan bukti persetubuhan yang diperkarakan yang terjadi satu hari sebelum pemeriksaan. Jejak kekerasan harus dicari tidak hanya di daerah perineum, melainkan juga daerah-daerah lain yang lazim, seperti wajah, leher, payudara, perut dan paha. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan toksikologi dilakukan bila ada kecurigaan ke arah tersebut, baik yang didapat dari anamnesa maupun dari pemeriksaan tisik.

Usia korban biasanya dapat diketahui bila identitasnya dan asal usulnya jelas. Bila usianya tidak jelas, maka harus dicari tanda-tanda medik guna memperkirakannya. Telah adanya haid

menunjukkan usia 12 tahun atau lebih, sedangkan adanya tanda seks sekunder yang berkembang menunjukkan usia 15 tahun atau lebih.

Dalam kesimpulan visum et repertum korban kejahatan susila diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan.

VISUM ET REPERTUM JENASAH

Jenasah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertumnya harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang

(16)

diminta, apakah hanya pemeriksaan luar jenasah, ataukah pemeriksaan autopsi (bedah mayat) (ps 133 KUHAP).

Bila pemeriksaan autopsi yang diinginkan, maka penyidik wajib memberitahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan tujuannya pemeriksaan. Autopsi dilakukan setelah keluarga korban tidak keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga korban (ps 134 KUHAP). Jenasah yang diperiksa dapat juga berupa jenasah yang didapat dari penggalian kuburan (ps135 KUHAP).

Jenasah hanya boleh dibawa keluar institusi kesehatan dan diberi surat keterangan kematian bila seluruh pemeriksaan yang diminta oleh penyidik telah dilakukan. Apabila jenasah dibawa pulang paksa, maka baginya tidak ada surat keterangan kematian.

Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar jenasah, tanpa melakukan tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenasah. Pemeriksaan dilakukan dengan teliti dan sis-tematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai dari bungkus atau tutup jenasah, pakaian, benda-benda di sekitar jenasah, perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologik, gigi-geligi, dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian luar.

Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan bedah jenasah. Lamanya mati sebelum pemeriksaan (perkiraan saat kematian), apabila dapat diperkirakan, dapat dicantumkan dalam kesimpulan.

Kemudian dilakukan pemeriksaan bedah jenasah menyeluruh dengan membuka rongga

tengkorak, leher, dada, perut dan panggul. Kadang kala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologik, toksikologik, serologik dsb.

Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, selain jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan saat kematian seperti tersebut di atas.

VISUM ET REPERTUM PSIKIATRIK

Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44(1) KUHP yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena

(17)

Jadi yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita penyakit jiwa (psikosis), tetapi juga orang yang retardasi mental. Apabila penyakit jiwa (psikosis) yang ditemukan, maka harus dibuktikan apakah penyakit itu telah ada sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja semakin panjang jarak antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan akan semakin sulit bagi dokter untuk menentukannya. Demikian pula jenis penyakit jiwa yang bersifat hilang-timbul akan mempersulit pembuatan kesimpulan dokter.

Visum et repertum psikiatrik diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana visum et repertum lainnya. Selain itu visum et repertum

psikiatrik menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh karena visum et repertum psikiatrik menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum et repertum psikiatrik ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.

RAHASIA KEDOKTERAN

dan ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

I. TINJAUAN UMUM RAHASIA KEDOKTERAN A. Hakekat Rahasia Kedokteran 1. Rahasia Jabatan dan Rahasia Pekerjaan

Rahasia Jabatan bukan berdasarkan azas kepercayaan, diwajibkan bagi pejabat negara, sedangkan Rahasia Pekerjaan berdasarkan azas kepercayaan, bersifat swasta

2. Azas kepercayaan.

Profesi kedokteran (bidang kesehatan) baru dapat berlangsung bila ada kerelaan pasien untuk mengungkapkan keadaan dirinya, termasuk hal-hal yang amat pribadi. Bentuk pengungkapan diri pasien dalam hubungannya dengan profesi kedokteran meliputi tindakan anamnesa (wawancara), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorik. Hal ini berarti semua data pribadinya diserahkan pada tangan dokter yang memeriksanya (beserta staf medis lainnya).

Dalam keadaan memerlukan bantuan medik, seorang pasien berada dalam situasi konflik. Di satu pihak pasien menderita dan sangat memerlukan bantuan orang lain (dokter), tetapi di pihak lain pasien juga menginginkan rahasianya tetap utuh, demi ketentraman batin dan integritas

pribadinya. Nampaknya pasien yang datang ke dokter terpaksa harus mengorbankan kepentingannya yang kedua (rahasia pribasi).

(18)

Tradisi profesi kedokteran ternyata menghargai kerahasiaan pribadi tersebut sehingga perlu mencantumkannya dalam etik kedokteran. Akibatnya dapat dikatakan bahwa konstruksi hubungan dokter-pasien adalah berdasarkan azas kepercayaan. Artinya dokter percaya bahwa pasien akan mengungkapkan keadaan diri yang seutuhnya, sedangkan pasien juga percaya bahwa dokter akan menjaga rahasia yang diketahuinya, yaitu yang dinamakan rahasia kedokteran. Beberapa profesi lain yang juga dibangun secara tradisi atas dasar azas kepercayaan antara lain adalah profesi advokat/pengacara, notaris dan rohaniawan.

Pada perkembangan selanjutnya masyarakat menganggap masalah rahasia pribadi itu merupakan kepentingan umum, karena menyangkut hak azasi seluruh masyarakat, sehingga perlu diatur oleh hukum.

B. Ketentuan yang mengatur Rahasia Kedokteran.

Kewajiban seorang dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran telah diatur dalam PP. No.10 tahun 1966.

Dalam peraturan tersebut tidak dibedakan antara rahasia jabatan kedokteran ataukah rahasia pekerjaan kedokteran. Tetapi dalam penjelasannya ada kecenderungan bahwa yang diatur adalah kedua-duanya, karena subyek delik yang diancam dalam pasal 322 KUHP adalah mereka yang membuka rahasia pekerjaan maupun rahasia jabatan.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 10Th. 1966 memberi batasan tentang yang dimaksud dengan rahasia kedokteran yaitu segala sesuatu yang diketahui pada waktu atau selama melakukan pekerjaan di lapangan kedokteran.

Hal ini meliputi segala fakta yang didapatkan selama menangani pasien, mulai dari pemeriksaan dan interpretasinya (diagnosa) sampai dengan penatalaksanaannya. Sehingga hal-hal yang diketahui tapi tidak berhubungan dengan pekerjaan, bukanlah merupakan rahasia kedok-taran. Pada prakteknya diakui bahwa hal ini bukan merupakan masalah sederhana. Dibutuhkan penalaran, intuisi dan pengalaman serta kebijaksanaan dalam memilih hal-hal yang sepatutnya dirahasiakan.

Pasal 2 Peraturan ini membatasi daya berlakunya wajib simpan rahasia kedokteran, karena bila ada peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi dari PP 10 tahun 1966 ini maka wajib simpan rahasia kedokteran tidak berlaku. Hal ini menunjukkan keluwesan atas prioritas kepentingan yang akan dilindungi. Jadi bila ada kepentingan lain yang dianggap lebih tinggi (kepentingan umum), maka rahasian kedokteran harus mengalah.

(19)

Pasal 3 Peraturan ini menentukan subyek hukum yang harus menyimpan rahasia kedokteran. Selain mereka yang telah profesional di bidang kedokteran, maka mereka yang sedang dalam pendidikan di bidang ini pun wajib menyimpan rahasia kedokteran walaupun belum disumpah. Termasuk dalam golongan ini adalah para mahasiswa kedokteran, siswa perawat dan sebagainya. Sangsi hukum yang telah diterapkan sehubungan dengan pembukaan rahasian kedokteran dapat ditinjau baik dari segi hukum pidana maupun perdata. Dari segi hukum pidana pembukaan rahasia jabatan diancam oleh pasal 112 dan 322 KUHP. Sedangkan dari segi hukum perdata dapat diterapkan pasal 1365 KUHPerdata.

. Pengungkapan Rahasia Kedokteran.

Pada dasarnya rahasia kedokteran harus tetap disimpan walaupun pasien tersebut telah

meninggal. Jadi rahasia itu harus ikut dikubur bersama pasien. Rahasia kedokteran merupakan hak pribadi pasien yang tidak diwariskan pada para ahli warisnya. Sehingga para ahli waris itu juga tidak berhak mengetahui rahasia pribadi pasien.

Rahasian kedokteran ini begitu dijunjung tinggi dalam masyarakat, sehingga walaupun pengadilan meminta seorang dokter untuk membuka rahasia kedokteran, seorang dokter memiliki hak tolak {verschoningsrecht).

Hak ini telah diatur dalam pasal 170 KUHAP, yang menentukan bahwa mereka yang diwajibkan menyimpan rahasia pekerjaan/jabatan dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Namun ayat kedua dari pasal 170 KUHAP tersebut membatasi hak tolak sesuai dengan perrtimbangan hakim. Hal ini tentunya diterapkan bila kepentingan yang dilindungi pengadilan lebih tinggi dari rahasia kedokteran.

Ada beberapa keadaan di mana pemegang rahasia kedokteran dapat membuka rahasia tersebut tanpa terkena sanksi hukum. Keadaan tersebut dapat dibagi menjadi dua golongan besar. Yang pertama, pembukaan rahasia kedokteran dengan kerelaan/ijin pasien. Yang kedua, pembukaan rahasia kedokteran tanpa kerelaan/ijin pasien.

Dalam hal yang pertama, dapat dianggap bahwa pasien sendiri menyatakan secara tidak langsung rahasia kedokteran itu bukan lagi merupakan rahasia, sehingga tidak wajib dirahasiakan oleh dokter. Tetapi walaupun ada permintaan pasien agar dokter membuka rahasia kedokteran, dokter tidak harus memenuhinya demi menjaga keluhuran profesi kedokteran. Sedangkan dalam hal yang kedua, dokter terpaksa membuka rahasia kedokteran karena sesuatu hal yang walaupun

(20)

tidak dibenarkan oleh hukum, tetapi dokter tidak dipidana karena adanya dasar-dasar penghapus pidana (straf uitsluiting-sgronden), yang dapat dijumpai dalam pasal 48, 50 dan 51 KUHP. Hal ini, nampaknya sejalan seperti yang dikemukakan oleh Benhard Knight (1972) bahwa pengungkapan rahasia Profesional dapat dilakukan dalam kondisi:

1. Adanya Persetujuan Pasien 2. Berdasarkan Perintah Hukum 3. Berdasarkan Perintah Pengadilan

4. Kepentingan umum menyangkut masalah kesehatan dan keselamatan umum.

Di luar kondisi yang diutarakan di atas, maka pengungkapan rahasia kedokteran dapat dianggap perbuatan yang melawan hak dan karenanya pada beberapa keadaan dapat digugat.

II. HAKEKAT PROFESI DI BIDANG KEDOKTERAN FORENSIK A. Konsep Peranan Ganda Seorang Dokter

Dalam menangani berbagai kasus yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia, seorang dokter dapat mempunyai peranan ganda.

Peran Pertama adalah sebagai ahli klinik sehingga objek akan berstatus sebagai seorang pasien dengan segala hak dan kewajibannya. Tujuan tindakan dokter di sini adalah pemulihan kesehatan pasien dengan melakukan berbagai tindakan medik.

Peran kdua adalah sebagai ahli forensik yang bertugas membantu proses peradilan dalam pembuatan Visum et Repertum untuk .penyidik. Maka korban akan berstatus sebagai benda bukti, dan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan secara imperatif. Tindakan yang dilakukan dokter adalah pemeriksaan forensik yang bertujuan untuk menegakkan keadilan. Kedua peran ini harus dibedakan dengan tegas, karena akan membawa konsekuensi hukum yang berbeda sifatnya. Hak dan tanggung jawab/kewajiban dokter sebagai ahli klinik sangat berbeda dengan perannya sebagai ahli forensik, walaupun terjadi pada satu kasus dan pada saat yang bersamaan.

B. Peran Ahli Kedokteran Forensik Dalam Proses Peradilan

Fungsi utama ilmu kedokteran forensik adalah membantu proses peradilan dalam arti luas, yang meliputi tahap penyidikan sampai sidang pengadilan. Klien yang dihadapinya bukanlah pasien, tetapi benda bukti.

(21)

Dalam proses peradilan terdapat dua pihak yang berhadapan dan satu pihak yang netral. Pada peradilan perdata, pihak penggugat dan tergugat yang akan saling berhadapan, sedangkan pihak hakim dan alat-alat bukti berada pada pihak yang netral."

Sedangkan pada peradilan pidana, pihak penyidik dan jaksa berada pada satu pihak yang akan berhadapan dengan terdakwa di lain pihak, hakim dan saksi ahli serta alat bukti lainnya sebagai pihak netral. Dari konstruksi di atas nampak bahwa posisi ahli kedokteran forensik berada pada pihak yang netral, dan dimulai dari sejak awal proses peradilan (tahap penyidikan).

Di pihak lain, dokter ahli ilmu kedokteran forensik tidak boleh meninggalkan sekapnya sebagai ilmuwan yang didasarkan pada obyektifitas. Hal inilah yang merupakan sebab utama dokter ahli kedokteran forensik menempati posisi netral. Tanggungjawab dan kompetensi dokter ahli ilmu kedokteran forensik sebagai ilmuwan antara lain juga termasuk mengembangkan ilmu itu sendiri. Dalam hubungan dengan pihak penyidik, maka Hazewinkel

Suringa, D. mengemukakan: ... karena bantuan medis

merupakan sumber informasi yang penting, maka polisi selalu berusaha untuk menggali sedalam-dalamnya. Para doker harus menjaga jangan sampai dibuat sebagai pembantu polisi yang tidak bersuara. Hanya dengan cara demikian dokter dapat terus bergerak dan

mempertahankan rahasia pekerjaannya, (terjemahan bebas).

Dokter ahli kedokteran forensik sebagai pribadi adalah anggota masyarakat yang tidak terlepas dari pengaruh sosial dan budaya masyarakat di sekitarnya. Demi kepentingan masyarakat, maka masyarakat tentunya tidak menghendaki terganggunya netralitas ahli kedokteran forensik dalam proses pradilan. Karena bila hal ini terjadi, proses peradilan menjadi tidak obyektif lagi dan masyarakat akan dirugikan, karena masalah peradilan merupakan kepentingan umum yang utama.

III. RAHASIA KEDOKTERAN DI BIDANG KEDOKTERAN FORENSIK A. Pentingnnya Tata Nilai dalam Ilmu Pengetahuan dan Profesi.

Salah satu syarat agar kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan adalah usaha agar kita dapat membebaskan diri dari nilai-nilai lain, seperti ideologi, adat dan sebagainya. Misalnya

perkembangan ilmu bumi dan astronomi yang pada mulanya mendapat hambatan dari nilai-nilai keagamaan. Barulah ilmu tersebut berkembang dengan baik setelah dilepaskan dari nilai-nilai budaya lain. Sebagai alat, tehnologi bagaikan pisau bermata dua: dapat digunakan untuk

(22)

kebaikan atau sebaliknya membawa akibat buruk. Hal ini membawa sesuatu landasan baru bagi para ilmuwan, yakni teori nilai atau axiologi.

Semula para ilmuwan bersikap netral terhadap masalah nilai tersebut, dalam arti terserah pada masyarakat untuk apa ilmu itu dipergunakan. Tetapi pada hakeketnya ilmu pengetahuan akan digunakan bila ia menjadi alat yang baik, dan bukannya menjadi tuan yang kejam.

Dalam kenyataannya, pada masyarakat terdapat sifat-sifat yang baik dan buruk. Sejarah membuktikan bahhwa sekelompok masyarakat telah menyalahgunakan ilmu.

Ilmu Kedokteran forensik merupakan alat yang ampuh dalam membasmi kejahatan, tetapi dapat menjadi alat berbahaya bila digunakan secara keliru. Karena itu para ilmuwan di bidang ilmu kedokteran forensik bertanggung-jawab terhadap measyarakat atas penggunaannya. Untuk ittu diperlukan mekanisme kontrol terhadap ilmu dan teknologi agar tidak disalahgunakan, yakni dengan mengembangkan nilai-nilai yang luhur sifatnya, sehingga secara axiologi ilmu tidak bebas nilai, tetapi diabdikan untuk kebaikan umat manusia. Pengembangan nilai-nilai tersebut terutama menjadi tanggungjawab para ilmuwan karena merekalah yang paling menguasai setiap detail informasi yang bersangkutan.

Dalam ilmu kedokteran forensik, para ahli kedokteranlah yang paling bertanggungjawab dalam menjaga dan membentuk nilai-nilai luhur tersebut. Salah satu seginya adalah tindakan hati-hati dalam hal mengungkapkannya pada masyarakat, walaupun hasrat keingintahuan masyarakat cukup besar. Hal ini penting agar selera rendah masyarakat tidak senantiasa berkembang.

Hal ini memang menjadi beban tersendiri bagi para ahli ilmu kedokteran forensik, karena di satu pihak ia harus meng-komunikasikan pengetahuannya pada pihak-pihak tertentu (aparat peradilan dan ilmiawan lainnya), di pihak lain ia harus menyaringnya terhadap masyarakat luas.

Dari pemikiran di atas dapatlah dirasakan perlunya rahasia kedokteran forensik, yang bila dikaji lebih lanjut juga sangat erat kaitannya dengan hak azasi korban yang diperiksa.

B. Perbandingan Tindakan Di Bidang Kedokteran Forensik dan Kedokteran Klinik Lainnya

Seperti telah dijelaskan dalam konsep peran ganda bahwa seorang korban dapat berstatus sebagai pasien maupun benda bukti. Dalam ilmu kedokteran forensik, korban hidup maupun mati akan ditangani sebagai 'benda' bukti, Tetapi walaupun status mereka sebagai benda bukti, bukan berarti seluruh hak azasinya hilang sama sekali.

(23)

Pemeriksaan forensik yang dilakukan atas diri korban memang bukan atas kehendak bebas dari korban. Hal ini berbeda dengan pemeriksaan klinis yang pada dasarnya merupakan kehendak bebas dari pasien.

Walaupun pemeriksaan klinis merupakan kehendak bebas dari pasien, tapi hak atas pr/Vacy-nya tidak hilang. Maka wajarlah bila pada pemeriksaan forensik (di mana pemeriksaan dilakukan tidak atas dasar kesukarelaan) nak atas privacy tersebut justru tetap dijaga, dan bukannya malah diungkapkan pada pihak yang tak berkepentingan agar korban tidak dirugikan dua kali.

Tentang sifat kerahasiaan di bidang kedokteran forensik, dipermasalahkan apakah hal tersebut termasuk rahasia kedokteran atau bukan. Sebenarnya bidang kedokteran lebih luas daripada hanya sekedar bidang kesehatan saja.

Karena kedokteran forensik merupakan salah satu dari bidang kedokteran, maka Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran juga berlaku untuk bidang kedokteran forensik. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Profesor Dr. Sutomo Tjokronegoro yang mengatakan:

...Dalam melakukan pekerjaan ilmu Dokter-kehakiman

untuk keperluan polisi dan hakim, kedudukan rahasia jabatan tidaklah berlainan. Segala sesuatu yang diperiksa oleh seorang dokter atas permintaan dan untuk keperluan polisi dan hakim, sudah selayaknya diangap sebagai rahasia jabatan. . . .

. Pihak Yang Wajib Menyimpan Rahasia Kedokteran Forensik

Karena Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 dapat diterapkan pada bidang kedokteran forensik, maka untuk menentukan siapa saja yang wajib menyimpan rahasia kedokteran forensik dapat dipakai penjabaran pasal 3 PP No.10 tahun 1966 tersebut.

Dengan demikian, yang diharuskan menyimpan rahasia adalah: 1. Dokter spesialisi kedokteran forensik.

2. Dokter (umum). 3. Dokter spesialis klinik.

4. Petugas kamar otopsi/kamar pemeriksaan forensik

5. Mahasiswa Fakultas Kedokteran yang sedang menjalani kepaniteraan Kedokteran Forensik maupun kepaniteraan klinik lainnya.

6. Petugas kamar jenazah 7. Petugas kamar bedah jenazah

(24)

8. Petugas Laboratorium Forensik

9. Petugas administrasi Visum et Repertum

10. Petugas lainnya yang secara langsung atau tidak langsung mengetahui kegiatan pemeriksaan forensik.

TANATOLOGI

Tanatologi berasal dari kata thanatos ( yang berhubungan dengan kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang otak).

Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan, yang menetap (irre-versible). Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara nafas tidak terdengar pada

auskultasi.

Mati suri (suspended animation .apparent death) adalah terhentinya ketiga sistim kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering

ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.

Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan. Pengetahuan ini penting dalam transplantasi organ.

Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam waktu 4 menit; otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai kira-kira 2 jam pasca mati, dan mengalami mati seluler setelah 4 jam; dilatasi pupil masih terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan sulfas atropin 1% ke dalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1% atau fisostig-min 0.5 % akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam pascamati.

Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara menyuntikkan subkutan pilokarpin 2% atau asetilkolin 20%; spermatozoa masih bertahan hidup beberapa hari

(25)

dalam epididimis; kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati.

Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang ireversibel kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.

Mati otak (mati batang otak) adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neronai intrakranial yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan .

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah berhenti, pernapasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata hilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati yang jelas yang

memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat (hipostasis atau lividitas pasca-mati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mumifikasi dan adiposera.

A. Tanda kematian tidak pasti

1. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi). 2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.

3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah-daerah belikat dan bokong pada mayat yang terlentang. 5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian. Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap.

6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air.

(26)

a. Lebam mayat (livor mortis). Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras.

Darah tetap cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya

bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang (memucat) pada penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah.

Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru. Kadang-kadang dijumpai bercak per-darahan berwarna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh bertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit

berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.

Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian; memperkirakan sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO atau CN, warna kecok-latan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal; mengetahui perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap; dan memperkirakan saat kematian.

Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum menetap dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat akan terbentuk lebam mayat baru di daerah dada dan perut.

Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam sebelum saat pemeriksaan.

(27)

Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh yang terletak rendah. Bila terdapat penekanan, pembukuh darah di daerah tersebut tertutup dan karenanya tidak dapat terisi darah dan daerah tersebut akan bebas dari lebam mayat.

Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah, maka keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan...darah akibat trauma (eks-travasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang. b. Kaku mayat {rigor mortis). Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah dalam

(sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian

menghilang dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot.

Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot kecil dan suhu lingkungan tinggi.

Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti kematian dan memperkirakan saat kematian.

Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat;

1. Cadaveric spasm (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal. Cadaveric spasm ini jarang dijumpai, tetapi sering terjadi dalam masa perang.

(28)

Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam senjata pada kasus bunuh diri.

2. Heaf stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.

3. Co/d stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.

Penurunan suhu tubuh {algor mortis). Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke benda yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.

Grafik penurunan suhu tubuh ini hampir berbentuk kurva sigmoid atau seperti huruf S.

Kecepatan penurunan suhu dipengaruhi oleh suhu keliling, aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi tubuh, pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu diketahui untuk perhitungan

perkiraan saat kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu keliling yang rendah, lingkungan berangin dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus, posisi terlentang, tidak berpakaian atau berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua serta anak kecil.

Kurva berbentuk sigmoid pada grafik penurunan suhu.

Pada saat mendekati suhu keliling, kurva akan menjadi sangat datar.

Berbagai rumus kecepatan penurunan suhu tubuh pasca mati ditemukan sebagai hasil dari penelitian di negara barat, namun ternyata sukar dipakai dalam praktek karena faktor-faktor yang berpengaruh di atas berbeda pada setiap kasus, lokasi, cuaca dan iklim.

(29)

Meskipun demikian dapat dikemukakan di sini formula Marshall dan Hoare (1962) yang dibuat dari hasil penelitian terhadap mayat telanjang dengan suhu lingkungan 15.5 derajat Celcius, yaitu penurunan suhu dengan kecepatan 0.55 derajat Celcius tiap jam pada 3 jam pertama pasca mati, 1,1 derajat Celcius tiap jam pada 6 jam berikutnya, dan kira-kira 0.8 derajat Celcius tiap jam pada periode selanjutnya. Kecepatan penurunan suhu ini menurun hingga 60% bila mayat berpakaian. Peng-gunakan formula ini harus dilakukan dengan hati-hati mengingat suhu lingkungan di Indonesia biasanya lebih tinggi (kurva penurunan suhu lebih landai).

Penelitian akhir-akhir ini cenderung untuk memperkirakan saat mati melalui pengukuran suhu tubuh pada lingkungan yang menetap di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Caranya adalah

dengan melakukan 4-5 kali penentuan suhu rektal dengan interval waktu yang sama (minimal 15 menit). Suhu lingkungan diukur dan dianggap konstan karena faktor-faktor lingkungan dibuat menetap, sedangkan suhu saat mati dianggap 37 derajat Celcius bila tidak ada penyakit demam. Penelitian membuktikan bahwa perubahan suhu lingkungan kurang dari 2 derajat Celcius tidak mengakibatkan perubahan yang bermakna. Dari angka-angka di atas, dengan menggunakan rumus atau grafik dapat ditentukan waktu antara saat mati dengan saat pemeriksaan. Saat ini telah tersedia program komputer guna penghitungan saat mati melalui cara ini.

d. Pembusukan (decomposition, putrefaction). Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan kerja bakteri. Autolisis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang

dilepaskan sel pascamati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan jaringan.

Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama adalah Clostridium welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S dan HCN, serta asam amino dan asam lemak.

Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair dan penuh dengan bakteri serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-met-hemo-globin. Secara bertahap warna kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busukpun mulai tercium. Pembuluh darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan berwarna hijau

(30)

Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau membentuk gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk.

Pembentukan gas di dalam tubuh, dimulai di dalam lambung dan usus, akan mengakibatkan tegangnya perut dan keluarnya cairan kemerahan dari mulut dan hidung. Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan mengakibatkan terabanya derik (krepitasi). Gas ini me-nyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, tetapi ketegangan terbesar terdapat di daerah dengan jaringan longgar, seperti skrotum dan payudara. Tubuh berada dalam sikap seperti petinju (pugilistic attitude), yaitu kedua lengan dan tungkai dalam sikap setengah fleksi akibat

terkumpulnya gas pembusukan di dalam rongga sendi.

Selanjutnya, rambut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah menggembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi tembem, bibir tebal, lidah

membengkak dan sering terjulur diantara gigi. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan wajah asli korban, sehingga tidak dapat lagi dikenali oleh keluarga.

Hewan pengerat akan merusak tubuh mayat dalam beberapa jam pasca mati, terutama bila mayat dibiarkan tergeletak di daerah rumpun. Luka akibat gigitan binatang pengerat khas berupa lubang-lubang dangkal dengan tepi bergerigi.

Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas pembusukan nyata, yaitu kira-kira 36-48 jam pasca mati. Kumpulan telur lalat telah dapat ditemukan beberapa jam pasca mati, di alis mata, sudut mata, lubang hidung dan diantara bibir. Telur lalat tersebut kemudian akan menetas menjadi larva dalam waktu 24 jam. Dengan identifikasi spesies lalat dan mengukur panjang larva, maka dapat diketahui usia larva tersebut, yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat mati, dengan asumsi bahwa lalat biasanya secepatnya meletakkan telur setelah seseorang meninggal (dan tidak lagi dapat mengusir lalat yang hinggap).

Alat dalam tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan yang berbeda. Perubahan warna terjadi pada lambung terutama di daerah fundus, usus, menjadi ungu kecoklatan. Mukosa saluran napas menjadi kemerahan, en-dokardium dan intima pembuluh darah juga kemerahan, akibat hemolisis darah. Difusi empedu dari kandung empedu mengakibatkan warna coklat kehijauan di jaringan sekitarnya. Otak melunak, hati menjadi berongga seperti spons, limpa melunak dan mudah robek. Kemudian alat-dalam akan mengerut. Prostat dan uterus non gravid merupakan organ padat yang paling lama bertahan terhadap perubahan pembusukan.

(31)

Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26.5 derajat Celcius hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup, banyak bakteri pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis. Media tempat mayat terdapat juga berperan. Mayat yang terdapat di udara akan lebih cepat membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau dalam tanah. Perbandingan kecepatan pembusukan mayat yang berada dalam tanah : air: udara adalah 1 : 2 : 8. Bayi baru lahir umumnya lebih lambat membusuk, karena hanya memiliki sedikit bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat pada bayi akan menghambat pertumbuhan bakteri.

Adiposera atau lilin mayat. Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati. Dulu disebut sebagai saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih disukai karena menunjukkan sifat-sifat dian-tara lemak dan lilin.

Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat, jaringan saraf yang termumifikasi (Mant dan Furbank, 1957) dan kristal-kristal sferis dengan gambaran radial (Evans, 1962). Adiposera terapung di air, bila dipa-naskan mencair dan terbakar dengan nyala kuning, larut di dalam alkohol panas dan eter. Adiposera dapat terbentuk di sebarang lemak tubuh, bahkan di dalam hati, tetapi lemak superfisial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan berbentuk bercak, dapat terlihat di pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh atau ekstremitas. Jarang seluruh lemak tubuh berubah menjadi adiposera.

Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan sebab kematian masih dimungkinkan.

Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang membuang elektrolit. Udara yang dingin menghambat pembentukan, sedangkan suhu yang hangat akan mempercepat. Invasi bakteri endogen ke dalam jaringan pasca mati juga akan mempercepat pembentukannya. Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera, karena derajat keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar hanya mengandung kira-kira 0.5% asam lemak bebas, tetapi dalam waktu 4 minggu pasca mati dapat naik menjadi 20% dan setelah 12 minggu menjadi 70% atau lebih. Pada saat ini adiposera menjadi jelas secara makroskopik sebagai bahan berwarna

Gambar

Grafik penurunan suhu tubuh ini hampir berbentuk kurva sigmoid atau seperti huruf S.
Gambar menunjukkan luka memar jejas ban yang ditimbulkan oleh penekanan permukaan ban  pada kulit yang menyebabkan terjadi perdarahan bawah kulit yang kemudian berpindah ke  tempat yang kurang tertekan, yakni pada daerah cekungan pada muka ban, berupa perd
Gambar menunjukkan luka lecet serut pada korban kecelakaan lalu lintas.  "
Gambar menunjukkan luka akibat kekerasan benda tajam berupa luka iris pada pipi serta leher  seorang korban pembunuhan menggunakan senjata tajam.
+7

Referensi

Dokumen terkait

2 Penyebab utama kematian pasien trauma tembus leher adalah perdarahan masif akibat cedera pembuluh darah, disamping penyebab lain yaitu cedera medula spinalis,

darah di dalam bilik mata depan  akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar Pasien akan mengeluh sakit,epifora dan blefarospasme, penglihatan

Dalam upaya mencapai sasaran belajarnya, Modul Kedokteran Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal memiliki berbagai kegiatan yang dirancang agar mahasiswa dapat memperoleh

Hifema adalah adanya darah di dalam kamera okuli anterior atau bilik mata depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek

Pengendalian permiabilitas pembuluh darah dalam luka yang oleh berbagai sebab misalnya rusaknya mikrovaskuler oleh trauma, karena letak luka, fase inflamasi yang memanjang

Trauma akibat ditinggalkan mati oleh keluarga dekat, dalam masyarakat Bali masih dirasakan meskipun kejadian kecelakaan lalu lintas yang dialami salah satu

Mahasiswa mampu menjelaskan sistem sirkulasi dan sistem pertahanan tubuh manusia (jantung, pembuluh darah, sistem pernapasan, sistem limfatik, ginjal, kekebalan tubuh)

Untuk tipe proliferatif, neovaskularisasi dapat dicegah dengan injeksi triamsinolon atau anti- VEGF (penghambat pembentukan pembuluh darah baru) secara intravitreal